Tanggung Jawab Sosial dan Kerabat

1

TANGGUNG JAWAB SOSIAL KERABAT
Kajian Terhadap Ayat-Ayat Kerabat Melalui Pendekatan
Tafsir Mawdu‘i1

A. Pendahuluan
Penafsiran al-Qur’an secara mawdu‘i (tematik) akhir-akhir ini semakin
banyak mendapat perhatian. Bukan saja karena syaratnya tidak seberat penafsiran
secara tahlili (runtut), tetapi penafsiran secara mawdu‘i memberikan peluang
kepada setiap orang yang menggeluti suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendekati
al-Qur’an menurut disiplin ilmunya. Namun, ini tidak berarti bahwa tafsir mawdu‘i
lebih baik daripada tafsir-tafsir yang menggunakan metode lain. Bahkan suatu
penafsiran mawdu‘i tanpa mengindahkan aturan mainnya dapat menimbulkan
pemahaman yang parsial terhadap kandungan al-Qur’an.
Salah satu tema dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji melalui
pendekatan tematis adalah persoalan kerabat. Tampaknya, ada dua alasan mengapa
tema ini layak untuk ditela’ah lebih lanjut. Pertama, dari sisi al-Qur’an sendiri yang
ditunjukkan dengan banyaknya ayat-ayat kerabat yang intinya berisi tentang
kewajiban memelihara kekerabatan dan tanggung jawab sosial terhadap mereka. 2
Kedua, dari sudut pandang kehidupan manusia secara luas.

Terkait dengan alasan kedua ini, kajian ilmu sosiologi dan antropologi
menyatakan bahwa kerabat merupakan salah satu unsur sosial, dimana melalui
1

Disampaikan dalam diskusi kelas Mata Kuliah Fiqh al-Qur’an pada Program Doktor PPs
IAIN Ar-Raniry Aceh, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Tgk. Daniel Djuned, MA.
2
Sebagai informasi awal, terdapat 24 ayat dalam 20 surat al-Qur’an yang menyinggung
persoalan kerabat seperti dapat dilihat dalam Muhammad Fu‘ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu‘jam alMufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hal. 99, 541-542

2

ikatan kekerabatan antar individu konsep “keluarga” terbentuk.3 Akan tetapi, nilainilai universal ini mulai luntur ketika sejarah manusia memasuki akhir abad ke-20.
Tidak hanya di belahan Dunia Barat, bahkan di Dunia Timur (baca: Islam) mulai
terjadi pergeseran makna keluarga yang ditandai dengan semakin menciutnya
jumlah individu yang dapat dimasukkan dalam kategori “keluarga”.
Menurut analisis para sosiolog, hal ini diakibatkan oleh perkembangan
industrialisasi yang menuntut adanya privatisasi keluarga sehingga berdampak pada
kemandirian kehidupan masing-masing keluarga dan mengurangi hubungan antar
keluarga itu sendiri.4 Agaknya, ini juga salah satu sebab mengapa pada masa

sekarang kehidupan manusia semakin individualistik, tidak saling mengenal dan
kehilangan nilai-nilai sosialnya.
Mencermati kondisi hubungan antar individu dan keluarga yang semakin
lama semakin renggang, maka tidaklah bersifat apologis dan berlebihan jika dalam
makalah ini akan dibahas salah satu konsep interaksi sosial (mu’amalah bayn alnas) yang berangkat dari ajaran Islam sendiri, yaitu tentang Tanggung Jawab Sosial
Kerabat dengan pendekatan tafsir tematik.
Sebagai gambaran awal, beberapa pertanyaan yang timbul berkenaan dengan
topik ini adalah bagaimanakah bentuk tanggung jawab jawab sosial kerabat seperti
yang digambarkan al-Qur’an; hal-hal apa saja yang menjadi kewajiban seseorang
terhadap kerabatnya (atau hak kerabat), dan adakah titik persamaan ataupun titik
perbedaan pada ayat-ayat kerabat yang turun sebelum Hijrah (Makkiyah) dengan
ayat-ayat yang turun sesudahnya (Madaniyah). Untuk lebih terarah, bahasan berikut
3

Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, terj., (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 338
4

Ibid., hal. 339


3

ini akan menempuh tata kerja sebagai berikut: 1. pengertian kerabat, 2. ayat-ayat
tentang kerabat, dan 3. penafsiran tematis ayat-ayat kerabat.
B. Pengertian Kerabat
Istilah kerabat adalah kata serapan dari Bahasa Arab; al-qarabah, yang
merupakan salah satu bentuk masdar dari fi‘il ‫قرب‬. Secara bahasa, kata qaraba
bermakna ‫( د نا‬dekat atau di bawah). Lawannya adalah ‫( ب عد‬jauh).5 Menurut alRaghib al-Asfahani, lafal q-r-b dalam berbagai bentuknya digunakan untuk
kedekatan

tempat,

waktu,

dan

hubungan;

baik


menyangkut

kedudukan,

pemeliharaan, maupun kekuasaan. Semua makna ini dapat dijumpai contohcontohnya di dalam al-Qur’an, seperti yang menyangkut tempat QS. al-Tawbah: 28;
waktu QS. al-Anbiya’: 97; kedudukan: QS. al-Nisa’: 172, pemeliharaan QS. alBaqarah: 186, dan bermakna kekuasaan (pengetahuan) QS. Qaf: 16.6
Adapun kata al-qarabah, seperti dijelaskan Ibn Manzur bermakna kedekatan
hubungan karena seketurunan ( ‫) الدنو فى النسب‬. Ia juga menjelaskan bahwa istilah
lain yang semakna adalah qurb, qurba, maqrabah, maqrubah, qurbah, qurubah, dan
aqrab.7 Sementara dalam Bahasa Inggris, agaknya istilah yang dapat dipadankan
dengan kata kerabat adalah family. Boleh jadi, atas dasar ini pula kerabat terkadang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna “keluarga” dan diartikan

5

Abu Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid I,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal. 662
6

Al-Raghib al-Isfahani, Mu‘jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal.


