Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat | Roza | Jurnal Hubungan Internasional 328 996 1 PB





































































































































Dual-Use Technology Jepang
dan Kepentingan Keamanan
Nasional Amerika Serikat
Rizky Roza
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Depok, Jawa Barat, 16424
Email: rizky_roz@yahoo.com

Abstract
The dynamic relations between Japan and the United States are interesting to be observed due to frequently happen in “non-conventional “. Japan
and America are two countries leading in the development of high technology, including military technology capabilities. The competition, both in
the development of military technology often brings a unique and surprising relationship pattern. This paper shows that Japan continues to
develop military technology that affects perception and capability of the country in the international political stage. On the other hand, the
Japanese military technology development has given rise to responses from a number of countries in the region, as well as from major countries
like USA. This paper shows that the achievement and the use of military technology will determine the future of the country’s diplomacy with

major countries in the world, especially the United States.
Keywords: national security, Post-Cold War, Self Defense Force, Security Assistance Program.

Abstrak
Dinamika hubungan Jepang dan Amerika Serikat menarik diamati karena sering berlangsung secara “non-konvensional”. Jepang dan Amerika
merupakan dua negara terdepan dalam pengembangan teknologi tinggi, termasuk kemampuan teknologi militer. Kompetisi keduanya dalam
pengembangan teknologi militer sering membawa pola relasi yang unik dan mengejutkan.. Tulisan ini menunjukkan bahwa Jepang terus berupaya
mengembangkan teknologi militer yang mempengaruhi persepsi serta kapabilitas negara tersebut di panggung politik internasional di satu sisi. Di sisi
lain, pengembangan teknologi militer Jepang telah melahirkan respon-respon dari sejumlah negara kawasan, maupun dari negara besar seperti
Amerika. Tulisan ini menunjukkan bahwa pencapaian dan penggunaan teknologi militer akan menentukan masa depan diplomasi negara tersebut
dengan negara-negara besar di dunia, khususnya Amerika Serikat.
Kata kunci: keamanan nasional, Pasca Perang Dingin, self defence force, security assistance program-,

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi merupakan faktor pemicu
terjadinya perubahan instrumen, pemikiran, dan
institusi perang.1 Penemuan bubuk mesiu pada abad
ke-16, penerapan revolusi industri terhadap perang
pada awal abad ke-19, serta penggunaan mikroelektronik, teknologi stealth, dan penerapan revolusi
informasi sejak 1970-an, merupakan wujud pengaruh

besar yang ditimbulkan setiap inovasi teknologi
terhadap berbagai dimensi perang. Perkembangan
teknologi mendorong terjadinya transformasi kekuatan

militer dan memunculkan konsep-konsep operasional
baru. Perkembangan teknologi tidak hanya
menghasilkan instrumen perang baru, tetapi juga
menuntut akademisi dan praktisi militer untuk
memikirkan keunggulan dan ancaman baru yang
dimunculkan oleh inovasi tersebut, bagaimana inovasi
tersebut dimanfaatkan, serta bagaimana konsep
operasionalnya.2
Keunggulan teknologi militer seringkali
menentukan nasib sebuah bangsa ketika berhadapan

108

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012


dengan kekuatan militer negara lain. Sehingga, menjadi
kepentingan setiap bangsa untuk terus meningkatkan
keunggulan teknologi militernya, dan jika
dimungkinkan, untuk menghambat perkembangan
teknologi militer negara lain yang dapat mengancam
kepentingan keamanan nasionalnya.
Pada Juli 2007 diberitakan bahwa pemerintah
Jepang berencana untuk mengembangkan sendiri
sebuah prototipe jet tempur mutakhir. Proyek ini akan
menjadi jet tempur pertama yang dibangun oleh
Jepang sejak 1970an. Jet tempur ini akan dibangun
menggunakan teknologi yang diperoleh melalui
kerjasama yang telah dibangun AS-Jepang sebelumnya,
yaitu kesepakatan kedua negara untuk memproduksi
bersama jet tempur F-2. Kerjasama tersebut disepakati
pada 1980an dan akan berakhir pada 2011. Rencana
pengembangan prototipe ini merupakan respon
terhadap penolakan AS untuk menjual F-22 Raptor.
Jepang berharap bisa membeli F-22 Raptor untuk
menggantikan jet tempur F-4 yang telah beroperasi

sejak 1973. Namun, hingga saat ini proposal Jepang
terus ditolak kongres AS. Kongres melarang penjualan
atau pemberian lisensi F-22 Raptor kepada negara lain
demi menjaga kerahasiaan teknologi. Rencanan
pengembangan prototipe ini belum diarahkan untuk
membangun sendiri jet temput yang sesungguhnya,
tetapi dimaksudkan agar AS bersedia mencabut
larangan penjualan F-22 Raptor dan menekan harga
jualnya yang mencapai US$ 130 juta.3
Kondisi tersebut menimbulkan beberapa
pertanyaan, antara lain: Mengapa kongres AS menolak
penjualan F-22 kepada Jepang? Bukankah dengan
teknologi yang serupa justru akan mempermudah
kerjasama operasi antara kedua negara dan
memperkuat aliansi mereka? Bukankah AS juga
menginginkan agar Jepang memiliki kekuatan militer
yang lebih mandiri sehingga mengurangi beban AS
dalam menjaga keamanan dan stabilitas internasional,
khususnya kawasan Asia Timur? Apakah AS
menganggap Jepang sebagai ancaman sehingga

peningkatan kekuatan militer Jepang akan
membahayakan kepentingan AS? Atau AS tidak
mempercayai Jepang untuk menjaga kerahasiaan

teknologi yang dimiliki F-22 Raptor?
Penolakan AS atas permohonan Jepang untuk
membeli F-22 Raptor dapat dijelaskan dengan
menguraikan setidaknya empat hal: pertama,
pengalaman kerjasama teknologi militer antara kedua
negara pada masa lalu (masa Perang Dingin); kedua,
rezim pengendalian ekspor multilateral yang
melibatkan kedua negara; ketiga, kepentingan
keamanan nasional AS; dan keempat, proliferasi dual-use
technology Jepang Pasca Perang Dingin..
PEMBAHASAN
KERJASAMA TEKNOLOGI AS-JEPANG MASA PERANG
DINGIN
Kapabilitas teknologi dan perindustrian yang
dimiliki Jepang saat ini merupakan hasil dari
pemanfaatan teknologi militer yang diperolehnya dari
Amerika sejak 1960-an. Sejak awal dibentuknya aliansi
dengan Jepang, AS berupaya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi Jepang agar Jepang tidak
menjadi beban jangka panjang bagi AS. Untuk
merangsang industri elektronik Jepang, AS
memberikan lisensi produksi radio, yang kemudian
berhasil berkembang menjadi industri televisi. Jepang
juga berhasil menyerap teknologi militer melalui
lisensi produksi persenjataan AS, yang dilandasi the
Mutual Defence Assistance Agreement, 1954.
AS memberikan bantuan persenjataan dan
pelatihan bagi Self-Defence Forces Jepang. Melalui
kerangka Military Assistance Program (MAP), AS
memberikan bantuan perlengkapan persenjataan, kapal
perang, dan pesawat tempur, serta melatih teknisi
Jepang agar mampu melakukan perawatan dan
perbaikan sistem persenjataan AS di Jepang.
Kemudian, pada 1960an MAP berakhir sehingga
untuk membangun sistem pertahanannya, Jepang
harus membeli dari AS. Namun co-production
perlengkapan AS mulai dilakukan, dan Jepang mulai
mampu mengembangkan perlengkapan dasar
pertahanan. Pada 1970an, pembelian dan co-production
semakin luas, penelitian dan pengembangan semakin
meningkat, dan Jepang sudah mampu melakukan
produksi sendiri. Kemudian pada 1980an, program

