opening statement kuhap

Opening Statement

Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana Berkontradiksi dengan
Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
Mejelis Hakim yang mulia,
Ijinkanlah kami Para Pemohon, memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 82 ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Menurut
kami, ketidakjelasan aturan mengenai praperadilan sebagaimana diatur di dalam ketentuan a
quo, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum serta penjaminan dan perlindungan di
muka hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28
D ayat (1) jo. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Yang berhormat Majelis Hakim,
Berlakunya ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional kami, Pemohon I, Anwar
Sadat, warga negara Indonesia, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup lndonesiaWAlHl-Sumatera Selatan. Kerugian dialami pemohon saat mendampingi masyarakat Ogan
Ilir Sumatera Selatan, guna memperjuangkan kembalinya hak atas tanah yang diambilalih
PTPN VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dalam rangka pendampingan tersebut,
ketika berlangsung sebuah aksi massa, Pemohon I ditangkap Polisi dan dituduh telah
melakukan perbuatan pidana “turut serta melakukan pengrusakan” sebagaimana diatur dalam
Pasal 170 KUHP.

Menurut Pemohon I, tindakan penangkapan dan penahanan oleh kepolisian telah dilakukan
secara sewenang-wenang, oleh karena itu kemudian Pemohon I mengajukan permohonan
praperadilan kepada Pengadilan Negeri Palembang. Dalam prosesnya, ketika permohonan
praperadilan mulai diperiksa oleh pengadilan, pihak penuntut telah membawa pokok perkara
ke pengadilan untuk disidangkan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP, permohonan praperadilan dinyatakan gugur. Akibat gugurnya permohonan tersebut,
Pemohon I tidak dapat mengetahui mengenai sah atau tidaknya proses penangkapan dan
penahanan yang dilakukan kepolisian, yang berdampak pada dilanggarnya hak-hak
konstitusional Pemohon I.
Sementara Pemohon II (Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana) adalah
badan hukum privat yang berbentuk Perkumpulan dan dibentuk berdasarkan hukum negara
Republik Indonesia, yang Akta Pendiriannya telah disahkan melalui SK Kementerian Hukum
dan HAM No. AHU - 239.AH.01.06. Oleh karenanya, jelas, merujuk pada ketentuan UU
Mahkamah Konstitusi, Pemohon II memiliki legal standing dan dapat menggunakan haknya
untuk mengajukan permohonan ini.
Berlakunya ketentuan a quo telah nyata-nyata atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar
hak konstitusional Pemohon II, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengapa
demikian? Sebab keberadaan pasal a quo telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang
dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk
perlindungan pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia; pemajuan dan perlindungan


kebebasan sipil dan politik di Indonesia, khususnya yang terkait dengan pembaruan sistem
peradilan pidana yang selama ini telah dilakukan oleh Pemohon II. Tegasnya, Pemohon II
memiliki hak dan kepentingan hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat guna
mengajukan permohonan pengujian ini.
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Sebagaimana telah kami utarakan di atas, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b, c, dan d UU a
quo, jelas telah bertentangan dengan amanat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal
28 G ayat (1) UUD 1945. Kepastian hukum merupakan salah satu pilar penting dalam
tegaknya negara hukum, sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dikemukakan
oleh Gustav Radbruch dalam teori cita hukum (Idee des Rechts), bahwa suatu negara hukum
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: kemanfaatan, keadilan, dan
kepastian hukum. Salah seorang pemikir teori hukum alam, Lon L. Fuller, bahkan
menyatakan jika kepastian hukum adalah salah satu bagian utama dari moralitas hukum itu
sendiri. Dikatakanya, sebuah peraturan hukum haruslah tunduk pada internal moraliti, yang
salah satunya ditujukan pada saat pembentukannya harus menunjukan kejelasan dan tidak
bertentangan satu sama lain.
Majelis Hakim yang terhormat,
Mendasarkan kepada aturan-aturan suci yang ditegaskan di dalam konstitusi kita, serta
berbagai doktrin yang berkembang dalam pemikiran ilmu hukum, kami berkesimpulan bahwa