414
7

Ibn Manzur, Lisan al’Arab, hal. 665

4

dengan: 1) dekat (pertalian keluarga); sedarah daging, 2) keluarga; sanak saudara, 3)
keturunan, dari induk yang sama.8
Berbeda dengan tinjauan ilmu-ilmu sosial modern (sosiologi, antropologi,
dan ilmu hukum) yang memaknakan kerabat dengan hubungan yang terjadi karena
faktor seketurunan (hubungan darah) dan perkawinan,9 dalam perspektif al-Qur’an
pembicaraan tentang kerabat – agaknya - lebih mengacu kepada hubungan darah
semata. Argumentasi ini dapat dirujuk pada istilah-istilah yang dipergunakan alQur’an ketika membicarakan persoalan tersebut. Menurut penelusuran penulis, ada
dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an yang bermakna kerabat, yaitu: Pertama,
kata-kata yang merupakan bentukan (musytaq) dari fi‘il qaraba berupa lafal alqurba, al-aqrab (dalam bentuk jama‘; al-aqrabun dan al-aqrabin), dan maqrabah.
Kedua, kata ulu al-arham.10
Dalam memahami istilah yang pertama, tampaknya ada dua pemahaman
yang diberikan mufassirun. Untuk penggunaan kata al-qurba, al-aqrabun, dan alaqrabin, mereka sepakat mengartikannya dengan kerabat karena pertalian darah.

Perbedaan baru terjadi dalam menafsirkan kata maqrabah, seperti dijumpai dalam
QS. Al-Balad: 15. Tidak seperti umumnya ulama tafsir (klasik dan modern) yang
memahaminya dengan kerabat (dekat) karena keturunan semata, disini Quraish
Shihab cenderung memahami kata ini dalam pengertian yang tidak terbatas.
Maksudnya, ia menafsirkan kata maqrabah yang hanya sekali terdapat dalam al8

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), hal. 423

9

Tidak hanya dalam kajian ilmu sosiologi, pemaknaan seperti ini juga menjadi asas dalam
ilmu hukum, terutama ketika membahas tentang hukum perorangan sub kajian hukum keluarga.
Lihat: Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal. 93
10

Rincian terhadap kedua kelompok ayat tersebut, dapat dilihat pada halaman 8–10 dari
makalah ini.

5


Qur’an dengan segala macam “kedekatan”, yang dapat ditampung oleh makna kata
“dekat” tersebut.11
Perbedaan penafsiran seperti di atas, tidak terjadi ketika ulama tafsir
memaknai penggunaan kata ulu al-arham. Disini, seperti dijelaskan oleh Quraish
Shihab, ulu al-arham pada ayat di atas bermakna hubungan kerabat (satu rumpun
keluarga).12 Komentar yang sama diberikan oleh al-Tabataba’i yang menyatakan
makna kerabat di dalam al-Qur’an mengacu kepada orang-orang yang mempunyai
kedekatan karena seketurunan ( ‫)ذوالقربى هو صاحب القرابة من الرحام‬.13 Demikian halnya
dengan beberapa mufassirun yang menjadi rujukan dalam penulisan makalah ini,
seperti Ibn Kathir,14 al-Baghawi,15 dan Wahbah al-Zuhayli.16
Mencermati perbedaan penafsiran dalam memahami ayat-ayat yang
menggunakan istilah-istilah yang bermakna kerabat, penulis sendiri beranggapan
bahwa perbedaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan analisis sosiologis
masyarakat Arab pra Islam. Seperti diketahui, menjelang kedatangan Islam, Arabia
merupakan wilayah terpencil dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di Timur
Tengah. Jika negara-negara ini umumnya terdiri atas masyarakat yang menetap dan

11

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek

Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), hal. 817-818
12

Ibid., Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 455

Muhammad Husayn al-Tabataba‘i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid XVI, (Beirut:
Mu’assasah al-A‘lami, 1991), hal. 190
13

14

Abu al-Fida’ Isma‘il ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid IV, (Kairo: Maktabah
Misr, t.th.), hal. 514. Ia juga menjelaskan bahwa pendapat ini dipilih oleh Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, alHasan, al-Dahhak, dan al-Sadi. Pendapat ini didasarkan atas sebuah hadis riwayat Ahmad, alTurmudhi, dan al-Nasa’i yang berbunyi:
‫ الصسسدقة علسسى المسسسكين‬:‫ يقسسول‬.‫م‬.‫ سسسمعت رسسسول اللسسه ص‬:‫عن سلمان بن عامر قسسال‬
.‫ صدقة و صلة‬:‫صدقة و على ذى الرحم إثنان‬
15

Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ud al-Farra’ al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil fi alTafsir wa al-Ta’wil, jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hal. 578
16


Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid XXX, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hal. 249

6

mengembangkan agrikultur, maka Arabia bertahan sebagai negeri yang hidup
sebagai penggembala dan berpindah-pindah.(nomad). Untuk mempertahankan diri
dari gangguan suku-suku lain yang kerap berakhir dengan peperangan, masyarakat
Arab mengembangkan suatu model kehidupan yang didasarkan atas kesamaan klan
yang terbentuk dari ratusan kabilah, dalam ikatan kelompok kekerabatan yang
sangat kuat dan didasarkan atas sistem patriarkal. Seluruh kesetiaan terserap oleh
kelompok yang bertindak sebagai sebuah kolektivitas untuk mempertahankan
individu warganya dan untuk menghadapi tanggung jawab bersama. Sebagai
konsekuensi solidaritas kelompok, yang disebut dengan ‘asabiyah, masyarakat Arab
menganggap diri mereka merdeka tidak terikat dengan satu kekuatanpun yang
berkuasa pada masa itu.17
Di samping perasaan bebas, konsekuensi lain yang timbul akibat prinsip
kesetiaan ini adalah timbulnya rasa solidaritas yang tinggi terhadap kelompok dan
penghormatan serta kebanggaan yang didasarkan atas

senioritas. Akibat dari


munculnya dua sifat ini, maka tanggung jawab (hak dan kewajiban) terhadap
keluarga seringkali terabaikan. Prinsip kesetia-kawanan dan senioritas ini terlihat
dari tidak dikenalnya nilai tanggung jawab (hak dan kewajiban) keluarga, seperti
dalam masalah pewarisan. Menurut penelitian David S. Powers, sistem pewarisan
Arab pra Islam tidak didasarkan atas hubungan darah (keturunan), tetapi lebih
didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap senioritas.18 Sistem pewarisan
seperti ini bertahan dan tetap dipraktekkan oleh masyarakat Islam awal hingga Nabi

