Contoh Makalah Perjumpaan Sains dan Agama Dari Konflik Ke Dialog
MAKALAH
PERJUMPAAN SAINS DAN AGAMA : DARI KONFLIK KE DIALOG
Disusun guna memenuhi salah satu mata kuliah PSI
Dosen :
Achmad Fauzi, S. Ag, M. Si.
Oleh :
Ika Wardani
Zulkhariasti
Latifah Irmayanti
Candra Pribadi
Tri Agita Rini
NIM 11600005
NIM 11600006
NIM 11600007
NIM 11600008
NIM 11600009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sains dan agama pada hakekatnya memiliki prinsip dan pembenaran
sendiri sehingga sering terjadi perbedaan pendapat diantara keduanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains berjalan dengan sangat cepat.
Sementara itu, pemahamaman yang terkait dengan sains yang mendasar pada
keimanan berjalan lebih lambat. Banyak ilmuan yang beragument bahwa semua
penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih banyak membicarakan persoalan akhirat dan
pesan-pesan moral. Maka dari itu sering terjadi benturan antara ilmu pengetahuan
khususunya sains dengan ilmu agama.
Pada dasarnya sains tidak dimaksudkan untuk menjawab semua hal yang
ada dalam kehidupan ini. Hal yang membuat sains begitu berharga, karena sains
membuat kita belajar tentang diri kita sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan
dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun
implementasi ilmu sains. Bahkan Albert Einstein pun pernah dalam salah satu
pidatonya berkata bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama akan lumpuh dan agama
tanpa ilmu pengetahuan akan buta. Dan perlu diketahui pergelutan Einstein
dengan sains membuatnya menemukan Tuhan.
Sains dan agama pada dasarnya berbeda. Perbedaan antara keduanya
mungkin disebabkan karena berbeda paradigma. Akibatnya agama dan sains
berjlan secara sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian
terjadi pertempuran diantara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman,
dan agama menuduh sains sebagai musuh Tuhan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan Sains dan Agama
Membahas mengenai hubungan sains dan agama tidak akan terlepas dari
masalah dasar perdebatan yakni masalah kebenaran dan masalah etika dalam
kehidupan. Oleh karena itu untuk menelaah fakta dan kebenaran yang ada dalam
kitab suci maupun yang nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan
kearifan dan etika dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia
yang mencoba mengintrepretasi hukum Tuhan maupun hukum alam akan
memberikan kesimpulan atas kebenaran yang ada dapat dipertanggungjawabkan
dalam konteks sains maupun konteks religi.
Tidak dapat kita pungkiri perkembangan sains dewasa ini sangatlah pesat.
Sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan
manusia dalam menghadapi segala tuntunan dan perkembangannya. Pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aplikasi sains tampak jelas
memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriyah manusia secara luas. Manusia
kini telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan secara besar-besaraan.
Namun yang menjadi masalah adalah pesatnya kemajuan sering diikuti dengan
merosotnya kehidupan beragama.
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya
etika pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal
sebaga sikap rasionalisme. Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu pengetahuan
telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada kegiatan pengamatan,
eksperimen, dan deduksi menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin
bersikap rasional dalam memandang alam semesta. Misalnya, gejala-gejala yang
terjadi di alam tidak lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatan gaib yang
menggerakan dan berada dibelakangnya. Namun gejala itu diyakini terjadi
3
didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu sendiri yang dikenal sebagai
hukum alam.
Ciri yang paling utama dari rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi
manusia. Segala sesuatu harus dapat dimengerti dan dijangkau oleh akal manusia
atau dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan akan diteima apabila dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pada dasarnya sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu aliran yang
sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi
metafis, aksiologis dan epistemologis. Aliran positivisme menganggap sains
mempunyai reputasi yang sangat tinggi untuk menentukan kebenaran, sains
sebagai dewa dalam beragam tindakan sosial, ekonomi,politik dan lain-lain.
Menurut sains kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisiten, dan
derivatif. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh
indra manusia.
Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang
terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang
datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan
memnjadi patokan bagi kebenaran –kebenaran yang lain.
Konflik antara sains dan agama menyebabkan jurang pemisah antara
keyakinan agama yang dianut dan sains yang dipelajari. Dampak nyata dari
perseturuan ini adalah terciptanya sains tanpa dilandasi moral keagamaan.
Sejarah mencatat, peristiwa kematian Galileo Galilei misalnya, seolah
menandai babak baru perang antara sains dan agama. Disusul terbitnya teori
Darwin yang tak ayal menghentakkan keyakinan beragama. Hingga kini teori
Darwin seakan menjadi semacam ikon perseteruan antara sains dan agama.
Contoh lain yang menjadi perdebatan antara etika sains dengan agama adalah
kloning. Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus,
sekalipun di tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika.
