komunikasi lintas budaya tugas Prof. Sum

PERSPEKTIF KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM PEMBERDAYAAN
KELEMBAGAAN MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN

Dibuat untuk memenuhi sebagian tugas Mata Kuliah
Dinamika Sosial dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ir. Sumardjo

Disampaikan oleh :
Ferdinal Asmin/ P062130181
Erni Yuniarti/ P062130141
Rizka Amalia/ P052130301
Emil Wahdi/ P052120371

PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL

3

DAFTAR GAMBAR

3

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Kerangka Pemikiran
1.3. Maksud dan Tujuan

4
4
5
6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Lintas Budaya

2.2. Pemberdayaan Kelembagaan
2.3. Agroekosistem dan Pertanian Berkelanjutan

7
7
8
10

BAB III PEMBAHASAN
3.1. Pembangunan Pertanian, Etnisitas, dan Komunikasi
3.2. Pemahaman Komunikasi Lintas Budaya untuk Pemberdayaan Kelembagaan
3.3 Komunikasi Lintas Budaya dan Pertanian Berkelanjutan

11
11
15
19

BAB IV PENUTUP


24

DAFTAR PUSTAKA

25

2

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kelembagaan Pelaksana Subak di Bali

12

Tabel 3.2. Sistem Ladang Gilir Balik Behuma di Masyarakat Dayak

13


Tabel 3.3. Perbedaan antara Masyarakat Kolektif dan Individualis

20

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

5

Gambar 2.2. Hubungan Hak dan Pemberdayaan dalam Lingkungan Kelembagaan
Formal dan Informal

9

Gambar 2.3. Siklus Perkembangan Gelombang Budaya Pertanian

10

Gambar 3.1. Aspek-aspek Kecerdasan Budaya


15

Gambar 3.2. Tata Kelola dalam Mempertahankan Sumber-Sumber Mata
Pencaharian dan Pengentasan Kemiskinan

17

Gambar 3.3. Proses Pengembangan Kelembagaan

18

Gambar 3.4. Pemberdayaan Agen sebagai Adaptasi untuk Perubahan

19

Gambar 3.5. Kendala Petani dan Inovasi Kelembagaan

21


Gambar 3.6. Alternatif Komunikasi Lintas Budaya dalam Pengembangan Pertanian 22
Gambar 3.7. Kompetensi Lintas Budaya dalam Pertanian Bekelanjutan

3

23

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut laporan ”Prospek Populasi Dunia: Revisi 2012” oleh PBB di New
York menyatakan bahwa penduduk dunia akan naik menjadi 8.1 miliar jiwa pada
tahun 2025 dari jumlah 7.2 miliar jiwa saat ini (Anonim 2014). Adanya pertumbuhan
penduduk yang pesat ini akan mengakibatkan permintaan produk pertanian meningkat.
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, sehingga, sebagai negara agraris,
pembangunan pertanian dapat menjadi basis ekonomi andalan dan juga sebagai jalan
untuk mewujudkan swasembada pangan. Pemerintah Indonesia harus mengedepankan
sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang strategis dalam pembangunan.

Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk pembangunan pertanian yang
dilakukan oleh Indonesia. Revolusi hijau ini ditandai dengan introduksi teknologi
produksi pertanian yaitu adanya pengenalan varietas unggul, pupuk buatan,
mekanisasi pertanian, irigasi teknis, dan intensifikasi massal. Pembangunan pertanian
yang diterapkan terdahulu mendapatkan beberapa kritik atas terjadinya persoalan
ketergantungan dan eksploitasi sumber daya alam yang kemudian mengakibatkan
proses pemiskinan dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan (Dharmawan
2006).
Selain itu, pembangunan pertanian yang diterapkan terdahulu juga cenderung
menggunakan pendekatan individualistik yang mereduksi ikatan-ikatan horizontal
sebagai modal sosial (Syahyuti 2005). Pembangunan pertanian yang menimbulkan
dampak negatif perlu dihindari guna menciptakan kesejahteraan dan partisipasi.
Pembangunan pertanian yang harus digalakkan sekarang adalah pembangunan
pertanian yang mensubyekkan petani serta menempatkan petani dalam relasi-relasi
horizontal di komunitasnya.
Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan merupakan
pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam komunitas. Upaya
pemberdayaan kelembagaan diperlukan untuk meningkatkan perhatian dan motivasi
dalam berusaha tani. Selain tiga kunci utama yang perlu diperhatikan dalam konteks
kelembagaan yaitu: norma, perilaku, serta kondisi dan hubungan sosial, kita juga harus

