Pengaruh Perubahan Kebijakan keamanan Nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 Terhadap Hubungan Aliansi Pertahanan Jepang-Amerika Serikat

(1)

The Influence of Security Policy Changes of Japan in National Defense Program Guidelines 2005 toward Japan – United States Defense Alliance Relations

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Fernando J. Tirie 44304028

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

BANDUNG

2009


(2)

v

anugerah, dan penyertaan-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Perubahan Kebijakan Keamanan Nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 terhadap Hubungan Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan

yang memerlukan penyempurnaan baik dalam cara penulisan maupun cara

mengemukakan masalah serta pembahasan-nya. Oleh karena itu, dengan penuh

kerendahan hati peneliti menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti mendapatkan bantuan, dorongan,

saran, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

peneliti ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Papa dan Mama yang selalu memberikan semangat, kasih sayang dan

bantuan dana ^ sejak jauh hari bahkan dari awal masuk kuliah.

2. Eric Alexander Tirie, adikku yang baik hati dan pengertian, yang selalu

bersedia menemani dan tidak pernah bosan direpotkan selama pembuatan

skripsi ini.

3. Bapak Prof.Dr.J.M Papasi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Komputer Indonesia.

4. Ibu Dr.Hj.Aelina Surya, Dra., Pembantu Rektor III Universitas Komputer


(3)

vi skripsi.

6. Ibu Yesi Marince, S.IP., M.Si sebagai Pembimbing Utama, yang telah

memberi masukan dan waktu-nya kepada peneliti hingga skripsi ini

memasuki tahap akhir.

7. Bapak Budi Mulyana, S.IP., sebagai Dosen Penguji yang telah bersedia

memberikan saran dan referensi buku.

8. Ibu Dewi Triwahyuni, S.IP., M.Si sebagai Dosen Penguji, yang telah

membantu memberikan saran dan pinjaman buku.

9. Ibu Sylvia Octa Putri, S.IP sebagai Dosen Penelaah, yang telah dengan

sabar memberikan masukan kepada peneliti.

10.Teh Uwi’, Dwi Endah Susanti, SE. sebagai sekretariat Jurusan Hubungan

Internasional yang baik hati dan telah ‘rela’ direpotkan sejak ujian usulan

penelitian.

11.Teman-teman Rangers, Hestu Adi Nugroho, Eyga Gagah Trisyandi,

Budhiono, Yusron Karta Muslihin, dan Peres Amping Kadembo, yang

selalu memberikan dukungan, canda tawa, dan persahabatan yang indah

kepada peneliti.

12.Lisa Audria Lestari, yang selalu mendampingi peneliti dan telah

memberikan bantuan dan semangat, serta perhatian dan kasih sayangnya


(4)

vii

Arry, Arlinda Mayasari, Bambang Irawan, atas perjuangan dan sikap lebay

kita selama masa pembuatan skripsi.

14.Seny Febriani, Yuli “Tacchi” Handayani, Efrilia Arwati, dan Nurhayati

Lesnussa, Angelina Celly, Anggi Wulandari, Astutiningsih, Dewan

Febrian, Dodi Rahman, Fenti Indriani, Ganjar Nugraha, Herlambang

Wisnu, Oktaviandi Prasetyo, Rafika Noviany, Ricky Pratama, Vitasya

Wowor, Wisnu Imam Mulyadi, Suryadi Santana, Janu Soares, Roy

Mossel, Widya Herlastia, Eka Krisman, Leojevildo Da Cruz, Saozinha

Amaral, atas kebersamaannya dalam tahun-tahun kuliah yang indah

sebagai angkatan 2004 HI UNIKOM.

15.Ira Ratnati, Andi Hertanto, Eirien Vestalia, Neneng Harini, Susi

Aritonang, Tri Farida, atas dukungan, keceriaan, dan perhatiannya selama

masa lebay skripsi ^.

Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan dan pembaca. Semoga

Tuhan Yang Mahakuasa membalas semuanya dengan lebih baik dan sempurna.

Semoga skripsi ini dapat menjadi sesuatu yang memiliki manfaat dan kegunaan

bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan memerlukannya.

Bandung, Februari 2009


(5)

i

NIM : 44304028

PROGRAM STUDI : ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

JUDUL : PENGARUH PERUBAHAN KEBIJAKAN

KEAMANAN NASIONAL JEPANG DALAM NATIONAL DEFENSE PROGRAM

GUIDELINES 2005 TERHADAP

HUBUNGAN ALIANSI PERTAHANAN JEPANG - AMERIKA SERIKAT

Disahkan : Bandung, 2009

Menyetujui : Pembimbing

NIP. 4127 35 32 003 Yesi Marince S.IP.,M.Si

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ketua Program Studi dan Ilmu Politik UNIKOM Ilmu Hubungan Internasional

Prof. Dr. J.M. Papasi

NIP. 4127 70 00 011 NIP. 4127 35 32 002 Andrias Darmayadi, S.IP.,M.Si.


(6)

ii Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fernando Jacobus Tirie

NIM : 44304028

Judul Skripsi : “PENGARUH PERUBAHAN KEBIJAKAN KEAMANAN NASIONAL JEPANG DALAM NATIONAL DEFENSE PROGRAM GUIDELINES 2005 TERHADAP HUBUNGAN ALIANSI PERTAHANAN JEPANG–AMERIKA SERIKAT”

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri. Adapun referensi atau kutipan (baik kutipan langsung maupun tidak langsung) dari hasil karya ilmiah orang lain tiap-tiap satunya telah saya sebutkan sumbernya sesuai etika ilmiah. Apabila di kemudian hari skripsi ini terbukti meniru (plagiat) dan terbukti karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya, saya bersedia menerima sanksi penangguhan gelar kesarjanaan dan menerima sanksi dari lembaga yang berwenang.

Bandung, Februari 2009 Pembuat pernyataan

NIM: 44303006 FERNANDO J. TIRIE


(7)

iii

2005 Terhadap Hubungan Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat. Bandung: Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, 2008.

Perubahan lingkungan internasional pasca-Perang Dingin telah membawa kecenderungan-kecenderungan baru yang dianggap dapat mengancam keamanan nasional Jepang. Kecenderungan tersebut meliputi pembangunan kapabilitas militer yang dilakukan Cina, proliferasi nuklir Korea Utara dan ancaman terorisme internasional, selain itu, meningkatnya tekanan internasional khususnya Amerika Serikat terhadap peran aktif keamanan Jepang kemudian menjadi dorongan bagi Jepang yang kemudian memutuskan untuk merevisi Garis Besar Program Pertahanan Nasional (National Defense Program Guidelines/NDPG)

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dijelaskan dengan menggunakan metode penjabaran dan metode analisis. Sumber-sumber penjelasan menggunakan beberapa variabel yang meliputi kapasitas interaksi dan struktur proses-proses internal objek penelitian. Analisa sistematis penelitian mengacu pada sektor analisis hubungan internasional seperti hubungan aliansi, kapabilitas militer ofensif dan defensif, serta persepsi ancaman dan penafsiran ancaman dari para aktor terhadap aktor lainnya. Sedangkan aspek sektor politik meliputi hubungan otoritas, legitimasi politik serta sifat hubungan antar-aktor apakah bersifat hierarki atau setara, hipotesis yang kemudian dikemukakan adalah:

Perubahan kebijakan keamanan nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 berpengaruh positif terhadap hubungan aliansi pertahanan Jepang –Amerika Serikat yang ditandai dengan munculnya potensi bertambahnya wilayah kerja baru bagi aliansi seperti kerjasama pertahanan peluru kendali balistik sehingga dapat memberikan prospek kelanjutan hubungan bagi aliansi Jepang – Amerika Serikat.

Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan keamanan nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 bukanlah sebuah gambaran bagi kebangkitan militerisme Jepang dan keinginan Jepang untuk menjadi kekuatan dominan, bahkan NDPG 2005 memberikan indikator-indikator baru seperti arti penting hubungan Aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat khususnya dalam kerjasama pertahanan peluru kendali balistik, sebagai penunjang utama perdamaian dan keamanan nasional Jepang sehingga memberikan pengaruh atas munculnya prospek terhadap hubungan aliansi pertahanan Jepang – Amerika Serikat.

Kata Kunci : National Defense Program Guidelines 2005, Aliansi Pertahanan, Kebijakan Keamanan, Kerjasama Pertahanan Peluru Kendali Balistik.


(8)

iv

Japan – United States Defense Alliance Relations. Bandung: Departement of Internasional Relations, Faculty of Social and Political Science, Universitas Komputer Indonesia, 2009.

An international setting exchange after Cold War has bought new tends that can led to threat of Japan national security. These tends involves military capability development in China, nuclear proliferation in North Korea, and international terrorism risk, as well as increase international pressure especially United States in active participation for Japan security and support them to makes decision o revision of National Defense Program Guidelines (NDPG).

The review problem in this research descibed by description and analysis methods. The resources comes from several variables involves interaction capability and structure of international processes of research object. The systematically analysis of research depends on analysis sector related to the international issues such as alliance relations, offensive and defensive military capabilities, and threat perception and assessment of the threat from or to the actors. Meanwhile, political sector aspect involves authority connection, political legitimation and inter-correlation of actors, whether in hierarchy or equal, the presented hypothesis is: The changes of Japan natioinal security policy in National Defense Program Guidelines 2005 gives positive influence in Japan – United States defense alliance relations which indicate with emerge potention of new work area for the alliance such as ballistic missile defense cooperation with the result as give a prospect for Japan – United States alliance continuity.

By obtaneined data it is concluded that Japan national security politcy changes in National Defense Program Guidelines 2005 is not description of Japanese militarism advent and demand to becomes the dominant power, even in NDPG 2005 that gives new indicators as an important meaning in defense alliance with US especially in ballistic missile defense, as main support of the peace and Japan national defense that gives influence to result in Japan – United States defense alliance relations prospect.

Keywords: National Defense Program Guidelines 2005, Defense Alliance, Security Policy, Ballistic Missile Defense Cooperation.


(9)

viii

ABSTRAK...

ABSTRACT...

KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI...

DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah...

1.2 Identifikasi Masalah………...

1.3 Pembatasan Masalah………...

1.4 Perumusan Masalah………...

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………...

1.5.1 Tujuan Penelitian………...

1.5.2 Kegunaan Penelitian………...

1.6 Kerangka Pemikiran, Hipotesis dan Definisi Operasional…...

1.6.1 Kerangka Pemikiran…………...

1.6.2 Hipotesis………...

1.6.3 Definisi Operasional………...

1.7 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data………….…... 1 13 14 15 15 15 16 16 16 27 27 29 32 33 iii iv v viii xiii xiv xv


(10)

ix

1.7.1 Metode Penelitian...

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data...

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian...

1.8.1 Lokasi Penelitian...

1.8.2 Waktu Penelitian...

1.9 Sistematika Penulisan...

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Internasional...

2.2 Paradigma Realis...………..…...

2.2.1 Asumsi Pokok Realisme...

2.2.2 Strategi Kebijakan Defensif dan Ofensif Negara...

2.3 Kerjasama Internasional...

2.4 Konsep Pengaruh...

2.5 Konsep Keamanan...

2.5.1 Dimensi Keamanan dari Konsep Tradisional Menuju Konsep

Non-Tradisional………...

