Lapsus Edisi 4 Maret 2017

(1)

DI JAWA

1500-1700


(2)

NEGARA ISLAM

DI JAWA

1500-1700

K. Subroto

Laporan Khusus

Edisi 4 / Maret 2017

Gambar cover:

Peta Pulau Jawa Kuno Pertama “Iava Maior”, Karya Barent Langenes 1612

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:


(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Muqaddimah — 7

Episode Pertama — 10

Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro — 10 Kemunculan Kesultanan Demak — 10 Penetapan Dasar Negara — 11

Berlakunya Hukum Islam — 11

Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya — 13 Negara Islam Jepara — 15

Negara Islam Cirebon — 17

Syariat Islam di Negara Islam Cirebon — 19 Negara Islam Banten — 19

Lahirnya Jayakarta — 21

Kejayaan Banten dengan Syariat Islam — 22 Negara Islam Giri di Gresik — 23

Episode Kedua — 27

Negara Islam Mataram — 27

Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati — 27 Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645) — 29 Hukum Islam di Mataram — 31

Perekonomian Kesultanan Mataram — 34

Kehidupan Sosial keagamaan serta Peran Ulama — 34 Peran di bidang kebudayaan Islam — 35

Sistem Politik Kesultanan Mataram — 35 Politik Luar Negeri — 35

Kezaliman Amangkurat Menghancurkan Mataram — 39 Kesimpulan — 45


(4)

4

S

ejarah menjadi amat penting dalam perjalanan peradaban manusia. di tengah masyarakat sebagai pelajaran hidup yang telah dilalui oleh pendahulunya. Selain untuk mengungkap jatidiri suatu bangsa atau peradaban, sejarah juga sebagai bahan motivasi dan sekaligus bahan instrospeksi, supaya tidak terjatuh di lubang yang sama, mengulang kesalahan yang sama yang pernah dialami generasi sebelumnya. Karena sejarah pasti akan selalu terulang dengan aktor yang berbeda.

Sejarah umumnya ditulis oleh pemenang dengan perspektif pemenang juga tentunya. Demikianlah kenyataan yang berlaku di seluruh dunia. Dan pemenang dalam persaingan sebuah peradaban yang kemudian menjadi penguasa menggantikan peradaban sebelumnya berusaha sekuat tenaga mengecilkan kontribusi lawannya dalam memajukan masyarakat, atau bahkan kalau bisa berusaha menguburnya sehingga peradaban yang dikalahkan tidak akan pernah bangkit kembali dan menjadi ancaman bagi penguasa pemenang.

Demikian jualah yang terjadi dengan sejarah Indonesia. Sebuah nama yang baru muncul di tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4 yang awalnya disebut Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan), yang artinya Kepulauan Hindia. Penulisan sejarah Indonesia dipelopori oleh para sarjana sejarah berkebangsaan Belanda, negara yang terlibat peperangan selama ratusan tahun hampir di seluruh pelosok Nusantara dengan para penguasa lokal dengan misi penjajahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah yang ditulis Belanda dengan perspektif penjajah berusaha memandang sejarah Indonesia umumnya dan Jawa khususnya dengan sudut pandang penjajah Barat.

Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negara-negara sebelum negara-negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang kafir Belanda.


(5)

5

Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek. Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Bahkan ada yang menyebut eksistensi negara Islam sebagai ”ilusi”, sesuatu yang tidak pernah ada, atau “utopia”, hanya sebuah impian belaka.

Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa.

Jadi upaya deislamisasi sejarah Islam memang disengaja oleh penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyelidikan terhadap bangunan dan naskah kuno zaman Islam diabaikan.

Dampaknya para peneliti sejarah saat ini kesulitan mencari sumber referensi tulisan sejarah Indonesia kecuali dari tulisan-tulisan sejarawan Belanda. Maka kita dapati bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak masa penjajah Belanda sampai saat ini selalu menonjolkan kegemilangan peradaban Syiwa-Budha Majapahit dan mengecilkan peran era Islam dalam memajukan masyarakat.

Kenyataannya, kejayaan politik dan peradaban Islam masa Demak dan Mataram tidak kalah dengan kejayaan era Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah yang berusaha ditutup-tutupi. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negara-negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara.

Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.

Demak telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara Islam dengan konstitusi negara berdasar syariat Islam. Hukum-hukum Islam diberlakukan baik pada pejabat maupun rakyat jelata. Pengadila syariat didirikan untuk menyelesaikan berbagai


(6)

6

masalah yang timbul di masyarakat. Rakyat diperintahkan untuk menjalankan ibadah dengan contoh dan teladan dari pemimpin dan ulama.

Demak juga menjalankan politik luar negeri, dengan melakukan Jihad, mengirim pasukan Angkatan Lautnya melawan penjajah kafir Portugis di Malaka. Dan melakukan pembebasan-pembebasan wilayah di tanah Jawa.

Demak juga melakukan upaya memakmurkan rakyatnya dengan berbagai upaya meningkatkan ekonomi baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri dan hasil laut.

Negara Islam Mataram merupakan negara Islam yang besar di Tanah Jawa setelah era Demak. Mataram telah mendirikan peradilan Surambi yang pelaksanaannya berdasarkan syariat Islam. Islam dijadikan sebagai konstitusi negara. Mataram melakukan kebijakan politik luar negeri dengan melakukan jihad, dengan mengirim pasukan infanteri melawan penjajah kafir Belanda di Batavia.

Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi bila ada ide atau wacana yang menginginkan kembalinya negara Islam di tanah Jawa (sebagaimana di masa lampau) bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal.


(7)

7

Muqaddimah

Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra-Islam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa.1

Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negara-negara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang-orang kafir Belanda.

Upaya deislamisasi sejarah Islam di Indonesia disengaja oleh penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek.2

Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad

1 Lihat; De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafitipers Jakarta, 1985. h.2-3

2 K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017

NEGARA ISLAM

DI JAWA

1500-1700

Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan.”


(8)

8

telah banyak waktu dan biaya dihabiskan (pemerintah Hindia Belanda) untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyedikan terhadap bangunan kuno zaman Islam diabaikan. Maka untuk menyeimbangkan hal itu perlu diadakan penelitian secara ilmiah terhadap naskah-naskah Jawa dan Belanda serta penyelidikan kepurbakalaan (era Islam) di bekas kediaman raja, masjid, tempat pemakaman, kelenteng Cina, pemukiman-pemukiman kuno serta penggalian dan penyelidikan tanah.3

Kemunduran dan jatuhnya dinasti Shiwa-Budha Majapahit pada kuartal pertama abad ke-16 dan berdirinya negara Islam Demak berarti akhir dari sebuah peradaban tua dan babak baru peradaban Islam. Kemunculan Islam sebagai sebuah institusi politik tidak berlangsung secara tiba-tiba. Banyak tahap yang sudah dilalui dalam kurun waktu yang panjang sejak kejayaan Majapahit. Bahkan sebelum itu para wali, ulama, habaib dan juru dakwah bahu-membahu memperkenalkan Islam sebagai solusi kehidupan duniawi maupun ukhrowi. Para penyebar Islam berasal dari Timur Tengah, India dan China disamping para juru dakwah lokal setelahnya.

Saat kejayaan Majapahit, muslim menjadi bagian dari pilar kejayaan itu. Dan saat peradaban Syiwa-Budha sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena tidak mampu menjawab tantangan dan berbagai problem yang muncul, peradaban Islam telah siap menggantikan dan meneruskan perannya sebagai sebuah institusi politik yang memimpin pembangunan secara fisik dan non fisik di Jawa dan Nusantara pada umumnya.

