PENDIDIKAN PESANTREN DAN TANTANGAN MODER

PENDIDIKAN PESANTREN DAN TANTANGAN
MODERNISASI

MAKALAH
Pemikiran Pendidikan Islam Klasik dan Modern

Oleh :
Batsits Sa’idi

Dosen Pembina,
Prof. Dr.HA. Saiful Anam, MA.

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2014

PENDIDIKAN PESANTREN DAN TANTANGAN MODERNISASI

A. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang

bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya
dalam kehidupan keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang
lalu, serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim.
Eksistensi Pesantren dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia telah
diakui bahkan tidak bisa dipungkiri telah ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bahkan pada masa kolonialisme berlangsung, secara langsung
maupun tidak, pesantren telah sangat berjasa baik dalam melahirkan
pemimpin-pemimpin bangsa maupun membina masyarakat dan tidak sedikit
pemimpin-pemimpin bangsa yang ikut memproklamir-kan kemerdekaan
adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Namun, kini reputasi pesantren tampaknya mulai dipertanyakan oleh
sebagian masyarakat muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini
terkesan berada di menara gading, jauh dari realitas sosial, ditambah lagi
dengan problem keilmuan dari pesantren, yaitu adanya kesenjangan, antara
ilmu yang didapat dari pesantren dengan kenyataan dunia modern. Sehingga
terkadang lulusan pesantren kalah bersaing, atau tidak siap berkompetisi
dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja.
Tantangan dunia pesantren yang semakin besar dan berat menyebabkan
pesantren perlu menengok kembali filososfi “mempertahankan warisan lama


yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik”. Karena
sekarang ini pesantren harus bisa mengurai secara cerdas problem kekinian
dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang
menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh kalangan pesantren,
ternyata berisi paradigma dan pandangan dunia yang sangat berbeda.
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insan pesantren
adalah mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah
diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insan pesantren
perlu memposisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi
modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus
membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu
hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan
kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi
relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat
dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah sistem pendidikan
pesantren. Sistem pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, blandongan,
balaghah, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan sistem
pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum, kalangan pesantren
seharusnya mulai berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.

B. Batasan Masalah
Agar pembahasan tidak melebar maka pembahasan ini akan difokuskan

kepada persoalan yang menyangkut lembaga pesantren dan pengaruh
modernisasi terhadap lembaga pesantren.
1. Pengertian Pesantren
Zamakhsari Dhofir dalam “Tradisi Pesantren” menyebutkan “ Secara
bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan
akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri”.
Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren, hal. 18). Sedangkan kata santri
menurut Prof. John sebuah kata dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji,
sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa kata santri berasal kata “shastri”
(bahasas India) artinya orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal
dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas
kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha
mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada
juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari

kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru
kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren
dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah
dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang

dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode
tertentu dalam sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok
pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab
funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.
Dari terminologi di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren
lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid
berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung
makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang
cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa HinduBudha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
2. Macam-macam Pesantren
Tentang Macam-macam bentuk pesantren yang tersebar di seluruh
Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi
empat macam, yaitu:

1. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan
pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa tanpa diberikan
pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang
lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton
Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri,
baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya.

Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari
seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan
kitab-kitab tertentu. Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan
pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang
justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek Islam sebagai
warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.
Misalnya: pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in
Jombang, dan lain sebagainya.
2. Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran
klasikal (madrasi, memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama
dan juga memberikan keterampilan umum). Pesantren jenis ini juga
membuka sekolah-sekolah umum. Misalnya: Pesantren Tebuireng
Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, dan lain sebagainya.

3. Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training
dalam waktu yang relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada
waktu liburan sekolah. Misalnya Pesantren La Raiba Jombang yang
programnya adalah pelatihan menghafal asam’ul husna, Al Qur’an dan
yang lain sebagainya dengan metode Hanifida, metode khas pesantren
tersebut.
4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada
pendidikan vocasional atau kejujuran, sebagaimana balai pelatihan

kerja, dengan program yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan
berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

3. Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis
di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak
sekitar abad ke-18. bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur
dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian
berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren. Pesantren pertama didirikan

oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Meskipun bentuknya masih sangat
sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap
sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami
doktrin

dasar

Islam,

khususnya

menyangkut

praktek

kehidupan

keagamaan.
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non

kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah
kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk
budaya Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya
sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia
buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan

pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari
intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum
mendapat pendidikan.
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah
yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah.
Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada
1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti
pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka
membentuk lembaga pesantren di daerahnya masing-masing.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat
signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara
kuantitas terhadap jumlah pesantren.Tercatat di Departemen Agama,
bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri
sebanyak 667.384 orang.Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661

pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981.kemudian jumlah
tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta
orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan.
Perkembangan

bentuk-bentuk

pendidikan

di

pesantren

tersebut

diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan
maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren
Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.


2. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama
dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri,
Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain
sebagainya.
3. Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian, seperti
Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.
4. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak
menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan
kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan
Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern
Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa
pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang
diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi
yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang
mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang
lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren
yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan
masyarakat sekitarnya.

Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak
mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap
memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan

transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai
islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol
sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa
sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas
hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
4. Modernisasi Pesantren
1. Pengertian Modern
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia modern diartikan sebagai
sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan
zaman. Jika ditambahkan imbuhan sasi (modernisasi) berarti hal atau
tindakan menjadikan modern; tindakan memberi sifat modern (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, hal. 965)
Menurut Istilah modernisasi mengandung pengertian sebagai
berikut :
a) Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari
kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti
teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan
politis.
b) Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan
sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang
biasanya dinamakan social planning.

Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah
modern mencakup pengertian sebagai berikut.
a) Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan
meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan
merata.
b) Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam
pergaulan hidup dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi
memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
a) Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b) Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan
birokrasi.
c) Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat
pada suatu lembaga atau badan tertentu.
d) Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap
modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e) Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin,
sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. (Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
2. Dampak Modernisasi
Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa sebuah perubahan akan
berdampak pada kehidupan masyarakat, terlebih lagi dalam hal-hal

yang berkaitan dengan perubahan sosial. Secara langsung maupun
tidak, modernisasi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara
umum tidak terkecuali masyarakat pesantren.
Dampak positif adanya modernisasi adalah sebagai berikut :


Perubahan tata nilai dan sikap ; Hal ini bisa dilihat dari cara
berpikir masyarakat dari yang irasional menjadi rasional.



Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ; Ditandai dengan
adanya kemudahan dalam beraktivitas dan mendorong untuk
berpikir lebih maju yang semua itu ditunjang dengan munculnya
produk teknologi sebagai alat bantu dalam beraktivitas.



Tingkat kehidupan yang lebih baik ; Adanya Industri telah
menyebabkan terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat
yang menyebabkan mereka memiliki income yang lebih yang bisa
dipakai untuk membeli alat (produk teknologi) yang bisa
mempermudah atau memperlancar aktivitas hidup masyarakatnya.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri disamping dampak positif

yang muncul ada pula dampak negatifnya, yaitu :.


Pola hidup konsumtif ; Karena terbiasa menikmati kemudahan dan
tingkat

kemakmuran

yang

sudah

diatas

rata-rata

telah

menyebabkan masyarakat terpacu untuk menikmati produk
teknologi yang setiap saat diluncurkan oleh pabrikan.


Sikap Individualistik ; Karena masyarakat sudah dimanja dengan
teknologi telah menyebabkan mereka tidak lagi membutuhkan

orang lain khususnya dalam beraktivitas. Padahal manusia
diciptakan sebagai makhluk sosial.


Gaya Hidup Kebarat-baratan ; Ditandai dengan munculnya budaya
baru yang diakibatkan santernya informasi lewat media elektrolik
(lewat TV dan internet) yang bisa melihat prilaku masyarakat barat
dengan segala macam prilakunya



Kesenjangan sosial ; Tidak setiap masyarakat modern bisa
beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk mereka yang bisa
beradaptasi dan mengikuti perkembangan zaman akan bisa
memnuhi apa yang menjadi keinginannya, tetapi bagi mereka yang
tidak bisa mengikuti mereka akan hidup dalam dunia lain yang
kalau dibiarkan akan melahirkan kesenjangan sosial yang semakin
dalam. Terlebih lagi munculnya budaya individualistik sedikit
banyak punya kontribusi terhadap kesenjangan sosial yang ada.



Kriminalitas ; Ketika ada sebagian masyarakat yang tidak bisa
mengikuti perkembangan kemudian mereka memiliki keinginan
yang kuat untuk tidak ketinggalan dan terlihat trendi, namun tidak
diikuti dengan finansial yang menunjang maka mencuri, merampok
menjadi sebuah solusi yang sangat realistis. Seiring dengan
menipisnya rasa solideritas dan munculnya persaingan serta pola
hidup konsumtif telah menjadikan kriminalitas sebagai bagian yang
harus ada dalam sebuah modernisasi.

