REDD Briefing Note IND

(1)

PEMBELAJARAN DARI

REDD+ UNTUK MENCAPAI

KETAHANAN AIR,

ENERGI DAN PANGAN DI

INDONESIA?


(2)

Kajian ini didanai oleh Climate and Development Knowledge Network (www.cdkn.org) dan

dilaksanakan oleh WCS Indonesia bermitra dengan Global Canopy Programme.

Global Canopy Programme adalah sebuah wadah pemikir hutan tropis yang bekerja untuk mendemonstrasikan dasar pemikiran ilmiah, politik dan bisnis untuk menjaga hutan sebagai modal alam yang menopang ketahanan air, pangan, energi, kesehatan dan iklim bagi semua pihak. GCP bekerja melalui jaringan-jaringan internasionalnya – yang terdiri dari komunitas hutan, pakar ilmiah, pembuat kebijakan, dan para pemimpin lembaga keuangan dan perusahaan – untuk mengumpulkan bukti, mendorong wawasan, dan mengkatalisasi tindakan untuk menghentikan hilangnya hutan dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan. Kunjungi www. globalcanopy.org untuk informasi lebih lanjut.

Penulis: Helen Bellield, Matt Leggett, Mandar


(3)

3 Rencana pembangunan nasional Indonesia

mencerminkan kemauan untuk mencapai target penurunan emisi iklim negara ini. Selain itu, rencana kontribusi penurunan emisi (Intended Nationally Determined Contribution atau INDC) Indonesia menguraikan arti penting strategis untuk membangun ketahanan ekosistem demi ketahanan air, energi dan pangan, yang langsung menyelaraskan REDD+ dengan tujuan-tujuan pembangunan.

Namun, walaupun kebijakan-kebijakan

iklim jelas mengidentiikasi pertukaran

(perluasan pertanian) dan sinergi (jasa ekosistem DAS) dengan rencana pembangunan sektoral, pertukaran dan sinergi tersebut tidak diartikulasikan atau diprioritaskan dengan cara yang sama dalam rencana pembangunan sektoral. Hal ini menyiratkan kesenjangan pelaksanaan dalam pengarusutamaan upaya-upaya iklim ke dalam rencana pembangunan.

Strategi nasional REDD+ mengakui bahwa keberhasilan REDD+ bergantung pada keterlibatan di seluruh sektor dan skala. Namun, walaupun terdapat upaya proaktif untuk melibatkan sektor lain melalui berbagai inisiatif, koordinasi horizontal (antara kementerian dan lembaga

pemerintah) dan koordinasi vertikal (dalam kementerian dan lembaga antara tingkat daerah dengan tingkat pusat) telah menjadi

tantangan yang signiikan. Namun, terdapat

kisah keberhasilan, seperti inisiatif Satu Peta dan inisiatif Sistem Perizinan Terpadu pemerintah pusat, keduanya mengatasi isu-isu koordinasi perencanaan tata guna lahan yang fundamental.

Pembentukan kelembagaan Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) sebagai suatu badan ad hoc telah menghambat upaya pelaksanaan dan koordinasinya; Badan Restorasi Gambut yang baru akan menghadapi tantangan serupa.

Kemauan yang baru diperlihatkan oleh para pelaku sektor swasta untuk membuat komitmen nol deforestasi dapat mendukung tujuan-tujuan REDD+,

tetapi kemungkinan konlik antara

inisiatif keberlanjutan korporasi dengan perundang-undangan nasional perlu diatasi.


(4)

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki luas hutan hujan tropis terbesar ketiga di Bumi, dengan 60% daratannya – setara dengan 113,2 juta hektar – tertutupi hutan alam1. Namun, negara ini juga merupakan

salah satu negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia2.

Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi telah dipertahankan melalui suatu strategi yang didasarkan pada pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Komoditas meliputi lebih dari setengah dari ekspor, dan pertanian (15%) dan pertambangan (12%) merupakan bagian utama PDB nasional. Pertanian juga sangat penting bagi mata pencaharian, memberikan lapangan kerja kepada lebih dari sepertiga penduduk3.

Namun, pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan deforestasi dan degradasi hutan. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2012, Indonesia kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan primer, dengan laju deforestasi naik rata-rata sebesar 47.600 hektar per tahun4. Hutan primer dataran

rendah Indonesia telah lama menjadi target penebangan dan pengalihfungsian menjadi penggunaan lahan bernilai lebih tinggi seperti perkebunan kelapa sawit. Tingginya tingkat hilangnya hutan dan lahan gambut, dibarengi dengan tingginya cadangan karbon di tanah dan pohon, menjadikan Indonesia penghasil emisi karbon dioksida kelima terbesar di dunia pada tahun 20125. Perubahan penggunaan lahan dan

kehutanan menyumbang sekitar 63% pada total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia6.

Namun, di samping target pembangunan yang ambisius untuk menjadi negara berpendapatan menengah pada tahun 2030, Pemerintah Indonesia juga telah menjanjikan target

penurunan emisi yang signiikan yang akan

membutuhkan pembalikan tren hilangnya hutan dan lahan gambut yang meningkat saat ini. Inti dari agenda pembangunan Indonesia adalah target untuk mencapai ketahanan air, energi dan pangan bagi penduduknya yang jumlahnya semakin banyak. Untuk mencapai target-target ini, terdapat pengakuan yang semakin besar tentang peran sumber daya alam dan jasa

ekosistemnya dalam menopang sistem air, energi dan pangan.

“Dasar modal alam Indonesia sedang

terkikis, dengan dampak pada ketahanan

pangan, air dan energi negara ini, dan

pada akhirnya, pada kemakmuran semua

rakyat Indonesia.”

(Program Pertumbuhan

Hijau Bappenas7).

Peran ini diperlihatkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut yang memengaruhi Indonesia dan

Malaysia di akhir tahun 2015 dan krisis ‘kabut

asap’ yang dihasilkannya di seluruh kawasan ini, yang sangat memengaruhi keanekaragaman hayati, kesehatan manusia dan perekonomian. Sebagai respons, Presiden Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut hingga tahun 2020 dan memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut, serta pengeringan dan pengalifungsian lahan gambut yang belum dibuka8,9.

Rencana kontribusi penurunan emisi (INDC) Indonesia, yang diajukan menjelang COP 21

UNFCCC, mengidentiikasi mitigasi dan adaptasi

iklim sebagai strategi yang sangat penting dalam membangun ketahanan untuk sumber daya alam, dan untuk ketahanan air, energi dan pangan.

“Perubahan iklim memberikan risiko

yang signiikan bagi sumber daya alam

Indonesia yang, akan memengaruhi

produksi dan distribusi makanan, air

dan energi. Oleh karena itu, Pemerintah

Indonesia menganggap upaya

adaptasi dan mitigasi iklim sebagai

suatu konsep terpadu yang mendasar

untuk membangun ketahanan dalam

mengamankan sumber daya pangan, air

dan energi.”

(INDC)

Indonesia telah mengambil langkah penting untuk mengembangkan strategi-strategi mitigasi iklim yang memastikan perlindungan hutannya, terutama melalui dukungan tingkat tingginya untuk upaya-upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) sejak tahun 2007. Sebagai salah satu pendukung awalnya, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mengakui bahwa


(5)

5 Pendahuluan

upaya-upaya untuk mengatasi pendorong deforestasi akan membutuhkan kajian banyak faktor lingkungan, sosial, politik dan ekonomi yang mendorong perubahan tata guna lahan, dan akan memerlukan sejumlah pertukaran antara berbagai sektor berbasis lahan.

Oleh karena itu, kajian tantangan-tantangan yang dihadapi dan diatasi selama perancangan dan pelaksanaan REDD+ di Indonesia merupakan kajian yang berguna dan informatif ketika menganalisis kemungkinan jalur yang dapat diambil oleh Indonesia untuk memisahkan diri dari model pembangunan bisnis seperti biasa (business as usual) dan beralih menuju kebijakan air, energi dan pangan yang koheren yang mendukung pengelolaan sumber daya

alam lestari, sebagaimana yang ditetapkan dalam INDC-nya. Walaupun mekanisme dan pendekatan tertentu yang diuji coba di bawah REDD+ telah terbukti sangat berhasil, mekanisme dan pendekatan lain kurang diakui.

Laporan ini berupaya untuk mengkaji

sejauh mana (1) tujuan-tujuan REDD+ telah dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan (2) pembaruan hukum, peraturan dan kelembagaan di bawah pengembangan REDD+ telah memfasilitasi peningkatan tata kelola sektor-sektor berbasis lahan.

Tahun Peristiwa Catatan Terkait Tipe

2007 Mekanisme REDD+ diadopsi di CoP 13, Bali13 in Bali

Kesepakatan Multilateral

2009 Indonesia mengumumkan penurunan emisi GRK sukarela

26% secara sepihak dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020 dibandingkan dengan skenario business as usual.

Inisiatif nasional

2009 Indonesia memperkenalkan kerang-ka hukum REDD+

Mencakup kegiatan-kegiatan demonstrasi

REDD+; prosedur pelaksanaan REDD+; dan izin komersial untuk karbon hutan.

Peraturan

2009 Usulan Kesiapan REDD+ Indonesia disetujui oleh FCPF

Kesepakatan Multilateral

2010 Letter of Intent Norwegia-Indonesia Norwegia akan menyediakan hingga 1 miliar dolar AS untuk mendukung upaya REDD+ Indonesia. 200 juta dolar AS dialokasikan untuk Kesiapan REDD+ dan sisa 800 juta dolar AS untuk pembayaran berbasis kinerja pengurangan deforestasi.

Kesepakatan Bilateral

2011 Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK)

Menetapkan dasar untuk penurunan emisi

GRK; 87% adalah dari sektor kehutanan dan lahan gambut.

Peraturan

2011 Satuan Tugas REDD+ Badan ad hoc yang bertanggung jawab

mengembangkan blok bangunan REDD+ Lembaga 2011 Penundaan pemberian izin baru

untuk hutan alam primer dan lahan gambut selama 2 tahun

Sebagaimana yang ditetapkan dalam Letter

of Intent Norwegia-Indonesia Peraturan

2011 Inisiatif Satu Peta Satuan Tugas REDD+ mengkatalisasi Inisi-atif Satu Peta untuk menciptakan satu peta rujukan bagi negara ini untuk menyatukan informasi geospasial dari 13 lembaga pemer-intah setelah pengembangan Peta Indikatif

Penundaan Pemberian Izin Baru. Langkah

ini sekarang sedang dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial.

Inisiatif nasional


(6)

Tahun Peristiwa Catatan Terkait Tipe Strategi dan rencana Aksi Provinsi

(SRAP) REDD+

Di tingkat daerah, Strategi dan Rencana Aksi Nasional Rumah Kaca diuraikan ke dalam Strategi dan Rencana Aksi untuk memungkinkan pengadopsiannya ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan APBD. Sekretariat Rencana Aksi Penurunan Gas Rumah Kaca Nasional dan Daerah, di bawah BAPPENAS, mendukung pelaksanaan rencana-rencana ini.