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

pengembangan yang dilakukan Jepang semakin banyak,
dan co-production sudah berkaitan dengan bagian
penting dari sistem pertahanan AS. Nilai pembelian
perlengkapan pertahanan oleh Jepang dan co-production
dengan AS melampaui sekutu-sekutu AS lainnya.
Transfer teknologi yang diperoleh Jepang dari AS
pada masa itu tidak hanya bermanfaat bagi industri
militer tetapi juga untuk industri komersil. Dengan
berbekal teknologi militer AS, Jepang melakukan
pengembangan sehingga mendorong tumbuhnya
industri komersil Jepang, yang pada akhirnya
menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Nilai
perdagangan AS-Jepang selama tahun 1960an
menguntungkan AS, tetapi pada 1970an nilai
perdagangan antar kedua negara mulai lebih
menguntungkan Jepang.
Sejak 1980-an, Jepang telah menjadi salah satu
negara yang memiliki perindustrian yang didukung
teknologi maju. Produk-produk Jepang bahkan
mampu menjadi kompetitor Amerika di pasar dunia,
misalnya dalam industri semikonduktor. Pada 1987,
Jepang mengungguli AS dalam 12 dari 24 kategori
teknologi semikonduktor, menguasi 50% pasar dunia
yang pada satu dekade sebelumnya hanya 30%.4
Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDF
merupakan bagian dari keberhasilan Jepang menyerap
teknologi AS, yang pada 1980an perkembangan
teknologi Jepang justru menimbulkan friksi antara
kedua negara.5 Kemampuan Jepang untuk menyerap
teknologi militer AS dan melakukan spin-off6 ternyata
berdampak strategis dan ekonomis bagi AS. Pada satu
sisi, transfer teknologi memiliki peran besar dalam
meningkatkan kemampuan industri, pertumbuhan
ekonomi Jepang, serta peningkatan kekuatan SDF.
Namun di sisi lain, perkembangan ini tidak hanya
mengurangi beban AS tetapi juga dapat mengancam
perindustrian AS serta kepentingan keamanan
nasionalnya.
Kekhawatiran AS atas perkembangan kapabilitas
teknolgi Jepang meningkat ketika Jepang mengajukan
proyek FSX. Proyek FSX merupakan proyek pertama
kerjasama produksi persenjataan AS-Jepang sejak
berakhirnya PD II, yang menjadi titik balik bagi Japan

109

Defence Agency (JDA). FSX dimaksudkan untuk
menggantikan pesawat tempur F-1 Jepang—pesawat
buatan Jepang pertama yang dibuat pada 1975—yang
sudah kuno. FSX merupakan modifikasi dari F-16
buatan Lockheed.
Pada awalnya Jepang berencana untuk
memproduksi sendiri secara keseluruhan dengan lisensi
Amerika. Sedangkan AS menuntut keterlibatan
industri militer AS dalam proyek FSX. AS menolak
proposal Jepang untuk menjalankan sendiri proyek
tersebut. Peningkatan kapabilitas teknologi Jepang dan
kenyataan bahwa Jepang telah menjadi salah satu
kekuatan ekonomi dunia mendorong AS untuk
meninjau kembali security assistance program--nya. AS
menginginkan Jepang lebih aktif dalam kerjasama
keamanan kedua negara. AS mendorong Jepang untuk
melakukan kerjasama teknologi pertahanan dimana
terjadi transfer teknologi dua arah, termasuk dalam
proyek FSX.
Sebelumnya, transfer teknologi militer hanya
berlangsung satu arah, yaitu dari AS kepada Jepang.
Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah
Jepang yang melarang ekspor persenjataan dan
teknologi militer, yaitu The Three Principles on Arms
Exports. Kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1967
oleh Perdana Menteri Eisaku Sato ini melarang Jepang
mengekspor senjata kepada negara-negara: 1)blok
komunis, 2)yang diembargo senjata oleh PBB, 3)yang
terlibat atau mungkin terlibat dalam konflik
internasional. Prinsip ini dipertegas pada 1976 oleh
Perdana Menteri Takeo Miki di dalam the Policy Guideline on Arms Export yang menyatakan larangan ekspor
senjata ke wilayah mana pun di dunia tidak terbatas
pada yang ditetapkan oleh the Three Principles. Pada
1983, atas permintaan AS, pemerintah Jepang
mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan transfer
teknologi militer kepada AS sebagai pengecualian the
Three Principles. Pengecualian ini diberikan berdasarkan
the Mutual Defense Assistance Agreement dan the 1983
Exchange of Notes yang berkaitan dengan transfer
teknologi militer.
Berlandaskan pada the 1983 Exchange of Notes dan
melalui perdebatan panjang mengenai proyek FSX,

110

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

pada 1989 kedua negara sepakat menetapkan
Mitsubishi Heavy Industry sebagai kontraktor utama,
dengan Lockheed (AS), Fuji Heavy Industry (Jepang)
dan Kawasaki Heavy Industry (Jepang) sebagai subkontraktor. Lockheed dan sub-kontraktor lainnya akan
menjalankan 40 persen produksi sementara MHI
mengerjakan sisanya.
Proyek ini tidak hanya menunjukkan peningkatan
kemampuan Jepang tetapi kemunculan kompetitor
baru bagi industri AS. Perdebatan antara kedua negara
terjadi selama negosiasi pelaksanaan proyek FSX. Friksi
yang terjadi sejak awal 1980an tersebut menarik
perhatian banyak pihak dan juga menimbulkan
dampak yang berkepanjangan terhadap hubungan
kedua negara. Pihak AS memandang proyek FSX
sebagai upaya Jepang untuk menandingi keunggulan
teknologinya, sedangkan beberapa pihak di Jepang
menilai izin transfer teknologi militer terhadap AS dan
friksi yang terjadi selama negosiasi proyek FSX sebagai
bentuk pembendungan perkembangan teknologi
Jepang oleh AS.
Persoalan lain yang semakin memperburuk
hubungan kedua negara berkaitan dengan teknologi
militer adalah sejumlah pelanggaran terhadap regulasi
COCOM (the Coordinating Committee for Multilateral
Export Control)7, terutama insiden Toshiba-Kongsberg.
Pelanggaran tersebut antara lain:
· Awal 1970an salah satu perusahaan Jepang,
Ishikawajima-Harima Heavy Industry (IHI), menjual
sebuah galangan kapal terapung raksasa kepada
Soviet, sehingga menuai protes dari Departemen
Pertahanan AS karena dianggap dapat memperkuat
Armada Pasifik Soviet;
· April 1987, terungkap penjualan baling-baling
kapal selam oleh Toshiba Machine Co. kepada
Soviet. Teknologi yang dikembangkan Toshiba
bersama Kongsberg Vaapenfabrikk (perusahaan
Norwegia) menyebabkan kapal selam Soviet yang
sebelumnya mengeluarkan suara keras sehingga
mudah dilacak, menjadi lebih tenang dan sulit
dilacak;
· Awal 1990an juga terungkap pelanggaran dilakukan
oleh Japan Aviation Electronics Industry Corporation