2.5.2 Pendekatan Konsep Keamanan Tradisional...

2.6 Kebijakan Luar Negeri...

2.6.1 Aliansi Pertahanan...

2.6.2 Kebijakan Keamanan...

2.7 Politik Luar Negeri...

2.7.1 Kepentingan Nasional...………... 33 35 36 36 39 41 42 44 44 45 48 50 50 51 29 30 30 30 31 31


(11)

x

BAB III : OBJEK PENELITIAN

3.1. Kebijakan Keamanan Jepang...

3.1.1. Kepentingan Nasional Jepang...

3.1.2. Kebijakan Keamanan Jepang...

3.1.2.1. Tujuan Kebijakan Keamanan Jepang...

3.1.2.2. Dasar-Dasar Kebijakan Keamanan Jepang...

3.1.2.2.1. Konstitusi dan Hak Membela Diri...

3.1.2.2.2. Kebijakan Dasar untuk Pertahanan Nasional...

3.1.2.2.3. Penyangga Kebijakan Keamanan...

3.1.2.2.3.1. Kapabilitas Pertahanan...

3.1.2.2.3.2. Perjanjian Keamanan Jepang

dengan Amerika Serikat...

3.1.2.3. Lembaga Pembuat Kebijakan Pertahanan Jepang...

3.1.2.4. National Defense Program Guidelines...

3.1.2.4.1. National Defense Program Guidelines 1976...

3.1.2.4.2. National Defense Program Guidelines 1995...

3.1.2.4.3. National Defense Program Guidelines 2005...

3.2.Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat...

3.2.1.Sejarah Perkembangan Aliansi...

3.2.1.1. Masa Pemerintahan Okupasi...

3.2.1.2. Masa Hubungan Bilateral yang Fluktuatif...

3.2.1.3. Penandatanganan Traktat Keamanan Jepang – Amerika

Serikat... 60 61 61 62 63 66 67 68 69 74 76 76 77 84 79 53 53 54 55 57 57


(12)

xi

3.2.1.4. Aliansi Pertahanan Resmi...

3.2.1.5. Pasca-Perang Dingin...

3.2.2. Dasar-Dasar Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat…..…...

3.2.2.1. Traktat Aliansi Keamanan...

3.2.2.2. Perjanjian dan Hukum Tambahan...

3.2.3.Tantangan dalam Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat...

3.2.3.1. Legalitas Hubungan dan Aktivitas Aliansi Pertahanan

Jepang – Amerika Serikat dalam Konstitusi Jepang...

3.2.3.2. Ketimpangan Peran Timbal Balik Jepang dan Amerika

Serikat...

3.2.3.3. Dukungan Domestik Jepang terhadap Aliansi Pertahanan....

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Perubahan Kebijakan Keamanan Jepang dalam National Defense Program

Guidelines 2005………...…………... 4.1.1. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Kebijakan Keamanan Jepang

dalam National Defense Program Guidelines 2005……...…… 4.1.1.1. Tantangan Keamanan Eksternal……...… 4.1.1.2. Perubahan Politik Domestik……...…… 4.1.2. Bentuk-Bentuk Perubahan Kebijakan Keamanan Jepang dalam

National Defense Program Guidelines 2005………...…...……… 94

96

98

100

100

104

109 80

81

86

86

88

93


(13)

xii

4.1.3.Indikator Positif pada Perubahan Kebijakan Keamanan Nasional

Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 yang

Dapat Memberikan Pengaruh Terhadap Hubungan Aliansi Jepang

– Amerika Serikat...

4.1.3.1. Pertahanan Peluru Kendali Balistik...

4.1.4.Prospek Aliansi Jepang – Amerika Serikat dengan Adanya

Perubahan Kebijakan Keamanan Nasional Jepang dalam National

Defense Program Guidelines 2005………...

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan………...…………

5.2. Saran………...…………

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN...

130

132

133

137 115

118


(14)

xiii

Tabel 2.1 Katagorisasi Kebijakan Luar Negeri ... 47

Tabel 3.1 Perkembangan dalam Traktat Keamanan Jepang – Amerika

Serikat ... 63

Tabel 3.2 Perjanjian Bilateral Keamanan Jepang – Amerika Serikat ... 90

Tabel 3.3 Hukum Domestik Pendukung Aliansi Pertahanan Jepang –

Amerika Serikat ... 91

Tabel 4.1 Perbandingan Pemetaan Kognitif National Defense Program

Guidelines 1976, 1995, dan 2005 ... 112

Tabel 4.4 Pokok Kerjasama Jepang – Amerika Serikat ... 116

Tabel 4.5 Fungsi dan Wilayah Kerja serta Contoh Pokok Kerjasama


(15)

xiv

Gambar 3.2 Struktur Departemen Pertahanan Jepang ... 64

Gambar 4.1 Tahap-Tahap Dialog Strategis Jepang – Amerika Serikat ... 117

Gambar 4.2 Kerjasama Pertahanan Peluru Kendali Balistik Jepang –

Amerika Serikat ... 119

Gambar 4.3 Pengaturan Ulang Pasukan Militer Amerika Serikat di Jepang .... 120

Gambar 4.4 Pembangunan Kapabilitas Pertahanan Peluru Kendali Balistik

Jepang ... 124

Gambar 4.5 Kerjasama Riset Gabungan dalam Peluru Kendali Aegis Jepang

– AS untuk Sistem Pertahanan Peluru Kendali Balistik ... 125


(16)

xv

Lampiran 2 Garis Besar Program Pertahanan Nasional Tahun Fiskal 2005

(terjemahan) ... 156

Lampiran 3 Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penandatanganan pernyataan menyerah Jepang terhadap pihak Sekutu pada

tahun 1945 telah menjadi tanda berakhirnya Perang Dunia II. Dengan berakhirnya

perang besar tersebut, dunia kemudian memasuki era Perang Dingin yang bersifat

bipolar dengan indikasi kemunculan dua kekuatan adidaya Amerika Serikat (AS)

dan Uni Soviet yang diwarnai oleh kompetisi untuk unjuk kekuatan persenjataan.

Berakhirnya Perang Dingin telah memberikan perubahan terhadap bentuk

sistem internasional yang kemudian cenderung bersifat multipolar. Dalam sistem

multipolar ini terjadi semacam penyebaran kekuatan pada negara-negara besar

lainnya seperti Jerman, Cina, Perancis, Inggris, Uni Eropa, dan Jepang.

Bersamaan dengan hal tersebut dunia juga mengalami penurunan stabilitas dalam

banyak hal serta kemunculan isu-isu internasional baru diluar isu keamanan yang

sama penting pengaruhnya bagi perdamaian dan stabilitas seperti; Demokratisasi,

lingkungan hidup, hak azasi manusia, proliferasi nuklir, dan terorisme.

Munculnya isu-isu hubungan internasional baru pasca-Perang Dingin dalam

perkembangannya juga mendorong semua negara untuk mendefinisikan kembali

kepentingan nasional dan kebijakan luar negerinya masing-masing, termasuk

mendefinisikan ancaman-ancaman yang dapat membahayakan keamanan

nasional-nya. Upaya yang dilakukan oleh negara dalam melindungi keamanan

nasional-nya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya yang


(18)

keamanan-pertahanan tegas dengan diiringi kekuatan militer kuat guna menangkal segala

bentuk ancaman yang datang. Kekuatan militer yang dibangun juga dapat

diartikan sebagai salah satu upaya negara untuk menciptakan stabilitas dan

perdamaian.

Salah satu negara yang sedang melakukan peninjauan kembali atas

kebijakan keamanan dan pertahanannya adalah Jepang. Berbagai perkembangan

baru yang terjadi dalam lingkungan internasional selalu berhasil ditanggapi

Jepang dengan merumuskan kebijakan luar negeri dan pertahanan-keamanan yang

menggambarkan perimbangan antara tuntutan kepentingan internal seperti

kepentingan partai politik serta tuntutan eksternal terutama dari sekutu-nya

Amerika Serikat. Formulasi tersebut dapat dilihat dari lahirnya Doktrin Yoshida

pada periode pasca Perang Dunia II, tiga prinsip non-nuklir pada tahun 1960-an,

kebijakan economic security dan omnidirectorial diplomacy pada pertengahan

tahun 1970-an sebagai akibat oil shock, comprehensive security concept pada

tahun 1980-an, dan kebijakan International Cooperative Initiative pada tahun

1988 (Prasetyono, 1991:242).

Berbagai pencapaian dan formulasi kebijakan luar negeri yang berorientasi

ekonomi Jepang beberapa dekade terakhir telah memberikannya status negara

maju dengan tingkat kekuatan ekonomi yang kuat. Namun hal tersebut pada

dalam perkembangannya juga dirasakan bersifat tidak sepadan karena status

Jepang sebagai negara yang kuat dalam ekonomi tidak diiringi dengan status

politik dan militer yang kuat untuk mengimbangi peran serta-nya dalam politik


(19)

sekaligus kurcaci politik” (Irsan, 2007:76). Hal tersebut kemudian ditanggapi

Jepang dengan merevisi secara bertahap kebijakan luar negeri-nya.

Bagi Jepang, baik itu pemerintah maupun masyarakatnya, melakukan

sebuah peninjauan kembali terhadap kebijakan luar negeri untuk tujuan

penyesuaian peran ekonomi dan politik merupakan langkah yang dilematis.

Bersifat dilematis karena untuk melakukan penyesuaian tersebut, berarti sama

dengan melakukan peningkatan atau perluasan arah kebijakan serta daya tawar

dari peran pertahanan-keamanan-nya. Hal ini disebabkan karena kebijakan luar

negeri dan kebijakan pertahanan-keamanan Jepang merupakan dua kebijakan

yang selalu selaras. Penyesuaian dalam kebijakan pertahanan-keamanan kemudian

menjadi tantangan tersendiri karena hal tersebut berhubungan dengan larangan

konstitusi-nya serta pandangan psikologis masyarakat Jepang yang pada

umumnya menganggap tabu topik militer.

Larangan konstitusi dan pandangan psikologis masyarakat Jepang berkaitan

dengan sejarah mereka yang memiliki tradisi militer agresif sehingga berdasarkan

latar belakang tersebut serta status-nya sebagai negara yang kalah dalam Perang

Dunia II, Pasal 9 dalam Konstitusi 1947 kemudian dibuat atas rancangan tentara

Sekutu khususnya Amerika Serikat (AS). Didalam-nya dikatakan bahwa:

“Bersungguh-sungguh mencitakan perdamaian internasional yang dilandasi oleh hukum dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya tidak mengakui perang sebagai hak kedaulatan negara dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai pemecahan sengketa.

Untuk melengkapi maksud paragraf sebelumnya, kekuatan darat, laut, dan udara, serta aspek potensial perang lainnya, tidak akan pernah dibangun. Hak beligeren negara tidak akan diakui.” (Pasal 9 Konstitusi Jepang, dikutip dari Irsan, 2007:87)


(20)

Berdasarkan pasal 9 dalam Konstitusi 1947 tersebut Jepang kemudian tidak

diperkenankaan untuk memiliki kapabilitas dan melakukan aktivitas militer dan

berdasarkan Konstitusi 1947 pula Jepang kemudian melandaskan pertahanan

internal dan eksternal-nya kepada Amerika Serikat.

