Lapsus edisi 6 2017 state terror
TERORISME NEGARA
K. Mustarom
Laporan Khusus
Edisi 6 | Mei 2017
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan
sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan
dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini
merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang
ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap
hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode
analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan
ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
[email protected].
Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org
Daftar Isi
Executive Summary _____________________________________________________ 1
Pendahuluan __________________________________________________________ 3
Sejarah Terorisme ______________________________________________________ 8
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat ________________________________________ 12
Diskursus Terorisme Negara _____________________________________________ 21
Moralitas Terorisme Negara _____________________________________________ 28
Manajer Teror ________________________________________________________ 31
Kesimpulan __________________________________________________________ 38
01
Executive Summary
Executive Summary
Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme . Kata ini pada awalnya
berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak. Definisi ini
bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme
sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai
yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan
yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah bentuk terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
kelaparan, dan genosida di abad ke 20. Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri, sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.
Gagasan bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah telah menjadi
sebuah kebenaran yang seolah tidak bisa disangkal lagi. Kita sering diberitahu
bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan dan sumber
02
Executive Summary
daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan
mengerikan.
Sedangkan
negara
digambarkan
hanya
pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
sekadar
melakukan
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
03
Pendahuluan
Pendahuluan
Topik mengenai terorisme meningkat secara tajam sejak serangan 11
September 2001. Sejak saat itu, George W. Bush mendeklarasikan perang melawan
teror untuk memburu musuh peradaban yang berpartisipasi dalam terorisme.
Banyak yang lupa bahwa perang melawan teror juga sudah dideklarasikan oleh
Ronald Reagen pada tahun 1980-an untuk memerangi kelompok yang ia tuduh
teroris di Timur Tengah dan Amerika Latin.
Retorika dan narasi tunggal yang luar biasa tentang perang melawan teror
membuat kita kadang-kadang lupa akan beberapa pertanyaan kunci. Tidak banyak
yang berani bertanya, apa itu definisi terorisme?
Apa yang membedakannya
dengan perjuangan perlawanan yang sah? Siapa yang sebenarnya melakukan aksi
teror, negara ataukah non-negara? Apakah Amerika Serikat, yang menjadi dirigen
utama perang melawan teror dan mengklaim sebagai wakil dari masyarakat
beradab, pernah melakukan atau mensponsori terorisme? Ataukah terorisme
memang mutlak hanya dilakukan oleh kelompok Islam radikal?
Para politisi dan penguasa di banyak negara sering menggunakan segala cara
untuk mempengaruhi rakyatnya bahwa terorisme adalah perkara kriminal dalam
bentuk yang unik dan spesial.
Mereka memposisikan teroris dalam kategori kejahatan psikopat, dengan
menonjolkan sisi kekerasan tidak beradabnya. Mereka memposisikan teroris
melakukan hal di luar batas masyarakat beradab, dan karenanya tidak bias
dilakukan negosiasi dan perdamaian terhadap mereka. Mereka mengatakan bahwa
terorisme adalah masalah yang paling berbahaya di zaman ini.
Konsep mengenai terorisme ini banyak dibicarakan, namun tidak banyak yang
memahami. Ide mengenai terorisme terus menerus berubah, dibentuk, dan
didistorsi untuk mendukung agenda politik tertentu.
Hasilnya, konsep mengenai terorisme menjadi hal yang berantakan. Tidak ada
definisi pasti yang bisa diterima. Beberapa rezim otoriter menggunakan istilah itu
04
Pendahuluan
untuk menghancurkan citra lawan politiknya. Arab Saudi, Mesir dan kebanyakan
negara-negara teluk menyebut partai politik yang menganjurkan perubahan
demokratis yang damai sebagai teroris .1
Pada saat yang sama, di Inggris, konsep terorisme telah diubah sedemikian
rupa sehingga ia tidak hanya berlaku untuk aksi kekerasan, namun juga berlaku
terhadap aktifitas lain yang tidak memenuhi kriteria untuk disebut kekerasan .2
Teroris didefinisikan tidak hanya untuk orang yang melakukan kekerasan, namun
juga orang-orang yang pandangannya dapat menjadi ancaman bagi negara Inggris
atau nilai-nilai dan cara hidup mayoritas masyarakat Inggris. Di sini, konsep
terorisme telah berubah menjadi bagian dari alat penindasan oleh negara.
Studi mengenai teror negara seringkali diabaikan di kalangan para akademisi.
Mereka cenderung hanya menyematkan istilah tersebut pada pemerintah teror
pada masa Revolusi Prancis, atau pemerintahan Stalin di Rusia. Seiring dengan
waktu, istilah tersebut hilang ditelan masa dan dana, terutama pasca peristiwa 11
September.
Gagasan bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah seolah telah
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak, tidak bisa disangkal lagi. Kita sering
diberitahu bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan
dan sumber daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang
ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar
melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
Jadi, jika Anda memiliki legitimasi politik, mampu mengkomando pasukan
militer dengan persenjataan yang kuat dan canggih, serta mampu mempengaruhi
dunia internasional, maka Anda tidak bisa disebut sebagai teroris. Terorisme bukan
lagi soal metodologi, tapi kini bergeser ke ideologi. Bukan lagi apa yang dilakukan,
tapi siapa yang melakukan. Tak peduli berapa banyak korban yang sudah
1
2
https://www.pri.org/stories/2010-12-22/political-activists-charged-terror-saudi-arabia
http://roar.uel.ac.uk/4824/1/Characterising%20the%20UK%20Terrorist%20Threat.pdf
05
Pendahuluan
dijatuhkan, jika yang melakukan adalah others , pihak lain, maka itu adalah
terorisme, jika yang melakukan us , kita, bukanlah terorisme. Narasi tunggal
tentang terorisme begitu dominan, hingga kita kehilangan pandangan akan adanya
alternatif. Konsep mengenai terorisme pun menjadi hanya satu dimensi , tidak ada
lagi konten selain kata-kata yang sudah dipublikasikan dan distandarisasi
penggunaannya.3
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Departemen Luar Negeri AS mengestimasi bahwa kematian yang disebabkan
oleh terorisme transnasional secara global antara tahun 1975 hingga tahun 2003
mencapai 13.971 jiwa. Sedangkan US National Consortium for the Study of
Terrorism Database menyatakan bahwa korban tewas akibat insiden terorisme di
AS sejak tahun 1970 hingga tahun 2007 mencapai 3.292, dan sebagian besar
diantaranya akibat serangan 11 September 2001.4 Di sisi lain, sebagai contoh, sejak
tahun 1975 hingga tahun 1999, pemerintah Indonesia yang diback-up oleh
Amerika melakukan represi di Timor Timur yang menyebabkan terbunuhnya 200
ribu jiwa atau seperempat dari total populasi waktu itu.5 Kesimpulannya, bahwa si
kuat bisa melakukan teror yang jauh lebih mengerikan dibanding si lemah
teroris
non-negara adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, akhir-akhir ini kita
dihadapkan pada satu ketidakseimbangan pembahasan mengenai berbagai bentuk
terorisme.
Dalam sebagian besar diskursus, pikiran bahwa negara bisa melakukan
terorisme cenderung dikesampingkan. Misalnya, pemerintah AS mendefinisikan
terorisme sebagai kekerasan yang dimotivasi secara politik yang dilakukan
3
Herbert Marcuse, “One-Dimensional Man,” Boston: Beacon Press, 1964, hal.87.
Mark G. Stewart, John Mueller, “Acceptability of Terrorism Risks and Prioritising
Protective Measures for Key Infrastructure,” 2010.
5
Jonathan Barker, “The No-Nonsense Guide to Global Terrorism,” Oxford: New
Internationalist, 2008, hal.72.
4
06
Pendahuluan
terhadap target non kombatan oleh kelompok non-negara atau agen rahasia. 6
Departemen Luar Negeri AS dan CIA mengambil definisi ini. Mereka membatasi
bahwa
terorisme
hanya
dilakukan
oleh
kelompok
mengesampingkan pelaku dari pihak negara.
non-negara,
dan
Dalam pandangan hukum AS, dan juga sebagian besar negara di dunia, negara
dan agen-agennya yang melakukan kekerasan yang sama atau bahkan lebih kejam
dibandingkan
kekerasan
yang
diklasifikasikan sebagai teroris.7
dilakukan
kelompok
non-negara
tidak
Lain lagi dengan FBI. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekuatan dan kekerasan yang tidak sah secara hukum terhadap orang atau harta
benda untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat
sipil, atau segmen masyarakat lainnya, untuk mencapai tujuan politik atau sosial.8
Definisi ini seolah-olah tidak mengesampingkan kemungkinan dilakukannya
terorisme oleh negara, namun penggunaan kata
membawa sejumlah implikasi. Hal ini dikarenakan:
tidak sah secara hukum
(a) pasukan keamanan negara dianggap tidak melakukan terorisme atas dalih
menjalankan tugas yang sah secara hukum;
(b) jika otoritas negara mengeluarkan legislasi sementara atau darurat atas
nama alasan keamanan, atau bahkan membentuk aparat teror di bawah
sistem hukum yang sah, maka tindakan-tindakan mereka akan mendapat
dukungan hukum.
The US Army Field Manuals juga mengikuti jalur yang sama, dengan
menyatakan bahwa
terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang tidak sah secara hukum untuk menancapkan ketakutan... yang
6
US Code, Title 22, Section 2656f
Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, Cambridge: Polity Press,
2006, hal.55
8
Code of Federal Regulations, Title 28, Section 0.85
7
07
Pendahuluan
diniatkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat.
Mereka juga mengklaim bahwa musuh yang tidak bisa bersaing dengan tentara
konvensional lah yang seringkali menggunakan taktik teror. Kemungkinan bahwa
pihak negara, atau pihak non-negara yang bukan musuh, melakukan tindakan teror
tidak pernah dipertimbangkan.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa fokusnya pada terorisme?
Kenapa bukan genosida atau kejahatan perang? Satu alasan yang jelas adalah kata
terorisme mempunyai signifikansi retorika yang luar biasa, terutama di Amerika
Serikat sebagai pemilik hegemoni dunia saat ini. Sejak Presiden Ronald Reagen
mendeklarasikan perang melawan terorisme internasional pada awal tahun 1980an, terorisme menjadi pusat bagi pencitraan Amerika. Terorisme menjadi alat yang
dipakai untuk mendefinisikan musuh. Dalam proses pencitraan tersebut, mereka ,
musuh Amerika lah, yang teroris, bukan Amerika. Pola ini kemudian dipakai oleh
rezim tiran lain sekutu Amerika untuk menggunakan hal yang sama.
Istilah terorisme juga memegang peran signifikan karena ia adalah sebuah aksi
yang didefinisikan oleh tujuan politiknya. Dengan kata lain, terorisme bukan hanya
membunuh atau menciderai, tapi bagaimana tindakan tersebut berkaitan dengan
strategi yang lebih luas.
Secara umum ada beberapa parameter yang menjadi pusat dari konsep
terorisme: (a) kesengajaan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan; (b)
diarahkan terhadap warga sipil; (c) dengan tujuan untuk menancapkan ketakutan di
kalangan masyarakat di luar korban langsung; (d) untuk meraih tujuan politik.9
Dengan parameter tersebut paling tidak kita bisa menentukan mana tindakan
negara yang bisa dipandang sebagai bentuk terorisme.
9
Cihan Aksan, Jon Bailes, "Weapon of the Strong: Conversations on US State Terrorism,"
London: PlutoPress, hal. 4.
