Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yan

Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam kehidupan
bernegara
May 25, 2016 syahrial Leave a comment
Pengertian sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah pencipta segala yang ada dan semua makhluk. Yang
Maha Esa berarti yang Maha tunggal, tiada sekutu, Esa dalam zatNya, Esa dalam sifat-Nya,
Esa dalam Perbuatan-Nya, artinya bahwa zat Tuhan tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu
menjadi satu, bahwa sifat Tuhan adalah sempurna, bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat
disamai oleh siapapun. Jadi ke-Tuhanan yang maha Esa, mengandung pengertian dan
keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Keyakinan
adanya Tuhan yang maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar
pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika.
Agama hendaknya menjadi titik konvergen (pertemuan) dari berbagai ajaran moral,
kepentingan, keyakinan, serta niat untuk membangun. Ada beberapa syarat dialog antar umat
beragama:
1. Dialog beragama mesti berdasarkan pengalaman religius atau pengalaman beriman
yang kokoh.
2. Dialog menuntut keyakinan bahwa religi lain juga memiliki dasar kebenaran pula.
3. Dialog harus didasari keterbukaan pada kemungkinan perubahan yang tulus

(pemahaman)
Atas keyakinan yang demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan ketuhanan yang Maha
Esa, dan Negara memberi jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama
sesuai dengan keyakinannya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Bagi
dan didalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal ketuhanan yang Maha
Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti ketuhanan yang Maha Esa, dan anti
keagamaan serta tidak boleh ada paksaan agama dengan kata lain dinegara Indonesia tidak
ada paham yang meniadakan Tuhan yang Maha Esa (atheisme). Sebagai sila pertama
Pancasila ketuhanan yang Maha Esa menjadi sumber pokok kehidupan bangsa Indonesia,
menjiwai mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab,
penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang
berdaulat penuh, bersipat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hakekat pengertian itu sesuai dengan:
1. Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi antara lain ”atas berkat rahmat Allah

yang maha kuasa….”
1. Pasal 29 UUD 1945:
2. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa
3. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
4. Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Inti sila ketuhanan yang maha esa adalah kesesuaian sifat-sifat dan hakikat Negara dengan
hakikat Tuhan. Kesesuaian itu dalam arti kesesuaian sebab-akibat. Maka dalam segala aspek
penyelenggaraan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat nila-nilai yang berasal dari
tuhan, yaitu nila-nilai agama. Telah dijelaskan di muka bahwa pendukung pokok dalam
penyelenggaraan Negara adalah manusia, sedangkan hakikat kedudukan kodrat manusia
adalah sebagai makhluk berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan. Dalam pengertian ini
hubungan antara manusia dengan tuhan juga memiliki hubungan sebab-akibat. Tuhan adalah
sebagai sebab yang pertama atau kausa prima, maka segala sesuatu termasuk manusia adalah
merupakan ciptaan tuhan (Notonagoro)
Hubungan manusia dengan tuhan, yang menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan
kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan terkandung dalam nilai-nilai agama. Maka

menjadi suatu kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan, untuk merealisasikan nilai-nilai
agama yang hakikatnya berupa nila-nilai kebaikan, kebenaran dan kedamaian dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disisi lain Negara adalah suatu lembaga kemanusiaan suatu lembaga kemasyarakatan yang
anggota-anggotanya terdiri atas manusia, diadakan oleh manusia untuk manusia, bertujuan
untuk melindungi dan mensejahterakan manusia sebagai warganya. Maka Negara
berkewajiban untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keadilan perdamaian
untuk seluruh warganya.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa Negara adalah sebagai akibat dari manusia, karena Negara
adalah lembaga masyarakat dan masyarakat adalah terdiri atas manusia-manusia, adapun
keberadaan nilai-nilai yang berasal dari tuhan. Jadi hubungan Negara dengan tuhan memiliki
hubungan kesesuaian dalam arti sebab akibat yang tidak langsung, yaitu Negara sebagai
akibat langsung dari manusia dan manusia sebagai akibat adanya tuhan. Maka sudah menjadi
suatu keharusan bagi Negara untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang berasal dari tuhan.