frasa “…hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan
pejabat yang berwenang…” dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b UU a quo, telah
menimbulkan ketidakpastian Hukum. Praperadilan yang kita kenal dalam sistem peradilan
pidana kita, musti kita tempatkan sebagai suatu mekanisme untuk menjaga dan melindungi
hak asasi manusia. Prosedur ini merupakan ruang komplain dan perlindungan martabat serta
hak asasi warga negara terhadap tindakan pejabat yang berwenang dalam melakukan suatu
upaya paksa.
Bilamana kita cermati dengan seksama frasa a quo, meski nampak jelas rumusannya, tetapi
rumusan a quo sesungguhnya mengandung unsur ketidakpastian hukum. Rumusan tersebut
sebenarnya merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk
mendengar keterangan baik dari pemohon atau termohon pada saat pemeriksaan di muka
persidangan praperadilan, bukan merupakan ketentuan yang mewajibkan hakim untuk
memulai pemeriksaan setelah kedua belah pihak lengkap. Sayangnya, KUHAP tidak merinci
hukum acara dari praperadilan, sehingga dalam praktiknya ketentuan a quo acapkali
ditafsirkan sebagai ketentuan bahwa hakim pada saat memulai pemeriksaan dan perhitungan
selambat-lambatnya 7 hari untuk menjatuhkan putusan, harus menghadirkan kedua belah
pihak.
Dalam praktiknya, penafsiran ini telah mengakibatkan pejabat yang berwenang sebagai
termohon praperadilan, setelah dipanggil secara patut dan layak oleh Pengadilan untuk hadir
dalam sidang yang dibuka pertama kali, tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa

alasan yang cukup jelas. Lebih jauh, tidak hadirnya pejabat yang berwenang sebagai
termohon tersebut telah menyebabkan sidang praperadilan harus ditunda beberapa kali.
Akibatnya kepentingan dari pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya
paksa terancam tidak dapat dilindungi berdasarkan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Sikap pejabat yang demikian telah membuat jangka waktu pemeriksaan praperadilan secara
umum melebihi 7 hari sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c
KUHAP dan disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang berwenang untuk menggugurkan
permohonan praperadilan dengan menunggu ataupun mempercepat dilimpahkannya berkas
perkara pokoknya ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP. Berdasarkan prinsip peradilan cepat dalam pemeriksaan sidang praperadilan, maka
semestinya apabila panggilan telah dilakukan secara patut dan layak, maka apabila pejabat
yang bersangkutan sebagai termohon tidak hadir pada pemeriksaan yang pertama, Pengadilan
dapat terus memeriksa permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon praperadilan.
Apabila pengadilan dapat memeriksa permohonan praperadilan tanpa kewajiban kehadiran
dari Pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan setelah dilakukan pemanggilan
secara patut dan layak, tentu akan menjamin prinsip negara hukum sesuai dengan dapat
diberlakukannya peradilan cepat dalam waktu yang ditentukan oleh Pasal 82 ayat (1) huruf c
KUHAP dan berdampak langsung memperkecil peluang gugurnya perkara praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Musti diingat, praperadilan