08
Sejarah Terorisme
Sejarah Terorisme
Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme .
Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok
pemberontak.
Definisi
ini
bahkan
pernah
diakomodir
dalam
Kamus
Oxford,
yang
mendeskripsikan terorisme sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan
dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan,
kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan
sebagai teroris.
Istilah tersebut muncul kembali pada pertengahan abad 19. Kali ini, istilah
tersebut dilabelkan kepada cara yang digunakan oleh kelompok anarkis untuk
melawan Rezim Tsar di Rusia. Istilah terorisme tanpa awalan huruf kapital tersebar
“Terorisme
adalah
pemerintahan
intimidatif yang
diarahkan dan
dilaksanakan
oleh partai
yang memiliki
kekuatan”
--Oxford Dictionary
50 tahun sebelum Perang Dunia I, sebagai efek dari serangan tingkat tinggi
terhadap para pemimpin di Eropa dan terhadap Presiden Amerika, James A
Garfield10 dan William McKinley.11
Novel Joseph Conrad, The Secret Agent, menyebut kelompok teroris tersebut
sebagaimana definisi di atas. Istilah tersebut meliputi banyak variasi pelaku
10
11
https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/jamesgarfield
https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/williammckinley
09
Sejarah Terorisme
kekerasan, mulai dari pembunuhan rahasia atas inisiatif pribadi, maupun gerakan
teroganisir yang memiliki tujuan politik, seperti Irish Fenians.
Patut dicatat bahwa banyak gerakan teroris pada saat itu
diinfiltrasi dan bahkan disponsori oleh pemerintah.
terutama di Rusia
Kata teroris dan terorisme kembali hilang setelah pecahnya Perang Dunia I.
Hilangnya
istilah tersebut memiliki arti yang besar. Perang dunia
dan
totalitarianisme mengubah perspektif. Pertumpahan darah dan kebrutalan yang
terjadi pada tahun 1914 sampai tahun 1945 sangat mengerikan, yang membuat
pembunuhan dan kekerasan lain yang dilakukan oleh kelompok anarkis dan
nasionalis di Barat sebelum 1914
kelompok Islam setelah tahun 2001
atau bahkan teroris yang dituduhkan terhadap
seolah tidak ada apa-apanya.
Ada hal menarik yang patut diperhatikan. Makna awal terorisme yang berarti
penggunaan kekerasan oleh pemerintah demi tujuan politik untuk melawan
musuh-musuh internalnya
menerangkan dengan jelas apa yang terjadi setelah
1914 secara akurat. Penyerangan terhadap warga Rusia oleh Stalin,12 kekejaman
partai komunis Mao,13 serangan tentara Hitler terhadap rakyat sipil Eropa
semuanya cocok dengan definisi asli terorisme dalam kamus Oxford, yaitu teror
yang dilakukan oleh negara.14
Namun pemerintah-pemerintah tersebut jarang sekali disebut sebagai teroris.
George Orwell, novelis, wartawan, dan penulis politik Inggris, pernah
berkunjung ke Spanyol pada akhir 1930an dan mendeskripsikan kekejaman yang
dilakukan oleh pasukan Franco dan partai komunis oposisinya pada Perang Sipil di
Spanyol.15 Di situ, ia sama sekali tidak menggunakan istilah terorisme .
12
http://www.ibtimes.com/how-many-people-did-joseph-stalin-kill-1111789
http://www.nytimes.com/2004/01/09/opinion/a-bleak-anniversary-mao-the-massmurderer.html?_r=0
14
https://www.nytimes.com/2016/11/22/books/review/a-new-look-at-civilian-life-in-europeunder-hitler.html
15
http://www.salon.com/2014/01/11/the_war_that_made_orwell/
13
10
Sejarah Terorisme
Padahal banyak hal dalam laporannya yang hari ini bisa dianggap sebagai
terorisme. Memang, Orwell sendiri bisa diklasifikasikan sebagai teroris menurut
hukum Inggris sebagai konsekuensi keikutsertaannya bersama milisi anarkis dalam
Perang Sipil Spanyol.
Segera setelah Perang Dunia II, Inggris menghadapi perlawanan bersenjata di
Kenya, Aden, Malaysia, Palestina dan beberapa tempat lainnya.16 Perlawanan
tersebut hari ini pasti akan disebut sebagai pergerakan teroris.
Namun, Inggris jarang menggunakan istilah ini
hal ini dikarenakan
perlawanan-perlawanan tersebut terjadi di koloni jauh yang memang akan
ditinggalkan. Bahkan, dunia internasional mulai simpati terhadap gerakan anti
kolonialisme melawan Inggris.
Kekuatan imperial lain, seperti Prancis di Aljazair, lebih teguh untuk tetap
memegang apa yang dimilikinya dan menganggap koloni itu sebagai bagian dari
negaranya. Mereka
mencitrakan
lawannya
sebagai
teroris
dan
seringkali
menggunakan metode teroris (dalam arti sebenarnya) terhadap mereka. Terhadap
Aljazair, Prancis menjalankan terorisme dalam definisi originalnya, yaitu terorisme
yang dilakukan oleh negara.17
Konsep dan persepsi mengenai terorisme berubah secara drastis sejak
peristiwa 11 September.
Sejak serangan 11 September pada tahun 2001, dunia menggeser persepsinya
bahwa aktor non-negara pelaku kekerasan, yang biasa dilabeli terorisme global,
adalah ancaman utama bagi kebebasan dan keamanan. Dengan demikian, aksi
kekerasan yang dilakukan oleh selain aktor non-negara dan tidak dilabeli sebagai
aksi terorisme jarang diberitakan dan jarang mendapat perhatian.
16
https://www.theguardian.com/uk/gallery/2012/apr/18/colonial-archives-kenya-malayaaden
17
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/229/html
11
Sejarah Terorisme
Jika ditelaah, asumsi ini berakar dari definisi negara yang disampaikan oleh
Max Webber. Menurutnya, negara adalah komunitas manusia dalam wilayah
tertentu yang mengklaim monopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah.
Monopoli ini dianggap absolut. Karenanya, penggunaan kekerasan oleh aktor nonnegara dianggap tidak sah.
Dalam praktik maupun dalam teori politik, pandangan ini bukannya tanpa
perdebatan dan perlawanan. Di masa masa lalu, abad pertengahan, perlawanan
tersebut dilakukan dalam bentuk pembunuhan raja yang tiran, atau dalam bentuk
pemberontakan. Di era modern, perlawanan tersebut dilakukan dalam bentuk
perjuangan melawan kolonialisme, otoritarian, maupun rezim yang represif.
12
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Pada abad kedua puluh, negara modern kembali melanjutkan terornya.
Mereka bertanggungjawab atas terbunuhnya 170 juta hingga 200 juta manusia.18
Sebagian besar dari mereka dibunuh melalui kampanye terorisme negara seperti
yang dilakukan oleh Stalin di Rusia, Pol Pot di Kamboja, hingga rezim diktator di
Chili, Argentina, Afrika Selatan, Uganda, dan puluhan negara lainnya.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
"Negara
sekecil apapun
lebih
mempunyai
kekuatan untuk
melakukan
teror dibanding
organisasi
teroris nonnegara paling
maju
sekalipun.
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.19
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, dan sejumlah tempat lainnya.
18
Rummel, R.J. (1994) Death by Government, New Brunswick, NJ: Transaction Books.
Grosscup, B. (2006) Strategic Terror: The Politics and Ethics of Aerial Bombardment.
London: Zed Books.
19
13
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.20
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
Dalam ilmu politik, ada semacam konvensi yang membedakan antara
kekerasan yang dilakukan oleh negara dan kekerasan yang dilakukan oleh aktor
non-negara. Kekerasan pertama disebut sebagai teror, yang terakhir disebut
terorisme. Namun, akhir-akhir ini seiring dengan masifnya literatur tentang
terorisme non-negara, teror negara banyak dikesampingkan oleh para akademisi,
media, dan pemerintah. Alasan akan hal ini bukanlah pada fakta empirik, tapi lebih
kepada alasan politik dan ideologi.
Satu-satunya alasan yang dipaksa untuk membedakan antara teror negara dan
teror non-negara adalah karena teror negara dilakukan untuk mempertahankan
status quo, sedangkan teror non-negara dilakukan dalam rangka mencapai
perubahan politik. Selain itu, skala teror negara pun jauh lebih besar dibanding
teror non-negara. Penjelasan tentang ini diungkapkan dengan sangat baik oleh
Noam Chomsky dan Edward Herman, yang membedakan teror negara sebagai
teror grosir , sedangkan teror non-negara sebagai teror retail .
Jika terorisme diartikan sebagai intimidasi politik dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman, dan jika kita mengijinkan definisi tersebut meliputi
kekerasan oleh negara atau pejabat negara, maka kita akan menemukan bahwa
bentuk terorisme terbesar di dunia hari ini justru dilakukan oleh negara, para
agennya, atau aliansinya. Dan terorisme non-negara, jika dihitung secara kuantitas,
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding teror negara. Bahkan, negara sekecil apapun
lebih mempunyai kekuatan untuk melakukan teror dibanding organisasi teroris
20
Goodin, R. (2006) What’s Wrong with Terrorism? Cambridge: Polity Press.
14
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
non-negara paling maju sekalipun. Contoh, hanya negara teroris yang memiliki
senjata pemusnah massal atau memiliki kemampuan untuk mencabut kebutuhan
dasar manusia, melakukan boikot pangan yang berujung pada kelaparan,
malnutrisi, tingkat kematian bayi yang tinggi, dan penyakit kronik lainnya, sebagai
alat untuk mengintimidasi dan melakukan kontrol.
Definisi kamus tentang terorisme yang menghindarkan diri dari dalih
ideologis yang mengesampingkan teror negara
menyebutkan bahwa terorisme
adalah kebijakan yang menggunakan tindakan untuk menanamkan rasa takut
yang dahsyat sebagai metode untuk mengatur atau melakukan oposisi politik.
21
Tapi jika kita ingin definisi teror negara yang lebih spesifik yang membedakannya
dengan terorisme non-negara, definisinya adalah penggunaan atau ancaman
kekerasan oleh negara atau oleh agen atau pendukungnya, yang terutama
diarahkan terhadap warga sipil, sebagai sarana untuk intimidasi dan kontrol politik
(atau sarana untuk melakukan represi).
Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh. Jika
penyiksaan dan pembunuhan yang dimotivasi oleh politik didefinisikan sebagai
terorisme, maka banyak negara otoriter yang melakukannya, dan bahkan pada
dekade ini eskalasinya meningkat sangat besar. Ini adalah kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan terhadap rakyatnya sendiri. Sudah
banyak diakui, sebagaimana yang disampaikan oleh Herman, bahwa Pertumbuhan
terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II dilakukan oleh
negara.
Nagengast juga mengamati bahwa
Sejak tahun 1945, kekerasan yang
disponsori oleh negara terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah
menyebabkan kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar
21
Carole Nagengast, "Violence, Terror, and the Crisis of the State." Annual Review of
Anthropology, vol 23, 1994, hal. 114
15
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
dibanding
semua
konflik
mematikan
lainnya,
bahkan
internasional, perang kolonial, maupun perang sipil sekalipun.
termasuk
perang
22
Terorisme negara tidak jauh berbeda dengan terorisme non-negara dalam tiga
fitur pokok terorisme.
Pertama, mengancam atau melakukan kekerasan yang diarahkan terhadap
"korban yang dilindungi".