Peraturan

2012 Kalimantan Tengah dipilih sebagai provinsi percontohan – menandatan-gani Nota Kesepahaman dengan BP REDD+

10 provinsi pemrakarsa REDD+ lainnya Peraturan

2013 Moratorium diperpanjang sampai tahun 2015

Peraturan

2013 Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pem-bangunan

Dihasilkan oleh BAPPENAS dan Satgas REDD+ untuk mendukung pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangu-nan sebagaimana yang diwajibkan dalam

Rencana Mitigasi Perubahan Iklim Nasional

Inisiatif nasional

2013 BP REDD+ Badan ad hoc, melapor langsung kepada Kantor Presiden, bertanggung jawab atas pelaksanaan REDD+

Lembaga

2014 Perdagangan penurunan emisi

ber-sertiikasi Indonesia Peraturan

2014 Rencana Adaptasi Nasional – RAN API

Peraturan

2015 Moratorium diperpanjang untuk kedua kalinya sampai tahun 2017

Peraturan

2015 BP REDD+ dilebur ke dalam

Ke-menterian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan yang baru

Dalam pengaturan yang baru ini, isu-isu perubahan iklim termasuk REDD+ akan menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.

Lembaga

2015 Pengajuan Rencana kontribusi penurunan emisi (Intended nation-ally determined contribution atau INDC) untuk CoP 21 di Paris.

Indonesia berikrar untuk menurunkan emisi secara sepihak sebesar 29% (dan 41% dengan bantuan internasional) dibandingkan dengan skenario BAU pada tahun 2030.

Kesepakatan multilateral

2015 Komite Pengarah Perubahan Iklim Lembaga ad hoc yang memberikan arahan umum untuk mitigasi dan adaptasi perubahan

iklim sementara KLHK yang baru dibentuk,

termasuk mendukung persiapan INDC dan penguatan koordinasi antar-kementerian untuk isu-isu perubahan iklim

Lembaga

2016 Badan Restorasi Gambut Badan ad hoc, melapor langsung kepada Kantor Presiden, diberi tugas untuk merestorasi 2 juta hektar lahan gambut sampai tahun 2020 dan memberlakukan moratorium pembukaan baru, pengeringan dan pengalifungsian lahan gambut yang saat ini belum dibuka. Badan ini akan mengoordinasikan dan memfasilitasi restora-si gambut di Provinrestora-si Riau, Provinrestora-si Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kaliman-tan Barat, Provinsi KalimanKaliman-tan Tengah, Provin-si Kalimantan Selatan dan ProvinProvin-si Papua

Lembaga


(7)

7

INDC Indonesia menyatakan bahwa tujuan-tujuan pembangunan, terutama ketahanan air, energi dan pangan, bergantung pada upaya-upaya mitigasi dan adaptasi iklim. Khususnya, INDC Indonesia menyoroti pentingnya

upaya-upaya mitigasi dan adaptasi iklim yang membangun ketahanan sumber daya alam Indonesia yang menopang sistem air, energi dan pangan. Hal ini menyiratkan bahwa REDD+ dapat berperan penting dalam mencapai visi ini. Dalam memandu tantangan dan peluang untuk mewujudkan hal ini, laporan ini mengevaluasi sejauh mana tujuan-tujuan kebijakan iklim Indonesia, yang berfokus pada REDD+,

dimasukkan dalam dan didukung oleh Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Indonesia.

Dalam hal kebijakan dan rencana iklim, laporan ini meninjau Peta Jalan Sektor Perubahan Iklim Indonesia, Strategi Nasional REDD+, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), dan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)10. Laporan

ini menyebut semua kebijakan tersebut sebagai kebijakan iklim Indonesia. Dalam hal rencana pembangunan nasional, laporan ini meninjau

RPJMN dan rencana-rencana strategis sektor

air, energi dan pangan yang terkait.

Perencanaan lintas sektor dalam

kebijakan-kebijakan perubahan

iklim Indonesia

Kebijakan-kebijakan iklim Indonesia biasanya memang mengakui hubungan antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dengan tujuan-tujuan pembangunan dari sektor lainnya. Khususnya, kebijakan-kebijakan tersebut mengakui dan berupaya mendukung upaya negara ini untuk mencapai ketahanan air, energi dan pangan.

Kebijakan-kebijakan iklim tersebut jelas

mengidentiikasi isu-isu koordinasi lintas

sektor untuk hutan, dan sektor air, energi dan pangan (Tabel 1). Dalam hal sinergi, kebijakan-kebijakan iklim tersebut mengakui peran konservasi hutan dalam pengelolaan DAS lestari, sehingga mendukung pertanian hilir dan pembangkitan energi. Kebijakan-kebijakan iklim tersebut juga mengakui bahwa mengatasi pendorong deforestasi di luar sektor kehutanan sangatlah penting dalam mencapai target penurunan emisi. Untuk mengelola potensi pertukaran ini, kebijakan-kebijakan tersebut

mengidentiikasi sejumlah strategi untuk

mengurangi tekanan pada hutan, termasuk peningkatan produktivitas, tidak melakukan pembakaran, pemanfaatan lahan yang telah terdegradasi, dan mendorong industri nilai tambah.

Mengarusutamakan perubahan

iklim dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional

Indonesia

RPJMN telah memperhitungkan isu-isu mitigasi

dan adaptasi perubahan iklim sebagai bagian

dari analisis lingkungan strategisnya (RPJMN

Buku I) dan dalam mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi dalam rencana pembangunan

sektoralnya (RPJMN Buku II). Hal ini

merupakan perubahan langkah dari rencana pembangunan nasional sebelumnya. Selain

itu, RPJMN juga mengarahkan kementerian

dan lembaga pemerintah untuk mengadopsi target penurunan emisi GRK sebagai salah satu indikator kinerja utama mereka.

Apakah tujuan-tujuan REDD+ telah diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan nasional?

2. APAKAH TUJUAN-TUJUAN REDD+ TELAH

DIARUSUTAMAKAN DALAM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL?


(8)

Ketahanan air

Perencanaan ketahanan air memperlihatkan koherensi dengan kebijakan-kebijakan iklim dalam beradaptasi dengan peningkatan variasi pasokan air di bawah perubahan iklim. Target ketahanan air sangat berfokus pada pemulihan DAS melalui konservasi vegetasi dan infrastruktur air, seperti irigasi, di daerah-daerah hulu. Hal ini mencakup empat DAS prioritas nasional (DAS Ciliwung, DAS Citarum, DAS Kapuas dan DAS Siak) serta 26 DAS prioritas lainnya.

Pengakuan peran hutan sebagai ‘infrastruktur

alam’ dalam memulihkan DAS sangatlah sesuai dengan tujuan-tujuan REDD+. Hal ini mencakup target untuk merehabilitasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan mendorong partisipasi masyarakat dalam restorasi DAS dengan membentuk hutan masyarakat, ekowisata skala kecil dan pemanfaatan HHBK. Infrastruktur yang dibangun, termasuk bendungan dan jaringan irigasi, sangatlah

penting untuk meningkatkan pasokan air bagi sektor perkotaan, pertanian dan tenaga air. Namun, terdapat pertentangan dengan tujuan-tujuan REDD+ karena infrastruktur yang dibangun dapat mengakibatkan deforestasi. Pembangunan jaringan irigasi untuk menopang produksi pangan telah membuka 110.571 hektar hutan sejauh ini, sebagian besar di hutan produksi dan hutan lindung. Sementara itu, pembangunan yang diantisipasi untuk 51 bendungan selama periode 2015–2019 juga diperkirakan akan membuka 11.524 hektar hutan, lagi-lagi terutama untuk menopang irigasi11.

Studi kasus: Bendungan Jatigede

12

Bendungan Jatigede di Jawa Barat adalah bendungan terbesar kedua di Asia Tenggara.

Bendungan ini akan memasok 3.599 m3/detik air minum dan menghasilkan 110 megawatt listrik dari PLTA-nya. Bendungan ini juga akan mengairi sekitar 90.000 hektar sawah di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka, dan akan berfungsi sebagai

pengendali banjir untuk daerah-daerah hilir.

Namun, pembangunan Bendungan Jatigede membutuhkan relokasi penduduk 28 desa di lima kecamatan, dan menenggelamkan sekitar 3.100 hektar lahan pertanian produktif dan sekitar 1.300 hektar hutan.


(9)

9 Apakah tujuan-tujuan REDD+ telah diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan nasional?

Ketahanan energi

Target swasembada energi untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang berkembang dan meningkatkan energi terbarukan menjadi 23% dari bauran energi nasional pada tahun

2025 membutuhkan investasi yang signiikan

pada pembangkit energi, terutama pada energi panas bumi, energi air dan bahan bakar nabati. Walaupun investasi pada energi terbarukan ini sesuai dengan target mitigasi iklim, terdapat potensi pertukaran dengan hutan dan tujuan-tujuan REDD+.

Rencana strategis Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM) mengidentiikasi

ketersediaan lahan dan alokasi lahan yang tumpang tindih sebagai tantangan dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, terutama untuk pembangkit listrik tenaga panas

bumi dan bioenergi. Misalnya, dari 312 lokasi

panas bumi yang potensial, sekitar 31% berada dalam hutan konservasi dan 18% berada dalam kawasan hutan lindung.

RPJMN memungkinkan penggunaan kawasan

hutan untuk pengembangan tenaga air

dan infrastruktur energi. Lebih khususnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang bertanggung jawab atas REDD+,

mengakui kebutuhan atas lahan yang dimiliki oleh sektor energi dalam rencana strategisnya dan sedang bekerja sama dengan Kementerian

ESDM untuk isu ini. Misalnya, KLHK telah

mengalokasikan 100.000 hektar hutan

produksi13 di Sumatera, Kalimantan dan Papua

untuk pengembangan perkebunan energi, serta kawasan hutan konservasi untuk pembangkit listrik tenaga air dan tenaga panas bumi. Sebaliknya, rencana strategis Kementerian

ESDM tidak menyebutkan secara tegas potensi

pemanfaatan lahan terdegradasi untuk produksi bahan bakar nabati, walaupun Kementerian

ESDM telah menandatangani Nota Kesepakatan

dengan kabupaten-kabupaten di Kalimantan untuk merintis pengembangan bahan bakar nabati pada daerah bekas pertambangan. Terakhir, walaupun kebijakan-kebijakan

iklim Indonesia mengidentiikasi konservasi

hutan di DAS hulu sebagai strategi penting dalam memastikan cukup pasokan air untuk pembangkit listrik tenaga air dan pembangkit listrik tenaga panas bumi, rencana strategis sektor energi tidak secara tegas memprioritaskan peran hutan sebagai

‘infrastruktur alam’ atau mengakui risiko

terhadap bendungan sedimentasi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hulu.

Sektor selain sektor kehutanan Sektor Kehutanan

Pertanian

Sinkronisasi kebijakan dibutuhkan dengan tujuan untuk memperluas lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit serta sumber bahan bakar nabati lainnya untuk peningkatan penyerap karbon dan menurunkan emisi dari deforestasi

Pertambangan Tambang terbuka di kawasan hutan, eksplorasi pertambangan di hutan

Energi Pengalihfungsian hutan untuk meningkatkan pasokan alternatif energi, panas bumi di

kawasan hutan dan eksplorasi di dalam hutan

Pekerjaan Umum, Sumber Daya Air

Prioritas untuk rehabilitas daerah tangkapan sungai dan pembangunan infrastruktur irigasi di kawasan hutan

Perikanan dan Kelautan Koordinasi pengelolaan taman nasional dan pengelolaan hutan bakau

Transportasi Pembangunan infrastruktur transportasi di kawasan hutan

Industri Industri pasokan kayu (pulp & kertas, kayu)

Kesehatan Indikasi penyebaran penyakit sebagai dampak pengalihfungsian hutan dan hutan bakau Tabel 2: Isu lintas sektor antara sektor kehutanan dengan sektor lainnya


(10)

Ketahanan pangan

Indonesia memiliki target yang ambisius untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan hasil perikanan. Walaupun terdapat target untuk meningkatkan produktivitas, lahan yang luas juga akan dibutuhkan untuk memenuhi target-target ini. Walaupun terdapat rencana untuk menggunakan lahan terdegradasi, mencapai target-target ini mungkin akan mengakibatkan hilangnya wilayah hutan yang luas, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, terutama mengingat target komoditas ambisius lainnya dan target tanaman bahan bakar nabati juga akan membutuhkan lahan.