Banyak anggapan bahwa modernisasi itu identik dengan westernisasi, padahal sebenarnya modernisasi itu tidak identik dengan westernisasi.
Secara ringkas keduanya bisa dibedakan sebagai berikut :
Modernisasi

:



Mutlak ada dan diperlukan oleh setiap Negara



Tidak mengesampingkan nilai-nilai agama



Tidak mutlak sebagai westernisasi meski bisa saja mirip dengan
westernisasi



Proses perkembangannya bersifat umum.

Westernisasi :


Mutlak sebagai suatu pembaratan



Mempertentangkan budaya barat dengan budaya setempat



Modernisasi munculnya di Barat sehingga cara westernisasi
merupakan satu-satunya cara untuk mencapainya (identik dengan
westernisasi)

3. Modernisasi Pesantren

Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan
sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau
dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide atau
metode baru dari seseorang atau sekelompok orang, baik berupa hasil
penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai
tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem
sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi
yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan
mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. Dalam hal ini,
pesantren telah di bantu dengan adanya program beasiswa S1 untuk guru
diniyah oleh Departemen Agama.
2. Fasilitas agamanya.
3. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan
penggunafisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini
misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding
ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer,
dan sebagainya. Waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini
misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang
dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu
sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.

Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi
adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan
orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya
hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya
meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf
dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum
keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu
saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih
berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan
umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah,
sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang
mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur
menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model
modernisasi pendidikan pesantren.
5. Tantangan Modernisasi Pendidikan Pesantren

Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah
menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih
disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap
pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan
bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren.
Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh

dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Diantara sisi positif tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadap perkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
2. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan
pesantren.
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan
modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya,
diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap
dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah
mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Diantara manfaat dari
perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah: Melahirkan banyak
pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas
bahkan ada pesantren yang sudah memanfaatkan internet sebagai alat
komunikasi dengan masyarakat. Hal ini bisa memberikan banyak pilihan
kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan
bakat, minat serta cita-citanya. Bahkan sekarang ini banyak pesantren yang
sudah melakukan terobosan dengan mengeksplorasi pesantren lewat website dan tidak sedikit dari lembaga pesantren tersebut yang sudah
melakukan pendaftaran santri baru secara on-line. Disamping itu sekarang
ini digitalisasi buku-buku sumber (kitab kuning) sudah menjadi sebuah
keharusan dan nampaknya suka atau tidak masyarakat harus siap

menerima modernisasi dalam semua aspek kehidupan tidak terkecuali
dunia pesantren.
Lahirnya santri-santri yang memiliki kecakapan (keahlian) beraneka
ragam dalam kehidupan modern akan bisa mengubur paradigma bahwa
santri hanya mampu dibidang agama saja. Dan saat ini, banyak sekali
komunitas pesantren (santri, kyai dan pesantren) yang bisa berinteraksi
lewat dunia maya dan siap berbagi ilmu (lewat tanya jawab maupun kajian
kitab klasik on-line) serta siap menampung dan mengatasi persoalan yang
dihadapi masyarakat modern.

C. Penutup

Modernisasi merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar,
terlebih lagi bagi sebuah pesantren. Ketika pesantren menolak eksistensi
teknologi dari sebuah produk modernisasi maka pesantren akan terasing dan
tidak bisa memberikan kontribusi untuk menata kehidupan masyarakat
modern. Sebaliknya ketika pesantren bisa dan mau menerima teknologi
pesantren akan memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat.
Modernisasi pesantren bisa saja (menurut miles) menyangkut personalia
dalam arti orang-orang yang terlibat dalam kehidupan pesantren seharusnya
mereka yang memiliki jenjang pendidikan formal disamping non formal.
Mungkin juga menyangkut fasilitas keagamaan yaitu kurikulum yang

berkaitan dengan pesantren maupun waktu dalam artian bagaimana mengatur
waktu dengan menyesuaikan dengan kurikulumnya sehingga bisa berjalan
efektif dan tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV, Jakarta, cet. VI. 1999.
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk. STUDI ISLAM Perspektif Insider/
Outsider, IRCiSoD, Jogjakarta, cet. I, 2012.
M. Utsman Najati, Dr. Al Qur’an dan Ilmu Jiwa Agama, terj. Ahmad Rofi’
Usman, Pustaka, Bandung, cet. I, 1985
Shoft ware Al Maktabatus Syamilah
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
LP3S, cet I, 1982
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas