17 MAJALAH SENAKATHA EDISI 42

EDISI KHUSUS
ISSN: 0852-0771

MEDIA KOMUNIKASI DAN INFORMASI KESEJARAHAN

n
u
h
a
t
0
10

Soedirman

BAPAK TNI

MENANDAI SEABAD PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN

“INSPIRATOR YANG TIDAK PERNAH KERING”


NO 42 OKTOBER 2016

(1916 - 2016)

“Robek-robeklah badankoe
potong-potonglah djasad ini

tetapi djiwakoe dilindoengi benteng merah putih

akan tetap hidoep, tetap menoentoet bela
siapapun lawan jang akoe hadapi”
(Djenderal Soedirman, 17 Agustus 1948, Jogjakarta)

DAFTAR ISI
i
ii
iii

Daftar Isi
Salam Redaksi

Sambutan Kapusjarah TNI

i

GALERI SEJARAH
39

Memorabilia Panglima Besar Soedirman

EDITORIAL
1
Menandai Seabad Pangsar Jenderal

Soedirman “Inspirator Yang Tidak Pernah
Kering”
G. Ambar Wulan

ARTIKEL
4
Pangsar Soedirman dalam Perspektif


Kepemimpinan: Suatu Tinjauan Historis
Amrin Imran

8

Tempat Saya Yang Terbaik Adalah Di Tengahtengah Anak Buah, Sebuah Refleksi
Perjuangan Seorang Pangsar Soedirman
Arief Sulistyo

11

Soedirman dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

19

Kekuatan Amanat Pangsar Soedirman
Terhadap Keputusan Pelaksanaan Hijrah

41


Benda Korporil

45

Karya Bakti Pusjarah TNI TA 2016

Kusuma

Sutrisminingsih

23

Iman, Patriotisme, dan Perjuangan Soedirman
Emuh Muhsin

25

Makna Kekuatan Amanat Soedirman Sebagai
“Komunikasi Juang” antar Generasi Muda TNI


Nike Pangat Widayanti

31

Soedirman-Siti Alfiah Kisah Kasih Berawal dari
Mulo Wiworotomo

Trismi Happiyanto

35

Wafatnya Senopati Perang Gerilya Pangsar
Jenderal Soedirman
Budi Kurnia

37

Penganugerahan Jenderal Besar Panglima
Besar Soedirman oleh Pemerintah RI

Passah Kaunang

LIPUTAN

43

Rakornis Sejarah TNI TA 2016

SENAKATHA EDISI 42

Edisi 42
ii

SALAM REDAKSI

Salam Redaksi
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufik
kepada kita semua, sehingga telah terbit majalah Senakatha “Edisi Khusus 2016”. Tema Satu Abad
Panglima Besar Jenderal Soedirman, dari kelahirannya 1916-2016, dipilih karena jenderal besar
berbintang lima tersebut adalah Bapak TNI sekaligus pahlawan nasional yang dapat menjadi teladan bagi

perjuangan generasi muda Indonesia saat ini. Jenderal Soedirman adalah sosok pribadi yang dengan tulus
ikhlas berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, perjuangannya dilakukan sejak ia muda
hingga menjelang akhir hayatnya. Banyak sisi keteladanan yang bisa dilihat dari pribadi Soedirman, tidak
hanya perjuangan fisiknya, namun sisi humanis Soedirman dapat memberi jiwa dan spirit bagi perjuangan
dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
Arus globalisasi akibat perkembangan teknologi dunia yang berlangsung pesat dan cepat telah
mengikis nilai-nilai luhur bangsa. Fenomena ini semakin nyata dengan dampak menurunnya wawasan
kebangsaan generasi muda Indonesia. Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, kita perlu
merefleksikan kembali peran kesejarahan Soedirman, untuk meningkatkan rasa kebangsaan, faham
kebangsaan dan semangat kebangsaan generasi muda, khususnya generasi muda TNI.
Redaksi menyadari bahwa dalam penerbitan majalah ini, tidak luput dari kekurangan. Maka saran
dan masukan dari pembaca sangat kami harapkan guna upaya perbaikan dalam penerbitan mendatang.
Akhir kata redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas terbitnya
majalah Senakatha ini.
Redaksi

SENAKATHA
Penerbit
PUSAT SEJARAH TNI

Pelindung
Kapusjarah TNI
Brigjen TNI Darwin Haroen, S.I.P.

Staf Redaksi
Drs. Emuh Muhsin
Budi Kurnia, S.S.
Nike Pangat W., S.S., M.Si.
Dedi Asri, S.S., M.H.
Lynda Natalia S., S.Kom.

Penasehat
Waka Pusjarah TNI
Kolonel Sus Drs. Sudarno

Redaktur Kreatif
Passah Kaunang, S.S., M.Si.
Malihatun

Penanggung Jawab Redaksi

Kolonel Laut (KH) Drs. Arief Sulistyo

Distribusi
Didik Yudi Purnomo
Gloria Simatupang

Redaktur Pelaksana
Dr. G. Ambar Wulan, M.Hum.
Dewan Redaksi
Letkol Caj Drs. Kusuma, M.Si.
Mayor Sus M. Taufik, S.Kom., M.Si.
Dra. Sutrisminingsih

SENAKATHA EDISI 42

Alamat Redaksi
Gedung Senakatha Grha
Jl. Gatot Subroto No. 16
Jakarta Selatan
Percetakan

CV SZA Perkasa
Jl. Rawa Selatan I No. 3
Johar Baru, Jakarta Pusat

Sampul: Lukisan Panglima
Besar Jenderal Soedirman di
Museum Satriamandala
Kunjungi kami
sejarahtni.org
facebook.com/pusatsejarahtni

Hak cipta dalam publikasi berada di Majalah
Senakatha. Dilarang mengkopi, menduplikasi,
memperbanyak sebagian atau seluruh materi dalam
publikasi ini tanpa izin dari Pusat Sejarah TNI.

SAMBUTAN

iii


SAMBUTAN KEPALA PUSAT SEJARAH TNI
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam sejahtera.
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, alhamdulillah Pusjarah
TNI telah menghadirkan majalah Senakatha “Edisi Khusus
2016” dengan mengangkat tema “Satu Abad Panglima Besar
Jenderal Soedirman”.
Jenderal Soedirman adalah pahlawan nasional yang
berjasa besar untuk perjuangan kebangsaan Indonesia.
Sebagai salah satu pemimpin bangsa, sosok pribadi Soedirman
selalu dekat dengan anak buah dan rakyat Indonesia. Ia adalah
patriot sejati dalam membela kedaulatan serta kehormatan
Negara Indonesia hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu,
tema Satu Abad Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam
edisi khusus Senakatha ini adalah suatu momen yang tepat
untuk mengenang dan menggelorakan kembali pemikiran dan
tindakan Soedirman, yang termanifestasikan dalam
perjuangan Soedirman demi memperjuangkan martabat
bangsa. Jasa perjuangan dan suri tauladan hidup Panglima
Besar Jenderal Soedirman tetap aktual untuk dikenang dan
dijadikan inspirasi bagi generasi muda TNI, khususnya dan
rakyat Indonesia pada umumnya.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada para penulis yang telah mengisi majalah Senakatha
juga staf redaksi yang telah menyelesaikan majalah ini.
Penerbitan majalah ini, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun
TNI ke-71, semoga TNI yang lahir di tengah kancah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI hingga keberadaannya kini
dapat terus selalu ada di hati rakyat dan bangsa Indonesia.
“Dirgahayu TNI”.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta,
Oktober 2016
Kepala Pusat Sejarah TNI

Darwin Haroen, S.I.P.
Brigadir Jenderal TNI

SENAKATHA EDISI 42

1

EDITORIAL

MENANDAI SEABAD
PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN
“INSPIRATOR YANG TIDAK PERNAH KERING”

