THE GOVERNMENT CONTRACTUAL DISPUTE RESOLUTION TRUTH INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION AND I'TS PROBLEMS

PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAKTUAL PEMERINTAH MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA THE GOVERNMENT CONTRACTUAL DISPUTE RESOLUTION TRUTH INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION AND I'TS PROBLEMS

Diangsa Wagian 1 dan M. Yazid Fathoni 2

1 . Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram-NTB dan Dosen Fakultas Hukum Unram 2 . Anggota BPD Desa Senteluk Kecamatan Batu Layar dan Dosen Fakultas Hukum Unram Email : myazidfathoni@gmail.com dwagian@yahoo.com

Naskah dimuat : 30/08/2014; revisi : 01/10/20114; disetujui : 03/11/2014

A bstrAct

The research aims to study legal issues that appear within the government contractual dispute resolution through international commercial arbitration. The research is a legal normative. Therefore, it simultaneously applies to statute, conceptual, and case approaches. This literature research is conducted towards regulations, court decisions, legal books and legal journals that relate to the government contractual dispute resolution through international commercial arbitration. The results of the research elaborated in a descriptive and analytic way using qualitative methods to analyze the data. The research discovers that the presence of the government before the international commercial arbitration to settle disputes with foreign investors brought up some legal issues. Among others these are: a) state (government), through the law of limited company, this potentially reduces the jurisdiction of the ICSID Centre to settle foreign investment disputes between state and foreign investors; b) Courts as shown in some cases, block the enforcement of the foreign arbitration award which inflicts financial loss for state (government); c) the involvement of a state legal entity (state enterprise) ends in the engagement of state (government) as parties within the foreign investment dispute face to face with investors in front of a foreign justice court; and d) the unwillingness of state enterprise to perform the foreign arbitration award makes state assets overseas vulnerable to be confiscated by foreign investors as collateral in their claim for damages.

Key Words: Government Contract, Contractual Dispute, Dispute Resolution, Interna- tional Commercial Arbitration.

A bStrAk

Penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi apa saja permasalahan hukum dalam penyelesaian sengketa komersial yang melibatkan pemerintah melalui arbitrase internasional. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach ). Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, berbagai putusan pengadilan, buku literatur, dan jurnal hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kontraktual pemerintah melalui arbitrase. Hasil penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan Pemerintah RI dalam penyelesaian sengketa kontraktual melalui arbitrase komersil internasional telah memunculkan beberapa permasalahan hukum, diantaranya: a) Negara melalui Undang-Undang Perseroan Terbatas

Kajian Hukum dan Keadilan 572 IUS

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ...............

berpotensi mengebiri yurisdiksi Dewan Arbitrase ICSID untuk menyelesaikan sengketa mengenai penanaman modal asing antara negara dengan investor dari negara lain; b) Dalam beberapa kasus terlihat peradilan menghalang-halangi pelaksanaan putusan arbitrase asing apalagi jika pelaksanaan putusan arbitrase tersebut secara nyata-nyata akan merugikan Negara atau Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam putusan arbitrase tersebut; c) Keterlibatan perusahaan negara dalam kontrak-kontrak komersil seringkali berujung pada pelibatan negara berhadap-hadapan secara langsung dengan swasta asing dalam sengketa di hadapan peradilan asing; dan d) Keengganan perusahaan negara melaksanakan putusan arbitrase asing secara sukarela berpotensi membuat segala bentuk asset negara yang berada di luar negeri dipertaruhkan untuk memenuhi tuntutan ganti rugi investor asing.

Kata Kunci: Kontrak Pemerintah, Sengketa Kontraktual, Penyelesaian Sengketa, Arbi- trase Komersial Internasional.

digunakan dalam lalu lintas bisnis interna-

PENDAHULUAN

sional. Hampir semua kontrak bisnis ber-

d ewasa iNi skala internasional penyelesaian sengket-

, kecenderungan pemerintah anya diserahkan oleh para pihak ke arbi- untuk memanfaatkan instrumen hukum trase. 2 Demikian pula halnya penyelesaian perdata khususnya hukum kontrak dalam sengketa dalam kontrak-kontrak yang di- menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tandatangai oleh pemerintah secara lang- semakin intensif. Hal ini ditandai dengan sung maupun secara tidak langsung me- semakin beragamanya corak dan bentuk lalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kontrak yang dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan negara di satu pihak den- dengan pihak swasta, baik itu dalam gan pihak asing di lain pihak, baik dalam rangka pengadaan barang/jasa, penyediaan bentuk kerjasama operasi/joint operation infrastruktur maupun untuk kegiatan yang contract (JOC), atau lain-lain usaha bersa-

bersifat eksploitasi sumber daya alam. 1 Per-

ma dan perjanjian yang bersifat internasi- soalan keterbatasan dana, skill dan keter- onal, umunya dipakai klausula arbitrase ampilan sumberdaya manusia, manage- yang dilangsungkan di luar negeri. Dalam ment, risiko tinggi, serta penggunaan konteks foreign investment (penanaman teknologi tingkat tinggi merupakan be- modal asing), para investor pada umumnya berapa faktor yang mendorong pemerintah lebih cenderung memilih untuk menyerah- untuk bekerjasama dan melibatkan pihak kan sengketa yang timbul dari investasi ke- swasta dalam melaksanakan tugas pelayan- pada badan-badan arbitrase komersil inter- an publik dan memajukan kesejahteraan nasional daripada pengadilan nasional host umum. Seiring dengan semakin intensif- state (negara tuan rumah). Selain karena nya keterlibatan pemerintah dalam ber- negara berdasarkan teori sovereign im- kontrak dengan pihak swasta, maka mun- munity (imunitas kedaulatan), dengan culnya sengketa antara investor asing den- imu nitasnya tidak mungkin diadili oleh gan pemerintah Indonesia juga sulit di- suatu badan peradilan nasional, 3 penyele- hindarkan. saian sengketa melalui arbitrase dianggap

Akhir-akhir ini, penyelesaian sengketa lebih netral. Para investor khawatir peng- bisnis melalui arbitrase semakin popular adilan nasional tidak netral dalam meng-

1 Kontrak yang ditutup oleh pemerintah dengan pi- hak swasta inilah yang biasa disebut sebagai kontrak

pemerintah, yaitu suatu kontrak di mana di dalamnya 2 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, saling mempengaruhi antara hukum publik dan hukum Bandung: PT Rajawali Press, 1997, hlm. 1

privat. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum 3 Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Be- Acara Perdata , cet. I, Bandung: PT Alumni, 1992, hlm. razas Keadilan dan Kepastian Hukum , Jakarta: PT Fika-

hati Aneska, 2009, hlm. 181

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 573

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm

574 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

adili sengketa. 4 Pengadilan negara di- anggap cenderung lebih memihak kepada kepentingan negara dan bahkan pengadi- lan nasional dapat dijadikan sebagai alat/ instrument bagi negara untuk mengandas- kan tuntutan investor. Selain itu, pihak in- vestor asing tidak memahami secara men- dalam seluk belum system hukum (terma- suk aturan dan prosedur beracara di pen- gadilan nasional suatu negara) dan aturan investasi sehingga menyebabkan ketidak-

pastian investasi mereka. 5 Dengan meny-

erahkan penyelesaian sengketa kepada ar- bitrase, maka para investor dapat terhindar dari berbagai permasalahan tersebut di atas.