(JAE). JAE menjual komponen-komponen F4
Phantom yang diproduksi dibawah lisensi AS
kepada Iran, ketika AS sendiri membekukan
hubungan dagangnya dengan Iran. Diketahui
penjualan dilakukan melalui perusahaan yang
berbasis di Florida, Singapura dan Hongkong.8
Pelanggaran-pelanggaran tersebut kembali
mempertegas bahwa peningkatan kapabilitas teknologi
Jepang tidak hanya dapat merugikan AS secara
ekonomis, tetapi juga dapat berdampak strategis dan
mengancaman kepentingan keamanan nasional AS.
Meskipun Jepang memiliki kebijakan yang melarang
ekpor persenjataan dan teknologi militer, dan AS telah
memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan
Jepang yang melanggar COCOM, serta Jepang sendiri
telah memperketat pengaturan dan pengawasan
transfer teknologinya pasca insiden di atas,
kemungkinan terjadinya insiden serupa masih ada. Hal
ini dikarenakan sulitnya untuk mengatur dan
mengawasi arus transfer dual-use technology (DUT).
Teknologi militer yang sebelumnya dikembangkan
melalui program khusus yang dibatasi dan didukung
sepenuhnya oleh militer, sejak 1970an mulai
memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh
industri komerisil/sipil. Teknologi yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan sipil maupun militer
kemudian lebih dikenal sebagai Dual-Use Technology
(DUT). Yang termasuk dual-use technology yaitu:
process technologies that are used in the manufacture of
components for civilian and military systems; technologies
embodied in products that enhance the performance of
military and civilian systems; and know-how or applied
knowledge that is necessary for the design, development,
and manufacture of military and civilian products.9
Setidaknya ada delapan sektor industri sipil yang
paling potensial untuk mendukung pengembangan
teknologi militer, yaitu: mikroelektronik, komputer,
perlengkapan telekomunikasi, tenaga nuklir,
bioteknologi, kimia, penerbangan, dan luar angkasa.10
Konsekuensi dari nilai ‘strategis-militer’ dan
‘komersil-sipil’ yang dikandung DUT adalah

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

penyebarannya relatif lebih sulit dikontrol daripada
teknologi atau item militer saja. Melalui pengalihan
pemanfaatannya, DUT dapat digunakan untuk
mengembangkan teknologi persenjataan yang secara
strategis berbahaya (strategically dangerous armaments/
SDA)11, yang pada akhirnya mungkin saja digunakan
untuk mengancaman keamanan nasional negara asal
DUT atau negara lain, bahkan dapat mengancam
stabilitas dan keamanan regional maupun
internasional.
Jika dengan kebijakan-kebijakannya berarti bahwa
tidak akan terjadi penyebaran secara luas persenjataan
dan teknologi militer Jepang ke pasar persenjataan
internasional, masih sangat mungkin terjadi
penyebaran DUT Jepang karena kebijakan-kebijakan
tersebut tidak dapat diterapkan pada penyebaran
teknologi yang sifatnya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan sipil (dual-use technology).
REZIM PENGENDALIAN EKSPOR MULTILATERAL
Mekanisme yang dapat digunakan untuk
mengendalikan penyebaran teknologi adalah melalui
supply-side export control, baik secara unilateral maupun
multilateral.12 Tetapi terdapat persoalan dalam
menjaga keseimbangan antara tuntutan untuk
mengendalikan penyebaran DUT yang dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan SDA, sementara
di sisi lain mendorong penyebaran teknologi demi
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi
itu sendiri.
Pada tingkat multilateral terdapat sejumlah rezim
pengendalian ekspor yang berlaku dan mengatur
transfer dual-use technology. Rezim ini menjadi pedoman
bagi negara anggotanya dalam menyusun sistem
pengendalian ekspor nasional, termasuk AS dan
Jepang (Lihat Tabel 1). Rezim tersebut antara lain: The
Coordinating Committee for Multilateral Export Control
(COCOM), The Zangger Committee, The Nuclear Supplier
Group, The Australia Group, The Missile Technology
Control Regime, dan Wassenaar Arrangement.
COCOM dibentuk pada tahun 1949 dan
dibubarkan pada 31 Maret 1994. COCOM
beranggotakan seluruh anggota NATO, terkecuali

111

Islandia, ditambah Jepang dan Australia. COCOM
dibentuk untuk membatasi ekspor item-item strategis
pada Uni-Soviet, negara-negara Eropa Timur, dan
RRC. COCOM diarahkan untuk menghambat negaranegara komunis memperoleh item-item strategis yang
dapat memberikan kontribusi langsung pada
kemampuan militer mereka. COCOM merupakan
forum informal dimana setiap keputusannya tidak
mengikat secara legal (no legally binding status).
The Zangger Committee13 dibentuk untuk merespon
berlakunya the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)
sejak 5 Maret 1970. The ZC merupakan kelompok
informal negara-negara partisipan NPT untuk
menginterpretasikan tanggung jawab mereka terhadap
Artikel III.2 NPT karena tidak terdapat penjelasan
spesifik atas artikel tersebut.14 Melalui interpretasi dan
implementasi artikel III.2, the ZC membantu
pencegahan pengalihan ekspor nuklir dengan tujuan
damai menjadi senjata nuklir atau alat peledak nuklir
lainnya.
The Nuclear Suppliers Group (the NSG) merupakan
suatu kelompok negara-negara supplier nuklir yang
berusaha untuk memberi kontribusi bagi nonproliferasi senjata nuklir melalui implementasi suatu
pedoman (guidelines) yang mengatur ekspor bahanbahan nuklir dan bahan lain yang berkaitan dengan
nuklir. The NSG dimaksudkan untuk melibatkan
negara-negara supplier nuklir tetapi bukan bagian NPT
seperti Perancis.15
The Australia Group (1985) dibentuk untuk
merespon temuan bahwa terjadi pelanggaran atas
Protokol Jenewa 1925 melalui penggunaan senjata
kimia terhadap Iran dalam Perang Irak-Iran (19801988). Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Irak
memperoleh sebagian besar material untuk program
senjata kimianya dari industri kimia internasional
melalui jalur perdagangan yang dibenarkan (legitimate
trade channels), turut melatarbelakangi pembentukan
the AG. Tujuan dasar the AG adalah to use licensing
measures to ensure that exports of certain chemicals, biological
agents, and dual-use chemical and biological manufacturing
facilities and equipment, do not contribute to the spread of
CBW.16 The AG memberikan kontribusi penting