adalah lembaga yang dibentuk semata-mata untuk menjamin dan menegakkan martabat dari
pemohon yang merasa haknya telah dirampas oleh pejabat yang berwenang sebagai termohon
dengan upaya paksa.
Sebagai perbandingan, Mahkamah Konstitusi yang berfungsi untuk menjamin tegaknya
kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, juga
mempraktikan hal ini. Praktik persidangan yang sama selama ini dianut oleh Mahkamah
Kontitusi telah terbukti mampu menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhdap hak
konstitusonal warga negara yaitu terkait tetap dimulai, diperiksa dan diputusnya permohonan
meskipun tanpa kehadiran termohon yang mana dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi
juga merupakan pihak yang mewakili dari negara.
Majelis Hakim yang Mulia
Masalah lain yang mengemuka dari ketidakjelasan rumusan hukum acara praperadilan di
dalam KUHAP, adalah tidak tegasnya ketentuan mengenai awal dimulainya perhitungan 7
hari untuk pemeriksaan praperadilan, sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 82 ayat (1)
huruf c UU a quo. Dalam praktiknya, setidak-tidaknya telah berkembang empat penafsiran
yang berbeda-beda mengenai sejak kapan 7 hari itu, yakni: pertama, perhitungan dimulai
setelah perkara didaftarkan dan mendapat nomor registrasi di PN, kedua, perhitungan
dimulai setelah ketua PN melakukan penunjukan hakim tunggal praperadilan, ketiga,
perhitungan dimulai setelah hakim tunggal praperadilan membuka sidang perdana, dan
keempat, perhitungan dimulai setelah para pihak lengkap.

Khusus penafsiran yang menyatakan bahwa dimulainya waktu 7 hari pada saat para pihak
lengkap dalam sidang praperadilan telah membuka kemungkinan luas terjadinya pelanggaran
terhadap prinsip pemeriksaan praperadilan secara cepat karena membuka kemungkinan
pejabat yang terkait mengulur-ulur kehadiran di sidang praperadilan. Pada intinya
pelanggaran prinsip tersebut juga dapat berakibat serius terhadap pelanggaran hak-hak
pemohon Praperadilan. Masalahnya, model penafsiran inilah yang umumnya dianut oleh para
hakim di Pengadilan Negeri. Pengadilan tidak berani untuk memulai sidang dan memutusnya
dalam waktu 7 hari sejak sidang pertama dibuka meski surat panggilan telah disampaikan
secara patut dan layak. Hal inilah yang menjadi penyebab waktu pemeriksaan sidang
permohonan Praperadilan secara rata-rata melebihi waktu 7.

Lagi-lagi memperbandingkan model persidangan di Mahkamah Konstitusi menjadi penting,
sebagai ruang yang sama untuk mempertahankan hak-hak konstitusional warga negara.
Mahkamah Konstitusi akan langsung menggelar persdiangan meski tanpa kehadiran
pemerintah dan DPR walaupun pemerintah dan DPR telah dipanggil secara patut dan layak.
Persidangan di Mahkamah Konstitusi juga dapat menjatuhkan putusan meski para pihak yang
berkepentingan, dalam hal ini pemerintah dan DPR serta pihak lain yang berkepentingan,
tidak hadir sejak awal dibukanya persidangan.
Salah satu pertimbangan dari penafsiran waktu dimulainya 7 hari sejak para pihak dinyatakan
lengkap di dalam praktik karena adanya ketidakjelasan apakah Hakim Praperadilan dapat

menjatuhkan putusan dalam waktu 7 hari sejak persidangan pertama dibuka tanpa kehadiran
pejabat yang berwenang meski pejabat yang berwenang tersebut telah dipanggil secara patut
dan layak. Situasi ini jelas telah merugikan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya
jika dikaitkan dengan fungsi kontrol dari Praperadilan terhadap tindakan upaya paksa oleh
aparat penegak hukum, yang berpotensi dilakukan secara sewenang-wenang.
Yang Mulia Majelis Hakim
Kusumadi Pudjosewojo, salah seorang akademisi hukum Indonesia menyatakan, dikarenakan
Indonesia adalah negara hukum, maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah
pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan-aturan hukum, oleh sebab itu hukum
berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini
membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam
menjalankan kekuasaannya melampaui batas-batas yang telah diatur oleh hukum, atau
melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan penguasa dan organ-organ negara
sangat dibatasi kewenangan perseorangan dalam negara, yang berupa hak asasi manusia.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan unsur penting dalam
sebuah negara hukum. Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat dari Bryan Z. Tamanaha,
yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap martabat seseorang serta harta benda yang di
bawah kekuasaanya, merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari negara hukum. Salah
satu bentuk dari negara hukum menurut Tamanaha adalah adanya perlindungan terhadap