Kedua, pelaku menggunakan kekerasan untuk menancapkan teror terhadap
para saksi yang secara umum berbeda dengan korban.
Ketiga, pelaku kekerasan berniat atau berharap agar saksi yang terteror
mengubah perilakunya dalam beberapa cara.
Satu-satunya perbedaan antara terorisme negara dan non-negara adalah
pelaku yang melakukan aksi tersebut. Karenanya, untuk bisa disebut sebagai
terorisme negara, harus ada elemen keempat: aksi tersebut dilakukan oleh agen
atas nama atau bersama dengan negara, termasuk oleh paramiliter dan agen
keamanan swasta, yang diarahkan terhadap pihak-pihak yang seharusnya
dilindungi oleh negara.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
22
Ibid, hal. 126
16
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
kelaparan, dan genosida di abad ke 20.23 Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.24
Kalaupun terorisme negara didiskusikan, fokusnya seringkali pada rezim
totalitarian. Terorisme negara yang dilakukan oleh negara demokrasi liberal jarang
sekali diungkapkan. Memang, rezim seperti Stalin, Hitler, dan Pol Pot
bertanggungjawab atas kekerasan negara dalam skala yang besar. Mereka
melakukan genosida dan meneror penduduk agar tunduk pada rezim. Namun yang
seringkali luput dari perhatian adalah kekuatan kolonial Barat juga menggunakan
terorisme secara masif untuk membangun dan memelihara imperium mereka, serta
menumpas pejuang kemerdekaan di negara koloni mereka. Inggris, Prancis,
Jerman, Portugal, dan Amerika Serikat, serta kekuatan kolonial lainnya banyak
menggunakan teror dalam rangka melakukan kontrol sosial di berbagai wilayah
jajahannya.
Pada Perang Dunia II, pasukan sekutu mengebom masyarakat sipil di Jerman
agar mereka mau melawan Hitler. Pada waktu Perang Dingin, dengan dukungan
penuh dari Amerika, aparat keamanan negara di kawasan Amerika Latin juga
menggunakan
kekerasan,
termasuk
penculikan
dan
penyiksaan,
untuk
membungkam gerakan politik yang mengancam kepentingan Amerika dan rezim
lokal bonekanya.
Negara liberal demokrasi terus menggunakan dan mensponsori terorisme
pada dua dekade terakhir abad ke-20 dan pada awal abad ke-21 sebagai sebuah
proses untuk menjaga akses ke sumber daya dan pasar global. Terorisme yang
disponsori oleh Amerika dan sekutunya digunakan terhadap banyak sekali
tersangka atas nama "perang melawan teror".
23
R. Rummel,”Death by Government,” New Brunswick, NJ: Transaction
Publishers, 2011.
24
J. Sluka, “Introduction: State Terror and Anthropology”, dalam J. Sluka, ed., “Death
Squad: The Anthropology of State Terror,” Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
hal. 1–45.
17
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme menjadi sentra dari proses neoliberalisasi. Proses neoliberalisasi di
seluruh dunia seringkali diiringi dengan sejumlah kekerasan dan terorisme yang
dilakukan oleh negara dan paramiliter yang disponsori negara. Inti dari proyek
imperialis negara-negara kapitalis tersebut adalah keinginan untuk mengamankan
akses ke sumber daya alam strategis, seperti minyak. Stokes dan Raphael
mendokumentasikan bagaimana penggunaan negara teror yang disponsori oleh
AS di wilayah-wilayah yang kaya minyak untuk melindungi proses globalisasi neoliberal, melindungi elit lokal dari keluhan masyarakat, dan menstabilisasi produksi
minyak yang mengukuhkan hegemoni AS. Bahkan, Raphael juga berhasil
mengeksplorasi peran para ahli terorisme, termasuk para akademisi, untuk
mengalihkan perhatian dunia dari terorisme AS dan sekutunya.
Fokus utama para ahli terorisme pada terorisme nonnegara saja, akan
memperkuat perspektif negara, cara pandang state-centric yang memandang
terorisme sebagai masalah sosial atau individu yang perlu dipecahkan oleh negara,
bukan sebagai praktik kekuasaan negara. Dari perspektif ini, ia berfungsi untuk
mempertahankan
legitimasi
penggunaan
kekerasan
oleh
negara
dan
mendelegitimasi semua bentuk kekerasan nonnegara, yang pada akhirnya akan
memiliki dampak ideologis.25
Dari sudut pandang etis-normatif, pemahaman terorisme yang terbatas pada
terorisme nonnegara juga berfungsi untuk mengaburkan dan membungkam suara
dan perspektif orang-orang yang kesehariannya hidup dalam kondisi teror dari
kesewenang-wenangan pemerintah mereka, yang beberapa di antaranya didukung
oleh Barat. Ia juga bisa berfungsi untuk membungkam suara orang-orang yang
mengalami teror atas kebijakan Barat baik secara langsung, seperti mereka yang
disiksa atas perang melawan teror, maupun secara tidak langsung, seperti mereka
yang menderita di bawah rezim pendukung Barat. Artinya, ia mengalihkan
25
Anthony Burke, “The End of Terrorism Studies,” Critical Studies on Terrorism,
vol.1, no. 1, 2008, hal. 37‐49;
18
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
perhatian publik dari terorisme negara yang jauh lebih besar dan jauh lebih
menghancurkan terhadap kehidupan puluhan juta orang di seluruh dunia saat ini.
Terkait dengan efek normatif dan ideologis yang lebih luas ini, perlakuan
terhadap terorisme negara
dan diamnya mereka atasnya dan konstruksi sempit
mereka terhadap 'terorisme yang disponsori negara', juga berfungsi untuk
memposisikan terorisme negara sebagai hal yang kurang begitu penting dibanding
terorisme nonnegara. Selain itu, ia juga bisa berfungsi untuk memberikan legitimasi
terhadap kebijakan Barat seperti sanksi, diplomasi koersif, dan perang pre-emptive
terhadap "negara sponsor terorisme" yang ditentukan secara politis yang mungkin
menjadi bentuk teror sendiri, serta mengabaikan keterlibatan negara sponsor
terorisme dari pihak Barat sendiri.
Dari sudut pandang normatif politik, diamnya para akademisi dan pakar
terorisme atas terorisme negara, dan argumen banyak pakar terorisme yang
menyatakan bahwa tindakan negara tidak dapat didefinisikan sebagai 'terorisme',
sebenarnya berfungsi untuk memberikan pembenaran retoris kepada negara untuk
melakukan teror kepada lawan dan rakyatnya tanpa takut akan celaan dan
hukuman. Kelonggaran inilah yang banyak dieksploitasi oleh banyak negara seperti
Israel, Rusia, China, Uzbekistan, Zimbabwe, dan banyak negara untuk melakukan
kekerasan dalam rangka mengintimidasi lawan politik atau rakyatnya.
Selain itu, heningnya konsep terorisme negara dari wacana publik juga
berfungsi untuk melemahkan perjuangan politik aktivis hak asasi manusia untuk
melawan penggunaan teror oleh negara, dengan melarang pendelegitimasian
kekuasaan dan sumber daya yang berasal dari penggambaran tindakan negara
sebagai 'terorisme'. Penting untuk dicatat, bahwa banyak negara terkemuka yang
terus-menerus menolak setiap upaya untuk secara legal mendefinisikan dan
melarang sebuah kategori tindakan yang akan disebut 'terorisme negara', dengan
19
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
alasan bahwa tindakan tersebut telah dicakup oleh undang-undang lain seperti
hukum perang.26
Heningnya wacana terorisme negara memiliki efek politik lain, yaitu bagaimana
ia berfungsi dan dan terus berfungsi, untuk mengalihkan perhatian dan menolak
sejarah panjang keterlibatan Barat dalam terorisme. Kondisi ini memberi
keuntungan kepada Barat untuk terus menggambarkan diri bahwa kebijakan luar
negeri mereka pada dasarnya ramah, bukan bertujuan untuk memperkuat struktur
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki dalam sistem internasional. Artinya,
dengan mencegah kritik terhadap kebijakan Barat, ia berupaya mempertahankan
mitos yang berbahaya tentang eksepsionalisme Barat. Rasa eksepsionalisme dan
dukungan dari studi terorisme ini memungkinkan negara-negara Barat dan sekutusekutu mereka untuk terus mengejar serangkaian proyek politik dan kepentingan
partisan yang bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka dalam sistem
internasional. Misalnya, dengan memperkuat pandangan bahwa terorisme
nonnegara adalah ancaman dan masalah yang jauh lebih besar daripada terorisme
negara, dan dengan mengaburkan cara-cara di mana kontraterorisme bisa berubah
menjadi terorisme negara. Diskursus ini berfungsi untuk melegitimasi perang
melawan teror dan kebijakan lain yang terkait, seperti intervensi militer,
pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan sejenisnya. Lebih khusus lagi,
diskursus
tersebut
juga
dapat memberikan legitimasi
terhadap program
kontraterorisme yang lebih luas, dimana tujuan sebenarnya terletak pada
pemeliharaan tatanan ekonomi-politik tertentu seperti yang terjadi di Kolombia
saat ini.27
26
Tal Becker, “Terrorism and the State: Rethinking the Rules of State
Responsibility,” Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2006
27
Di Kolombia, AS sudah lama menggunakan perang kontrainsurgensi untuk melindungi
formasi sosial yang kondusif bagi kepentingan politik dan ekonomi AS.
Lihat Doug Stokes, “Iron Fists in Iron Gloves: The Political Economy of US
Terrorocracy Promotion in Colombia,” The British Journal of Politics & International
Relations Vol.8, No.3, 2006, hal 368‐387.
20
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Keheningan yang terjadi pada terorisme negara juga berfungsi untuk
mendelegitimasi semua bentuk perjuangan kontrahegemonik atau perjuangan
revolusioner, dengan mempertahankan anggapan bahwa kekerasan negara secara
otomatis sah dan semua kekerasan nonnegara secara otomatis tidak sah, yang
artinya tatanan internasional internasional liberal saat ini masih bisa terjaga.28
Terakhir,
diskursus
tersebut
juga
dapat
digunakan
secara
selektif
membenarkan proyek-proyek tertentu mengenai perubahan rezim, sanksi
ekonomi, perluasan basis militer, pendudukan militer, bantuan militer untuk mitra
strategis, dan pengisolasian gerakan politik yang tidak disetujui Barat seperti
Hamas. Pada akhirnya, wacana tersebut berfungsi untuk memungkinkan perluasan
hegemoni negara baik, secara internasional maupun domestik, dan yang lebih
penting lagi, kepercayaan bahwa kekerasan adalah alat politik yang efektif.
Terlepas dari niat para pakar terorisme, yang mungkin merasa bahwa mereka
terlibat dalam analisis akademis obyektif mengenai fenomena yang jelas, diskursus
tersebut sebenarnya menyajikan sejumlah tujuan politik yang jelas dan memiliki
beberapa konsekuensi ideologis bagi masyarakat.
28
Mark Duffled menulis bahwa sekuritisasi pembangunan dan intervensi kemanusiaan
berfungsi untuk mendelegitimasi segala bentuk aktivitas kekerasan revolusioner dan
perjuangan kontrahegemonik,dalam rangka menjaga tatanan liberal yang dominan dan
pada akhirnya tidak adil. Lihat Mark Duffield, “Global Governance and the New Wars:
The Merging of Development and Security,” Zed Books, 2001.