17

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, terj. (Jakarta: Rajawali Press,
1999), hal. 15-19.
David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of
Inheritance, (California: UCLA Press, 1989), hal. 210
18

7

hijrah ke Madinah dan menerima wahyu (QS. Al-Ahzab: 6) yang merubah sistem

tersebut menjadi atas dasar keturunan.19
Berdasarkan analisis sosiologis terhadap adat masyarakat Arab pra Islam,
dapat ditegaskan bahwa turunnya ayat-ayat yang terkait dengan masalah kerabat
(terutama masalah warisan) adalah untuk merubah nilai-nilai yang mereka anut
sebelumnya. Atas dasar ini, maka lebih tepat apabila dikatakan bahwa pada dasarnya
semua kata yang bermakna kerabat dalam setiap ayat al-Qur’an mengacu pada
pemaknaan dalam arti seketurunan. Bukankah tanggung jawab terhadap keluarga
dan kerabat lebih pantas dialamtkan kepada orang-orang yang memiliki “sesuatu”
yang menjadikan mereka dekat. Agaknya karena ingin merubah nilai-nilai jahiliyyah
tersebut, maka pada ayat-ayat kewarisan yang umumnya turun di Madinah, Allah
memberi rincian siapa saja dari kaum kerabat sedarah tersebut yang berhak
mendapat warisan dari kerabatnya yang meninggal.
C. Penafsiran Tematis Ayat-Ayat Kerabat
1. Informasi Awal Ayat-Ayat Kerabat
Berdasarkan tela’ah terhadap Kitab Lisan al-‘Arab –seperti tampak pada
halaman 3- diketahui bahwa terdapat banyak istilah yang dapat dipakai untuk
pemaknaan kerabat. Setelah dilakukan penelusuran dengan berpedoman kepada alMu‘jam al-Mufahras, diperoleh informasi bahwa dari berbagai istilah tersebut,
hanya ada empat kata yang dipergunakan al-Qur’an, yaitu: al-qurba, al-aqrab

Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), hal. 255-256. QS. al-Ahzab: 6 tersebut berbunyi:
19

‫النبى أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم وأولوا الرحام بعضهم أولى ببعسسض‬
‫فى كتاب الله من المؤمنين و المهاجرين إل أن تفعلوا إلى أوليائكم معروفا كان ذلك فى‬
‫الكتاب مسطورا‬

‫‪8‬‬

‫‪(dalam bentuk jama‘; al-aqrabun dan al-aqrabin), maqrabah, dan ulu al-arham.‬‬
‫‪Adapun rinciannya adalah:‬‬
‫القربى ‪a.‬‬

‫‪16 : kali, 15 ayat, 13 surat‬‬
‫‪3 : kali, 2 ayat, 1 surat‬‬

‫القربون ‪b.‬‬

‫‪4 : kali, 4 ayat, 3 surat‬‬

‫القربين ‪c.‬‬

‫‪1 : kali, 1 ayat, 1 surat‬‬

‫مقربة ‪d.‬‬

‫‪2 : kali, 2 ayat, 2 surat +‬‬

‫أولو ألرحام ‪e.‬‬

‫‪Jumlah: 26 kali, 24 ayat, 20 surat20‬‬
‫‪Berikut informasi tentang masing-masing ayat sesuai dengan pengelompok‬‬‫‪kan yang didasarkan atas ayat Makkiyah dan Madaniyah dan disusun menurut tertib‬‬
‫‪ayat dalam mushaf:‬‬
‫‪a. Ayat Makkiyah‬‬

‫‪ .1‬إ ن ال يأمر بالعدل و الحسان وإيتاء ذىالقربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي‬
‫يعظكم لعلكم تذكرون )النحل‪(90 :‬‬
‫‪ .2‬وأنذر عشيرتك القربين )الشعراء‪(214 :‬‬
‫‪ .3‬فأت ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل ذلك خير للذين يريدون وجه ال وألئك هم‬
‫المفلحون )الروم‪(38 :‬‬
‫‪ .4‬ول تزر وازرة وزرأخرى وإن تدع مثقلة إلى حملها ليحمل منه شيء ولو كان ذا‬
‫قربى‪) ...‬فاطر‪(18 :‬‬
‫‪ .5‬يتيما ذا مقربة )البلد‪(15 :‬‬
‫‪b. Ayat Madaniyah‬‬

‫‪ .1‬وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءيل ل تعبدون إل ال وبالوالدين إحسانا وذي القربى‬
‫واليتامى و المساكين وقولوا للناس حسنا‪) ...‬البقرة‪(83 :‬‬
‫‪ .2‬ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق و المغرب ولكن البر من أمن بال واليوم‬
‫الخر والملئكة والكتاب و النبيين وآتى المال على حبه ذوى القربى واليتمى‬
‫والمساكين وابن السبيل والسآءلين وفى الرقاب‪) ...‬البقرة‪(177 :‬‬