Islam menjadi dominan di Jawa dengan beberapa tahapan. Komunitas Pedagang Islam dari berbagai bangsa yang telah lama membangun pengaruh di kota-kota pelabuhan pantai utara membuahkan hasil yang memuaskan, kemudian mengambil alih kendali wilayah pantai utara tersebut dari penguasa lokal pengikut dari Shiwa-Budha Majapahit. Mereka mengakui kekuasaan raja Majapahit dan menjadi vasal (negara bagian/kadipaten) Majapahit. Puncaknya, runtuhnya Majapahit setelah lemah dan kalah dalam perang melawan adipadi Keling dan kemudian Demak sekitar tahun 1527. Setelah Majapahit Runtuh, Raden Fatah sebagai adipati Demak kemudian mendeklarasikan diri sebagai Sultan, pemimpin sebuah Negara Islam Pertama di Jawa, Demak Bintoro.4

Ekonomi Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur berbasis pertanian, khususnya padi. Komunitas perdagangan Jawa dan luar negeri (terutama India dan Cina), telah ada di beberapa kota pelabuhan di pantai utara selama berabad-abad, fasilitas pelabuhan menawarkan rute perdagangan internasional dari India dan China ke Kepulauan Rempah-rempah. Beberapa pusat perdagangan komersial di Pantai Utara Jawa juga memiliki kapal laut untuk perdagangan ke India, Semenanjung Melayu, Cina, Filipina dan negara-negara di kawasan sekitarnya.5

Pada saat Islam berkembang di kepulauan Indonesia, Bandar-bandar sepanjang pantai pulau Jawa merupakan tempat yang sangat menarik bagi para pedagang

3 De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.11

4 Dr H. J. De Graaf And Tiieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700, Springer-Clence Business Media, B.V. h.3

5 De Graaf And Pigeaud, Islamic States In Java, op.cit.h.6

Selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan (pemerintah Hindia Belanda) untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyedikan terhadap bangunan kuno zaman Islam diabaikan.”


(9)

9

internasional. Bandar-bandar itu menjadi pangkalan, tempat transit untuk mengisi perbekalan dan menjadi tempat transaksi perdagangan berbagai jenis barang. Di situ para pelaut membeli bekal berupa beras dan air bersih untuk perjalanan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan kapal layar. Melimpahnya persediaan beras dan hasil-hasil pertanian serta suburnya tanah membuat bandar-bandar di Jawa saat itu menjadi sangat menarik bagi para pedagang dan pelaut. Bandar-bandar Jawa juga menjadi tempat penimbunan (gudang) rempah-rempah.6

Suma Oriental yang ditulis seorang informan portugis, Tome Pires, melukiskan keadaan Jawa sekitar tahun 1515. Menurutnya perpindahan kekuasaan politik ke tangan orang Islam terjadi dengan dua cara; Pertama: Bangsawan-bangsawan Jawa dengan sukarela memeluk Islam di daerah kekuasaannya dan tetap berkuasa, dan kemudian pedangang-pedagang Islam dan para ulama memperoleh kedudukan tinggi. Kedua: orang-orang Islam dari berbagai suku bangsa bertempat tinggal di pemukiman tersendiri di bandar-bandar dan membuat benteng pertahanan di pemukiman tersebut. Dari benteng tersebut juga diadakan serangan terhadap pemukiman orang-orang kafir untuk menguasai pemerintahan Bandar.

Cara pengislaman yang pertama yang awalnya dipakai untuk pengislaman di pantai-pantai utara Jawa timur, misalnya di Tuban. Cara kedua terjadi di Bandar-bandar pantai utara Jawa Tengah seperti Demak dan Jepara.7

Tulisan ini disusun menjadi dua episode untuk memudahkan dalam memahami karakteristik negara Islam yang serupa dalam setiap episode. Misalnya episode pertama; negara Islam Kesultanan Demak dan negara-negara yang lebih kecil sesudahnya mempunyai karakteristik yang hampir sama.

Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.8 Maka dalam tulisan ini akan dibahas apakah

kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu (tahun 1500 – 1700) memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah negara atau negara Islam.

Dalam kajian ilmu Tata Negara modern, dikenal 2 bentuk negara atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik. Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie, pelaksana kekuasaan negara disebut raja. Jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik, pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.9

6 De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989. h.24-25

7 Ibid. h.28-29

8 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003), hal. 3 9 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi

HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167 lihat juga; Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283

Dalam kajian ilmu Tata Negara modern, dikenal 2 bentuk negara atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik.”


(10)

10

Saat itu, bentuk negara yang dikenal di seluruh dunia adalah bentuk kerajaan, sehingga yang dipakai negara-negara Islam saat itu adalah bentuk negara kerajaan. Sampai sekarangpun sistem ini masih dipakai di banyak negara di berbagai belahan dunia, misalnya Brunei Darussalam, Oman, Qatar, Saudi Arabia, Vatikan, dan lain-lain.

Episode Pertama

„

Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro

Kemunculan Kesultanan Demak

Kesultanan Demak, pada awalnya hanyalah sebuah perkampungan di desa Glagahwangi yang dibangun di hutan Bintara. Singkat cerita, desa Glagahwangi telah berubah menjadi sebuah kadipaten di bawah Majapahit yang ramai dan diberi kebebasan menjalankan ibadah serta menyebarkan agama Islam. Kemudian para Walipun sepakat untuk mendirikan Masjid Agung guna menopang dan mengembangkan kadipaten Bintara. Setelah Masjid Agung selesai dibangun, para Wali bermusyawarah untuk menentukan program dan fase perjuangan lebih lanjut. Mereka berencana mendirikan Negara Islam dengan merumuskan tiga pokok pikiran, yaitu: tentang dasar negara Islam, tentang pemegang kekuasaan negara Islam, dan tentang rencana dan strategi mencapai negara Islam.

Di era Kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah Kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar. Alasannya, pegawai muslim pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.

Mengenai rancangan dan strategi mencapai negara Islam, para Wali mempunyai siasat yang matang dan kongkrit. Setelah Kerajaan Majapahit dikalahkan oleh Prabu Girindrawardana dari Keling Kediri, maka Kadipaten Demak Bintara menyiapkan strategi untuk menyerang Majapahit yang telah dikuasai raja Keling Kediri. Setelah Majapahit kalah, maka kadipaten Demak resmi memproklamasikan diri sebagai kesultanan Islam dengan Raden Fatah sebagai sultannya.

Pada tahun 1481 M Setelah pasukan Majapahit dapat dikalahkan oleh pasukan Kadipaten Demak sesuai saran para Walisongo, Raden Fattah menyerahkan pemerintahan sementara Kerajaan Majapahit, kepada Sunan Giri dalam beberapa saat, sambil melihat perkembangan dampak dari jatuhnya pemerintahan Prabu Girindrawardhana dan sekaligus menunggu saat yang tepat untuk penobatan Raden Fattah menjadi Sultan Kasultanan Demak Bintoro.

Menurut pendapat Graaf, dengan tanpa kesulitan Raden Fattah berhasil mengalahkan Majapahit. Untuk memusnahkan segala bekas kekafiran dan penolak


(11)

11

bala, maka Sunan Giri memegang pimpinan tertinggi terlebih dahulu selama 40 hari, baru kemudian diserahkan kepada Raden Fattah

Padahari Senin (Soma) Kliwon malam Selasa Legi tanggal 11 malam 12 Rabiul Awal 860 H/ 16 Mei 1482 M dengan sengkalan “Warna Sirna Catur Nabi”, maka secara resmi kadipaten Demak berubah menjadi Kesultanan Demak dan Raden Fattah atau Adipati Bintoro dilantik menjadi Sultan Demak oleh Sunan Ampel.10

Penetapan Dasar Negara

Tentang dasar negara Islam dapat disingkap dan simpulkan dari berita-berita dalam Walisana dan Babad Demak, yaitu tentang perdondi kiblat (perselisihan paham para Wali tentang arah kiblat) Masjid Demak. Menurut kitab Tembang Babad Demak, peristiwa itu dilukiskan sebagai berikut:

Takir lemungsir pritgantil/ wus pinasang kinancingan/ datan antara usuke/ lawan reng wus pinakon/ mastaka gya pinasang/ wus ngadeg sengkalanipun/ lawang trus gunaning janmal// nulya sagung para Wali/ amawes leresing keblat/ nanging pradondi rembuge/ ana kang ngoyong mangetan/ sawiji datan rembag/ mesjid ingoyong mangidul/ daredah rembag ing wuntat.