21
Diskursus Terorisme Negara
Diskursus Terorisme Negara
Terorisme negara banyak didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau
ancaman kekerasan secara sengaja oleh agen negara atau proxy mereka terhadap
individu atau kelompok yang menjadi korban dengan tujuan untuk mengintimidasi
atau menakut-nakuti audien yang lebih luas. Efek yang diinginkan dari kekerasan
tersebut adalah tercapainya tujuan politik atau politik-ekonomi tertentu.
Dalam konteks politik dan intelektual hari ini, banyak peneliti terorisme dan
pejabat pemerintah yang menolak ide bahwa negara melakukan terorisme. Ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan terkait hal ini.
Pertama, sejumlah akademisi berpendapat bahwa salah satu inti dari fitur
terorisme adalah kekerasan politik yang dilakukan oleh aktor non-negara, dan
negara tidak mungkin melakukan terorisme. Alasannya, negara dianggap mereka
mempunyai hak yang sah untuk menggunakan kekerasan, berkebalikan dengan
aktor non-negara yang tidak memiliki hak tersebut.
Pendapat ini bisa dibantah dengan beberapa argumen. Memang, terorisme
adalah strategi kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Ia adalah
strategi yang sering digunakan oleh kelompok pemberontak dan gerilyawan.
Namun, pendapat bahwa saat agen negara melakukan strategi yang sama
sebagaimana teroris non-negara seperti meledakkan pesawat sipil (pengeboman
Lockerbile yang dilakukan atas perintah Moammar Qaddafi), pengeboman yang
dilakukan oleh intelijen Prancis terhadap kapal Greenpeace yang melakukan
perjalanan untuk memprotes uji coba nuklir Perancis, rangkaian pengeboman di
tempat publik (Lavon Affair)29 maka mereka tetap tidak bisa disebut sebagai
teroris, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah.
29
The ’Lavon Affair’ mengacu kepada operasi rahasia Israel yang gagal, dengan kode
’Operation Susannah’, yang dilakukan di Mesir pada musim panas tahun 1954. Sebagai
bagian dari operasi false flag, sebuah kelompok Yahudi Mesir direkrut oleh intelijen militer
Israel untuk memasang bom di Mesir, Amerika Serikat, dan Inggris dengan target gedung-
22
Diskursus Terorisme Negara
Sebagai sebuah fenomena, terorisme hanya bisa diidentifikasi menurut
karakter kekerasan yang didefinisikan secara konseptual, bukan dari keistimewaan
politik aktor yang melakukannya. Jika sebuah kekerasan memiliki semua
karakteristik terorisme, maka ia harus dimasukkan dalam kategori terorisme,
siapapun pelakunya.
Jika yang dimaksudkan dengan terorisme adalah kekerasan atau ancaman
kekerasan yang diarahkan terhadap warga sipil untuk menancapkan teror atau
mengintimidasi sebuah populasi dengan alasan politik
disepakati secara umum dalam literatur akademis
sebuah definisi yang
maka negara pun bisa menjadi
teroris. Sebagai contoh, saat negara berusaha menciptakan rasa takut dan
intimidasi pada sebagian penduduknya dalam rangka menekan dukungan
terhadap
gerakan
oposisi,
melalui
kampanye
kekerasan
yang
meliputi
pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan, maka ini termasuk bentuk terorisme.
Dan jika masyarakat yang berusaha diintimadasi adalah penduduk negara lain,
maka ini juga termasuk bentuk terorisme.30
Dengan
memahami
terorisme
sebagai
penggunaan
atau
ancaman
penggunaan kekerasan terhadap sekelompok orang dalam rangka menakut-nakuti
atau mengintimidasi sekelompok orang yang lain sebagai cara untuk mencegah
atau mengubah perilaku politik
maka jelas bahwa sejumlah tindakan negara bisa
masuk dalam kategori terorisme. Contoh, saat penyiksaan banyak digunakan oleh
negara tidak sekadar sebagai alat untuk mengumpulkan data intelijen tentang
ancaman yang bersifat segera, tapi juga sebagai sarana untuk menurunkan moral
para pemimpin dan para pendukung kelompok oposisi dengan menyebarkan
ketakutan, maka penyiksaan jelas menjadi alat terorisme negara.
gedung bioskop, perpustakaan, dan pusat-pusat pendidikan Amerika Serikat. Seranganserangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar yang disalahkan adalah kelompok
Islamis. Israel berharap dengan adanya pengeboman ini Amerika dan Inggris akan
menyerang Mesir.
30
Richard Jackson, “The Ghost of State Terror: Knowledge, Politics, and Terrorism
Studies,” Paper yang dipresentasikan di ISA Annual Conference, 26-29 Maret 2008, San
Francisco, USA.
23
Diskursus Terorisme Negara
Penting
juga
untuk
dicatat
bahwa
meskipun
negara
berusaha
menyembunyikan keterlibatannya dalam kekerasan yang diarahkan terhadap warga
sipil, seperti penyiksaan, dari audien eksternal, mereka masih tetap mengirimkan
pesan yang sangat kuat pada masyarakat lokal atau kelompok masyarakat yang
ingin mereka intimidasi.
Selain itu, negara juga bisa dianggap melakukan teror dengan pola
penghilangan orang. Penghilangan orang sebagai sebuah strategi terorisme
berfungsi untuk mengirimkan pesan simbolis bahwa negara bersifat omnipotent,
omnipresent, dan tidak berbelaskasihan terhadap siapapun yang melawannya.
Praktik lain dari negara yang bisa masuk dalam kategori terorisme adalah
bom teror yang diarahkan terhadap masyarakat sipil di saat perang dalam rangka
mengintimidasi masyarakat agar mereka tunduk atau menakut-nakuti mereka
untuk memberi tekanan pada para pemimpin mereka, terutama jika kota yang
disasar dipilih secara acak. Dengan pemahaman ini, beberapa pengeboman
strategis yang dilakukan oleh AS, sebagaimana strategi shock and awe , yang
banyak menyerang masyarakat sipil Irak, dan praktik pengeboman yang dilakukan
oleh Rusia dan Bashar Assad di Suriah, serta pengeboman yang dilakukan NATO
pada masyarakat sipil Kosovo, masuk dalam kategori terorisme. Dalam semua
kasus di atas, mereka menakut-nakuti sekelompok orang dalam rangka
menghasilkan perubahan politik di pihak lain. Ini adalah esensi dari taktik
terorisme. Kontraterorisme dan kontrainsurgensi juga bisa menjadi bentuk
terorisme jika ia gagal membedakan antara mereka yang bersalah dan mereka
yang tidak bersalah, dilakukan secara sangat tidak proporsional, dan bertujuan
untuk menakut-nakuti populasi yang lebih luas atau sekelompok masyarakat agar
mereka tunduk.31
Berikutnya,
pendapat
bahwa
negara
memiliki
hak
yang
sah
untuk
menggunakan kekerasan sedangkan aktor non-negara tidak memilikinya adalah
pendapat yang tidak tepat. Alasannya, meskipun negara memiliki hak yang
31
Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, hal. 69-73
24
Diskursus Terorisme Negara
legitimate untuk menggunakan kekerasan, hak tersebut sangat dibatasi dan tidak
termasuk hak untuk menggunakan kekerasan terhadap target sipil yang dipilih
secara acak. Mereka juga tidak boleh melakukan genosida, pembersihan etnis,
kejahatan perang, dan aksi sejenis lainnya.
Alasan berikutnya, ada sebuah prinsip moral yang sudah lama dipegang
bahwa aktor non-negara boleh menggunakan kekerasan melawan rezim yang
sangat represif jika metode lainnya gagal atau negara lain gagal melakukan
intervensi. Kenyataannya, negara Barat memiliki sejarah panjang mengakui dan
bahkan mendukung kelompok kekerasan non-negara yang beberapa diantaranya
melakukan terorisme, seperti ANC di Afrika Selatan, SWAPO di Afrika Barat Daya,
kelompok Contra di Nikaragua, kelompok anti-Castro, UNITA di Angola, dan
kelompok lain yang mendapat dukungan militer dan politik dari Barat.
Kedua, pendapat lain yang beredar seputar terorisme negara adalah pendapat
yang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan negara dianggap berbeda
dengan terorisme non-negara karena korbannya tidak dipilih secara acak (yaitu
semua pihak yang menjadi musuh negara), dan mereka tahu apa yang bisa
dilakukan agar terhindar dari kekerasan negara, tidak sebagaimana kasus terorisme
non-negara. Padahal, fakta empiris yang terjadi justru agen negara seringkali
melakukan aksi kekerasan secara acak (mengebom pesawat sipil misalnya), dan
secara reguler memberikan bantuan material kepada aktor proxy non-negara untuk
melakukan hal yang sama. Sedangkan aktor non-negara seringkali memilih target
secara spesifik, bukan acak. ETA dan IRA contohnya, mereka banyak menargetkan
tentara dan polisi, serta pejabat pemerintah.
Poinnya adalah bahwa terorisme tidak didefinisikan oleh pilihan target, tapi
oleh instrumentalisasi korban (baik mereka dipilih secara acak maupun secara
sengaja) dalam rangka mengkomunikasikan sebuah pesan kepada audien. Selain
itu, negara tidak akan pernah bisa mengeliminasi semua musuhnya, karenanya
mereka menyerang musuh mereka secara acak untuk mengintimidasi baik
kelompok oposisi yang lebih luas maupun pendukung negara itu sendiri. Negara
mungkin punya dua pesan dalam kekerasan terorisme yang dilakukannya: untuk
menghabisi musuh dan memberi pesan kepada calon musuh. Kenyataannya, di
dalam negara teror seperti Jerman di era Nazi, Uni Soviet di era Stalin, Kamboja di
25
Diskursus Terorisme Negara
era Pol Pot, misalnya, seluruh rakyat hidup dalam suasana penuh dengan
ketakutan, tidak seorangpun merasa aman.
Beberapa juga berpendapat bahwa kalaupun negara melakukan serangan,
mereka tidaklah secara sengaja menyasar masyarakat sipil. Korban sipil yang terjadi
lebih karena ketidakkesengajaan. Faktanya adalah bahwa betapapun presisi sebuah
serangan, jika target yang akan diserang berkerumun dengan masyarakat sipil, atau
berpotensi menyebabkan korban sipil, maka pelaku serangan memang berniat
melakukan teror. Sebagaimana argumen ahli terorisme, Ruth Blakeley,
saat
[intimidasi] tidak menjadi niat utama, tapi menjadi efek sekunder yang dianggap
wajar dari sebuah tindakan jahat, maka ini tetap merupakan bentuk terorisme
negara.
32
Pendapat ketiga, kekerasan negara bukanlah terorisme karena agen negara
tidak mencari publisitas. Bahkan mereka cenderung menyembunyikan keterlibatan,
tidak sebagaimana aktor non-negara yang justru ingin memaksimalkan publisitas.
Argumen ini tidak bisa membedakan antara publisitas dan komunikasi. Salah
satu elemen kunci dari terorisme adalah komunikasi, bukan publisitas. Bagi aktor
non-negara yang kurang begitu bisa melakukan penetrasi di tengah masyarakat,
publisitas adalah cara terbaik untuk berkomunikasi. Hal yang sama tidak diperlukan
oleh negara. Kekerasan mereka tidak harus membutuhkan publisitas agar sampai
kepada audien. Pada kenyataannya, saat seseorang dalam sebuah negara teror
tiba-tiba diculik dan kemudian hilang, mereka kembali dalam keadaan penuh
siksaan atau jenazah mereka dibiarkan terpotong-poton
K. Mustarom
Laporan Khusus
Edisi 6 | Mei 2017
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan
sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan
dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini
merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang
ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap
hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode
analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan
ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
[email protected].
Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org
Daftar Isi
Executive Summary _____________________________________________________ 1
Pendahuluan __________________________________________________________ 3
Sejarah Terorisme ______________________________________________________ 8
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat ________________________________________ 12
Diskursus Terorisme Negara _____________________________________________ 21
Moralitas Terorisme Negara _____________________________________________ 28
Manajer Teror ________________________________________________________ 31
Kesimpulan __________________________________________________________ 38
01
Executive Summary
Executive Summary
Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme . Kata ini pada awalnya
berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak. Definisi ini
bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme
sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai
yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan
yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah bentuk terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
kelaparan, dan genosida di abad ke 20. Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri, sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.
Gagasan bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah telah menjadi
sebuah kebenaran yang seolah tidak bisa disangkal lagi. Kita sering diberitahu
bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan dan sumber
02
Executive Summary
daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan
mengerikan.
Sedangkan
negara
digambarkan
hanya
pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
sekadar
melakukan
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
03
Pendahuluan
Pendahuluan
Topik mengenai terorisme meningkat secara tajam sejak serangan 11
September 2001. Sejak saat itu, George W. Bush mendeklarasikan perang melawan
teror untuk memburu musuh peradaban yang berpartisipasi dalam terorisme.
Banyak yang lupa bahwa perang melawan teror juga sudah dideklarasikan oleh
Ronald Reagen pada tahun 1980-an untuk memerangi kelompok yang ia tuduh
teroris di Timur Tengah dan Amerika Latin.
Retorika dan narasi tunggal yang luar biasa tentang perang melawan teror
membuat kita kadang-kadang lupa akan beberapa pertanyaan kunci. Tidak banyak
yang berani bertanya, apa itu definisi terorisme?
Apa yang membedakannya
dengan perjuangan perlawanan yang sah? Siapa yang sebenarnya melakukan aksi
teror, negara ataukah non-negara? Apakah Amerika Serikat, yang menjadi dirigen
utama perang melawan teror dan mengklaim sebagai wakil dari masyarakat
beradab, pernah melakukan atau mensponsori terorisme? Ataukah terorisme
memang mutlak hanya dilakukan oleh kelompok Islam radikal?
Para politisi dan penguasa di banyak negara sering menggunakan segala cara
untuk mempengaruhi rakyatnya bahwa terorisme adalah perkara kriminal dalam
bentuk yang unik dan spesial.
Mereka memposisikan teroris dalam kategori kejahatan psikopat, dengan
menonjolkan sisi kekerasan tidak beradabnya. Mereka memposisikan teroris
melakukan hal di luar batas masyarakat beradab, dan karenanya tidak bias
dilakukan negosiasi dan perdamaian terhadap mereka. Mereka mengatakan bahwa
terorisme adalah masalah yang paling berbahaya di zaman ini.
Konsep mengenai terorisme ini banyak dibicarakan, namun tidak banyak yang
memahami. Ide mengenai terorisme terus menerus berubah, dibentuk, dan
didistorsi untuk mendukung agenda politik tertentu.
Hasilnya, konsep mengenai terorisme menjadi hal yang berantakan. Tidak ada
definisi pasti yang bisa diterima. Beberapa rezim otoriter menggunakan istilah itu
04
Pendahuluan
untuk menghancurkan citra lawan politiknya. Arab Saudi, Mesir dan kebanyakan
negara-negara teluk menyebut partai politik yang menganjurkan perubahan
demokratis yang damai sebagai teroris .1
Pada saat yang sama, di Inggris, konsep terorisme telah diubah sedemikian
rupa sehingga ia tidak hanya berlaku untuk aksi kekerasan, namun juga berlaku
terhadap aktifitas lain yang tidak memenuhi kriteria untuk disebut kekerasan .2
Teroris didefinisikan tidak hanya untuk orang yang melakukan kekerasan, namun
juga orang-orang yang pandangannya dapat menjadi ancaman bagi negara Inggris
atau nilai-nilai dan cara hidup mayoritas masyarakat Inggris. Di sini, konsep
terorisme telah berubah menjadi bagian dari alat penindasan oleh negara.
Studi mengenai teror negara seringkali diabaikan di kalangan para akademisi.
Mereka cenderung hanya menyematkan istilah tersebut pada pemerintah teror
pada masa Revolusi Prancis, atau pemerintahan Stalin di Rusia. Seiring dengan
waktu, istilah tersebut hilang ditelan masa dan dana, terutama pasca peristiwa 11
September.
Gagasan bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah seolah telah
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak, tidak bisa disangkal lagi. Kita sering
diberitahu bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan
dan sumber daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang
ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar
melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
Jadi, jika Anda memiliki legitimasi politik, mampu mengkomando pasukan
militer dengan persenjataan yang kuat dan canggih, serta mampu mempengaruhi
dunia internasional, maka Anda tidak bisa disebut sebagai teroris. Terorisme bukan
lagi soal metodologi, tapi kini bergeser ke ideologi. Bukan lagi apa yang dilakukan,
tapi siapa yang melakukan. Tak peduli berapa banyak korban yang sudah
1
2
https://www.pri.org/stories/2010-12-22/political-activists-charged-terror-saudi-arabia
http://roar.uel.ac.uk/4824/1/Characterising%20the%20UK%20Terrorist%20Threat.pdf
05
Pendahuluan
dijatuhkan, jika yang melakukan adalah others , pihak lain, maka itu adalah
terorisme, jika yang melakukan us , kita, bukanlah terorisme. Narasi tunggal
tentang terorisme begitu dominan, hingga kita kehilangan pandangan akan adanya
alternatif. Konsep mengenai terorisme pun menjadi hanya satu dimensi , tidak ada
lagi konten selain kata-kata yang sudah dipublikasikan dan distandarisasi
penggunaannya.3
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Departemen Luar Negeri AS mengestimasi bahwa kematian yang disebabkan
oleh terorisme transnasional secara global antara tahun 1975 hingga tahun 2003
mencapai 13.971 jiwa. Sedangkan US National Consortium for the Study of
Terrorism Database menyatakan bahwa korban tewas akibat insiden terorisme di
AS sejak tahun 1970 hingga tahun 2007 mencapai 3.292, dan sebagian besar
diantaranya akibat serangan 11 September 2001.4 Di sisi lain, sebagai contoh, sejak
tahun 1975 hingga tahun 1999, pemerintah Indonesia yang diback-up oleh
Amerika melakukan represi di Timor Timur yang menyebabkan terbunuhnya 200
ribu jiwa atau seperempat dari total populasi waktu itu.5 Kesimpulannya, bahwa si
kuat bisa melakukan teror yang jauh lebih mengerikan dibanding si lemah
teroris
non-negara adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, akhir-akhir ini kita
dihadapkan pada satu ketidakseimbangan pembahasan mengenai berbagai bentuk
terorisme.
Dalam sebagian besar diskursus, pikiran bahwa negara bisa melakukan
terorisme cenderung dikesampingkan. Misalnya, pemerintah AS mendefinisikan
terorisme sebagai kekerasan yang dimotivasi secara politik yang dilakukan
3
Herbert Marcuse, “One-Dimensional Man,” Boston: Beacon Press, 1964, hal.87.
Mark G. Stewart, John Mueller, “Acceptability of Terrorism Risks and Prioritising
Protective Measures for Key Infrastructure,” 2010.
5
Jonathan Barker, “The No-Nonsense Guide to Global Terrorism,” Oxford: New
Internationalist, 2008, hal.72.
4
06
Pendahuluan
terhadap target non kombatan oleh kelompok non-negara atau agen rahasia. 6
Departemen Luar Negeri AS dan CIA mengambil definisi ini. Mereka membatasi
bahwa
terorisme
hanya
dilakukan
oleh
kelompok
mengesampingkan pelaku dari pihak negara.
non-negara,
dan
Dalam pandangan hukum AS, dan juga sebagian besar negara di dunia, negara
dan agen-agennya yang melakukan kekerasan yang sama atau bahkan lebih kejam
dibandingkan
kekerasan
yang
diklasifikasikan sebagai teroris.7
dilakukan
kelompok
non-negara
tidak
Lain lagi dengan FBI. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekuatan dan kekerasan yang tidak sah secara hukum terhadap orang atau harta
benda untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat
sipil, atau segmen masyarakat lainnya, untuk mencapai tujuan politik atau sosial.8
Definisi ini seolah-olah tidak mengesampingkan kemungkinan dilakukannya
terorisme oleh negara, namun penggunaan kata
membawa sejumlah implikasi. Hal ini dikarenakan:
tidak sah secara hukum
(a) pasukan keamanan negara dianggap tidak melakukan terorisme atas dalih
menjalankan tugas yang sah secara hukum;
(b) jika otoritas negara mengeluarkan legislasi sementara atau darurat atas
nama alasan keamanan, atau bahkan membentuk aparat teror di bawah
sistem hukum yang sah, maka tindakan-tindakan mereka akan mendapat
dukungan hukum.
The US Army Field Manuals juga mengikuti jalur yang sama, dengan
menyatakan bahwa
terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang tidak sah secara hukum untuk menancapkan ketakutan... yang
6
US Code, Title 22, Section 2656f
Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, Cambridge: Polity Press,
2006, hal.55
8
Code of Federal Regulations, Title 28, Section 0.85
7
07
Pendahuluan
diniatkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat.
Mereka juga mengklaim bahwa musuh yang tidak bisa bersaing dengan tentara
konvensional lah yang seringkali menggunakan taktik teror. Kemungkinan bahwa
pihak negara, atau pihak non-negara yang bukan musuh, melakukan tindakan teror
tidak pernah dipertimbangkan.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa fokusnya pada terorisme?
Kenapa bukan genosida atau kejahatan perang? Satu alasan yang jelas adalah kata
terorisme mempunyai signifikansi retorika yang luar biasa, terutama di Amerika
Serikat sebagai pemilik hegemoni dunia saat ini. Sejak Presiden Ronald Reagen
mendeklarasikan perang melawan terorisme internasional pada awal tahun 1980an, terorisme menjadi pusat bagi pencitraan Amerika. Terorisme menjadi alat yang
dipakai untuk mendefinisikan musuh. Dalam proses pencitraan tersebut, mereka ,
musuh Amerika lah, yang teroris, bukan Amerika. Pola ini kemudian dipakai oleh
rezim tiran lain sekutu Amerika untuk menggunakan hal yang sama.
Istilah terorisme juga memegang peran signifikan karena ia adalah sebuah aksi
yang didefinisikan oleh tujuan politiknya. Dengan kata lain, terorisme bukan hanya
membunuh atau menciderai, tapi bagaimana tindakan tersebut berkaitan dengan
strategi yang lebih luas.
Secara umum ada beberapa parameter yang menjadi pusat dari konsep
terorisme: (a) kesengajaan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan; (b)
diarahkan terhadap warga sipil; (c) dengan tujuan untuk menancapkan ketakutan di
kalangan masyarakat di luar korban langsung; (d) untuk meraih tujuan politik.9
Dengan parameter tersebut paling tidak kita bisa menentukan mana tindakan
negara yang bisa dipandang sebagai bentuk terorisme.
9
Cihan Aksan, Jon Bailes, "Weapon of the Strong: Conversations on US State Terrorism,"
London: PlutoPress, hal. 4.