112

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

untuk mencapai tujuan-tujuan Chemical Weapons
Convention (CWC, 1993) dan Biological and Toxin
Weapons Convention (BWC, 1972).17
The MTCR dibentuk (1987) oleh negara-negara G-7
(Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan
AS) karena terjadi peningkatan proliferasi senjata
pemusnah masal, seperti senjata nuklir, kimia dan
biologi. Tujuan pembentukan the MTCR adalah
untuk mengendalikan transfer misil dan teknologi yang
berkaitan, yang dapat digunakan untuk meluncurkan
senjata pemusnah masal—senjata nuklir, biologi dan
kimia (NBC weapons).18
The Wassenaar Arrangement dibentuk pada 1996
oleh negara-negara ex-COCOM beserta sejumlah
negara lainnya antara lain: Rusia, Republik Ceko,
Hungaria, Polandia, Republik Slovakia, Argentina,
Republik Korea, Rumania, Bulgaria, Ukraina, sebagai
respon atas pembubaran COCOM. The WA dibentuk
untuk memberi kontribusi bagi keamanan dan
stabilitas regional dan internasional dengan cara
mengedepankan transparansi dan tanggung jawab yang
lebih besar dalam melakukan transfer senjata konvensional dan barang dan teknologi dual-use sehingga
dapat mencegah meningkatnya destabilisasi. The WA
tidak diarahkan pada negara atau kelompok negara
tertentu, dan tidak untuk menghambat keuntungan
transaksi sipil. The WA juga tidak untuk mencampuri
hak setiap negara dalam mencari cara mempertahankan
diri, sesuai dengan Artikel 51 Piagam PBB.
Rezim-rezim pengendalian ekspor tersebut
mengatur proliferasi dual-use technology terutama yang
berkaitan dengan senjata pemusnah masal (senjata
nuklir, kimia, dan biologi), sistem peluncur senjata
pemusnah masal (teknologi misil dan roket), serta
teknologi senjata konvensional modern. Meskipun
COCOM dibubarkan, masih terdapat rezim yang
mengatur penyebaran item-item tertentu yang
sebelumnya diatur oleh COCOM. Berbeda dengan
COCOM yang diarahkan pada negara-negara blok
Timur, rezim-rezim lainnya tidak diarahkan kepada
negara tertentu, bukan untuk mewakili kepentingan
nasional satu atau sekelompok negara, melainkan
ditujukan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas

internasional. Tidak terdapat pula rezim yang
ketetapannya mengikat secara legal. Implementasi
ketetapan rezim sangat tergantung pada kebijakan
nasional masing-masing negara.
Upaya pencapaian tujuan rezim-rezim ini juga
menghadapi persoalan munculnya supplier baru atas
pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan
pengembangan dan produksi senjata nuklir, kimia, dan
biologi, yaitu terdapatnya jaringan ilmuwan (network of
knowledgeable individuals). Perhatian atas persoalan ini
meningkat ketika terungkap pada Februari 2004
bahwa sejak 1992 jaringan ilmuwan yang dipimpin
oleh ahli nuklir Pakistan, Abdul Qadeer Khan,
menyusun dan melakukan kordinasi suplay material
nuklir, pengetahuan (know-how) dan perlengkapan
kepada Korea Utara, Iran dan Libya. Jaringan Khan
juga berkolaborasi dengan partisipan yang berada dan
beroperasi di negara anggota NSG.
Rezim-rezim pengendalian ekspor multilateral yang
ada sangat lemah secara struktural dan implementasi.
Rezim-rezim di atas tidak mengikat secara legal dan
tidak memiliki mekanisme verifikasi kepatuhan
partisipan. Dalam kondisi seperti ini tujuan rezim
akan sangat sulit dicapai. Pertimbangan nilai komersil
dan strategis dari setiap item yang dikontrol akan
sangat mempengaruhi kepatuhan setiap negara
terhadap rezim. Tanpa enforcement mechanism, setiap
partisipan akan dengan mudah melanggar kesepakatan.
Persoalan ini merupakan persoalan mendasar yang
selalu menghambat tercapainya tujuan kerjasama dan
institusi internasional. Rezim-rezim pengendalian
ekspor yang ada tidak dapat mengatasi persoalan ini.
KEPENTINGAN KEAMANAN NASIONAL AS
Sejak awal pendirian, AS telah menetapkan tujuan
dasarnya, yaitu: “to maintain security, political freedom,
and independence of the United States, with its values,
institutions, and territory intact; to protect the lives and
personal savety of Americans, both at home and abroad; and
to provide for the well-being and prosperity of the nation and
its people”. Untuk mencapai tujuan dasar tersebut,
setiap periode pemerintahan menetapkan prioritas dan
menyusun strategi nasional. Karena itu, kepentingan

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

Tabel 1
Partisipan Rezim Pengendalian Ekspor Mulitlateral

113

keamanan nasional AS diidentifikasi
melalui dokumen-dokumen strategis yang
dikeluarkan setiap periode pemerintahan.
Dokumen strategis tersebut terutama
berupa: National Security Strategy19 dan
Quadrennial Defense Review Report20, serta
kebijakan-kebijakan strategis lainnya yang
mencerminkan kepentingan keamanan
nasional AS.
Identifikasi Kepentingan Keamanan
Nasional AS difokuskan pada kepentingan
keamanan nasional dalam batasan
tradisional. Secara tradisional, security
dapat dipahami sebagai: “the security of the
state (national security) threatened by the
military power of other states and defended by
the military power of the state itself.”21
Kemudian menurut Stephen Walt: “security
studies may be defined as the study of the threat,
use, and control of military force. It explores the
conditions that make the use of force more likely,
the ways that the use of force affects individuals,
states, and societies, and the specific policies
that states adopt in order to prepare for, prevent,
or engage in war.”22 Atau menurut Buzan:
“military security concerns the two-level interplay
of the armed offensive and defensive capabilities
of states, and states perception of each other’s
intentions”.23 Berdasarkan batasan-batasan
tersebut, identifikasi atas kepentingan
keamanan nasional AS dapat dibagi
menjadi tiga unsur, yaitu: sumber-sumber
yang dianggap sebagai ancaman dan
tantangan pertahanan dan keamanan bagi
AS; kebijakan-kebijakan pertahanan untuk
mencapai tujuan nasional dan untuk
menghadapi ancaman dan tantangan; serta
kondisi lainnya yang memungkinkan AS
untuk menggunakan kekuatan militer.
ANCAMAN DAN TANTANGAN KEAMANAN AS
Berakhirnya Perang Dingin
menyebabkan terjadinya perubahan