4
Etika agama “yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan
dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning
memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak
untuk meresponnya.
Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan
dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan tetap
berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah
kesepakatan logis bahwa setidaknya agamawan tidak mengesampingkan akal
budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika.
Perbedaan pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh
ketidakpahaman kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
sangat penting bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan
melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci,
tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam
semesta ini. Agama bisa mengharapkan sains untuk membersihkan unsur-unsur
takhayul yang menyusup, disadari, atau tidak, kedalam ajaran-ajarannya.
Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan. Namun
demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seandainya dicampuradukkan
dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci
secara serampangan bisa jadi malah akan memberikan pemahaman yang salah.
Bagi para agamawan yang kurang memahami sains, tindakan ini akan
menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang
tidak atau kurang dibekali agama, bisa membuat kesimpulan yang diambil
menjadi konyol dan menggelikan.
Umat Islam sejauh ini memandang sains dan teknologi sebagai barang
sekunder, dan menempatkannya di posisi pinggiran. Hal ini menyebabkan umat
Islam jauh tertinggal dalam bidang sains dan teknologi. Padahal kedua hal
tersebut di masa lalu pernah dikuasai umat Islam sehingga umat Rasulullah ini
meraih kejayaannya dan diperhitungkan oleh bangsa dan umat-umat lainnya.
5
Menurut Prof Zuhal ketertinggalan umat islam yang palng menonjol adalah
pada penguasaan sains an teknologi. Menurutnya jika umat islam ingin maju maka
kedua hal tersbut harus diraih dan itu juga merupakan kunci kemajuan dan
kesejahteraan.
Kelemahan mendasar umat Islam, karena tidak mensinergikan ilmu agama
dan umum dalam proses pendidikan mereka. Umat Islam di masa lalu maju di
bidang sains dan teknologi, tapi mereka juga fasih dalam ilmu agama, Mereka
memadukan keduanya.
Kalangan pesantren yang selama ini identik dengan pembelajaran ilmu-ilmu
agama saja. Dalam pandangan Prof Zamakhsari Zhofier, pesantren juga harus
memandang sains dan teknologi sebagai kebutuhan ilmu wajib, sama pentingnya
dengan belajar fikih. Agama dan sains harus saling mengukuhkan, terutama dalam
berbagai pandangan tentang anggapan-anggapan dasar tentang realitas, tanpa
harus kehilangan identitas masing-masing.
Umat Islam harus menyiapkan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang memadai. Hal ini berarti bahwa pendidikan sains dan teknologi
harus digalakkan, dan dipacu dengan kemampuan berpikir kritis analitis serta
penggunaan penalaran yang rasional.
Sekularisasi di Barat telah memisahkan sains dari agama, karena agama
dianggap tidak relevan bagi pengembangan sains. Dalam sains Barat, alam
semesta tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya secara
kebetulan karena adanya fluktuasi, karena memang keberadaan Tuhan tidak
pernah masuk dalam pembicaraan sains.
Langkah tepat yang harus dilakukan umat Islam adalah memagari sains yang
sekular dengan membuat sains sebagai himpunan informasi yang rapat, namun
terbuka secara matematis, dengan konsep ke-Tuhan-an berada di perbatasannya.
Dengan demikian akidah Islamiyah tetap berada di luar himpunan, namun dapat
dihampiri sebagai limit sedekat-dekatnya.
6
Sebagai contoh masalah penciptaan makhluk hidup di bumi, umat Islam dapat
memasukkan ajaran bahwa makhluk hidup tidak muncul dengan sendirinya,
melainkan diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, yang mendorong terjadinya
kehidupan di bumi dan evolusinya. Hal ini dapat dirujuk pada ayat 68 surat
Qashash yang artinya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa saja yang diinginkan Nya serta memilih; tiada
bagi mereka suatu pilihan”
Pada kenyataannya ajaran-ajaran tersebut tidak termasuk dalam sains,
apabila yang dimaksudkan disini adalah sains Barat yang sekular. Namun bagi
seorang Muslim, informasi yang berada di perbatasan sains itu akan dapat
diterima sebagai limit karena ia membawa serta ajaran-ajaran yang terkandung di
dalam Al Qur’an.
7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukkan pola pikir
sains dengan agama. Terdapat perbedaan cara pikir agama dengan sains. Agama
memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan.
Sedangkan sebaliknya dalam sains, skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi
acuan untuk terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam.
Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang
tanpa memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus
memahami bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya.
Semua penganut agama harus paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi
menjadi energi. Karena hal ini memang terbukti melalui pendekatan sains.
Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan
manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains,
kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains seyogyanya
ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam
semesta ini. Dan hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab
suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikait-kaitkan dengan kaidah sains.