‫‪Al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras, hal. 541-542.‬‬

‫‪20‬‬

‫‪9‬‬

‫‪ .3‬كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والقربين‬
‫بالمعروف حقا على المتقين )البقرة‪(180 :‬‬
‫‪ .4‬يسألونك ماذا ينفقون قل مآ أنفقتم من خير فللوالدين والقربين واليتمى والمساكين‬
‫وابن السبيل وما تفعل من خير فإن ال به عليم )البقرة‪(215 :‬‬
‫‪ .5‬للرجال نصيب مما ترك الولدان والقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والقربون‬
‫مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا )النساء‪(7 :‬‬
‫‪ .6‬وإذا خضر القسمة أولوا القربى واليتمى والمساكين فارزقوهم منه وقولوا لهم قول معروفا‬
‫)النساء‪(8 :‬‬
‫‪ .7‬ولكل جعلنا موالى مما ترك الوالدان والقربون والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم‬
‫أن ال كان على كل شيء شهيدا )النساء‪(33 :‬‬
‫‪ .8‬واعبدوا ال ول تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا وبذى القربى واليتمى والمساكين‬
‫والجار ذى القربى والجار الجنب والصاحب بالجنب وابن السبيل وما ملكت أيمانكم‬
‫إن ال ل يحب من كان مختال فخورا )النساء‪(36 :‬‬
‫‪ .9‬يآيهالذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء ل ولو على أنفسكم أو الوالدين والقربين‬
‫إن يكن غنيا أو فقيرا فال أولى بهما فل تتبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلوآ أو تعرضوا‬
‫فإن ال بما تعملون خبيرا )النسا‪(135 :‬‬
‫‪ .10‬يآيهالذين أمنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدكم الموت حين الوصية اثنان ذوا عدل‬
‫منكم أو أخران من غيركم إن انتم ضربتم فى الرض فأصابتكم مصيبة الموت‬
‫تحبسونهما من بغع الصلوة فيقسمان بال إن ارتبتم ل نشترى به ثمنا ولو كان ذا‬
‫قربى ول نكتم شهادة ال إنا إذا لمن الثمين )المآئدة‪(106 :‬‬
‫‪ .11‬ول تقربوا مال اليتيم إل بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده وأوفوا الكيل و الميزان‬
‫بالقسط لنكلف نفسا إل وسعها وإذا قلتم فاعدلوا ولو كان ذا قربى وبعهد ال إوفوا‬
‫ذلكم وصكم به لعلكم تذكرون )النعام‪(152 :‬‬
‫‪ .12‬واعلموآ انما غنمتم من شيء فأن ل خمسه و للرسول ولذى القربى واليتمى‬
‫والمساكين وابن السبيل إن كنتم أمنتم بال وما أنزلنا على عبدنا يوم الفرقان يوم‬
‫التقى الجمعان وال على كل شيء قدير )النفال‪(41 :‬‬
‫‪ .13‬والذين امنوا من بعد وهاجروا وجاهدوا معكم فألئك منكم وأولو الرحام بعضهم أولى‬
‫ببعض فى كتاب ال إن ال بكل شىء عليم )النفال‪(75 :‬‬
‫‪ .14‬ماكان للنبى و الذين أمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى من بعد ما‬
‫تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم )التوبة‪(113 :‬‬
‫‪ .15‬وآت ذا القربى حقه و المسكين وابن السبيل ول تبذر تبذيرا )السراء‪(26 :‬‬
‫‪ .16‬ول يأتل أولو الفضل منكم والسعة أن يؤتوا أولى القربى والمساكين والمهاجرين فى‬
‫سبيل ال وليعفوا وليصفحوا ال تحبون أن يغفر ال لكم وال غفور رحيم )النور‪(22 :‬‬

10

‫ النبى أولى بالمؤمنين من أنفسهم و أزواجه أمهاتهم وأولو الرحام بعضهم أولى ببعض‬.17
‫فى كتاب ال من المؤمنين والمهاجرين إل أن تفعلوا إلى أوليئكم معروفا كان ذلك‬
(6 :‫فى الكتاب مسطورا )الحزاب‬
‫ ذلك الذى يبشر ال عباده الذين أمنوا و عملوا الصلحات قل ل أسئلكم عليه أجرا‬.18
‫إل المودة فى القربى ومن يقترف حسنة نزد له فيها حسنا إن ال غفور شكور‬
(23 :‫)الشورى‬
‫ ما أفآءال على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول ولذى القربى واليتمى‬.19
‫والمساكين وابن السبيل كى ل يكون دولة بين الغنياء منكم وما آتكم الرسول فخذوه‬
(7 :‫وما نهكم عنه فانتهوا واتقوا ال أن ال شديد العقاب )الحشر‬

2. Makna Mufradat
Dimaksudkan dengan mufradat disini adalah kata-kata kunci yang
mempunyai korelasi dengan pemahaman terhadap ayat-ayat yang diteliti. Kata-kata
ini menjadi penting karena disebutkan beriringan ketika Allah membicarakan
persoalan kerabat di dalam al-Qur’an. Menurut hemat penulis, kata-kata yang terkait
langsung dengan masalah tanggung jawab sosial terhadap mereka antara lain:
al-birr (QS. al-Baqarah: 177), al-ihsan (QS. al-Baqarah: 83; al-Nisa’: 36), al-khayr
(QS. al-Baqarah: 180 dan 215), al-ita’ (QS. al-Nahl: 90; al-Isra’: 26, dan al-Rum:
38), dan al-haqq (QS. al-Isra’: 26; al-Rum: 38).
Kata al-birr adalah pecahan dari kata al-barr (daratan) dan lawannya adalah
al-bahr (lautan). Kata ini menggambarkan makna keluasan (al-tawassu‘) yang
terdapat di dalamnya, karena itulah ia dipakai untuk segala isim jami‘ bagi setiap
perbuatan-perbuatan baik.21 Menurut Ibn Manzur, secara bahasa al-birr bermakna
kebenaran dan ketaatan (al-sidq wa al-ta‘at) dan dengan mengutip pendapat Abu

21

Muhammad Sayyid al-Tantawi, al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, jilid I, (Beirut:
Dar al-Ma‘arif, t.th.), hal. 359. Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid II, hal. 93; al-Tabataba‘i,
al-Mizan, jilid I, hal. 429