Selama masa Perang Dingin kehadiran pasukan Uni Soviet di Timur Jauh

kemudian mengharuskan Jepang melakukan penafsiran fleksibel yang didasari

pada hak kedaulatan negara atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban secara

mandiri sehingga atas dasar persetujuan dengan AS, Jepang akhirnya membentuk

satuan polisi nasional yang dalam berkembangannya berubah menjadi satuan

militer Pasukan Bela Diri (Self Defense Forces/SDF). Berdasarkan penafsiran

fleksibel pula Jepang kemudian dapat tetap melakukan aktivitas

pertahanan-keamanan-nya seperti pengelolaan dan pendanaan SDF, pengiriman Pasukan Bela

Diri ke luar negeri, serta mengadakan hubungan aliansi pertahanan meskipun

secara keseluruhan semuanya terbatas untuk kepentingan perdamaian dan

pertahanan diri.

Perumusan kebijakan pertahanan-keamanan Jepang didasari pada

perkembangan lingkungan strategis regional dan internasional serta persepsi

ancaman nasional dengan berpedoman pada Garis Besar Program Pertahanan

Nasional (National Defense Program Guidelines/NDPG), yang proses

implementasi dan target pencapaian tujuannya disesuaikan pada situasi keamanan

internasional dan kebutuhan Jepang. NDPG tersebut dikeluarkan oleh Dewan


(21)

Kebijakan Pertahanan, Biro Keuangan, serta Biro Peralatan dan Perlengkapan dan

lembaga-lembaga survei masyarakat.

NDPG merupakan perpanjangan dari Kebijakan Dasar untuk Pertahanan

Nasional (Basic Policy for National Defense) yang diadopsi oleh Dewan

Keamanan nasional dan kemudian disetujui oleh Kabinet. Kebijakan Dasar untuk

Pertahanan Nasional ini sebelumnya digunakan sebagai promosi untuk kerjasama

internasional dan sebagai usaha untuk mewujudkan perdamaian dan pembangunan

dasar keamanan nasional untuk tujuan kesejahteraan publik. Kebijakan ini dalam

perkembangannya menjadi faktor penentu pembangunan kapabilitas pertahanan

yang selaras dengan kebijakan luar negeri dan perjanjian keamanan Jepang

dengan Amerika Serikat.

NDPG pertama kali disusun pada tahun 1976 dan versi pertama NDPG

tersebut memprioritaskan pada persiapan ancaman dalam skala kecil seperti

infiltrasi, dan deterensi kegiatan mata-mata khususnya kemungkinan ancaman dari

Uni Soviet. Pada NDPG pertama ini, pemerintah Jepang mencantumkan rencana

untuk melakukan penambahan kekuatan pertahanan yang difokuskan untuk

memaksimalkan peran pertahanan diri, menambah fungsi SDF. Secara strategis

NDPG 1976 memberikan landasan bagi diutamakannya kontrol sipil atas militer,

efektivitas kerjasama antar agensi, keabsahan operasional SDF, serta didalamnya

juga dicantumkan rencana pengembangan kerjasama Jepang dengan Amerika

Serikat dengan memadukan strategi keamanan umum kedua negara yang


(22)

Setelah melakukan peninjauan lebih lanjut, NDPG 1976 dinilai tidak

memberikan dasar yang cukup jelas mengenai perencanaan bilateral menghadapi

kemungkinan situasi di kawasan atau memberikan dasar hukum bagi Jepang

dalam perencanaan menghadapi kemungkinan situasi (bahkan untuk pertahanan

Jepang) atau konsensus antar departemen dan kementerian yang

bertanggung-jawab dalam pemerintahan untuk perencanaan situasi kemungkinan (Green,

2005:4). Untuk menjawab hal tersebut, pada tahun 1995 pemerintah Jepang

melakukan penambahan dalam NDPG 1995. Walaupun konsep Kekuatan

Pertahanan Dasar tidak diubah, NDPO 1995 telah memperhatikan faktor-faktor

seperti perubahahan situasi internasional dan peningkatan ekspektasi terhadap

peran SDF baik dari kalangan nasional maupun internasional Jepang, serta

membuat sebuah tinjauan ulang mengenai bobot dan fungsi dari kapabilitas

pertahanan Jepang (Green, 2005:6). Secara umum NDPG 1995 difokuskan pada

pemutakhiran kapabilitas militer Jepang serta penambahan aspek legal bagi

kemungkinan diadakannya latihan militer bersama dengan Amerika Serikat.

Pada akhir tahun 2004, pemerintah Jepang kembali melakukan peninjuan

terhadap NDPG sebelumnya. Dalam peninjauan tersebut diusulkan agar Jepang

sebaiknya melakukan peningkatan kapabilitas serta beberapa revisi mengenai

kebijakan pertahanannya. Laporan rekomendasi dari Dewan Kapabilitas

Per-tahanan dan Keamanan (Komisi Araki) yang merupakan sebuah kelompok

penasehat pribadi perdana menteri diberikan kepada Perdana Menteri Junichiro


(23)

mengenai pemutakhiran kapabilitas pertahanan Jepang yang kemudian menjadi

dasar bagi garis besar pertahanan yang baru, dan mulai diproses pada akhir 2004.

Berdasarkan langkah-langkah peninjauan kembali pada tahun 2004,

pemerintah Jepang pada tahun 2005 kemudian mengeluarkan National Defense

Program Guideline 2005. NDPG 2005 mencakup Penyesuaian-penyesuaian

signifikan mengenai peran militer pasukan Jepang di luar negeri seperti penegasan sifat multifungsional, fleksibilitas, dan efektivitas pasukan, yang dapat disiapkan dengan segera dalam misi multiguna dengan perlengkapan teknologi terkini dan kemampuan intelijen. Selain itu NDPG 2005 juga menjadi dasar persiapan proses

transformasi Badan Pertahanan Jepang (Japan Defense Agency) menjadi

Departemen Pertahanan (

http://www.globalsecurity.org/military/world/japan-/jda.htm diakses tanggal 23 September 2008 09.15 WIB).

Kompleksitas keamanan yang paling berpengaruh bagi Jepang merupakan

aktivitas maupun peristiwa yang tengah berlangsung di sekitar maupun di luar

wilayah nasional dan berpotensi mempengaruhi eksistensi kehidupan nasionalnya.

Hal tersebut secara tegas disebutkan juga dalam NDPG 2005 yang meliputi:

pengembangan senjata nuklir Korea Utara, modernisasi kekuatan militer di

beberapa negara Asia Timur khususnya Cina, penyelesaian masalah Selat Taiwan

yang tidak mengalami perkembangan dan semakin maraknya aksi terorisme di

lingkungan internasional (National Defense Program Guidelines FY 2005,

2005:2). Pencantuman secara spesifik nama negara dalam NDPG merupakan hal

baru karena sebelumnya Jepang hanya mencantumkan kalimat “lingkungan di


(24)

Usulan bahwa Jepang akan meningkatkan kapabilitas militer-nya serta

pencantuman nama negara sebagai ancaman kemudian mengundang perhatian

besar Cina serta negara-negara Asia Timur lainnya yang telah dijajah Jepang

selama Perang Dunia II. Hal tersebut dikhawatirkan akan semakin mengganggu

hubungan diplomatik Jepang dengan negara-negara di Asia Timur karena

sebelumnya hubungan Jepang dengan Cina dan negara-negara tetangga-nya di

Asia Timur telah mengalami ketegangan dengan adanya kunjungan rutin pejabat

tinggi Jepang ke kuil Yasukuni yang merupakan kuburan bagi para

prajurit-prajurit militer Jepang, termasuk para petinggi militer yang divonis sebagai

penjahat perang pada saat Perang Dunia II.

Bagi Jepang, hal yang menjadi faktor utama dalam menentukan kebijakan

pertahanan-nya sejak abad ke-19 selain Konstitusi 1947 adalah letak geografis.

Berdasarkan faktor tersebut maka dapat dijelaskan arti strategis semenanjung

Korea serta kepulauan-kepulauan yang mengelilingi Jepang sehingga menjadi

perhatian yang utama-nya karena kondisi tersebut dalam keadaan tertentu seperti

apabila berada ditangan kekuatan yang bersahabat keseluruhan negara tersebut

merupakan lingkaran pertahanan dalam bagi Jepang, sedangkan di tangan

kekuatan yang bermusuhan mereka merupakan ancaman pengepungan dan

penyerbuan (Weinstein, 1971:2).

Secara umum dalam setiap NDPG khususnya NDPG 2005 diarahkan untuk

menghindari serta meminimalisasi dampak ancaman yang diarahkan pada Jepang

serta mendukung aliansi pertahanan Jepang – AS. Sebelumnya pada tahun 1960


(25)

Treaty of Mutual Cooperation and Security. Bentuk aliansi dikukuhkan kemudian

meskipun bentuk aliansi tersebut tidak seperti bentuk aliansi tradisional dimana

antara negara-negara anggotanya secara inisiatif melakukan kesepakatan. Aliansi

antara Jepang dan AS pada awalnya dilakukan atas desakan AS dan Jepang

sebagai negara yang kalah dalam perang harus menyetujui hal tersebut.

Sejak dibentuknya aliansi, kerjasama antara kedua negara tidak mempunyai

dimensi global dalam masalah keamanan internasional atau secara spesifik tidak

memberikan kerangka yang jelas mengenai usaha Jepang dalam memelihara

kepentingan keamanannya di luar batas nasional, NDPG 2005 memberikan

indikator positif terhadap kerjasama pertahanan Jepang dan Amerika Serikat

dengan mencantumkan nilai penting aliansi, penawaran kerjasama yang lebih

efektif dalam pertahanan peluru kendali balistik dan persiapan integrasi pasukan

kedua negara dalam misi-misi keamanan internasional (National Defense

Program Guidelines FY 2005, 2005:4).

Aliansi keamanan Jepang – Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu

aliansi keamanan tersukses dalam sejarah abad ke-20 (Okimoto, 1996:2). Selama

lebih dari setengah abad aliansi keamanan Jepang – AS telah bertahan dan

menjadi salah satu pilar sistem keamanan dunia, khususnya Asia bersamaan

dengan aliansi Korea Selatan – AS. Berbeda dengan Eropa, Asia merupakan

kawasan yang hanya memiliki beberapa perkembangan dalam aliansi pada 500

tahun terakhir (Irsan, 2005:72). Kekuatan besar di Asia Timur laut yaitu Cina,

Jepang, dan Rusia tidak memiliki struktur aliansi yang kokoh dari sekian banyak


(26)

Kolaborasi Jepang – AS sangatlah penting artinya bagi Jepang yang sangat

menggantungkan kemakmuran ekonominya pada stabilitas kawasan Asia Pasifik.