Di sisi yang lain, ditariknya negara (pemerintah) oleh investor ke dalam suatu forum peradilan asing atau arbitrase inter- nasional memunculkan persoalan hukum yang tidak sederhana. Penyelesaian seng- keta kepada arbitrase internasional men- jadi krusial karena terlibatnya negara dalam arbitrase. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara (pemerintah) di satu sisi dengan segala atribut yang melekat padan- ya seperti imunitas dan kedaulatan mem- punyai kedudukan yang istimewa karena negara (pemerintah) bertindak dalam kapasitas sebagai penguasa sekaligus indi- vidu pada umumnya, sementara di sisi lain investor swasta asing berkedudukan yang bersifat subordinat yang sepenuhnya tun-

duk pada hukum dari negara. 6

Dalam rangka mengatur penyelesaian sengketa antara negara (pemerintah) den-

4 Sudargo Gautama, Penjelasan Umum atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternative Penyelesaian Sengketa , Bandung: PT Aditya Bakti, 1999, hlm. 7-10. Lihat pula Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase dan permasalahannya di dalam Praktek Peradilan”, dalam buku Kapita Selekta Arbitrase dan Permasalahannya , Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 4

5 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan , Jakarta: Chandra pratama, 2001, hlm. 2

6 Y. Yogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pen- gadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia , Sura-

baya: Kantor Hukum “WINS & Partners” bekerjasama dengan Laksbang Justitia Surabaya, 2013, hlm. 55

gan penanam modal asing di suatu negara serta untuk menjamin kepastian hukum berinvestasi, PBB kemudian mengesahkan Convention of the Settlement of Invest- ment Disputes between States and Nation- als of other States (Konvensi Penyelesaian Perselisihan Mengenai Penanaman Modal antara Negara dan Warga Negara Asing), atau disebut juga World Bank Convention 1965 (Konvensi Bank Dunia). Sebagai badan pelaksana dari Konvensi ini kemu- dian dibentuk the International Centre for Settlement of International Disputes (IC- SID). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi ICSID (Konvensi Bank Dunia) melalui UU No. 5/1968. Se- lain itu, pemerintah RI juga meratifikasi New York Convention 1958 on the Recog- nition and enforcement of Foreign Arbitral Award atau biasa disebut Konvensi New York 1958 melalui Keppres No. 34 Tahun 1981. Konvensi ini mengatur tentang tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di suatu negara Peserta Konvensi. Kedua Konvensi tersebut dirati- fikasi oleh Pemerintah RI guna menjaga arus investasi dan memberikan jaminan kepastian hukum berinvestasi di Indonesia serta untuk mengikuti trend penyelelesa- ian sengketa melalui arbitrase. Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia pada kedua konvensi internasional terse- but, maka secara otomatis Indonesia teri- kat pada ketentuan-ketentuan yang ter- dapat pada kedua konvensi tersebut.

Meskpun kedua Konvensi tersebut telah diratifikasi dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional, akan tetapi dalam prak- tek, tidak otomatis membuat putusan arbi- trase internasional secara mudah dapat

d ieksekusi di Indonesia. Mahkamah Agung tetap berpendapat bahwa diperlu- kan peraturan khusus yang akan lebih mel- ancarkan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Atas dasar itulah, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pen-

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ............... gakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbi- katan konsep (conceptual approach), dan

trase Asing. Dengan dikeluarkannya Per- pendekatan kasus (case approach). 8 Pen- ma tersebut maka prosedur eksekusi terha- dekatan perundang-undangan (statute ap- dap putusan arbitrase internasional di In- proach ) dilakukan dengan mengkaji per- donesia lebih mudah dan terjamin. Jami- aturan perundangan-undangan yang ber- nan atas pengakuan dan pelaksanaan pu- hubungan dengan masalah arbitrase, baik tusan arbitrase asing di Indonesia semakin peraturan hukum positif nasional maupun dipertegas kembali dengan disahkannya internasional. Pendekatan konsep (concep- Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ten- tual approach ) dilakukan dengan mengkaji tang Arbitrase dan Alternative Penyelesa- konsep-konsep hukum dan pendapat para ian Sengketa.

ahli yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Sementara itu,

Sejak Indonesia menjadi peserta Kon- pendekatan kasus (case approach) dilaku- vensi ISCID pada tahun 1968 dan Konven- kan dengan mengidentifikasi dan menel-

si New York pada tahun 1981, pada kurun aah berbagai kasus yang berkaitan dengan

waktu sebelum berlakunya Perma Tahun permasalahan yang diteliti. 1990, maupun setelah Undang-Undang Ar-

bitrase diberlakukan, berbagai permasala- Penelitian ini dilakukan melalui studi hah hukum tidak sepenuhnya steril atau kepustakaan terhadap dokumen peraturan sepi dalam tataran praktis apalagi jika perundang-undangan, berbagai putusan proses arbitrase tersebut melibatkan ke- pengadilan, buku literatur, dan jurnal hu- pentingan negara (pemerintah) ataupun kum yang berkaitan dengan penyelesaian badan usaha milik pemerintah (BUMN). sengketa melalui arbitrase. Hasil penelitian Tulisan ini hendak mengeksplorasi berb- ini bersifat deskriptif-analitis. Dikatakan agai permasalahan hukum dalam penyele- bersifat deskriptif karena hasil penelitian saian sengketa komersial yang melibatkan ini diharapkan akan memberikan gamba- pemerintah melalui arbitrase inter- ran yang komprehensif dan sistematis ten- nasional.

tang pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya bersifat

Berdasarkan uraian tersebut diatas, analitis karena kemudian akan dilakukan

dapat dirumuskan pokok permasalahan suatu analisis terhadap berbagai ketentuan

dalam penelitian ini sebagai berikut: Apa peraturan perundang-undangan yang ada, saja permasalahan hukum dalam penyelesa- berbagai literature dan putusan peradilan

ian sengketa komersial yang melibatkan untuk menjawab berbagai permasalahan

pemerintah melalui arbitrase internasional? yang telah diuraikan dalam rumusan

Penelitian ini termasuk jenis penelitian masalah. Analisis data dilakukan secara yuridis-normatif, yaitu suatu penelitian kualitatif. terhadap kaidah hukum, yang meliputi

asas hukum, nilai (norma), pengertian hu- PEMBAHASAN

kum dan ketentuan hukum konkret, sys-

7 tem hukum dan penemuan hukum. A. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kare- Penyelesaian Sengketa Komersial yang

na penelitian ini termasuk jenis penelitian Melibatkan Pemerintah melalui Arbi- yuridis-normatif, maka ada beberapa

trase Internasional

pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perun- 1. Yurisdiksi Arbitrase dan Perbedaan dang-undangan (statute approach), pende-

Kewarganegaraan para pihak

7 Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Yogyakarta: Liberty, 2010, hlm. 7

Prenada Media, 2005, hlm. 93-94

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 575

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm

576 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

572~587

Permasalahan hukum yang pertama berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi Bank Dunia 1965 atau lebih tepatnya yurisdiksi arbitrase ICSID (the Interna- tional Centre for Settlement of Interna- tional Disputes) sebagai badan pelaksana dari Konvensi Konvensi Bank Dunia 1965 atas sengketa antara pemerintah Republik Indonesia dengan investor asing. Salah sa- tu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pa- ra investor asing yang hendak menanam- kan modalnya di Indonesia adalah keharu- san untuk terlebih dahulu membentuk suatu Perseroan Terbatas menurut Hukum Indonesia. Demikian menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No.