11

Mansur, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah kebaikan
di dunia dan di akhirat (‫)خير الدنيا و الخرة‬. Dimaksudkan dengan kebaikan di dunia
adalah segala yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya berupa petunjuk,
nikmat, dan kebaikan-kebaikan, sedangkan kebaikan di akhirat berupa kemenangan
yang kekal di dalam surga.22
Penelusuran terhadap makna

al-birr dalam konteks istilah syara‘

menunjukkan bahwa para ahli tafsir sepakat memaknakannya sebagai segala sesuatu
yang dijadikan sebagai sarana untuk ber-taqarrub kepada Allah, yakni berupa
keimanan, amal saleh, dan akhlak mulia. 23 Atau dalam bahasa yang lebih singkat,
seperti dijelaskan oleh Nashir Makarim Syairazi, kata al-birr dipakai untuk
menerangkan tentang macam-macam al-ihsan.24
Adapun Ihsan adalah antonim dari kata al-isa’ah dan diterjemahkan dengan
makna kebajikan sebagai lawan dari kejahatan. Menurut al-Raghib al-Asfahani,
seperti dikutip oleh Quraish Shihab, kata ihsan digunakan untuk dua hal; pertama,
memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu, kata
ihsan lebih luas dari sekedar “memberi nikmat atau nafkah”. Makna kata ini juga
lebih tinggi dan lebih dalam dari kandungan makna ‘adl, karena adil adalah
“memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap anda”, sedang
ihsan “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda”.25

22

Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid 4, hal. 51-52

23

al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 2, terj. Hal. 91; al-Tantawi, al-Tafsir al-Wasit, jilid 1,
hal. 359; al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid 2, hal. 93
24

Nashir Makarim Syairazi, Tafsir al-Amtsal, terj. (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.), hal.

470
25

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal. 325

12

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ihsan adalah puncak
dari kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini tercapai saat
seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia memberi untuknya
apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya sendiri, sedangkan ihsan terhadap Allah
adalah berupa leburnya diri seorang hamba sehingga dia hanya “melihat” Allah.
Atau dengan kata lain, seorang hamba disebut muhsin apabila mampu melihat
dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat
beribadah kepada Allah.26
Kata al-khayr (kebaikan) merupakan kebalikan dari al-syarr (keburukan) dan
secara bahasa bermakna ‫( الفضل‬keutamaan).27 Tampaknya dari makna literal ini, alTantawi mengartikan al-khayr sebagai hal-hal yang terdapat didalamnya kebaikan
bagi manusia; baik yang berhubungan dengan agama ataupun dunia (‫ما فيه صلح‬
‫ لل ناس )دي نى أو دن يوى‬.28 Salah satu makna yang dapat diberikan terhadap kata ini
adalah harta (al-mal), seperti terdapat dalam QS. al-Baqarah: 180 dan 215.29 Kajian
tematis terhadap ayat-ayat kerabat –khususnya yang berkenaan dengan masalah
warisan dan wasiat, sangat mendukung pemaknaan lafal al-khayr dengan arti harta
terutama jika dibandingkan dengan lafal-lafal yang terdapat pada ayat-ayat semakna,
seperti lafal nasib pada QS. al-Nisa’: 7 dan al-qismah dalam QS. al-Nisa’: 8.
Penggunaan kata ini – menurut Quraish Shihab - dalam kaitannya dengan harta yang

26

Ibid.

27

Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid 4, hal. 264-265

28

Al-Tantawi, Tafsir al-Wasit, jilid 2, hal. 201

29

Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 1, , hal. 251; al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid I,
hal 118. Untuk memperkuat penafsiran ini, Wahbah mengutip pendapat Mujahid yang menyatakan
lafal al-khayr dalam ayat al-Qur’an bermakna harta. Ia juga menegaskan kembali pandangannya ini
ketika menafsirkan QS al-Baqarah: 215. Lihat: Ibid., jilid II, hal. 252; al-Tabataba‘i, al-Mizan, jilid
2, hal. 163.

13

diberikan terhadap kerabat memberi isyarat bahwa harta yang dinafkahkan itu
hendaklah sesuatu yang baik, yakni halal serta digunakan untuk tujuan-tujuan yang
baik, yakni bermanfaat.30
Adapun kata ita’ yang umumnya diterjemahkan dengan arti “pemberian”,
pada mulanya berarti kedatangan yang mudah. Selanjutnya, kata ini mengalami
perluasan arti dan diterjemahkan dengan makna istiqamah (bersikap jujur dan
konsisten), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, mengantar dan memudahkan
jalan. Dari makna-makna tersebut, dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung
oleh kata ita’ ; yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemberi dan bagaimana
seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi.31
Terkait dengan penggunaan kata ita’ (‫ )إيتاء‬di dalam al-Qur’an adalah
mengapa kata ini yang selalu disebutkan sebagai pengiring ungkapan ayat tentang
pemberian hak-hak kerabat dan bukan kata i‘ta’ (‫)إعطاء‬, padahal keduanya
mempunyai makna yang sama yaitu memberikan. Menurut al-Zarkasyi –yang
mengutip penjelasan al-Juwayni-, kedua kata ini mempunyai perbedaan yang cukup
signifikan. Lafal ityan lebih kuat dari i‘ta’ dari segi tetapnya perbuatan (‫أن التيان‬
‫)أقوى من العطاء في إثبات مفعوله‬. Ini dikarenakan makna kata yang kedua menuntut
adanya balasan dari pihak yang diberi karena adanya unsur mutawa‘ah di dalamnya,
sedangkan kata pertama tidak demikian. 32 Rahasia lain dari penggunaan kata ita’
adalah kata ini bermakan pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan
hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi tetapi juga immateri, seperti
30

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 1, hal. 429

31

Ibid., jilid 7, hal. 326

32

Badr al-Din Muhammad ibn ‘Ubaydillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid
4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 101