2

016 adalah tahun penanda “Seabad
Soedirman” yang lahir pada tahun 1916
dan momen yang valuable ini sebagai
ruang kontemplasi dalam menggugah
kenangan dan inspirasi dari seorang patriot
sejati dalam memenuhi panggilan (calling)
tanah airnya. Secara epistemologis,
bagaimana Soedirman lahir dari jiwa jaman
yang bersumber pada dinamika perjalanan
sejarah bangsa Indonesia yang sarat dengan
nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme saat
itu? Nilai-nilai tersebut menjadi landasan
lahirnya semangat dan etos perjuangan yang
menegaskan bahwa kejayaan bangsa harus
ditegakkan dengan pengorbanan jiwa dan
raga yang didasari oleh rasa cinta tanah air,
kesetiaan, dan keikhlasan.
Spirit of the age tersebut telah
memanggil Soedirman menjadi salah seorang
tokoh besar yang melakukan tindakantindakan kepahlawannya dalam sejarah
Indonesia. Nilai-nilai perjuangan yang
mendasari tindakan-tindakan kejuangan
seorang tokoh besar Soedirman tersebut
sangat bernilai untuk dipahami sebagai lesson
learnt dan, sekaligus inspirasi yang tetap
aktual, terutama bagi TNI dalam merawat
patriotisme dan militansi prajurit dalam
perannya sebagai the guardian of state di
tengah perubahan dan tantangan global kini
dan ke depan. Semangat, pantang menyerah,
tanpa pamrih, dan mempertaruhkan totalitas
jiwa dan raganya dalam perjuangan dan
pengabdiannya kepada bangsa dan negara
sangat layak diteladani. Soedirman telah
membuka jalan dan menampilkan
keteladanan serta militansi sebagai salah
satu sumber inspirasi dalam memperjuangkan
martabat bangsa dan negara.

Ta n t a n g a n Po l i t i k D u n i a D a l a m
Peradaban Global

Sejak Perang Dingin berakhir, dunia
diwarnai perubahan polarisasi yang
membangkitkan kembali kekuatan-kekuatan
kultural. Realita ini menegaskan adanya

SENAKATHA EDISI 42

peran baru dari faktor-faktor tersebut dalam
kancah politik global. Oleh karena itu,
gambaran dunia politik pasca Perang Dingin
terbentuk pula oleh adanya faktor-faktor
budaya dan terjadinya hubungan antarnegara
serta berbagai kelompok peradaban yang
saling berbeda. Dampaknya, diantaranya
hubungan itu mampu menghilangkan,
mengubah beberapa hal dan, bahkan dapat
mengaburkan yang lain. Di samping itu,
kebudayaan, nilai-nilai, dan institusi-institusi
berpengaruh besar juga terhadap bagaimana
suatu negara merumuskan kepentingankepentingan mereka yang dibentuk tidak
hanya oleh nilai-nilai dan institusi-institusi
domestik mereka, tetapi juga oleh normanorma serta institusi-institusi internasional.
Kini, globalisasi, sebuah
kecenderungan yang sulit dihindari dan
datang tanpa kita sadari. Perkembangan
teknologi, arus informasi tanpa dapat
dibendung lagi, telah meresap dengan
percepatan yang luar biasa ke dalam alam
pikiran dan kejiwaan anak bangsa. Kemajuan
hasil-hasil teknologi informasi yang
berkembang pesat telah menjadikan
masyarakat yang satu dan tanpa batas.
Akibatnya, hal tersebut mengancam terhadap
berkurangnya peran dan nilai yang dianut
sebuah bangsa, agama, dan nilai-nilai sosial
lainnya.
Suatu masyarakat global terbentuk
dalam proses sistem politik, ekonomi, dan
etika yang satu. Globalisasi tidak
terhindarkan lagi yakni menuju pada bentuk
masyarakat dunia dengan nilai-nilai universal
yang dianut bersama. Dengan demikian,
ancaman terhadap sebuah negara pun tidak
lagi mengenal batas negara, bersifat
transnasional, non fisik (ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan), terbentuk asimetris, non linear
dan extra ordinary, serta selalu
mengeksploitasi kerawanan-kerawanan
dalam masyarakat, seperti ras, suku, dan
agama.

SOEDIRMAN PRAJURIT TNI TELADAN

G. Ambar Wulan

2

SENAKATHA EDISI 42

SOEDIRMAN PRAJURIT TNI TELADAN

Soedirman tiba di Jakarta, bulan Oktober 1946 untuk berunding
dengan Jenderal Foreman dari pasukan sekutu.

3

Dalam politik negara, TNI
senantiasa taat pada pemerintah
yang menyelenggarakan kekuasaan
negara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Karakter TNI ini tidak
terlepas dari amanah founding
fathers yang telah meletakkan dasar
berfikir dan bertindak cara TNI dalam
menghadapi pelbagai kenyataan di
luar dirinya. Salah satu individu yang
komit terhadap prinsip yang teguh
dan dilandasi dengan nilai-nilai luhur
yakni Pangsar Soedirman. Dalam hal
ini Soedirman memiliki watak satria,
berani, saleh, sederhana dan
ketrampilannya tidak diragukan. Bagi
Soedirman, menegakkan kebenaran
dan keadilan merupakan cita-cita
setiap prajurit, sebagaimana
tercermin dalam amanatnya:
“Semua pengorbanan telah
diberikan untuk satu tujuan suci,
mempertahankan kebenaran dan
keadilan. Pengorbanan diri harus
menjadi perisai perjuangan kita.
Perkuat keyakinanmu! Sucikan
hatimu dan perbuatanmu! Pererat
persatuanmu! Dengan rahmat Tuhan,
kemenangan akan berada di pihak
kita, oleh karena Tuhan Maha Tahu
dan Maha Adil. Kamu semua harus
ingat, tidak ada kemenangan kalau
tidak ada kekuatan. Tidak akan ada
kekuatan kalau tidak ada persatuan.
Tidak akan ada persatuan kalau tidak
ada keutamaan. Tidak akan ada
keutamaan kalau tidak ajaran
kejiwaan mentasbihkan semua usaha
kita kepada Tuhan”.
Amanat tersebut masih
relevan dan tetap aktual dijadikan
spirit dalam menghadapi
perkembangan globalisasi secara
internasional dan regional yang
secara pasti akan menimbulkan
tantangan-tantangan baru. Mengacu
pada pidato Presiden Joko Widodo
dalam Rapim TNI TA. 2016 (Cilangkap,
15 Desember 2016) yakni, “Terkait
dengan tantangan pasca perang
dingin, konstelasi politik, perubahan
ekonomi secara cepat, gelombang
perdagangan, integrasi kawasan
sangat cepat yang mau tidak mau
harus diikuti. Perdagangan bebas