Pembagian tanggung jawab keamanan sejak tiga dasawarsa terakhir telah

memberikan kesempatan bagi Jepang untuk berkembang secara ekonomi. Selain

itu perpanjangan deterensi dan payung nuklir AS yang didukung oleh traktat

merupakan jaminan terhadap potensi ancaman nuklir atau serangan konvensional

dari negera-negara tetangga Jepang seperti Cina dan Korea Utara. Kekuatan AS di

Jepang berperan sebagai alat pendeteksi stabilitas kawasan Asia Timur, supremasi

armada laut AS juga menjamin keamanan jalur laut di Laut Cina Selatan yang

sangat vital bagi perekonomian Jepang (Taoka, 1996:66-67).

Traktat aliansi saat ini dapat dilihat sebagai jaminan terhadap stabilitas

kawasan dan bukan lagi sebagai usaha untuk menghadapi potensi ancaman seperti

pada masa Perang Dingin. Pertimbangan strategis ini dan adanya reorientasi

kebijakan Partai Sosialis Jepang (Japan Sosialist Party/JSP – telah bergabung

dengan partai sayap kanan, Liberal Democratic Party/LDP) pada tahun 1993

untuk mendukung traktat agar terus berlanjut yang disusul dengan rekonfirmasi

traktat antara presiden AS Bill Clinton dan perdana menteri Jepang Ryutaro

Hashimoto pada April 1996.

Arti penting aliansi keamanan dengan AS dibuktikan oleh Jepang dengan

mengeluarkan beberapa dukungan hukum. Selain hukum domestik, Jepang dan

AS menandatangani beberapa perjanjian yang menerangkan dan

men-dokumentasikan peran dan fungsi kedua pihak dalam kerjasama menghadapi


(27)

perjanjian yang direvisi secara periodik untuk menjamin kelancaran implementasi

terhadap ketetapan traktat adalah: Perjanjian Status Kekuatan (Status of Force

Agreement), Perjanjian Langkah-Langkah Khusus (Special Measure Agreement)

dan Acquisition and Cross-Servicing Agreement (ACSA) (Irsan, 2007:71).

Pada bulan Desember 2003, dibentuk Komite Keamanan Konsultatif

Amerika Serikat – Jepang (Security Consultative Committee) yang dikenal juga

sebagai pertemuan “2+2”, antara sekretaris negara serta sekretaris pertahanan

masing-masing negara. Pertemuan menghasilkan kesepakatan untuk melakukan

peninjauan ulang terhadap strategi nasional, misi, serta struktur pasukan dari

angkatan bersenjata kedua negara. Pertemuan pada tahun 2005 kemudian

menghasilkan pernyataan bersama mengenai strategi global umum bersama, yang

termasuk didalamnya mendukung stabilitas regional seperti unifikasi Korea

Selatan dengan Korea Utara. Sejak disepakatinya pernyataan bersama, kedua

negara telah terlibat dalam negosiasi yang lebih intensif guna implementasi lebih

lanjut. (Irsan, 2007:79)

Kebanyakan kalangan masyarakat Jepang memandang bahwa aliansi dengan

Amerika Serikat masih bernilai penting, hal tersebut tidak hanya dimaksudkan

untuk kepentingan pertahanan Jepang, akan tetapi juga bagi perdamaian dan

stabilitas regional dan internasional. Bertolak belakang dengan pandangan

sebelumnya, kritik serta tantangan-tantangan mengenai aliansi tersebut juga

banyak bermunculan, terutama mengenai kecenderungan Jepang untuk semakin

terlibat dalam strategi kepentingan Amerika Serikat, nilai signifikan dan netralitas


(28)

disepakati kedua negara dimana banyak kalangan yang menilai bahwa hubungan

tersebut hanya menguntungkan Jepang, serta pertentangan elit politik Jepang

mengenai sah atau tidaknya aliansi apabila melihat Konstitusi 1947.

Hubungan kerjasama antara Jepang dengan Amerika Serikat juga sekaligus

memastikan publik Jepang dan negara-negara dalam kawasan, bahwa Jepang tidak

akan lagi kembali pada sifat aggresif-nya yang lama. Lebih jauh, perubahan dalam

kebijakan pertahanan-keamanan Jepang diharapkan dapat meningkatkan kualitas

aliansinya. Dalam hal tersebut, Jepang bagi kalangan Amerika Serikat diharapkan

dapat melakukan sharing terbuka tentang teknologi dan kompleksitas

keamanannya untuk kolaborasi yang lebih baik serta dapat memberikan kontribusi

yang seimbang nilainya dengan kontribusi AS pada aliansi.

Berdasarkan pernyataan dan paparan sebelumnya atas fenomena, maka

timbul ketertarikan peneliti untuk mengamati dan melakukan kajian lebih lanjut

dalam sebuah penelitian, dengan judul:

“Pengaruh Perubahan Kebijakan Keamanan Nasional Jepang dalam

National Defense Program Guidelines 2005 Terhadap Hubungan Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat”

Penelitian ini dibuat berdasarkan teori dan pembelajaran peneliti yang

selanjutnya akan berhubungan dengan beberapa kajian inti dalam Ilmu Hubungan

Internasional, yaitu:

1. Diplomasi Hubungan Internasional di Asia Pasifik

Membantu peneliti memahami pola interaksi dan fenomena-fenomena


(29)

2. Hubungan Internasional Kawasan

Membantu peneliti memahami teori dan dasar-dasar ikatan interaksi dalam

sebuah kawasan.

3. Politik Internasional

Membantu peneliti memahami konsep-konsep hubungan politik seperti

kebijakan luar negeri, bentuk interaksi antar negara, serta konsep

persenjataan, perang, dan pengaruh politik.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan fenomena dalam latar belakang masalah maka sebagai

suatu tahap permulaan dari penguasaan masalah di mana suatu objek dalam suatu

jalinan situasi tertentu dikenali sebagai suatu masalah (Suriasumantri, 1995:311)

peneliti kemudian menyusun identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Jepang ketika melakukan

perubahan kebijakan keamanan-nya dalam National Defense Program

Guidelines 2005?

2. Bentuk-bentuk perubahan kebijakan keamanan nasional apa yang

dilakukan Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005?

3. Indikator positif apa yang muncul dalam perubahan kebijakan keamanan

nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005

sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap hubungan aliansi Jepang –


(30)

4. Bagaimana prospek hubungan aliansi Jepang – Amerika Serikat dengan

adanya perubahan kebijakan keamanan nasional Jepang dalam National

Defense Program Guidelines 2005?

1.3 Pembatasan Masalah

Batas yang jelas mengenai faktor-faktor apa saja yang yang termasuk

kedalam ruang lingkup penelitian diperlukan untuk memberikan fokus mengenai

masalah yang akan diteliti, untuk itu peneliti kemudian melakukan pembatasan

masalah setelah pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah.

Penelitian ini dibatasi pada pengaruh perubahan kebijakan pertahanan

nasional Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 terhadap

aliansi pertahanan antara Jepang dengan Amerika Serikat. Aspek yang menjadi

variabel bebas adalah perubahan kebijakan pertahanan Jepang dalam National

Defense Program Guidelines 2005, sedangkan aspek yang menjadi variabel

terikat adalah aliansi antara Jepang dengan Amerika Serikat.

Tahun fiskal 2005 dimana dikeluarkannya National Defense Program

Guidelines ketiga dipilih karena didalamnya tercantum butir-butir mengenai arti

penting perluasan kerjasama keamanan Jepang dengan Amerika Serikat serta

kerangka kerjasama global yang menjamin peran pasukan kedua negara dalam isu


(31)

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah

dikemukakan sebelumnya maka peneliti mengajukan perumusan masalah sebagai

berikut:

Sejauh mana pengaruh dari perubahan kebijakan keamanan nasional

Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005 terhadap hubungan

aliansi pertahanan antara Jepang dengan Amerika Serikat?

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui lebih jauh faktor-faktor yang melatarbelakangi Jepang

dalam melakukan perubahan kebijakan keamanan melalui National

Defense Program Guidelines 2005.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan kebijakan keamanan nasional

Jepang dalam National Defense Program Guidelines 2005

3. Untuk mengetahui indikator positif bagi hubungan aliansi Jepang –

Amerika Serikat yang muncul dalam perubahan kebijakan keamanan

nasioinal Jepang.

4. Untuk mengetahui prospek hubungan aliansi Jepang – Amerika Serikat

dengan adanya perubahan kebijakan keamanan nasional Jepang dalam


(32)

1.5.2 Kegunaan Penelitian

1. Memberikan sumbangan analisis bagi perkembangan ilmu hubungan

internasional khususnya pemahaman tentang konsep hubungan kerjasama,

persenjataan, dan kapabilitas.

2. Memahami dinamika interaksi antar negara Asia Timur dengan negara

intrusive lain diluar kawasan khususnya dalam lingkup pertahanan dan

keamanan.

1.6 Kerangka Pemikiran, Hipotesis, dan Definisi Operasional

1.6.1 Kerangka Pemikiran

Kebijakan luar negeri dan pertahanan-keamanan Jepang saat ini telah

berubah seiring dengan berkembangnya tujuan Jepang untuk mengamankan

elemen-elemen yang menjadi penopang eksistensinya. Hal tersebut tidak terlepas

dari situasi atau kecenderungan dalam lingkungan internasional yang berubah

seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dimana dalam hal ini Jepang kemudian

merasakan perlunya sejumlah penyesuaian baik dalam persepsi maupun

peranannya terhadap lingkungan internasional. Sebelum melakukan kajian pada

situasi ini peneliti akan mengemukakan teori, konsep, maupun pendapat para ahli

atau jenis pengetahuan lainnya yang kemudian dirangkai menjadi struktur

pengetahuan lengkap guna mendukung konsep penelitian.

Penelitian ini tidak terlepas dari kajian ilmu hubungan internasional

sehingga sebagai dasar untuk menjabarkan permasalahan peneliti akan

menggunakan konsep-konsep dasar dan ruang lingkup dari disiplin kajian ini.


(33)

bukunya Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis dapat diartikan

sebagai:

“Suatu studi yang mempelajari tentang interaksi antara negara-negara di

dunia dalam sistem internasional.” (Kusumohamidjojo, 1987:9).

Mengenai cakupan hubungan dan jenis interaksi hubungan internasional,

George Lopez dalam bukunya International Relations: Contemporary Theory and

Practice, menjelaskan:

“Hubungan internasional bukan hanya mencakup hubungan antar-negara dan antar-pemerintah secara langsung. Namun juga meliputi berbagai transaksi ekonomi dan perdagangan, langkah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah, serta strategi dan penggunaan kekuatan militer.” (Lopez, 1989:3).

Dalam hubungan internasional terdapat aktor negara dan aktor-aktor

non-negara yang menjalankan aktivitas-aktivitas interaksi seperti kerjasama,

persaingan, dan konflik semua hal tersebut merupakan pola aktivitas politik

internasional yang menjadi ajang penerapan politik luar negeri. Politik luar negeri

seperti yang dijelaskan Sumpena Prawirasaputra dalam bukunya Politik Luar

Negeri, yaitu :

“Politik luar negeri adalah kumpulan kebijaksanaan suatu negara untuk mengatur hubungan-hubungan luar negerinya. Ia merupakan bagian dari kebijakan nasional dan semata-mata dimaksudkan untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan khususnya tujuan untuk suatu kurun waktu yang sedang dihadapi yang lazim disebut kepentingan nasional. Pada hakekatnya, ia merupakan suatu pola sikap atau respon terhadap lingkungan ekologinya. Respon tersebut mempunyai latar belakang dengan persepsi, pengalaman, kekayan alam serta kebudayaan politik yang biasanya di manifestasikan sebagai falsafah bangsa dan di akomodasikan dalam konstitusi” (Prawirasaputra, 1985 : 2).