14

ditemukan pada ayat lain yang secara tegas menggunakan kata tersebut dalam
konteks pemberian hikmah (QS. Al-Baqarah: 269).33 Pemahaman seperti ini juga
ditemukan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang tanggung jawab sosial kerabat
seperti akan diuraikan pada bahasan berikutnya.
Kata kunci terakhir yang berhubungan dengan persoalan tanggung jawab
kerabat adalah al-haqq. Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa kata ini merupakan
lawan kata al-batil,34 sedangkan pemakaiannya pada ayat-ayat kerabat diartikan
sebagai kebaikan dan hubungan silaturrahmi.35
3. Pemahaman Ayat
Pertanyaan yang mungkin timbul di benak kita adalah mengapa al-Qur’an
cukup intens membicarakan persoalan kerabat, yang ditunjukkan dengan banyaknya
ayat-ayat yang menguraikan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial terhadapnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, boleh jadi uraian yang diberikan Fazlur
Rahman tentang konsep masyarakat Islam dapat menjawab pertanyaan di atas.
Ketika menjelaskan hubungan manusia sebagai anggota masyarakat, ia menyatakan:
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah
menegakkan sebuah tata masyarakat yang adil berdasarkan etika dan dapat
bertahan di muka bumi ini. Apakah individu yang lebih penting sedang
masyarakat adalah instrumen yang diperlukan di dalam penciptaannya atau
sebaliknya, itu hanya merupakan sebuah masalah akademis karena tampaknya
individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada individu yang hidup
tanpa masyarakat… Tujuan penegakan sebuah tata masyarakat yang etis dan
egalitarian ini terlihat di dalam celaan al-Qur’an terhadap disekuilibrum ekonomi
dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat Mekkah pada waktu itu…. Pada
level sosial politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar
33

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 7, hal. 451

34

Ibn Manzur, Lisan al’Arab, jilid X, hal. 49

35

Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid III, hal. 449; al-Maraghi, Tafsir, terj., jilid XXI,
hal. 94; al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid XXI, hal. 92. Lebih lanjut Wahbah al-Zuhayli menjelaskan
bahwa QS. al-Rum: 38 dijadikan hujjah oleh kalangan Hanafiyyah tentang kewajiban memberi
nafkah terhadap kerabat. Ibid.

15

yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat
muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan. Ikatan
kemasyarakatan dapat kita temukan dalam semua halaman al-Qur’an, terutama
sekali di dalam surah-surah madaniyah. Semua kaum muslimin dinyatakan
“bersaudara” (49:10), dan bersama-sama mereka tak dapat digoyahkan “sebagai
bangunan yang kokoh” (61:4). Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat
muslim berdiri karena ideologi Islam.36
Senada dengan pendapat di atas, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah: 83 yang
merupakan ayat pertama di dalam mushaf yang memuat kata kerabat (‫( ذى القربى‬,
al-Maraghi menjelaskan:
Suatu umat atau bangsa pada hakekatnya merupakan kumpulan dari berbagai
rumah tangga-rumah tangga dan keluarga. Jadi kebaikan suatu bangsa bertumpu
pada kebaikan rumah tangga-rumah tangga tersebut. Sebaliknya, rusaknya suatu
bangsa adalah akibat rusaknya rumah tangga-rumah tangga tersebut. Barang
siapa memutuskan hubungan kekeluargaan, maka ia tidak akan merasakan apa
yang layaknya dirasakan oleh suatu bangsa. Secara fitri (naluriah) ikatan
kekeluargaan adalah suatu ikatan yang paling kuat. Dan agama-pun menunjang
ikatan ini dengan memerintahkan kepada manusia agar mempererat tali
silaturrahmi dengan cara mendahulukan hak sesuai dengan jauh dekatnya
pertalian kekeluargaan. Berbuat baik terhadap sanak famili akan mempererat tali
persaudaraan dengan mereka.37
Dari dua argumentasi di atas, dapat dilihat mengapa al-Qur’an sangat
memberikan perhatian terhadap persoalan kerabat. Hal ini tidak lain karena kerabat
merupakan salah satu unsur pembentuk masyarakat, dimana hubungan yang baik
akan memperkuat hubungan antar rumpun keluarga, dan pada akhirnya akan
memperkuat struktur masyarakat Islam. Sebaliknya, hubungan yang buruk karena
terputusnya tali silaturrahmi antar keluarga (kerabat) akan berdampak pada rusaknya
tatanan masyarakat yang dicita-citakan Islam terwujudnya.
Sementara itu, hubungan sosial yang baik antar kerabat hanya dapat terwujud
apabila seseorang telah menunaikan hak-hak kerabat yang ada pada dirinya (atau

36

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj., (Bandung: Pustaka, 1996), hal. 54-55, 61-62

37

Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid I, terj. (Semarang: Toha Putra, 1992), hal. 283

16

menjadi kewajiban bagi dirinya). Terkait dengan penunaian hak-hak ini, Quraish
Shihab menjelaskan bahwa adanya hak dan kewajiban tersebut mempunyai
kekuatan tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan “paksaan” kepada yang
berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dari lubuk hatinya,
tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan
kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya. Dalam konteks inilah,
al-Qur’an menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya,
dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya. 38 Dengan
kata lain, setiap individu mempunyai tanggung jawab sosial terhadap kerabatnya
dan bentuk tanggung jawab tersebut adalah memberikan bantuan ketika mereka
membutuhkannya.
Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Sosial Kerabat
Untuk mengetahui secara utuh bagaimana bentuk tanggung jawab sosial
terhadap kaum kerabat, menurut hemat penulis, agaknya ayat yang tepat dijadikan
sebagai pijakan awal adalah QS. al-Rum: 38 (Makkiyah) dan QS. al-Isra’: 26
(Madaniyyah) yang berisi perintah untuk memberikan hak-hak kerabat.
Berangkat dari makna kata ’ata yang terdapat pada hampir semua ayatayat kerabat, dapat dikatakan bahwa secara garis besar bentuk tanggung jawab sosial
yang digambarkan al-Qur’an terdiri atas tiga bentuk:
1. Tanggung jawab nafkah.
2. Tanggung jawab nasehat dan bimbingan.
3. Tanggung jawab pewarisan (dan atau wasiat).