martabat (right of dignity), yang memberikan jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk
jaminan atas hak atas keadilan.
Pemikiran tersebut sesungguhnya telah terumuskan dengan baik di dalam, Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”. Indonesia bahkan telah meratifikasi Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang di dalam Pasal 9 secara khusus
dan mendetail mengatur mengenai jaminan perlindungan tersebut.
Maksud dari ketentuan Pasal 9 ICCPR dapat ditemukan penjelasannya secara detail dan
operasional di dalam Komentar Umum No. 8 ICCPR. Komite HAM menjelaskan bahwa hak
atas kontrol oleh pengadilan atas legalitas (sah atau tidaknya) suatu penahanan, berlaku bagi
semua orang yang dirampas kemerdekaannya melalui penangkapan atau penahanan. Selain
itu ditegaskan Komite, setiap orang yang ditangkap atau ditahan haruslah segera dibawa ke
hadapan hakim atau petugas lain yang diberikan kewenangan oleh hukum untuk

melaksanakan kekuasaan yudisial. Menurut Komite, penundaan tidak boleh lebih dari
beberapa hari.
Lebih jauh, ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya mengandung maksud
bahwa hak-hak sipil warga negara tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang, tanpa
melalui suatu prosedur yang diatur oleh undang-undang dan terlebih dahulu dihadapkan pada

suatu sidang pengadilan (due process of law). Maksud tersebut kemudian diturunkan salah
satunya di dalam ketentuan Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang menyebutkan: “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang”.
Dalam konteks hukum pidana nasional, untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum
khususnya yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, maka dirumuskanlah Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang bertujuanuntuk menerapkan suatu
hukum acara yang baru, serta untuk mencapai tegaknya hukum materil dan pencapaian
terhadap keadilan yang seadil-adilnya tanpa menghadapkan perpecahan antar kepentingan
dan penegakan prosedural semata.
Salah satu bentuk tindakan yang memiliki potensi besar untuk dilakukan secara sewenangwenang dalam pelaksanaan hukum yang dilakukan oleh penyidik dan atau penuntut umum
adalah kewenangan untuk melakukan upaya paksa diantaranya adalah upaya penangkapan
dan penahanan. Dalam KUHAP secara tersurat dapat dipahami, perintah penangkapan dan
penahanan oleh aparatur negara tidak memerlukan izin dari Pengadilan. Situasi ini secara
umum pada kondisi terkini dianggap dapat menimbulkan Lack of Control atau minimnya
kontrol yang erat kaitannya pada potensi praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur
negara. Akibatnya, potensi kesewenang-wenangan tersebut secara langsung mengancam hak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, serta mengancam martabat seseorang yang dalam hal ini terhadap tindakan aparatur
negara dalam penangkapan dan penahanan pra persidangan yang berhubungan langsung

dengan jaminan hak asasi manusia yang diwujudkan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal
83 ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945,
dimana dalam pertimbangan putusan aquo dijelaskan “bahwa pada dasarnya setiap tindakan
upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan
yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan
perampasan hak asasi manusia, sehingga dengan adanya praperadilan diharapkan
pemeriksaan perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku”.
Dalam pertimbangan putusan tersebut juga dijelaskan, “Bahwa pengaturan kedudukan yang
sama dihadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem
praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau
pun tidak”.
Berdasarkan pertimbangan dalam putusan tersebut, dapat dipahami bahwa praperadilan
merupakan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
penyidik atau penuntut umum dalam melakukan upaya paksa, sehingga praperadilan haruslah
mampu menjadi jembatan antara kewenangan dari penyidik atau penuntut umum dengan