40 Tahun 2007. Berdasarkan ketentuan ini maka jelas bahwa status hukum dari badan hukum (Perseroan Terbatas) yang diben- tuk oleh para investor asing tersebut adalah berbadan hukum Indonesia yang tunduk pada hukum Indonesia. Dengan adanya keharusan membentuk badan hu- kum Indonesia, maka menjadikan para in- vestor asing (badan hukumnya) tersebut berkewarganegaraan Indonesia.

Konvensi Bank Dunia 1965 di sisi lain hanya mengatur tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara asing di bidang penanaman modal asing. Konvensi tidak mengatur atau tidak berlaku terhadap perselisihan mengenai penanaman modal dalam negeri (negara dengan warga negaranya sendiri). Dengan demikian, ketentuan Pasal 3 UU No.1/ 1967 tentang Perseroan Terbatas se- bagaimana telah diubah dalam Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 yang mengha- ruskan perkumpulan investor berbadan hukum Indonesia berpotensi menumpul- kan dan mengebiri yurisdiksi Dewan Arbi- trase ICSID untuk menyelesaikan sengketa mengenai penenaman modal asing di Indo- nesia. Hal tersebut juga secara tidak lang- sung telah menghilangkan arti dari keterli-

batan Pemerintah RI dalam meratifikasi Konvensi Bank Dunia tersebut.

Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Pemerintah RI vs PT. Amco Indone- sia. Dalam eksepsinya, Pemerintah RI me- nolak yurisdiksi dari ICSID dengan dalih bahwa PT. Amco Indonesia adalah berke- warganegaran Indonesia. Pemerintah RI mendalilkan bahwa yurisdiksi Dewan Ar- bitrase ICSID tidak dapat diperluas hingga mencakup suatu badan hukum yang mem- punyai kewarganegaraan daripada negara peserta Konvensi yang sedang dalam seng- keta sekarang ini. Dalam hal ini, PT. Amco Indonesia adalah suatu badan hukum In- donesia dan dapat dipandang berke- warganegaraan Indonesia, dan dengan demikian Dewan Arbitrase ICSID tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan dalil tersebut, pemerintah RI memperlakukan PT Amco Indonesia seb- agai warga negaranya sendiri dan bukan

sebagai warga negara asing. 9 Dalil ini me- mang relevan jika mengingat ketentuan Konvensi Bank Dunia dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan bahwa Centre baru mempunyai yurisdiksi apabila kedua belah pihak, yaitu si penanam modal asing dan pemerintah suatu negara mempunyai ke- warganegaraan yang berbeda. Di samping itu, ditentukan pula bahwa dapat tidaknya suatu negara ditarik ke hadapan forum IC- SID harus berdasarkan persetujuan negara peserta Konvensi.

Menanggapi keberatan pihak pemerin- tah RI terhadap yurisdiksi arbitrase terse- but, Dewan Arbitrase ICSID mengemuka- kan bahwa memang jika melihat kepada tempat pembentukan (place of incorpora- tion ) dari PT. Amco dan juga tempat kedudukan hukumnya yang terdaftar (place of its registered seat) yang juga meru- pakan kedudukan yang sebenarnya (actual seat ), maka tidak dapat disangkal bahwa

9 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional , cet. 1 Bandung: Alumni: 1986, hlm. 8-9

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 577

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ............... PT. Amco mempunyai kewarganegaraan

Indonesia. Namun di lain pihak, tidak dapat pula diabaikan ketentuan dalam Pas- al 1 Foreign Investment Application (Ap- likasi Penanaman Modal Asing) yang telah disetujui oleh Pemerintah RI jelas din- yatakan “the applicant puts forward an ap- plication to establish a foreign business in In- donesia .” Berdasarkan persetujuan atas Aplikasi tersebut, maka pemerintah RI telah menyetujui untuk memperlakukan PT. Amco sebagai suatu badan hukum as- ing (a foreign business) dalam sengketa tersebut. Menurut Dewan Arbitrase IC- SID, Konvensi juga–sebagaimana dilihat dalam 25- tidak mensyaratkan suatu syarat formal untuk memperlakukan suatu badan hukum domestik sebagai warga negara

asing. Konvensi tidak mensyaratkan suatu per-

nyataan secara formal bahwa para pihak hendak memperlakukan perusahaan ber- sangkutan sebagai mempunyai kewarga- negaran dari negara peserta yang merupak- an pihak dalam sengketa yang bersangku- tan. Perlakukan sebagai suatu perusahaan asing dari negara lain, ialah karena adanya pengawasan asing (foreign control). Dit- ambahkan pula oleh Dewan Arbitrase IC- SID bahwa penafsiran terhadap klausula arbitrase juga harus memperhatikan apa yang merupakan kehendak para pihak atau kehendak yang sebenarnya dari para pi- hak. Kehendak para pihak itu dapat ditarik dari harapan-harapan yang layak dari para pihak sewaktu mereka membuat perjanji- an, dengan memperhatikan perjanjian tersebut dalam keseluruhannya dan juga apa yang merupakan tujuan dan jiwa dari Konvensi Washington maupun dari per- aturan perundang-undangan Indonesia serta sikap para pihak. 10

Jika merujuk kepada ketentuan Pasal 25 (b) konvensi ICSID, Yurisdiksi arbitrase

10 Kutipan putusan Majelis Arbitrase ICSID dalam kasus Pemerintah RI vs PT. Amco Indonesia dapai

dilihat dalam ibid., hlm. 178-380

ICSID harus memenuhi 3 syarat: 1) Badan hukum yang bersangkutan menurut hu- kum memang warganegara dari negara peserta yang merupakan pihak lain dalam sengketa; 2) Adanya foreign control dengan pengetahuan dari negara peserta; dan 3) Para pihak telah menyetujui untuk mem- perlakukannya sebagai suatu badan hu- kum asing. Berdasarkan kepada syarat per- tama, maka jika melihat kepada tempat pembentukan (place of incorporation) dari PT. Amco dan juga tempat kedudukan hu- kumnya yang terdaftar (place of its regis- tered seat) yang juga merupakan kedudu- kan yang sebenarnya (actual seat), tidak dapat disangkal bahwa PT. Amco mempu- nyai kewarganegaraan Indonesia, dan hal ini sebagaimana diakui juga Dewan Arbi- trase ICSID. Berdasarkan syarat kedua, PT. Amco tetap harus diperlakukan sebagai badan hukum asing karena adanya “for- eign control”, yaitu suatu perusahaan yang telah didirikan dan dikontrol berdasarkan perundang-undangan Amerika Serikat. Berdasarkan syarat ketiga, PT Amco dalam sengketa tersebut haruslah diperlakukan sebagai badan hukum asing atas dasar per- setujuan Pemerintah RI atas Aplikasi Pen- anaman Modal Asing yang menempatkan atau memperlakukan PT. Amco sebagai suatu badan hukum asing (a foreign busi- ness ).