114

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

fundamental atas lingkungan keamanan internasional
dan kepentingan keamanan nasional AS. Lingkungan
internasional semakin dinamis dan sumber ancaman
semakin tidak pasti. Hubungan yang erat di berbagai
bidang tercipta antara AS dan negara-negara yang
sebelumnya merupakan musuh AS, sementara tetap
berlawanan dalam isu-isu tertentu. AS tidak lagi
menghadapi ancaman dari negara dengan kekuatan
militer konvensional skala besar dan potensi terjadinya
perang nuklir sebagaimana yang berlangsung selama
Perang Dingin. Runtuhnya Uni Soviet menempatkan
AS sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar.
Tidak terdapat global peer competitor yang mampu
menandingi kekuatan militer AS jika AS mengerahkan
keseluruhan potensi kekuatan nasionalnya. Tidak
terdapatnya kekuatan militer konvensional yang
mampu menandingi AS ditunjukkan oleh trend
belanja pertahanan dunia pasca Perang Dingin (Lihat
Bagan 1 dan 2). Data statistik ini dapat menunjukkan
kapabilitas dan komitmen AS untuk menggunakan
kekuatan militernya guna mendukung pencapaian
tujuan nasional. Meskipun demikian terdapat potensi
munculnya kekuatan regional seperti China dan
Russia.
Ancaman militer yang dihadapi AS pasca Perang
Dingin atau dalam periode 1994-2005 bukan berupa
kekuatan militer konvensional skala besar yang
mengancam homeland AS, melainkan berupa rogue states
yang mengancam kepentingan vital AS jauh dari
homeland AS. Negara-negara tersebut memiliki
kekuatan militer yang cukup memadai untuk
mengancam negara tetangganya; mengancam keamanan
dan kepentingan AS beserta sekutu dan sahabat; dan
mampu merusak perimbangan kekuatan dan stabilitas
kawasan di mana AS memiliki kepentingan vital. AS
menekankan sumber ancaman dari rogue states yang
berusaha memperoleh dan mengembangkan senjata
pemusnah massal beserta alat peluncurnya, dan yang
berusaha memperoleh advanced weapons untuk
meningkatkan kapabilitas militernya, serta
menggunakan cara-cara asimetrik untuk menghadapi
keunggulan kekuatan militer konvensional AS.24
Meskipun kemungkinan terjadinya paling kecil, perang

Bagan 1
5 Negara Belanja Militer Terbesar Dunia: 1994-2003
(dalam juta $)

Sumber: diolah dari SIPRI Yearbook: Armament, Disarmament and International Security 2005
(London: Oxford University Press, 2005).

Bagan 2
5 Negara Belanja Militer Terbesar Dunia: 2004
(dalam miliar $)

Sumber: diolah dari SIPRI Yearbook: Armament, Disarmament and International Security 2005
(London: Oxford University Press, 2005).

nuklir merupakan merupakan spektrum operasional
tertinggi yang harus dipenuhi kekuatan militer AS.25
Dengan demikian, ancaman militer yang paling
nyata dan harus dihadapi AS dalam jangka pendek
adalah ancaman dari rogue states yang berupaya
memperoleh senjata pemusnah masal dan sistem
peluncurnya. Saat ini terdapat 32 negara yang
memiliki misil balistik. Negara yang memiliki WMD
biasanya berupaya membeli atau mengembangkan
misil balistik untuk meluncurkan senjata tersebut ke
target musuh. Delapan negara yang memiliki senjata
nuklir, yaitu: AS, Inggris, Russia, China, Perancis,

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

Tabel 2
Kapabilitas Misil Balistik Iran

Sumber: diolah dari Andrew Feickert, Missile Survey: Ballistic and Cruise Missiles of Selected Foreign Countries, Congressional Research Service, 2005

Tabel 3
Kapabilitas Misil Balistik Korea Utara

Sumber: diolah dari Andrew Feickert, Missile Survey: Ballistic and Cruise Missiles of Selected Foreign Countries, Congressional Research Service, 2005

115

116

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

India, Pakistan, dan Israel, juga memiliki misil balistik
operasional. Hanya delapan negara ini, serta Iran dan
Korea Utara yang telah memproduksi atau menguji
coba misil dengan jangkauan lebih dari 1,000 km.
Sebelum Operation Iraqi Freedom, AS meyakini bahwa
Iraq juga memiliki misil yang mampu mengancam
keamanan sekutu dan pasukan AS yang berada di
Teluk Persia. Jadi, rogue states yang dianggap sebagai
sumber ancaman bagi kepentingan keamanan nasional
AS adalah Irak, Iran, dan Korea Utara (Lihat Tabel 2
dan 3).26
KEBIJAKAN PENGGUNAAN KEKUATAN MILITER AS
Dalam lingkungan keamanan internasional yang
berkembang pasca Perang Dingin, dengan berbagai
tantangan dan ancaman yang dihadapi, serta dengan
berbagai keunggulan dan kesempatan yang dimiliki AS,
militer digunakan untuk mendukung pencapaian
tujuan nasional. Bersama elemen kekuatan nasional
lainnya, militer AS mengerahkan segala
kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut sesuai
dengan prioritas masing-masing periode pemerintahan.
Kekuatan militer AS digunakan dalam berbagai
bentuk terutama preventive, defensive, dan offensive
(defeating). Overseas presence baik dalam masa damai
maupun krisis merupakan wujud penggunaan militer
dengan tujuan preventive. Tindakan semacam ini dapat
berupa: pangkalan militer permanen di luar negeri,
penempatan basis perlengkapan dan logistik di luar
negeri, gelar pasukan rotasional, pelatihan dan gelar
pasukan bersama sekutu dan sahabat AS, operasi
kemanusiaan, dan sebagainya. Tindakan defensive dapat
berupa perlindungan homeland yang merupakan fungsi
utama kekuatan militer AS. Meningkatnya ancaman
misil balistik jarak jauh yang mampu menjangkau
teritori AS menuntut penggelaran sistem pertahanan
misil balistik yang efektif. Sistem pertahanan misil
balistik merupakan salah satu wujud fungsi defensive
kekuatan militer AS. Gelar sistem pertahanan misil
yang efektif dapat pula berfungsi preventive, karena
dapat mencegah musuh melakukan serangan misil
karena menyadari tindakan mereka tidak akan
mencapai tujuan. Bentuk penggunaan defensive militer