Kementerian Pertanian (Kementan) sedang

berdiskusi secara intensif dengan KLHK dan

Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk

mengidentiikasi hingga 2 juta hektar lahan

untuk pengembangan pertanian. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang ada, seluas lebih dari 13 juta hektar di Indonesia. Sampai

Oktober 2015, KLHK telah mengeluarkan 671

keputusan untuk pengalihfungsian sekitar 6,6 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit,

karet, tebu, dan cokelat. Di Jawa, KLHK

bekerja sama dengan Kementan memanfaatkan 100.000 hektar kawasan hutan negara untuk budidaya tanaman padi dan 167.000 hektar untuk jagung14. Namun, penting untuk diingat

bahwa kesesuaian hutan produksi yang dapat dikonversi untuk tujuan pertanian

berbeda-beda, oleh karena itu KLHK melaksanakan

analisis kesesuaian lahan di lima pulau

utama Indonesia; KLHK berharap akan

mempublikasikan hasilnya pada tahun 201615.

Kegiatan-kegiatan pertanian juga memanfaatkan lahan gambut, walaupun moratorium yang berlaku saat ini dan rencana pengelolaan lahan gambut telah dan akan membatasi kehilangan lebih lanjut. Walaupun sektor

pertanian mengidentiikasi perlunya pertanian

berkelanjutan dan rendah karbon pada lahan gambut, proyek lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah memperlihatkan

tantangan dalam pelaksanaannya. Proyek ini, yang dimulai pada tahun 1996, bertujuan untuk memanfaatkan lahan gambut yang tidak produktif untuk mendukung target

swasembada beras Indonesia. Namun, bukannya meningkatkan produksi beras, proyek ini

mengakibatkan kehancuran ekosistem lahan gambut, meninggalkan area yang sangat luas yang rentan terhadap kebakaran serta memengaruhi pendapatan dan kesehatan penduduk setempat.

Rencana strategis Kementan mengakui potensi lahan terdegradasi di daerah bekas pertambangan (sebagian besar di daerah hutan), lahan terlantar dan lahan suboptimal, untuk pengembangan pertanian, terutama untuk

tanaman pangan. Sampai Maret 2013, KLHK

telah mengeluarkan beberapa izin untuk survei eksplorasi pertambangan pada 2,6 juta ha lahan hutan dan izin eksploitasi pada 382.500 ha lahan hutan. Walaupun datanya tidak lengkap, terutama terkait dengan kesesuaian lahan terdegradasi untuk pertanian, sejumlah studi menyimpulkan bahwa terdapat cukup lahan terdegradasi untuk memenuhi target produksi pertanian.

Terakhir, penting untuk diingat bahwa permintaan yang bersaing untuk penggunaan lahan selain untuk tanaman pangan dapat mengakibatkan perlunya perluasan pertanian lebih lanjut di tempat lain. Hal ini diilustrasikan oleh beras, yang merupakan makanan pokok terpenting di Indonesia. Walaupun terdapat target pembangunan yang ambisius untuk swasembada dan upaya oleh Pemerintah untuk meningkatkan luas area yang ditanami padi, total luas sawah berkurang dikarenakan pengalihfungsian menjadi penggunaan lahan lain seperti pemukiman (terutama di Jawa) dan perkebunan kelapa sawit (di luar Jawa). Ini biasanya terjadi di sawah yang paling produktif dan dengan laju yang relatif tinggi, sekitar 100 ribu hektar/tahun, sedangkan pembentukan sawah baru kurang dari 50 ribu hektar/tahun16.


(11)

11

Studi kasus: Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke

Dalam rangka mendukung target ketahanan pangan dan energinya, Indonesia

mengembangkan Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE) di Papua. Program ini dimulai pada tahun 2008, resmi

diluncurkan pada tahun 2010 dan didukung oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015. Program ini mengalokasikan lebih dari 1,2 juta hektar lahan adat (sebagian besar hutan), untuk

perkebunan tanaman pangan (50%), tebu (30%) dan kelapa sawit (20%). Pengembangan dibagi ke dalam tiga fase: 423.251 hektar selama periode 2010–2014, 632.505 hektar selama periode 2015–2019, dan 227.077 hektar selama periode 2020–2030. Dari pengembangan ini,

MIFEE diharapkan akan menghasilkan 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton

kedelai, 64.000 ekor ternak, 2,5 juta ton gula, dan 937.000 ton kelapa sawit setiap tahun17.

Marfai dan Cahyadi (2012) menganalisis kesesuaian lahan di empat kecamatan

(Merauke, Naukenjerai, Olikobel dan Sota) di daerah perbatasan Kabupaten Merauke dan menyimpulkan bahwa hanya Kecamatan Merauke yang sesuai untuk budidaya tanaman padi.

Drainase dan banjir, dikarenakan lokasinya di daerah rawa, merupakan hambatan utama di kecamatan lainnya18. Selain itu, konlik lahan telah dilaporkan, misalnya, Medco Group memperoleh izin untuk 360.000 hektar yang memungkinkannya untuk membuka 60% hutan dalam konsesi ini walaupun hutan-hutan ini sangat penting bagi mata pencaharian masyarakat adat setempat19.

Menurut sebuah laporan oleh Greenomics Indonesia, awalnya 406.718 hektar total luas MIFEE dapat ditemukan dalam peta moratorium (86% di antaranya terletak di lahan

gambut) sebelum revisi enam bulan pertama peta moratorium20. Hal ini mengilustrasikan isu-isu yang terkait dengan moratorium, yang memberikan pengecualian untuk

menggunakan hutan untuk tujuan pembangunan nasional, termasuk produksi pangan dan energi. Namun, dalam hal ini pengecualian tersebut tidak hanya meliputi beras, tetapi juga kegiatan-kegiatan seperti peternakan yang seharusnya tidak dicakup dalam pengecualian moratorium21.

Selain MIFEE, Pemerintah Indonesia juga berencana untuk membentuk perkebunan pangan

lebih lanjut di Kalimantan Barat (1.400 hektar) dan Kalimantan Utara (298.000 hektar) untuk meningkatkan produksi beras.


(12)

Temuan kunci tentang koherensi

tujuan-tujuan kebijakan iklim dan

pembangunan Indonesia

Analisis di atas memperlihatkan bahwa rencana pembangunan nasional Indonesia mengakui perlunya bertransisi menuju perekonomian

rendah karbon. Khususnya, RPJMN mengakui

peran konservasi hutan dalam pengelolaan DAS, serta produksi pangan dan energi. Namun, masih ada beberapa pertukaran dan ketidaksesuaian yang jelas antara tujuan-tujuan iklim dengan tujuan-tujuan pembangunan – terutama seputar perluasan produksi energi dan pertanian serta konservasi hutan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia, yang

bertanggung jawab untuk memasukkan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan, menekankan bahwa ini adalah proses jangka panjang, dan bahwa pertukaran (trade-of) sementara dapat muncul selama transisi dari kegiatan-kegiatan business as usual22. Namun, analisis

menunjukkan bahwa kecuali pertukaran diatasi secara proaktif, maka bukannya menghilang, pertukaran-pertukaran ini akan memberikan dampak jangka panjang pada pencapaian tujuan-tujuan pembangunan dan iklim.

Kebijakan-kebijakan iklim berhasil

mengartikulasikan sejumlah strategi untuk meminimalkan kemungkinan pertukaran ini, misalnya memprioritaskan pengembangan pertanian pada lahan terdegradasi dan memberlakukan praktik tidak membakar. Namun, walaupun beberapa dari strategi-strategi ini tercermin dalam rencana tata guna lahan dari kementerian dan sektor lain, tujuan dan strategi mitigasi perubahan iklim tidak diartikulasikan dengan jelas atau diprioritaskan dalam rencana strategis sektor

terkait. Mengatasi pendorong deforestasi di

luar sektor kehutanan masih menjadi tantangan utama, walaupun wacana pengalokasian lahan

masih berlangsung antara KLHK dengan

kementerian lainnya, contoh-contoh seperti

MIFEE mengilustrasikan kemungkinan risiko

pertukaran antara konservasi hutan dengan prioritas-prioritas pembangunan nasional23.


(13)

13 Apakah pengembangan REDD+ telah memfasilitasi koordinasi horizontal dan vertikal?

Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

(RAN-GRK dan RAD-(RAN-GRK)

Menindaklanjuti komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020,

atau sebesar 41% dengan bantuan internasional, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk memandu pelaksanaan penurunan emisi sesuai dengan target pembangunan nasional. Walaupun

RAN-GRK mencakup banyak sektor, rencana aksi ini mengidentiikasi bahwa 87% penurunan emisi

perlu berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Peraturan Presiden tersebut lebih lanjut memerintahkan pengembangan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) di tingkat provinsi24. Pada tahun 2015, 33 provinsi di Indonesia menyelesaikan RAD-GRK mereka.

Dalam kerangka kerja ini, provinsi juga diharuskan untuk menguraikan Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD+ Daerah (Strategi dan Rencana Aksi Provinsi atau SRAP) untuk memungkinkan diadopsinya REDD+ ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pemerintah Daerah.

Analisis koherensi kebijakan-kebijakan iklim dan pembangunan Indonesia telah menyoroti

bidang-bidang utama kemungkinan konlik

yang perlu diatasi untuk upaya-upaya mitigasi dan adaptasi iklim yang akan dimasukkan dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, walaupun tinjauan di atas melihat koherensi di tingkat nasional, keputusan penggunaan lahan sering dibuat pada skala lokal, di mana pemerintah provinsi dan kabupaten memiliki

kewenangan yang signiikan atas pengelolaan

sumber daya alam. Pada skala ini, keputusan

penggunaan lahan menanggapi prioritas dan insentif ekonomi setempat, dan rencana nasional telah digambarkan sebagai “menu” yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah. Bagian ini meninjau bagaimana pembaruan hukum, peraturan dan kelembagaan dalam pengembangan REDD+ telah memfasilitasi koordinasi horizontal dan vertikal di dalam dan antara REDD+ dengan sektor berbasis lahan lainnya.

3. APAKAH PENGEMBANGAN REDD+ TELAH

MEMFASILITASI KOORDINASI HORIZONTAL DAN

VERTIKAL?


(14)

Koordinasi horizontal:

Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 mengharuskan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengarusutamakan mitigasi iklim, termasuk REDD+, ke dalam perencanaan pembangunan di semua tingkat pemerintah. Dalam mencapai hal ini, RAN/RAD-GRK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses perencanaan pembangunan nasional dan daerah (Gambar 2). Untuk mendukung proses ini, pada tahun

2013 Bappenas mengeluarkan ‘Pedoman Mainstreaming REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan’ dan ‘Pedoman Greening MP3EI’ berkoordinasi dengan

Satuan Tugas REDD+ (Satgas REDD+)25.

Pemantauan dan pelaporan pelaksanaan RAN-GRK mengikuti mekanisme pemerintah

untuk mengevaluasi pelaksanaan RPJMN.

