Lapsus Edisi 11 Agustus 2016

(1)

(2)

SAAT NEGARA MEMBUNUH DAN MENYIKSA

K. Mustarom

Laporan Khusus

Edisi 11 / Agustus 2016

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: lk.syamina@gmail.com.

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:


(3)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... 3

Executive Summary ... 4

A. Di Balik Topeng Kontraterorisme ... 6

B. Pendekatan Hibrida Perang-Hukum dalam Perang Melawan Teror ... 9

C. Genosida dalam Perang Melawan Teror ... 11

D. Normalisasi Penyiksaan ... 15


(4)

EXECUTIVE SUMMARY

Terorisme sering identik dengan kejahatan negara, yang hampir selalu jauh lebih merusak daripada kekerasan yang ingin mereka lawan. Kontraterorisme juga seringkali kontraproduktif dengan tujuan yang dinyatakannya, karena ia justru mendorong kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang mereka labeli dengan terorisme. Negara, melalui militer, polisi, intelijen dan aparat keamanannya memiliki kapasitas yang sangat besar untuk memaksa dan menimbulkan kekerasan. Tidak mengherankan jika kemudian kejahatan negara yang menyamar dalam topeng kontraterorisme bertanggung jawab atas penderitaan manusia pada skala yang lebih besar dari kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang berlabel terorisme.

Salah satu fitur utama dalam Perang Melawan Teror adalah menolak nilai-nilai dan sistem hukum yang berlaku. Untuk itu, mereka mengklaim bahwa hal tersebut diperlukan untuk melawan ancaman terorisme. Mentalitas ini tidak hanya berhenti di pemerintah AS dalam perang mereka melawan Al-Qaidah, tapi juga diperluas sampai hampir seluruh negara di dunia ini yang mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menggerus sebagian besar hak-hak dasar manusia atas nama Perang Melawan Teror.

Skenario andalan yang sering dipakai dalam perang ini adalah thicking time bom scenario . Masyarakat ditakut-takuti akan adanya potensi ancaman yang membahayakan mereka, dan pada akhirnya dipaksa untuk menoleransi beberapa

pelanggaran negara demi mengatasi ancaman tersebut. Serangkaian kebijakan tersebut secara perlahan melegitimasi perang, penahanan, pengawasan, pembunuhan di luar pengadilan,

profiling, pengadilan rahasia, dan penahanan tanpa pengadilan. Negara berargumen bahwa dalam menghadapi ancaman luar biasa dari terorisme, perlu untuk melanggar hak asasi manusia, dan terkadang, perlu juga untuk melakukan aksi militerpreemptive.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa kontraterorisme seringkali melakukan kekerasan yang jauh lebih berbahaya daripada kekerasan yang ingin mereka atasi. Negara memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menjelekkan musuh mereka sebagai teroris, terlepas dari fakta-fakta yang ada. Kemampuan negara untuk melabeli musuh mereka sebagai teroris membuat kontraterorisme sebagai cara yang dianggap tepat guna untuk menargetkan lawan dan kelompok politik yang dianggap sebagai ancaman. Melabeli negara lain sebagai teroris, atau sebagai pendukung teroris, dapat memberikan dasar yang kredibel untuk melakukan invasi militer dan pendudukan. Amerika juga selalu menegaskan bahwa kontraterorisme merupakan pertahanan yang diperlukan untuk melawan kekerasan dari pihak lain.

Dalam Perang Melawan Teror, AS telah melakukan pembunuhan terhadap 4 juta jiwa, ternasuk 2 juta warga Irak yang meninggal


(5)

karena sanksi ekonomi yang diberikan oleh AS ke negara tersebut. Sebagian besar korban dari perang tersebut, secara statistik, adalah umat Islam jauh bertolakbelakang dengan pandangan umum bahwa kelompok radikal Islam adalah kelompok paling mematikan di Timur Tengah. Sebaliknya, fakta tersebut justru menunjukkan bahwa AS adalah pembunuh paling buruk, dan korban tewas yang dihasilkannya menyerupai dengan genosida agama.

Pada tahun 2009, Stephen M. Walt, seorang profesor hubungan internasional di Harvard University, menulis:

Berapa banyak orang Islam yang dibunuh oleh AS dalam tiga puluh terakhir, dan berapa banyak warga AS yang dibunuh oleh orang Islam? Mendapatkan jumlah yang tepat atas pertanyaan ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin, tapi juga tidak perlu, karena dalam hitungan kasar pun, jumlahnya jelas-jelas sangat timpang.

Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Affleck, Kita jauh lebih banyak membunuh orang Islam dibanding mereka membunuh kita.

Menurut media mainstream, dunia berkabung atas kematian 3.000 orang dalam serangan WTC. Namun, hanya sedikit yang ingat atas 4 juta warga sipil tak berdosa yang dibunuh oleh AS dan sekutunya dalam kampanye Perang Global Melawan Teror.

Dari segala bentuk pembunuhan, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding apa yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan dari semua korban pembunuhan, mereka yang dibunuh oleh negara adalah yang paling rapuh dan tak berdaya,

karena entitas yang mereka percayakan kehidupan dan keamanan mereka atasnya, justru menjadi pembunuh mereka. Saat negara membunuh, kejahatan mereka direncanakan oleh orang-orang kuat. Mereka menggunakan rasionalitas yang dingin dan efisiensi administratif yang sama dengan saat mereka mengambil keputusan untuk melakukan kampanye pemberangusan hama pertanian yang menjengkelkan.

Pembunuhan kini menjadi cara perang Amerika sehari-hari, dan penyiksaan menjadi alat negara. Beberapa skandal penyiksaan di masa depan bisa jadi akan kembali muncul dari penjara suram AS, menambah daftar panjang kekejaman, dari "Tiger Cages" Vietnam Selatan hingga "Salt Pit" di Afghanistan dan "The Hole" di Somalia. Saat itu, dunia mungkin tidak lagi menjadi pemaaf. Dengan gambar-gambar dari penjara Abu Ghraib masih terukir dalam memori manusia, kerusakan otoritas moral Amerika sebagai pemimpin dunia akan semakin dalam dan abadi.


(6)

Dari segala bentuk pembunuhan, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding apa yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan dari semua korban pembunuhan, mereka yang dibunuh oleh negara adalah yang paling rapuh dan tak berdaya, karena entitas yang mereka percayakan kehidupan dan keamanan mereka atasnya, justru menjadi pembunuh mereka. Saat negara membunuh, kejahatan mereka direncanakan oleh orang-orang kuat. Mereka menggunakan rasionalitas yang dingin dan efisiensi administratif yang sama dengan saat mereka mengambil keputusan untuk melakukan kampanye pemberangusan hama pertanian yang menjengkelkan.

Clyde Snow, dikutip dari Witness from the Grave: The Stories Bones Tell, Christopher Joyce dan Eric Stover

Kita harus berpihak. Netralitas justru membantu para penindas, tidak pernah membantu para korban. Diam akan menyemangati para penyiksa, bukan orang yang disiksa. Kadang, kita harus ikut campur. Saat kehidupan manusia terancam, saat harga diri manusia berada dalam bahaya, batas-batas dan sensitivitas nasional menjadi tidak relevan. Saat laki-laki dan wanita dibunuh karena ras, agama, atau pandangan politiknya, maka tempat tersebut pada waktu itu harus menjadi pusat alam semesta.

Elie Wiesel, The Night Trilogy: Night/Dawn/The Accident

A. Di Balik Topeng Kontraterorisme

Pasca serangan 11 September, George W. Bush mendeklarasikan apa yang ia istilahkan dengan perang salib , perang melawan teror . Tak lama setelah itu, AS melakukan invasi ke Afghanistan. Sejak itulah mereka mulai melakukan penculikan di seluruh dunia untuk kemudian di tangkap, diinterogasi, dan disiksa. AS menjalankan sejumlah program rahasia, termasuk detention program , rendetion program , dan enhanced interrogation techniques program . Pada bulan Februari 2002, tahanan pertama tiba di Guantanamo Bay.

Salah satu fitur utama dalam Perang Melawan Teror adalah menolak nilai-nilai dan sistem hukum yang berlaku. Untuk itu, mereka mengklaim bahwa hal tersebut diperlukan untuk melawan ancaman terorisme. Mentalitas ini tidak hanya berhenti di pemerintah AS dalam perang mereka melawan Al-Qaidah, tapi juga diperluas sampai hampir seluruh negara di dunia ini yang mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menggerus sebagian besar hak-hak dasar manusia atas nama Perang Melawan Teror.

Serangkaian kebijakan tersebut secara perlahan melegitimasi perang, penahanan, pengawasan, pembunuhan di luar pengadilan,


(7)

7

profiling, pengadilan rahasia, dan penahanan tanpa pengadilan.

Terorisme sering identik dengan kejahatan negara, yang hampir selalu jauh lebih serius daripada kekerasan yang diduga mereka lawan. Kontraterorisme juga seringkali kontraproduktif dengan tujuan yang dinyatakannya, karena ia justru mendorong kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang mereka labeli dengan terorisme. Negara, melalui militer, polisi, intelijen dan aparat keamanannya memiliki kapasitas yang sangat besar untuk memaksa dan menimbulkan kekerasan. Tidak mengherankan jika kemudian kejahatan negara yang menyamar dalam topeng kontraterorisme bertanggung jawab atas penderitaan manusia pada skala yang lebih besar dari kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang berlabel terorisme.