SENAKATHA EDISI 42

FOTO: KABAR24.BISNIS.COM / ANTARA

“Calling” Soedirman untuk
Tanah Air: Inspirasi dan Ruh bagi
Soliditas TNI

Presiden RI Joko Widodo dalam Rapim TNI 2016

terjadi sangat cepat dan membawa
perubahan-perubahan di setiap
negara harus diantisipasi dan
diwaspadai”. Selain itu, memasuki
era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN),
Indonesia akan dihadapkan pada
persoalan-persoalan baru dengan
masuknya orang-orang asing yang
berdampak terhadap munculnya
tantangan tersendiri.
Di samping itu, hadirnya
kehidupan global dengan segala
implikasi yang dibawa, khususnya
terkait munculnya ideologi baru,
seperti ideologi Islamic State of Iraq
and Syria (ISIS), yang berpengaruh
negatif terhadap kehidupan
beragama, dan kehidupan sosial
masyarakat serta kehidupan
demokrasi di Indonesia merupakan
fenomena dari dinamika peradaban
universal. Ideologi baru tersebut
sangat bertentangan dengan Dasar
Negara Pancasila yang sekaligus
merupakan alat pemersatu bangsa
Indonesia dari Sabang hingga
Merauke.
Dalam menyelamatkan
kehidupan bangsa dari ideologi lain
sebagai implikasi dinamika
peradaban global tersebut, TNI
sebagai the guardian of state adalah
garda terdepan dan sekaligus benteng
terakhir dalam mengawal NKRI. Oleh
karena itu, soliditas TNI adalah
mutlak dijaga sebagai modal
kekuatan untuk menangkal segala
bentuk penyusupan ideologi dan
ancaman-ancaman lain yang dapat
meruntuhkan NKRI.
Dalam menghadapi ancamanancaman tersebut dibutuhkan

bangunan soliditas dalam tubuh TNI
dengan mengutamakan pentingnya
jiwa korsa (l'esprit de corps) untuk
terus dipelihara dengan cara
menanamkan dan mengenalkan tugas
pokok prajurit TNI sebagai apparatus
of state (alat negara) secara terus
menerus dan tanpa henti. Dengan
demikian, ketika hendak memahami
tugas dan fungsi TNI sebagai alat
negara, maka
penting pula
memahami tindakan dan pemikiran
founding fathers TNI yang menjadi
kekuatan sejarah sebagai inspirator
bagi generasi prajurit TNI.
Peneladanan Panglima Besar
Jenderal Soedirman menjadi lesson
learnt yang memiliki kekuatan
historis sebagai ruh dan inspirasi bagi
prajurit TNI dalam pembentukan nilai
yang tidak teraga tetapi terasa,
apabila secara konsisten
diimplementasikan melalui tindakantindakan yang mencerminkan
persatuan dan kesatuan guna
mendukung tugas dan fungsi TNI
sebagai pengawal negara. Adapun,
bangunan jiwa korsa sebagai prajurit
TNI tidak terlepas dari keutamaan
ajaran tersebut yang sangat bernilai
dalam menguatkan jati diri TNI dalam
menghidupkan spirit juang dan
sumber inspirasi bagi prajurit TNI
dalam melaksanakan tugas yang
sangat berkaitan langsung dengan
tegak atau runtuhnya negara, bersatu
atau bercerainya bangsa. Dengan
demikian, terbinanya soliditas
merupakan modal terpenting untuk
menjadikan TNI tidak hanya kuat,
tetapi juga ditakuti lawan, disegani
kawan, dan dicintai rakyatnya.

ARTIKEL

4

PANGSAR SOEDIRMAN
DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN:
SUATU TINJAUAN HISTORIS
Amrin Imran

S

oedirman dilantik sebagai
Panglima Besar TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) pada
tanggal 18 Desember 1945, kurang
lebih satu bulan setelah ia dipilih
oleh para perwira TKR dalam rapat
yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Dalam pemilihan ini ia menyisihkan
lawan utamanya yang juga menjadi
atasannya saat itu, yakni Kepala Staf
Umum TKR Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo. Untuk kedua kalinya
ia dilantik sebagai Panglima Besar
pada tanggal 25 Mei 1946, pada
waktu TKR sudah berganti nama
menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia). Walaupun nama itu kelak
berganti lagi menjadi TNI (Tentara
Nasional Indonesia), namun
Soedirman tetap menduduki jabatan
sebagai Panglima Besar. Sampai
a k h i r Pe r a n g K e m e r d e k a a n ,
jabatannya tidak tergoyahkan,
walaupun pada awal tahun 1948
golongan kiri berusaha
menyingkirkannya.
Pemilihan Soedirman oleh
para perwira yang boleh dikatakan
setingkat dengannya untuk menjadi
orang pertama dalam ketentaraan,
menggambarkan sisi lain dari
perkembangan Angkatan Perang
Republik Indonesia (APRI). Umum
diketahui, bahwa APRI tumbuh dari
bawah, dalam arti aparat itu
sendirilah yang membina dirinya dan
pada masa-masa awal
pertumbuhannya kurang mendapat
bimbingan dari pemerintah.
Pe r s e t u j u a n y a n g d i b e r i k a n
pemerintah yang berwujud dalam
bentuk pelantikan Soedirman
s e b a g a i Pa n g l i m a B e s a r T K R ,
tampaknya didasarkan atas berbagai
kemungkinan. Pertama, pemerintah
memang tidak mempunyai calon
lain, sebab Supriyadi, tokoh yang

diangkat pemerintah untuk menjadi
pemimpin tertinggi TKR, tidak
pernah muncul. Kedua, pemerintah
tidak atau belum berminat untuk
terlalu mencampuri urusan
ketentaraan. Ketiga, pemerintah
dapat menerima tokoh Soedirman
berdasarkan prestasi yang
diperlihatkannya pada masa
sebelumnya, khususnya dalam
perebutan senjata Jepang di daerah
Banyumas dan dalam pertempuran
melawan pasukan Sekutu di
Ambarawa.
Jabatan sebagai Panglima
Besar tetap dipegang Soedirman
sampai ia wafat, satu bulan dua hari
setelah kedaulatan Indonesia diakui
oleh lawan utamanya, Belanda.
Pengakuan kedaulatan itu sekaligus
mengakhiri keadaan perang antara
dua bangsa, Indonesia dan Belanda,
yang berlangsung selama kurang
lebih empat tahun, dan dalam
periode ini, Soedirman memainkan
peranan yang cukup menentukan.
Sesudah ia meninggal, jabatan
Pa n g l i m a B e s a r t i d a k p e r n a h
dihidupkan lagi. Dalam tokoh
Soedirman, jabatan itu tampak
melembaga dan merupakan
kekuatan sentral tersendiri di
samping kekuatan pemerintah, dan
karenanya harus diperhitungkan
oleh pemerintah. Terutama ketika
pemerintahan dikuasai oleh
golongan kiri, institusi panglima
besar menjadi hambatan bagi
mereka untuk melaksanakan
rencana mereka. Dengan kata lain,
institusi itu dianggap dapat menjadi
saingan, dan karena itu golongan kiri
berusaha mengharuskannya. Situasi
d a n k o n d i s i s e s u d a h Pe r a n g
Ke m e r d e k a a n , j a u h b e r b e d a
daripada kondisi dan situasi dalam
masa perang, pada saat kharisma

dan semangat lebih diutamakan
daripada hanya sekedar
profesionalisme. Atau mungkin juga
tokoh Soedirman, yang memiliki
kepemimpinan yang kuat dan
mampu menanamkan dasar-dasar
kejiwaan ke dalam tubuh angkatan
perang, sudah disakralkan dan
dianggap terlalu ideal, sehingga
tidak boleh ada tokoh lain yang
menyainginya, sekurang-kurangnya
untuk istilah jabatan yang pernah
dipegangnya. Apa pun alasannya,
yang jelas ialah, jabatan panglima
besar tidak pernah ada lagi dan
tampaknya sudah ada semacam
kesepakatan untuk tetap tidak
mengadakannya dalam dunia
kemiliteran Indonesia. Dengan
demikian, Soedirman lah tokoh
pertama dan terakhir, jadi tokoh
satu-satunya, yang pernah
memegang jabatan Panglima Besar.
Seperti juga perwiraperwira Indonesia lain yang
seangkatan dengannya, Soedirman
tidak meniti karir militernya terlalu
dari bawah. Ia seolah-olah
dilontarkan ke tingkat atas, seperti
juga kebanyakan perwira lain. Ia
menempuh pendidikan militer hanya
selama beberapa bulan dalam jaman
Jepang. Beberapa orang perwira
yang ada di bawahnya dan karena itu
menjadi anak buahnya, memiliki
pendidikan dan pengalaman militer
yang lebih baik, terutama mereka
yang pernah berdinas dalam
ketentaraan Belanda (KNIL) dengan
tokoh utamanya Oerip
Soemohardjo, yang dalam jaman
Belanda sudah menjalani dinas
militer selama dua puluh lima tahun.
Sesudah menjalani latihan tentara
Peta (Pembela Tanah Air) dalam
jaman Jepang, Soedirman diangkat
menjadi Daidanco (komandan