08
Sejarah Terorisme
Sejarah Terorisme
Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme .
Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok
pemberontak.
Definisi
ini
bahkan
pernah
diakomodir
dalam
Kamus
Oxford,
yang
mendeskripsikan terorisme sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan
dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan,
kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan
sebagai teroris.
Istilah tersebut muncul kembali pada pertengahan abad 19. Kali ini, istilah
tersebut dilabelkan kepada cara yang digunakan oleh kelompok anarkis untuk
melawan Rezim Tsar di Rusia. Istilah terorisme tanpa awalan huruf kapital tersebar
“Terorisme
adalah
pemerintahan
intimidatif yang
diarahkan dan
dilaksanakan
oleh partai
yang memiliki
kekuatan”
--Oxford Dictionary
50 tahun sebelum Perang Dunia I, sebagai efek dari serangan tingkat tinggi
terhadap para pemimpin di Eropa dan terhadap Presiden Amerika, James A
Garfield10 dan William McKinley.11
Novel Joseph Conrad, The Secret Agent, menyebut kelompok teroris tersebut
sebagaimana definisi di atas. Istilah tersebut meliputi banyak variasi pelaku
10
11
https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/jamesgarfield
https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/williammckinley
09
Sejarah Terorisme
kekerasan, mulai dari pembunuhan rahasia atas inisiatif pribadi, maupun gerakan
teroganisir yang memiliki tujuan politik, seperti Irish Fenians.
Patut dicatat bahwa banyak gerakan teroris pada saat itu
diinfiltrasi dan bahkan disponsori oleh pemerintah.
terutama di Rusia
Kata teroris dan terorisme kembali hilang setelah pecahnya Perang Dunia I.
Hilangnya
istilah tersebut memiliki arti yang besar. Perang dunia
dan
totalitarianisme mengubah perspektif. Pertumpahan darah dan kebrutalan yang
terjadi pada tahun 1914 sampai tahun 1945 sangat mengerikan, yang membuat
pembunuhan dan kekerasan lain yang dilakukan oleh kelompok anarkis dan
nasionalis di Barat sebelum 1914
kelompok Islam setelah tahun 2001
atau bahkan teroris yang dituduhkan terhadap
seolah tidak ada apa-apanya.
Ada hal menarik yang patut diperhatikan. Makna awal terorisme yang berarti
penggunaan kekerasan oleh pemerintah demi tujuan politik untuk melawan
musuh-musuh internalnya
menerangkan dengan jelas apa yang terjadi setelah
1914 secara akurat. Penyerangan terhadap warga Rusia oleh Stalin,12 kekejaman
partai komunis Mao,13 serangan tentara Hitler terhadap rakyat sipil Eropa
semuanya cocok dengan definisi asli terorisme dalam kamus Oxford, yaitu teror
yang dilakukan oleh negara.14
Namun pemerintah-pemerintah tersebut jarang sekali disebut sebagai teroris.
George Orwell, novelis, wartawan, dan penulis politik Inggris, pernah
berkunjung ke Spanyol pada akhir 1930an dan mendeskripsikan kekejaman yang
dilakukan oleh pasukan Franco dan partai komunis oposisinya pada Perang Sipil di
Spanyol.15 Di situ, ia sama sekali tidak menggunakan istilah terorisme .
12
http://www.ibtimes.com/how-many-people-did-joseph-stalin-kill-1111789
http://www.nytimes.com/2004/01/09/opinion/a-bleak-anniversary-mao-the-massmurderer.html?_r=0
14
https://www.nytimes.com/2016/11/22/books/review/a-new-look-at-civilian-life-in-europeunder-hitler.html
15
http://www.salon.com/2014/01/11/the_war_that_made_orwell/
13
10
Sejarah Terorisme
Padahal banyak hal dalam laporannya yang hari ini bisa dianggap sebagai
terorisme. Memang, Orwell sendiri bisa diklasifikasikan sebagai teroris menurut
hukum Inggris sebagai konsekuensi keikutsertaannya bersama milisi anarkis dalam
Perang Sipil Spanyol.
Segera setelah Perang Dunia II, Inggris menghadapi perlawanan bersenjata di
Kenya, Aden, Malaysia, Palestina dan beberapa tempat lainnya.16 Perlawanan
tersebut hari ini pasti akan disebut sebagai pergerakan teroris.
Namun, Inggris jarang menggunakan istilah ini
hal ini dikarenakan
perlawanan-perlawanan tersebut terjadi di koloni jauh yang memang akan
ditinggalkan. Bahkan, dunia internasional mulai simpati terhadap gerakan anti
kolonialisme melawan Inggris.
Kekuatan imperial lain, seperti Prancis di Aljazair, lebih teguh untuk tetap
memegang apa yang dimilikinya dan menganggap koloni itu sebagai bagian dari
negaranya. Mereka
mencitrakan
lawannya
sebagai
teroris
dan
seringkali
menggunakan metode teroris (dalam arti sebenarnya) terhadap mereka. Terhadap
Aljazair, Prancis menjalankan terorisme dalam definisi originalnya, yaitu terorisme
yang dilakukan oleh negara.17
Konsep dan persepsi mengenai terorisme berubah secara drastis sejak
peristiwa 11 September.
Sejak serangan 11 September pada tahun 2001, dunia menggeser persepsinya
bahwa aktor non-negara pelaku kekerasan, yang biasa dilabeli terorisme global,
adalah ancaman utama bagi kebebasan dan keamanan. Dengan demikian, aksi
kekerasan yang dilakukan oleh selain aktor non-negara dan tidak dilabeli sebagai
aksi terorisme jarang diberitakan dan jarang mendapat perhatian.
16
https://www.theguardian.com/uk/gallery/2012/apr/18/colonial-archives-kenya-malayaaden
17
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/229/html
11
Sejarah Terorisme
Jika ditelaah, asumsi ini berakar dari definisi negara yang disampaikan oleh
Max Webber. Menurutnya, negara adalah komunitas manusia dalam wilayah
tertentu yang mengklaim monopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah.
Monopoli ini dianggap absolut. Karenanya, penggunaan kekerasan oleh aktor nonnegara dianggap tidak sah.
Dalam praktik maupun dalam teori politik, pandangan ini bukannya tanpa
perdebatan dan perlawanan. Di masa masa lalu, abad pertengahan, perlawanan
tersebut dilakukan dalam bentuk pembunuhan raja yang tiran, atau dalam bentuk
pemberontakan. Di era modern, perlawanan tersebut dilakukan dalam bentuk
perjuangan melawan kolonialisme, otoritarian, maupun rezim yang represif.
12
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Pada abad kedua puluh, negara modern kembali melanjutkan terornya.
Mereka bertanggungjawab atas terbunuhnya 170 juta hingga 200 juta manusia.18
Sebagian besar dari mereka dibunuh melalui kampanye terorisme negara seperti
yang dilakukan oleh Stalin di Rusia, Pol Pot di Kamboja, hingga rezim diktator di
Chili, Argentina, Afrika Selatan, Uganda, dan puluhan negara lainnya.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
"Negara
sekecil apapun
lebih
mempunyai
kekuatan untuk
melakukan
teror dibanding
organisasi
teroris nonnegara paling
maju
sekalipun.
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.19
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, dan sejumlah tempat lainnya.
18
Rummel, R.J. (1994) Death by Government, New Brunswick, NJ: Transaction Books.
Grosscup, B. (2006) Strategic Terror: The Politics and Ethics of Aerial Bombardment.
London: Zed Books.
19
13
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.20
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
Dalam ilmu politik, ada semacam konvensi yang membedakan antara
kekerasan yang dilakukan oleh negara dan kekerasan yang dilakukan oleh aktor
non-negara. Kekerasan pertama disebut sebagai teror, yang terakhir disebut
terorisme. Namun, akhir-akhir ini seiring dengan masifnya literatur tentang
terorisme non-negara, teror negara banyak dikesampingkan oleh para akademisi,
media, dan pemerintah. Alasan akan hal ini bukanlah pada fakta empirik, tapi lebih
kepada alasan politik dan ideologi.
Satu-satunya alasan yang dipaksa untuk membedakan antara teror negara dan
teror non-negara adalah karena teror negara dilakukan untuk mempertahankan
status quo, sedangkan teror non-negara dilakukan dalam rangka mencapai
perubahan politik. Selain itu, skala teror negara pun jauh lebih besar dibanding
teror non-negara. Penjelasan tentang ini diungkapkan dengan sangat baik oleh
Noam Chomsky dan Edward Herman, yang membedakan teror negara sebagai
teror grosir , sedangkan teror non-negara sebagai teror retail .
Jika terorisme diartikan sebagai intimidasi politik dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman, dan jika kita mengijinkan definisi tersebut meliputi
kekerasan oleh negara atau pejabat negara, maka kita akan menemukan bahwa
bentuk terorisme terbesar di dunia hari ini justru dilakukan oleh negara, para
agennya, atau aliansinya. Dan terorisme non-negara, jika dihitung secara kuantitas,
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding teror negara. Bahkan, negara sekecil apapun
lebih mempunyai kekuatan untuk melakukan teror dibanding organisasi teroris
20
Goodin, R. (2006) What’s Wrong with Terrorism? Cambridge: Polity Press.
14
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
non-negara paling maju sekalipun. Contoh, hanya negara teroris yang memiliki
senjata pemusnah massal atau memiliki kemampuan untuk mencabut kebutuhan
dasar manusia, melakukan boikot pangan yang berujung pada kelaparan,
malnutrisi, tingkat kematian bayi yang tinggi, dan penyakit kronik lainnya, sebagai
alat untuk mengintimidasi dan melakukan kontrol.
Definisi kamus tentang terorisme yang menghindarkan diri dari dalih
ideologis yang mengesampingkan teror negara
menyebutkan bahwa terorisme
adalah kebijakan yang menggunakan tindakan untuk menanamkan rasa takut
yang dahsyat sebagai metode untuk mengatur atau melakukan oposisi politik.
21
Tapi jika kita ingin definisi teror negara yang lebih spesifik yang membedakannya
dengan terorisme non-negara, definisinya adalah penggunaan atau ancaman
kekerasan oleh negara atau oleh agen atau pendukungnya, yang terutama
diarahkan terhadap warga sipil, sebagai sarana untuk intimidasi dan kontrol politik
(atau sarana untuk melakukan represi).
Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh. Jika
penyiksaan dan pembunuhan yang dimotivasi oleh politik didefinisikan sebagai
terorisme, maka banyak negara otoriter yang melakukannya, dan bahkan pada
dekade ini eskalasinya meningkat sangat besar. Ini adalah kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan terhadap rakyatnya sendiri. Sudah
banyak diakui, sebagaimana yang disampaikan oleh Herman, bahwa Pertumbuhan
terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II dilakukan oleh
negara.
Nagengast juga mengamati bahwa
Sejak tahun 1945, kekerasan yang
disponsori oleh negara terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah
menyebabkan kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar
21
Carole Nagengast, "Violence, Terror, and the Crisis of the State." Annual Review of
Anthropology, vol 23, 1994, hal. 114
15
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
dibanding
semua
konflik
mematikan
lainnya,
bahkan
internasional, perang kolonial, maupun perang sipil sekalipun.
termasuk
perang
22
Terorisme negara tidak jauh berbeda dengan terorisme non-negara dalam tiga
fitur pokok terorisme.
Pertama, mengancam atau melakukan kekerasan yang diarahkan terhadap
"korban yang dilindungi".