Kontraterorisme mencakup hukum, polisi, keamanan, dan kekuatan militer serta tindakan lain yang diarahkan pada apa yang oleh negara dianggap sebagai ancaman teroris. Terorisme sangat sulit untuk didefinisikan, dan definisinya pun seringkali diterapkan secara selektif. Kesulitan mendefinisikan terorisme, dikombinasikan dengan mudahnya negara untuk memberikan label, berarti bahwa apa yang kita lihat sebagai terorisme sebagian besar justru dibentuk melalui langkah-langkah kontraterorisme. Eksploitasi ketakutan masyarakat terhadap terorisme memberikan peluang kepada negara untuk terlibat dalam agresi militer dan menerapkan hukum yang represif sesuatu yang biasanya dianggap tidak

dapat diterima, terutama di negara yang mengaku demokratis.

Sejak serangan 11 September 2001, terorisme telah mengambil panggung utama dalam agenda keamanan nasional. Namun selama dekade terakhir, kontraterorisme yang dilakukan dalam perang melawan teror justru sangat terkait dengan kejahatan negara termasuk kejahatan agresi, penyiksaan, kejahatan polisi, korupsi, dan kejahatan korporasi negara.

Negara berargumen bahwa dalam menghadapi ancaman luar biasa dari terorisme, perlu untuk melanggar hak asasi manusia, dan terkadang, perlu juga untuk melakukan aksi militerpreemptive. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kontraterorisme seringkali melakukan kekerasan yang jauh lebih berbahaya daripada kekerasan yang ingin mereka atasi. Negara memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menjelekkan musuh mereka sebagai teroris, terlepas dari fakta-fakta yang ada. Kemampuan negara untuk melabeli musuh mereka sebagai teroris membuat kontraterorisme sebagai cara yang dianggap tepat guna untuk menargetkan lawan dan kelompok politik yang dianggap sebagai ancaman. Melabeli negara lain sebagai teroris, atau sebagai pendukung teroris, dapat memberikan dasar yang kredibel untuk melakukan invasi militer dan pendudukan. Amerika juga selalu menegaskan bahwa kontraterorisme merupakan pertahanan yang diperlukan untuk melawan kekerasan dari pihak lain.

Namun, negara seringkali terlibat (langsung, atau melalui proxy), merancang, atau


(8)

memprovokasi terorisme sebagai taktik untuk mengejar agenda tersembunyi. Dalam dekade sebelumnya, misalnya, perang global melawan teror telah menjadi sarana utama untuk menggapai apa yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai Imperial Grand Strategy. Selain menutupi dan memfasilitasi kejahatan negara, kontraterorisme juga dapat memicu perpecahan politik dan konflik yang mendukung kekerasan yang justru katanya mereka lawan. Meningkatnya ekspresi kekerasan oleh aktor-aktor non-negara seringkali digunakan sebagai pembenaran bagi tindakan lebih lanjut negara yang justru menjadi bagian dari siklus kekerasan yang semakin meningkat.

Tindakan preemptive membentuk dasar dari kebijakan kontraterorisme saat ini. Langkah-langkah preemptive meliputi sejumlah praktek koersif dari negara, mulai dari pengawasan, interogasi koersif, penahanan tanpa tuduhan atau pengadilan, tembakan untuk membunuh, dan invasi militer. Dalam semua kasus di atas, negara bertindak sebelum bukti ancaman konkret. Meskipun koersi negara adalah nyata, dan seringkali menghancurkan, dan terkadang fatal, ancaman masa depan yang dicegah justru sering sekali bersifat spekulatif.

Intelijen, bukan bukti yang diuji di pengadilan terbuka, adalah dasar bagi negara untuk mengklaim prediksi ancaman teroris dan dasar bagi diambilnya tindakan preemptive. Intelijen adalah aspek yang sangat tidak akuntabel dalam kegiatan negara; seringkali dimanipulasi demi kepentingan negara. Intelijen dikumpulkan dan ditafsirkan melalui asumsi

yang dirahasiakan, kecenderungan ideologis, prasangka rasial dan kepentingan politik, dan kebijakan luar negeri. Ketua United States Senate Select Committee on Intelligence, misalnya, menyimpulkan dalam sebuah pernyataan pada tahun 2008 tentang invasi ke Irak bahwapemerintah AS berulang kali menyajikan data intelijen sebagai fakta. Padahal kenyatannya data tersebut tidak berdasar, bertentangan atau bahkan tidak ada.

Pengalaman kontraterorisme kontemporer menunjukkan hubungan panjang dan intim antara kontraterorisme dan kejahatan negara. Setelah rezim militer di Argentina digulingkan pada tahun 1983, sebuah komisi penyelidikan menyimpulkan bahwa terorisme yang dilakukan rezim militer waktu itu jauh lebih buruk dibanding teror yang diduga mereka perangi. Israel terus menerus melakukan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia warga Palestina, termasuk penyiksaan, penghancuran rumah, pemukulan, serangan kekerasan, dan pembunuhan di luar hukum dengan alasan kontraterorisme. Contoh lain, kebijakan kontraterorisme Inggris di Irlandia selama tahun 1970 meliputi kebijakan menembak untuk membunuh, penyiksaan, penahanan tanpa tuduhan atau pengadilan, pelarangan kebebasan berekspresi. Belajar dari kontraterorisme Inggris di Irlandia selama dekade tersebut, Paddy Hillyard sangat menekankan bahwa mereka yang berkuasa seharusnya tidak meninggalkan aturan hukum, dan pencegahan terorisme(preventing of terrorism) seharusnya juga tidak menjadi teror pencegahan(terror of prevention).


(9)

9

B. Pendekatan Hibrida Perang-Hukum dalam Perang Melawan Teror

Setelah serangan 11 September, Presiden AS waktu itu, George W. Bush, menyatakan bahwa pelakunya akan dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, Bush mengumumkan bahwa AS akan melakukan Perang Melawan Terorisme. Dari kedua pernyataan di atas, pernyataan pertama menggunakan bahasa hukum kriminal dan pengadilan kriminal. Ia memperlakukan serangan 11 September sebagai kejahatan yang mengerikan, dan pemerintah AS ingin menghukum pelaku dan perencana yang terlibat dalam aksi tersebut. Sedangkan pernyataan kedua, Perang Melawan Terorisme, menekankan pada sikap dan tindakan pemerintah yang berbeda, bukan pendekatan hukum lagi, tapi pendekatan perang. Dampaknya, statement

tersebut berujung pada meluasnya ruang lingkup tindakan pemerintah AS, karena mereka yang dituduh teroris, yang tidak tahu sama sekali mengenai serangan 11 September, bisa diberi label sebagai musuh. Tapi, itu semua hanya permulaan.

Model perang memberikan tali kekang yang lebih longgar dibanding pendekatan hukum, untuk itulah ia dipakai pasca 9/11. Pertama, dalam perang, bukan dalam hukum, diperbolehkan menggunakan senjata mematikan yang diarahkan kepada pasukan musuh, apapun tingkat keterlibatannya. Tukang masak merupakan target yang sama sahnya dengan jenderal musuh.Kedua, dalam perang, bukan dalam hukum, collateral damage, yaitu

pembunuhan non-kombatan yang tidak disengaja, diperbolehkan. Polisi tidak diperbolehkan mengebom bangunan apartemen yang penuh dengan penghuni hanya karena si pembunuh ada di tempat tersebut. Tapi, pasukan udara bisa mengebom satu bangunan jika di dalamnya ada target militer. Ketiga, bukti secara drastis lebih lemah dalam perang dibanding dalam pengadilan kriminal. Satu pasukan tidak perlu bukti yang sangat valid untuk menyatakan bahwa seseorang adalah pasukan musuh sebelum melakukan tembakan atau menangkap dan memenjarakanya. Mereka tidak butuh bukti sama sekali, hanya sekadar data intelijen yang masuk akal. Karenanya, tidak heran jika saat warga sipil jadi korban serangan AS, yang terucap seringkali hanya penyesalan, bukan permintaan maaf. Keempat, dalam perang seseorang bisa menyerang musuh tanpa memerhatikan apa yang telah mereka lakukan. Dalam perang, target yang sah adalah mereka yang karena perang mungkin akan membahayakan kita, bukan mereka yang telah

membahayakan kita. Mungkin ada perbedaan signifikan lainnya, namun poin dasarnya cukup jelas: karena mandat dari Washington untuk mencegah terjadinya serangan ala 9/11 di masa depan, model perang memberikan keuntungan lebih banyak dibanding model hukum.

Namun, pilihan tersebut juga ada konsekuensi atau kerugian yang harus diterima. Dalam perang, bukan dalam model hukum, melawan balik adalah respon yang legitimate. Kedua, saat satu negara melakukan perang, negara lain mungkin boleh memilih untuk netral.


(10)

Ketiga, karena melawan balik adalah legitimate, dalam perang, pasukan musuh berhak mendapatkan perlakukan khusus saat ia cedera atau menyerahkan diri. Tidak diperbolehkan untuk menghukum mereka karena peran mereka dalam peperangan. Mereka juga tidak boleh diinterogasi secara keras saat ditangkap. Konvensi Jenewa ketiga menyatakan bahwa: Tahanan perang yang menolak untuk menjawab [pertanyaan] tidak boleh diancam, dihina, atau diperlakukan secara tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Dan ketika perang berakhir, pasukan musuh harus dikembalikan.