memperhatikan pola komunikasi yang membentuk interaksi simbolik dan
membedakan satu komunitas dengan komunitas yang lainnya.
Pola komunikasi dicerminkan dalam perilaku dan tindakan petani, baik dalam
tindakan individu maupun tindakan komunal. Jika setiap keputusan yang diambil
selalu akan terkait atau dibatasi oleh norma dan pranata sosial masyarakat petani di
lingkungannya (Suradisastra 2008), maka kegagalan komunikasi dalam suatu
komunitas dapat mempengaruhi pranata sosial itu sendiri (Thomas 1982:100). Oleh
karena itu, tulisan ini membahas bagaimana pengaruh komunikasi lintas budaya
terhadap pemberdayaan kelembagaan untuk mendukung pertanian berkelanjutan.

4

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

1.2. Kerangka Pemikiran
Dalam konteks kelembagaan pertanian, pemahaman terminologi “lokal”
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan
dengan kondisi setempat. Terminologi “lokal” meliputi dasar-dasar untuk melakukan
tindakan kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi, tanggung jawab,
serta menghimpun, menganalisis, dan mengkaji informasi. Hal ini tidak terjadi secara

otomatis, namun memerlukan kehadiran kelembagaan yang bersifat spesifik lokasi
(Suradisastra 2008).
Salah satu kelembagaan yang bersifat lokalitas yaitu kelembagaan musyawarah,
dimana musyawarah ini selalu berkaitan dengan komunikasi yang bersifat unik antara
satu daerah dengan daerah lainnya karena menyangkut adat istiadat serta kebudayaan
di suatu daerah tertentu. Menurut Hall (1981) dalam Liliweri (2007) menyatakan
bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan.

Nilai

Norma

Komunikasi

Pengalaman

Pengetahuan

Proses Kelembagaan Musyawarah


Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

5

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi merupakan informasi yang dialihkan antara para pengguna atau
proses untuk menyatakan persetujuan atas perjanjian dan merupakan bagian dari
teknologi yang berkaitan dengan representasi, peralihan, interpretasi, dan pemrosesan
data diantara manusia di berbagai tempat (Carey 1989, Liliweri 2007). Sementara itu,
kebudayaan merupakan simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang,
konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan
dipertahankan oleh sekelompok orang atau generasi (Samiovar dan Poter dalam
Liliweri 2007).
Budaya berfungsi sebagai tata kelakuan/mengatur hubungan sebab-akibat antara
budaya dan komunikasi, dan budaya menentukan bagaimana anggota kelompok
berkomunikasi.
Komunikasi dibentuk oleh budaya dimana seseorang akan

mempelajari arti simbol-simbol, nilai-nilai, dan kepercayaan umum anggota komunitas
yang pada akhirnya memungkinkan untuk mengkoordinir aktivitas mereka
(Sarwoprasojo 2013). Dari pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa
komunikasi lintas budaya ingin membandingkan proses terjadinya komunikasi sesuai
dengan kebudayaan yang dianut oleh seseorang atau komunitas, sehingga komunikasi
tersebut bersifat unik.
1.3. Maksud dan Tujuan
Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas pentingnya komunikasi lintas budaya
dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan kelembagaan dan pencapaian tujuan
pertanian berkelanjutan. Untuk itu, tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah:
1. Menjelaskan konsep komunikasi lintas budaya dan pemberdayaan kelembagaan.
2. Mengkaji hubungan pembangunan pertanian, etnisitas, dan komunikasi lintas
budaya seperti budaya pertanian etnis Bali dan Dayak.
3. Mengkaji pola pemberdayaan masyarakat berdasarkan pemahaman terhadap
komunikasi lintas budaya.
4. Mengkaji peran komunikasi lintas budaya
berkelanjutan.