Kedua, pelaku menggunakan kekerasan untuk menancapkan teror terhadap
para saksi yang secara umum berbeda dengan korban.
Ketiga, pelaku kekerasan berniat atau berharap agar saksi yang terteror
mengubah perilakunya dalam beberapa cara.
Satu-satunya perbedaan antara terorisme negara dan non-negara adalah
pelaku yang melakukan aksi tersebut. Karenanya, untuk bisa disebut sebagai
terorisme negara, harus ada elemen keempat: aksi tersebut dilakukan oleh agen
atas nama atau bersama dengan negara, termasuk oleh paramiliter dan agen
keamanan swasta, yang diarahkan terhadap pihak-pihak yang seharusnya
dilindungi oleh negara.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
22
Ibid, hal. 126
16
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
kelaparan, dan genosida di abad ke 20.23 Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.24
Kalaupun terorisme negara didiskusikan, fokusnya seringkali pada rezim
totalitarian. Terorisme negara yang dilakukan oleh negara demokrasi liberal jarang
sekali diungkapkan. Memang, rezim seperti Stalin, Hitler, dan Pol Pot
bertanggungjawab atas kekerasan negara dalam skala yang besar. Mereka
melakukan genosida dan meneror penduduk agar tunduk pada rezim. Namun yang
seringkali luput dari perhatian adalah kekuatan kolonial Barat juga menggunakan
terorisme secara masif untuk membangun dan memelihara imperium mereka, serta
menumpas pejuang kemerdekaan di negara koloni mereka. Inggris, Prancis,
Jerman, Portugal, dan Amerika Serikat, serta kekuatan kolonial lainnya banyak
menggunakan teror dalam rangka melakukan kontrol sosial di berbagai wilayah
jajahannya.
Pada Perang Dunia II, pasukan sekutu mengebom masyarakat sipil di Jerman
agar mereka mau melawan Hitler. Pada waktu Perang Dingin, dengan dukungan
penuh dari Amerika, aparat keamanan negara di kawasan Amerika Latin juga
menggunakan
kekerasan,
termasuk
penculikan
dan
penyiksaan,
untuk
membungkam gerakan politik yang mengancam kepentingan Amerika dan rezim
lokal bonekanya.
Negara liberal demokrasi terus menggunakan dan mensponsori terorisme
pada dua dekade terakhir abad ke-20 dan pada awal abad ke-21 sebagai sebuah
proses untuk menjaga akses ke sumber daya dan pasar global. Terorisme yang
disponsori oleh Amerika dan sekutunya digunakan terhadap banyak sekali
tersangka atas nama "perang melawan teror".
23
R. Rummel,”Death by Government,” New Brunswick, NJ: Transaction
Publishers, 2011.
24
J. Sluka, “Introduction: State Terror and Anthropology”, dalam J. Sluka, ed., “Death
Squad: The Anthropology of State Terror,” Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
hal. 1–45.
17
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme menjadi sentra dari proses neoliberalisasi. Proses neoliberalisasi di
seluruh dunia seringkali diiringi dengan sejumlah kekerasan dan terorisme yang
dilakukan oleh negara dan paramiliter yang disponsori negara. Inti dari proyek
imperialis negara-negara kapitalis tersebut adalah keinginan untuk mengamankan
akses ke sumber daya alam strategis, seperti minyak. Stokes dan Raphael
mendokumentasikan bagaimana penggunaan negara teror yang disponsori oleh
AS di wilayah-wilayah yang kaya minyak untuk melindungi proses globalisasi neoliberal, melindungi elit lokal dari keluhan masyarakat, dan menstabilisasi produksi
minyak yang mengukuhkan hegemoni AS. Bahkan, Raphael juga berhasil
mengeksplorasi peran para ahli terorisme, termasuk para akademisi, untuk
mengalihkan perhatian dunia dari terorisme AS dan sekutunya.
Fokus utama para ahli terorisme pada terorisme nonnegara saja, akan
memperkuat perspektif negara, cara pandang state-centric yang memandang
terorisme sebagai masalah sosial atau individu yang perlu dipecahkan oleh negara,
bukan sebagai praktik kekuasaan negara. Dari perspektif ini, ia berfungsi untuk
mempertahankan
legitimasi
penggunaan
kekerasan
oleh
negara
dan
mendelegitimasi semua bentuk kekerasan nonnegara, yang pada akhirnya akan
memiliki dampak ideologis.25
Dari sudut pandang etis-normatif, pemahaman terorisme yang terbatas pada
terorisme nonnegara juga berfungsi untuk mengaburkan dan membungkam suara
dan perspektif orang-orang yang kesehariannya hidup dalam kondisi teror dari
kesewenang-wenangan pemerintah mereka, yang beberapa di antaranya didukung
oleh Barat. Ia juga bisa berfungsi untuk membungkam suara orang-orang yang
mengalami teror atas kebijakan Barat baik secara langsung, seperti mereka yang
disiksa atas perang melawan teror, maupun secara tidak langsung, seperti mereka
yang menderita di bawah rezim pendukung Barat. Artinya, ia mengalihkan
25
Anthony Burke, “The End of Terrorism Studies,” Critical Studies on Terrorism,
vol.1, no. 1, 2008, hal. 37‐49;
18
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
perhatian publik dari terorisme negara yang jauh lebih besar dan jauh lebih
menghancurkan terhadap kehidupan puluhan juta orang di seluruh dunia saat ini.
Terkait dengan efek normatif dan ideologis yang lebih luas ini, perlakuan
terhadap terorisme negara
dan diamnya mereka atasnya dan konstruksi sempit
mereka terhadap 'terorisme yang disponsori negara', juga berfungsi untuk
memposisikan terorisme negara sebagai hal yang kurang begitu penting dibanding
terorisme nonnegara. Selain itu, ia juga bisa berfungsi untuk memberikan legitimasi
terhadap kebijakan Barat seperti sanksi, diplomasi koersif, dan perang pre-emptive
terhadap "negara sponsor terorisme" yang ditentukan secara politis yang mungkin
menjadi bentuk teror sendiri, serta mengabaikan keterlibatan negara sponsor
terorisme dari pihak Barat sendiri.
Dari sudut pandang normatif politik, diamnya para akademisi dan pakar
terorisme atas terorisme negara, dan argumen banyak pakar terorisme yang
menyatakan bahwa tindakan negara tidak dapat didefinisikan sebagai 'terorisme',
sebenarnya berfungsi untuk memberikan pembenaran retoris kepada negara untuk
melakukan teror kepada lawan dan rakyatnya tanpa takut akan celaan dan
hukuman. Kelonggaran inilah yang banyak dieksploitasi oleh banyak negara seperti
Israel, Rusia, China, Uzbekistan, Zimbabwe, dan banyak negara untuk melakukan
kekerasan dalam rangka mengintimidasi lawan politik atau rakyatnya.
Selain itu, heningnya konsep terorisme negara dari wacana publik juga
berfungsi untuk melemahkan perjuangan politik aktivis hak asasi manusia untuk
melawan penggunaan teror oleh negara, dengan melarang pendelegitimasian
kekuasaan dan sumber daya yang berasal dari penggambaran tindakan negara
sebagai 'terorisme'. Penting untuk dicatat, bahwa banyak negara terkemuka yang
terus-menerus menolak setiap upaya untuk secara legal mendefinisikan dan
melarang sebuah kategori tindakan yang akan disebut 'terorisme negara', dengan
19
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
alasan bahwa tindakan tersebut telah dicakup oleh undang-undang lain seperti
hukum perang.26
Heningnya wacana terorisme negara memiliki efek politik lain, yaitu bagaimana
ia berfungsi dan dan terus berfungsi, untuk mengalihkan perhatian dan menolak
sejarah panjang keterlibatan Barat dalam terorisme. Kondisi ini memberi
keuntungan kepada Barat untuk terus menggambarkan diri bahwa kebijakan luar
negeri mereka pada dasarnya ramah, bukan bertujuan untuk memperkuat struktur
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki dalam sistem internasional. Artinya,
dengan mencegah kritik terhadap kebijakan Barat, ia berupaya mempertahankan
mitos yang berbahaya tentang eksepsionalisme Barat. Rasa eksepsionalisme dan
dukungan dari studi terorisme ini memungkinkan negara-negara Barat dan sekutusekutu mereka untuk terus mengejar serangkaian proyek politik dan kepentingan
partisan yang bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka dalam sistem
internasional. Misalnya, dengan memperkuat pandangan bahwa terorisme
nonnegara adalah ancaman dan masalah yang jauh lebih besar daripada terorisme
negara, dan dengan mengaburkan cara-cara di mana kontraterorisme bisa berubah
menjadi terorisme negara. Diskursus ini berfungsi untuk melegitimasi perang
melawan teror dan kebijakan lain yang terkait, seperti intervensi militer,
pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan sejenisnya. Lebih khusus lagi,
diskursus
tersebut
juga
dapat memberikan legitimasi
terhadap program
kontraterorisme yang lebih luas, dimana tujuan sebenarnya terletak pada
pemeliharaan tatanan ekonomi-politik tertentu seperti yang terjadi di Kolombia
saat ini.27
26
Tal Becker, “Terrorism and the State: Rethinking the Rules of State
Responsibility,” Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2006
27
Di Kolombia, AS sudah lama menggunakan perang kontrainsurgensi untuk melindungi
formasi sosial yang kondusif bagi kepentingan politik dan ekonomi AS.
Lihat Doug Stokes, “Iron Fists in Iron Gloves: The Political Economy of US
Terrorocracy Promotion in Colombia,” The British Journal of Politics & International
Relations Vol.8, No.3, 2006, hal 368‐387.
20
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Keheningan yang terjadi pada terorisme negara juga berfungsi untuk
mendelegitimasi semua bentuk perjuangan kontrahegemonik atau perjuangan
revolusioner, dengan mempertahankan anggapan bahwa kekerasan negara secara
otomatis sah dan semua kekerasan nonnegara secara otomatis tidak sah, yang
artinya tatanan internasional internasional liberal saat ini masih bisa terjaga.28
Terakhir,
diskursus
tersebut
juga
dapat
digunakan
secara
selektif
membenarkan proyek-proyek tertentu mengenai perubahan rezim, sanksi
ekonomi, perluasan basis militer, pendudukan militer, bantuan militer untuk mitra
strategis, dan pengisolasian gerakan politik yang tidak disetujui Barat seperti
Hamas. Pada akhirnya, wacana tersebut berfungsi untuk memungkinkan perluasan
hegemoni negara baik, secara internasional maupun domestik, dan yang lebih
penting lagi, kepercayaan bahwa kekerasan adalah alat politik yang efektif.
Terlepas dari niat para pakar terorisme, yang mungkin merasa bahwa mereka
terlibat dalam analisis akademis obyektif mengenai fenomena yang jelas, diskursus
tersebut sebenarnya menyajikan sejumlah tujuan politik yang jelas dan memiliki
beberapa konsekuensi ideologis bagi masyarakat.
28
Mark Duffled menulis bahwa sekuritisasi pembangunan dan intervensi kemanusiaan
berfungsi untuk mendelegitimasi segala bentuk aktivitas kekerasan revolusioner dan
perjuangan kontrahegemonik,dalam rangka menjaga tatanan liberal yang dominan dan
pada akhirnya tidak adil. Lihat Mark Duffield, “Global Governance and the New Wars:
The Merging of Development and Security,” Zed Books, 2001.