SENAKATHA EDISI 42

ARTIKEL

30 TAHUN INDONESIA MERDEKA

5

Pemeriksaan tawanan Jepang yang telah dilucuti senjatanya

batalyon). Proklamasi Kemerdekaan
membuka berbagai kemungkinan
bukan saja bagi Soedirman, tetapi
juga bagi banyak pemuda lain. Mulamula Soedirman memimpin sebuah
resimen dengan pangkat letnan
kolonel. Kurang dari tiga bulan
sesudah itu, ia sudah berpangkat
jenderal dengan jabatan panglima
b e s a r, s e t e l a h s e b e l u m n y a
menduduki jabatan komandan divisi
dengan pangkat kolonel. (Kesatuankesatuan militer pada masa itu
seperti divisi, resimen, brigade dan
lain-lain, lebih bersifat penamaan
dan kerangka, belum merupakan
kesatuan dalam bentuk yang
sesungguhnya dengan personil,
organisasi dan persenjataan yang
lengkap).
Dengan jabatan dan pangkat
tersebut, Soedirman menjadi orang
pertama dalam hirarkhi Angkatan
Perang Indonesia (bahkan ia dapat
juga mengomandoi kesatuankesatuan Polisi). Jabatan tertinggi
itu dipercayakan kepadanya pada
saat usianya belum mencapai tiga
puluh tahun. Ia dilahirkan tanggal 24
Januari 1916, dari keluarga rakyat

SENAKATHA EDISI 42

kecil dan miskin. Sejak masih bayi,
ia diasuh oleh seorang pensiunan
camat, suami dari kakak ibunya.
Sampai umur enam belas tahun, ia
mengenal pensiunan camat ini
sebagai ayah kandungnya.
Pendidikan umum yang pernah
ditempuh Soedirman hanya sampai
tingkat sekolah menengah pertama.
Di sekolah, ia tidak termasuk murid
yang pintar. Keluarganya tidak
mungkin menyekolahkannya ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
bukan saja disebabkan oleh adanya
pembatasan sekolah bagi anak-anak
Indonesia pada masa itu, tetapi juga
oleh ketidakmampuan keluarga
membiayai sekolahnya.
Ketika masih bersekolah,
Soedirman mengikuti kegiatan
kepanduan (pramuka). Agaknya
dalam masa inilah ia mulai
berkenalan dengan masalah disiplin.
Diceritakan, bagaimana ia bertahan
dalam kemah di tengah-tengah
udara malam yang sangat dingin
ketika diadakan jambore di suatu
tempat di pegunungan Dieng,
sementara teman-temannya
mencari tempat yang hangat di

rumah-rumah penduduk. Setelah
bekerja sebagai guru, ia memasuki
organisasi Muhammadiyah - mungkin
ia tertarik memasukinya karena
organisasi ini bergerak di bidang
agama dan sosial - dan kemudian
diangkat menjadi pimpinan. Melalui
organisasi ini ia mulai mencurahkan
perhatian terhadap masalahmasalah kemasyarakatan dan
sekaligus membiasakan diri menjadi
pemimpin. Minatnya untuk membela
kepentingan rakyat kecil, rupanya
dipengaruhi oleh lingkungan
hidupnya sendiri yang juga berasal
dari rakyat kecil. Dalam hubungan
ini diceritakan, bagaimana ia
mendirikan koperasi untuk
melindungi rakyat dari pemerasan
lintah darat. Diceritakan pula,
bagaimana ia mengajar para petani
"berbohong" untuk tidak melaporkan
secara jujur hasil panen mereka
kepada penguasa Jepang.
Lingkungan sekolah tempat
ia pernah belajar (perguruan swasta
Wiworo Tomo) dan sekolah tempat ia
mengajar (perguruan
Muhammadiyah), memberikan
warna lain kepada kepribadian

ARTIKEL
dilakukannya bukan sekedar
formalitas atau mencari popularitas
murahan. Mereka yang pernah
menyertainya sewaktu bergerilya di
hutan-hutan menceritakan
bagaimana Soedirman menggunakan
embun untuk berwudhu, apabila
tiba saat shalat sedangkan di sekitar
tempat ia berada tidak ada air.
Sewaktu masih kecil dan
masih tinggal bersama keluarga,
Soedirman diserahi tugas-tugas
tertentu sesuai dengan usia dan
kemampuannya, seperti menyiram
kembang, menyapu pekarangan,
menimba air dari sumur, dan
sebagainya. Dengan cara demikian,
ia diajar bertanggung jawab dan ia
memang membiasakan diri untuk
memenuhi tanggung jawab itu.
Kebiasaan itu melekat dalam
kepribadiannya selanjutnya. Rasa
tanggung jawab terhadap anak
buahnyalah, ketika ia menjadi
Daidanco Peta, yang menyebabkan
ia sering melancarkan protes kepada
orang-orang Jepang, apabila mereka
bertindak di luar batas terhadap
anak buahnya. Rasa tanggung jawab
terhadap integritas dan identitas
angkatan peranglah, ketika ia sudah

menjadi panglima besar, yang
menyebabkan ia sering berbeda
pendapat dengan pimpinan
pemerintahan. Tanggung jawab
terhadap perjuanganlah yang
mendorongnya meninggalkan
Yogyakarta tanggal 19 Desember
1948 untuk memimpin perang
gerilya, sementara pimpinan
pemerintahan ditawan oleh
Belanda.
Sifat-sifat yang dimiliki
Soedirman mungkin saja dimiliki
pula oleh orang lain. Tetapi bagi
Soedirman, sifat-sifat itu telah
membantunya dalam menegakkan
kepemimpinannya, atau sifat-sifat
tersebut merupakan bagian dari
kepemimpinan itu. Untuk bagian
terbesar, kepemimpinan merupakan
pembawaan seseorang. Ia tumbuh
dalam jiwa dan dikembangkan oleh
situasi khusus dan waktu-waktu
tertentu. Hanya bagian terkecil dari
kepemimpinan itu yang merupakan
masukan dari luar, dalam arti dapat
dipelajari.
Seseorang mungkin saja
mempunyai bobot kepemimpinan
yang cukup besar yang tersimpan
dalam jiwanya. Tetapi, karena tidak

30 TAHUN ABRI

Soedirman. Di kedua tempat ini ia
berkenalan dengan pengertian
kebangsaan yang kelak akan
menyebabkan ia lebih senang
memilih bergerilya di hutan-hutan
daripada tinggal di kota, walaupun
ia mempunyai alasan yang kuat
untuk itu karena ia masih dalam
keadaan sakit dan memerlukan
perawatan dokter.
Waktu masih bersekolah,
Soedirman sering dipanggil temantemannya dengan sebutan "hajine"
(si haji). Sebutan itu
menggambarkan sisi lain lagi dalam
kepribadian Soedirman, yakni
kebiasaan dan ketaatannya
menjalankan ibadah agama.
Diceritakan, bagaimana ia mengisi
hari-hari libu sekolah dengan belajar
agama dan kemudian
mengamalkannya. Ketaatan
beragama tetap mewarnai
hidupnya, sekalipun ia sudah
menjadi tokoh penting. Ketika ia
melaksanakan shalat Idul Adha
bersama masyarakat di lapangan
Gambir, Jakarta pada waktu ia
mengunjungi kota ini dalam rangka
mengadakan perundingan militer
dengan pihak Sekutu, perbuatan itu