Menurut Atmodarminto terhadap peristiwa ini beberapa ahli babad Jawa menyatakan bahwa Masjid dalam cerita ini harus diartikan secara majazi (kiasan/

sanepan) bukan Masjid hakiki. Adapun yang dimaksud tidak lain ialah Negara Islam, sedang kiblat yang diperselisihkan itupun bukan kiblat hakiki tetapi kiasan yang berarti pedoman atau dasar-dasar Negara Islam.

Sementara itu, mustaka (puncak) melambangkan nilai-nilai yang luhur, suci dan tertinggi di atas nilai-nilai lainnya (top qualities). Menurut Atmodarminto dan didukung Widji Saksono, rekaman peristiwa itu mengandung isyarat, bahwa wali songo meyakini supremasi hukum Islam, yaitu suatu negara harus berpegang pada ajaran Islam murni (mustika Islam) yang berkiblat di Mekah, yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi.11

Berlakunya Hukum Islam

Kerajaan Demak tidak hanya mengatur masalah pernikahan dan ibadah murni saja, melainkan juga masalah waris, muamalah, jinayah dan siyasah (pidana dan politik), hukum acara peradilan dan lain-lain, dimana aturan-aturan tersebut didasarkan pada hukum Islam. Tidak sebagaimana konsepsi Snouck Hurgronje yang memisahkan urusan ibadah dan politik.12

Untuk pelaksanaan hukum Islam, Sultan Demak menyusun kitab kumpulan undang-undang dan peraturan pelaksanaan hukum yang diberi nama Salokantara.

10 Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa, SYAMINA Edisi II Januari 2016, h.30-31 lihat juga: M. Khafid Kasri & Pujo Semedi. Op.Cit. h 65-68

11 Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000), hlm. 45-62. Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm. 127-130.

12 Lihat tulisan kami sebelumnya : Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017

Menurut Atmodarminto dan didukung Widji Saksono, rekaman peristiwa itu mengandung isyarat, bahwa wali songo meyakini supremasi hukum Islam, yaitu suatu negara harus berpegang pada ajaran Islam murni (mustika Islam) yang berkiblat di Mekah, yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi.”


(12)

12

Kepala mahkamah agung disebut jeksa dalam kitab hukum tersebut. Nama Sunan

Kalijaga dimungkinkan berhubungan dengan kata qadhi (hakim) dalam Islam. Setelah Kesultanan Islam Demak berdiri, para Wali menempati jabatan sebagai

pujangga, ngiras kinarya pepunden, jaksa yang mengku perdata atau sebagai karyawan terhormat, termasuk jaksa penjaga perdata atau undang-undang. Para Wali selalu mengawasi Sultan dalam memegang mandat menjalankan roda kepemimpinannya. Khusus Sunan Giri, beliau dipanggil dengan sebutan panatagama

sekaligus memangku jabatan sebagai penghulu. Ia menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara di keraton.

Dalam hal ini Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam soal perundang-undangan peradilan, pengadilan dan mahkamah termasuk hukum-hukum acara formal. Mereka merumuskan masalah siyasah jinayah (pidana) yang meliputi: had, qisas, ta’zir termasuk perkara zina dan aniaya, ’aqdiyah (perikatan, kontrak sosial) syahadah (persaksian, termasuk perwalian), masalah imamah

(kepemimpinan), siyasah (politik), jihad (perang sabil), kompetisi dan panahan, janji (nadzar), perbudakan, perburuhan, penyembelihan, ’aqiqah (jw: kekah), makanan, masalah bid’ah dan lain-lain.

Selanjutnya, masalah munakahat (pernikahan), merupakan tugas Sunan Giri dan Sunan Ampel serta lembaga-lembaga sosialnya. Mereka bertugas menyusun aturan perdata/adat istiadat dalam keluarga dan sebagainya, yang meliputi soal dan pasal-pasal tentang khitbah (peminangan), nikah-talak-rujuk, pembentukan usrah

(unit keluarga) dan adat istiadatnya termasuk hadanah (pengasuhan), perwalian, pengawasan serta fara`id (waris).

Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam merupakan undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).

Dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum Islam dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan undang-undang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan redaksi kata yang berbeda. Disebutkan dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam:

“sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah”

“dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”.

Sedangkan dalam Serat Suryangalam disebutkan “ukumullah kang den gawe pangilon” (hukum Allah dijadikan sebagai pedoman).

Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam merupakan

undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan

hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).”


(13)

13

Serat Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang bersumber pada kitab Anwar, sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga (Senopati Jinbun atau Raden Fatah) yang dituangkan dalam undang-undang oleh Raden Arya Trenggono (Sultan Demak III) yang saat itu masih menjabat sebagai jaksa, undang ini kemudian disebut sebagai Undang-Undang Jawa Suryangalam, undang-undang ini kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).13

Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya

Kesultanan Islam Demak, menjadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16. Untuk itu, kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wilayah timur pulau tersebut, bahkan juga ke daerah-daerah luar Jawa. Pada tahun 1527 tentara Demak menguasai Tuban, tahun berikutnya menguasai Wirosari (Purwodadi, Jateng), kemudian tahun selanjutnya menyerang Gagelang (Madiun sekarang), kemudian Mendangkungan (sekarang daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543), Memenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan Sengguruh (1545).14

Pada waktu jatuhnya Malaka ke tangan orang Portugis pada tahun 1511 Masehi, Demak justru mencapai kejayaannya. Pati Unus (Adipati Yunus) salah satu sultan Demak, sangat giat memperluas dan memperkuat kedudukan Kerajaan Demak sebagai negara Islam. Pada tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin sebuah armada besar menggempur Malaka untuk mengusir orang Portugis.15

Ketika Demak sebagai kota pelabuhan sedang mengalami kejayaan politis, agama, kebudayaan dan perdagangan, penguasa sangat memperhatikan penyebaran agama. Kebesaran dan luasnya pengaruh Demak tentu ditopang oleh sebuah kekuatan yang sangat solid, diantara penopang kekuatan dan disegani dari sisi pengaruh adalah Wali Songo. Peranan Wali Songo memang sangat sentral di Demak dan Islamisasi Jawa, para wali tersebut memiliki otoritas temporal dan spiritual yang sangat kuat.

13 Naili Anafah, Legislasi Hukum Islam Di Kerajaan Demak (Studi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam), IAIN Walisongo Semarang, 2011.

14 Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993, hlm. 297-299 15 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004.h. 61


(14)

14

Perluasan wilayah dan mitra kerajaan pun kian bertambah di sepanjang pantai utara Jawa, hal ini berkat kebesaran nama para Wali Songo. Di sebelah barat berdiri dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh, yakni Cirebon dan Banten. Dua kerajaan ini mampu menggeser dominasi kerajaan Padjajaran. Pendiri dua kerajaan tersebut adalah salah seorang dari sembilan wali yakni Sunan Gunung Djati.