Nah, di sini, Washington mempunyai ide lain, untuk mengeliminir kerugian yang ada dalam model perang tradisional. Washington memandang mereka yang diduga teroris tidak hanya sebagai musuh militer, tapi juga sebagai pelaku kriminal. Dalam model hukum, kriminal tidak diperkenankan untuk menembak balik, dan aksi kekerasan yang mereka lakukan membuat mereka bisa dibawa ke dalam hukuman yang

legitimate. Inilah yang kita lihat dalam perilaku Washington dan sekutunya dalam Perang Melawan Terorisme. Dengan secara selektif mengombinasikan elemen yang ada dalam model perang dan elemen yang ada dalam model hukum, Washington mampu memaksimalkan kemampuannya untuk memobilisasi pasukan yang mematikan melawan entitas yang mereka anggap teroris sembari menghapuskan hak yang dimiliki oleh pasukan militer musuh, juga hak orang-orang yang tak bersalah yang terperangkap di tengah baku tembak.

Perang Melawan Terorisme menjadi ancaman tersendiri bagi hak asasi manusia, karena dalam perang menghargai hak asasi manusia secara praktek tidak mungkin atau secara teori tidak diperlukan. Kombatan menjadi target yang legitimate, non kombatan yang terluka secara tidak sengaja dianggap sebagai

collateral damage, bukan sebagai korban kekejaman. Dalam model hibrida perang-hukum semakin mengurangi hak asasi mereka dengan mengklasifikasikan musuh sebagai unlawful combatan.

Salah satu contoh dari pengurangan hak asasi manusia adalah toleransi terhadap penyiksaan. Sejak 11 September, AS telah banyak mentransfer puluhan tersangka terorisme ke negara yang nantinya akan menyiksa mereka. Penyiksaan pun menjadi praktik yang lazim oleh negara terhadap tahanan kasus terorisme. Seringkali hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa penangguhan hak asasi manusia adalah tindakan darurat untuk mengatasi ancaman terorisme. Namun pertanyaannya, sampai kapan hak asasi manusia akan terus ditangguhkan? Kapan perang akan berakhir?


(11)

11

C. Genosida dalam Perang Melawan Teror

Hingga sekarang, AS dan sekutunya masih merahasiakan jumlah korban yang diakibatkan oleh aksi mereka. Mereka hanya tertarik menghitung korban dari pihak mereka: 4.804 pasukan multinasional telah terbunuh di Irak dari Maret 2003 hingga Februari 2012, waktu di mana AS berhenti menghitung jumlah korban. Hingga akhir 2014, mereka juga mencatat bahwa 3.485 pasukan keamanan internasional dari NATO telah kehilangan nyawa di Afghanistan. Di Pakistan, karena AS dan pasukan internasional merahasiakan penerjunan pasukannya di sana, terutama di wilayah tribal, tidak ada data statistik jumlah korban dari pasukan mereka tersebut.

Gambaran tentang personel militer yang terluka dalam kancah perang tersebut juga tidak lengkap. Hanya pasukan militer AS yang diidentifikasi, yaitu 32.223 pasukan yang terluka sepanjang invasi ke Irak sejak tahun 2003, dan hingga November 2014 sejumlah 20.040 pasukan terluka di Afghanistan.

Tidak ada data yang disajikan mengenai gangguan mental yang menghinggapi personel militer yang diterjunkan di Irak, Afghanistan, dan Pakistan.

Dari sejumlah data di atas, mereka secara resmi mengabaikan korban dari pihak sipil maupun dari kombatan lawan, baik yang terbunuh maupun yang terluka. Fakta tersebut tentu saja tidak mengejutkan. Langkah tersebut bukanlah karena kelalaian, namun memang disengaja. Pemerintah AS masih terus

merahasiakan jumlah korban serangan mereka. Dan hal itu bukan tanpa alasan, terbukanya dampak mengerikan dari kebijakan mereka ke ruang publik, akan meruntuhkan argumen mereka bahwa mereka melakukan invasi ke Irak dalam rangka membebaskan rakyat negara tersebut dari kediktatoran, menghapuskan Al Qaidah dari Afghanistan dan mengeliminasi tempat perlindungan teroris di Pakistan agar mereka tidak melancarkan serangan ke wilayah AS, meningkatkan keamanan global, serta dalam rangka menguatkan hak asasi manusia. Semua itu dilakukan dengan biaya yang bisa dipertanggungjawabkan.

Namun, kenyataan berkata lain. Masyarakat dunia tahu bahwa seluruh perhitungan tersebut keliru. Abad ke 21 menjadi saksi hilangnya nyawa jutaan masyarakat sipil dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya terutama di Irak, Afghanistan, dan Pakistan. Dan tak seorang pun berani bertanya apakah langkah tersebut layak diambil.

Media Barat seringkali menggunakan kata genosida saat pemerintah mereka tidak terlibat dalam sebuah konflik. Di Rwanda dan Sudan, kata genosida seringkali kita dengar dari mereka. Tapi, saat Barat terlibat atau ambil bagian dalam sebuah konflik bersenjata, kita jarang mendengar kata genosida digunakan, bahkan dalam sebuah pembunuhan tanpa keadilan terhadap warga sipil tak berdosa sekalipun. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Timur Tengah adalah umat Islam, dan mereka sangat terpengaruh oleh perang imperalis Barat di wilayah tersebut.


(12)

Mungkin, hampir tidak mungkin untuk bisa mendapatkan data jumlah korban yang pasti dari perang yang dilancarkan oleh Barat di Timur Tengah tersebut, namun sebuah investigasi terbaru mengungkapkan sebuah fakta yang mencengangkan: jumlah umat Islam yang dibunuh oleh Barat telah mencapai angka 4 juta, bahkan mungkin bisa lebih. Dalam bahasa singkatnya, AS dan sekutunya telah melakukan, dan masih terus melakukan, kejahatan melawan kemanusiaan.

Pada bulan Maret 2015, Physicians for Social Responsibility, salah satu peraih nobel perdamaian, mengungkapkan bahwa korban perang Irak sejak invasi AS dan sekutunya tahun 2003 sekitar 1,3 juta. Bahkan mereka juga menduga mungkin jumlahnya bisa meningkar menjadi sekitar 2 juta orang yang telah tewas.1

Investigasi ini menyimpulkan bahwa perang [melawan teror], secara langsung atau tidak langsung, telah membunuh sekitar 1 juta orang di Irak, 220.000 di Afghanistan, dan 80.000 di Pakistan, dengan total sekitar 1,3 juta. Hitungan ini belum termasuk zona perang lain seperti Yaman. Jumlahnya kira-kira 10 kali lipat lebih besar dari yang selama ini disadari oleh publik, para ahli, dan para pembuat keputusan, dan dipropagandakan oleh media dan NGO-NGO besar. Dan ini hanya hitungan kasar. Jumlah total korban tewas di tiga negara yang disebut di atas bisa jadi mencapai 2 juta. 2

1

http://www.psr.org/assets/pdfs/body-count.pdf

2

http://www.ippnw.de/commonFiles/pdfs/Frieden/Body_Coun t_first_international_edition_2015_final.pdf

Sebulan kemudian, pada bulan April 2015, jurnalis investigasi, Nafeez Ahmed, mengungkapkan bahwa korban tewas yang sesungguhnya bisa mencapai 4 juta orang jika korban yang tewas akibat dari sanksi AS di Irak juga dimasukkan. 3 Menurut Ahmed, studi

tersebut hanya menghitung korban dari konflik kekerasan. Sedangkan banyak korban lain yang tewas sebagai dampak atas kerusakan yang disebabkan oleh perang melawan terorisme terhadap infrastruktur-infrastruktur penting, dari jalan, lahan pertanian, hingga rumah sakit, yang belum dihitung.

Menurut PBB, sekitar 1,7 juta orang tewas, separuhnya anak-anak, sebagai akibat dari sanksi ekonomi yang diberikan kepada Irak dan dikuatkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 661, yang kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah AS pada tahun 1990-an.4

Istilah genosida mulai muncul pada tahun 1943, melalui pengacara Yahudi Polandia bernama Raphael Lemkin. Lemkin menciptakan kata tersebut dengan mengombinasikan kata Yunana, geno , yang berarti rakyat atau suku, dengan istilah latin cide , yang berarti membunuh.

Pengadilan Nurnberg, yang mengadili beberapa petinggi Nazi atas kejahatan kemanusiaan, mulai digelar pada tahun 1945 dengan dasar dari ide genosida Lemkin. Tahun berikutnya, genosida menjadi hukum internasional. Menurut United to End Genocide:

3

http://www.middleeasteye.net/columns/unworthy-victims- western-wars-have-killed-four-million-muslims-1990-39149394

4


(13)

13

Pada tahun 1946, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menekankan bahwa genosida adalah kejahatan dalam hukum internasional, tapi tidak memberikan definisi hukum mengenai kejahatan yang dimaksud.

Dengan dukungan dari perwakilan AS, Lemkin mempresentasikan draft pertama Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman atas Genosida di depan PBB. Majelis Umum PBB mengadopsi konvensi tersebut pada tahun 1948, meski perlu waktu tiga tahun sejak saat itu untuk membuat negara anggota menandatanganinya.

Menurut konvensi tersebut, genosida didefinisikan sebagai:

tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan:

a. Membunuh anggota kelompok b. Menyebabkan luka parah baik

mental maupun fisik kepada anggota kelompok

c. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitung-kan adiperhitung-kan mengakibatdiperhitung-kan kehancur-an fisik baik secara menyeluruh maupun sebagian

d. Memaksakan tindakan yang meng-hambat kelahiran dalam kelompok

e. Secara paksa memindah anak-anak satu kelompok ke kelompok lain.