dapat pula berupa dukungan militer terhadap
departemen homeland security untuk menghadapi
ancaman terorisme terhadap keamanan dan
keselamatan warga, infrastruktur, serta nilai-nilai dasar
AS. Selain itu, AS juga berkomitmen menggunakan
kekuatan militernya untuk mengalahkan musuh
(defeating/offensive) baik secara multilateral maupun
unilateral, jika tujuan AS atau kepentingan vital AS
terancam. Bahkan, pada pemerintahan Bush,
dimungkinkan penggunaan kekuatan militer AS untuk
mengalahkan musuh sebelum musuh memperoleh
kapabilitas untuk mengancam keamanan nasional AS
(preemptive strike).27
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEKUATAN MILITER AS
Selama periode 1994-2005, pengembangan
kekuatan militer AS diarahkan agar mampu
menghadapi berbagai ancaman dan tantangan jangka
pendek, serta siap menghadapi ancaman dan tantangan
masa depan. Untuk menghadapi tantangan dan
ancaman jangka pendek, militer AS berupaya
mempertahankan dan meningkatkan kapabilitasnya
untuk beroperasi di berbagai medan dan dalam
berbagai bentuk. Dengan kata lain, AS membutuhkan
kapabilitas operasi full-spectrum. Yaitu, militer yang
mampu bertransisi dari aktivitas masa damai, menjadi
deterrence krisis, sampai dengan operasi di medan
perang besar (major theater war). Sedangkan untuk
mampu tetap mendominasi operasi full-spectrum di
masa depan, militer AS melakukan transformasi untuk
memperoleh kemampuan operasi gabungan yang
diarahkan oleh Joint Vision 2020. Berdasarkan JV 2020
yang mengandalkan superioritas informasi dan empat
konsep operasional baru, yaitu: dominant maneuver,
precision engagement, full-dimensional protection, dan focused
logistic, maka militer AS sangat membutuhkan
teknologi maju khususnya teknologi informasi yang
mampu meningkatkan kapabilitas C4ISR militer AS.28
PROGRAM SISTEM PERTAHANAN MISIL BALISTIK AS
Berkaitan dengan ancaman jangka pendek yang
mungkin dihadapi AS, kapabilitas yang paling
dibutuhkan AS untuk itu adalah sistem pertahanan

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

misil balistik untuk menghadapi ancaman kekuatan
misil balistik dan senjata pemusnah masal rogue states.
Kebutuhan untuk mengembangkan dan menggelar
sistem pertahanan yang efektif untuk menghadapi
ancaman misil jarak dekat dan jauh sudah menjadi
kepentingan keamanan nasional AS sejak 1960an.
Upaya untuk membangun sistem ini menghadapi
tantangan teknis dan kontroversial secara politis.
Sekitar $100 milyar telah dikeluarkan sejak
pertengahan 1980an.29
Pemerintahan Clinton merestrukturisasi program
BMD menyesuaikan dengan the 1993 Bottom-Up
Review. Pemerintahan Clinton menekankan
penggelaran sistem pertahanan misil untuk ancaman
misil jarak dekat. Program pertahanan misil didasarkan
pada penilaian bahwa sudah terdapat ancaman misil
balistik pada tingkat regional, dan ancaman misil
balistik terhadap AS hanya akan muncul di masa
depan. DOD menetapkan bahwa program ini harus
tetap mematuhi the 1972 ABM Treaty. Pada 1995
dikeluarkan The Missile Defense Act of 1995, yang isinya
berupa kebijakan AS untuk:
(1) develop as soon as possible affordable and operationally effective theater missile defenses; (2) develop for
deployment a multiple-site national missile defense system
that is affordable and operationally effective against
limited, accidental, and unauthorized ballistic missile
attacks on the United States, and which can be augmented over time as the threat changes to provide a
layered defense against limited, accidental, or unauthorized
ballistic missile threats; (3) initiate negotiations with
Russia as necessary to provide for the national defense
systems envisioned by the act; and (4) consider, if those
negotiations fail, the option of withdrawing from the
ABM treaty. 30
Pemerintahan Clinton menyesuaikan langkahnya
dan mengadopsi strategi baru bagi pertahanan misil
nasional. Pada 1996, pemerintahan Clinton
mengadopsi strategi 3+3 sebagai pedoman
pengembangan dan penggelaran. Dengan strategi ini,
AS akan mengembangkan sistem pertahanan misil
untuk mempertahankan AS dari serangan sejumlah

117

kecil misil balistik jarak jauh yang diluncurkan oleh
hostile nations, atau, dari peluncuran aksidental atau
unauthorized oleh Russia atau Cina. Strategi tersebut
menginginkan pengembangan teknologi dalam tiga
tahun pertama (1997-2000), dilanjutkan dengan
keputusan penggelaran pada tahun 2000 jika
dimungkinkan secara teknologi dan dibutuhkan karena
ancaman. Jika keputusan penggelaran telah dibuat,
maka penggelaran akan dilakukan dalam periode tiga
tahun kedua (2000-2003). Pengembangan dan
penggelaran dilakukan dengan pembatasan dari ABM
treaty. Akhirnya pada September 2000, presiden
Clinton memutuskan untuk tidak menggelar sistem
pertahanan misil saat itu. Ia menyatakan bahwa belum
cukup yakin dengan teknologi dan efektifitas
operasional keseluruhan sistem NMD untuk menuju
penggelaran.31
Bush memasuki pemerintahan dengan upaya untuk
penggelaran pertahanan misil balistik sebagai salah satu
tujuan keamanan nasional. Pemerintahan Bush
meningkatkan pendanaan untuk program pertahanan
misil, dan memutuskan untuk mundur dari the 1972
ABM Treaty.32
Pada Januari 2002, Sekretaris Pertahanan, Donald
Rumsfeld mengeluarkan memorandum mengenai
Program Pertahanan Misil DOD. Ia menyebutkan
empat prioritas utama pertahanan misil, yaitu: (a) to
defend the USA, deployed forces, allies and friends; (b) to
employ a Ballistic Missile Defense System (BMDS) that
layers defenses to intercept missiles in all phases of their flight;
(c) to enable services to field elements of the overall BMDS as
soon as practicable; (d) to develop and test technologies and
improve the effectiveness of deployed capability by inserting
new technologies as they become available or when the threat
warrants an accelerated capability. Memorandum tersebut
mengarahkan DOD untuk mengembangkan system
pertahanan misil jauh melebihi yang direncanakan
oleh Pemerintahan Clinton.
Pada 2002, Presiden mengumumkan keputusannya
untuk menggelar sistem pertahanan misil balistik
terbatas untuk menghadapi misil jarak jauh pada
2004. Pada 17 desember 2002, Missile Defense Agency
(MDA, sebelum Januari 2002 dikenal sebagai the

118

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

Tabel 4
Japan-US Joint Research Projects

Sumber: Japan Defense Agency, Defense Of Japan: 2004, (Japan: Inter Group Co., 2004)