(34)

Politik luar negeri muncul apabila suatu pemerintahan merasa perlu untuk

bereaksi atau tidak bereaksi terhadap suatu keadaan yang berada diluar sistem

politiknya. Adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan adalah penjelasan yang

diberikan James N. Rosneau dalam buku-nya yang berjudul The Scientific Study

of Foreign Policy untuk menelaah bagaimana politik luar negeri suatu negara

timbul:

“Berbagai faktor yang berupa situasi dan kondisi lingkungan baik internal maupun eksternal akan mempengaruhi pemerintahan suatu negara untuk menjaga agar politik luar negerinya tetap sesuai (adaptive). Melalui politik luar negeri, suatu negara mengharapkan perubahan-perubahan situasi agar tidak membahayakan eksistensi negara tersebut, baik eksistensi yang menyangkut politik, ekonomi, sosial – budaya, dan keamanan.” (Rosneau, 1980:27-92)

Pola tindakan yang dilakukan para aktor dalam politik luar negerinya dapat

mempengaruhi aktivitas, sikap atau respon, serta interaksi para aktor-nya seperti

bergesernya hubungan persaingan ke arah kerjasama, atau pergeseran kerjasama

ke arah konflik. Konsep pengaruh dalam penelitian ini didasarkan pada dua

definisi yaitu menurut Alvin Z. Rubinstein dan K. J. Holsti. Konsep pengaruh

menurut Alvin Z.Rubenstein dalam bukunya Soviet and Chinese Influence in the

Third World digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

Jepang sehingga melakukan perubahan kebijakan, yaitu:

“Pengaruh adalah hasil yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai sumbernya. Sebagai “hasil yang timbul dari kondisi atau situasi terntentu sebagai sumber” dengan syarat terdapat keterkaitan (relevansi) yang kuat dan jelas antara sumber dengan hasil.” (Rubinstein, 1976:3-6)

Berdasarkan konsep tersebut maka dapat diketahui bahwa perubahan kebijakan


(35)

situasi-situasi lingkungan eksternalnya yaitu kawasan Asia Timur, serta dalam

sudut pandang yang lebih luas adalah isu-isu global kontemporer yang

berhubungan dengan kerjasamanya dengan Amerika Serikat, seperti serangan

teroris 11 September 2001.

Sedangkan konsep pengaruh menurut K. J. Holsti dalam bukunya Politik

Internasional Suatu Kerangka Analisis dapat digunakan untuk menjelaskan

hubungan mempengaruhi-dipengaruhi antara Jepang dengan Amerika Serikat

yang berelasi pada kelangsungan hubungan aliansi-nya, seperti tekanan Amerika

Serikat kepada Jepang untuk memperluas peranannya terhadap keamanan

internasional, konsep pengaruh tersebut yaitu:

“Kemampuan pelaku politik untuk mempengaruhi tingkah laku orang dalam cara yang dikehendaki oleh pelaku tersebut. Konsep pengaruh merupakan salah satu aspek kekuasaan yang pada dasarnya merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan.” (Holsti, 1988 : 159).

Konsep aliansi dalam penelitian ini didasarkan pada definisi Ole R. Holsti

dalam bukunya Unity and Disintegration in International Alliances, yaitu:

“Aliansi adalah sebuah kesepakatan formal diantara dua negara atau lebih

untuk berkolaborasi dalam isu-isu keamanan nasional.” (Holsti, 1973:4).

Politik luar negeri seperti yang telah dijelaskan Prawirasaputra sebelumnya

merupakan perwujudan dari tujuan (kepentingan), strategi dan kebijakan nasional

yang dalam hal ini dijelaskan oleh A.A. Banyu Perwita Yanyan Mochamad Yani

dalam buku Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, sebagai:

“Strategi aktor negara dalam menyikapi kecenderungan interaksi global dapat dilihat dari konsep tujuan atau kepentingan nasional yang


(36)

mendasarinya. Tujuan nasional suatu negara secara khas merupakan unsur-unsur pembentuk kebutuhan negara yang paling vital, seperti pertahanan, keamanan, militer, serta kesejahteraan ekonomi dan seluruhnya kemudian menjadi faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa tujuan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara.” (Perwita dan Yani, 2005:35).

Pilihan respon maupun orientasi dalam politik luar negeri dipengaruhi oleh

kebijakan dan strategi yang dirumuskan oleh pemerintah suatu negara. Penelitian

ini merupakan kajian terhadap strategi dan kebijakan yang digunakan oleh sebuah

negara sebagai hasil evaluasi dari situasi lingkungan internal dan eksternalnya.

Kebijakan merupakan instrumen yang kemudian muncul mengikuti langkah

penerapan strategi. Lebih lanjut pengertian kebijakan dijelaskan Teuku May Rudy

dalam dalam bukunya Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional,

yaitu:

“metoda-metoda dan tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencoba

mencapai kepentingan nasional disebut kebijakan.” (Rudy, 1992:66)

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara dapat

bermacam-macam tergantung pada kebutuhannya, berdasarkan pembatasan masalah, maka

kebijakan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kebijakan pertahanan.

Kebijakan pertahanan menurut TheFreeDictionary.com dapat diartikan sebagai

berikut:

“Sebuah sistem metode atau pelayanan yang bertujuan untuk menanggapi


(37)

nasional-nya” (http://www.thefreedictionary.com/national+security+policy

diakses tanggal 8 November 2008 07.00 WIB).

Kebijakan nasional sebuah negara sangat terkait dengan strategi-strategi

nasional. Konsep strategi menurut Teuku May Rudy dalam bukunya Teori, Etika,

dan Kebijakan Hubungan Internasional dikatakan sebagai berikut:

Strategi merupakan patokan atau penuntun dalam perumusan kebijakan, dengan peruntukan pola jangka panjang yang dipersiapkan berdasarkan perhitungan secara matang. Secara analitis terdapat dua kompoten strategi, yaitu:

1. Komponen ofensif yang merupakan bentuk untuk mendapatkan keuntungan.

2. Komponen defensif yaitu bentuk untuk mencegah kerugian.(Rudy, 1992:65)

Terdapat beberapa peristiwa internasional yang turut mempengaruhi

perkembangan ilmu hubungan internasional baik dalam aspek akademis maupun

praktis, salah-satunya adalah berakhirnya Perang Dingin.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi pasca-Perang Dingin telah memberikan implikasi

strategis bagi terbentuknya sistem internasional kontemporer yaitu perubahan

sistem bipolar dimana terdapat keseimbangan kekuatan antara dua negara adidaya

Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi unipolar dengan hanya satu kekuatan

tunggal Amerika Serikat, serta perluasan isu-isu internasional dari yang

didominasi isu politik dan keamanan kemudian meluas pada isu lainnya seperti

hak asasi manusia, ekonomi, lingkungan, dan terorisme. Hal yang patut dicermati

disini adalah isu-isu baru tersebut merupakan perluasan dari isu keamanan

tradisional karena pada dasarnya isu-isu tersebut berhubungan dan dapat


(38)

Konsep keamanan telah bergeser pengertiannya dari konsep-konsep

keamanan tradisional seperti yang dikemukakan Hans J. Morgenthau dalam

bukunya Politics Among Nations dimana dikatakan bahwa:

“Keamanan mengarah pada perlindungan terhadap orang, wilayah, dan

ekonomi milik negara dari serangan luar.” (dikutip dari Cooney, 2005:129).

Konsep keamanan saat ini telah bergeser kepada isu-isu alternatif lain

seperti yang didefinisikan Barry Buzan dalam bukunya Security: a New

Framework for Analysis sebagai “keamanan alternatif”, yaitu:

“Isu-isu keamanan alternatif dapat menjadi lebih luas maknanya ... yang

dalam hubungannya dapat bersentuhan dengan banyak isu-isu lainnya

seperti lingkungan, masyarakat, dan politik” (Buzan, 1998:4-5).

Konsep keamanan alternatif kemudian menjadi semakin penting dengan

mengikisnya kekuatan militer, ekonomi, dan politik dunia barat oleh globalisasi.

Saat ini cara melindungi negara tidak dapat dilakukan hanya dengan

mengandalkan cara-cara lama. Keamanan klasik yang didasarkan pada

perbandingan batas antar negara merupakan cara lama. Keamanan alternatif tidak

menempatkan negara-bangsa sebagai objek utama, melainkan bagian dari

komunitas yang lebih besar, yang saling terhubung secara ekonomi, politik,

kultural, bahkan kebijakan dan strategi. Seluruhnya saling mempengaruhi.

Lebih lanjut dalam aplikasinya, keamanan alternatif dapat digunakan untuk

menjelaskan pola keamanan antar negara yang persepsi ancamannya cenderung


(39)

lain yang lebih jauh. Hal ini kemudian menciptakan apa yang disebut Buzan

dalam buku yang sama sebagai “kompleksitas keamanan” yang secara regional

didasarkan pada pengelompokan atas

“... konsentrasi dan persepsi keamanan yang saling terkait diantaranya

sehingga masalah keamanan nasional mereka akan sulit dianalisis atau

diselesaikan secara terpisah dari yang lainnya.” (Buzan, 1998:11-12).

Studi kebijakan luar negeri dan keamanan Jepang dapat dilihat sebagai hasil

penerapan Pasal 9 konstitusi Jepang. Pasal 9 dalam konstitusi Jepang tidak

memperbolehkan penggunaan angkatan bersenjata dan perang sebagai sarana

penyelesaian sengketa. Namun, konstitusi Jepang juga mendukung hak kedaulatan

negara untuk mempertahankan diri. Kecenderungan-kecenderungan pada masa

Perang Dingin kemudian membuat Jepang merasa perlu untuk

menginterpretasikan Pasal 9 agar mengizinkan “pertahanan diri”. Hal tersebut

kemudian menjadi landasan pembentukan Pasukan Bela Diri (Self Defense

Force//SDF) pada tahun 1954 sebagai bentuk keamanan tradisional.

Dalam mengkaji situasi Jepang saat ini kedudukan Jepang berada pada apa

yang disebut dengan situasi kompleksitas keamanan Asia Timur Laut yang

berpusat pada aktor-aktor seperti Jepang, Cina (termasuk Taiwan), Korea Utara

dan Korea Selatan, Rusia dan Amerika Serikat. Berbagai perubahan dan aktivitas

yang dilakukan salah satu aktor dalam kawasan ini dapat mempengaruhi persepsi


(40)

Masalah-masalah keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri dan

menjadi perhatian utama Jepang sebagiannya merupakan sisa-sisa masalah Perang

Dingin seperti wilayah utara Jepang, nuklir Korea Utara, dan kepulauan Spratly.