Selain perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya wilayah atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai sebuah kerajaan yang merakyat. Wali songo sebagai sentral dari penyebaran Islam di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali di luar ring pemerintahan.16

Sebuah laporan Portugis menyatakan, bahwa diantara raja-raja Islam, raja Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus memerangi orang-orang Portugis, yang dipandang sebagai orang Kafir. Seperti ketika Malaka jatuh ke tangan kekuasaan Portugis pada tahun 1511, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri, Adipati Unus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka.

Peristiwa penting lainnya, pada tahun 1527, Fatahillah (seorang ulama terkemuka dari Pasai yang menikah dengan adik Sultan Trenggono) diutus oleh Sultan Trenggono untuk mengislamkan Jawa Barat. Akhirnya, ia berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Setelah kemenangan itu, maka nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.17

Di bawah kekuasaan Sultan Trenggono pula, sisa Keraton Mataram Kuno di pedalaman Jawa Tengah dan Singasari Jawa Timur bagian selatan berhasil dikuasai olehnya.18 Sultan Trenggono juga berhasil membawa Islam masuk ke daerah Jawa

Barat.19 Ia memang disebut-sebut sebagai sultan yang membawa Kesultanan Demak

menuju masa kejayaan.

16 Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004 h. 6

17 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010, hlm. 66

18 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004, hlm. 36

19 Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbarmedia, 2003, hlm.450.

Selain

perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya wilayah atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai sebuah kerajaan yang merakyat. Wali songo sebagai sentral dari

penyebaran Islam di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali di luar ring pemerintahan.”


(15)

15

Di Pulau Borneo, Kalimantan, Kesultanan Demak juga berhasil memberikan pengaruhnya sampai ke Kesultanan Banjar. Sebuah sumber menyebutkan bahwa calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama, pewaris itu diberi nama Islam. Tersebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, Raja Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada kesultanan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang di Jawa Tengah.

Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar membuka peluang untuk pengembangan Islam di kawasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembang-suburnya Islam di Kalimantan. Pada masa-masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700).20

„

Negara Islam Jepara

Jepara untuk pertama kalinya mengalami perkembangan pesat pada masa pemerintahan Arya Timur. Pada tahun 1470 Jepara masih merupakan pelabuhan/ wilayah yang tidak berarti dan hanya memiliki penduduk antara 90 sampai 100 orang. Setelah Pati Unus memegang tampuk pemerintahan menggantikan kedudukan Patih Jepara, penguasa baru ini berhasil menarik banyak orang dan memperluas wilayahnya sampai ke tanah sebrang, yakni sampai ke daerah Bangka Tanjungpura, Pulau Laue dan sejumlah pulau lainnya.

Demikian keterangan Tome Pires yang selanjutnya mengatakan, Pati Unus telah berhasil membuat negerinya menjadi negeri besar. Di samping itu, Tome Pires juga memujinya sebagai Raja Jawa yang paling terkenal karena kekuatanya dan pergaulannya yang baik dengan rakyatnya. Bahkan Tome Pires menyebut Pati Unus hampir sebesar Raja Demak, sekalipun Jepara berada dibawah Demak, yang mempunyai lebih banyak penduduk dan negeri.

Pada waktu itu Jepara telah berhasil mempunyai kedudukan yang baik dalam lintas perdagangan Nusantara. Dengan terus terang Tome Pires mengakui, kota


(16)

16

Jepara mempunyai sebuah teluk dengan sebuah pelabuhan yang indah. Di depan pelabuhan terdapat tiga buah sungai, di mana kapal-kapal besar dapat memasukinya. Tome Pires juga memuji pelabuhan Jepara sebagai pelabuhan yang paling baik dari sekian banyak pelabuhan yang pernah diceritakannya dan berada dalam keadaan yang paling baik. Setiap orang yang akan pergi ke Jawa dan Maluku akan singgah di Jepara.21

Pada abad XVI Demak merupakan kerajaan Islam terkuat di pulau Jawa dan memegang hegemoni di antara kota-kota pantai Utara Jawa. Namun secara praktis kota-kota itu tetap berdiri sendiri. Di masa jaya Kesultanan Demak, Jepara juga menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut, Jepara sebagai pusat penyebaran agama Islam dan pusat kekuasaan politik, Jepara juga memegang peranan penting dalam bidang perdagangan. Perdagangan yang dijalankan Demak dan Jepara ialah beras dan bahan pangan yang lainnya. Jepara menjadi pelabuhan penting setelah Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511. Malaka dijadikan sebagai pelabuhan peristirahatan dan perbekalan bagi kapal-kapal Portugis. Selain itu juga dijadikan sebagai pos militer untuk melindungi perdagangan mereka.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan pertimbangan-pertimbangan baru dalam bidang politik dan ekonomi pada bagian pertama abad 16. Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam baru tidak hanya pusat politik, tetapi juga memegang peranan penting dalam perdagangan dan rempah-rempah serta bahan pangan lainnya. Keberadaan Portugis di Malaka sangat menggangu aktifitas perdagangan dan pelayaran pedagang-pedagang Islam, termasuk Demak, lebih-lebih karena ekspansi Portugis selain didorong oleh motif ekonomi komersial juga didorong oleh misi agama yaitu meneruskan Perang Salib melawan orang-orang Islam.22

Masa-masa keemasan dan kemakmuran Demak mulai pudar pada saat Kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546. Sesudah pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja di ibu kota Demak, para penguasa kerajaan yang terkemuka berkumpul di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Dengan demikian di Jawa mulai mendirikan kerajaan Kalinyamat, kota Kalinyamat kira-kira 18 km dari Jepara masuk ke pedalaman, ditepi jalur ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi tempat kedudukan raja-raja Kota Pelabuhan.

D.H. Burger mengatakan bahwa meskipun daerahnya kurang subur, namun di wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian timur yaitu Jepara, Juwana, Rembang, dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan Internasional, terutama dengan Malaka dan Maluku.

Jepara merupakan penyuplai beras yang dihasilkan daerah pedalaman. Selain berperan sebagai pelabuhan transit juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapuk, dan palawija. Apalagi Ratu Kalinyamat tidak hanya sebagai penguasa politik, tetapi juga sebagai pedagang.

21 Panitia Penyusun Hari Jadi Jepara Pemerintah kabupaten Tingkat I, 1998, 11-12

22 Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah Ringkas (Jepara:1991), 32.

Keberadaan Portugis di Malaka sangat menggangu aktifitas

perdagangan dan pelayaran pedagang-pedagang Islam, termasuk Demak, lebih-lebih karena ekspansi Portugis selain didorong oleh motif ekonomi komersial juga didorong oleh misi agama yaitu meneruskan Perang Salib melawan orang-orang Islam.”


(17)

17

Kemasyhuran kepemimpinan Ratu Kalinyamat sampai ke seluruh penjuru Nusantara, hal ini didasarkan dari berita Portugis yang melaporkan bahwa ada hubungan antara Ambon dan Jepara. Pemimpin-pemimpin “Persekutuan Hitu” di Ambon ternyata beberapa kali meminta bantuan Jepara melawan orang Portugis dan juga melawan suku yang lain yang masih satu keturunan, yaitu orang-orang Hative. Betapa besar kekuasaan Ratu Kalinyamat nampak dari usahanya menyerang orang Portugis di Malaka pada tahun 1550 atau 1551 yang kemudian di ulanginya pada tahun 1574.

Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat kepada Ratu Kalinyamat, mengajak Ratu Jepara itu melakukan jihad melawan orang-orang Portugis di Malaka. Dalam surat itu Raja Johor juga menyatakan, di Malaka telah terjadi kekurangan bahan pangan.