Jadi hubungan antara Negara dengan landasan sila pertama, yaitu ini sila ketuhanan yang
maha esa adalah berupa hubungan yang bersifat mutlak dan tidak langsung. Hal ini sesuai
dengan asal mula bahan pancasila yaitu berupa nilai-nilai agama , nilai-nilai kebudayaan,
yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yang konsekuensinya harus
direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara.


1. Makna Nilai Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’

Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa
terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Nilai ini menyatakan bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga
memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat
beragama.
Sila Ketuhanan yang maha Esa mempunyai makna bahwa segala aspek penyelenggaraan
hidup bernegara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan.Karena, sejak awal
pembentukan bangsa ini, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan.Maksudnya
adalah bahwa masyarakat Indonesia merupakan manusia yang mempunyai iman dan
kepercayaan terhadap Tuhan, dan iman kepercayaan inilah yang menjadi dasar dalam hidup
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Sikap positif yang perlu dilakukan terhadap nilai-nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu sebagai berikut :


Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan

kepercayaan masing-masing,



Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganutpenganut kepercayaan yang berbeda sehingga terbina kerukunan hidup,



Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing,



Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.



Setiap warga Negara Indonesia sudah seharusnya mempunyai pola pikir, sikap, dan
perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa.Setiap warga
Negara diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan sikap dalam memeluk salah

satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia.

2. Penerapan Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
Penciptaan kerukunan antar umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dalam masyarakat, dalam kenyataannya, tidak selaluberjalan mulus seperti yang dicita-

citakan.Ternyata masih banyak terdapat hambatan-hambatan yang muncul baik dari campur
tangan pemerintah maupun dari golongan penganut agama dan kepercayaan itu sendiri.Hal
ini bisa saja disebabkan karena penghayatan terhadap Pancasila, khususnya sila Ketuhanan,
tidak dapat dipahami dan dihayati secara mendalam dan menyeluruh.Akibatnya muncul
ideologi-ideologi atau paham-paham yang berbasiskan ajaran agama tertentu.Sehingga
seakan-akan bahwa sila pertama dari Pancasila itu hanya dimiliki oleh salah satu agama
tertentu saja. Dengan kata lain bahwa toleransi dan sikap menghargai agama atau umat
kepercayaan lain ternyata belum sepenuhnya dapat disadari dan diwujudkan. Tentu saja
karena adanya golongan-golongan tertentu yang memiliki paham bahwa hanya
kepercayaannya atau hanya ajaran agamanya sajalah yang paling baik dan benar.Pandangan
atau paham yang sempit mengenai pamahaman terhadap agama dan kepercayaan yang seperti
ini dapat menimbulkan atau mengundang konflik serta gejolak dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara.
Konflik antar kelompok agama terkadang juga dapat dipicu kerena kebijakan atau peraturan

yang dikeluarkan oleh pemerintah (departemen agama).Seharusnya, departemen agama
adalah lembaga yang bersifat netral, yang membawahi seluruh unsur-unsur agama yang ada
atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan memegang teguh nilai-nilai dasar yang
terdapat dalam Pancasila. Jangan malah mengeluarkan suatu kebijakan yang merugikan
ataupun menguntungkan agama-agama tertentu, yang dapat menimbulkan konflik atau
ketegangan antar uamat beragama yang tentu saja berbeda agama dan kepercayaannya.
Kementerian agama tidak boleh mengurusi ataupun ikut campur tangan terhadap kedaulatan
suatu agama. Namun, hanya bertindak sebagai pengontrol dan penjamin.Aturan-aturan atau
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun hanya sebatas untuk menjaga ketertiban dan
keamanan antar umat beragama, demi tercapainya kerukunan dan kerjasama antar umat
beragama.

1. Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Mahas Esa dalam pembangunan
bidang Politik
Bangsa Indonesia ketenyatakan kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta meyakini bahwa Tuhan adalah maha kuasa atas segalanya. Dalam aspekkehidupan
sangatlah penting menempatkan bahwa Tuhan Maha Kuasa dalam segala hal, termasuk dalam
menjalankan roda pemerintahan, sehingga aka merasa ada control yang tidaknya pernah lepas
dan lengah dalam melakukan berbagai kebijakan pemerintah.
Dalam menjalankan roda pemerintahan pada kenyataannya belum cukup mengikuti

Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa setiap diri kita tidak ada
yang mengawasi atau lupa akan Tuhan melihat kita. Dalam Al-Quran surat Al-Alaq Allah
SWT berfirman, yang artinya: Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguh Allah melihat
(segala perbuatannya)?. Para oknum pejabat pemerintahan kita serta pelaksana pemerintahan
kurang memperhatikan sila perta ini, Buktinya masih banyak perilaku-perilaku yang seolaholah Tuhan tidak mengetahui dan Tuhan tidak ada. Perilaku korupsi adalah contoh perilaku
yang seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang yang berkeyakinan dan menyatakan
ketaqwaannya kepadaTuhan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah symbol
melainkan identitas dan etika bagi kita sebagai bangsa yang mewarnai perlaku warga Negara
beserta aparat Negara dalam menuju tujuan pembangunan bangsa.

Dalam bidang politik secara umum terdapat berbagai macam kegiatan kenegaraan meliputi
proses menentukan tujuan-tujuan dari system yang telah disepakati dan melaksanakan tujuan
tersebut. Politik meliputi unsure kekuasan, jabatan, wewenang dll. Jika dalam berpolitik kita
berpedoman kepada Tuhanan Yang Maha Esa, maka sagala proses mekanisme perpolitikan
harus sesuai dengan perundang-undangan dan nilai agama. Tindakan “money politic” dalam
sebuah pesta demokrasi seperti Pilkada merupakan suatu tindakan secara nyata tidak
meyakini bahwa Tuhan akan memberikan kekuasaan sesuai apa yang di kehendakiNya. Kalau
dalam pelaksanaan politik tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam agama, maka hasil
dari kepemimpinan seorang pemimpin politik tidak akan membawa dampak positif kepada
diripemeimpin dan rakyat, seperti aparat pemerintahan terlibat dalam korupsi akhirnya

masuk penjara.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YMEadalah masalah yang menyangkut hubungan
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan yang dipercayaai dan diyakininya, namun dalam
kehidupan politik nilai-nilai tersebut tidak mendapat perhatian dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, seperti perjudian, narkba , prostitusi dll, sudah menjamur
dalam kehidupan bangsa yang tidak terlepas dari keterlibatan pelaku politik.

1. Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Mahas Esa dalam pembangunan
bidang ekonomi
Berlandaskan kepada keimanan dan ketaqwan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadikan
landasan spiritual, moral dan etika bagi penyelenggaraan pembangunan ekonomi, dengan
demikian ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika sehingga
pembangunan dapat meningkat akhlak warga Negara. Pancasila yang sudah disepakati
sebagai dasar Negara etika dalam kehidupan bernegara, tentu sudah semestinya hasil
pembangunan ekonomi sebagai hasil usaha bersama yang dapat menciptakan terwujudnya
nilai-nilai Ketuhanan YME.
Demokrasi ekonomi merupakan bentuk ekonomi sosialis religius. Disebut sosialis karena
berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijiwai ruh sosialisme dengan adanya
kepemilikan faktor-faktor produksi hajat hidup orang banyak oleh negara dan dengan adanya
asas kebersamaan yang melandasi kegiatan perekonomian. Namun, tidak hanya sosialis,

demokrasi ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta juga bercorak religius karena dijiwai oleh
Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan
bukti bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk
menomorsatukan individualisme. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi ekonomi
memiliki basis ontologis pada tradisi komunalisme yang menjadi ciri khas kehidupan
masyarakat yang berketuhanan dan beragama di nusantara.

1. Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Mahas Esa dalam pembangunan
sosial budaya

Berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang membangun budaya atau pola berfikir sangat
melekat pada tuntunan Tuhan YME baik yang tertulis di dalam kitab-Nya maupun yang
berada pada perjalanan sejarah manusia dan alam semesta. Dan ilmu-ilmu itu pula yang
mendekatkan manusia pada suatu kebenaran yang hakiki dan mengenal lebih dalam tentang
tuhannya beserta tempat kembalinya. Sejauh mana pengaruh Tuhan YME dalam manusia
yang menerima kebenaran tentang-Nya telah melampaui batas pikiran kita sebagai manusia.
Dari pemahaman itu manusia akan mengerti suatu batasan yang tercermin dalam tingkah
lakunya, sehingga tingkah laku manusia yang demikian akan mendekati suatu ketaqwaan.
Itulah kaitan antara alam pikiran manusia Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila dengan
sila pertamanya yang berbicara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembangunan sosial budaya termasuk salah satu aspek pembangunan yang penting dan
senantiasa terus ditingkatkan kualitasnya. Seperti halnya dalam pembangunan aspek yang
lainnya, Pancasila , khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar moralitas
utama untuk menyelenggarakan proses pembangunan dalam aspek ini, yang dapat
diwujudkan dengan cara:


Senantiasa berdasarkan kepada sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya
yang dimiliki oleh masyarakat indonesia



Pembangunan ditujukan untuk meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan
kebebasan spiritual



Menciptakan sistem sosial budaya yang beradap melaui pendekatan kemanusian
secara universal

Dalam pembahasan panjang mengenai perumusan dasar Indonesia merdeka, para pendiri
Republik ini melihat dampak jangka panjang akan adanya peradaban manusia yang dibangun
sesuai kebenaran hukum Tuhan (sila pertama). Dan Pancasila ketika diyakini oleh bangsa
Indonesiaakan menjadi suatu keyakinan yang standar dari keyakinan yang beraneka ragam.
Hal ini bukan menjadikan Pancasila sebagai agama baru atau penyeragaman keyakinan dari
keyakinan-keyakinan yang ada.Melainkan sebagai keyakinan objektif yang telah
distandarkan oleh hukum Tuhan dan mengandung kebenaran universal dalam kehidupan
bangsa Indonesia.
Moral subjektif seseorang sangat berkaitan dengan agama yang dianutnya, maknanya ada
peranan hukum Tuhan yang menjadi dasar pemikiran seseorang dalam bertindak dan
membuat kebijakan yang akan menjadi etika yang objektif di masyarakat. Jika kita lihat
mengenai penetapan Pancasila, maka disitu akan terlihat jelas peranan pemimpin dalam
prosesnya.
Dengan adanya sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan YangMaha Esa”, maksud dari para
pendiri republik ini yang berasal dari golongan agama tetap terakomodir. Kepemimpinan
sebagai standar nilai budaya dengan subjeknya adalah pemimpin, yaitu seseorang yang
mampu mengaktualisasikan moralnya yang subjektif ke dalam tatanan etika yang objektif.
Sudah pasti orang tersebut akan memiliki sikap yang mendekatkan kehidupan manusia ini
sesuai dengan perintah-Nya. Pola berpikir demikianlah yang perlu dijaga dan dikembangkan
untuk mewujudkan cita-cita bersama bangsa ini.

1. Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Mahas Esa dalam pembangunan
bidang Hankam
pembangunan dalam bidang pertahanan dan keamanan mutlak dilakukan dengan senantiasa
berlandaskan pada nilai-nilai pancasila. Perwujudan nilai-nilai pancasila dalam pembangunan
bidang ini dapat dilakukan dengan cara:


Pertahanan dan keamanan negara harus berdasarkan kepada tujuan demi tercapainya
kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa



Pertahanan dan keamanan negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya
kepentingan seluruh warga negara indonesia



Pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak asai manusia, persamaan
derajat serta kebebasan kemanusiaan



Pertahanan dan keamanan negara harus dipruntukan demi terwujudnya keadilan
dalam kehidupan masyarakat.

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia
sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang
majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama
namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1) Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
1. Bertentangga yang baik
2. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
3. Membela mereka yang teraniaya
4. Saling menasehati
5. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1. Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang
didasarkan atas suku dan agama;

2. Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan
masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada
postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila
kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam
beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk
banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar
masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku,
“Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di
Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam
masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di
Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog
Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat
dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar
manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya,
posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal
budi, yang kreatif, yang berbudaya.

1. Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Mahas Esa dalam pembangunan
bidang Hukum dan HAM
Negara hukum Pancasila mengandung lima asas, salah satunya adalah asas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Asas ini tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, yaitu “… maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan
pernyataan ini, Indonesia merupakan negara yang ber-Tuhan, agama dijalankan dengan cara
yang berkeadaban, hubungan antar umat beragama, kegiatan beribadahnya dan toleransi
harus berdasarkan pada Ketuhanan. Kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan
pada tiga pilar, yaitu freedom (kebebasan), rule of law (aturan hukum) dan tolerance
(toleransi)
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah satu ciri
pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan beragama
(freedom of religion). Mochtar Kusumaatdja berpendapat, asas ketuhanan mengamanatkan
bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau
menolak atau bermusuhan dengan agama. Dalam proses penyusuan suatu peraturan
perundang-undangan, nilai ketuhanan merupakan pertimbangan yang sifatnya permanem dan
mutlak.
Dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara,
karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila. Kebebasan beragama dalam arti positif,
ateisme tidak dibenarkan. Komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan. Terdapat
dua nilai mendasar, yaitu pertama, kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang

positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan; kedua, ada
hubungan yang erat antara agama dan negara.
Negara hukum Pancasila berpandangan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau
keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Para pendiri negara menyadari bahwa negara
Indonesia tidak terbentuk karena perjanjian melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pertama dari dasar negara Indonesia.
Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara menyatakan:
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW orang Budha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara
kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu
negara yang ber-Tuhan”.

Pidato Soekarno tersebut merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para anggota
BPUPKI dalam pemandangan umum mengenai dasar negara. Para anggota BPUPKI
berpendapat pentingnya dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara. Pendapat ini
menunjukkan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang
menganut hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan.
Berdasarkan nilai Ketuhanan yang Maha Esa, maka negara hukum Pancasila melarang
kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan anti agama, menghina ajaran agama atau kitabkitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Elemen
inilah yang menunjukkan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok antara
negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Dalam pelaksanaan pemerintahan negara,
pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran
serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik atau hukum
buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau hukum yang tidak
konstitusional.
Nilai Ketuhanan yang maha Esa menunjukkan nilai bahwa negara mengakui dan melindungi
kemajemukan agama di Indonesia. Negara mendorong warganya untuk membangun negara
dan bangsa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Sila pertama dari Pancasila, secara jelas
ditindaklanjuti Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketentuan ini menjadi dasar penghormatan dasar untuk memperkuat
persatuan dan persaudaraan.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai adanya pengakuan adanya kekuasaan di
luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia, suatu nikmat
yang luar biasa besarnya. Selain itu ada pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara
bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa, pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan

antara bumi Indonesia dengan bangsa Indonesia dan adanya hubungan antara Tuhan manusiabumi Indonesia itu membawa konsekuensi pada pertanggung jawaban dalam pengaturan
maupun pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia,
melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Anggota MPR yang terlibat dalam perubahan UUD 1945 tampaknya memahami pesan
penting dari nilai Ketuhanan yang harus berdasar kemanusiaan tadi. Karena itu, sebelum Bab
XI Agama Pasal 29 “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa…” dibentuk Bab
XA Hak Asasi Manusia dari Pasal 28A sampai Pasal 28J. Ini berarti, pelaksanaan Bab XI
Agama harus selalu berpijak pada bab sebelumnya, yaitu Hak Asasi Manusia.
Posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan negara dan
pemerintahan. Agama menjadi satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum
Pancasila. Negara hukum Indonesia tidak mengenal doktrin “separation of state and Curch”.
Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan nilai-nilai agama menjadi ukuran untuk dapat
membatasi hak-hak asasi manusia (lihat Pasal 28J UUD 1945). Negara hukum Indonesia
tidak memberikan kemungkinan untuk adanya kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan
untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran
agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama
Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok
antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Sehingga dalam pelaksanaan
pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar
ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum
yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau
hukum yang tidak konstitusional.
Di samping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia memiliki perbedaan yang lain
dengan negara hukum Barat, yaitu adanya prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum
yang tuntuk pada kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap
tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah dan keadilan sosial nampak sederhana, tetapi
mengandung makna yang dalam bagi elemen negara hukum Indonesia.
Dengan dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah dapat dipahami perubahan
UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi manusia, diadopsi pula pembatasan hak-hak
asasi yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan serta ketertiban umum dalam masyarakat
yang demokratis.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum Indonesia disamping
mengandung elemen negara hukum dalam arti rechtstaat maupun rule of law, juga
mengandung elemen-emelemen yang spesifik yaitu elemen Ketuhanan serta tidak ada
pemisahan antara agama dan negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta persatuan
Indonesia
Tugas:
Apakah hambatan dan gangguan mengimplementasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam kehidupan bernegara?
Apakah hambatan dan gangguannya!

Daftar Pustaka
Syahrial Syarbaini, Ph.D. Pendidikan Pancasila, 2015. Ghraha Ilmu