Walaupun telah ada pergerakan ke arah peredaan ketegangan di kawasan ini,

seperti pembentukan hubungan diplomatik Korea Selatan – Cina, unifikasi Korea

Selatan – Korea Utara dan penandatanganan perjanjian mengenai

hubungan-hubungan dasar antara Korea Selatan dan Rusia, adanya persepsi dan tafsiran

curiga seperti kunjungan pejabat Jepang ke kuil Yasukuni, mulai dekatnya

Amerika Serikat dengan Cina yang mengundang perhatian Jepang dapat menjadi

potensi konflik.

Kawasan Asia Timur saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi

yang pesat dan banyak negara di kawasan ini sedang mendorong modernisasi

kemampuan pertahanan nasional mereka dengan meningkatkan pembelanjaan

untuk pertahanan dan menggunakan senjata-senjata dengan performa tinggi.

Fenomena pembangunan senjata (arms build up) di Asia Timur ini sangat terkait

dengan reaksi negara-negara Asia terhadap situasi di atas yang dipandang dapat

mengancam keamanan nasional, dalam beberapa kasus reaksi mereka

berhubungan dengan kekhawatiran bahwa penarikan militer Amerika Serikat dan

Rusia dari kawasan ini akan menimbulkan ketegangan dan konfrontasi di antara

negara-negara di kawasan karena penarikan maupun pengurangan sekutu mereka

dikawasan akan menghilangkan keseimbangan kekuatan yang telah ada.

Dengan aktivitas pengadaan dan pembangunan kekuatan militer,


(41)

keamanan (power security dillema) seperti yang dikemukakan Barry Buzan,

bahwa:

“Dilema keamanan dan kekuatan muncul dikarenakan adanya rasa takut

terhadap penyerangan dan kehancuran sebagai hasil stimulasi oleh potensi

penggunaan kekuatan militer negara lain.” (Buzan, 1998:295).

Hal ini kemudian menimbulkan sebuah situasi efek samping, yaitu reaksi

perimbangan dengan turut melakukan peningkatan kekuatan militer oleh negara

lain yang merasa terancam, sehingga yang muncul kemudian adalah perlombaan

senjata (arms race) yang seringkali diselubungi dengan penjelasan sebagai

“pensejajaran” (catching up) atau “modernisasi berlanjut” (ongoing

modernization) untuk kekuatan militer mereka.

Selain daripada konsep keamanan konvensional yang menjadi perhatian

utama tersebut, menurut Arphita Mathur dalam artikelnya pada Strategic Analysis

vol.30 yang berjudul Japan’s Security Concerns and Policy Responses, terdapat

juga beberapa fokus tambahan yang turut mempengaruhi kebijakan Jepang yaitu:

1. Pencarian energi, Jepang sebagai negara industri merupakan konsumen energi terbesar ke-2 dan importir minyak ke-4 dunia yang harus bersaing dengan negara konsumen lainnya.

2. Keamanan maritim, untuk melindungi kepentingan perdagangannya, Jepang harus memastikan bahwa jalur ekspor-impor-nya berjalan dengan lancar.

3. Tekanan Amerika Serikat (AS). AS telah lama menekan Jepang agar menjalankan peran yang lebih signifikan dalam hubungan aliansi terutama pasca-serangan teroris 9 September 2001.

4. Terorisme, meskipun tidak terpengaruh langsung, kebijakan Jepang untuk mendukung kebijakan war on terrorism Amerika Serikat dan hubungan aliansinya kemudian membuat Jepang terlibat dalam upaya melawan terorisme seperti dalam perang Afghanistan. (Mathur, 2006:628-631)


(42)

Jepang telah lama dianggap sebagai negara dengan sikap politik dan strategi

yang pasif dalam pertahanan dan keamanan. Interpretasi undang-undang guna

mendapatkan hak mempertahankan diri, perluasan peran militer (SDF), mengejar

posisi di Dewan Keamanan PBB, dan dinamisasi hubungan aliansi dengan

Amerika Serikat merupakan instrumen-instrumen kebijakan yang diterapkan

Jepang sebagai penyesuaian terhadap kecenderungan regional dan global.

Tujuan pertahanan Jepang sejak memperoleh kedaulatannya kembali pada

tahun 1952 dari Amerika Serikat sampai saat ini adalah menjaga dan

mempertahankan eksistensi nasional serta mendukung strategi Amerika Serikat

menghadapi perkembangan politik global maupun regional. Hubungan antara

Amerika Serikat dan Jepang dikemukakan Daniel E. Griffin dalam bukunya

Administrative Theory, sebagai:

“Hubungan pertahanan antara Jepang dengan Amerika Serikat merupakan

langkah Jepang untuk membangun kebijakan keamanan eksternal yang

jelas.” (Griffin, 2005:1).

Jepang sangat mengandalkan perlindungan keamanan dari Amerika Serikat,

terutama untuk ancaman eksternal dan serangan nuklir. Perlindungan keamanan

ini merupakan kesepakatan antara Jepang dengan Amerika Serikat pada Treaty of

Mutual Cooperation and Security tahun 1960. Hubungan keamanan ini kemudian

menghasilkan pola kolaborasi antara Jepang dengan Amerika Serikat yang juga


(43)

Dalam perkembangannya hubungan aliansi Jepang – Amerika Serikat

semakin memerlukan kolaborasi yang lebih intensif, oleh karena itu konsep

transformasi pertahanan Jepang juga diharapkan dapat mengadopsi konsep

interopability agar dapat berkolaborasi penuh dengan Amerika Serikat. Konsep

interoperability tersebut menurut Stephen Leong dalam laporan untuk JIIA

Conference on US Military Transformation yang berjudul Implications of Those

Transformations for Southeast Asia diharapkan tetap memperhatikan

kecenderungan isu, seperti:

1. Kemungkinan dampak terhadap hubungan aliansi bilateral, termasuk

interoperability dan koalisi operasi militer.

2. Prospek bagi pembentukan hubungan aliansi multilateral regional. 3. Dampak terhadap hubungan dengan negara-negara kuat di kawasan. 4. Prospek untuk memperluas kerjasama keamanan melalui rekan koalisi

khusus.

5. Pengaruhnya terhadap daya tawar kolektif aliansi terhadap isu-isu keamanan regional dan global.(Leong, 2006:2).

1.6.2 Hipotesis

Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka

peneliti mengemukakan hipotesis:

Perubahan kebijakan keamanan nasional Jepang dalam National

Defense Program Guidelines 2005 berpengaruh positif terhadap hubungan aliansi pertahanan Jepang –Amerika Serikat yang ditandai dengan munculnya potensi bertambahnya wilayah kerja baru bagi aliansi seperti kerjasama pertahanan peluru kendali balistik sehingga dapat memberikan prospek kelanjutan hubungan bagi aliansi Jepang – Amerika Serikat.

1.6.3 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah serangkaian prosedur yang mendeskripsikan kegiatan yang dilakukan apabila ingin mengetahui eksistensi empiris atau derajat eksistensi empiris suatu konsep. Oleh karena itu, dapat dikatakan


(44)

bahwa definisi operasional merupakan jembatan antara tingkat konseptual teoritis dengan tingkat observasional empiris (Mas’oed, 1994:100).

Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka dapat dikemukakan beberapa

definisi operasional dalam penelitian ini, yaitu:

1. National Defense Program Guidelines (NDPG), merupakan acuan dasar

kebijakan pertahanan Jepang yang dirancang untuk jangka waktu sepuluh

tahun. Sistematika penjabaran dan implementasinya dilakukan melalui

program pembangunan lima tahun yang disebut Program Pertahanan Jangka

Menengah (Mid-Term Defense Program/MTDP). NDPG terbagi atas lima

bagian pokok yaitu: tujuan, lingkungan keamanan di sekitar Jepang,

prinsip-prinsip dasar kebijakan keamanan Jepang, perencanaan kekuatan

pertahanan, dan elemen-elemen tambahan yang diusulkan untuk menjadi

pertimbangan.

2. Konstitusi 1947, adalah konstitusi dasar Jepang yang dibuat atas dasar

rancangan Jepang dan Amerika Serikat pasca kekalahan Jepang pada Perang

Dunia II. Konstitusi 1947 bertujuan untuk membatasi Jepang secara politik

agar tidak kembali memikirkan dan memiliki supremasi militer seperti pada

masa perang sehingga dapat memfokuskan diri pada pembangunan

ekonomi. Konstitusi 1947 dalam perkembangannya turut berperan dalam

memberikan citra pasifis kebijakan luar negeri Jepang.

3. Hubungan aliansi Jepang – Amerika Serikat, saat ini merupakan sebuah

bentuk aliansi pertahanan bilateral yang menjadi wadah kolaborasi

pertahanan keamanan Jepang dan Amerika Serikat dalam lingkup regional


(45)

tradisional dimana masing-masing negara anggota menjalin kesepakatan

dorongan secara mandiri, aliansi Jepang – Amerika Serikat terbentuk atas

tuntutan Amerika Serikat sebagai pemenang perang pada Perang Dunia II

dengan dasar Treaty of Mutual Cooperation and Security dimana Amerika

Serikat berperan sebagai pelindung pertahanan internal dan eksternal Jepang

sementara Jepang memberikan dukungan dan prioritas hubungannya kepada

Amerika Serikat.

1.7 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.7.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langkah-langkah yang diterapkan guna melakukan kajian terhadap suatu masalah atau dalam mengupas permasalahan. Tujuannya adalah untuk menemukan jawaban atau cara pemecahan masalah, berdasarkan kepada pengolahan data yang dihimpun (Rudy, 1992:12).

Berdasarkan pada bidang kajian dan objek yang dikaji dalam penelitian ini

peneliti kemudian menggunakan metode penjabaran (descriptive) dan metode

analisis (analythic). Melalui penggabungan kedua metode ini pengolahan data

menuju simpulan dilakukan dengan cara menjabarkan sumber-sumber penjelasan

yang sedang berlangsung dan kemudian dianalisa secara sistematis.

Sumber-sumber penjelasan (sources of explanation) yang merupakan

konsep untuk menjelaskan perilaku objek melalui beberapa variabel meliputi

kapasitas interaksi, proses, dan struktur proses-proses internal objek penelitian.

Analisa sistematis penelitian mengacu pada sektor analisis (sector of analysis)

hubungan internasional khususnya sektor militer dan politik. Dalam hal ini aspek


(46)

defensif, serta persepsi ancaman dan penafsiran ancaman dari para aktor terhadap

aktor lainnya. Sedangkan aspek sektor politik meliputi hubungan otoritas,

legitimasi politik serta sifat hubungan antaraktor apakah bersifat hierarki atau

setara.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan riset kepustakaan (library

research) dengan formulir pencatatan dokumen sebagai alat untuk mengumpulkan

data. Melalui teknik ini informasi dan data yang digunakan peneliti diolah dari

penelaahan literatur dan referensi data sekunder yang bersumber dari dokumentasi

ilmiah dan publik serta dokumen-dokumen ekspresif (Faisal, 1999:53) seperti

buku, artikel, jurnal dan laporan, dan media masa cetak serta elektronik (koran,

televisi, dan internet).

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

1.8.1 Lokasi Penelitian

Pencarian informasi dan data penelitian dilakukan di beberapa tempat dan

lembaga yang menyediakan akses kepustakaan, seperti:

1. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia, Kampus IV Lantai 7, Jalan

Dipati Ukur 112, Bandung 40132 Indonesia.

2. Perpustakaan Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit 94,

Bandung 40141 Indonesia.

3. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan,


(47)

4. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan

Internasional Universitas Padjadjaran, Jl. Jatinangor, Sumedang.

5. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia, Jalan Gatot Subroto 10, Jakarta 12190 Indonesia.

1.8.2 Waktu Penelitian

Tabel 1

Jadwal Kegiatan Penelitian

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian ini mencoba menjabarkan proses kajian permasalahan sampai

pada penarikan simpulan melalui lima bab kajian pokok sebagai suatu

keseluruhan yang bulat dan terpadu, masing-masing bab kemudian dibagi

kedalam beberapa sub-bab yang dilandaskan pada tinjauan secara khusus pada

bidang atau ruang lingkup yang ditetapkan dalam topik utama bab. Kajian pokok

dalam penelitian ini meliputi:

Agustus September Oktober November Desember Januari Februari

1 Pengajuan judul 2 Pembuatan Usulan

Penelitian 3 Seminar Usulan

Penelitian 4 Bimbingan skripsi 5 Pengumpulan data 6 Pengolahan data 7 Rencana sidang

Aktivitas


(48)

Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti memberikan pemaparan dasar

mengenai objek dan kerangka sistematis dari penelitian yang pada dasarnya

merupakan cara untuk menghimpun data dan memeriksa kebenaran pengetahuan

tentang gejala yang bersangkutan. Bab ini kemudian dibagi menjadi beberapa

sub-bab, seperti latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, kerangka

teoritis, hipotesis, metode, teknik pengumpulan data, lokasi dan jangka waktu

penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II, Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini peneliti memaparkan bukti

pendukung berupa teori-teori yang relevan dengan objek dan gejala yang sedang

diteliti serta data-data sekunder hasil studi kepustakaan yang dapat menjadi bahan

penalaran dan pembuatan simpulan.

Bab III, Objek Penelitian. Bab ini merupakan penjabaran mengenai

variabel-variabel penelitian secara khusus yang berhubungan dengan topik dan

gejala yang sedang diteliti.

Bab IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan. Data-data yang telah diperoleh

dalam penelitian dilaporkan dalam bab ini, dan kemudian melakukan analisa lebih

lanjut.

Bab V, Simpulan dan Saran. Simpulan merupakan hasil analisa data

penelitian dalam bentuk sebuah pernyataan tegas dan jelas guna menghindari

interpretasi lebih lanjut. Dalam bab ini juga termasuk pembuktian hipotesis


(49)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Internasional

Studi Hubungan Internasional mengacu pada semua bentuk interaksi antara

anggota masyarakat yang terpisah, baik yang didukung oleh pemerintah maupun

tidak. Dalam pengertian yang luas, hubungan internasional dapat menyangkut

segala macam hubungan interaksi antara negara bangsa dan kelompok-kelompok

bangsa dalam masyarakat internasional, dengan segala aspek yang terkait dalam

hubungan tersebut (Kusumohamidjojo, 1987:9). Berkaitan dengan pengertian

tersebut, George Lopez menambahkan tentang cakupan hubungan internasional

yang tidak hanya meliputi hubungan antar-negara dan antar-pemerintah tetapi juga

mencakup hubungan transaksi ekonomi dan perdagangan, langkah-langkah

diplomasi yang dilakukan pemerintah maupun non-pemerintah, serta strategi dan

penggunaan kekuatan militer sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan

internasional meliputi berbagai aspek baik itu ideologi, politik, hukum, ekonomi,

sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan (Lopez, 1989:3).

Pengertian lebih lanjut mengenai hubungan internasional dapat dijelaskan

melalui pola interaksi antar aktor didalamnya dimana tindakan-tindakan serta

kondisi-kondisi pada saat terjadinya interaksi memberikan konsekuensi pada

aktor-aktor lain yang berada diluar batas teritorialnya (Chan, 1985:5). Kondisi

tersebut menimbulkan kompleksitas pada fenomena-fenomena hubungan

internasional, serta memunculkan masalah yang menarik untuk dicari


(50)

Mochtar Mas’oed mengatakan bahwa aktor yang paling efektif dalam

hubungan internasional adalah negara, sehingga perilaku internasional yang paling

banyak memperoleh perhatian para analis adalah perilaku negara (Mas Oed,

1990:28). Namun dalam perkembangannya saat ini dimana pola interaksi dan

permasalahan dunia semakin kompleks muncul aktor-aktor baru yang turut

mengambil peranan penting disamping negara dalam arena internasional. Para

pelaku studi hubungan internasional kontemporer sepakat bahwa saat ini negara

bukanlah satu-satunya aktor utama dalam hubungan internasional. Akan tetapi,

banyak aktor non-negara seperti IGOs (International Govermental Organizations)

dan INGOs (International Non-Govermental Organizations) serta individu

transnasionalyang kini memiliki peranan penting dalam aktivitas internasional.

Perkembangan dalam hubungan internasional kontemporer bagi Peter Toma

dan Robert Gorman dikatakan terjadi karena adanya faktor-faktor penunjang

kesinambungan seperti aktor negara bangsa yang terus mempertahankan perannya

sebagai aktor utama dengan perangkat kedaulatan dan penggunaan kekuasaan

sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasional, serta adanya faktor

pendukung perubahan seperti globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, ancaman

terhadap lingkungan, serta terjadinya peningkatan fungsi dan pengaruh dari

aktor-aktor non-negara (Toma dan Gorman, 1991:23).

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa tujuan utama

studi hubungan internasional adalah mempelajari perilaku internasional, seperti

perilaku aktor, baik negara maupun aktor non-negara, dalam arena internasional.


(51)

kerjasama, aktivitas sistem, dan pengaruh. Hal tersebut secara keseluruhan dapat

mengakibatkan pelaksanaan maupun pergeseran bentuk-bentuk hubungan dari

bentuk kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional

kearah konflik maupun sengketa (Mas’oed, 1990:17).

2.2. Paradigma Realis

Meskipun telah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak yang menolak

premis-premis dasar realisme, namun sebagai teori realisme tetap dapat bertahan

dan para penganutnya bahkan mengklain bahwa realisme akan tetap ada selama

institusi yang bernama negara tetap berfungsi sebagai entitas politik yang

memperjuangkan kepentingannya dalam politik global (Jemadu, 2008:20).

Negara bangsa sebagai entitas politik yang berdaulat dan independen

merupakan unit analisis yang menjadi fokus dalam paradigma realis sedangkan

aktor-aktor lain hanyalah bersifat sekunder karena dinamika politik global

sepenuhnya dikendalikan oleh aktor negara. Dalam hal ini negara dianggap sama

dengan manusia yang senantiasa memiliku hasarat untuk mendominasi manusia

lain atau sekurang-kurangnya mempertahankan eksistensi dan keamanan dirinya.

Dengan demikian realisme mengasumsikan politik internasional sebagai sebagai

kumpulan negara yang memperjuangkan kepeentingan nasional masing-masing

denga ninstrumen utamanya adalah kekuatan militer (Jemadu, 2008:20).

Kepentingan nasional yang dimaksud disini adalah kepentingan negara seperti


(52)

2.2.1. Asumsi Pokok Realisme

Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf mengungkapkan bahwa

sekurang-kurangnya terdapat sepuluh asumsi pokok realisme yang dapat

digunakan untuk menjelaskan dasar perilaku pertahanan negara, yaitu: (Kegley,

2003:36, dikutip dari Jemadu, 2008:21-22)

1. Manusia pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri tanpa memedulikan etika dan selalu terdorong untuk mengambil keuntungan dalam hubungan dengan orang lain.

2. Hasrat manusia untuk berkuasa dan mendominasi orang lain merupakan niat buruk yang paling menonjol dan berbahaya dalam hubungan dengan sesamanya.

3. Peluang untuk untuk menghilangkan hasrat untuk meraih kekuasaan hanyalah sebuah aspirasi yang utopis.

4. Esensi dari politik internasional adalah pertarungan untuk meraih kekuasaan dimana prinsip “war of all against all” berlaku.

5. Kewajiban utama negara yang melampaui semua tujuan nasional lainnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional dan meraih kekuasaan untuk mewujudkannya.

6. Sistem internasional yang anarkis memaksa negara uuntuk meningkatkan kapabilitas militernya guna menangkal serangan dari musuh potensial dan menjalankan pengaruhnya atas negara lain.

7. Kekuatan militer lebih penting daripada ekonomi demi tercapainya keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai dan memperluas kekuasaan dan prestise negara.

8. Sekutu dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mempertahankan diri tetapi kesetiaan dan keandalannya tidak bisa

dipastikan sebelumnya.

9. Negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional, atau hukum internasional melalui mekanisme pemerintah global.

10.Karena semua negara berusaha untuk meningkatkan kekuatannya maka stabilitas hanya bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan yang diperlancar oleh pembentukan dan pembubaran aliansi-aliansi yang saling bertentangan.

2.2.2. Strategi Kebijakan Ofensif dan Defensif Negara

Teori-teori realisme dalam hubungan internasional berpusat pada struktur


(53)

kaum realis, yang disebut sebagai kaum realis ofensif, menyatakan bahwa cara

terbaik bagi sebuah kekuasaan yang kuat untuk memperoleh keamanan dalam

kondisi anarki adalah dengan mengejar hegemoni regional yaitu memperoleh

kendali atas salah satu lingkungan terdekatnya. Meskipun kaum realis ofensif

mengakui bahwa kebijakan luar negeri yang agresif dapat bersifat

kontra-produktif, dalam keadaan tertentu pendekatan keamanan merupakan cara terbaik

untuk melakukan pengendalian (Lind, 2003:18).

Serupa dengan kaum realis ofensif, kaum realis defensif juga memiliki

asumsi yang sama bahwa negara harus selalu waspada dan memastikan keamanan

mereka dalam kondisi dunia yang anarki. Namun dalam persamaan tersebut, kaum

realis defensif lebih menekankan pada sifat kontra-produktif dari kebijakan

ekspansionisme dan penggunaan kekuatan untuk memimpin negara-negara lain

untuk membentuk aliansi bagi pengadaan pertahanan merupakan cara yang lebih

mudah daripada sikap ofensif. Kaum realis ofensif dan defensif berbagi asumsi

yang sama bahwa faktor utama yang mengarahkan kebijakan luar negeri negara

adalah konsentrasi mereka terhadap pencapaian keamanan. Keduanya juga

mengakui bahwa kondisi-kondisi anarki dapat membawa negara pada sikap

agresif atau juga strategi-strategi pengendalian (Lind, 2003:19).

Para pemikir realis telah mengidentifikasikan beberapa bentuk strategi

kebijakan luar negeri ofensif dan defensif yang mungkin digunakan oleh negara

untuk menanggapi bahaya dari anarki. Mengenai strategi ofensif, John J.

Mearsheimer menjelaskan hal tersebut dapat berbentuk, seperti: (Mearsheimer,


(54)

1. Penaklukan; berupa ekspansi militer untuk mendapatkan hegemoni regional.

2. Mengikuti pihak yang kuat untuk mendapatkan keuntungan; seperti beraliansi dengan negara yang kuat dan agresif untuk memperoleh keuntungan perang dari negara tersebut.