Penulis sendiri berpandangan bahwa apabila semua investor asing itu dipandang sebagai badan hukum Indonesia seb- agaimana yang dianut dalam eksepsi pemerintah di atas, maka praktis hal ini akan membuat Konvensi Bank Dunia tidak akan mungkin dapat diterapkan secara utuh sebagaimana tujuan awal diben- tuknya Konvensi tersebut. Oleh karena itu, penulis setuju dengan argumen Majelis Ar- bitrase ICSID dalam mengklaim yurisdiksi atas perkara yang diajukan, bahwa meskip- un pemerintah Indonesia menurut hukum yang berlaku di Indonesia menempatkan PT Amco Indonesia sebagai badan hukum

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm 572~587

Indonesia dan oleh karena itu sebagai war- Berbebeda halnya dengan putusan penga-

ga negaranya sendiri dan bukan sebagai dilan yang tidak perlu diberikan eksekua- warga negara asing namun atas dasar tur karena sudah mempunyai title ekseku- maksud para pihak (baik itu pemerintah torial dengan adanya irah-irah kepala pu- Indonesia maupun PT Amco Indonesia) tusan. Putusan arbitrase internasional sejak awal menghendaki untuk diperlaku- tidak mengenal atau mempunyai irah-irah kan sebagai warga negara asing, maka ber- (kepala putusan) sebagaimana berlaku di dasarkan teori intension of the parties Indonesia padahal putusan arbitrase asing (maksud para pihak) klaim yurisdiksi tersebut hendak dilaksanakan di Indone- Majelis Arbitrase ICSID atas perkara yang sia. Dalam proses pelaksanaan putusan diajukan tersebut menjadi sah secara hu- arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat kum.

me maksakan pelaksanaan putusannya, melainkan lembaga pengadilan yang harus

2. Pemberian exequatur (leave for enfor- memaksa pihak yang kalah untuk melak-

cement ) sanakan putusan arbitrase. 14

Permasalahan hukum yang kedua ter- Tahap pemberian eksekuatur seringkali

letak pada pemberian exequatur (leave for enforcement

menjadi tahap yang paling krusial dan me- ). Eksekuatur merupakan pem-

berian perintah untuk menjalankan putu- nentukan bagi investor dalam melak- san arbitrase. 11

sanakan putusan arbitrase asing di Indone- Otoritas pemberian ekseku-

sia sebab dapat saja kemudian eksekuatur tur terhadap putusan arbitrase internasi-

onal yang menyangkut Negara atau Pemer- itu tidak diberikan oleh Mahkamah Agung RI. Potensi ditolaknya pemberian eksekua-

intah Republik Indonesia sebagai salah sa- tur ini tetap besar sebab Pasal 3 ayat (3)

tu pihak dalam putusan arbitrase tersebut ter letak pada Mahkamah Agung. 12 Ketua dan pasal 4 ayat (2) Perma No. 1 tahun 1990 dan Pasal UU No. 30 Tahun 1999

Pengadilan hanya berkedudukan sebagai memberikan kewenangan kepada Mahka-

pihak penerima permohonan pendaftaran mah Agung untuk terlebih dahulu memer-

dan permohonan eksekusi, selanjutnya berkasnya dikirimkan kepada Mahkamah iksa dan meneliti putusan arbitrase asing

tersebut sebelum eksekuatur itu diberikan. Agung untuk dimintakan eksekuatur.

Namun demikian, kewenangan penelitian Setelah itu, barulah pelaksanaan eksekusi-

nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan itu terletak pada aspek formal saja; peneli- tian itu tidak ditujukan untuk menilai ke-

Negeri Jakarta Pusat. benaran materil (substansial) putusan

Eksekuatur menjadi syarat awal yang arbitrase asing itu. 15 Penelitian tidak mem- mendahulu dapat tidaknya suatu putusan persoalkan apakah putusan arbitrase asing arbitrase internasional dieksekusi atau di- tersebut benar atau tidak. Ketua Mahka- laksanakan di Indonesia. Eksekuatur ini

penting agar putusan arbitrase asing itu 14 Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk

mengekseksui putusannya sendiri karena: a) Lembaga

mempunyai kekuatan eksekutorial se- arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga bagaimana layaknya putusan pengadilan lembaga tersebut tidak memiliki wewenang yang bersifat

13 yang telah berkekuatan hukum tetap. publik yang dapat dijalankan dengan paksa kepada

pihak-pihak lain; b) Tidak terdapat landasan hukum bagi arbitrase untuk melaksanakan eksekusi putusannya

11 Setiawan, Aneka Masalah…….., hlm. 55. Lihat sendiri; c) Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita pula M. Yahya Harahap, Arbitrase, cet III Sinar Grafika,

sebagaimana terdapat pada lembaga peradilan yang Jakarta, 2004 hlm. 305

bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan 12 Lihat ketentuan Pasal 66 huruf d dan e Undang- dengan eksekusi. Lihat Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi

Undang Arbitrase, Penjelasan Pasal 3 (1) UU No. Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia : Teori dan 5/1968, Pasal 3 ayat (3) dan pasal 4 ayat (2) Perma No. Praktek Yang Berkembang , cet I , Surabaya: PT Wastu

1 tahun 1990.