perlindungan hak asasi dari warga negara. Frasa “…sistem praperadilan sebagai salah satu
mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau
penuntut umum …” dalam pertimbangan putusan tersebut, menunjukkan secara sadar dan
cermat Mahkamah Konstitusi menunjuk adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia dari
upaya paksa, dan untuk itulah dibutuhkan proses yang adil dan berkepastian hukum dalam
proses praperadilan sebagai mekanisme kontrol.
Materi yang diujikan di sidang Praperadilan merupakan suatu manifestasi dari kekuasaan
yudisial yang dimaksudkan untuk mengontrol, menilai, menguji, dan mempertimbangkan
secara yuridis, apakah dalam tindakan upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa oleh
penyidik atau penuntut telah sesuai dengan KUHAP yang kemudian berpengaruh pada pokok
perkara dan proses penegakan hukum sampai dengan tingkat pemeriksaan di pengadilan.
Oleh karenanya, bersandar pada argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan
Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur”, adalah bertentangan dengan prinsip perlindungan
hak asasi manusia, sebagai salah satu inti dari negara hukum. Rumusan ketentuan a quo
memunculkan kontradiksi dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan.
Pengajuan Praperadilan haruslah dimaknai dengan telah adanya keyakinan kuat dari
Pemohon Praperadilan bahwa telah terjadi penyimpangan dari ketentuan KUHAP dalam
pelaksanaan upaya paksa dan pelanggaran terhadap hak asasinya, sehingga demi kepastian
ada atau tidaknya penyimpangan dari ketentuan KUHAP dan/atau pelanggaran hak asasi
tersebut, harus pula dituntaskan terlebih dahulu pemeriksaan terhadap permohonan
Praperadilan Pemohon, tidak berhenti dengan dimulainya pemeriksaan pokok perkara yang
akan menentukan salah tidaknya seseorang.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 018/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal
21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangannya menyebutkan “Adanya
pranata praperadilan (rechtsinstituut) yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang tujuannya
untuk memeriksa sah tidaknya penahanan, seharusnya tidak hanya semata-mata menilai
aspek formal atau administratif penahanan, tetapi juga aspek yang lebih dalam lagi yaitu
rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan”. Pertimbangan dalam putusan tersebut
harus dipahami sebagai suatu acuan bahwa praperadilan merupakan suatu proses untuk
menjamin tegaknya hukum secara materil untuk mencapai keadilan materil dan bukan hanya
persoalan aspek formal atau prosedural semata.
Terhadap pertimbangan Putusan tersebut membawa lebih jauh dalam pertanyaan mendasar
kepada pihak manakah beban pembuktian diletakkan (burden of proof). Selama ini beban
pembuktian diletakkan dalam pundak Pemohon sementara yang melakukan penilaian atas
rasionalitas terhadap perlu tidaknya dilakukannya penahanan berada dalam kekuasaan
Pejabat yang berwenang menahan. Masalah beban pembuktian seharusnya diletakkan pada
pejabat yang berwenang menahan merupakan hal logis dimana hal tersebut adalah
konsekuensi dari penilaian terhadap “…adanya keadaaan yang menimbulkan
kekhawatiran…” sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP jo
Putusan Mahkamah Konstitusi No No. 018/PUU-IV/2006.
Hal itu sejalan dengan pendapat hakim konstitusi Akil Mochtar, yang mengatakan bahwa
tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu adalah untuk menegakkan keadilan dalam tatanan