Ratu Kalinyamat menjawab seruan itu dengan mengirim sebuah armada yang kuat. Dalam serangan tersebut telah muncul 200 buah kapal besar dari negeri-negeri Islam yang telah bersekutu menyerang Malaka, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara, memuat 4000 sampai 5000 orang Prajurit. Armada itu dipimpin seorang Panglima Jawa yang disebut dengan nama julukan “Sang Adipati”, seorang lelaki yang gagah berani.23

„

Negara Islam Cirebon

Kerajaan Cirebon adalah sebuah Kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 masehi, dan merupakan pelabuhan penting di jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di

23 Amin Budiman, Komplek Makam Ratu Kalinyamat, 35.

Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat kepada Ratu Kalinyamat, mengajak

Ratu Jepara itu melakukan jihad melawan orang-orang Portugis di Malaka.”


(18)

18

kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Banten dan Cirebon adalah kawasan di Jawa Barat yang pertama kali Islam diperkenalkan. Penduduknya sebagian besarnya adalah pedagang berdarah campuran. Menurut sumber naskah Jawa, Cirebon diislamkan oleh salah seorang wali songo yang bernama Sunan Gunung Jati.

Setelah mendirikan komunitas Muslim pertama di Banten, Nurullah (Sunan Gunung Jati) kemudian memerintah juga di Cirebon. Setelah kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546, Nurullah di tahun 1550-an memutuskan untuk pindah ke Cirebon di mana ia hidup sebagai ulama sampai kematiannya pada tahun 1570. Pengaruh spiritualnya di Jawa Barat sangat besar, meskipun tidak sebesar pengaruh Sunan Giri di Gresik Jawa Timur.

Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan hukum Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.

Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo di Jawa. Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas berdakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu digambarkan sebagai berikut;

“Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra,

utawi parasat miwah jajampi

utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana”.

(Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan).24

Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga umara’, ia juga sebagai Sultan di Cirebon. Berbagai bukti kejayaan kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).

Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan pertama dengan Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding) tidak berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia; pernikahan ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara

24 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah, Tangerang : Transpustaka, 2011. hlm. 90.

Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga umara’, ia juga sebagai Sultan di Cirebon. Berbagai bukti kejayaan kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).”


(19)

19

Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata Lelana.25

Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai “Jalur Sutra”฀. Adanya Pelabuhan

Muara Jati yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional. Pelabuhan yang ramai dan jalur utama transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut.26

Syariat Islam di Negara Islam Cirebon

Di Kerajaaan Cirebon sudah ada undang-undang hukum Islam yang dipakai yang dikenal dengan Pepakem. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan menurut undang-undang Islam Jawa. Kitab hukum yang digunakan, yaitu Pepakem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam hukum Jawa-kuno memuat kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilulah.27

„

Negara Islam Banten

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, diaspora para pedagang muslim terjadi, sebagian dari mereka pindah ke Banten. Keramaian Banten bertambah, juga karena para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia mau tidak mau harus melalui Selat Sunda. Di samping itu, pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dari dan menuju ke arah barat laut melalui Selat Bangka.

Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, diduga sudah memiliki hubungan dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan yang dikunjungi para saudagar dari luar. Ketika Islam dibawa oleh para pedagang Arab ke timur, Banten telah menjadi sasaran dakwah Islam. Menurut berita Tome Pires, pada tahun 1513 di Cimanuk, sudah dijumpai orang-orang Islam. Jadi, setidaknya pada akhir abad ke-15, Islam sudah mulai diperkenalkan di pelabuhan milik Kerajaan Hindu Sunda. Ketika Sunan Ampel Denta pertama kali datang ke Banten, ia mendapati orang Islam di Banten, walaupun penguasa di situ masih beragama Hindu.

Islamisasi Banten, diawali oleh Sunan Ampel, kemudian dilakukan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah bersama 98 orang muridnya

meng-25 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757

26 Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012) hlm. 100 - 127

27 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003. hlm. 114-115. Dalam Neni Vesna Madjid, Perkembangan Hukum Islam Dari Waktu Ke WaktuPada Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara, h.12. http://fhunilak.ac.id/

Di Kerajaaan Cirebon sudah ada undang-undang hukum Islam yang dipakai yang dikenal dengan Pepakem. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon.”


(20)

20

Islamkan penduduk Banten. Secara perlahan-lahan, Islam dapat diterima masyarakat sehingga banyak orang masuk Islam, bahkan Bupati Banten, yang merasa tertarik dengan ketinggian ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah, menikahkan adiknya, yang bernama Nyai Kawunganten, dengan wali penyebar Islam di Sunda ini. Dari perkawinan ini lahirlah dua anak yang diberi nama Ratu Winahon (dalam sumber lain disebut Wulung Ayu) dan Hasanuddin. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), terus berusaha untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka pergi ke arah selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 orang yang setelah mendengar ajaran Islam disampaikan ayah dan anak itu, semuanya menyatakan masuk Islam. Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama Islam kepada penduduk negeri.28

Kesultanan Banten pada awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Demak dan kemudian beralih ke Kesultanan Cirebon, pasca runtuhnya Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggana.29 Setelah tahun 1570, Banten

di bawah Sultan Hasanuddin, memisahkan diri dari Cirebon. Wilayah kekuasaan Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670 meliputi daerah Jayakarta (lepas ke tangan VOC sejak 1619), Banten (seluruh daerah propinsi Banten sekarang) dan sebagian besar daerah Lampung. Batas daerah kekuasaan Banten di barat hingga ke perbatasan dengan Kesultanan Palembang, di sebelah timur berbatasan dengan kota benteng Batavia dan punggung timur gunung Halimun yang menjadi kekuasaan Mataram sejak Sultan Agung.30

Pemilihan Surosowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten, tampaknya didasarkan atas pertimbangan antara lain karena Surosowan lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, maka pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.

Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten telah menjadi pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian. Sungai itu dapat dilayari oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam.31

Kemunculan Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.

28 Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, cet. I 2004.

29 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm.69

30 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994), hlm.30

31 Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet. I 2004. Ebook chm


(21)

21

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya, Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan.

Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang menceritakan kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin wafat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar yang disandang sebelumnya.

Karena Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 maka aktivitas perdagangan pindah ke Aceh, Banten, Cirebon dan Demak termasuk para pedagang dari Arab, Persi dan Cina. Mereka tidak mau melewati Malaka karena Portugis menetapkan aturan pajak/cukai dagang yang tinggi serta memonopoli perdagangan dan perlakuan yang kasar terutama kepada pedagang muslim.

Lahirnya Jayakarta

Perluasan Islam di Banten sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten, sementara untuk wilayah Timur pengembangan agama Islam didorong oleh kerajaan Demak, Sultan Trenggono, raja Demak ke-3 pengganti Adipati Unus bercita-cita meluaskan Islam di seluruh pulau Jawa.

Melihat perluasan agama Islam yang pesat hal ini mengkhawatirkan raja Padjajaran Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi, maka ia mengirim anaknya Surawisesa untuk mengadakan persahabatan dengan Portugis di Malaka karena khawatir mereka di serang oleh Demak, Cirebon dan Banten. Portugis menyetujui akan membantu Padjajaran asal mereka diijinkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa.

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan

Inderapura), Sultan Munawar Syah.”


(22)

22

Mendengar perjanjian tersebut Sultan Trengono marah dan segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Fatahillah tahun 1527. Dengan bantuan penduduk Padjadjaran Fatahillah dapat menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa, atas persetujuan Sultan Demak dan Syarif Hidayatullah Fatahillah diangkat menjadi adipati Sunda Kelapa, yang kemudian diganti menjadi Jayakarta. Penguasaan Sunda Kelapa mempunyai arti penting bagi kerajaan Demak karena:

1. Dengan dikuasainya Banten dan Demak, maka akan memudahkan pengembangan pengaruh Islam ke Pajajaran di kemudian hari.

2. Banten dapat dijadikan tempat yang strategis bagi perluasan wilayah Demak ke Pantai selatan Sumatera, Lampung dan Palembang yang kaya lada, cengkeh, dan kopi.