Menurut konvensi tersebut, genosida tidak sekadar didefinisikan sebagai tindakan pembunuhan yang disengaja, tapi juga meliputi kegiatan membahayakan lain yang lebih luas:

secara sengaja sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik seluruh atau sebagiannya , termasuk dengan sengaja menghilangkan sumber-sumber yang digunakan untuk kelangsungan hidup seperti air bersih, makanan, pakaian, tempat perlindungan atau perawatan medis. Penghilangan sumber-sumber kelangsungan hidup dapat dilakukan melalui pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan, penahanan didalam kamp-kamp, atau pemindahan atau pengusiran secara paksa.

Kata kunci dalam konvensi tentang genosida adalah aksi yang dilakukan dengan niat untuk menghacurkan. Meski fakta menunjukkan banyaknya korban tewas di dunia Islam akibat perang yang dilancarkan Barat, mungkin sulit bagi kita untuk berargumen bahwa aksi yang dilakukan oleh Barat sengaja diniatkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras, atau agama tertentu. Para pembuat konvensi tersebut pun sadar akan hal itu, hanya sedikit


(14)

dari yang melakukan genosida yang berani menorehkan kebijakan mereka tersebut dalam sebuah tulisan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nazi. Meski demikian, sebagaimana yang ditulis oleh Genocide Watch pada tahun 2002: Niat bisa dibuktikan secara langsung dari pernyataan atau perintah. Tapi lebih daripada itu, ia bisa diduga dari sebuah pola sistematis aksi yang terkoordinasi. 5

Pasca serangan 11 September, presiden George W. Bush menggunakan pilihan kata yang cukup aneh dan kontroversial dalam satu satu pidatonya. Penulis dari Wall Street Journal, Peter Waldman dan Hugh Pope, mencatat:

Presiden Bush bersumpah untuk membersihkan dunia para penjahat, kemudian memperingatkan: perang salib ini, perang melawan terorisme ini, akan berjalan dalam beberapa waktu.

Perang Salib? Dalam penggunaan yang cukup tepat, kata tersebut menjelaskan tentang ekspedisi militer Kristen satu milenium yang lalu untuk merebut Tanah Suci dari umat Islam. Tapi bagi dunia Islam, di mana sejarah dan agama melingkupi kehidupan sehari-hari dalam sebuah cara yang tidak dapat diduga oleh sebagian besar warga AS, [kata tersebut] bermakna lain: invasi kultural dan ekonomi Barat yang, dikhawatirkan oleh umat Islam, akan berusaha menaklukkan mereka dan menodai agama Islam. 6

5

http://www.genocidewatch.org/genocide/whatisit.html

6

http://www.wsj.com/articles/SB1001020294332922160

Setelah itu, dalam perang yang dilakukan di Irak dan Afghanistan, AS tidak hanya membunuh jutaan orang, tapi mereka juga secara sistematis menghancurkan infrastruktur kesehatan, dan kehidupan di negara tersebut. Dalam konteks ini, banyak warga AS yang menjalankan bahasa kontroversial Bush, yaitu perang Salib, dengan menyerukan agar umat Islam dimasukkan ke dalam camp 7 atau bahkan secara terbuka

menyerukan dilakukannya genosida.8

Sebagian besar korban dari perang tersebut, secara statistik, adalah umat Islam jauh bertolakbelakang dengan pandangan umum bahwa kelompok radikal Islam adalah kelompok paling mematikan di Timur Tengah. Sebaliknya, fakta tersebut justru menunjukkan bahwa AS adalah pembunuh paling buruk, dan korban tewas yang dihasilkannya menyerupai dengan genosida agama.

Pada tahun 2009, Stephen M. Walt, seorang profesor hubungan internasional di Harvard University, menulis:

Berapa banyak orang Islam yang dibunuh oleh AS dalam tiga puluh terakhir, dan berapa banyak warga AS yang dibunuh oleh orang Islam? Mendapatkan jumlah yang tepat atas pertanyaan ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin, tapi juga tidak perlu,

7

https://firstlook.org/theintercept/2015/07/20/chattanooga-wesley-clark-calls-internment-camps-disloyal-americans/

8

http://www.salon.com/2014/10/07/why_right_wing_christian s_are_actively_promoting_genocide_partner/


(15)

15

karena dalam hitungan kasar pun, jumlahnya jelas-jelas sangat timpang. 9

Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Affleck, Kita jauh lebih banyak membunuh orang Islam dibanding mereka membunuh kita. 10

Menurut media mainstream, dunia berkabung atas kematian 3.000 orang dalam serangan WTC. Namun, hanya sedikit yang ingat atas 1,3 juta warga sipil tak berdosa yang dibunuh oleh AS dan sekutunya dalam kampanye Perang Global Melawan Teror.

D. Normalisasi Penyiksaan

Pada bulan September 2002, Maher Arar, insinyur Kanada kelahiran Suriah, ditangkap karena didapati minum kopi bersama salah seorang terduga teroris. Ia ditahan di Amerika selama 13 hari tanpa tuduhan. Arar menyangkal bahwa ia memiliki hubungan dengan terorisme. Dalam keadaan kaki diborgol, ia dibawa dalam sebuah pesawat jet ke Suriah melalui Italia dan Yordania. Selama dua belas bulan, Arar disiksa. Ia dipukul secara reguler dan dimasukkan dalam sebuah sel yang sangat gelap. Pada bulan Oktober 2003, atas intervensi diplomatik Kanada, ia dilepaskan. Duta Besar Suriah untuk AS mengumumkan bahwa mereka tidak mampu

9

http://foreignpolicy.com/2009/11/30/why-they-hate-us-ii-how-many-muslims-has-the-u-s-killed-in-the-past-30-years/

10

http://www.realclearpolitics.com/video/2014/10/03/bill_m aher_vs_ben_affleck_on_islam_mafia_that_will_fucking_kill_ you_if_you_say_the_wrong_thing.html

menemukan satu pun bukti keterlibatan Arar dengan terorisme.11

Pada bulan Oktober 2003, pasukan koalisi di Irak menangkap kepala Angkatan Udara Irak, Jenderal Abed Hamed Mowhoush. Ia meninggal pada bulan 26 November 2003 di penjara yang tidak diketahui. Pentagon merilis sertifikat kematian dan mendeklarasikan bahwa Mowhoush meninggal karena penyebab alami . Koran The Denver Post mencoba melakukan investigasi atas kematian tersebut, yang akhirnya memaksa Pentagon untuk mengakui bahwa laporan otopsi menunjukkan bahwa Mowhoush meninggal karena cekikan dan tekanan di dada .12

Di Guantanamo, Martin Mubanga dipaksa untuk duduk dalam posisi yang tertekan . Ia juga dilecehkan secara rasial dan seksual. Ironisnya, Mubanga mengalami penyiksaan yang paling kejam justru saat pejabat Inggris dan AS secara resmi mengumumkan bahwa ia tidak memiliki keterkaitan dengan terorisme.13

Pada bulan Januari 2005, Presiden AS saat itu, George W. Bush, memberikan jaminan kepada dunia bahwa penyiksaan tidak pernah bisa diterima, dan kami tidak akan menyerahkan seseorang ke suatu negara yang melakukan penyiksaan. 14 Demikian juga Obama, yang

mengatakan pada masa kampanye pemilihan

11

http://www.newyorker.com/magazine/2005/02/14/outsourci ng-torture

12

http://www.nybooks.com/articles/2004/07/15/making-torture-legal/

13

https://www.theguardian.com/uk/2005/feb/06/world.guanta namo

14


(16)

presiden, Kita harus jelas dan tegas. Kita tidak menyiksa, titik. Itu akan menjadi posisi saya sebagai presiden. 15

Maher Arar, Mowhoush, dan Mubanga mungkin akan terkejut mendengar statement

tersebut. Atau mereka akan tersenyum sinis, menyaksikan sandiwara penuh kepalsuan yang terus diulang. Di dunia ini masih banyak Arar, Mowhoush, dan Mubanga lain yang menjadi korban kebrutalan negara. Tidak hanya oleh AS, namun juga negara lain yang bergabung dalam kampanye tersebut. Semua dilakukan atas nama Perang Melawan Teror.

Dorongan Amerika Serikat untuk menggunakan penyiksaan, tentu saja, tidak dimulai pada 12 September 2001. Praktik tersebut memiliki akar dari awal Perang Dingin. Secara publik, Washington menentang penyiksaan dan memimpin dunia dalam menyusun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 dan Konvensi Jenewa pada tahun 1949. Namun, secara bersamaan dan secara diam-diam, Central Intelligence Agency (CIA) mulai mengembangkan teknik penyiksaan baru yang bertentangan dengan konvensi internasional.