6

Pelantikan Pucuk Pimpinan TKR di Yogyakarta, 28 Juni 1947

SENAKATHA EDISI 42

7

ARTIKEL

terdapat situasi dan kondisi yang
memungkinkan untuk berkembang,
maka kepemimpinan itu hampirhampir tidak kelihatan, atau hanya
tampak dalam bobot yang kecil.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki
bobot kepemimpinan dalam ukuran
sedang, dapat saja muncul menjadi
tokoh yang menonjol disebabkan
oleh tersedianya situasi dan kondisi
yang memungkinkan untuk
mengembangkan kepemimpinan
tersebut. Pihak pertama, yakni
mereka yang memiliki bobot
kepemimpinan yang besar, sering
kali menciptakan sendiri situasi dan
kondisi yang menyebabkan ia
mampu tampil ke depan. Bagi pihak
kedua, mereka yang memiliki bobot
kepemimpinan berukuran sedang,
kemampuan memanfaatkan situasi
dan kondisilah yang memungkinkan
mereka muncul menjadi tokohtokoh yang diperhitungkan.
Secara garis besar dapat
dikatakan bahwa situasi yang
dihadapi Soedirman ialah situasi
perang antara negara yang baru
merdeka dengan negara bekas
penjajahnya. Kondisi yang dihadapi
ialah kondisi yang biasanya terdapat
pada suatu negara yang baru
merdeka, yang pada umumnya
memiliki kelemahan-kelemahan,
bukan saja di bidang militer, tetapi
juga di bidang politik dan ekonomi.
Khusus mengenai Indonesia, aparat
militernya baru saja terbentuk,
berasal dari asal-usul yang beragam.
Karena tidak mempunyai tradisi
kemiliteran modern, maka keahlian
rata-rata anggotanya berada di
bawah standar. Ciri utama dari
perang antara negara yang baru
merdeka dengan negara bekas
penjajahnya sering disebut perang
kemerdekaan ialah perbenturan
antara dua kekuatan yang tidak
seimbang, khususnya di bidang
keahlian dan persenjataan. Biasanya
pihak yang pertama memiliki manpower yang berlimpah, tetapi tanpa
keahlian dan persenjataan yang
memadai. Kondisi seperti itulah
yang dihadapi Soedirman sebagai
tokoh yang bertanggung jawab di
bidang kemiliteran dan dengan
sendirinya bertanggung jawab pula

SENAKATHA EDISI 42

dalam hal memenangkan perang.
Masalah yang sering
dihadapi oleh negara yang baru
merdeka ialah pertentangan di
dalam, yakni pertentangan antara
kekuatan-kekuatan yang ingin
memaksakan keinginan sendiri, atau
memaksakan agar bagian terbesar
dari keinginannya diterima oleh
pihak lain. Situasi seperti itu
ditemukan pula dalam periode
Perang Kemerdekaan Indonesia.
Khusus bagi Soedirman, situasi yang
dihadapinya ialah suasana
pertentangan yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan strategi antara
pihak militer dan pihak politisi
dalam memenangkan perjuangan
secara umum dan perang secara
khusus. Selain itu, ia juga
menghadapi situasi lain yang
disebabkan oleh usaha golongan
politik tertentu untuk menempatkan
angkatan perang di bawah
kekuasaan golongannya atau
sekurang-kurangnya bersimpati
kepada golongannya.
Dalam kasus pertama, dari
Soedirman sebagai seorang Panglima
Besar dituntut kewibawaan dan
kepemimpinan yang kuat untuk
tidak terlalu mengorbankan
kepentingan angkatan perang,
tetapi tidak pula mengorbankan
kepentingan nasional secara
keseluruhan. Kewibawaan dan
kepemimpinan yang sama dituntut
pula agar angkatan perang tidak
didominasi oleh golongan tertentu.
Hakikat kepemimpinan
adalah kemampuan seseorang untuk
menggerakkan orang lain agar
berbuat sesuai dengan
keinginannya. Berhasil tidaknya ia
menggerakkan orang lain tergantung
pada kemampuannya menanamkan
motivasi pada diri orang-orang yang
dipimpinnya dan menjanjikan
harapan-harapan kepada mereka.
Segi lain yang tak kurang pentingnya
ialah kemampuannya bertindak
secara cepat dan meyakinkan pada
saat-saat kritis dan memberikan
solusi yang relatif baik bila
menghadapi dua atau lebih masalah
yang saling bertentangan. Di
samping itu, ia juga harus mampu
memperlihatkan dirinya dalam aksi-

aksi, tindakan-tindakan kongkrit,
bukan hanya dalam bentuk teoriteori dan ajuran-anjuran atau
instruksi-instruksi di belakang meja
tanpa bersedia melihat kenyataan di
lapangan. Soedirman telah
memperlihatkan contoh yang
demikian ketika ia meninggalkan
Yogyakarta tanggal 19 Desember
1948 untuk memimpin secara
langsung perang gerilya. Untuk
dirinya, tindakan itu
memperlihatkan bahwa ia sanggup
melaksanakan tugas dan memikul
tanggung jawab dalam situasi yang
bagaimanapun sulitnya dan
membuktikan ucapan-ucapannya
dalam bentuk perbuatan nyata.
Untuk anggota angkatan perang
pada khususnya dan rakyat pada
umumnya, tindakan itu merupakan
suntikan moril dan sekaligus moral
yang tidak kecil nilainya. Karena
itulah, di samping contoh-contoh
lain, kepemimpinan Soedirman
diklasifikasikan sebagai lebih
bersifat kepemimpinan moril.
Mereka yang bergerilya di hutanhutan mengetahui, bahwa panglima
besar mereka, dalam keadaan sakit
dan seharusnya beristirahat di
tempat tidur, melakukan hal yang
sama seperti yang mereka lakukan.
Karena ilmu sejarah tidak
mengenal "pengandaian" (if), maka
kita juga tidak akan membicarakan
apa yang akan terjadi seandainya
Soedirman tetap tinggal di Yogya
selama Agresi Militer II Belanda
berlangsung. Sejarah hanya
mencatat apa yang telah terjadi dan
mengisyaratkan apa yang mungkin
terjadi, walaupun catatan itu lebih
banyak berkisar pada peranan
orang-orang besar. Dalam catatan
sejarah Indonesia, salah seorang di
antara orang-orang besar itu ialah
Panglima Besar Jenderal Soedirman.

ARTIKEL

8

“TEMPAT SAYA YANG TERBAIK
ADALAH DI TENGAH-TENGAH ANAK BUAH”

REFLEKSI HISTORIS TERHADAP KEPUTUSAN PANGSAR SOEDIRMAN UNTUK MEMILIH BERGERILYA DI HUTAN
DARIPADA TINGGAL DI KOTA

Arief Sulistyo

30 TAHUN INDONESIA MERDEKA

E

Panglima Besar Jenderal Soedirman memimpin gerliya di atas tandu

nam puluh enam tahun yang
lalu, tepatnya tanggal 29
Januari 1950 Panglima Besar
Jenderal Soedirman telah
mendahului kita dipanggil Tuhan
Yang Maha Kuasa. Soedirman
dilahirkan pada tanggal 24 Januari
1916 di Desa Bodaskarangjati,
Kecamatan Rembang, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah. Ia adalah
putera dari pasangan Karsid
Kartawiradji - seorang mandor tebu
dan Siyem yang berasal dari Rawalo,
Purwokerto. Mereka adalah
keluarga petani dan sejak bayi
Soedirman diambil anak angkat oleh
Raden Tjokrosunaryo, Asisten
Wedana (camat) di Rembang,
Purbalingga. Pada usia tujuh tahun
Soedirman masuk Hollandsch
Inlandcshe School (HIS) setingkat
Sekolah Dasar (SD) di Cilacap.
Setelah lulus HIS tahun 1930, ia
kemudian melanjutkan ke Meer
Uitgebtreid Lagere Onderwijs
(MULO) setingkat SMP sampai tahun
1932. Setahun kemudian ia pindah
ke perguruan Parama Wiworo Tomo
dan lulus tahun 1935.
S e t a m a t d a r i Pa r a m a
Wiworo Tomo, Soedirman menjadi
guru di HIS Muhammadiyah.
Kemudian bersama temannya ia
mendirikan koperasi yang diberi
nama Perbi. Pada tahun 1943
pemerintah Jepang mengangkat
Soedirman menjadi anggota Syu
Sangikai (semacam Dewan
Pe r t i m b a n g a n K a r e s i d e n a n )
Banyumas. Oleh pemerintah
Jepang, Soedirman ditunjuk untuk
mengikuti pelatihan Pembela Tanah
Air (PETA) di Bogor. Tidak lama
setelah selesai pendidikan ia
diangkat menjadi Daidanco
(Komandan Batalyon) yang
berkedudukan di Kroya, Banyumas.