PERJUMPAAN SAINS DAN AGAMA : DARI KONFLIK KE DIALOG
Disusun guna memenuhi salah satu mata kuliah PSI
Dosen :
Achmad Fauzi, S. Ag, M. Si.
Oleh :
Ika Wardani
Zulkhariasti
Latifah Irmayanti
Candra Pribadi
Tri Agita Rini
NIM 11600005
NIM 11600006
NIM 11600007
NIM 11600008
NIM 11600009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sains dan agama pada hakekatnya memiliki prinsip dan pembenaran
sendiri sehingga sering terjadi perbedaan pendapat diantara keduanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains berjalan dengan sangat cepat.
Sementara itu, pemahamaman yang terkait dengan sains yang mendasar pada
keimanan berjalan lebih lambat. Banyak ilmuan yang beragument bahwa semua
penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih banyak membicarakan persoalan akhirat dan
pesan-pesan moral. Maka dari itu sering terjadi benturan antara ilmu pengetahuan
khususunya sains dengan ilmu agama.
Pada dasarnya sains tidak dimaksudkan untuk menjawab semua hal yang
ada dalam kehidupan ini. Hal yang membuat sains begitu berharga, karena sains
membuat kita belajar tentang diri kita sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan
dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun
implementasi ilmu sains. Bahkan Albert Einstein pun pernah dalam salah satu
pidatonya berkata bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama akan lumpuh dan agama
tanpa ilmu pengetahuan akan buta. Dan perlu diketahui pergelutan Einstein
dengan sains membuatnya menemukan Tuhan.
Sains dan agama pada dasarnya berbeda. Perbedaan antara keduanya
mungkin disebabkan karena berbeda paradigma. Akibatnya agama dan sains
berjlan secara sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian
terjadi pertempuran diantara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman,
dan agama menuduh sains sebagai musuh Tuhan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan Sains dan Agama
Membahas mengenai hubungan sains dan agama tidak akan terlepas dari
masalah dasar perdebatan yakni masalah kebenaran dan masalah etika dalam
kehidupan. Oleh karena itu untuk menelaah fakta dan kebenaran yang ada dalam
kitab suci maupun yang nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan
kearifan dan etika dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia
yang mencoba mengintrepretasi hukum Tuhan maupun hukum alam akan
memberikan kesimpulan atas kebenaran yang ada dapat dipertanggungjawabkan
dalam konteks sains maupun konteks religi.
Tidak dapat kita pungkiri perkembangan sains dewasa ini sangatlah pesat.
Sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan
manusia dalam menghadapi segala tuntunan dan perkembangannya. Pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aplikasi sains tampak jelas
memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriyah manusia secara luas. Manusia
kini telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan secara besar-besaraan.
Namun yang menjadi masalah adalah pesatnya kemajuan sering diikuti dengan
merosotnya kehidupan beragama.
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya
etika pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal
sebaga sikap rasionalisme. Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu pengetahuan
telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada kegiatan pengamatan,
eksperimen, dan deduksi menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin
bersikap rasional dalam memandang alam semesta. Misalnya, gejala-gejala yang
terjadi di alam tidak lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatan gaib yang
menggerakan dan berada dibelakangnya. Namun gejala itu diyakini terjadi
3
didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu sendiri yang dikenal sebagai
hukum alam.
Ciri yang paling utama dari rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi
manusia. Segala sesuatu harus dapat dimengerti dan dijangkau oleh akal manusia
atau dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan akan diteima apabila dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pada dasarnya sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu aliran yang
sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi
metafis, aksiologis dan epistemologis. Aliran positivisme menganggap sains
mempunyai reputasi yang sangat tinggi untuk menentukan kebenaran, sains
sebagai dewa dalam beragam tindakan sosial, ekonomi,politik dan lain-lain.
Menurut sains kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisiten, dan
derivatif. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh
indra manusia.
Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang
terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang
datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan
memnjadi patokan bagi kebenaran –kebenaran yang lain.
Konflik antara sains dan agama menyebabkan jurang pemisah antara
keyakinan agama yang dianut dan sains yang dipelajari. Dampak nyata dari
perseturuan ini adalah terciptanya sains tanpa dilandasi moral keagamaan.
Sejarah mencatat, peristiwa kematian Galileo Galilei misalnya, seolah
menandai babak baru perang antara sains dan agama. Disusul terbitnya teori
Darwin yang tak ayal menghentakkan keyakinan beragama. Hingga kini teori
Darwin seakan menjadi semacam ikon perseteruan antara sains dan agama.
Contoh lain yang menjadi perdebatan antara etika sains dengan agama adalah
kloning. Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus,
sekalipun di tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika.