Lanas Grafika, 2009, h.222

13 Setiawan, Aneka Masalah…….., hlm. 56. 15 Setiawan, Aneka Masalah………, hlm. 57

578 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 579

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ............... mah Agung dilarang untuk memeriksa ala-

san atau pertimbangan dari putusan terse- but. Larangan ini bermaksud untuk me- lindungi agar putusan arbitrase tersebut

benar-benar mandiri, final dan mengikat. 16

Beberapa hal yang dapat diperiksa dan diteliti oleh Ketua Mahkamah Agung sebe- lum eksekuatur diberikan hanya meliputi

apakah putusan arbitrase tersebut: 17 me-

lebihi kewenangan arbiter, sesuai dengan klausula arbitrase, mengenai materi yang boleh diarbitrasekan, bertentangan dengan kesusilaan, berlaku asas timbal balik (re- siprositas), termasuk dalam lingkup perda- gangan, putusan tidak memenuhi syarat, bukan tentang sengketa yang tidak boleh didamaikan dan tidak bertentangan den- gan ketertiban umum serta bukan tentang hak yang ada dalam kekuasaan para pihak. Konvensi New York juga memberikan pel- uang bagi ditolaknya pemberian eksekua- tur oleh pengadilan suatu negara di mana permohonan eksekusi atas putusan arbi- trase asing tersebut diminta. Article V (1) dan (2) Konvensi New York memerinci ke- adaan-keadaan dalam mana permohonan eksekuatur dapat ditolak, yang pada um- umnya meliputi masalah-masalah seperti jurisdiction , notice, public policy, dan

finality. Penulis sepenuhnya setuju bahwa

permohonan pemberian eksekuatur itu dapat ditolak oleh Mahkamah Agung kare- na sudah jelas bahwa baik Perma No. 1 ta- hun 1990, UU No. 30 Tahun 1999 mau- pun Konvensi New York 1958 memberikan peluang untuk itu, penulis juga setuju den- gan kewenangan penelitian aspek formal atas putusan arbitrase asing oleh Mahka- mah Agung, sebagai bentuk pengawasan ekstrinsik atas putusan arbitrase asing. Akan tetapi, apa yang menjadi stressing point dalam masalah ini adalah jika ke- wenangan Mahkamah Agung untuk

16 M. Yahya Harahap, Arbitrase………, hlm. 307 17 Lihat Ketentuan Pasal 4,5,62, dan 66 huruf b dan c

Undang-Undang Arbitrase

meneliti aspek formal putusan arbitrase menjangkau pula aspek substansial putu- san arbitrase asing sehingga pada akhirnya secara tidak langsung akan membuat Mah- kamah Agung memeriksa dan mengadili sendiri perkara yang diajukan permoho- nanan pemberian eksekuaturnya itu. Ke- wenangan yang diberikan kepada Mahka- mah Agung untuk meneliti putusan arbi- trase itu kemudian akan digunakan secara luas untuk menghalang-halangi pelaksa- naan putusan arbitrase asing apalagi pelak- sanaan putusan arbitrase tersebut secara nyata-nyata akan merugikan Negara atau Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam putusan arbitrase tersebut.

Potensi ini tidak mustahil bisa saja ter- jadi sebagaimana ditunjukkan dalam perkara PT Bakrie Brothers vs Trading Corporation of Pakistan Ltd. Pakistan trad- ing yang berkedudukan di Karachi Paki- stan telah mengajukan permohonan pelak- sanaan putusan arbitrase London, Federa- tion of Oils, Seed and Fats Association Limited, No. 2282 tanggal 8 September 1981. Melalui keputusan Pengadilan Neg- eri Jakarta Selatan No. 64/Pdt./G/ 1984 dinyatakan bahwa putusan Arbitrase Lon- don mengenai Perusahaan Pakistan yang telah meminta pelaksanaannya di Indo- nesia, sebagai tidak berkekuatan hukum tetap dan karena itu tidak dapat dilak- sanakan. Bahkan lebih jauh lagi Pengadi- lan Negari Jakarata Selatan menilai apakah keputusan arbitrase asing tersebut sesuai dengan jiwa Konvensi New York. Peng- adilan Negari Jakarta Selatan menganggap bahwa keputusan Arbitrase London itu ti- dak terlebih dahulu mendengar kedua

belah pihak yang bersangkutan. 18 Putusan arbitrase tidak mendengar Pihak Pemban- tah (Perusahaan Indonesia). Putusan arbi- trase semata-mata atas permintaan Pihak Terbantah (Perusahaan Pakistan) dan Pi-

18 Sudargo Gautama, Indonesia…., hlm. 75-76

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm 572~587

hak Pembantah sendiri tidak merasa ber- gadilan nasional membatalkan putusan ar- tanggung jawab atas kebenaran keteran- bitrase asing. gan-keterangan tersebut. “Pihak yang dim-

Merujuk kepada putusannya tertanggal intakan pelaksanaan putusan arbitase sek-

27 Agustus 2002, pada prinsipnya, ada dua arang ini, ternyata tidak diberikan “proper

dasar hukum yang digunakan oleh Penga- notice” mengenai pengangkatan dari arbi- dilan Negeri Jakarta Pusat untuk mem- trator dalam arbitrase ini atau karena ia

batalkan putusan arbitrase Jenewa Swiss. disebabkan sesuatu hal lain tidak dalam

Pertama , ketentuan Pasal 70 Undang-Un- kemungkinan untuk melakukan pembe- dang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase laan.

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dengan demikian, jelas bahwa Pengadi- Menurut penulis, penggunaan ketentuan lan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Pasal ini telah secara seluruhnya menilai kem-

70 oleh Majelis Hakim sebagai dasar pem- bali keputusan arbitrase asing. Meskipun batalan putusan arbitrase internasional putusan tersebut di dalamnya menyangkut tersebut kurang tepat, sebab ketentuan para pihak swasta dan bukan antara yang diatur dalam Pasal 70 tersebut hany-

negara atau pemerintah RI dengan pihak alah berlaku sepanjang mengenai pembata- swasta namun dapat dijadikan sebagai ref- lan putusan arbitrase nasional, dan tidak erensi yang dapat menjadi bukti bahwa berlaku bagi putusan arbitrase inter- walaupun sudah ada Keppres No. 34 Ta- nasional. Alur pembahasan dari Undang- hun 1981, dalam prakteknya tidak begitu Undang Arbitrase itu sendiri lebih berkai- mudah untuk memperoleh eksekuatur. tan dengan putusan arbitrase yang dilaku- Dengan kata lain, apabila suatu putusan kan di Indonesia. Jika mencermati sistema- arbitrase asing menyangkut kepentingan tika Undang-Undang Arbitrase khususnya para pihak swasta saja permohonan ekse- yang mengatur substansi arbitrase, nam- kuaturnya masih rawan untuk ditolak apa- pak bahwa Undang-Undang Arbitrase se- lagi jika putusan arbitrase tersebut me- cara umum, sesungguhnya lebih mengatur nyangkut di dalamnya negara atau pemer- tentang proses arbitrase, dari pemeriksaan intah RI sebagai salah satu pihak.

hingga pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan di lndonesia. 19 Kalaupun ada

3. Penolakan dan pembatalan putusan pengaturan mengenai putusan arbitrase in- arbitrase asing ternasional, Undang-Undang mengaturnya

Permasalahan hukum lainnya yang me- dalam konteks pelaksanaan putusan arbi- narik adalah terkait dengan pembatalan trase dan bukan dalam konteks pembata- putusan arbitrase asing oleh pengadilan In- lan putusan arbitrase internesional seperti donesia. Salah satu kasus pembatalan pu- yang diatur pada Bab VI bagian kedua tusan arbitrase asing yang cukup kontro- yang dimulai dari Pasal 65 hingga Pasal

versial di Indonesia adalah kasus pembata- 69. 20 Pembentuk undang-undang nampak- lan putusan arbitrase Jenewa, Swiss oleh

Pengadilan Negari Jakarta Pusat yang mel- 19 Substansi yang diatur dalam Undang-Undang

Arbitrase berdasarkan bab adalah sebagai berikut: Bab III

ibatkan PT. Pertamina dengan Karaha Bo- mengatur tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter das Company, karena putusan tersebut di- dan hak ingkar. Bab IV tentang acara yang berlaku di

anggap bertentangan dengan ketertiban hadapan Majelis arbitrase. Bab IV tentang pendapat dan

putusan arbitrase. Bab VI tentang pelaksanaan putusan

umum Indonesia. Sikap Pengadilan Negeri arbitrase. Bab VII tentang pembatalan putusan arbitrase. Bab VIII tentang berakhirnya tugas arbiter. Bab Jakarta Pusat tersebut telah memunculkan IX

tentang biaya arbitrase.

perdebatan mengenai dapat tidaknya pen- 20 Pasal 61 mengatur tentang Pengadilan Negeri yang berwenang menangani masalah pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 580 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ............... nya tidak bermaksud untuk memberi tersebut dimohonkan pelaksanaannya. Me-

kemung kinan pengadilan di Indonesia me- mang, Konvensi New York 1958 menying- lakukan pembatalan putusan arbitrase in- gung tentang pembatalan putusan arbitrase ternasional. Hal ini terlihat dari istilah pu- tetapi itupun hanya dalam konteks peno- tusan arbitrase daiam Pasal 65 hingga Pas- lakan putusan arbitrase internasional. Din- al 69 di mana digunakan istilah ‘putusan yatakan dalam Konvensi New York 1958 arbitrase internasional. Sementara dalam Pasal V ayat (1) huruf e bahwa: pengaturan mengenai pembatalan putusan

Recognition and enforcement of the arbitrase sebagaimana tertuang dalam Pas- al 70 hingga Pasal 72, istilah yang digunak- award may be refused …only of that

an adalah ‘putusan arbitrase. party furnishes to the competent out- 21 Berdasar- hority where the recognition and en-

kan logika di atas, jelas kiranya bahwa Un- forcement is sought, proof that …The dang-Undang Arbitrase Pasal 70 hanya merupakan landasan pembatalan terhadap award …has been set aside or suspend-

ed by a competent aouthory of te coun- putusan arbitrase domestik atau putusan try in which, or under the law of which, arbitrase yang dibuat oleh arbitrase di In- donesia. Pasal 70 bukan merupakan lan- that award was made”.

dasan pembatalan terhadap putusan arbi- Berdasarkan ketentuan di atas, nampak trase internasional.

bahwa Konvensi hanya memberikan ke- mungkinan bahwa suatu putusan arbitrase

Kedua , Konvensi New York 1958. dapat dibatalkan hanya oleh Competent Au- Meskipun Majelis Hakim Pengadilan Neg- thority di negara mana atau menurut hu-

eri Jakarta Pusat tidak secara tegas meru- kum mana suatu putusan arbitrase dibuat.

juk pasal mana dari Konvensi New York Putusan arbitrase yang telah terbukti di- 1958 yang dijadikan dasar untuk mem- batalkan oleh Competent Authority di nega-

batalkan putusan arbitrase Jenewa Swiss ra mana atau menurut hukum mana suatu

namun nampaknya pasal yang dimaksud putusan arbitrase tersebut dibuat dapat di-

tidak lain adalah Pasal VI jo. Pasal V ayat

22 (1 dan 2). jadikan dasar oleh pengadilan di negara Menurut penulis, penggunaan mana putusan arbitrase asing tersebut di-

dasar hukum tersebut kurang tepat karena mohonkan pelaksanaan/eksekusinya un-

Konvensi New York 1958 sendiri tidak tuk menolak pelaksanaan putusan arbi- mengatur persoalan pembatalan putusan trase asing tersebut. Oleh sebab itu, tidak

arbitrase internasional melainkan hanya tepat kiranya jika Majelis Hakim menggu-

mengatur persoalan pengakuan dan pelak- nakan Konvensi New York sebagai dasar sanaan putusan arbitrase internasional di melakukan pembatalan putusan arbitrase

negara di mana putusan arbitrase asing

Jenewa.

Pasal 66 tentang syarat-syarat putusan arbitrase internasional yang dapat dilaksanakan di Indonesia.

4. Penolakan eksekusi putusan arbitrase Pasal 67 tentang waktu permohonan pelakanaan

putusan arbitrase internasional dapat dilakukan asing dan ketertiban umum. serta berkas-berkas yang harus disampaikan

dalam permohonan tersebut. Pasal 68 tentang Dari seluruh rangkaian proses penyele- upaya hukum terhadap permohonan pelaksanaan saian sengketa melalui arbitrase, tahap

putusan arbitrase internasional. Pasal 69 tentang eksekusi putusan arbitrase internasional.

eksekusi atau pelaksanaan putusan ini pal-

21 Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan ing pelik dan sulit, serta paling menakut- Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional,”

dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober- 23 kan bagi investor asing tetapi sekaligus November 2002, hlm. 71

sangat menentukan, karena pihak terek- “The award has not yet become building on

the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which or under

23 Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru the law of which, that award was made ”.

1999 , Jakarta: PT Citra Aditya, hlm. 131

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 581

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm

582 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

sekusi/debitur dengan segala cara, baik melalui upaya hukum maupun non hu- kum, akan berusaha untuk menggagalkan eksekusi tersebut. Inilah salah satu

kelemahan dari arbitrase. 24

Salah satu alasan yang seringkali digu- nakan oleh pihak tereksekusi untuk meng- gagalkan pelaksanaan putusan arbitrase as- ing adalah ketertiban umum. Penggunaan ketertiban umum sendiri selalu menjadi kontroversi dalam arbitrase internasion-

al. 25 Meskipun New York Convention 1958 maupun Undang-Undang Arbitrase mem- perbolehkan penolakan pelaksanaan suatu putusan arbitrase berdasarkan ketertiban umum tetapi tidak begitu jelas apa yang di- maksud dengan ketertiban umum. Hukum nasional masing-masing negara mempun- yai konsep sendiri-sendiri tentang luas dan ruang lingkup makna ketertiban umum Memang Konvensi New York 1958 mem- berikan kesempatan kepada pengadilan negara peserta untuk memberikan penaf- siran tentang ketertiban umum. Oleh kare- na itu ada celah bagi negara peserta untuk menafsirkannya secara sempit untuk me- lindungi kepentingan politik nasional neg- ara tersebut. Hal ini kemudian berpotensi besar membuat konsep ketertiban umum disalahgunakan untuk melumpuhkan ke- mungkinan eksekusi atas putusan arbi- trase asing atau disalahgunakan secara lel- uasa untuk lolos dari kewajiban melak- sanakan putusan arbitrase, yang bertentan- gan dengan semangat ratifikasi konvensi. 26