Tiap menteri/kepala lembaga pemerintah

mengajukan sebuah laporan kepada Menteri

Perencanaan Pembangunan Nasional bersama

dengan salinan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Aparatur Negara26. Selain itu,

Kementerian Keuangan mengharuskan semua kementerian/lembaga pemerintah untuk menyediakan alokasi anggarannya untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan penurunan emisi GRK dan melaporkannya kepada Kementerian Keuangan (lihat subbagian keuangan untuk informasi lebih lanjut tentang sistem penelusuran anggaran pemerintah untuk kegiatan-kegiatan perubahan iklim). Walaupun terdapat mekanisme-mekanisme koordinasi horizontal ini, analisis koherensi kebijakan di bagian 2 menunjukkan bahwa memasukkan penurunan emisi penggunaan lahan dalam perencanaan pembangunan masih menjadi tantangan.

Walaupun pengembangan RAD-GRK

melibatkan berbagai sektor di tingkat provinsi dan kabupaten, terutama sektor berbasis lahan, sektor-sektor tersebut tidak dimasukkan secara memadai ke dalam rencana pembangunan

provinsi dan kabupaten. Misalnya, Jagau

dkk27. menyimpulkan bahwa RAD-GRK

belum dimasukkan secara sistematis ke dalam perencanaan pembangunan di Provinsi Kalimantan Tengah, di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten.

Koordinasi vertikal:

Bappenas juga memainkan peran kunci dalam koordinasi RAD-GRK dengan memfasilitasi sekretariat RAN/RAD-GRK yang mengawasi perumusan dan pelaksanaannya. Koordinasi vertikal dilaksanakan melalui sistem internal Bappenas, yang memiliki hubungan kerja konsultatif dengan semua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di tingkat provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. Peninjauan dimasukkannya RAD-GRK ke dalam perencanaan pembangunan di Kalimantan

Tengah mengidentiikasi kesenjangan di tingkat

kabupaten, yang kemungkinan diperparah oleh fakta bahwa tidak ada instruksi dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten bahwa RAD-GRK harus digunakan sebagai acuan dalam merumuskan rencana pembangunan kabupaten.

Sama halnya dengan koordinasi horizontal, koordinasi vertikal pemantauan dan

pelaksanaan RAD-GRK mengikuti mekanisme

evaluasi pelaksanaan RPJMN28. Bupati

melaporkan pelaksanaan RAD-GRK kepada pemerintah provinsi, berdasarkan masukan dari lembaga-lembaga pemerintah terkait di tingkat kabupaten. Pemerintah provinsi mengumpulkan data dari semua kabupatennya dan lembaga pemerintah terkait sebelum menyerahkan

laporan tersebut kepada Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional dan salinannya kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.


(15)

15 Apakah pengembangan REDD+ telah memfasilitasi koordinasi horizontal dan vertikal?

Penundaan (moratorium) pemberian izin baru untuk hutan primer dan lahan

gambut

Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia memperkenalkan moratorium (penundaan pemberian) izin baru untuk hutan primer dan lahan gambut, di bawah persiapan Kesiapan REDD+ yang diuraikan dalam Letter of Intent (LoI) antara Norwegia dengan Indonesia. Moratorium awal selama dua tahun

ini diperpanjang pada tahun 2013 dan tahun 2015. Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB), yang diperbarui setiap enam bulan sekali, dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan untuk memandu pelaksanaan30. Pengembangan PIPPIB menyoroti tantangan berbagai lembaga yang

menggunakan kumpulan data ruang yang berbeda dan sering kali bertentangan; hal ini mendorong Inisiatif Satu Peta Satgas REDD+ (lihat di bawah).

Koordinasi horizontal:

Moratorium telah membatasi perluasan

pertanian, kehutanan dan kegiatan-kegiatan berbasis lahan lainnya ke dalam wilayah hutan primer dan lahan gambut. Dengan ini, langkah tersebut telah mendorong pemanfaatan lahan yang telah terdeforestasi dan terdegradasi, serta

intensiikasi pertanian. Walaupun moratorium

dipandang sebagai langkah positif dalam upaya Indonesia untuk mengurangi deforestasi, efektivitasnya terbatas karena moratorium ini tidak menyertakan hutan sekunder/hutan yang telah ditebang dan hutan di luar kawasan hutan negara31; dispensasi bagi semua izin industri

yang ada sebelumnya; kemampuan untuk

memperpanjang izin yang ada; dan pengecualian bagi prioritas pembangunan nasional dalam sektor energi dan pertanian. Pengecualian-pengecualian ini berarti bahwa deforestasi tetap terjadi di dalam wilayah moratorium32, 33.

Selain itu, sebuah kajian oleh Kemitraan dan Walhi, menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 (ketika moratorium dikeluarkan) sampai tahun 2013 (perpanjangan moratorium pertama), luas wilayah moratorium telah menurun sebesar 968.891 hektar di empat provinsi, yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kalimantan Tengah34. Tidak disertakannya Kementan dalam

instruksi moratorium telah disoroti sebagai contoh koordinasi horizontal yang buruk di antara lembaga-lembaga pemerintah dalam pelaksanaan moratorium di tingkat kabupaten35.

Koordinasi vertikal:

Penelitian oleh WRI menemukan pemahaman yang kurang baik tentang moratorium di tingkat kabupaten, dengan terbatasnya informasi dan panduan teknis yang diberikan oleh pemerintah pusat. Penelitian tersebut menemukan tidak ada kejelasan tentang amanat, sumber daya dan panduan pemantauan pelaksanaan

moratorium di tingkat kabupaten36. Kesadaran

tentang moratorium sangat rendah di dinas-dinas pertanian dan pertanahan kabupaten, walaupun mereka memiliki peran yang sangat penting dalam memetakan lahan gambut, yang menunjukkan kemungkinan kegagalan koordinasi horizontal serta vertikal. Faktor-faktor ini menghambat efektivitas moratorium dalam mencegah deforestasi dan degradasi lebih lanjut.


(16)

Inisiatif Satu Peta

Inisiatif Satu Peta ditetapkan oleh Satgas REDD+ setelah pengembangan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) pada tahun 2011, yang menyoroti tantangan berbagai lembaga yang menggunakan kumpulan data ruang yang berbeda-beda dan sering kali bertentangan.

Koordinasi horizontal:

Satgas REDD+ mendapatkan kesepakatan dari 13 kementerian lainnya untuk memasukkan data mereka ke dalam Inisiatif Satu Peta. Sebuah kelompok kerja nasional memfasilitasi koordinasi dan sinergi di seluruh kementerian dan lembaga dalam mengembangkan standar untuk basis data geospasial. Kelompok kerja nasional tersebut terdiri dari 11 subkelompok kerja seperti subkelompok kerja sumber daya air dan DAS, sumber daya lahan pertanian dan pemetaan lahan gambut, pemetaan perubahan iklim, pemantauan izin sektoral dan status lahan, dll. Inisiatif Satu Peta diperkuat oleh UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang memberikan amanat dibuatnya satu peta. Pemerintah saat ini lebih memperkuat pentingnya Satu Peta dalam pembangunan ekonomi negara ini sebagai bagian dari paket stimulus ekonominya yang kedelapan. Pemerintah berharap Satu Peta dapat

membantu menyelesaikan konlik penggunaan

lahan yang tumpang tindih, dan meningkatkan keterandalan infomasi yang terkait dengan lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi, yang akan mempercepat proses perizinan penggunaan lahan37.

Koordinasi vertikal:

Sebuah geoportal nasional memberikan peluang bagi masyarakat umum untuk memberikan informasi geospasial dan juga mengakses data yang disediakan38. Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif sedang mengumpulkan pengetahuan masyarakat tentang lahan hutan untuk

memberikan pemetaan lahan adat yang lengkap, sebagai pertimbangan untuk pengembangan Satu Peta. Namun, tidak ada amanat resmi untuk memasukkan peta-peta kabupaten dan provinsi ke dalam Satu Peta, yang merepresentasikan kemungkinan hambatan besar terhadap kegunaannya39.


(17)

17

Pengukuran, Pelaporan dan Veriikasi (MRV)

Pada bulan Maret 2015, KLHK meluncurkan Sistem Penghitungan Karbon Nasional Indonesia

(Indonesian National Carbon Accounting System atau INCAS). INCAS dirancang sebagai sebuah

pendekatan yang sistematis untuk pengukuran, pelaporan dan veriikasi (measurement, reporting

and veriication atau MRV) emisi GRK, termasuk untuk kegiatan-kegiatan REDD+. Sistem ini

telah digunakan untuk menghasilkan perhitungan emisi dan serapan GRK tahunan bagi semua hutan dan lahan gambut Indonesia dari kegiatan-kegiatan utama yang terkait dengan REDD+ selama periode 2001–201240.

Koordinasi horizontal:

INCAS dikembangkan oleh KLHK bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan BP

REDD+41. Ketika diperluas untuk mencakup emisi GRK dari sektor pertanian, kehutanan

dan sektor berbasis lahan lainnya (AFOLU),

INCAS akan membutuhkan kumpulan data, keahlian, dan sumber daya dari semua sektor berbasis lahan dan kementerian/lembaga pemerintah terkait, terutama Kementerian Pertanian, Bappenas, dan Badan Informasi Geospasial. Kebutuhan untuk koordinasi

horizontal yang efektif ini diakui oleh KLHK

dalam Peta Jalan INCAS, yang menyoroti perlunya menciptakan dasar hukum untuk INCAS dan kesepakatan kerja sama formal antara lembaga-lembaga pemerintah utama.

Koordinasi vertikal:

INCAS dimulai sebagai sebuah sistem uji coba

MRV di Kalimantan Tengah. Sistem uji coba MRV tersebut dikembangkan melalui kerja sama antara tim MRV Kalimantan Tengah

dengan beberapa lembaga pemerintah di tingkat nasional, yaitu Direktorat Jenderal

Planologi Kehutanan KLHK, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, LAPAN, dan Satgas

REDD+ (yang kemudian berubah menjadi BP REDD+). Pembelajaran dari pelaksanaan di Kalimantan Tengah diambil untuk

mengembangkan sistem INCAS yang ada42. INCAS berfungsi sebagai platform nasional

terpusat untuk MRV emisi dan serapan GRK

dari sektor berbasis lahan di Indonesia. Dengan demikian, sistem ini akan dapat menghasilkan perhitungan GRK daerah dan memasukkan data tambahan dari daerah43.


(18)

Sistem Perizinan Terpadu

Data dari KLHK menunjukkan bahwa pada tahun 2014 lebih dari sepertiga luas hutan Indonesia

berada di bawah izin44, terutama untuk kelapa sawit, pertambangan dan kayu. Di Kalimantan, angka

ini naik menjadi 51%45. BP REDD+ memimpin program pembaruan tata kelola perizinan, dalam rangka

meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem perizinan, sebagai prasyarat untuk perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang baik46, 47. Dalam mengatasi isu izin yang tumpang tindih tersebut,

BP REDD+ mengusulkan Sistem Perizinan Terpadu yang akan memungkinkan berbagai lembaga pemerintah yang terlibat dalam perizinan untuk mengakses satu basis data sistematis. Pada bulan Desember 2014, Pemerintah Indonesia mengumumkan niatnya untuk menggabungkan Sistem Perizinan Terpadu ke dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bawah Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM)48. Presiden Republik Indonesia meluncurkan sistem tersebut pada bulan Januari 2015.