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

Ballistic Missile Defense Organization) mengumumkan
bahwa telah diperintahkan oleh Bush untuk mulai
menggelar, pada 2004-2005, sistem pertahanan misil
awal untuk menghadapi ancaman misil balistik jangka
pendek; terhadap homeland AS, deployed forces, sekutu
dan sahabat. Pengumuman tersebut merupakan
pertama kali pemerintahan Bush menetapkan
kapabilitas BMD untuk melindungi teritori AS dan
berkomitmen pada satu tanggal penggelaran yang
spesifik.33
PROLIFERASI DUAL-USE TECHNOLOGY JEPANG
Gambaran proliferasi DUT Jepang dapat diperoleh
dengan menguraikan sistem export control nasional yang
diterapkan Jepang. Kathleen Miller dan Caroline
Brooks menjelaskan bahwa: “a national export control
system allows countries to make the decisions whether or not
to export certain defense-related items to particular destinations”.34
Pengaturan ekspor persenjataan Jepang diatur
berdasarkan kebijakan the Three Principles on Arms
Export yang dikeluarkan oleh PM Eisaku Sato pada 21
April 1967, dan dipertegas PM Takeo Miki pada
Februari 1976 yang melarang ekspor persenjataan dan
teknologi militer ke seluruh negara. Di samping itu,
the 1983 Exchange of Notes, pemerintah Jepang
mengizinkan transfer teknologi militer kepada AS
sebagai pengecualian. Sedangkan ekspor dual-use
technology Jepang diatur berdasarkan FEFTCL (the
Foreign Exchange and Foreign Trade Control Law), dan
didukung berbagai ketetapan lainnya baik berupa
Cabinet Order, Ministerial Ordinance, maupun Notifications.
Pemerintah Jepang mulai melaksanakan sistem
pengendalian ekspor sejak 1949 berdasarkan FEFTCL.
Namun demikian, hukum Jepang secara formal
mengizinkan pemerintah untuk membentuk kontrol
hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi Jepang,
yaitu untuk tujuan balance of payment dan stabilisasi
nilai tukar, daripada untuk kepentingan keamanan
nasional.35 Pada 1980, pemerintah mengubah hukum
dan mengumumkan regulasi baru untuk mencakup
‘security’ sebagai pertimbangan pengendalian ekspor

119

teknologi. Kemudian setelah kasus Toshiba,
pemerintah memodifikasi hukum dan regulasi untuk
menambahkan ‘international peace and security’ sebagai
pertimbangan pengendalian ekspor. Sejak 1987,
Jepang mulai mereformasi sistem pengendalian
ekspornya secara radikal. Selain kasus Toshiba,
beberapa peristiwa lain juga turut mempengaruhi
sistem pengendalian ekspor Jepang, antara lain:
peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan
menyerahnya Jepang pada 1945, pengungkapan
program senjata biologi dan kimia Jepang, uji coba
nuklir oleh Perancis dan China pada 1990an, serangan
gas di Tokyo pada Maret 1995, penyelundupan sodium
fluoride dan hydrofluoric acid—yang merupakan bahan
dasar sarin—menuju Korea Utara. Peristiwa tersebut
mendorong Jepang untuk membangun kebijakankebijakan nonproliferasi. Pemerintah Jepang
meningkatkan perhatiannya atas persoalan proliferasi
senjata nuklir, kimia, dan biologi (senjata pemusnah
masal). Hal ini mendorong dilakukannya penyesuaian
sistem pengendalian ekspor sesuai dengan lingkungan
internasional pasca Perang Dingin yang diwarnai
dengan persoalan proliferasi senjata pemusnah masal.36
Meskipun COCOM telah dibubarkan, Jepang tetap
mengadopsi aturan-aturan rezim pengendalian ekspor
yang lainnya untuk membangun sistem pengendalian
ekspor nasionalnya.
Perundangan pengendalian ekspor terkuat sekalipun
akan menjadi lemah tanpa implementasi kebijakan.
Berdasarkan legislasi dan regulasinya, dual use technology
Jepang hanya dapat dimanfaatkan secara legal oleh
militer AS. Eksportir Jepang diizinkan melakukan
transfer teknologi menuju negara selain AS hanya
untuk kepentingan-kepentingan komersil sipil.
Implementasi sistem pengendalian ekspor yang lemah
akan memungkinkan terjadinya penyimpanganpenyimpangan pemanfaatan dual-use technology Jepang
TRANSFER TEKNOLOGI MILITER KE AS
Sejak kebijakan pengecualian 1983, Jepang telah
menetapkan untuk menyediakan 13 item teknologi
militer Jepang kepada AS, mulai dari teknologi portable
surface-to-air missile (SAM) untuk kapal laut AS sampai

120

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

penelitian teknologi persenjataan berkaitan dengan
penelitian teknis bersama (joint technical research) atas
pertahanan misil balistik. Sejauh ini, kedua negara
telah menghasilkan 11 perjanjian proyek penelitian
bersama. Diantara proyek kerjasama tesebut, tujuh
proyek sudah diselesaikan (Lihat Tabel 3). Pada Mei
2003, pemerintah kedua negara menghasilkan
perjanjian untuk the Engineers and Scientists Exchange
Program (ESEP). Kemudian pada Agustus 2003, Jepang
mengirimkan tenaga ahli di bidang teknologi laser ke
AS. Kerjasama perlengkapan dan teknologi militer
antara AS-Jepang sangat berarti untuk mengurangi
biaya dan resiko penelitian dan pengembangan (R&D),
dan kedua negara telah memeriksa kemungkinan untuk
memperluas proyek penelitian bersama mereka.37
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa AS
mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan
Jepang untuk membangun sistem pertahanan misilnya,
baik dalam proyek sistem Theater Missile Defense (TMD)
yang diprogramkan pemerintahan Clinton, maupun
proyek National Missile Defense (NMD) yang
diprogramkan oleh pemerintahan Bush.
PENYIMPANGAN TRANSFER DUT JEPANG
Sejumlah laporan penyimpangan ekspor
menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan pada
sistem pengendalian ekspor nasional Jepang.
Penyimpangan tersebut antara lain: pada akhir 2005,
polisi Jepang merazia Yamaha Motor Co. Ltd. karena
dicurigai berupaya melakukan ekspor ilegal ke Cina
berupa helikopter agrikultur yang dapat dialihkan
untuk tujuan militer; sebuah perusahaan pembuat
mesin di Jepang, dicurigai melakukan ekspor ilegal ke
Iran perlengkapan yang dapat digunakan untuk tujuan
militer pada 1999. Seishin Enterprise Co. mengekspor
alat industri yang juga dapat digunakan untuk
menghasilkan bahan bakar solid untuk misil dalam
sejumlah kesempatan antara 1987 dan 2000; pada
tahun 2003, polisi Jepang menangkap 5 manajer
dealer mobil bekas karena melakukan ekspor ilegal ke
Korea Utara. Mereka mengekspor trailer yang dapat
diubah menjadi peluncur mobile misil balistik; dalam
investigasi IAEA ketika menyelidiki transfer teknologi