Dari tahun 1950 sampai tahun 1962, CIA memimpin upaya penelitian rahasia untuk memecahkan kode kesadaran manusia, yang menghasilkan dua temuan yang menjadi dasar bagi bentuk baru penyiksaan psikologis. Pada awal 1950-an, berkolaborasi dengan CIA, psikolog Kanada, Dr Donald Hebb, menemukan

15

http://edition.cnn.com/TRANSCRIPTS/0804/13/se.01.html

bahwa dengan menggunakan kacamata, sarung tangan, dan penutup telinga, ia bisa menginduksi keadaan yang mirip dengan psikosis (sejenis penyakit jiwa).16Secara bersamaan, dua dokter

terkemuka di Cornell University Medical Center, juga bekerja sama dengan CIA, menemukan bahwa teknik penyiksaan paling dahsyat yang digunakan oleh KGB, Uni Soviet, hanyalah dengan memaksa korban untuk berdiri selama berhari-hari, hingga kaki mereka membengkak secara sangat menyakitkan dan mereka pun mulai berhalusinasi.17

Pada tahun 1963, setelah satu dekade melakukan penelitian kontrol pikiran, CIA mengkodifikasikan temuan ini dalam sebuah buku pegangan rahasia, manual KUBARK Counterintellegence.18 Buku tersebut menjadi

dasar bagi metode baru penyiksaan psikologis yang disebarluaskan ke seluruh dunia dan dalam komunitas intelijen AS. Untuk menghindari keterlibatan langsung dalam penyiksaan, CIA melatih negara sekutu untuk melakukan pekerjaan kotor di penjara di negara Dunia Ketiga, seperti yang terkenal Vietnam Selatan,

Tiger Cages.19

Ketika pemerintahan Clinton meluncurkan kampanye terselubung melawan Al-Qaidah, CIA menghindari keterlibatan langsung dalam

16

http://www.tomdispatch.com/post/175080/alfred_mccoy_ba ck_to_the_future_in_torture_policy

17

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1806200/

18

http://en.wikisource.org/wiki/KUBARK_Counterintelligence_I nterrogation

19

http://www.historiansagainstwar.org/resources/torture/luce. html


(17)

17 pelanggaran hak asasi manusia dengan mengirimkan 70 tersangka teroris ke negara-negara sekutu yang terkenal dengan praktik penyiksaannya. 20 Praktek ini, yang disebut

"rendisi luar biasa," sebenarnya dilarang oleh konvensi PBB. Sehingga, lagi-lagi, AS mempertontonkan kontradiksi antara prinsip-prinsip yang mereka gelorakan dengan praktik nyata yang mereka lakukan. Namun, praktik tersebut dijalankan dengan sangat rahasia. Tidak banyak publik yang tahu, hingga akhirnya skandal Abu Ghraib menyibak sebuah gunung es praktik penyiksaan AS.

Tepat setelah pidato pertamanya pasca serangan 11 September 2001, Presiden George W. Bush memberi perintah rahasia kepada stafnya untuk menggunakan interogasi yang keras. "Saya tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh para pengacara internasional, kita akan menendang orang-orang bodoh."21

Segera setelah itu, CIA mulai membuka "black sites" yang membentang dari Thailand hingga Polandia. Mereka juga menyewa jet eksekutif untuk menyerahkan tersangka teroris yang ditahan ke negara-negara sekutu.22Praktik

penyiksaan psikologis yang ditinggalkan sejak akhir Perang Dingin pun dibuka kembali.

Pada akhir tahun 2002, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld menunjuk Jenderal Geoffrey Miller untuk menjadi kepala penjara di Guantanamo, Kuba, dan memberinya

20

http://www.fas.org/irp/offdocs/pdd39.htm

21

http://www.alternet.org/story/27771/the_torture_test

22

http://www.nytimes.com/2005/05/31/national/31planes.htm l

kewenangan yang sangat luas untuk mengembangkan serangan total tiga fase pada reseptor sensorik, identitas budaya, dan psikis tahanan. Setelah Miller mengunjungi penjara Abu Ghraib pada September 2003, komandan AS di Irak memerintahkan penggunaan metode penyiksaan psikologis di penjara AS di negara tersebut, termasuk disorientasi sensorik, nyeri yang ditimbulkan sendiri (self-inflicted pain), dan inovasi terbaru, penghinaan kultural melalui paparan anjing yang diyakini oleh AS akan sangat merusak secara psikologis bagi orang Arab.23

Hanya dua bulan setelah CBS News menyiarkan foto-foto penyiksaan Abu Ghraib pada bulan April 2004, 35% orang Amerika yang disurvei masih merasa bahwa penyiksaan masih bisa diterima.24Mengapa begitu banyak orang

yang toleran dengan penyiksaan?

Salah satu penjelasannya adalah, pada tahun-tahun setelah 9/11, media massa AS sering menampilkan gambar penyiksaan. Mereka juga berusaha melakukan normalisasi penyiksaan. Fantasi mengenai ticking time bomb scenario sering digembar-gemborkan: teroris akan menyerang negara, karenanya kita boleh melakukan penyiksaan untuk mengorek informasi.

Beberapa bulan setelah 9/11, profesor Harvard, Alan Dershowitz, meluncurkan kampanye multimedia dengan pesan bahwa

23

http://archive.truthout.org/article/gen-ricardo-sanchez-orders-torture-iraq-his-memo

24

http://www.nytimes.com/2004/06/27/magazine/27WWLN.ht ml


(18)

penyiksaan diperlukan jika agen intelijen AS menemukan bahwa teroris telah menanam bom nuklir yang sedang berdetak di New York Times Square. Meskipun skenario tersebut adalah sebuah fantasi yang berbasis pada sebuah artikel filsafat akademis tahun 1973, fantasi bom waktu tersebut sudah cukup untuk menjadi kiasan media dan realitas persuasif bagi warga dunia. Fantasi ancaman tersebut berusaha mempengaruhi masyarakat untuk bisa menerima, bahwa penyiksaan adalah normal untuk menghadapi ancaman teror.

E. Teror Drone

Globalisasi kadang-kadang didefinisikan sebagai penyempitan ruang dan waktu. Dunia membawa masyarakat yang jauh menjadi lebih dekat melalui pertukaran sosial, teknologi dan ekonomi. Saat dunia semakin dekat, kita justru kini menyaksikan bahwa cara perang dan penahanan semakin jauh dari moralitas melalui sebuah proses dehumanisasi.

Dalam bukunya, Drone Theory, Gregoire Chamayou menjelaskan bahwa perubahan sifat perang tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga moral:

"... Drone bersenjata sampai ke dalam batas: siapa pun yang menggunakan senjata tersebut menjadi tidak mungkin untuk mati saat ia membunuh. Perang, dari kemungkinan asimetris, menjadi benar-benar sepihak. Apa yang masih bisa diklaim sebagai pertempuran kini diubah menjadi sebuah kampanye yang sebenarnya adalah pembantaian.

Menurutnya, operasi drone telah muncul sebagai lawan dari taktik bom bunuh diri. Jika pelaku bom bunuh diri merupakan perpaduan antara manusia dan senjata (membawa mereka ke titik terdekat dengan konflik), operator pesawat tanpa awak adalah sebaliknya: "Jika bom bunuh diri bisa menyebabkan kematian pelakunya. Drone benar-benar tidak termasuk itu. Kamikaze adalah mereka yang kematiannya pasti. Pilot drone adalah mereka yang kematiannya mustahil. Dalam hal ini, mereka mewakili dua kutub yang berlawanan dari spektrum paparan kematian. Di antara keduanya adalah para pejuang klasik, mereka sama-sama berisiko mati."

Chamayou tidak hanya membatasi pada pertanyaan moral, tetapi juga mempelajari pengoperasian drone, dan sejauh mana kebenaran klaim akurasi mereka. AS, khususnya, mengklaim bahwa ia berhasil menargetkan para pejuang, tetapi mengutip wartawan NYT Jo Becker dan Scott Shane, asumsi tersebut didasarkan pada sistem penghitungan yang salah. Proses dehumanisasi dalam perang drone telah mengakibatkan munculnya paradigma bahwa mereka yang terkena serangan adalah bersalah sampai terbukti tidak bersalah, di mana sistem penghitungan mereka menganggap bahwa setiap laki-laki yang tewas dalam zona serangan adalah kombatan, kecuali jika terbukti sebaliknya.

Aspek paling mencolok dari perang drone ini adalah deskripsi 100 anggota pembentukan keamanan AS yang berkumpul di "Terror Tuesday" dalam rangka menentukan orang yang akan dibunuh. Keputusan tersebut kemudian


(19)

19 dibenarkan oleh nasihat hukum Departemen Luar Negeri dengan mengklaim bahwa semua prosedur yang dipakai kuat, dan pada akhirnya, sebagai yang dikatakan Chamayou, "Percayalah, bahkan dengan mata tertutup sekalipun."

Dalam Perang Melawan Teror, gagasan dalam prinsip-prinsip tradisional tentang keadilan dan proses hukum tidak lagi berlaku. Dan transparansi yang dibawa oleh prinsip-prinsip tersebut digantikan dengan sistem sekuritisasi yang berbasis pelepasan hak asasi.

Chamayou tidak melihat drone sebagai bagian dari konflik bersenjata, melainkan sebagai bagian dari sekuritisasi dunia. Perang drone telah bergerak di luar wilayah konflik menjadi penahanan dan eksekusi massal:

"Drone memang mengerikan. Mereka menimbulkan teror massal pada seluruh masyarakat. Hal inilah kematian, cedera, kerusakan, kemarahan, dan duka cita yang menjadi efek permanen dari surveillance yang mematikan.

Serangan drone kini telah menjadi kebijakan perang melawan teror AS. Pesawat tanpa awak tersebut memberikan solusi yang unik bagi politik perang yang tidak populer, memberikan AS kemampuan untuk menyerang target di tempat terpencil di dunia tanpa membahayakan kehidupan warga AS.