Koordinasi horizontal:

Program tata kelola perizinan BP REDD+ mencakup rencana aksi yang melibatkan banyak kementerian dan lembaga pemerintah di seluruh sektor berbasis lahan terkait. Program tersebut juga menguji coba Satu Sistem Perizinan di Kalimantan, yang memungkinkan akses dari Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian dan

Kementerian Dalam Negeri. Uji coba ini dan audit perizinan terkait mengarah pada penguatan tata kelola lingkungan oleh Kementan dalam peraturan perizinan di bawah Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

(Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013)49. Di bawah sistem BKPM yang baru, sekitar 22

kementerian/lembaga pemerintah mendelegasikan

kewenangan mereka kepada BKPM untuk

melaksanakan perizinan yang terkait dengan investasi50. Untuk memfasilitasi koordinasi,

kementerian/lembaga pemerintah ini telah menunjuk

petugas-petugas penghubung di kantor BKPM yang bertanggung jawab untuk melakukan veriikasi

permohonan izin51. Namun, ada banyak tantangan yang signiikan menghadang perizinan kehutanan,

beberapa pihak telah mengangkat kekhawatiran bahwa delegasi kewenangan kehutanan kepada

BKPM akan berpotensi mengakibatkan diabaikannya

pertimbangan-pertimbangan lingkungan52.

Kekhawatiran-kekhawatiran ini telah mengakibatkan

KLHK menarik 18 dari 35 kewenangan perizinan yang telah didelegasikan kepada BKPM. Di antara

kewenangan perizinan yang ditarik adalah izin-izin yang tidak terkait dengan investasi tetapi juga meliputi kewenangan untuk memberikan persetujuan untuk analisis mengenai dampak lingkungan53.

Koordinasi vertikal:

Visi BP REDD+ adalah agar Sistem Perizinan

Terpadu mendukung koordinasi vertikal dengan memungkinkan lembaga-lembaga pemerintah pusat untuk memantau dan melaksanakan pengawasan perizinan daerah dengan semestinya.

Di bawah BKPM, izin dapat dikeluarkan oleh

kantor pelayanan terpadu satu pintu di tingkat pemerintah terkait sesuai dengan lokasi lokasi usaha yang diusulkan, misalnya di tingkat nasional berdasarkan delegasi kewenangan dari kementerian/kepala lembaga pemerintah, di tingkat provinsi berdasarkan delegasi kewenangan dari gubernur, dan di tingkat kabupaten/

kota berdasarkan delegasi kewenangan dari

bupati. Menurut BKPM, semua provinsi, 372

kabupaten dan 98 kota di Indonesia memiliki kantor pelayanan terpadu satu pintu. Untuk mempertahankan koordinasi antara tingkat pusat,

provinsi dan kabupaten/kota, BKPM mengadakan

rapat konsolidasi tahunan internal yang disebut Konsolidasi Rencana dan Pelaksanaan Investasi Nasional54 serta sistem pelaporan bulanan

bertingkat, dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi hingga tingkat pusat55.


(19)

19

Kesatuan Pengelolaan Hutan

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah suatu wilayah administrasi yang ditunjuk untuk pengelolaan hutan lestari, sejalan dengan fungsi dasar dan zonasinya masing-masing (termasuk KPH lindung, KPH produksi dan KPH konservasi). KPH dirancang untuk mengatasi tata kelola dan pengelolaan daerah yang lemah dikarenakan lemahnya atau tidak adanya lembaga kehutanan daerah di lapangan56. Strategi Nasional REDD+ mengidentiikasi bahwa satu prioritas utama pelaksanaan

REDD+ adalah menetapkan dan mengoperasionalkan banyak KPH, mengakui bahwa tujuan-tujuan KPH sejalan dengan REDD+, terutama penggunaan proses berbagai pemangku kepentingan untuk membentuk KPH, status dan batas hutan yang jelas, dan tujuan pengelolaan hutan lestari. Pada tahun

2014, terdapat 120 KPH yang telah operasional yang mencakup 16 juta hektar. RPJMN menyertakan

target 579 Kesatuan Pengelolaan Hutan operasional pada tahun 2019.

Koordinasi horizontal:

KPH dapat mencakup banyak konsesi dan fungsi hutan, sehingga rencana pengelolaan hutannya membutuhkan koordinasi di antara berbagai pemangku kepentingan. Dalam mengelola berbagai kepentingan yang mungkin akan muncul dari berbagai pelaku dan memastikan sinergi di berbagai kegiatan, rencana pengelolaan KPH dirumuskan melalui proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. KPH berfungsi sebagai pengelola hutan di tingkat tapak dan memantau kinerja konsesi yang terletak di dalam KPH. KPH tidak dapat mengeluarkan izin pemanfaatan hutan. Proses perizinan dan administrasi kehutanan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah berdasarkan fungsi mereka masing-masing57.

Koordinasi vertikal:

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pelaksanaan rencana tata kelola dan pengelolaan hutan untuk KPH lindung dan KPH produksi berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi. Sedangkan KPH konservasi berada di bawah pemerintah pusat. Tujuan pengelolaan KPH harus selaras dengan tujuan-tujuan pembangunan nasional, provinsi, dan kabupaten. Pada tahun 2010, Unit Pelaksana Teknis Daerah KPH menyelenggarakan sebuah lokakarya tentang pembelajaran dari pengembangan

KPH. Lokakarya ini menyimpulkan bahwa ada

kesenjangan kapasitas dan sumber daya yang

signiikan yang membatasi pembentukan dan

efektivitas organisasi-organisasi pengelolaan KPH di tingkat provinsi/kabupaten58.


(20)

Badan Restorasi Gambut

Sebagai tanggapan terhadap kebakaran hutan dan lahan gambut yang luas pada tahun 2015, Presiden membentuk Badan Restorasi Gambut pada awal tahun 2016. Peraturan Presiden yang membentuk Badan ini memberi tugas koordinasi dan fasilitasi restorasi dua juta hektar lahan gambut di Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua, sampai tahun 202061. Tugas ini merupakan tugas yang menantang karena sebagian besar lahan gambut di

provinsi-provinsi ini telah dialihfungsikan menjadi perkebunan komoditas pertanian, lahan pertanian, hutan tanaman industri, tambak udang, dll.

Badan Restorasi Gambut yang baru dibentuk mengikuti model yang serupa dengan BP REDD+ dalam hal melapor langsung kepada Presiden dan berada di bawah kerangka kerja sama Indonesia dengan Norwegia. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan ini akan didukung oleh satu tim pengarah teknis dan kelompok pakar yang terdiri dari perwakilan-perwakilan pemerintah dan kementerian dalam sektor berbasis lahan, gubernur, ilmuwan, profesional dan masyarakat. Namun, dengan kewenangannya yang terbatas sebagai suatu badan nonstruktural, Badan ini akan membutuhkan dukungan yang kuat dari kementerian-kementerian terkait di tingkat nasional dan dari setiap tingkat pemerintah, untuk menerjemahkan komitmen negara ini untuk memulihkan dua juta hektar lahan gambut menjadi tindakan.

BP REDD+

Pemerintah Indonesia membentuk Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+), suatu badan ad hoc yang melapor langsung kepada Kantor Presiden, pada bulan September 2013. BP REDD+ menggantikan Satgas REDD+ dan diberi tugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas koordinasi,

sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, serta pengendalian REDD+ di Indonesia59.

Koordinasi horizontal:

BP REDD+ dirancang melalui suatu proses kerja sama yang melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah terkait, yang mencerminkan

pemahaman bahwa tujuan-tujuan REDD+ hanya akan tercapai dengan koordinasi dan kerja sama kuat antara badan tersebut dengan kementerian-kementerian ini. Namun, beberapa kementerian menganggap BP REDD+, yang merupakan badan ad hoc, telah mengambil kewenangan mereka, sehingga enggan untuk sepenuhnya mendukung badan tersebut. Badan tersebut dibubarkan pada tahun 2015 dengan fungsi-fungsinya dilebur ke dalam Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang baru

di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Walaupun langkah ini mengarusutamakan REDD+ ke dalam suatu kementerian yang kuat, koordinasi horizontal yang efektif akan membutuhkan Direktur Jenderal yang kuat untuk mengangkat banyak isu ke tingkat kementerian. Sebelum BP REDD+ dibubarkan, badan tersebut meletakkan

landasan yang penting untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia60.

Koordinasi vertikal:

BP REDD+ memulai penerapan pendekatan yurisdiksi terhadap pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan atau desa dapat dianggap “yurisdiksi” dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pendekatan yurisdiksi berarti bahwa semua program dan kegiatan yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan direncanakan dan dilaksanakan dalam struktur yurisdiksi yang ada di negara ini. Pendekatan tersebut membutuhkan kerja sama intensif di antara berbagai tingkat yurisdiksi untuk memastikan keselarasan dengan target nasional. BP REDD+ mengakui bahwa mengembangkan pendekatan yurisdiksi memerlukan

kemitraan yang kuat antara pemerintah, masyarakat setempat, sektor swasta dan mitra pembangunan.


(21)

21

Alokasi anggaran dalam negeri

Peraturan Presiden tentang RAN-GRK dan RAN-API menyatakan bahwa pendanaan pelaksanaan kedua rencana aksi tersebut akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta sumber sah lainnya yang tidak mengikat. Di bawah kerangka kerja ini, Strategi Nasional REDD+ dan SRAP diharapkan akan mendukung pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengadopsi REDD+ ke dalam rencana kerja dan anggaran mereka. Setelah dipublikasikannya RAN-GRK, Kementerian Keuangan melaksanakan sistem

penelusuran anggaran untuk kegiatan-kegiatan mitigasi iklim. Sistem tersebut bertujuan untuk

menentukan efektivitas dan eisiensi alokasi APBN dalam memprioritaskan tindakan mitigasi, dan di

saat yang sama juga melibatkan sektor swasta62.

Koordinasi horizontal:

Tujuh kementerian diwajibkan oleh hukum untuk melaksanakan sistem penelusuran anggaran untuk kegiatan-kegiatan mitigasi iklim, termasuk kementerian-kementerian yang bergerak dalam sektor air, energi dan pangan (Kementerian Pertanian, Kementerian

Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,

dan Kementerian Pekerjaan Umum)63. Namun,

saat ini hanya ada sedikit informasi umum tersedia tentang belanja sektor untuk kegiatan-kegiatan mitigasi.

Koordinasi vertikal:

Pemerintah pusat memiliki hubungan keuangan dengan pemerintah daerah untuk membiayai pelaksanaan urusan pemerintahan yang didelegasikan atau ditugaskan kepada daerah. Transfer pendapatan kepada pemerintah daerah meliputi dana perimbangan (yang terdiri dari pembagian pendapatan, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus), dana otonomi khusus, dana keistimewaan dan dana desa64. Suatu analisis awal oleh Badan Litbang dan Inovasi KLHK mengidentiikasi pembagian pendapatan

dan dana alokasi khusus sebagai dua mekanisme berpotensi untuk distribusi manfaat dari

REDD+65, 66.

Namun, suatu kajian pada tahun 2011

mengidentiikasi tantangan-tantangan

dalam menyalurkan pendanaan iklim kepada pemerintah daerah, dengan kurang dari 5% dari jumlah pendanaan iklim yang disalurkan melalui pengeluaran anggaran dalam negeri (instrumen utama yang digunakan untuk

mentransfer dana dari APBN) disalurkan kepada pemerintah daerah67. Di luar pendanaan iklim,

tetapi sangat terkait dengan REDD+, suatu tinjauan yang dilakukan baru-baru ini oleh Climate Policy Initiative menyimpulkan bahwa instrumen transfer pendapatan yang ada secara tidak langsung mungkin akan mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan lahan, dan bukan mengintensifkan produksi. Khususnya, pajak tanah dan bangunan serta pendapatan bukan penghasilan dari hutan dan pertambangan memberikan persentase besar dari pendapatan bagi daerah68.