3. Dengan dikuasainya pantai utara Jawa yaitu Banten, Cirebon dan Sunda Kepala maka kekhawatiran Demak atas pengaruh Portugis di Pulau Jawa dapat diatasi.

4. Banten juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam untuk masyarakat Jawa Barat dan sebagian sumatera selatan yang animis.32

Kejayaan Banten dengan Syariat Islam

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, dan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun

tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.33

Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten merupakan Kesultanan Islam di Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan Aceh yang mendapat gelar Serambi Makkah ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah Haji, gelar yang pertama kali di miliki raja Jawa. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan yang paling ketat melaksanakan hukum Islam.Di masa Sultan Ageng, diberlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk pencurian harta secara berturut-turut senilai sekurang-kurang nya satu gram emas.34

Sultan Ageng mempunyai mufti Syaikh Yusuf al-Makasari yang melihat dari nama nya, berasal dari Makasar. Sejak muda, Sultan Ageng (yang waktu itu masih

32 Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www. file.upi.edu

33 Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press.

34 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 142

Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan yang paling ketat melaksanakan hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, diberlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk pencurian harta secara berturut-turut senilai sekurang-kurang nya satu gram emas.”


(23)

23

putra mahkota) bersahabat dengan Muhammad Yusuf yang sesudah belajar di kampungnya sendiri di Makasar, singgah di Banten dan kemudian belajar ke Aceh selanjutnya ke Makkah selama ± 30 tahun. Sekembalinya di Indonesia, Kerajaan Makassar telah dikalahkan Belanda, maka Yusuf yang telah menjadi ulama besar diminta untuk menjadi mufti di Banten sekaligus menjadi menantu sahabatnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual.

Demikianlah keberagamaan kerajaan Banten beserta pelaksanaan syariat Islam kelihatan lebih ketat dibandingkan kerajaan Islam lainnya di Jawa. Ini terjadi karena Banten yang mempunyai hubungan internasional dengan Negara Islam besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa lain yang berdagang di Banten antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu. Walaupun kedudukan Banten kemudian kalah dengan Jayakarta (yang kemudian menjadi Batavia) yang dijadikan pusat perdagangan oleh Belanda, sehingga Banten menjadi mundur, Sultan Ageng di tawan Belanda, Syaikh Yusuf di buang, tetapi pelaksanaan syariat Islam masih tetap ketat. Ketika pada tahun 1813 Kesultanan Banten dibumihanguskan oleh Daendels, keturunan Sultan Ageng masih terus mengembangkan syariah Islam, salah seorang di antaranya adalah Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897 M).35

„

Negara Islam Giri di Gresik

Setelah mengadakan aktifitas dakwahnya dengan melalui perdagangan, lama kelamaan akhirnya dalam diri Sunan Giri timbul pikiran untuk merealisasikan pesan yang pernah diberikan oleh gurunya di Pasai, yaitu mendirikan tempat sebagai pusat untuk berda’wah. Raden Rahmat, guru beliau sangat menyetujui dan mendukung rencana tersebut. Demikian juga ibu angkatnya yang ada di Gresik memberikan izin untuk melaksanakan tugas itu.

Untuk mendapatkan tempat yang strategis sesuai dengan yang disarankan oleh gurunya (Syeh Awwalul Islam). Sunan Giri bermunajat mohon pertolongan kepada Allah, beliau kemudian berjalan menuju bukit yang letaknya berada di sebelah selatan kota Gresik itu bukit Giri. Di sekitar bukit itu akhirnya ditemukan sebuah tempat yang sekarang terletak di desa Sidomukti. Di tempat inilah Sunan Giri mulai mendirikan Masjid dengan pesantren serta mendirikan rumah untuk para keluarganya. Pada taraf perkembangan, tempat tersebut menjadi pusat kekuasaan Giri, yaitu dengan terwujudnya kedaton Giri.36 Kekuasaan Giri setelah wafatnya Raden hahmat (1475

M) menjadi lebih besar, sebab antara Ampel Denta dengan Gresik digabungkan ke Gresik atas izin raja Majapahit.37

Dalam perkembangan selanjutnya, pusat lembaga dakwah yang telah didirikan oleh Sunan Giri juga mengalami perkembangan fungsi, jika pada awalnya khusus

35 Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 39. 36 Ali Eri'an, Op.cit, hal. 43-44

37 Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 145-146

Di

Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan

tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual.”


(24)

24

untuk aktifitas pendidikan keagamaan, maka sejak meninggalnya Raden Rahmat, pusat keagamaan itu juga sebagai pusat kegiatan politik. Hal ini disebabkan adanya legalitas yang telah diberikan oleh pemerintah Majapahit kepada Sunan Giri yang telah menjadikan Giri sebagai daerah pusat gubernuran atas Gresik dan Surabaya.38

Kekuasaan Giri yang berpusat di Kedaton Giri merupakan pola pemerintahan ulama, sebagai embrio berdirinya kerajaan Islam Demak, dari Girilah para ulama menyusun satu kekuatan dan memfokuskan segala aktifitas yang menyangkut kepentingan umat Islam pada saat itu.

Sinar-sinar Islam mulai dipancarkan ke berbagai daerah di Nusantara terutama daerah-daerah yang masih berbau Hindu dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dengan keagungan dan kebesaran Islam dalam waktu yang relatif singkat, daerah-daerah di sekitar Giri seperti Tuban telah berkiblat kepada Giri, demiklan juga dengan para bupatinya segera memeluk agama Islam.39

Sunan Giri berusaha menyebarkan Islam ke wilayah timur dengan mengirim para muballigh ke daerah tersebut. Diantaranya ke pulau Madura, Kangean, Bawean, Ternate, dan Haruku di kepulauan Maluku.40

Dalam menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan ulama selain aktif mengajarkan agama kepada ummat, beliau juga menentukan kebijaksanaan politik ummat Islam yang berjalan pada waktu itu. Dengan sikap kharismatik dan kebijakan yang telah dimiliki maka segala persoalan yang menyangkut kelangsungan Islam terutama dibidang politik, beliaulah yang menentukan bahkan sebagai faktor utama dalam pengangkatan seorang Sultan atau Raja.41 Maka Sunan Giri oleh penulis Barat

disebut sebagai semacam ‘Paus Jawa’ atau imam Jawa.

Kedudukan Sunan Giri yang begitu penting di mata masyarakat, akan lebih mempermudah untuk melancarkan pengaruhnya terhadap para penguasa daerah-daerah kecil yang ada di pesisir utara laut Jawa yang menjadi bawahan Majapahit, juga para penguasa yang ada di wilayah Nusantara bagian Timur seperti Kalimantan, Maluku dan sebagainya. Telah diberitakan bahwa raja Ternate, Zaenal Abidin (1486-1500) masuk Islam juga karena mendapatkan dakwah Sunan Giri di kedaton Giri. Menurut hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Rijali, bahwa yang mengantar raja Zaenal Abidin ke Giri adalah Jamilu dari Hitu. Bahkan sekembali nya dari Jawa, raja tersebut membawa muballigh yang bernama Tuhubahalul.42

Dengan adanya para penguasa yang telah memeluk Islam tersebut, secara politis Sunan Giri dapat mempengaruhi mereka dalam mengendalikan pemerintahannya. Maka segala hal yang berkaitan dengan urusan pemerintahannya baik di segi politik, ekonomi, pendidikan maupun kebudayaan, sedikit banyak akan dapat diwarnai dengan nilai-nilai Islam.

Sejalan dengan pertumbuhan Islam di Jawa Timur yang telah dimotori oleh Raden Rahmat dan Sunan Giri berkembang begitu pesat dan mempunyai pengaruh

38 Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta, 1977, hal. 333. 39 Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979 , hal 81

40 Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979, hal. 143 41 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 121

42 Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka, Jakarta, 1984. h.22

Sunan Giri berusaha menyebarkan Islam ke wilayah timur dengan mengirim para muballigh ke daerah tersebut. Diantaranya ke pulau Madura, Kangean,

Bawean, Ternate, dan Haruku di kepulauan Maluku.”


(25)

25

sangat besar terhadap masyarakat khususnya pada masyarakat pesisir utara Jawa Timur. Sementara dipihak pemerintahan pusat Majapahit terjadi kemunduran akibat terjadinya pergolakan politik. Lama kelamaan penguasa Majapahit menaruh kecurigaan terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sunan Giri, sehingga pihak Majapahit di bawah kekuasaan Wirabhumi (1478 M) berusaha menghancurkan pusat dakwah di Giri, tetapi mengalami kegagalan karena pertahanan Sunan Giri cukup kuat. Hal ini adalah bukti yang menunjukkan berkembang pesatnya peranan kekuasaan politik Giri dibawah pimpinan Sunan Giri.

Berangkat dari kegagalan serangan tersebut dan melihat semakin berpengaruhnya Islam terhadap kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Timur yang telah dipelopori oleh Sunan Giri dan Raden Rahmat, maka Raja Majapahit berusaha kompromi dengan kedua tokoh tersebut, yaitu dengan jalan mengakuinya sebagai orang-orang besar kerajaan Majapahit.43

Raden Rahmat, bersama para ulama lainnya telah sepakat menempuh jalur diplomasi dalam menghadapi tekanan Majapahit, tetapi adanya situasi politik yang semakin buruk, yaitu adanya serangan yang telah dilancarkan oleh Dyah Ranawijaya Girindrawardhana dari Keling atas Majapahit, maka menjadikan Sunan Giri bersikap ofensif terhadap pemerintahan Majapahit yang dikuasai pemberontak. Penyerbuan Girindrawardhana tersebut terjadi pada tahun 1478 M. yang mengakibatkan jatuhnya Majapahit ke tangan pemberontak.44

Menurut penilaian sunan Giri, sebetulnya yang lebih berhak menggantikan kedudukan kekuasaan Majapahit adalah Raden Fatah, bukan Girindrawardhana. Ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Raden Fatah adalah putera Bhre Kertabumi sebagai penguasa Majapahit pada waktu itu. Maka dengan memihak Demak, Sunan Giri bersama-sama para wali yang lain mendampingi Raden Fatah untuk mengadakan operasi terhadap ibu kota Majapahit yang ada di tangan pemberontak; dan akhirnya pemberontak dari Keling dapat ditundukkan dan Majapahit dapat direbut kembali. Maka kemudian berdirilah kerajaan Islam Demak pada tahun 1478 M.45

Ketika Demak mencapai kemenangan dan menggantikan kedudukan Majapahit, Sunan Giri sebagai pimpinan ulama pada saat itu segera mengangkat Raden Fatah untuk dinobatkan sebagai Raja pertama di kerajaan Islam Bintara Demak. Sedangkan Sunan Giri sendiri diangkat sebagai menteri dan merangkap sebagai penasehat hulubalang kerajaan.46

Kedaton Giri menjadi daerah bawahan Demak, tetapi penguasa pusat memberikan hak otonomi bagi Giri. Hal ini dapat diterima, sebab kekuasaan Giri waktu itu adalah sebagai pendukung yang dapat dijadikan sebagai patner dalam menegakkan kerajaan Demak. Sehingga dalam mengendalikan kekuasaannya selama

43 Umar Hasyim, op.cit, hal. 84

44 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa Ban Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara, Bhatara, Jakarta, 1968, hal. 407 juga; Umar Hasyim, op.cit, hal. 56-57

45 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1981, hal. 274-275

46 Umar Hasyim, op.cit, hal. 86

Lama

kelamaan penguasa Majapahit menaruh kecurigaan

terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sunan Giri, sehingga pihak Majapahit di bawah kekuasaan Wirabhumi (1478 M) berusaha menghancurkan pusat dakwah di Giri, tetapi mengalami kegagalan karena pertahanan Sunan Giri cukup kuat.”


(26)

26

pemerintahan Demak berlangsung, tetap mendapatkan kebebasan untuk berkuasa hingga beliau wafat, yaitu pada tahun 1506 M.47

Mengenai keadaan ekonomi di Gresik pada abad ke-16, Tome Pires menyatakan bahwa; Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi yang dilakukan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-kiu dengan Gresik. Serta ada aktifitas perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.48

Para pelaut dan pedagang Gresik telah memperkenalkan nama Giri di Abad ke-18 dan 17 di banyak pantai-pantai timur Nusantara. Dalam kisah di Lombok, Giri mempunyai kedudukan penting, disebutkan Pangeran Prapen dari Giri (penerus sunan Giri) dengan armadanya singgah di Pulau Sulat dan Sungian. Ia telah berhasil menundukkan Raja kafir di teluk Lombok untuk mengakui kekuasaan Islam. Kemudian ia memasuki tanah Sasak dan berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi kedua berusaha membebaskan Bali namun gagal karena perlawanan sengit Raja Dewa Agung.

Tahun 1565 orang-orang Hitu mengadakan perjanjian dengan Raja Giri untuk mendapat perlindungan dari tentara Portugis. Para prajurut Jawa kurang lebih selama 3 tahun berada di suatu tempat yang beberapa tahun sesudahnya masih disebut sebagai “Kota Jawa”.

Pada permulaan abad 17 tidak jarang orang Belanda bercerita tentang seorang ulama yang mereka namakan “Paus Islam” atau “Raja Imam”. Di bidang politik dan ekonomi para sunan di Giri mempunyai kedudukan jauh lebih penting dibanding dengan sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Selama dua abad, Giri mampu mempertahankan eksistensinya dari mulai masa Majapahit sampai masa Mataram.49

Setelah tahun 1589 Kedaton Giri menjadi tempat berlindung bagi Raja-Raja Jawa Tengah dan Jawa Timur yang wilayahnya diduduki tentara Mataram. Saat Sultan Agung berkuasa, raja terakhir giri tidak mau tunduk di bawah Mataram, sehingga

47 Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da'wah Islamiyah Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974. h. 129 dan 150

48 De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.174 49 Ibid. h.193


(27)

27

Sultan Agung telah berhasil merebut Surabaya kemudian mengutus Pangeran Pekik dari Surabaya (keturunan Sunan Ampel) untuk menaklukkan Giri.

Episode Kedua

„

Negara Islam Mataram

Nama Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna merah menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama Mataram diberi arti sama dengan kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu Pertiwi. Sebelum tahun 1000 M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Hindu. Pada abad ke-14 saat Majapahit mencapai puncak kejayaan, bumi Mataram dipandang kurang penting. tidak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para Raja Mataram kuno yang hidup beberapa abad sebelumnya masih dikenang di Majapahit.50

Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati

Mataram pada mulanya hanyalah merupakan hutan yang penuh tumbuhan tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, lima abad sebelum berdirinya kerajaan Mataram (Islam) yang kita bicarakan sekarang ini.

Wilayah ini di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang - Jaka Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis” yang kemudian populer dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukkan wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam di bawah panji kerajaan Pajang. Wilayah Mataram dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka mengalahkan musuh negara Pajang, Aria Penangsang di Jipang Panolan.

Ki Pamanahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun 1577 M sampai tutup usianya di tahun 1584.51 Setelah wafat ia diganti putranya,

ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama (karena keberaniannya dan kemahirannya dalam berperang) atau mashur dengan Panembahan Senopati.52

Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan bawahan Pajang, ia sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi penyerbuan di bawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang.