Praktek menunjukkan bahwa ketika suatu putusan arbitrase internasional hen- dak dieksekusi di Indonesia, perusahaan negara yang kalah bersengketa dengan pi-

24 Ibid. 25 Michelle Ayu Chinta Kristy and Zhengzheng Jing, “Public Policy Violation under New York Convention”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1, Feb 2013, hlm. 146. Ulasan mengenai ketertiban umum dikaitkan dengan eksekusi putusan arbitarase asing misalnya dapat dilihat dalam tulisan Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam ……., hlm. 37-40

26 Michelle Ayu Chinta Kristy and Zhengzheng Jing, “Public Policy….., hlm.146

hak swasta asing di forum arbitrase inter- nasional mengajukan penolakan pelaksa- naan putusan arbitrase internasional kare- na bertentangan dengan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana dipertunjukkan dalam kasus Pertamina vs karaha Bodas Compa- ny. Dalam salah satu alasan gugatan pem- batalannya, Pertamina mendalilkan bahwa putusan arbitrase Jenewa bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indone- sia karena putusan tersebut melanggar Keppres No. 39 tahtm 1997 dan Keppres No. 47 tahun 1997 yang menangguhkan pelaksanaan proyek Karaha Bodas sehing-

ga kontrak tidak dapat diteruskan. Dan oleh karena itu, atas penangguhan kontrak tersebut, pihak Pertamina tidak dapat di-

persalahkan. 27 Majelis Hakim dalam putusannya

menerima dalil yang diajukan oleh Pertam- ina tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat putusan arbitrase Jenewa Swiss telah melanggar ketertiban umum Indonesia. Hal ini ber- dasarkan batasan ketertiban umum yang diberikan oleh Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2) yaitu “sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyara- kat Indonesia.” Berdasarkan pengertian tersebut, dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat putusan arbitrase Jenewa Swiss telah melanggar Keppres No. 39 ta- hun 1997 dan Keppres No. 47 tahun 1997 yang menyatakan bahwa semua proyek yang membutuhkan dana besar yang berkaitan dengan pemerintah termasuk Proyek Karaha Bodas digantikan pelaksa- naannya. Kedua Keppres tersebut dikeluar- kan oleh pemerintah atas permintaan IMF yang bertujuan untuk mengatasi beban negara yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Karena itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa jika proyek geothermal tetap dilanjutkan, maka beban

27 Ibid.

Diangsa Wagian dan M. Yazid Fathoni|Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah ............... negara akan semakin berat dan menyeng- memuat klausula arbitrase tersebut adalah

sarakan perekonomian bangsa. Inilah kontrak-kontrak yang mengandung cacat penafsiran Majelis Hakim tentang apa dan melanggar ketentuan peraturan yang yang dimaksud dengan ketertiban umum.

berlaku di Indonesia karena mempunyai causa yang terlarang, maka perjanjian jual

Penggunaan asas ketertiban umum un- beli itu harus dibatalkan. Menurut Penga- tuk membatalkan putusan arbitrase asing dilan Negeri Jakarta Pusat, karena dasar

di Indonesia, kasus Karaha Bodas nampak- dari putusan hakim asing tersebut berten-

nya bukan kasus yang pertama, karena tangan dengan ketertiban umum dan tertib

ternyata dalam kasus Yani Haryanto mela- hukum di Indonseia, maka putusan hakim

wan ED & Man (Sugar) Ltd juga menggu- asing tersebut tidak mempunyai daya

nakan alasan yang sama. 28 Yani haryanto

pengikat. 29 Putusan Pengadilan Negeri Ja- dan ED & Man (Sugar) Ltd dari Inggris karta Pusat tersebut kemudian diperkuat telah bersepakat membuat kontrak jual be-

oleh Mahkamah Agung RI 30 dengan suatu li 400.000 metrik ton gula pasir pada bulan

pertimbangan bahwa oleh karena perjanji- februari 1982. Yani Haryanto sebagai an pokoknya batal demi hukum maka perantara Bulog, membatalkan kontrak se-

klausula arbitrase sebagai perjanjian acces- bab harga gula internasional saat itu dan

soir juga ikut menjadi batal sehingga putu- Bulog membatalkan untuk membeli gula.

san arbitrase tidak mengikat. Akibatnya, Man merasa dirugikan karena

terlanjur membeli gula dari sumber lain. Kasus yang paling terkini berkaitan Arbitrasi London kemudian menghukum dengan penggunaan ketertiban umum seb- Yani Haryanto untuk membayar ganti rugi agai dasar untuk menolak pelaksanaan pu- US.$ 22 juta kepada Man. Yani tidak mau tusan arbitrase di Indonesia tercermin mentaati putusan arbitrase tersebut, bah- dalam kasus Astro Nusantara Internation- kan pada bulan agustus 1988, Yani Hary- al B. V. vs PT Ayunda Prima Mitra seb- anto mengajukan permohonan pembatalan agaimana telah diputus berdasarkan putu- kedua kontrak tadi ke Pengadilan Negeri san MA RI No. 01K/Pdt. Sus/2010, 24 Jakarta Pusat. Penggugat mendalilkan den- Februari 2010. Kasus ini bermula dari pu- gan surat gugatannya tanggal 8 agustus tusan Arbitrase Singapura. Dalam putusan 1988 bahwa kontrak tersebut bertentan- sela yang dikeluarkan oleh Arbitrase gan dengan ketertiban umum, yaitu Kep- Singapura yang memerintahkan Ayunda pres No. 43 Tahun 1971, jo. Keppres No. untuk tidak melanjutkan proses perkaran-

39 Tahun 1978 yang pada pokoknya me- ya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nyatakan bahwa perorangan dilarang berhubung perkara tersebut merupakan mengimpor gula pasir ke negara RI, kecua- yurisdiksi arbitrase untuk menyelesaikan- li Bulog. Oleh karena itu, menurut Pasal nya sesuai dengan kesepakatan para pihak. 1320 KUHPerdata ayat (4) agar perjanjian Ayunda menolak untuk secara sukarela dianggap sah harus ada sebab yang legal mentaati putusan tersebut karena menurut (causa yang diperbolehkan). Suatu per- ayunda, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setujuan tanpa sebab yang terlarang tidak telah menetapkan yurisdiksinya untuk mempunyai kekuatan hukum.

memeriksa kasus tersebut. Menyikapi hal tersebut, Astro kemudian justru meng-

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemu- ajukan permohonan eksekuatur kepada

dian mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan bahwa perjanjian jual yang

29 Ibid.

28 Tineke Louise Longdong, Asas Ketertiban Umum 30 MA RI No. 1203K/Pdt/1990 jo. Perdata No. dan Konvensi New York 1958 , Jakarta: PT Citra Aditya, 736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo. PT JKT No. 485/