Sedangkan bentuk strategi kebijakan luar negeri defensif dikatakan Kenneth N.

Waltz dapat berbentuk: (Waltz, 1979:90, dikutip dari Lind, 2003:19)

1. Penyeimbangan; membangun kekuatan militer, mencari sekutu, dan berkonfrontasi dengan negara-negara agresif.

2. Mengelak atau menghindarkan tanggung jawab; konsisten tidak campur tangan dan berharap bahwa musuh terjebak dalam konflik dengan negara lain.

3. Pembonceng gratis (free-riding); negara pembonceng gratis bergabung dalam sebuah koalisi penyeimbang tapi lebih banyak melimpahkan biaya penyeimbangan kepada sekutu mereka.

Diantara strategi-strategi tersebut kaum realis telah memposisikan bahwa

strategi menghindarkan tanggung jawab dan pembonceng gratis merupakan

strategi yang cukup menarik dalam beberapa situasi. Melakukan strategi

penyeimbangan akan memakan banyak biaya dan kemungkinan akan memberikan

penurunan terhadap keamanan jangka panjang sehubungan dengan ikut

menurunnya sumberdaya manusia dan kesejahteraan. Keuntungan utama dari

strategi menghindarkan tanggung jawab atau pembonceng gratis adalah bahwa

strategi-strategi tersebut mengandalkan transfer sejumlah biaya kepada negara

lainnya.

Dalam hal ini kaum realis berpendapat strategi transfer biaya akan secara

khusus menarik dalam lingkup keadaan tertentu. Sebagai contoh, negara akan

lebih memilih menghindarkan tanggung jawab atau membonceng gratis ketika


(1)

• Benda atau jasa meliputi perbekalan, transportasi reparasi dan layanan medis.

Hukum Khusus Anti Terorisme • Merespon serangan 11 September terhadap AS

(2 November 2001)

• Terlibat dalam aktivitas kerjasama dan dukungan termasuk persediaan bahan bakar bagi kapal, transportasi orang, bahan bangunan untuk pemeliharaan stasiun udara AS, reparasi dan fasilitas medis.

• Perluasan daerah cakupan aktivitas kerjasama dan dukungan termasuk wilayah Jepang, Samudera Hindia, Teluk Persia, Diego Garcia, perairan Australia.

• Aktivitas pencarian dan penyelamatan untuk korban tindakan terorisme atau apabila negara lain meminta bantuan Jepang.

Lampiran Untuk Legislasi Kemungkinan • Berupa 7 RUU tambahan untuk Legislasi Kemungkinan Situasi Perang Jepang yang berlaku Juni 2004.

Situasi Perang di Jepang Juni 2004

• 2 dari antaranya bertujuan untuk

memudahkan operasi militer AS dalam sebuah kejadian serangan atau kedatangan serangan menuju Jepang dan mengizinkan SDF memberikian perbekalan pada AS bukan hanya pada saat damai, tapi juga saat perang.

• Memberi kuasa pada PM atas izin

penggunaan tanah atau bangunan pribadi apabila sebuah serangan datang. Pemerintah berkuasa untuk menuntut rakyat yang menolak.

• Untuk mendukung ACSA yang baru, SDF

dan USFJ diperbolehkan bertukar barang, termasuk amunisi dan jasa (sebelum revisi, SDF hanya boleh menyediakan dukungan logostik atas basis timbal-balik dalam pelatihan dan operasi perdamaian internasional) apabila Jepang dalam serangan.


(2)

3.2.3. Tantangan dalam Aliansi Pertahanan Jepang – Amerika Serikat Berakhirnya Perang Dingin juga telah mempengaruhi hubungan bilateral Jepang-AS dan sifat dari Traktat yang mendukungnya. AS muncul sebagai negara superpower yang memiliki kekuatan hegemoni di lingkungan internasional. Keruntuhan dari struktur bipolar dalam sistem internasional memberikan ruang yang lebih besar bagi Jepang untuk melakukan manuver dalam tingkat dunia. Hilangnya ancaman Uni Soviet dan berubahnya struktur tatanan dunia menimbulkan pertanyaan mengenai signifikansi dari Traktat Keamanan Jepang-AS. Ada beberapa cara pandang yang mendukung argumen anti-Traktat.

3.2.3.1. Legalitas Hubungan dan Aktivitas Aliansi Pertahanan Jepang –

Amerika Serikat dalam Konstitusi Jepang

Pertanyaan apakah Traktat menaati konstitusi dan konsisten dengan peraturan domestik telah lama diperdebatkan, khususnya pada 2 pokok bahasan: Pasal 9 Konstitusi dan 3 prinsip non-nuklir Jepang.

Pertama, Pasal 9 atau yang dikenal dengan Klausa Damai melarang Jepang untuk mempersenjatai diri dan tidak mengakui hak mempertahankan diri kolektif, yaitu memasuki pengaturan militer dengan negara lain. Berdasarkan ini, kebijakan keamanan Jepang menyatakan bahwa netralitas tak bersenjata merupakan satu-satunya kebijakan keamanan yang sah bagi Jepang, dan maka dari itu mendukung doktrin anti-SDF dan anti-Traktat. Namun hal ini tidak mempengaruhi pandangan pemerintah yang menyatakan bahwa Pasal 9 tidak menyangkal hak mempertahankan diri kolektif yang secara mutlak menjadi hak setiap negara berdaulat. Para pemimpin LDP sebagai partai pendukung pemerintah menyatakan


(3)

bahwa kebijakan dasar pertahanan nasional Jepang merupakan senshu-boel yang berarti bahwa SDF hanya akan memiliki “kapabilitas yang hanya berorientasi untuk pertahanan dan tidak akan meluncurkan serangan inisiatif” dan karena Traktat menitikberatkan hal ini, maka baik SDF maupun Traktat tidak melanggar Konstitusi. Hal ini juga didukung oleh Mahkamah Agung yang tidak pernah menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi.

Tahun 1993 menandakan titik balik dalam kebijakan keamanan Jepang, ketika Kebijakan Keamanan Jepang tidak menyertakan lagi ide kebijakan anti-SDF maupun anti-Traktat ketika membangun pemerintahan koalisi dengan partai LDP dan Sakikage, yang mengizinkan konsensus mengenai keabsahan SDF dan Traktat antara partai politik. Kedua, pemerintah dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap 3 prinsip non nuklir dalam kewajiban Traktat, dengan adanya kemungkinan penggunaan pelabuhan oleh kapal perang bersenjata nuklir AS. Pasal IV dari Traktat mewajibkan Jepang menjamin kekuatan militer AS atas penggunaan fasilitas dan wilayah Jepang “untuk membantu keamanan Jepang dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional di kawasan Timur Jauh”. Oleh karena itu, prinsip larangan perkenalan senjata nuklir secara teknis telah diabaikan. Maka secara bertentangan, walau Jepang secara fundamental anti nuklir dan mendukung abolisi semua senjata nuklir, Jepang tidak menolak payung nuklir AS.

3.2.3.2. Ketimpangan Peran Timbal Balik Jepang dan Amerika Serikat

Banyak kalaangan internasional yang menyatakan bahwa Traktat hanya menguntungkan Jepang karena AS tidak menanggung syarat yang serupa dalam


(4)

Traktat. Hal ini sering dititikberatkan pada fakta bahwa AS diwajibkan menjaga pertahanan Jepang, hal tersebut kemudian menimbulkan citra Jepang sebagai negara pembonceng gratis (free-rider). Argumen ini merupakan hal yang umum di era 60-an sampai awal 70-an. Dua kasus empiris yang kerapkali dihubungkan adalah kurangnya bantuan dari Jepang dalam krisis Teluk pada tahun 1991 dan fakta bahwa Jepang masih membatasi pengeluaran pertahanannya dibawah 1% sejak tahun 1976. Namun demikian ukuran 1% dari GNP adalah kurang tepat. Ini dikarenakan besarnya ekonomi Jepang. Bahkan Jepang merupakan negara yang mempunyai anggaran terbesar, hanya setelah AS dan Rusia. Pencatatan resmi mengatakan bahwa Jepang mengeluarkan jumlah yang sama dengan AS untuk keamanan kawasan pada masa Perang Dingin, Pengeluaran militer AS untuk alokasi militer di Asia Pasifik pada tahun 1991 tercatat sebesar 300 milyar dolar, sedangkan Jepang mengeluarkan total sebesar 30 milyar dolar. (

Pada tahun 1988, rasio pengeluaran militer per pasukan Jepang hanya dikalahkan oleh AS. Hal ini menyangkut seberapa besar sebuah negara mengeluarkan biaya untuk perlengkapan pasukannya. Semakin besar pengeluaran per pasukan, maka semakin canggih peralatan dan senjatanya. Menurut Muroyama, Jepang memiliki kapabilitas pertahanan konvensional tercanggih di Asia Pasifik. Dapat disimpulkan bahwa Jepang menanggung kewajibannya terhadap pasukan militernya secara serius.

www.mofa.go.jp/policy/oda/index.html diakses tanggal 10 Januari 2009 12.43 WIB)


(5)

Pada Perang Teluk tahun 1991, dapat diakui bahwa Jepang gagal mendapatkan konsensus nasional yang mantap untuk membantu usaha pasukan sekutu dalam Operasi Desert Storm. Hal ini menjadi sumber kritik dari AS. Namun Jepang juga mengeluarkan bantuan sebesar 13 milyar dolar, mengirimkan grup medis ke kawasan dalam kondisi perang, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Baghdad, dan memberikan intelijen mengenai hubungan Iran-Irak ke AS. Selain itu, sumbangan Jepang terhadap markas AS di Jepang juga meningkat. Pembagian beban keamanan telah mendorong Jepang mengeluarkan 6 milyar dolar per tahun untuk mengurus pasukan AS di Jepang. Maka dari itu pendapat Jepang sebagai pembonceng perlu ditinjau ulang. ( http://www.breitbart.com-/article.php?id=D93M4EEO1&show_article=1 diakses tanggal 10 Januari 2009 12.43 WIB)

3.2.3.3. Dukungan Domestik Jepang terhadap Aliansi Pertahanan

Dalam pembuatan kebijakan luar negeri Jepang, aktor domestik yang membentuk formasi dari kebijakan tersebut serta besarnya dukungan domestik merupakan faktor yang mendukung aliansi. Secara umum opini dalam publik internal Jepang dapat dibagi menjadi dua, yaitu: yang mendukung kebutuhan akan aliansi dan kelangsungan aliansi, dan pihak oposisi yang mendukung pembubaran aliansi. Mayoritas mereka yang mendukung aliansi (LDP, Partai Liberal, dan Partai Komeito) merasa perlunya memperbaharui aliansi untuk menyesuaikan diri dengan yang dibutuhkan tatanan internasional yang baru, dan sesuai perkembangan peran Jepang dalam masyarakat internasional. Partai DPJ yang merupakan oposisi utama juga mendukung Traktat Jepang-AS sebagai pilar utama


(6)

kebijakan keamanan Jepang dan menitikberatkan pentingnya dialog bilateral, dengan mempertimbangkan kepentingan nasional Jepang, yang akan membutuhkan pembuatan kebijakan yang lebih otonomi dari Jepang.