4
Etika agama “yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan
dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning
memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak
untuk meresponnya.
Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan
dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan tetap
berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah
kesepakatan logis bahwa setidaknya agamawan tidak mengesampingkan akal
budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika.
Perbedaan pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh
ketidakpahaman kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
sangat penting bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan
melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci,
tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam
semesta ini. Agama bisa mengharapkan sains untuk membersihkan unsur-unsur
takhayul yang menyusup, disadari, atau tidak, kedalam ajaran-ajarannya.
Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan. Namun
demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seandainya dicampuradukkan
dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci
secara serampangan bisa jadi malah akan memberikan pemahaman yang salah.
Bagi para agamawan yang kurang memahami sains, tindakan ini akan
menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang
tidak atau kurang dibekali agama, bisa membuat kesimpulan yang diambil
menjadi konyol dan menggelikan.
Umat Islam sejauh ini memandang sains dan teknologi sebagai barang
sekunder, dan menempatkannya di posisi pinggiran. Hal ini menyebabkan umat
Islam jauh tertinggal dalam bidang sains dan teknologi. Padahal kedua hal
tersebut di masa lalu pernah dikuasai umat Islam sehingga umat Rasulullah ini
meraih kejayaannya dan diperhitungkan oleh bangsa dan umat-umat lainnya.
5
Menurut Prof Zuhal ketertinggalan umat islam yang palng menonjol adalah
pada penguasaan sains an teknologi. Menurutnya jika umat islam ingin maju maka
kedua hal tersbut harus diraih dan itu juga merupakan kunci kemajuan dan
kesejahteraan.
Kelemahan mendasar umat Islam, karena tidak mensinergikan ilmu agama
dan umum dalam proses pendidikan mereka. Umat Islam di masa lalu maju di
bidang sains dan teknologi, tapi mereka juga fasih dalam ilmu agama, Mereka
memadukan keduanya.
Kalangan pesantren yang selama ini identik dengan pembelajaran ilmu-ilmu
agama saja. Dalam pandangan Prof Zamakhsari Zhofier, pesantren juga harus
memandang sains dan teknologi sebagai kebutuhan ilmu wajib, sama pentingnya
dengan belajar fikih. Agama dan sains harus saling mengukuhkan, terutama dalam
berbagai pandangan tentang anggapan-anggapan dasar tentang realitas, tanpa
harus kehilangan identitas masing-masing.
Umat Islam harus menyiapkan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang memadai. Hal ini berarti bahwa pendidikan sains dan teknologi
harus digalakkan, dan dipacu dengan kemampuan berpikir kritis analitis serta
penggunaan penalaran yang rasional.
Sekularisasi di Barat telah memisahkan sains dari agama, karena agama
dianggap tidak relevan bagi pengembangan sains. Dalam sains Barat, alam
semesta tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya secara
kebetulan karena adanya fluktuasi, karena memang keberadaan Tuhan tidak
pernah masuk dalam pembicaraan sains.
Langkah tepat yang harus dilakukan umat Islam adalah memagari sains yang
sekular dengan membuat sains sebagai himpunan informasi yang rapat, namun
terbuka secara matematis, dengan konsep ke-Tuhan-an berada di perbatasannya.
Dengan demikian akidah Islamiyah tetap berada di luar himpunan, namun dapat
dihampiri sebagai limit sedekat-dekatnya.
6
Sebagai contoh masalah penciptaan makhluk hidup di bumi, umat Islam dapat
memasukkan ajaran bahwa makhluk hidup tidak muncul dengan sendirinya,
melainkan diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, yang mendorong terjadinya
kehidupan di bumi dan evolusinya. Hal ini dapat dirujuk pada ayat 68 surat
Qashash yang artinya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa saja yang diinginkan Nya serta memilih; tiada
bagi mereka suatu pilihan”
Pada kenyataannya ajaran-ajaran tersebut tidak termasuk dalam sains,
apabila yang dimaksudkan disini adalah sains Barat yang sekular. Namun bagi
seorang Muslim, informasi yang berada di perbatasan sains itu akan dapat
diterima sebagai limit karena ia membawa serta ajaran-ajaran yang terkandung di
dalam Al Qur’an.
7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukkan pola pikir
sains dengan agama. Terdapat perbedaan cara pikir agama dengan sains. Agama
memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan.
Sedangkan sebaliknya dalam sains, skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi
acuan untuk terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam.
Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang
tanpa memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus
memahami bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya.
Semua penganut agama harus paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi
menjadi energi. Karena hal ini memang terbukti melalui pendekatan sains.
Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan
manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains,
kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains seyogyanya
ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam
semesta ini. Dan hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab
suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikait-kaitkan dengan kaidah sains.