SENAKATHA EDISI 42

ARTIKEL

30 TAHUN INDONESIA MERDEKA

9

Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta rombongan dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta

Dari sinilah Soedirman memulai
karier militernya sebagai prajurit
dan komandan. Sebagai seorang
komandan ia sangat memperhatikan
kepentingan anak buah. Ia tidak
takut menentang perlakuanperlakuan buruk opsir-opsir Jepang
yang menjadi pelatih dan pengawas
batalyonnya. Oleh karena itu, ia
sempat dicap sebagai orang yang
“berbahaya”.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1945, esok paginya tanggal
18 Agustus 1945 pemerintah
pendudukan Jepang mengumumkan
pembubaran PETA. Senjata dilucuti
dan bekas anggota PETA dipulangkan
ke daerah asalnya masing-masing.
Soedirman bersama dengan Residen
Banyumas Mr.Ishak Tjokrohadisuryo
dan beberapa tokoh lainnya
berusaha menghimpun kekuatan
bersenjata dalam wadah Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Mereka
kemudian melakukan perebutan
kekuasaan dari tangan Jepang
secara damai.
Pada tanggal 5 Oktober 1945
pemerintah mengeluarkan
Maklumat No.2/X/45 yang berisikan
tentang pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Dalam TKR
ini Soedirman terpilih sebagai
Komandan Resimen I Divisi V TKR
Banyumas dengan pangkat Letnan
Kolonel. Tidak lama kemudian
Kepala Staf Umum TKR, Letnan
Jenderal Oerip Soemodihardjo
mengangkat Soedirman menjadi
Panglima Divisi V TKR Banyumas
dengan pangkat Kolonel. Dalam
konferensi TKR tanggal 12 November
1945 di Yogyakarta, Soedirman

SENAKATHA EDISI 42

terpilih sebagai Pemimpin Tertinggi
TKR. Hal itu karena Soepriyadi,
mantan pemimpin pemberontakan
PETA Blitar yang sudah diangkat
sebelumnya sebagai Pemimpin
Tertinggi TKR oleh presiden ternyata
tidak pernah menduduki
jabatannya.
Untuk menghadapi tentara
Sekutu dalam pertempuran
Ambarawa tanggal 12 November
1945, Kolonel Soedirman memimpin
pasukan dengan semangat pantang
menyerah. Dengan menggunakan
Taktik Gelar “Supit Urang” atau
pengepungan rangkap, ia dan
pasukannya berhasil mengurung
musuh. Akibatnya suplai logistik dan
komunikasi musuh dengan pasukan
induk menjadi terputus sehingga
memaksa musuh mundur ke
S e m a r a n g . Ke m e n a n g a n d a n
keberhasilan dalam pertempuran
Ambarawa meyakinkan Presiden
Soekarno mengenai pilihan terhadap
Soedirman dalam konferensi TKR
bulan November lalu. Pada tanggal
18 Desember 1945, Soedirman
dilantik sebagai Panglima Besar
dengan pangkat Jenderal.
Pelantikan tersebut dilakukan
dengan cara unik, yaitu sambil
merangkul Soedirman dihadapan
para komandan TKR, Presiden
Soekarno mengatakan, “Ini Panglima
Besarmu”. Singkat dan sederhana
tetapi mengandung makna yang
sangat dalam. Sebagai Panglima
Besar, Soedirman menghadapi
banyak masalah yang harus
diselesaikan. Dalam bulan Mei 1946
ia berhasil mempersatukan Tentara
Republik Indonesia (TRI) ke dalam
satu kekuatan yang terintegrasi,
yang terdiri TRI-AD, TRI-AL, TRI

Udara. Di samping kekuatan TRI
sebagai kekuatan bersenjata,
terdapat pula laskar-laskar yang
dibentuk oleh golongan atau partaipartai politik tertentu.
Pa d a b u l a n M e i 1 9 4 7
pemerintah mengumumkan tentang
pembentukan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang terdiri dari TRI
dan laskar-laskar. Tanggal 3 Juni
1947 organisasi baru ini terwujud.
Maka sejak saat itu negara hanya
mempunyai satu kekuatan
bersenjata yaitu TNI. Jenderal
Soedirman yang teguh pendirian
mengatakan bahwa : ”satu negara
hanya ada satu tentara”. Ia bekerja
dengan keras untuk menyatukan
semua unsur kekuatan nasional
meskipun menghadapi berbagai
macam kesulitan dan berjalan cukup
alot.
Perjanjian Linggarjati pada
kenyataannya tidak menyelesaikan
masalah menuju diplomasi.
Demikian juga dengan Perjanjian
Renville (Januari 1948) justru sangat
merugikan TNI. Salah satu
syaratnya, Belanda meminta agar
pasukan TNI yang berada di daerah
pendudukan tentara Belanda ditarik
ke wilayah Republik Indonesia (RI)
yang kita kenal dengan Hijrah.
Meskipun Panglima Soedirman
merasa sangat terpukul, tetapi ia
tetap tunduk dan patuh kepada
keputusan politik. Soedirman dan
para stafnya pantang menyerah.
Semua kegagalan dan kesalahan
dikaji secara mendalam. Para
pemikir seperti TB Simatupang dan
A.H Nasution akhirnya menemukan
“Strategi Perongrongan”. Strategi
ini untuk perang dalam jangka waktu
yang lama dijabarkan dalam sistem

ARTIKEL

Wehrkreise (lingkungan pertahanan
daerah). Sistem Wehrkreise pada
bulan November 1948 disahkan
penggunaannya dalam Surat
Pe r i n t a h S i a s a t N o . 1 y a n g
ditandatangani oleh Panglima Besar
Jenderal Soedirman.
Pada tahun 1948 dilakukan
rasionalisasi dan reorganisasi
Angkatan Perang yang
mengakibatkan salah satunya
penurunan pangkat satu tingkat,
termasuk di dalamnya Soedirman
diturunkan pangkatnya menjadi
Letnan Jenderal. Pak Dirman pernah
ditugaskan sebagai Panglima Besar
Angkatan Perang Mobile merangkap
sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
(KSAP) dan Kepala Staf Angkatan
Darat (KS-AD).
Sementara itu tanggal 19
Desember 1948 pasukan Belanda
menyerang dan menduduki ibukota
RI serta menawan Presiden dan
Wakil Presiden. Pak Dirman yang
dalam keadaan sakit dan paru-paru
tinggal sebelah menghadap Presiden
Soekarno. Ia melaporkan bahwa
pasukan TNI sudah siap
melaksanakan rencananya. Akan
t e t a p i Pa k D i r m a n t e r k e j u t
menerima perintah dari presiden
agar beliau tetap tinggal di kota
untuk dirawat sakitnya. Panglima
Soedirman menjawab tawaran
presiden dengan kata-kata yang
terkenal, ”Tempat saya yang terbaik
adalah ditengah-tengah anak buah.
Saya akan meneruskan perjuangan.
Mert of zonder pemerintah TNI akan
berjuang terus”.
Pada hari itu juga Jenderal
Soedirman meninggalkan Yogyakarta
dan mulai mengadakan perlawanan
gerilya selama kurang lebih tujuh