Pembunuhan dengan drone adalah medan baru perang AS. Serangan pertama drone diarahkan ke Afghanistan pada tanggal 7 Oktober

2001,25dan sejak saat itu penggunaan serangan

dengan drone semakin membabibuta. Sampai hari ini, serangan drone sudah dilakukan lebih dari 400 kali di Afghanistan, Pakistan, Yaman, dan Somalia, dan hari ini, di Suriah, serangan tersebut terjadi dengan frekuensi yang lebih besar.26Pada tahun 2019, serangan drone AS

diharapkan meningkat 50 persen dari level saat ini.27

Pada bulan Mei 2013, Obama membela kebijakan drone AS dan mengklaim akan bertanggungjawab untuk mengawasi program tersebut.28Ia juga mengklaim bahwa target yang

diserang terbatas pada teroris yang memberikan ancaman yang terus menerus dan bersifat segera (imminent)kepada warga AS, serangan tersebut hanya akan dilakukan jika hampir bisa dipastikan bahwa target tersebut memang ada di tempat, hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat sipil non kombatan tidak akan cedera atau terbunuh karenanya, dan jika penangkapan tidak memungkinkan pada saat operasi dilakukan.

Benarkah janji Obama tersebut?

Dokumen yang dibocorkan oleh The Intercept menunjukkan bahwa klaim Obama tersebut menyesatkan dan bahkan palsu.29

Faktanya, program drone AS tidak presisi dan semena-mena serta membahayakan warga sipil di semua tempat. Program tersebut juga

25

http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/05/ america-first-drone-strike-afghanistan/394463/

26

https://www.thebureauinvestigates.com/category/projects/ drones/drones-graphs/

27

http://www.wsj.com/articles/pentagon-to-add-drone-flights-1439768451

28

http://www.nytimes.com/2013/05/24/us/politics/transcript -of-obamas-speech-on-drone-policy.html?_r=0

29


(20)

merupakan program yang kurang bisa dikontrol oleh Obama.

Obama menyerahkan otoritas eksekusi pada militer dan tidak banyak tahu soal jumlah warga sipil yang terkena dampak dari serangan tersebut. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa meskipun ia berada di puncak tertinggi rantai komando, ia tidak banyak bertanya tentang sikap yang diambil bawahannya. Pengawasan yang ia lakukan hanyalah sekadar memberi stempel.

Bocoran dokumen tersebut membalikkan klaim bahwa target AS hanya mereka yang memberikan ancaman kepada orang AS secara terus-menerus dan bersifat segera. Dokumen tersebut mencatat bahwa target yang dibidik sekadar mereka yang mengancam personil atau kepentingan AS, kontradiktif dengan penjelasan pemerintah AS. Standar segera tentunya sangat tidak mungkin dipenuhi di negara seperti Somalia dan Yaman, di mana kehadiran pasukan AS di sana sangat sedikit sekali.

Dokumen tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah presiden AS menyetujui seorang target, militer punya waktu 60 hari untuk melakukan serangan. Padahal, dalam perang, banyak yang bisa berubah dalam waktu 60 hari. Target bisa saja menyerahkan senjatanya, tidak lagi melakukan permusuhan atau membentuk aliansi baru, untuk kemudian dibunuh hanya karena dianggap memberikan ancaman yang bersifat segera beberapa bulan atau minggu sebelumnya.

Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa standar hampir pasti yang ditawarkan oleh Obama tidak lagi dijaga. Program drone,

terutama di Yaman dan Somalia, dijalankan dengan hampir secara eksklusif hanya berdasarkan intelijen berbasis sinyal untuk mengidentifikasi dan membunuh target. Tidak seperti intelijen manusia, yang didapatkan dari sumber-sumber lokal, intelijen berbasis sinyal bergantung pada penyadapan komunikasi, telepon, dan metadata komputer yang kurang

reliable. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa teknologi yang digunakan tidak presisi, dan bahkan sebuah studi mengakui kelemahan mendasar dari teknologi tersebut untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi target secara akurat.

Kosa kata dari program drone meremehkan serangan drone dan tidak memanusiakan korbannya.

Kesalahan intelijen tersebut berdampak pada signifikannya jumlah korban sipil yang tewas. Dalam operasi Haymaker di Afghanistan, misalnya, serangan drone AS membunuh 35 target dan 200 warga sipil. Dalam kebijakan AS, warga sipil tersebut dianggap sebagai musuh yang terbunuh dalam sebuah aksi, karena usia mereka usia militer dan berhubungan dengan target. Dan mereka tetap dianggap sebagai musuh yang terbunuh dalam sebuah aksi sampai terbukti bahwa mereka bukan teroris atau kombatan musuh, satu hal yang hampir mustahil untuk membuktikan orang yang sudah terbunuh. Kemungkinan terjadinya korban sipil semakin besar di Somalia dan Yaman, saat AS sangat bergantung, hampir secara eksklusif, pada intelijen sinyal.


(21)

21 Dengan sekian fakta tersebut, mungkin ada pihak yang ingin dilakukannya pengawasan yang lebih besar dari Kongres. Mungkin ada juga yang menyesalkan tentang kurangnya pengawasan yudisial. Dan mungkin juga ada yang menyarankan dibentuknya komisi khusus untuk mengkaji penggunaan senjata mematikan oleh pemerintah Obama. Semua usaha tersebut mungkin sangat baik sebagai langkah pertama, namun langkah tersebut sangat mungkin akan dihindari oleh sebuah pemerintahan yang mabuk oleh kerahasiaan dan sangat ketakutan dengan transparansi.

Sementara itu, program drone AS akan semakin dalam dan intensif. Militer AS menganggap serangan drone sebagai cara yang sangat cerdik dan efisien untuk melakukan perang, tanpa harus melakukan kesalahan invasi darat besar-besaran yang pernah terjadi di Irak dan Afghanistan.

Institusionalisasi dan birokratisasi drone bukan hanya dilakukan oleh militer AS. CIA juga memiliki program drone yang kita tidak banyak tahu. Serangkaian pihak di AS, baik pemerintah maupun warga sipil, juga memfasilitasi dan berkontribusi pada pembunuhan ini. Sekutu AS juga membantu, dengan menyadap dan berbagi data intelijen, memberikan basis dan akses udara, dan kontraktor militer yang bertugas meluncurkan dronenya.

Bersama-sama, berbagai aktor tersebut membuat AS mampu menjalankan program pembunuhannya dan hanya bergantung pada koneksi remot untuk sebuah hasil akhir yang mengerikan dari aksi mereka: kematian.

Kosakata dalam program drone juga memperkeruh panduan moral mereka. Catatan tentang target diberi julukan kartu bisbol , target dianggap sebagai objektif , target yang terbunuh oleh serangan drone disebut jackpot , dan serangan drone yang berhasil dilakukan digabungkan dan diperingati dalam sebuah story board . Seluruh istilah tersebut membuat serangan drone seolah-olah hal yang sepele dan tidak memanusiakan korbannya.

Obama pernah mengatakan bahwa Satu hal yang membedakan AS dari negara lain, satu hal yang membuat kita eksepsional adalah keinginan kita untuk mengakui secara jujur ketidaksempurnaan kita dan untuk belajar dari kesalahan kita.

Namun, pengakuan jujur Obama tidak pernah meminta maaf atas 1.250 warga sipil yang terbunuh oleh serangan drone yang dilakukannya. Serangan drone sejatinya adalah kampanye teror. Chomsky menyebutnya sebagai kampanye teror global paling ekstrim yang pernah saya ingat .

Hal inilah salah satu yang membuat salah seorang anggota militer AS, Christopher John Antal, mengundurkan diri. Ia mengundurkan diri setelah selama hampir delapan tahun menjabat sebagai pendeta militer AS. Terinspirasi oleh pesan-pesan optimistik Obama waktu itu, ia bergabung dengan tentara AS dengan harapan mampu menjadi agen perubahan.

Waktu itu, ia tidak begitu menghiraukan drone, namun perhatiannya atasnya semakin besar setelah ia melihat ketergantungan pemerintah yang sangat besar pada drone dalam


(22)

perang melawan terorisme. Berikut adalah surat pengunduran dirinya:

Dear Mr. President:

Dengan ini saya mundur dari jabatan saya sebagai tentara di United State Army.

Saya mundur karena saya menolak untuk mendukung kebijakan AS tentang drone bersenjata. Pemerintah terus menerus mengklaim hak untuk membunuh siapapun, di setiap tempat di muka bumi, kapanpun, untuk alasan yang dirahasiakan, berdasarkan bukti yang dirahasiakan, dalam sebuah proses rahasia, dilakukan oleh petugas yang tak dikenal. Saya menolak untuk mendukung kebijakan pembunuhan tak bertanggungjawab ini.

Saya mengundurkan diri karena saya menolak mendukung kebijakan pencegahan perang AS, supremasi militer permanen, dan proyeksi kekuatan global. Pemerintah terus menerus mengklaim otoritas ekstra konstitusional dan kekebalan dari hukum internasional. Saya menolak mendukung kebijakan perluasan imperium.

Saya mengundurkan diri karena saya menolak untuk mengabdi sebagai pendeta sebuah imperium. Saya tidak bisa mendamaikan kebijakan tersebut dengan sumpah tugas saya untuk melindungi dan membela AS dan demokrasi konstitusional kita, atau

dengan komitmen perjanjian saya dengan prinsip inti ajaran agama saya. Prinsip tersebut meliputi: keadilan, persamaan, kasih sayang dalam hubungan manusia; sebuah pencarian kebenaran yang bebas dan bertanggungjawab; dan martabat dan harga diri yang melekat pada setiap manusia.