(22)

Pendanaan bilateral dan multilateral

Indonesia memerlukan banyak pendanaan untuk mencapai target penurunan emisinya, dengan beberapa kajian yang menunjukkan kesenjangan pendanaan (Adelphi & GIZ69, CPI70, IFF71). Indonesia

telah menerima bantuan teknis dan keuangan dari negara dan lembaga donor untuk REDD+, termasuk

Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia pada

tahun 2010, yang mengumumkan niat Norwegia untuk mendukung upaya-upaya REDD+ Indonesia dengan memberikan hingga 1 miliar dolar AS. Dari angka ini, 200 juta dolar AS dialokasikan untuk Kesiapan REDD+, dan sisa 800 juta dolar AS untuk pembayaran berbasis kinerja yang terkait dengan

pengurangan deforestasi. Dalam LoI Indonesia sepakat untuk membentuk dana REDD+ (FREDDI)

selain Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang telah dibentuk. ICCTF dikembangkan oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan pada tahun 2009 untuk mengumpulkan dan mengoordinasikan dana dari berbagai sumber, seperti donor internasional dan sektor swasta, untuk mendanai kebijakan dan program perubahan iklim Indonesia72. Sejauh ini, FREDDI belum dijalankan dan di bawah

pengaturan kelembagaan yang baru untuk REDD+, masa depan FREDDI dan hubungannya dengan ICCTF masih belum jelas.

Koordinasi horizontal:

Walaupun kesepakatan LoI ini memberikan

sinyal penting tentang dukungan untuk REDD+, jumlah bantuannya sangat kecil dibandingkan dengan anggaran dalam negeri dan

perekonomian nasional. Misalnya, pendapatan

ekspor minyak sawit, yang merupakan pendorong utama deforestasi, mencapai 18,6 miliar dolar AS pada tahun 201573 dan lembaga

pengelola dana minyak sawit Indonesia (CPO Fund) menggalang 700 juta dolar AS dalam waktu delapan bulan. Selain itu, hingga kini hanya 60 juta dolar AS di bawah Letter of Intent Norwegia yang telah disalurkan. Sebuah laporan oleh Overseas Development Institute menghitung bahwa rata-rata pendanaan REDD+ tahunan (2006–2014) adalah 165 juta dolar AS. Sebagai perbandingan, nilai subsidi pertanian tahunan (2010–2012) adalah 27 miliar dolar AS dan 79 juta dolar AS untuk subsidi bahan bakar nabati (2009)74. Secara lebih luas, dalam

hal pendanaan iklim, masih ada kesenjangan koordinasi dalam pelaporan dana donor oleh kementerian dan lembaga kepada Kementerian Keuangan75.

Koordinasi vertikal:

Pemerintah daerah menerima pendanaan bilateral dan multilateral melalui mekanisme transfer pemerintah (lihat alokasi anggaran dalam negeri). Di bawah ICCTF, kementerian dan lembaga pemerintah yang bertindak sebagai lembaga pelaksana, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan proyek-proyek tersebut76.

Proyek-proyek REDD+, seperti di bawah Izin Restorasi

Ekosistem dan yang dilaksanakan oleh LSM atau OMS, juga dapat menerima pendanaan eksternal


(23)

23

Selama pengembangan REDD+, telah ada

perubahan yang signiikan dalam komitmen

sektor swasta terhadap keberlanjutan produksi

komoditas pertanian. Ikrar Minyak Sawit

Indonesia, yang diumumkan pada tahun 2014, menjanjikan produksi minyak sawit tanpa deforestasi dan telah ditandatangani oleh lima perusahaan terkemuka yang mencakup 60% dari ekspor minyak sawit Indonesia. Sementara itu,

dalam sektor pulp dan kertas, baik APRIL maupun

APP, perusahaan-perusahaan yang mencakup 80% perdagangan Indonesia dalam sektor ini, telah membuat komitmen nol deforestasi. Ini hanyalah dua contoh tentang sejumlah komitmen bersama dan individu terhadap keberlanjutan yang dibuat oleh sektor korporasi; contoh lainnya meliputi komitmen terhadap nol deforestasi, tidak melakukan pembakaran, tidak mengalihfungsikan lahan gambut, dan perlindungan kawasan

yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (High

Conservation Value atau HCV) dan/atau

Cadangan Karbon Tinggi (High Carbon Stock atau HCS).

Pemerintah Indonesia telah mendaftarkan kekhawatiran tentang dampak dari komitmen-komitmen ini pada petani kecil yang mungkin akan mendapatkan kesulitan untuk mematuhinya.

Selain itu, kawasan-kawasan HCV dan HCS

yang berada di bawah komitmen-komitmen nol deforestasi bertentangan dengan UU Perkebunan Indonesia yang mewajibkan perusahaan untuk menggunakan semua daerah yang digarap dalam

waktu enam tahun dan peraturan terbaru Minyak

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO)77.

Selain itu, juga penting untuk memperhatikan perubahan bisnis sektor kehutanan, yang sebelumnya berfokus pada pengambilan kayu, bersama dengan penurunan drastis potensi kayu pada hutan alam sebagai akibat dari sejarah panjang pengambilan kayu di Indonesia. Saat ini, beberapa perusahaan sedang mengelola hutan produksi di bawah izin restorasi hutan. Hingga

awal tahun 2016 Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan 14 izin restorasi hutan. Beberapa perusahaan juga mengembangkan proyek REDD+ dan bahkan telah berhasil menjual kredit karbon ke pasar karbon sukarela

4. APAKAH PENGEMBANGAN REDD+ TELAH

MEMENGARUHI TINDAKAN SEKTOR SWASTA?

PROYEK REDD+

KATINGAN

78, 79

Proyek Restorasi dan Konservasi Lahan

Gambut Katingan (yang disebut Proyek Katingan) diberikan izin Konsesi Restorasi Ekosistem (Ecosystem Restoration

Concession atau ERC) di 108.255 hektar hutan rawa gambut lebat yang terletak di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), di

Kalimantan Tengah pada bulan Oktober 2013. Proyek tersebut dikelola oleh PT

Rimba Makmur Utama (PT. RMU) dan

terdaftar sebagai Kegiatan Demonstrasi REDD+.

Pada awalnya, proyek tersebut mengajukan permohonan untuk izin ERC untuk lebih dari 203.570 hektar pada tahun 2009; permintaan dari para pengguna lahan lainnya, seperti perusahaan minyak sawit dan pertambangan, di daerah yang diusulkan mengakibatkan keterlambatan proses perizinan dan berkurangnya luas ERC yang disetujui80. Selama proses tersebut,

Pemerintah Kabupaten mengalokasikan sebagian dari luas yang dimohonkan ke sembilan perusahaan pertambangan dan enam perusahaan kelapa sawit81. Hal ini

mengilustrasikan tantangan pelaksanaan REDD+ dalam menghadapi pendorong deforestasi yang kuat.

Dalam hal mendukung ketahanan air, energi dan pangan, Dokumen Rancangan Proyek menguraikan kegiatan-kegiatan untuk mendukung mata pencaharian serta ketahanan pangan dan energi setempat. Suatu analisis manfaat biaya oleh Green Growth Institute untuk ERC yang

awalnya diusulkan juga mengidentiikasi

banyak manfaat jasa ekosistem di bawah pertumbuhan hijau, dan biaya tersembunyi dalam skenario business as usual berkurangnya pengeringan tanah gambut dari waktu ke waktu dengan dampak pada produksi pertanian.


(24)

Temuan kunci tentang peran

pengembangan REDD+ dalam

mendukung koordinasi

horizontal dan vertikal di seluruh

sektor berbasis lahan

Fokus pada dukungan Indonesia untuk pengembangan REDD+ sejak tahun 2007, mengungkapkan bahwa walaupun REDD+ terutama dirancang sebagai instrumen keuangan, keberhasilan telah muncul dalam hal tata kelola hutan, termasuk pemantauan

hutan dan sistem MRV; moratorium enam

tahun atas izin baru di hutan primer; dan dimulainya upaya koordinasi pemetaan dan perizinan penggunaan lahan.

Namun, secara kelembagaan, struktur dan pendanaan untuk mencapai REDD+ masih lemah dan tidak terbukti. Penetapan kelembagaan BP REDD+ sebagai suatu lembaga ad hoc menghambat efektivitas pelaksanaan dan menciptakan tantangan untuk koordinasi horizontal dan vertikal yang efektif. Hal ini jelas diilustrasikan melalui komentar dari sejumlah menteri lainnya setelah pembubaran badan tersebut, yang menunjukkan bahwa BP REDD+ melampaui kewenangan dan lingkup tanggung jawabnya sebagai suatu badan ad hoc. Kendati

demikian, sejumlah inisiatif inovatif telah dimulai oleh BP REDD+, termasuk Satu Peta dan Satu Perizinan, walaupun masih belum dilaksanakan seutuhnya tetapi telah diadopsi

oleh pemerintah pusat. Pelajaran-pelajaran ini sangat relevan dengan keberhasilan Badan Restorasi Gambut di masa depan, yang akan menghadapi tantangan serupa sebagai lembaga ad hoc lainnya.

Walaupun sulit untuk dikaitkan langsung dengan pengembangan REDD+, telah ada juga perubahan momentum wacana dan komitmen sektor swasta seputar produksi secara berkelanjutan komoditas pertanian yang telah mendorong deforestasi.

Terakhir, walaupun Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca memberikan mekanisme yang jelas untuk memasukkan tujuan-tujuan iklim (termasuk REDD+) ke dalam perencanaan pembangunan nasional, sektoral dan daerah, terdapat

kesenjangan pelaksanaan yang jelas terlihat. Ini semua akan perlu diatasi agar Indonesia berhasil mencapai visi INDC-nya.


(25)

(26)

REFERENSI DAN CATATAN AKHIR

1 KLHK. (2015). National Forest Reference Emission Level for Deforestation and Forest

Degradation: In the Context of Decision 1/ CP.16 para 70 UNFCCC. Dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan

Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia

2 Margono, B. A., dkk. (2014) Primary forest

cover loss in Indonesia over 2000-2012. Nature Climate Change, 4(8), 730-735.

3 Badan Pusat Statistik (2015). Diakses di:

https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/ id/970.

4 Margono, B. A., dkk. (2014). Primary forest

cover loss in Indonesia over 2000-2012. Nature Climate Change, 4(8), 730-735.

5 WRI. (2014). 6 Graphs Explain the World’s

Top 10 Emitters. Dipublikasikan 25 November 2014. Diakses di: http://www.wri.org//

blog/2014/11/6-graphs-explain-world’s-top-10-emitters

6 Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia’s

Intended Nationally Determined Contribution (INDC). September 2015.

7 GGGI dan Pemerintah Indonesia. (2015).

Delivering Green Growth for a Prosperous Indonesia: A Roadmap for Policy, Planning, and Investment.

8 Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016. 9 Pemerintah Norwegia. (2016). Plan of

Operation of Peatland Protection Agency 2016. Diakses di: https://regjeringen.no/globalassets/ departementene/kld/kos/indonesia/indonesia-norway-peatland-prtection.pdf.