nuklir ke Libya, Iran, dan negara lainnya terungkap
bahwa terdapat komponen centrifuge untuk pengayaan
uranium yang dibeli dari perusahaan Jepang melalui
pasar gelap oleh Abdul Qadeer Kahn. Kondisi ini
membuka kemungkinan penyimpangan pemanfaatan
dual-use technology Jepang untuk kepentingan yang dapat
mengancam keamanan nasional AS.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa penolakan kongres AS
atas permohonan Jepang untuk membeli jet tempur F22 Raptor disebabkan oleh faktor-faktor berikut,
yaitu: pertama, adanya kecenderungan kelompok
industri Jepang untuk melakukan pengalihan teknologi
militer menjadi teknologi sipil-komersil; kedua,
kekhawatiran AS pada kemampuan Jepang untuk
menyerap teknologi militer AS; ketiga, adanya sejumlah
pelanggaran rezim pengendalian ekspor oleh Jepang
pada masa Perang Dingin; keempat, lemahnya rezim
pengendalian ekspor pada level multilateral; kelima,
bahwa AS menghadapi ancaman rogue states yang
mengembangkan WMD menggunakan DUT sehingga
menjadi kepentingan AS untuk menghambat
proliferasi DUT; dan keenam, masih terdapatnya celah
pada sistem pengendalian ekspor nasional Jepang yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan transfer
DUT.
Friksi yang terjadi selama perundingan proyek FSX,
serta masih sulitnya bagi AS untuk memperoleh
teknologi militer Jepang untuk membangun sistem
pertahanan misil balistik sementara program tersebut
merupakan kebutuhan teratas AS untuk menghadapi
ancaman jangka pendek, merupakan faktor yang juga
akan mempersulit Jepang untuk memperoleh izin
pembelian F-22 Raptor dari kongres AS. Dengan
melihat pada pengalaman proyek FSX, rencana Jepang
untuk membangun sendiri prototipe jet tempur tidak
akan memperlunak penolakan kongres AS. Rencana
tersebut justru dapat menimbulkan kembali
kekhawatiran AS akan kemungkinan Jepang
mengungguli kapabilitas teknologi militer AS.

Rizky Roza
Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

CATATAN AKHIR
1

2
3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Andrew Latham (1999), Re-Imagining Warfare: The ‘Revolution in
Military Affairs’, dalam Craig A. Snyder (ed.), Contemporary
Security and Strategy, London: MacMillan Press, hlm. 211-213.
Ibid.,
“Japan Still Smulling All Options for Next Fighter Jet, But Pushing
for Restricted US Model”, (2007), International Herald Tribune, July
26,, diakses dari http://www.iht.com/articles/ap/2007/07/26/asia/ASGEN-Japan-US-Fighters.php
Daniel Barclay (2004), The Technology of Japan, MURJ, Volume 11,
hlm. 13.
Sheila A. Smith (1999), The Evolution of Military Cooperation in
the US-Japan Alliance, di dalam Michael J. Green, The US-Japan
Alliance: Past, Present, and Future, Council on Foreign Relations
Press, hal. 74.
Spin-off adalah penerapan teknologi militer pada sektor komersil,
sedangkan spin-on adalah penerapan teknologi komersil sipil pada
sektor militer.
Selama Perang Dingin negara-negara NATO, serta Jepang dan
Australia tergabung dalam COCOM. COCOM berupaya untuk
membatasi ekspor item-item strategis pada Uni Soviet, Negaranegara Eropa Timur dan RRC.
Bates Gill, Kensuke Ebata, & Matthew Stephenson (2000), Japan’s
Export Control Initiatives: Meeting New Challenges, The
Nonproliferation Review, Fall 1996, hlm. 34, lihat juga Cecil H.
Uyehara, The US-Japan Science and Technology Agreement: a
drama in five acts, Ashgate Publishing Ltd., hlm. 100.
Glenn Schweitzer (1994), A Conceptual Approach to Addressing
Dual-Use Technologies: A Framework for U.S.-Russian Dialogue,
dalam National Research Council, Dual-Use Technologies and
Export Control in the Post-Cold War Era, Washington, DC:
National Academy Press,, hlm. 125.
Roger Cliff (2001), The Military Potential of China’s Commercial
Technology, Santa Monica: RAND, hlm. 11.
Yang dimaksud dengan Strategically Dangerous Armaments (SDAs)
antara lain: senjata pemusnah massal (seperti senjata nuklir, kimia,
and biologis), sistem untuk peluncurannya/delivery system
(termasuk ballistic missiles dan advanced strike aircraft), dan senjata
konvensional modern seperti precision-guided munitions (PGMs).
Lihat dalam National Research Council, Op.Cit., hlm.5.
Bates Gill, Kensuke Ebata, & Matthew Stephenson, Op.Cit.,, hlm.
30.
Disebut sebagai Zangger Committee sesuai dengan nama ketua
pertama komite ini, yaitu: Prof. Claude Zangger. Komite ini dikenal
juga sebagai the Nuclear Exporters Committee.
Artikel III.2 menyatakan bahwa setiap negara yang terlibat dalam
NPT tidak boleh mengekspor, secara langsung atau tidak langsung,
material dan perlengkapan nuklir kepada negara non-nuklir (nonnuclear weapon states) yang tidak terlibat NPT, kecuali jika di
bawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Jing-dong Yuan (1994), Nonproliferation Export Controls in the
1990s: Multilateral Regimes, National Policies, and Implications for
Canada’s Defence Industry, Canada: Centre for International
Relations, hlm. 9.
Objectives of the Group, diakses dari http://
www.australiagroup.net/en/agobj.htm tanggal 7 Januari 2006.

18

19

20

21

22
23

24

25

26

27
28
29

30
31
32
33

34

35

121

Diakses dari http://www.mtcr.info/english /objectives.html tanggal 8
Januari 2006.
NSS merupakan laporan yang disusun setiap pemerintahan atas
permintaan the Goldwater-Nichols Act of 1986, untuk
menyerahkan laporan pada Kongres yang menunjukkan sasaran
komprehensif keamanan strategis bangsa.
QDR berisi eksaminasi fundamental dan komprehensif atas
kebutuhan pertahanan AS: ancaman potensial, strategi, struktur
kekuatan, postur kesiagaan, program modernisasi militer,
infrastruktur pertahanan, dan elemen program pertahanan lainnya.
QDR disusun atas permintaan the Military Force Structure Review
Act.
David Mutimer (1999), “Beyond Strategy: Critical Thinking and the
New Security Studies”, dalam Craig A. Snyder (ed.), Contemporary
Security and Strategy, London: MacMillan Press, hlm. 77.
Ibid.,
Barry Buzan (1991), People, State, and Fear: An Agenda for
International Security