38

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hal. 45

17

Bentuk tanggung jawab yang pertama didasarkan pada QS. al-Baqarah: 215
yang menjelaskan adanya tanggung jawab nafkah terhadap kerabat. Ayat ini
menerangkan bahwa seseorang harus menunjukkan kepeduliannya terhadap
kerabatnya, terutama jika kerabatnya tersebut hidup dalam kekurangan. Adapun
yang menjadi sabab nuzul dari ayat utama ini adalah sebagai jawaban dari
pertanyaan ‘Amr ibn al-Jamuh - seorang sahabat Nabi yang memiliki kekayaan
yang banyak. Inti dari pertanyaannya sendiri adalah apa yang harus disedekahkan
dan kepada siapa sedekah tersebut harus diberikan. 39 Menurut penulis, ayat ini dan
ayat-ayat lain yang semakna (terutama ayat-ayat madaniyyah) merupakan penegasan
dan rincian dari QS. al-Nahl: 90 yang diturunkan di Makkah, walaupun pada ayat
tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bentuk pemberian kepada kerabat.
Tanggung jawab kedua diperoleh dari pemahaman terhadap QS. al-Syu‘ara’:
214 yang diturunkan di Makkah. Menurut Ibn Asyur - seperti dikutip oleh Quraish
Shihab - pada prinsipnya diturunkan khusus kepada Rasulullah. Tetapi, lebih lanjut
Quraish Shihab menjelaskan, secara umum ayat ini mengajarkan kepada Rasul dan
umatnya agar tidak mengenal pilih kasih atau memberi kemudahan kepada keluarga
(kerabat) dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti Nabi dan keluarga beliau tidak
kenal hukum, tidak juga bebas dari kewajiban.40 Agaknya, makna nadhir yang
terkandung pada ayat inilah yang kemudian ditegaskan Allah dalam ayat-ayat
madaniyyah seperti QS. al-Nisa’: 135 yang juga menyinggung masalah tanggung
jawab bimbingan ini, sebagai bentuk pemberian immateri terhadap kerabat.
39

Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th.), hal. 69
40

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid X, hal. 150, 152. Pemaknaan seperti ini juga
didukung oleh QS. Fatir: 18 yang memberikan penegasan bahwa seseorang tidak akan memikul dosa
orang lain, walaupun orang itu adalah kerabatnya.

18

Adapun bantuk tanggung jawab yang ketiga, penulis pahami dari QS. alBaqarah: 177, al-Nisa: 7-8, dan 33. Seperti telah dijelaskan ketika menganalisis
pengertian kata kerabat secara sosiologis dan tinjauan terhadap makna lafal al-khayr,
tujuan pelaksanaan warisan dan wasiat yang didasarkan atas kerabat nasab adalah
untuk merubah adat Arab jahiliyyah. Di samping itu, adanya tanggung jawab ini
juga untuk mengingatkan kepada setiap muslim agar dapat meninggalkan bekal yang
cukup bagi keluarga dan kerabatnya sehingga tidak menjadikan mereka sebagai
beban bagi masyarakat sepeninggal dirinya.
Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut dari bentuk ketiga tanggung jawab
sosial kerabat ini adalah timbulnya pro – kontra dalam memandang apakah telah
terjadi naskh pada QS. al-Baqarah: 180 yang mewajibkan adanya wasiat terhadap
kerabat?
Mencermati pertentangan yang terjadi di seputar masalah ini, Wahbah alZuhayli menjelaskan adanya tiga pendapat yang berkembang. Pertama, Pandangan
yang dikemukakan oleh Ibn ‘Abbas, al-Hasan al-Basri, Tawus, Masruq, dan alTabari yang menyatakan bahwa yang di-naskholeh ayat-ayat mawarith adalah
wasiat untuk orang tua dan kerabat yang mendapat warisan, sementara
meninggalkan wasiat untuk para kerabat yang tidak termasuk dalam ahli waris masih
tetap berlaku. Pandangan ini didasarkan atas keumuman ayat yang menjadikan
wasiat wajibah diperuntukkan bagi para ahli waris dan non ahli waris. Atas dasar ini,
dalam penilaian ulama muta’akhirin, apa yang dikemukakan oleh kelompok pertama
tidak tepat dikatakan sebagai naskh tetapi berupa takhsis bagi keumuman ayat.
Kedua, Pendapat Ibn ‘Umar, Abu Musa al-Asy‘ari, Sa‘id ibn al-Musayyab
yang menegaskan bahwa kandungan ayat ini telah di-naskh oleh ayat-ayat

19

mawarith, tanpa memandang hak kerabat yang menjadi ahli waris ataupun bukan.
Dalil lain yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini adalah hadis riwayat alSyafi‘i:
‫ "حكم فى ستة مملكين كانوا لرجل ل‬.‫م‬.‫عن عمران بن حصين رضى ال عنه أن رسول ال ص‬
.‫ فأعتق إثنين وأرق أربعة‬,‫ ثلث أجزاء‬.‫م‬.‫ فجزأهم النبى ص‬,‫ فأعتقهم عند الموت‬,‫مال له غيرهم‬
Ketiga, pendapat yang dikemukakan oleh al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, dari
Abu Muslim al-Asfahani bahwa semua kandungan ayat ini masih berlaku
(muhkam) karena ayat-ayat mawarith yang diklaim sebagai nasikh, sebenarnya
berfungsi sebagai mufassir (penjelas) semata bagi keumumannya. Wahbah alZuhayli sendiri tampaknya cenderung memilih pendapat pertama yang menyatakan
bahwa ayat-ayat mawarith hanya berfungsi sebagai takhsis bagi ayat wasiat ini,
bukan sebagai naskh seperti yang dikemukakan oleh pendapat kedua.41
Sehubungan dengan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial kerabat di atas,
disini penulis mencoba membuat suatu ilustrasi terhadap pelaksanaannya jika
dikaitkan dengan pemahaman secara utuh (tematis) dan integral pada ayat-ayat
kerabat lainnya, seperti uraian berikut ini:
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa hak kerabat yang disinggung dalam
al-Qur’an adalah silaturrahmi dan berbuat baik. Jika makna berbuat baik terhadap
kerabat ini dipertegas, maka bentuk kebaikan tersebut dapat berupa memberikan
bantuan nafkah (QS. al-Baqarah: 215), bimbingan (QS. al-Syu‘ara’: 214) baik
dalam bentuk nasehat, teguran ataupun menegakkan keadilan (al-qist dan al-‘adl)
terhadap mereka (QS. al-Nisa’: 135 dan QS. al-An‘am: 152), dan yang terakhir
berupa warisan atau wasiat. Pemberian nafkah ini sendiri, seperti dijelaskan oleh
41