Dengan hormat,

Christopher John Antal

Pembunuhan kini menjadi cara perang Amerika sehari-hari, dan penyiksaan menjadi alat negara. Beberapa skandal penyiksaan di masa depan bisa jadi akan kembali muncul dari penjara suram AS, menambah daftar panjang kekejaman, dari "Tiger Cages" Vietnam Selatan hingga "Salt Pit" di Afghanistan dan "The Hole" di Somalia. Saat itu, dunia mungkin tidak lagi menjadi pemaaf. Dengan gambar-gambar dari penjara Abu Ghraib masih terukir dalam memori manusia, kerusakan otoritas moral Amerika sebagai pemimpin dunia akan semakin dalam dan abadi.


(1)

pelanggaran hak asasi manusia dengan mengirimkan 70 tersangka teroris ke negara-negara sekutu yang terkenal dengan praktik penyiksaannya. 20 Praktek ini, yang disebut

"rendisi luar biasa," sebenarnya dilarang oleh konvensi PBB. Sehingga, lagi-lagi, AS mempertontonkan kontradiksi antara prinsip-prinsip yang mereka gelorakan dengan praktik nyata yang mereka lakukan. Namun, praktik tersebut dijalankan dengan sangat rahasia. Tidak banyak publik yang tahu, hingga akhirnya skandal Abu Ghraib menyibak sebuah gunung es praktik penyiksaan AS.

Tepat setelah pidato pertamanya pasca serangan 11 September 2001, Presiden George W. Bush memberi perintah rahasia kepada stafnya untuk menggunakan interogasi yang keras. "Saya tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh para pengacara internasional, kita akan menendang orang-orang bodoh."21

Segera setelah itu, CIA mulai membuka "black sites" yang membentang dari Thailand hingga Polandia. Mereka juga menyewa jet eksekutif untuk menyerahkan tersangka teroris yang ditahan ke negara-negara sekutu.22Praktik

penyiksaan psikologis yang ditinggalkan sejak akhir Perang Dingin pun dibuka kembali.

Pada akhir tahun 2002, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld menunjuk Jenderal Geoffrey Miller untuk menjadi kepala penjara di

Guantanamo, Kuba, dan memberinya

20

http://www.fas.org/irp/offdocs/pdd39.htm

21

http://www.alternet.org/story/27771/the_torture_test

22

http://www.nytimes.com/2005/05/31/national/31planes.htm l

kewenangan yang sangat luas untuk

mengembangkan serangan total tiga fase pada reseptor sensorik, identitas budaya, dan psikis tahanan. Setelah Miller mengunjungi penjara Abu Ghraib pada September 2003, komandan AS di Irak memerintahkan penggunaan metode penyiksaan psikologis di penjara AS di negara tersebut, termasuk disorientasi sensorik, nyeri yang ditimbulkan sendiri (self-inflicted pain), dan inovasi terbaru, penghinaan kultural melalui paparan anjing yang diyakini oleh AS akan sangat merusak secara psikologis bagi orang Arab.23

Hanya dua bulan setelah CBS News menyiarkan foto-foto penyiksaan Abu Ghraib pada bulan April 2004, 35% orang Amerika yang disurvei masih merasa bahwa penyiksaan masih bisa diterima.24Mengapa begitu banyak orang

yang toleran dengan penyiksaan?

Salah satu penjelasannya adalah, pada tahun-tahun setelah 9/11, media massa AS sering menampilkan gambar penyiksaan. Mereka

juga berusaha melakukan normalisasi

penyiksaan. Fantasi mengenai ticking time bomb scenario sering digembar-gemborkan: teroris akan menyerang negara, karenanya kita boleh melakukan penyiksaan untuk mengorek informasi.

Beberapa bulan setelah 9/11, profesor Harvard, Alan Dershowitz, meluncurkan kampanye multimedia dengan pesan bahwa 23

http://archive.truthout.org/article/gen-ricardo-sanchez-orders-torture-iraq-his-memo

24

http://www.nytimes.com/2004/06/27/magazine/27WWLN.ht ml


(2)

penyiksaan diperlukan jika agen intelijen AS menemukan bahwa teroris telah menanam bom nuklir yang sedang berdetak di New York Times Square. Meskipun skenario tersebut adalah sebuah fantasi yang berbasis pada sebuah artikel filsafat akademis tahun 1973, fantasi bom waktu tersebut sudah cukup untuk menjadi kiasan media dan realitas persuasif bagi warga dunia. Fantasi ancaman tersebut berusaha

mempengaruhi masyarakat untuk bisa

menerima, bahwa penyiksaan adalah normal untuk menghadapi ancaman teror.

E. Teror Drone

Globalisasi kadang-kadang didefinisikan sebagai penyempitan ruang dan waktu. Dunia membawa masyarakat yang jauh menjadi lebih dekat melalui pertukaran sosial, teknologi dan ekonomi. Saat dunia semakin dekat, kita justru kini menyaksikan bahwa cara perang dan penahanan semakin jauh dari moralitas melalui sebuah proses dehumanisasi.

Dalam bukunya, Drone Theory, Gregoire Chamayou menjelaskan bahwa perubahan sifat perang tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga moral:

"... Drone bersenjata sampai ke dalam batas: siapa pun yang menggunakan senjata tersebut menjadi tidak mungkin untuk mati saat ia membunuh. Perang, dari kemungkinan asimetris, menjadi benar-benar sepihak. Apa yang masih bisa diklaim sebagai pertempuran kini diubah menjadi sebuah kampanye yang sebenarnya adalah pembantaian.

Menurutnya, operasi drone telah muncul sebagai lawan dari taktik bom bunuh diri. Jika pelaku bom bunuh diri merupakan perpaduan antara manusia dan senjata (membawa mereka ke titik terdekat dengan konflik), operator pesawat tanpa awak adalah sebaliknya: "Jika bom bunuh diri bisa menyebabkan kematian pelakunya. Drone benar-benar tidak termasuk itu. Kamikaze adalah mereka yang kematiannya pasti. Pilot drone adalah mereka yang kematiannya mustahil. Dalam hal ini, mereka mewakili dua kutub yang berlawanan dari spektrum paparan kematian. Di antara keduanya adalah para pejuang klasik, mereka sama-sama berisiko mati."

Chamayou tidak hanya membatasi pada pertanyaan moral, tetapi juga mempelajari pengoperasian drone, dan sejauh mana kebenaran klaim akurasi mereka. AS, khususnya, mengklaim bahwa ia berhasil menargetkan para pejuang, tetapi mengutip wartawan NYT Jo Becker dan Scott Shane, asumsi tersebut didasarkan pada sistem penghitungan yang salah. Proses dehumanisasi dalam perang drone telah mengakibatkan munculnya paradigma bahwa mereka yang terkena serangan adalah bersalah sampai terbukti tidak bersalah, di mana sistem penghitungan mereka menganggap bahwa setiap laki-laki yang tewas dalam zona serangan adalah kombatan, kecuali jika terbukti sebaliknya.

Aspek paling mencolok dari perang drone ini adalah deskripsi 100 anggota pembentukan keamanan AS yang berkumpul di "Terror Tuesday" dalam rangka menentukan orang yang akan dibunuh. Keputusan tersebut kemudian


(3)

dibenarkan oleh nasihat hukum Departemen Luar Negeri dengan mengklaim bahwa semua prosedur yang dipakai kuat, dan pada akhirnya, sebagai yang dikatakan Chamayou, "Percayalah, bahkan dengan mata tertutup sekalipun."

Dalam Perang Melawan Teror, gagasan dalam prinsip-prinsip tradisional tentang keadilan dan proses hukum tidak lagi berlaku. Dan transparansi yang dibawa oleh prinsip-prinsip tersebut digantikan dengan sistem sekuritisasi yang berbasis pelepasan hak asasi.

Chamayou tidak melihat drone sebagai bagian dari konflik bersenjata, melainkan sebagai bagian dari sekuritisasi dunia. Perang drone telah bergerak di luar wilayah konflik menjadi penahanan dan eksekusi massal:

"Drone memang mengerikan. Mereka menimbulkan teror massal pada seluruh masyarakat. Hal inilah kematian, cedera, kerusakan, kemarahan, dan duka cita yang menjadi efek permanen dari surveillance yang mematikan.

Serangan drone kini telah menjadi kebijakan perang melawan teror AS. Pesawat tanpa awak tersebut memberikan solusi yang unik bagi politik perang yang tidak populer, memberikan AS kemampuan untuk menyerang target di tempat terpencil di dunia tanpa membahayakan kehidupan warga AS.

Pembunuhan dengan drone adalah medan baru perang AS. Serangan pertama drone diarahkan ke Afghanistan pada tanggal 7 Oktober

2001,25dan sejak saat itu penggunaan serangan

dengan drone semakin membabibuta. Sampai hari ini, serangan drone sudah dilakukan lebih dari 400 kali di Afghanistan, Pakistan, Yaman, dan Somalia, dan hari ini, di Suriah, serangan tersebut terjadi dengan frekuensi yang lebih besar.26Pada tahun 2019, serangan drone AS

diharapkan meningkat 50 persen dari level saat ini.27

Pada bulan Mei 2013, Obama membela kebijakan drone AS dan mengklaim akan bertanggungjawab untuk mengawasi program tersebut.28Ia juga mengklaim bahwa target yang

diserang terbatas pada teroris yang memberikan ancaman yang terus menerus dan bersifat segera (imminent)kepada warga AS, serangan tersebut hanya akan dilakukan jika hampir bisa dipastikan bahwa target tersebut memang ada di tempat, hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat sipil non kombatan tidak akan cedera atau terbunuh karenanya, dan jika penangkapan tidak memungkinkan pada saat operasi dilakukan.