bulan lamanya. Dengan ditandu, Pak
Dirman melakukan perlawanan
secara gerilya naik turun gunung dan
masuk keluar hutan, serta
berpindah-pindah tempat. Tidak
jarang Pak Dirman mengalami
kekurangan makanan selama
berhari-hari. Akhirnya setelah
melakukan perjalanan yang panjang
dalam bergerilya, sejak tanggal 1
April 1949 Jenderal Soedirman
menetap di dukuh Pakis, kecamatan
Nawangan, Pacitan, Jawa Timur.
S e l a m a b e r g e r i l y a , Pa n g l i m a
Soedirman tetap mengeluarkan
perintah-perintah, petunjuk, dan
amanat untuk TNI dan rakyat.
Setelah Perjanjian Roem Royen
ditandatangani tanggal 7 Mei 1949.
Jenderal Soedirman diminta
kembali ke Yogya. Akan tetapi
dengan tegas menolak perundingan.
Atas jasa baik Kolonel Gatot
Soebroto, pada tanggal 10 Juli 1948
Panglima Soedirman dan rombongan
m a u k e m b a l i k e Yo g y a k a r t a .
Kedatangan mereka disambut
dengan parade militer di Alun-alun
Yogyakarta dan sangat dielu-elukan
oleh rakyat. Rasa dan sikap tidak
senang terhadap diplomasi yang
ditempuh pemerintah dalam
menghadapi Belanda ternyata masih
membekas dalam diri Jenderal
Soedirman. Akibatnya pada tanggal
1 Agustus 1949 ia menulis surat
kepada Presiden Soekarno berisi
permohonan untuk meletakkan
jabatan sebagai Panglima Besar dan
mengundurkan diri dari dinas
ketentaraan, akan tetapi surat itu
tidak jadi disampaikan. Isi surat
tersebut menjadi terkenal karena
memuat kata-kata, ”Bahwa satusatunya hak milik nasional Republik

10

yang masih utuh tidak berubah-ubah
meskipun harus menghadapi soal
perubahan adalah hanya Angkatan
Perang Republik Indonesia (Tentara
Nasional Indonesia)”.
Sementara itu keadaan
kesehatan Panglima Soedirman
semakin lama semakin buruk
sehingga ia beristirahat di
Pasanggrahan Militer di Magelang.
Akhirnya pada tanggal 29 Januari
1950 Jenderal Soedirman meninggal
dunia dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Semaki,
Yogyakarta. Sesuai dengan jasa dan
pengabdiannya, pemerintah
menaikkan pangkatnya dari Letnan
Jenderal menjadi Jenderal
Anumerta.
Demikian pengorbanan dan
p e r j u a n g a n s e o r a n g Pa n g s a r
Jenderal Soedirman yang tetap
memilih berjuang di tengah-tengah
anak buahnya dengan kondisi paruparu yang tinggal sebelah ketimbang
harus tinggal di kota untuk berobat
demi mempertahankan NKRI. Untuk
mengenang dan menghargai jasa Pak
Dirman, pemerintah memberikan
penghargaan tertinggi berupa gelar
Pahlawan Nasional pada tanggal 20
Mei 1970. Dan menjelang peringatan
hari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia ke-52, pemerintah
Republik Indonesia menganugerahi
pangkat kehormatan Jenderal Besar
TNI atau Jenderal Bintang Lima
kepada Pangsar Jenderal Soedirman
berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 44/ABRI/1997.

SENAKATHA EDISI 42

11

ARTIKEL

SOEDIRMAN

DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Kusuma

S

hal ini dapat diambil contoh Dalam
kisah-kisah perjuangan yang
diceritakan dalam bentuk tembang
dalam tradisi Jawa seperti dalam
Perang Diponegoro, peran seorang
penyair yang mengalunkan syair
kepahlawanan pada Perang Aceh,
dan pembacaan Tambo, di daerah
Minang merupakan media yang
dapat membangkitkan daya ingat
dan kesadaran sejarah bangsa serta
pembangkit semangat pasukan
untuk tetap berjuang, memperkuat
moril prajurit.
Demikian pula penggunaan
simbol-simbol sejarah tradisi

masyarakat dapat juga dijadikan
motivasi membangun bangsa. Bung
Karno pada saat pendudukan
Jepang, sangat pandai memainkan
simbol-simbol sejarah dengan
mengambil kisah-kisah pahlawan
pewayangan untuk menumbuhkan
jiwa besar dan semangat bangsa
untuk mencapai kemerdekaan.
Demikian juga dengan Muhammad
Yamin yang mengambil kisah-kisah
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya,
memberikan motivasi untuk
menumbuhkan semangat
kebangsaan dengan mengisahkan
kegemilangan bangsa Indonesia di

ARSIP NASIONAL

ejarah Perjuangan Bangsa
dalam arti sempit adalah
sejarah yang mencakup aliranaliran historis yang menuju ke arah
pembentukan bangsa dan
nasionalisme. Sementara dalam arti
luas adalah ceritera pengalaman
kolektif bangsa yang berfungsi
sebagai lambang identitas bangsa
yang mencerminkan kepribadian
nasional khususnya serta
kebudayaan nasional pada
umumnya.
Pe r a n s e j a r a h s a n g a t
penting dalam membangun dan
membentuk karakter bangsa. Dalam

Peringatan Hari Angkatan Perang Republik Indonesia 5 Oktober 1947 di Istana Yogyakarta

SENAKATHA EDISI 42

12

SOEDIRMAN SUDIRMAN

ARTIKEL

Penglima Besar Jenderal Soedirman didampingi Mayjen Dr Mustopo memeriksa Pasukan di Yogyakarta, Desember 1947

masa lalu yang tidak kalah dengan
bangsa-bangsa lain.

Semangat Juang Soedirman

Sejarah perjuangan bangsa
dapat menumbuhkan semangat
kebangsaan bagi masyarakat untuk
mempertahankan negaranya.
Demikian pula sejarah sebagai
memori kolektif bisa memainkan
peran lebih besar dalam
pembangunan karakter bangsa
(nation and character building).
Untuk kepentingan ini, pertamatama dalam sejarah ada banyak
peristiwa objektif yang dapat
menyumbang kepada pembentukan
karakter bangsa, misalnya terlihat
dalam peristiwa perlawanan
terhadap penjajahan, revolusi
Indonesia, sampai kepada figur-figur
historis yang dalam sejarah
akademis telah terbukti memainkan
peran penting karena keunggulan
watak dan karakternya.
Dalam konteks lain
pendapat sejarawan Abdurrahman
Surjomihardjo (Alm) tentang

Sejarah pewarisan yang ciri
utamanya berupa kisah
kepahlawanan perjuangan
kemerdekaan, maka peristiwa yang
terjadi pada awal kemerdekaan itu
dapat dijadikan sebagai pewarisan
sejarah bangsa dari sisi militer yaitu
mengenai heroisme seorang figur
Soedirman yang meski sakit dan
harus ditandu tetapi tetap
melakukan perlawanan terhadap
Belanda dengan bergerilya di hutanhutan.
P a d a
p e r a n g
mempertahankan kemerdekaan,
Jenderal Soedirman menjadi figur
yang sangat penting dalam sejarah
Re p u b l i k I n d o n e s i a . K a r a k t e r
kepemimpinan, sikap patriotisme,
dan semangat bela negaranya,
menyatu dalam jalannya sejarah
revolusi Indonesia.
P e r i s t i w a Yo g y a k a r t a
diserang Belanda pada 19 Desember
1948 menjadi titik balik dari
dilakukannya perjuangan bersenjata
oleh TNI hingga diakuinya Indonesia
oleh Belanda melalui Konferensi