10 Walaupun RAN API dan RAN GRK tidak

khusus untuk REDD+, rencana mitigasi dan adaptasi yang ditetapkan dalam dokumen-dokumen tersebut terkait erat dengan REDD+ dan sebagian besar pemangku kepentingan yang diwawancarai menyebutkan kedua dokumen tersebut ketika mendiskusikan REDD+.

11 Agroindonesia. (2015) Mimpi yang terancam buyar. Laporan utama oleh para editor di Agroindonesia, Vol X. No. 551, Halaman 04.

Diakses di: http://agroindonesia.co.id/index. php/2015/06/14/mimpi-yang-terancam-buyar/

12 Liputan 6 (2015). Barometer Pekan Ini: Pro

dan Kontra Waduk Jatigede. Diakses di: http:// tv.liputan6.com/read/2310510/barometer-pekan-ini-pro-dan-kontra-waduk-jatigede, pada

tanggal 8 Maret 2016.

13 Daerah hutan diklasiikasikan berdasarkan

fungsi utamanya. Fungsi utama hutan produksi adalah memproduksi hasil hutan. Hutan juga

diklasiikasikan sebagai hutan konservasi, fungsi

utamanya adalah melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem, dan hutan lindung, fungsi utamanya adalah mempertahankan jasa ekosistem DAS. Hutan produksi mencakup hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya seperti pertanian (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

14 KLHK. (2015). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.39/Menlhk-Setjen/2015 tentang Rencana Strategis

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Tahun 2015–2019.

15 Wawancara dengan Direktur Jenderal

Planologi Kehutanan, 30 November 2015.

16 Badan Intelijen Negara. (2014). Memperkuat

ketahanan pangan demi masa depan Indonesia

2015-2025. Muhammad AS Hikam (editor). 17 Abdullah, S. (2015) MIFEE dan Mimpi

Swasembada Pangan. Diakses di: http:// kedaulatanpangan.net/2015/07/mifee-dan-mimpi-swasembada-pangan/ pada tanggal 9

Maret 2016.

18 Marfai, M.A., dan A. Cahyadi (2012), “Kajian Kesesuaian Lahan Untuk Mendukung

Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara Republik Indonesia (Studi

Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua),” Jurnal Bumi Lestari, 12(2), 260-267.


(27)

27 19 United Nations Committee on the Elimination

of Racial Discrimination. (2011) Request for Consideration of the Situation of Indigenous

Peoples in Merauke, Papua Province, Indonesia,

under the United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination’s Urgent Action and Early Warning Procedures. Seventy-ninth session, 08 Agustus –2 September 2011.

20 Greenomics Report. 2012. Peatland and forest at serious risk from Merauke food and energy

estate development. Tersedia di http://www.

greenomics.org/docs/Report_201202_Merauke

_Food_and_Energy_Estate.pdf diakses pada

tanggal 16 Maret 2016.

21 Abdullah, S. (2015) MIFEE dan Mimpi

Swasembada Pangan. Tersedia di: http:// kedaulatanpangan.net/2015/07/mifee-dan-mimpi-swasembada-pangan/ diakses pada

tanggal 26 Maret 2016.

22 Wawancara dengan Deputi Bidang Maritim

dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 4 Desember 2015.

23 Indrawan, M., Caldecott, J.O. & Ermayanti, E. (in press) Mitigating tensions over and

conversion in Papua, Indonesia. Asia and the

Paciic Policy Studies.

24 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 61

Tahun 2011.

25 Satuan Tugas REDD+ bertanggung jawab

menyiapkan pembentukan Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+).

26 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006. 27 Jagau Y., dkk. (2014) Kajian kesesuaian

Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di Kalimantan Tengah. Diakses di: http://www.kemitraan.or.id/environment/

admin/assets/uploads/ile/2014/10/Kajian_

Kesesuaian_Rencana_Aksi_Daerah_Gas_ Rumah_Kaca.pdf. Diakses pada tanggal 23

Maret 2016.

28 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006. 29 Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Diakses di http://forestclimatecenter.

org/iles/2011-04-08%20Panduan%20

Penyusunan%20Rencana%20Aksi%20

Daerah%20Pengurangan%20Emisi%20Gas%20 Rumah%20Kaca%20(RAD-GRK).pdf.

30 SK Menteri Kehutanan No.

SK-323/Menhut-II/2011.

31 Wilayah hutan di luar kawasan hutan

diperkirakan lebih dari 7 juta hektar dalam Indrarto, G dkk. The context of REDD+ in

Indonesia: drivers, agents and institutions. Vol.

92. Cifor, 2012.

32 Busch, J. dkk. “Reductions in emissions from

deforestation from Indonesia’s moratorium on new oil palm, timber, and logging concessions.” Proceedings of the National Academy of Sciences 112.5 (2015): 1328-1333.

33 Purba CPP dkk. 2014. Potret keadaan hutan

Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia. Bogor (ID).

34 Kemitraan dan Walhi. (2015) Analisis

Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer

dan Lahan Gambut. Diakses di: http://www.

walhi-riau.or-id/wp-content/uploads/2015/04/

Analisis-Moratorium-2015-inalLL.pdf pada

tanggal 19 April 2016.

35 Austin, K., dkk. (2014) Indonesia’s forest

moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC.

36 Austin, K., dkk. (2014). Indonesia’s forest

moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC

37 Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian. (2015). Siaran Pers tentang

Paket Kebijakan Ekonomi VIII: Kebijakan Satu Peta Nasional, Kilang Minyak dan Pembebasan Bea Masuk Suku Cadang Pesawat. Diakses di: Referensi dan Catatan Akhir


(28)

https://www.ekon.go.id/press/view/siaran-pers-paket-kebijakan.1864.html. Diakses pada

tanggal 11 Maret 2016.

38 Indonesia Pavilion di COP21 (2015). One Map Policy to Respond Climate Change Efect.

http://indonesiacop21.com/one-map-policy-to-respond-climate-change-efect/. Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.

39 Austin, K., dkk. Indonesia’s forest

moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC (2014).

40 Situs web INCAS. INCASE Overview. Diakses

di http://www.incas-indonesia.org/about/incas-overview/. Diakses pada tanggal 9 April 2016.

41 FORDA-Kemenhut. (2013). Indonesian

National Carbon Accounting System (INCAS) Program Facsheet. Diakses di: http://www.

forda-mof.org//iles/INCAS_Fact_Sheet-Final.

pdf. Diakses pada tanggal 9 April 2016.

42 FORDA-Kemenhut. (2013). Indonesian

National Carbon Accounting System (INCAS) Program Factsheet. Diakses di: http://www.

forda-mof.org//iles/INCAS_Fact_Sheet-Final.

pdf. Diakses pada tanggal 9 April 2016.

43 Badan Litbang dan Inovasi KLHK. 2015.

INCAS roadmap: guiding the development and

operation of Indonesia’s national MRV platform

for the land-based sectors.

44 Perkebunan, Tambang, IUPHHK-HA,

IUPHHK-HTI.

45 KLHK. (2014) Statistik Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014.

Tersedia di: http://www.menlhk.go.id/downlot.

php?ile=STATISTIK_2014.pdf. Diakses pada

tanggal 12 Februari 2016.

46 BP REDD+. (2014) REDD+ in Indonesia: Laying the foundations for transformative

change.

47 Toumbourou, T. (2015) Indonesia’s Forests

Disappearing at Record Rates. Dipublikasikan pada tanggal 25 Februari 2015. Diakses di:

http://asiafoundation.org/in-asia/2015/02/25/ indonesias-forests-disappearing-at-record-rates/

48 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.

(2014) Seskab: Kepala Staf Kepresidenan Pimpin Unit Kerja Presiden. Diakses di http://setkab. go.id/seskab-kepala-staf-kepresidenan-pimpin-unit-kerja-presiden/ pada tanggal 04/04/2016 pukul 13:30

49 Badan Pengelola REDD+ Republik Indonesia. REDD+ in Indonesia: Laying the foundations for

transformative change. Tersedia di: http://www.

reddplus.go.id. Diakses pada tanggal 12 Maret

2016.

50 Badan Koordinasi Penanaman Modal.

(2015) Siaran pers: Ombudsman jadikan PTSP pusat acuan menilai PTSP daerah. Diakses di:

http://www.bkpm.go.id/images/uploads/ile_ siaran_pers/siaran_pers_BKPM_17042015_

Kunjungan_Ombudsman_ke_PTSP_PUSAT. pdf. Diakses pada tanggal 14 April 2016.

51 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2015 tentang perubahan atas peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.97/Menhut-II/2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan dan Non Perizinan di

Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal.

52 KOMPAS. (2014) Izin Lingkungan Didelegasikan ke BKPM. Diakses

di: http://sains.kompas.com/

read/2015/01/09/03092381/Izin.Lingkungan. Didelegasikan.ke.BKPM pada tanggal 14 April

2016.

53Agroindonesia. 2015. SERAHKAN DULU, TARIK LAGI KEMUDIAN. Diakses di: http://

agroindonesia.co.id/index.php/2015/02/17/ serahkan-dulu-tarik-lagi-kemudian/. Diakses pada tanggal 14 April 2016.


(1)

19 United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination. (2011) Request for Consideration of the Situation of Indigenous

Peoples in Merauke, Papua Province, Indonesia,

under the United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination’s Urgent Action and Early Warning Procedures. Seventy-ninth session, 08 Agustus –2 September 2011. 20 Greenomics Report. 2012. Peatland and forest

at serious risk from Merauke food and energy

estate development. Tersedia di http://www.

greenomics.org/docs/Report_201202_Merauke

_Food_and_Energy_Estate.pdf diakses pada

tanggal 16 Maret 2016.

21 Abdullah, S. (2015) MIFEE dan Mimpi Swasembada Pangan. Tersedia di: http:// kedaulatanpangan.net/2015/07/mifee-dan-mimpi-swasembada-pangan/ diakses pada

tanggal 26 Maret 2016.

22 Wawancara dengan Deputi Bidang Maritim dan Sumber Daya Alam, Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional, 4 Desember 2015.

23 Indrawan, M., Caldecott, J.O. & Ermayanti,

E. (in press) Mitigating tensions over and

conversion in Papua, Indonesia. Asia and the

Paciic Policy Studies.

24 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 2011.

25 Satuan Tugas REDD+ bertanggung jawab menyiapkan pembentukan Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+).

26 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006. 27 Jagau Y., dkk. (2014) Kajian kesesuaian Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di Kalimantan Tengah. Diakses di: http://www.kemitraan.or.id/environment/

admin/assets/uploads/ile/2014/10/Kajian_

Kesesuaian_Rencana_Aksi_Daerah_Gas_ Rumah_Kaca.pdf. Diakses pada tanggal 23

Maret 2016.

28 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006. 29 Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Diakses di http://forestclimatecenter.

org/iles/2011-04-08%20Panduan%20

Penyusunan%20Rencana%20Aksi%20

Daerah%20Pengurangan%20Emisi%20Gas%20 Rumah%20Kaca%20(RAD-GRK).pdf.

30 SK Menteri Kehutanan No.

SK-323/Menhut-II/2011.

31 Wilayah hutan di luar kawasan hutan diperkirakan lebih dari 7 juta hektar dalam Indrarto, G dkk. The context of REDD+ in

Indonesia: drivers, agents and institutions. Vol.

92. Cifor, 2012.

32 Busch, J. dkk. “Reductions in emissions from deforestation from Indonesia’s moratorium on new oil palm, timber, and logging concessions.” Proceedings of the National Academy of Sciences 112.5 (2015): 1328-1333.