21
Diskursus Terorisme Negara
Diskursus Terorisme Negara
Terorisme negara banyak didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau
ancaman kekerasan secara sengaja oleh agen negara atau proxy mereka terhadap
individu atau kelompok yang menjadi korban dengan tujuan untuk mengintimidasi
atau menakut-nakuti audien yang lebih luas. Efek yang diinginkan dari kekerasan
tersebut adalah tercapainya tujuan politik atau politik-ekonomi tertentu.
Dalam konteks politik dan intelektual hari ini, banyak peneliti terorisme dan
pejabat pemerintah yang menolak ide bahwa negara melakukan terorisme. Ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan terkait hal ini.
Pertama, sejumlah akademisi berpendapat bahwa salah satu inti dari fitur
terorisme adalah kekerasan politik yang dilakukan oleh aktor non-negara, dan
negara tidak mungkin melakukan terorisme. Alasannya, negara dianggap mereka
mempunyai hak yang sah untuk menggunakan kekerasan, berkebalikan dengan
aktor non-negara yang tidak memiliki hak tersebut.
Pendapat ini bisa dibantah dengan beberapa argumen. Memang, terorisme
adalah strategi kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Ia adalah
strategi yang sering digunakan oleh kelompok pemberontak dan gerilyawan.
Namun, pendapat bahwa saat agen negara melakukan strategi yang sama
sebagaimana teroris non-negara seperti meledakkan pesawat sipil (pengeboman
Lockerbile yang dilakukan atas perintah Moammar Qaddafi), pengeboman yang
dilakukan oleh intelijen Prancis terhadap kapal Greenpeace yang melakukan
perjalanan untuk memprotes uji coba nuklir Perancis, rangkaian pengeboman di
tempat publik (Lavon Affair)29 maka mereka tetap tidak bisa disebut sebagai
teroris, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah.
29
The ’Lavon Affair’ mengacu kepada operasi rahasia Israel yang gagal, dengan kode
’Operation Susannah’, yang dilakukan di Mesir pada musim panas tahun 1954. Sebagai
bagian dari operasi false flag, sebuah kelompok Yahudi Mesir direkrut oleh intelijen militer
Israel untuk memasang bom di Mesir, Amerika Serikat, dan Inggris dengan target gedung-
22
Diskursus Terorisme Negara
Sebagai sebuah fenomena, terorisme hanya bisa diidentifikasi menurut
karakter kekerasan yang didefinisikan secara konseptual, bukan dari keistimewaan
politik aktor yang melakukannya. Jika sebuah kekerasan memiliki semua
karakteristik terorisme, maka ia harus dimasukkan dalam kategori terorisme,
siapapun pelakunya.
Jika yang dimaksudkan dengan terorisme adalah kekerasan atau ancaman
kekerasan yang diarahkan terhadap warga sipil untuk menancapkan teror atau
mengintimidasi sebuah populasi dengan alasan politik
disepakati secara umum dalam literatur akademis
sebuah definisi yang
maka negara pun bisa menjadi
teroris. Sebagai contoh, saat negara berusaha menciptakan rasa takut dan
intimidasi pada sebagian penduduknya dalam rangka menekan dukungan
terhadap
gerakan
oposisi,
melalui
kampanye
kekerasan
yang
meliputi
pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan, maka ini termasuk bentuk terorisme.
Dan jika masyarakat yang berusaha diintimadasi adalah penduduk negara lain,
maka ini juga termasuk bentuk terorisme.30
Dengan
memahami
terorisme
sebagai
penggunaan
atau
ancaman
penggunaan kekerasan terhadap sekelompok orang dalam rangka menakut-nakuti
atau mengintimidasi sekelompok orang yang lain sebagai cara untuk mencegah
atau mengubah perilaku politik
maka jelas bahwa sejumlah tindakan negara bisa
masuk dalam kategori terorisme. Contoh, saat penyiksaan banyak digunakan oleh
negara tidak sekadar sebagai alat untuk mengumpulkan data intelijen tentang
ancaman yang bersifat segera, tapi juga sebagai sarana untuk menurunkan moral
para pemimpin dan para pendukung kelompok oposisi dengan menyebarkan
ketakutan, maka penyiksaan jelas menjadi alat terorisme negara.
gedung bioskop, perpustakaan, dan pusat-pusat pendidikan Amerika Serikat. Seranganserangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar yang disalahkan adalah kelompok
Islamis. Israel berharap dengan adanya pengeboman ini Amerika dan Inggris akan
menyerang Mesir.
30
Richard Jackson, “The Ghost of State Terror: Knowledge, Politics, and Terrorism
Studies,” Paper yang dipresentasikan di ISA Annual Conference, 26-29 Maret 2008, San
Francisco, USA.
23
Diskursus Terorisme Negara
Penting
juga
untuk
dicatat
bahwa
meskipun
negara
berusaha
menyembunyikan keterlibatannya dalam kekerasan yang diarahkan terhadap warga
sipil, seperti penyiksaan, dari audien eksternal, mereka masih tetap mengirimkan
pesan yang sangat kuat pada masyarakat lokal atau kelompok masyarakat yang
ingin mereka intimidasi.
Selain itu, negara juga bisa dianggap melakukan teror dengan pola
penghilangan orang. Penghilangan orang sebagai sebuah strategi terorisme
berfungsi untuk mengirimkan pesan simbolis bahwa negara bersifat omnipotent,
omnipresent, dan tidak berbelaskasihan terhadap siapapun yang melawannya.
Praktik lain dari negara yang bisa masuk dalam kategori terorisme adalah
bom teror yang diarahkan terhadap masyarakat sipil di saat perang dalam rangka
mengintimidasi masyarakat agar mereka tunduk atau menakut-nakuti mereka
untuk memberi tekanan pada para pemimpin mereka, terutama jika kota yang
disasar dipilih secara acak. Dengan pemahaman ini, beberapa pengeboman
strategis yang dilakukan oleh AS, sebagaimana strategi shock and awe , yang
banyak menyerang masyarakat sipil Irak, dan praktik pengeboman yang dilakukan
oleh Rusia dan Bashar Assad di Suriah, serta pengeboman yang dilakukan NATO
pada masyarakat sipil Kosovo, masuk dalam kategori terorisme. Dalam semua
kasus di atas, mereka menakut-nakuti sekelompok orang dalam rangka
menghasilkan perubahan politik di pihak lain. Ini adalah esensi dari taktik
terorisme. Kontraterorisme dan kontrainsurgensi juga bisa menjadi bentuk
terorisme jika ia gagal membedakan antara mereka yang bersalah dan mereka
yang tidak bersalah, dilakukan secara sangat tidak proporsional, dan bertujuan
untuk menakut-nakuti populasi yang lebih luas atau sekelompok masyarakat agar
mereka tunduk.31
Berikutnya,
pendapat
bahwa
negara
memiliki
hak
yang
sah
untuk
menggunakan kekerasan sedangkan aktor non-negara tidak memilikinya adalah
pendapat yang tidak tepat. Alasannya, meskipun negara memiliki hak yang
31
Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, hal. 69-73
24
Diskursus Terorisme Negara
legitimate untuk menggunakan kekerasan, hak tersebut sangat dibatasi dan tidak
termasuk hak untuk menggunakan kekerasan terhadap target sipil yang dipilih
secara acak. Mereka juga tidak boleh melakukan genosida, pembersihan etnis,
kejahatan perang, dan aksi sejenis lainnya.
Alasan berikutnya, ada sebuah prinsip moral yang sudah lama dipegang
bahwa aktor non-negara boleh menggunakan kekerasan melawan rezim yang
sangat represif jika metode lainnya gagal atau negara lain gagal melakukan
intervensi. Kenyataannya, negara Barat memiliki sejarah panjang mengakui dan
bahkan mendukung kelompok kekerasan non-negara yang beberapa diantaranya
melakukan terorisme, seperti ANC di Afrika Selatan, SWAPO di Afrika Barat Daya,
kelompok Contra di Nikaragua, kelompok anti-Castro, UNITA di Angola, dan
kelompok lain yang mendapat dukungan militer dan politik dari Barat.
Kedua, pendapat lain yang beredar seputar terorisme negara adalah pendapat
yang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan negara dianggap berbeda
dengan terorisme non-negara karena korbannya tidak dipilih secara acak (yaitu
semua pihak yang menjadi musuh negara), dan mereka tahu apa yang bisa
dilakukan agar terhindar dari kekerasan negara, tidak sebagaimana kasus terorisme
non-negara. Padahal, fakta empiris yang terjadi justru agen negara seringkali
melakukan aksi kekerasan secara acak (mengebom pesawat sipil misalnya), dan
secara reguler memberikan bantuan material kepada aktor proxy non-negara untuk
melakukan hal yang sama. Sedangkan aktor non-negara seringkali memilih target
secara spesifik, bukan acak. ETA dan IRA contohnya, mereka banyak menargetkan
tentara dan polisi, serta pejabat pemerintah.
Poinnya adalah bahwa terorisme tidak didefinisikan oleh pilihan target, tapi
oleh instrumentalisasi korban (baik mereka dipilih secara acak maupun secara
sengaja) dalam rangka mengkomunikasikan sebuah pesan kepada audien. Selain
itu, negara tidak akan pernah bisa mengeliminasi semua musuhnya, karenanya
mereka menyerang musuh mereka secara acak untuk mengintimidasi baik
kelompok oposisi yang lebih luas maupun pendukung negara itu sendiri. Negara
mungkin punya dua pesan dalam kekerasan terorisme yang dilakukannya: untuk
menghabisi musuh dan memberi pesan kepada calon musuh. Kenyataannya, di
dalam negara teror seperti Jerman di era Nazi, Uni Soviet di era Stalin, Kamboja di
25
Diskursus Terorisme Negara
era Pol Pot, misalnya, seluruh rakyat hidup dalam suasana penuh dengan
ketakutan, tidak seorangpun merasa aman.
Beberapa juga berpendapat bahwa kalaupun negara melakukan serangan,
mereka tidaklah secara sengaja menyasar masyarakat sipil. Korban sipil yang terjadi
lebih karena ketidakkesengajaan. Faktanya adalah bahwa betapapun presisi sebuah
serangan, jika target yang akan diserang berkerumun dengan masyarakat sipil, atau
berpotensi menyebabkan korban sipil, maka pelaku serangan memang berniat
melakukan teror. Sebagaimana argumen ahli terorisme, Ruth Blakeley,
saat
[intimidasi] tidak menjadi niat utama, tapi menjadi efek sekunder yang dianggap
wajar dari sebuah tindakan jahat, maka ini tetap merupakan bentuk terorisme
negara.
32
Pendapat ketiga, kekerasan negara bukanlah terorisme karena agen negara
tidak mencari publisitas. Bahkan mereka cenderung menyembunyikan keterlibatan,
tidak sebagaimana aktor non-negara yang justru ingin memaksimalkan publisitas.
Argumen ini tidak bisa membedakan antara publisitas dan komunikasi. Salah
satu elemen kunci dari terorisme adalah komunikasi, bukan publisitas. Bagi aktor
non-negara yang kurang begitu bisa melakukan penetrasi di tengah masyarakat,
publisitas adalah cara terbaik untuk berkomunikasi. Hal yang sama tidak diperlukan
oleh negara. Kekerasan mereka tidak harus membutuhkan publisitas agar sampai
kepada audien. Pada kenyataannya, saat seseorang dalam sebuah negara teror
tiba-tiba diculik dan kemudian hilang, mereka kembali dalam keadaan penuh
siksaan atau jenazah mereka dibiarkan terpotong-poton