Meja Bundar pada 27 Desember 1949
yang membawa keuntungan pada
pihak Indonesia.
Panglima Besar Soedirman
menyadari bahwa Belanda telah
memulai agresinya. Soedirman
segera memutuskan berangkat
menuju istana negara untuk
menemui Presiden di tengah kondisi
tubuhnya yang sedang sakit.
Setibanya di Istana (Gedung Agung)
Yogyakarta, Soedirman bertemu
dengan Presiden Soekarno di ruang
tamu. Presiden Soekarno melihat
keadaan Soedirman yang sedang
sakit, menganjurkan agar Soedirman
tidak ke luar kota tetapi agar ia
berobat di dalam kota sampai
kondisinya sehat lalu berangkat
keluar kota. Anjuran Presiden tidak
dapat diterimanya. Ia menjelaskan;
Kalau Panglima Besar ditangkap
Belanda, akibatnya tidak baik.
Belanda pasti mencarinya dan akan
menangkapnya juga. Sebaliknya
Soedirman meminta Soekarno untuk
ikut ke luar kota bersama-sama
bergerilya. Soekarno menolaknya

SENAKATHA EDISI 42

13

ARTIKEL

dan ia bersama-sama Hatta
memutuskan tetap tinggal di istana
untuk melanjutkan perjuangan
diplomasi.
Soedirman akhirnya
meninggalkan kota Yogyakarta
bergerilya bersama pasukannya
dalam kondisi badannya yang masih
dalam keadaan sakit parah di tengah
pesawat tempur Belanda yang terus
melakukan penembakanpenembakan dari udara. Panglima
Besar Soedirman mengeluarkan
Pe r i n t a h Ki l a t N o . 1 y a n g
menginstruksikan segenap jajaran
A n g k a t a n Pe r a n g R I u n t u k
melaksanakan rencana operasi yang
telah ditetapkan oleh masingmasing kesatuan TNI berdasarkan
Perintah Siasat Nomor 1 Panglima
Besar Soedirman pada 12 Juni 1948
yang berisi antara lain bahwa perang
gerilya dalam rangka perang rakyat
semesta digelar di seluruh Jawa,
dari Banten sampai Banyuwangi,
untuk sepanjang masa.
Perintah Kilat No
1/Panglima Besar/B/D/1948 yang
telah dikeluarkan itu mengikat
seluruh jajaran TNI untuk
melaksanakan rencana-rencana
yang dituangkan dalam Perintah
Siasat No. 1, yaitu berupa instruksi
Pa n g l i m a B e s a r p a d a a w a l
November 1948 dan disahkan
melalui Peraturan Pemerintah No.
33 dan No. 70 Tahun 1948.
Perintah Kilat itu
dikeluarkan pada 19 Desember 1948
pukul 08.00 yang ditandatangani
oleh Panglima Besar Angkatan
Perang Letnan Jenderal Soedirman.
Isi perintahnya adalah:
1.
Kita telah diserang.
2.
Pada tanggal 19 Desember
1948 Angkatan Perang Belanda
menyerang kota Yogyakarta dan
Lapangan Terbang Maguwo.
3.
Pemerintah Belanda telah
membatalkan persetujuan gencatan
senjata.
4.
Semua Angkatan Perang
menjalankan rencara yang telah
ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.
Bagi TNI, serangan Belanda
terhadap Yogjakarta pada 19

SENAKATHA EDISI 42

Desember 1948 yang dikenal dengan
Agresi Militer II, merupakan rahmat
terselubung, karena dari faktor
waktu, setidaknya terbuka
kesempatan strategis untuk
melakukan uitbraak (menjebol
keluar) dari daerah Republik yang
semakin sempit, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Dalam Perintah Siasat No.1





misalnya strategi yang digariskan
tidak ada rencana untuk
menghadapi serangan Belanda
secara frontal total seperti pada
agresi pertama, karena berdasarkan
perhitungan secara taktis dan
teknis, militer Belanda lebih unggul.
Situasi pada agresi Belanda I itu yang
menyebabkan TNI kalah, ingin tidak
terulang kembali pada serangan
Belanda berikutnya. TNI
mengundurkan diri ke daerahdaerah perlawanan yang telah
disiapkan dan menggelar perang
gerilya dari Banten di Barat sampai
Besuki di ujung timur Jawa Timur.
Setelah menghadapi serangan kilat
Belanda, pasukan TNI
menghindarkan diri dari serangan
tersebut, kemudian mundur ke
pangkal-pangkal perlawanan gerilya
yang telah disiapkan.
Perintah Siasat yang berisi
ketentuan-ketentuan pembagian
tugas dan tanggungjawab bagi
panglima-panglima teritorium dan
komandan-komandan brigade serta
subteritorium adalah langkah jitu
dalam menghadapi serangan
Belanda melalui aksi hambat gerak
maju musuh, membentuk

wehrkreise, melaksanakan aksi
wingate dan sebagainya.
Pe r l a w a n a n T N I d i l a k u k a n
sekedarnya untuk memberikan
waktu dan ruang kepada pasukan TNI
dan aparat pemerintah RI untuk
melakukan perang wilayah.
Di pihak Belanda Panglima
Tentara Belanda, Jenderal Spoor
merumuskan strategi yang
dinamakan speerpunten
strategie—strategi ujung tombak.
Strategi itu terdiri atas dua tahap.
Ta h a p p e r t a m a a d a l a h t a h a p
penghancuran (istilah Clausewitz:
Niederwerfungs), dengan
menyerang, merebut, menduduki,
dan mendayagunakan segala
keunggulan daya tembak, daya
gerak, dan keunggulan udaranya.
Kolone-kolone tempur bermotor
bergerak dengan cepat untuk
merebut dan menduduki posisiposisi kunci musuh dan garis-garis
perhubungannya. Tahap kedua
adalah tahap pasifikasi, tahap
pembersihan daerah, di mana
pasukan-pasukan disebar di daerah
yang telah dikuasai dan gerakan
pembersihan dilakukan dengan
taktik dan teknik yang pernah
diterapkan Tentara Kolonial Hindia
Belanda (KNIL), yang dikenal dengan
taktik dan teknik VPTL,10 sebelum
Perang Dunia II di Hindia Belanda.
Jenderal Spoor menyiapkan
rencana strategi militernya, dengan
sandi Operatie Kraai, bila
pemerintah Belanda memutuskan
untuk menyelesaikan pertikaiannya
dengan Republik Indonesia secara
militer. Sasaran strategis militer
yang ditetapkan adalah merebut dan
menduduki ibu kota Republik
Indonesia, menawan para pemimpin
politik dan militernya,
menghancurkan TNI di daerah
konsentrasinya (dataran tinggi
Magelang di Jawa Tengah dan
dataran tinggi Kediri serta Madiun di
Jawa Timur), dan menduduki kotakota di daerah Republik di Pulau
Jawa maupun Sumatera yang belum
dikuasai. Dalam hal ini, Jenderal
Spoor masih sangat menganggap
enteng kemampuan bertempur TNI.
la pun masih mengandalkan strategi

ARTIKEL
ujung tombak, yang dengan
mengerahkan kekuatan militernya
secara besar-besaran dia yakini
dapat merebut sasaran dengan
cepat dan menghancurkan pasukan
TNI di daerah konsentrasinya dalam
pertempuran jangka pendek yang
menentukan.
Sebelum melancarkan
Operasi Kraai, Jenderal Spoor
memperhitungkan dengan penuh
keyakinan bahwa tahap penguasaan
daerah setelah Yogyakarta diduduki
akan berjalan lancar. Serangan
gencar pada tahap pertama dari
strategi ujung tombaknya
diperhitungkan akan memb