Benarkah janji Obama tersebut?

Dokumen yang dibocorkan oleh The Intercept menunjukkan bahwa klaim Obama tersebut menyesatkan dan bahkan palsu.29

Faktanya, program drone AS tidak presisi dan semena-mena serta membahayakan warga sipil di semua tempat. Program tersebut juga 25

http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/05/ america-first-drone-strike-afghanistan/394463/

26

https://www.thebureauinvestigates.com/category/projects/ drones/drones-graphs/

27

http://www.wsj.com/articles/pentagon-to-add-drone-flights-1439768451

28

http://www.nytimes.com/2013/05/24/us/politics/transcript -of-obamas-speech-on-drone-policy.html?_r=0

29


(4)

merupakan program yang kurang bisa dikontrol oleh Obama.

Obama menyerahkan otoritas eksekusi pada militer dan tidak banyak tahu soal jumlah warga sipil yang terkena dampak dari serangan tersebut. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa meskipun ia berada di puncak tertinggi rantai komando, ia tidak banyak bertanya tentang sikap yang diambil bawahannya. Pengawasan yang ia lakukan hanyalah sekadar memberi stempel.

Bocoran dokumen tersebut membalikkan klaim bahwa target AS hanya mereka yang memberikan ancaman kepada orang AS secara terus-menerus dan bersifat segera. Dokumen tersebut mencatat bahwa target yang dibidik sekadar mereka yang mengancam personil atau kepentingan AS, kontradiktif dengan penjelasan pemerintah AS. Standar segera tentunya sangat tidak mungkin dipenuhi di negara seperti Somalia dan Yaman, di mana kehadiran pasukan AS di sana sangat sedikit sekali.

Dokumen tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah presiden AS menyetujui seorang target, militer punya waktu 60 hari untuk melakukan serangan. Padahal, dalam perang, banyak yang bisa berubah dalam waktu 60 hari. Target bisa saja menyerahkan senjatanya, tidak lagi melakukan permusuhan atau membentuk aliansi baru, untuk kemudian dibunuh hanya karena dianggap memberikan ancaman yang bersifat segera beberapa bulan atau minggu sebelumnya.

Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa standar hampir pasti yang ditawarkan oleh Obama tidak lagi dijaga. Program drone,

terutama di Yaman dan Somalia, dijalankan dengan hampir secara eksklusif hanya berdasarkan intelijen berbasis sinyal untuk mengidentifikasi dan membunuh target. Tidak seperti intelijen manusia, yang didapatkan dari sumber-sumber lokal, intelijen berbasis sinyal bergantung pada penyadapan komunikasi, telepon, dan metadata komputer yang kurang

reliable. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa teknologi yang digunakan tidak presisi, dan bahkan sebuah studi mengakui kelemahan mendasar dari teknologi tersebut untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi target secara akurat.

Kosa kata dari program drone meremehkan serangan drone dan tidak memanusiakan korbannya.

Kesalahan intelijen tersebut berdampak pada signifikannya jumlah korban sipil yang tewas. Dalam operasi Haymaker di Afghanistan, misalnya, serangan drone AS membunuh 35 target dan 200 warga sipil. Dalam kebijakan AS, warga sipil tersebut dianggap sebagai musuh yang terbunuh dalam sebuah aksi, karena usia mereka usia militer dan berhubungan dengan target. Dan mereka tetap dianggap sebagai musuh yang terbunuh dalam sebuah aksi sampai terbukti bahwa mereka bukan teroris atau kombatan musuh, satu hal yang hampir mustahil untuk membuktikan orang yang sudah terbunuh. Kemungkinan terjadinya korban sipil semakin besar di Somalia dan Yaman, saat AS sangat bergantung, hampir secara eksklusif, pada intelijen sinyal.


(5)

Dengan sekian fakta tersebut, mungkin ada pihak yang ingin dilakukannya pengawasan yang lebih besar dari Kongres. Mungkin ada juga yang menyesalkan tentang kurangnya pengawasan yudisial. Dan mungkin juga ada yang menyarankan dibentuknya komisi khusus untuk mengkaji penggunaan senjata mematikan oleh pemerintah Obama. Semua usaha tersebut mungkin sangat baik sebagai langkah pertama, namun langkah tersebut sangat mungkin akan dihindari oleh sebuah pemerintahan yang mabuk oleh kerahasiaan dan sangat ketakutan dengan transparansi.

Sementara itu, program drone AS akan semakin dalam dan intensif. Militer AS menganggap serangan drone sebagai cara yang sangat cerdik dan efisien untuk melakukan perang, tanpa harus melakukan kesalahan invasi darat besar-besaran yang pernah terjadi di Irak dan Afghanistan.

Institusionalisasi dan birokratisasi drone bukan hanya dilakukan oleh militer AS. CIA juga memiliki program drone yang kita tidak banyak tahu. Serangkaian pihak di AS, baik pemerintah maupun warga sipil, juga memfasilitasi dan berkontribusi pada pembunuhan ini. Sekutu AS juga membantu, dengan menyadap dan berbagi data intelijen, memberikan basis dan akses udara, dan kontraktor militer yang bertugas meluncurkan dronenya.

Bersama-sama, berbagai aktor tersebut membuat AS mampu menjalankan program pembunuhannya dan hanya bergantung pada koneksi remot untuk sebuah hasil akhir yang mengerikan dari aksi mereka: kematian.

Kosakata dalam program drone juga memperkeruh panduan moral mereka. Catatan tentang target diberi julukan kartu bisbol , target dianggap sebagai objektif , target yang terbunuh oleh serangan drone disebut jackpot , dan serangan drone yang berhasil dilakukan digabungkan dan diperingati dalam sebuah story board . Seluruh istilah tersebut membuat serangan drone seolah-olah hal yang sepele dan tidak memanusiakan korbannya.

Obama pernah mengatakan bahwa Satu hal yang membedakan AS dari negara lain, satu hal yang membuat kita eksepsional adalah keinginan

kita untuk mengakui secara jujur

ketidaksempurnaan kita dan untuk belajar dari kesalahan kita.

Namun, pengakuan jujur Obama tidak pernah meminta maaf atas 1.250 warga sipil yang

terbunuh oleh serangan drone yang

dilakukannya. Serangan drone sejatinya adalah kampanye teror. Chomsky menyebutnya sebagai kampanye teror global paling ekstrim yang pernah saya ingat .

Hal inilah salah satu yang membuat salah seorang anggota militer AS, Christopher John Antal, mengundurkan diri. Ia mengundurkan diri setelah selama hampir delapan tahun menjabat sebagai pendeta militer AS. Terinspirasi oleh pesan-pesan optimistik Obama waktu itu, ia bergabung dengan tentara AS dengan harapan mampu menjadi agen perubahan.

Waktu itu, ia tidak begitu menghiraukan drone, namun perhatiannya atasnya semakin besar setelah ia melihat ketergantungan pemerintah yang sangat besar pada drone dalam


(6)

perang melawan terorisme. Berikut adalah surat pengunduran dirinya:

Dear Mr. President:

Dengan ini saya mundur dari jabatan saya sebagai tentara di United State Army.

Saya mundur karena saya menolak untuk mendukung kebijakan AS tentang drone bersenjata. Pemerintah terus menerus mengklaim hak untuk membunuh siapapun, di setiap tempat di muka bumi, kapanpun, untuk alasan yang dirahasiakan, berdasarkan bukti yang dirahasiakan, dalam sebuah proses rahasia, dilakukan oleh petugas yang tak dikenal. Saya menolak untuk mendukung kebijakan pembunuhan tak bertanggungjawab ini.

Saya mengundurkan diri karena saya menolak mendukung kebijakan pencegahan perang AS, supremasi militer permanen, dan proyeksi kekuatan global. Pemerintah terus menerus mengklaim otoritas ekstra konstitusional dan kekebalan dari hukum internasional. Saya menolak mendukung kebijakan perluasan imperium.

Saya mengundurkan diri karena saya menolak untuk mengabdi sebagai pendeta sebuah imperium. Saya tidak bisa mendamaikan kebijakan tersebut dengan sumpah tugas saya untuk melindungi dan membela AS dan demokrasi konstitusional kita, atau

dengan komitmen perjanjian saya dengan prinsip inti ajaran agama saya. Prinsip tersebut meliputi: keadilan, persamaan, kasih sayang dalam hubungan manusia; sebuah pencarian kebenaran yang bebas dan bertanggungjawab; dan martabat dan harga diri yang melekat pada setiap manusia.

Dengan hormat,

Christopher John Antal

Pembunuhan kini menjadi cara perang Amerika sehari-hari, dan penyiksaan menjadi alat negara. Beberapa skandal penyiksaan di masa depan bisa jadi akan kembali muncul dari penjara suram AS, menambah daftar panjang kekejaman, dari "Tiger Cages" Vietnam Selatan hingga "Salt Pit" di Afghanistan dan "The Hole" di Somalia. Saat itu, dunia mungkin tidak lagi menjadi pemaaf. Dengan gambar-gambar dari penjara Abu Ghraib masih terukir dalam memori manusia, kerusakan otoritas moral Amerika sebagai pemimpin dunia akan semakin dalam dan abadi.