kehidupan bermasyarakat serta melindungi tiap individu, dengan cara melakukan penanganan
tindak pidana tidak semata-mata untuk mengungkap tindak pidana dan menemukan pelaku
serta menjatuhkan hukuman, melainkan ada tujuan yang lebih besar, termasuk mencegah
terjadinya tindak pidana lain, merehabilitasi hak korban, serta memasyarakatkan pelaku.
Ditegaskannya, dalam sistem peradilan pidana terpadu, terdapat subsistem-subsistem yang
Saling terkait, dari mulai fungsi penyidikan, peradilan dan pemasyarakatan untuk
mewujudkan keadilan sebgaimana tujuan dari sistem peradilan pidana.
Praperadilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem peradilan pidana yang
terintegrasi, sebab proses dalam Praperadilan juga menganut suatu proses penegakan hukum
demi mencapai keadilan materil dan bukan hanya suatu proses administratif belaka. Oleh
sebab itu, dapat dikatakan hadirnya ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d sangat berpotensi dan
secara faktual mengancam hak konstitusional warga negara, sebab sebagai suatu proses
tersendiri Praperadilan haruslah dipandang sebagai satu kesatuan proses penegakan hukum
dalam sistem peradilan pidana yang saling berkaitan dan saling melengkapi, sehingga
prosesnya tidak dapat dikebiri dan harus diselesaikan sampai dengan tahapan putusan.
Yang Berhormat Hakim Konstitusi
Secara filosofis praperadilan dibentuk untuk menjaga martabat manusia dalam pemenuhan
HAM oleh negara yang dimohonkan oleh warga negara, tidak terkait pada pokok perkara,
dimana hal ini berbeda dengan pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri yang bertujuan
melakukan pembuktian terkait terbukti atau tidak terbuktinya suatu dakwaan oleh negara
terhadap terdakwa. Namun demikian, praperadilan juga merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sistem peradilan pidana, sehingga harus dipandang sebagai satu kesatuan
dalam penegakan hukum guna mencapai keadilan. Sebagai bagian dari suatu sistem, maka
praperadilan memiliki wewenang spesifik yang telah diberikan oleh Undang-Undang,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 77 jo Pasal 78 ayat (1) KUHAP. Bersandar pada aturan
KUHAP tersebut jelas, bahwa kewenangan yang dimiliki oleh praperadilan berbeda dengan
kewenangan peradilan biasa, sehingga harus dipahami bahwa praperadilan merupakan
mekanisme tersendiri dalam sistem peradilan pidana yang memiliki kewenangan tersendiri
pula, dimana kewenangan tersebut berbeda dengan pengadilan negeri terkait dengan
permohonannya.
Inkonsistensi muncul dengan adanya rumusan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, dimana
suatu proses praperadilan yang memiliki kewenangan berbeda dengan pengadilan negeri
harus gugur ketika pokok perkara mulai disidangkan. Padahal ketentuan Pasal 77 jo. Pasal 78
ayat (1) KUHAP, tegas menyatakan bahwa praperadilan memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus suatu permohonan. Bersandar pada ketentuan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945, keberadaan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang mengakibatkan gugurnya
suatu pemeriksaan di praperadilan apabila pokok perkara telah mulai diperiksa di pengadilan
negeri musti dinyatakan sebagai ketentuan yang inkonstitusional, karena hilangnya hak
Tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan bertentangan dengan
prinsip negara hukum yang dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta inkonsistensi dengan
pengaturan KUHAP sendiri.
Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang Berhormat,
Bersandar pada sejumlah argumentasi di atas, dengan kerendahan hati kami memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk:

1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) b UU No 8 Tahun 1981 bertentangan dengan pasal 1 ayat
(3) jo. Pasal 28 D ayat (1) UUD selama tidak dimaknai “hakim mendengar keterangan
baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang dapat dilakukan
tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa
kehadiran pejabat yang berwenang”;
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf b UU No 8 Tahun 1981 tentang HUkum Acara
Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak dimaknai “hakim
mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang
berwenang dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat
menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”;
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) c UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28 D ayat (1) UUD selama tidak dimaknai
“pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal
praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang
berwenang”
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) c UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selama tidak dimaknai “pemeriksaan
selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan
membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana bertentangan dengan Pasal 1 aat (3) jo. Pasal 28 D ayat (1) jo. Pasal 28 G ayat (1)
UUD 1945;
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono.
Terima kasih,