1998, hlm. 244

Pdt/1989/PT DKI

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 583

J UrnAl IUS | Vol II | Nomor 6 | Desember 2014 | hlm 572~587

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permoho- sangat luas dan belum begitu jelas sehingga nan tersebut kemudian ditolak oleh Peng- trend pro-penolakan atas dasar ketertiban adilan. Dalam putusannya, Pengadilan umum pada masa-masa yang akan datang berdalih bahwa putusan Arbitrase Singa- akan terus ditemukan. pura tersebut melanggar kedaulatan RI

5. Pelaksanaan putusan arbitrase Inter- karena arbitrase (putusan tersebut) telah nasional dan Pertaruhan aset negara mengintervensi proses yudisial (peradilan)

(pemerintah)

yang sedang berjalan di Indonesia meskip- un putusan arbitrase tersebut pada dasar-

Permasalahan hukum lainnya berkaitan nya hanyalah memerintahkan Ayunda dengan keengganan perusahaan negara untuk mentaati klausula arbitrase. Peng- melaksanakan putusan arbitrase asing se- adilan akhirnya menetapkan bahwa pu- cara sukarela. Praktek menunjukkan bah- tusan Arbitrase Singapura tersebut ber- wa ketika perusahaan negara kalah bersen- tentangan dengan ketertiban umum Indo- gketa dengan pihak swasta asing di forum nesia. Putusan ini kemudian diperkuat arbitrase internasional, perusahaan negara

oleh MA. 31 Selain dari beberapa kasus di tersebut seringkali tidak mau melak- atas, masih terdapat penolakan terhadap sanakan kewajiban membayar ganti rugi pelaksanaan putusan arbitrase inter- dengan sukarela. Hal ini mengakibatkan nasional oleh MA RI dengan alasan ke- pihak swasta asing harus melakukan berb- tertiban umum, yaitu pada perkara Bank- agai upaya memburu segala macam aset,

ers Trust Company vs PT Mayora Indah 32 baik aset atas nama perusahaan negara dan perkara the Jakarta International Ho- yang bersengketa secara langsung dengan tel & Development Tbk.

pihak swasta asing tersebut maupun aset- aset lain milik negara pemilik perusahaan

Beberapa kasus di atas nampaknya tersebut yang berada di luar negeri. 33 Salah belum ada yang memberikan pemahaman

satu contoh terkait dengan hal ini adalah dan penjelasan yang utuh tentang kriteria

kasus Pertamina vs karaha Bodas Compa- ketertiban umum itu. Pengadilan di Indo-

ny (perusahaan Amerika Serikat yang nesia hanya menganggap bahwa suatu berkedudukan di Cayman Island) berhasil

putusan arbitrase asing dikatakan berten- memenangkan kasusnya di hadapan forum

tangan dengan ketertiban umum pada inti- arbitrase internasional. Ketika Pertamina

nya jika melanggar hukum Indonesia dan tidak bersedia melaksanakan kewajiban- sendi-sendi dasar sistem sosial dan hukum.

nya dengan sukarela, KBC mengajukan pe- Pemaknaan seperti ini mengikuti definsi

nyitaan atas 15 trust account hasil penjua- ketertiban umum yang diberikan oleh Per- lan gas alam cair (LNG) milik Pemerintah

ma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2) yaitu Indonesia yang tersimpan di Bank of

“sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hu- America dan New York Bank. Pemerintah

kum dan masyarakat Indonesia .” Penger- berargumen bahwa asset negara yang akan tian ketertiban umum sebagaimana dimak- disita tersebut tidak semuanya milik Per- nai oleh putusan pengadilan dan menurut

tamina. Terdapat di dalamnya asset negara Perma No. 1 tahun 1990 tersebut masih

yang imun (kebal) dari penyitaan maupun mempunyai makna dan jangkauan yang eksekusi, sehingga KBC tidak berhak men-

gajukan eksekusi terhadap asset tersebut. 34

31 Michelle Ayu Chinta Kristy and Zhengzheng Jing, “Public Policy….., hlm.146

32 Bankers Trust Company vs PT Mayora Indah, 33 Sefriani, “Status Hukum Asset Perusahaan Negara Putusan PN Jak-Sel No. 489/Pdt.G/1999/PNJS, jo. dalam Hukum Internasional”, jurnal Mimbar Hukum,

Putusan PT DKI No. 211/Pdt/2000/PT DKI jo. Penetapan Yogyakarta: UGM, Vol. 24, No. 3, Oktober 2012, hlm PN Jak-Pus No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST jo. 516-517 Putusan MA RI No. 01 K/Extr/Arb.Int/Pdt/2000

34 Ibid .

584 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

Dokumen yang terkait

KEWENANGAN DPR DALAM MELAKSANAKAN UJI KEPATUTAN DAN KELAYAKAN BAGI CALON PEJABAT PUBLIK DARI ASPEK KETATANEGARAAN FIT AND PROPER TEST FOR PUBLIC THE OFFICIALS CANDIDATE PERSPECTIVE ON CONSTITUTIONAL ASPECTS

0 0 13

PLURALITY OF SHARIAH BANKING DISPUTE SETTLEMENT METHOD IN INDONESIA

0 0 18

PENGALIHAN STATUS TANAH DRUWE DESA MENJADI TANAH ASET PEMERINTAH DAERAH DI KECAMATAN KINTAMANI BANGLI BALI STATUS OF VILLAGE-OWNED LAND TRANSFER INTO THE DISTRICT GOVERNMENT ASSETS IN KINTAMANI BANGLI BALI

0 0 14

KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG RI NUMBER 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK CONCEPT OF RESTORATIVE JUSTICE IN THE LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 11 OF 2012 CONCERNING CHILDREN'S CRIMINAL COURT SYSTEM

0 1 13

MENGUKUR DERAJAT DEMOKRASI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MEASURING THE DEMOCRATIZATION DEGREE ACCORDING TO LAW NUMBER 42 OF 2008 CONCERNING GENERAL ELECTION OF THE PRESIDENT AND VICE PRESIDENT

0 1 16

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN DELIK AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA THE POLICY OF CRIMINAL LAW FORMULATION CONCERNING ERADICATION OF RELIGIOUS OFFENSE IN ORDER OF CRIMINAL LAW REFORMATION

0 0 12

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM MENGATASI TINDAKAN ANARKI DI MASYARAKAT THE DISCRETION OF THE POLICE TO ALLEVIATE THE ACT OF ANARCHY IN THE SOCIETY

0 0 12

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA THE SETTLEMENT FOR SHARIAH ECONOMY DISPUTES WITHIN RELIGIOUS COURT

0 0 13

PEMENUHAN HAK-HAK EKONOMI DAN MORIL MASYARAKAT ASLI ATAS PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL MELALUI SISTEM HKI INDONESIA THE FULFILLMENT OF ECONOMIC AND MORAL RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES ON TRADITIONAL KNOWLEDGE AND TRADITIONAL CULTU

0 1 21

LAND POSSESSION RIGHTS AND ITS AFFAIR

0 1 10