33 Purba CPP dkk. 2014. Potret keadaan hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia. Bogor (ID).

34 Kemitraan dan Walhi. (2015) Analisis

Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer

dan Lahan Gambut. Diakses di: http://www.

walhi-riau.or-id/wp-content/uploads/2015/04/

Analisis-Moratorium-2015-inalLL.pdf pada

tanggal 19 April 2016.

35 Austin, K., dkk. (2014) Indonesia’s forest moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC. 36 Austin, K., dkk. (2014). Indonesia’s forest moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC

37 Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian. (2015). Siaran Pers tentang

Paket Kebijakan Ekonomi VIII: Kebijakan Satu Peta Nasional, Kilang Minyak dan Pembebasan Bea Masuk Suku Cadang Pesawat. Diakses di:


(2)

28

https://www.ekon.go.id/press/view/siaran-pers-paket-kebijakan.1864.html. Diakses pada

tanggal 11 Maret 2016.

38 Indonesia Pavilion di COP21 (2015). One

Map Policy to Respond Climate Change Efect.

http://indonesiacop21.com/one-map-policy-to-respond-climate-change-efect/. Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.

39 Austin, K., dkk. Indonesia’s forest

moratorium: impacts and next steps. World Resources Institute, Washington, DC (2014). 40 Situs web INCAS. INCASE Overview. Diakses di http://www.incas-indonesia.org/about/incas-overview/. Diakses pada tanggal 9 April 2016. 41 FORDA-Kemenhut. (2013). Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) Program Facsheet. Diakses di: http://www.

forda-mof.org//iles/INCAS_Fact_Sheet-Final.

pdf. Diakses pada tanggal 9 April 2016. 42 FORDA-Kemenhut. (2013). Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) Program Factsheet. Diakses di: http://www.

forda-mof.org//iles/INCAS_Fact_Sheet-Final.

pdf. Diakses pada tanggal 9 April 2016. 43 Badan Litbang dan Inovasi KLHK. 2015. INCAS roadmap: guiding the development and

operation of Indonesia’s national MRV platform

for the land-based sectors.

44 Perkebunan, Tambang, IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI.

45 KLHK. (2014) Statistik Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014.

Tersedia di: http://www.menlhk.go.id/downlot.

php?ile=STATISTIK_2014.pdf. Diakses pada

tanggal 12 Februari 2016.

46 BP REDD+. (2014) REDD+ in Indonesia:

Laying the foundations for transformative

change.

47 Toumbourou, T. (2015) Indonesia’s Forests Disappearing at Record Rates. Dipublikasikan pada tanggal 25 Februari 2015. Diakses di:

http://asiafoundation.org/in-asia/2015/02/25/ indonesias-forests-disappearing-at-record-rates/

48 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2014) Seskab: Kepala Staf Kepresidenan Pimpin Unit Kerja Presiden. Diakses di http://setkab. go.id/seskab-kepala-staf-kepresidenan-pimpin-unit-kerja-presiden/ pada tanggal 04/04/2016 pukul 13:30

49 Badan Pengelola REDD+ Republik Indonesia.

REDD+ in Indonesia: Laying the foundations for

transformative change. Tersedia di: http://www.

reddplus.go.id. Diakses pada tanggal 12 Maret

2016.

50 Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2015) Siaran pers: Ombudsman jadikan PTSP pusat acuan menilai PTSP daerah. Diakses di:

http://www.bkpm.go.id/images/uploads/ile_ siaran_pers/siaran_pers_BKPM_17042015_

Kunjungan_Ombudsman_ke_PTSP_PUSAT. pdf. Diakses pada tanggal 14 April 2016. 51 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2015 tentang perubahan atas peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.97/Menhut-II/2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan dan Non Perizinan di

Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal.

52 KOMPAS. (2014) Izin Lingkungan

Didelegasikan ke BKPM. Diakses

di: http://sains.kompas.com/

read/2015/01/09/03092381/Izin.Lingkungan. Didelegasikan.ke.BKPM pada tanggal 14 April

2016.

53Agroindonesia. 2015. SERAHKAN DULU,

TARIK LAGI KEMUDIAN. Diakses di: http://

agroindonesia.co.id/index.php/2015/02/17/ serahkan-dulu-tarik-lagi-kemudian/. Diakses pada tanggal 14 April 2016.

54 MetroNews. (2016). KP3MN Perkuat Sinergi


(3)

Pemerintah Pusat dan Daerah http://ekonomi. metronews.com/read/2016/02/22/488133/ kp3mn-perkuat-sinergi-pemerintah-pusat-dan-daerah. Diakses pada tanggal 13 April 2016. 55 BKPM. Diklat PTSP Bidang Penanaman

Modal Tingkat pertama Bagi Aparatur Daerah.

Diakses di: https://pusdiklat.bkpm.go.id/asset/

media/2.%20PTSP%20di%20Bidang%20PM.

pdf. Diakses pada tanggal 13 April 2016. 56 Kartodihardjo H, dkk. 2011. Summary

of Forest Management Unit Development: Concept, Legislation and Implementation.

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan

Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Dipublikasikan oleh Direktorat Wilayah

Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan.

57 Kartodihardjo H, dkk. 2011. Summary

of Forest Management Unit Development: Concept, Legislation and Implementation.

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan

Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Dipublikasikan oleh Direktorat Wilayah

Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan.

58 Kartodihardjo H, dkk. 2011. Summary

of Forest Management Unit Development: Concept, Legislation and Implementation.

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan

Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Dipublikasikan oleh Direktorat Wilayah

Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan.

59 Republik Indonesia. (2013). Keputusan Presiden No. 62 Tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan

Gambut.

60 BadanPengelola REDD+ Republik Indonesia.

REDD+ in Indonesia: Laying the foundations for

transformative change. Tersedia di: http://www.

reddplus.go.id. Diakses pada tanggal 12 Maret

2016.

61 Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016. 62 Peraturan Menteri Keuangan No. 136/

PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan

dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga.

63 Climate Policy Initiative (2015). Improving

Land Productivity through Fiscal Policy: A

Framework for Analysis.

64 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

65 Sumber pembagian pendapatan adalah dari pajak, bea cukai dan pemanfaatan sumber daya alam.

66 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. 2011. Policy brief volume 5 no. 2 tahun 2011: transfer

iskal antara pemerintah pusat-daerah untuk

mekanisme distribusi manfaat REDD+ . Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Bogor (ID). Tersedia di: http://forestclimatecenter.org/

iles/2011%20Transfer%20Fiskal%20antara%20

Pemerintah%20Pusat-Daerah%20untuk%20

Mekanisme%20Distribusi%20Manfaat%20

REDD+.pdf. Diakses pada tanggal 16 April 2016. 67 Climate Policy Initiative (2014). The

Landscape of Public Climate Finance in

Indonesia.

68 Climate Policy Initiative (2015). Improving

Land Productivity through Fiscal Policy: A

Framework for Analysis.

69Tanzler, D. dan Maulidia M. (2013). Status of Climate Finance in Indonesia. Country Assessment Report. Diakses di: http://cdkn.org/ wp-content/uploads/2012/05/INDONESIA-Country-Report_3Dec2013.pdf. Diakses pada


(4)

30

70 Climate Policy Initiative dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014).

The Landscape of Public Climate Finance

in Indonesia. Tersedia di: http:// climatepolicyinitiative.org/wp-content/

uploads/2014/07/The-Landscape-of-Public-Finance-in-Indonesia.pdf. Diakses 12 Maret

2016.

71 Pareira, J., dkk. (2014) The need for interim

forest inance to meet emissions reductions

targets in Indonesia: a case study for the Interim Forest Finance Project. Ditulis oleh Fauna & Flora International, Cambridge, Inggris; dipublikasikan oleh Global Canopy Programme, Oxford, Inggris.

72 Indonesia Climate Change Fund. About us. Diakses di: http://icctf.or.id/about-us-p-2167-en/

73 GAPKI. (2016) Releksi industri kelapa sawit 2015 dan prospek 2016. Diakses di: http://www.gapki.or.id/Page/

PressReleaseDetail?guid=39f6f3f2-0419-42d4-8d1b-9524871d3cf2.

74 McFarland, W., dkk. (2015) Subsidies to key commodities driving forest loss: Implications for private climate Finance. Working Paper.

Overseas Development Institute, London

Inggris.

75 Maulidia M dan Halimanjaya A. 2014. The

coordination of climate inance in Indonesia.

Tersedia di: http://www.odi.org/sites/odi.

org.uk/iles/odi-assets/publications-opinion-iles/9333.pdf. Diakses pada tanggal 17 April

2016.

76 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan ICCTF. 2014. ICCTF Annual Report 2014. Jakarta (ID). Tersedia di: http://

icctf.or.id/App_ClientFile/a1780ed9-591c-4352-af5-4763a3283033/Assets/ICCTF%20

Annual%202014-English.pdf. Diakses pada tanggal 17 April 2016.

77 Daemeter Consulting. (2015). Indonesia’s Evolving Governance Framework for Palm Oil:

Implications for a No Deforestation, No Peat Palm Oil Sector. Daemeter Consulting: Bogor, Indonesia. Tersedia di: http://d5i6is0eze552. cloudfront.net/documents/Publikasjoner/ Andre-rapporter/RFN-E-Book-p09.

pdf?mtime=20150905185609.

78 Terra Global Capital. Katinga Peatland Restoration and Conservation REDD Project, Indonesia. Diakses di: http://www. terraglobalcapital.com/katingan-peatland- restoration-and-conservation-redd-project-indonesia pada tanggal 17/03/2016.

79 Indriatmoko Y. dkk. (2014) Katingan Peatland Restorarion and Conservation Project, Central Kalimantan, Indonesia. Dalam Sils E.O., Admadtja S.S., Sassi C.D., Duchelle, A.E.,

Kweka, D.L., Resosudarmo, I.A.P., Sunderlin

W.D., eds. REDD+ on the Ground: A case book of subnational initiatives across the globe. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research. Part 2, 309-328.

80 Sills, E. O., Atmadja, S. S., de Sassi, C.,

Duchelle, A. E., Kweka, D. L., Resosudarmo, I.

A. P., & Sunderlin, W. D. (Eds.). (2014). REDD+ on the ground: A case book of subnational initiatives across the globe. CIFOR.

81 Hartono, D. (2011) Katingan Peat Restoration and Conservation Project, Central Kalimantan. Early experiences from the pilot province of Central Kalimantan. Diakses di: http://

www.forestday.org/ileadmin/downloads/

norad2011/11-10-19_Katingan_Peat_ Restoration_Project_Cifor.pdf


(5)

Dokumen ini merupakan keluaran dari sebuah proyek yang dilaksanakan melalui Climate and Development Knowledge Network (CDKN). CDKN adalah sebuah program yang didanai oleh Departemen Pembangunan Internasional (Department for International Development atau DFID) Inggris dan Direktorat Jenderal Kerja Sama Internasional (DGIS) Belanda untuk kepentingan negara-negara berkembang. Pandangan yang diekspresikan dan informasi yang terkandung di dalamnya bukan pandangan dan informasi yang didukung oleh DFID, DGIS atau entitas-entitas yang mengatur pencapaian hasil Climate and Development Knowledge Network. Oleh karena itu, entitas-entitas ini tidak bertanggung jawab atas pandangan, kelengkapan atau keakuratan informa-si tesebut ataupun atas kepercayaan terhadap informainforma-si tersebut.


(6)