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid I, hal. 121-122

20

Quraish Shihab, mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi
yang memerlukan), mengawinkan anak bila saatnya tiba, serta belanja istri dan siap
saja yang menjadi tanggungannya.42 Tentu saja, nafkah tersebut harus berupa alkhayr (sesuatu yang baik), yaitu harta yang diperoleh dari usaha yang halal serta
digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, yakni bermanfaat (QS. al-Baqarah: 215).
Penafsiran kata al-haqq seperti uraian di atas sejalan dengan makna kata
ihsan yang juga terdapat dalam ayat-ayat kerabat. Disini, seolah-olah Allah hendak
menegaskan bahwa penunaian hak-hak kerabat tersebut harus dilakukan secara
ihsan (QS. al-Nahl: 90), tidak dilakukan karena terpaksa ataupun secara kasar yang
dapat menyebabkan ketersinggungan pihak (kerabat) yang diberi, terutama ketika
memberikan bantuan materiil terhadap mereka.
Sebagai penutup dari persoalan tanggung jawab sosial kerabat ini, Allah
menjelaskan bahwa penunaian hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam kategori
al-birr dan disejajarkan dengan berbagai asas-asas al-birr lainnya, seperti keimanan
kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Ia juga dipandang
setaraf dengan kewajiban shalat, membayar zakat, menepati janji, serta sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan (QS. al-Baqarah: 177).
Inilah bentuk-bentuk tanggung jawab sosial terhadap kerabat, seperti yang
digambarkan oleh rangkaian ayat-ayat al-Qur’an yang memuat persoalan ini. Jika
perhatian selanjutnya diarahkan kepada kelompok ayat-ayat Makkiyah dan
kelompok ayat-ayat Madaniyah yang menyinggungnya, maka dapat dikatakan
bahwa tidak ada perbedaan yang prinsipil antara keduanya. Ayat-ayat madaniyah

42

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid X, hal. 46

21

hanya mempertegas dan menguraikan lebih lanjut apa yang telah dinyatakan Allah
dalam ayat-ayat Makkiyah.
D. Kesimpulan
Penelitian terhadap ayat-ayat kerabat dalam al-Qur’an memberikan suatu
gambaran tegas bahwa yang dimaksudkan dengan kerabat adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan darah semata (nasab), bukan karena sebab perkawinan seperti
yang dijumpai dalam teori ilmu-ilmu sosial modern. Pemaknaan seperti ini didukung
oleh analisis sosiologis terhadap masyarakat Arab pra Islam yang menunjukkan
turunnya jumlah ayat-ayat ini bertujuan untuk merubah adat Arab Jahiliyyah yang
mengabaikan penunaian hak dan kewajiban tersebut karena lebih meletakkan prinsip
kesetiaan dan senioritas terhadap anggota suku (solidaritas kelompok) daripada
tanggung jawab sosial terhadap kerabat sedarah.
Sementara itu, pemahaman secara tematis yang dilakukan, terutama dengan
meneliti penggunaan lafal ‘ata yang bermakna pemberian materi dan immateri,
mengindikasikan adanya tiga bentuk tanggung jawab sosial kerabat, yaitu:
Pertama, tanggung jawab nafkah, yang didasarkan atas QS al-Isra’: 26 dan al-Rum:
38. Kedua, tanggung jawab bimbingan dan nasehat (pengajaran), seperti dijumpai
dalam QS. Al-Syu‘ara’: 214 dan dirinci lebih lanjut dalam beberapa ayat
madaniyyah, dan Ketiga, tanggung jawab pewarisan, dimana ayat utama pada aspek
ini adalah QS. Al-Baqarah: 180, 215 dan QS. Al-Nisa’: 7-8, 23
Dapat dikatakan bahwa sasaran akhir dari pelaksanaan tanggung jawab sosial
adalah tegaknya tatanan masyarakat Islam yang adil, kokoh, dan sejahtera
mengingat kerabat merupakan salah satu lapisan (unsur) pembentuknya. Karena itu,

22

tidak heran apabila Allah menegaskan bahwa pelaksanaan nilai-nilai ini merupakan
salah satu bentuk dari kebajikan yang utama (al-birr), dimana kebajikan tersebut
adalah bahagian dari fondasi iman kepada-Nya.

Daftar Pustaka

Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ud al-Farra’, Ma‘alim al-Tanzil fi alTafsir wa al-Ta’wil, jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 1985
Al-Baqi, Muhammad Fu‘ad ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim,
Beirut: Dar al-Fikr, 1987
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, terj. Semarang: Toha Putra, 1992
Al-Tabataba’i, Muhammad Husayn, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasah alA‘lami, 1991
Al-Tantawi, Muhammad Sayyid, al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar alMa‘arif, t.th
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn ‘Ubaydillah, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid
4, Beirut: Dar al-Fikr, 1988
Al-Zuhayli, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991
David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of
Inheritance, California: UCLA Press, 1989
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, t.th.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj., Bandung: Pustaka, 1996
Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma‘il, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Kairo: Maktabah Misr, t.th.
Ibn Manzur, Abu Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram, Lisan al-‘Arab, jilid I,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, terj. Jakarta: Rajawali Press, 1999
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, terj., Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
Damaskus: Dar al-Fikr, 1997
Nashir Makarim Syairazi, Tafsir al-Amtsal, terj. Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th

23

Quraish Shihab, M., Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997
__________, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
__________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000

TANGGUNG JAWAB SOSIAL KERABAT
Kajian Terhadap Ayat-Ayat Kerabat Melalui Pendekatan
Tafsir Mawdu‘I

Makalah (Revisi)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Fiqh Al-Qur’an Program Doktor (S3)
Konsentrasi Fiqh Modern

Oleh:

Hedhri Nadhiran
Nim. 15030575-3

Pengasuh:

Prof. DR. M. Quraish Shihab
Prof. DR. Daniel Djuned, MA

24

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AR-RANIRY
DARUSSALAM BANDA ACEH
2004