50 Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012), hlm.176-180

51 H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985, hal. 277-282.

52 Kartodirdjo, Sejarah Xasional. III. hal. 286

Mengenai keadaan ekonomi di Gresik pada abad ke-16, Tome Pires menyatakan bahwa; Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi yang dilakukan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-kiu dengan Gresik. Serta ada aktifitas perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.”


(28)

28

Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk memproklamasikan dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.53 Senapati

memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua memperluas wilayah kerajaan Mataram ke seluruh Jawa.54

Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan sebagian di Jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588 (konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) menyusul kemudian Madiun pada tahun 1590 dan Jepara pada tahun 1599. Pada tahun yang bersamaan Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat bertahan hingga diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung.55

Sutawijaya dinilai berhasil membangun Mataram. Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.56 Di

sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram.57

Panembahan Senopati mangkat pada tahun 1601 digantikan putranya yang bernama Mas Jolang atau Ki Gede Mataram yang kemudian masyhur dengan julukan Panembahan Sedo Ing Krapyak, yang memerintah tahun 1601 sampai 1613. Dalam menjalankan roda pemerintahan Sultan yang baru naik tahta ini tidak memiliki watak agresif sebagaimana bapaknya, ia lebih cenderung mengadakan pembangunan dibanding ekspansi. Banyak sekali dijumpai bangunan-bangunan yang sebelumnya tidak ada, seperti : Prabayeksa (tempat kediaman raja) dibangun pada tahun 1603,

Taman Danalaya pada tahun 1605, membuat lumbung di Gading tahun 1610 dan lain-lain. Maka ia terkenal sebagai raja yang ahli membangun. Kecenderungan yang ia sukai ialah berburu, ia mempunyai daerah khusus untuk perburuan yang dinamakan dengan krapyak.58

Raden Mas Jolang diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Menjelang wafatnya, RM Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman.

53 Ibid. h.285

54 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 70 55 Ibid, h.295

56 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 70

57 Prof. dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 226

58 H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta. Cet. I. 1986, h22-23

Sutawijaya dinilai berhasil membangun Mataram. Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati

Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui

kekuasaan Mataram.”


(29)

29

Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami kejayaan.59

Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645)

Raden Mas Rangsang diangkat menjadi Raja baru yang memakai nama Sultan Agung Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil ibukotanya di Kota Gede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Tempat yang terletak kira-kira 5 km di sebelah barat daya Kota Gede. Secara adminsitratif sekarang Karta merupakan sebuah dusun di desa Pleret. Sultan Agung dikenal dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir dan kerajaan-kerajaan Hindu di Blambang, tetapi juga para penguasa asing yang berusaha menjajah Nusantara. Misalnya, Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak diangkatnya, ia selalu mengangkat senjata dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.60

Berbeda sekali dengan ayahnya, ia termasuk figur pemimpin yang keras dan tegas tetapi bijaksana. Nampaknya karakter itu ia warisi dan almarhum kakeknya. Ia juga yang telah meneruskan ekspansi-ekspansi ke berbagai wilayah yang pada masa Panembahan Senopati masih belum tuntas.61 Sultan Agung dikenal sebagai raja yang

kuat, bijaksana, cakap, dan perekonomian masyarakat Mataram berkembang sangat pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang melimpah ruah. Wilayah kekuasaan Mataram juga bertambah luas setelah masa pemerintahan Sultan Agung.62

Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas, dan taat dalam menjalankan agama Islam. Oleh sebab itu, pada masa pemerintahannya, kerajaan Islam Mataram mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kerajaan terbesar di pulau Jawa pada saat itu. Menurut kesaksian salah seorang saudagar dari Eropa yakni Balthasar van Eyndhoven, menyatakan bahwa Sultan Agung adalah seorang

59 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994. h.24-25

60 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007), hlm.85-87

61 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nsantara Abad XVI dan XVII, h.25

62 Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011, h.322.

Sultan Agung dikenal dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah Nusantara.”


(1)

Jepara ditandatangani, Amangkurat II dan Belanda melakukan penyerangan ke Mataram dan berhasil memukul mundur aliansi Raden Kajoran. Dengan demikian, Sultan amangkurat II berhasil merebut kembali tahta Mataram.

Walaupun Sultan Amangkurat II meduduki Mataram dan berusaha mengembalikan fungsi ulama, tetapi persoalan Mataram semakin runyam dengan campur tangan Penjajah Belanda.113 Sejak 1743 Mataram hanya memiliki

wilayah-wilayah Begelen, Kedu, Yogjakarta, dan Surakarta. Tragisnya, Mataram harus terpecah menjadi dua oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Susuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).

Pada tahun 1757, Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan


(2)

„

Kesimpulan

Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negara-negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah Negara atau negara Islam.

Demak dan Mataram serta negara yang lebih kecil lainnya telah menjadikan Islam sebagai konstitusi negara dan membentuk lembaga peradilan yang memutuskan hukumnya berdasar syariat Islam. Hukum Islam diberlakukan bagi seluruh pejabat maupun rakyat di negara-negara tersebut. Dilengkapi dengan jihad fi sabilillah (perang sabil) melawan penjajah kafir sebagai kebijakan politik luar negerinya.

Berdasarkan fakta sejarah di atas terlihat bahwa; negara-negara Islam tersebut mengalami kejayaan dan masa keemasan ketika konsisten dengan syariat Islam. Sebaliknya mulai dan mulai mundur, merosot dan menuju kehancuran ketika berpaling dan mulai meninggalkan ajaran Islam.

Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi jika ada wacana untuk mengembalikan negara Islam di tanah Jawa bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal (local wisdom). (K. Subroto)


(3)

Achmad Ridwan (Skripsi);

”Perkembangan Pengadilan Pradata Masa

Reorganisasi Bidang Hukum di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903”;

Universitas Sebelas Maret Surakarta – 2010

Ade Soekirno,

Cerita Rakyat Jawa Tengah: Pangeran Samber Nyawa

(Jakarta: Grasindo, 1993)

Agus Sunyoto,

Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah

, Tangerang : Transpustaka,

2011.

Ahmad al-‘Usairy,

Sejarah Islam

, Jakarta: Akbarmedia, 2003

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 1, Penerbit Surya Dinasti Bandung cet.2 tahun 2015

Bakdi Soemanto, Cerita Rakyat dari Yogyakarta 3 (Yogyakarta: Grasindo, 2003), Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009)

Capt. R. P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003

Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010 Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www. file.upi.edu

Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993

Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press.

G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di

Daftar Pustaka


(4)

Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005)

H. J. De Graaf And Tieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700, Springer-Clence Business Media, B.V.

H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985

H.J. De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, Pustaka Grafitipers Jakarta, cet. I tahun 1987

H.J. De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989

H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta. Cet. I. 1986

H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990)

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981

Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961) Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003)

J.B.Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007)

K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017

Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011, Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, cet. I 2004.

Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012)

Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka, Jakarta, 1984

Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983),

Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1978)

Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007)


(5)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004

Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000)

Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet. I 2004. Ebook chm

Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994

Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 2006), hlm. 72. Lihat juga R. Tresna, 1978, Peradilan Agama dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978)

Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da’wah Islamiyah Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974

Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012)

Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004

Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Sejarah Kehidupan Kraton Dan Perkembangannya Di Jawa, Yogyakarta : Media Abadi, 2007

R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987)

Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi, 2005

Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987

Rochmat Gatot Santoso, Kebijakan Politik Dan Sosial-Ekonomi Di Kerajaan Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarya 2016

Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1981

Salman Inskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: MIZAN, 2009)


(6)

Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa, SYAMINA Edisi II Januari 2016

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996

Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987

Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta, 1977

Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah Ringkas (Jepara:1991)

Tresna R. “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”. Pradnya Paramita. Jakarta 1978.Cetakan Ke-3.

Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979

Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994