6

dalam mendukung pertanian

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Lintas Budaya
Budaya merupakan salah satu tingkatan yang menunjukkan keunikan manusia
selaku komunitas seperti dijelaskan oleh Hofstede (1991:6), selain dari sifat manusia
dan kepribadian. Gambar 2.1 menjelaskan tiga level keunikan manusia. Budaya lahir
dari sebuah proses pembelajaran dalam suatu kelompok masyarakat. Budaya dilandasi
oleh sifat manusia dan berperan dalam membentuk kepribadian.

Gambar 2.1. Tiga Level Keunikan Manusia (Hofstede 1991:6)
Hofstede (1991:9-17) menjelaskan bahwa manifestasi dari budaya diwujudkan
dalam berbagai nilai, ritual, kisah, dan simbol yang dipraktekkan oleh komunitas
masyarakat. Dengan demikian, ada perbedaan budaya menurut wilayah, agama,
gender, generasi, dan kelas. Pemahaman terhadap budaya penting dalam mengikuti
perubahan sosial, baik dalam bentuk perubahan tiba-tiba, transformatif, maupun
terencana seperti yang diungkapkan Reeler (2007:9-14).
Karena budaya dipandang sebagai sesuatu yang dibagikan oleh masyarakat
(Levine et al. 2007:219), maka komunikasi memiliki peran tranformasi yang bisa
terjadi antar budaya dan/atau lintas budaya. Liliweri (2003) menjelaskan bahwa
komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, dan gagasan) dari
satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya.
Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak. dan dapat juga dilakukan dengan bahasa non
verbal menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya
tersenyum, menggelengkan kepala, dan mengangkat bahu.
Ada perbedaan penting antara komunikasi antar budaya dan komunikasi lintas
budaya. Levine et al. (2007:208) membedakan komunikasi antar budaya sebagai pola
interaksi antara orang-orang dari berbagai budaya dan komunikasi lintas budaya

7

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

sebagai pola komunikasi antara satu budaya dengan budaya lain dari kelompok orang
yang berbeda.
Tannen (1984:189-194) menjelaskan delapan level perbedaan dalam komunikasi
lintas budaya yang dapat menggoyahkan komunikasi yaitu: (1) kapan berbicara, (2)
apa yang dikatakan, (3) kesimpangsiuran, (4) kemauan mendengar, (5) intonasi dan
penyampaian, (6) pemolaan (formulaicity), (7) tidak langsung, dan (8) kohesi dan
koheren. Bahasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji
komunikasi lintas budaya karena Saville-Troike (1980:348) menerangkan bahwa
bahasa dapat dipandang sebagai suatu simbol dan tanda pengenal keanggotaan
kelompok dan media prinsip untuk mediasi dan manipulasi hubungan sosial.
Berbicara tentang komunikasi lintas budaya bukan hanya berkaitan dengan
masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat. Komunikasi lintas budaya juga
mencakup kewilayahan yang meluas pada karakter komunikasi masyarakat lintas
negara. Contohnya, Fanto (1996:2005) meneliti komunikasi lintas budaya dalam
konteks sistem tata kelola perusahaan lintas negara dengan mengungkapkan bahwa
tata kelola perusahaan merupakan suatu fenomena yang sangat ditentukan oleh
budaya.
2.2. Pemberdayaan Kelembagaan
Dharmawan (2006:9) menerangkan bahwa kooptasi negara dan pasar telah
menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat. Pada dekade 1990-an, ada semangat atau
prinsip baru yang mendorong pembangunan berbasis komunitas dengan mengusung
prinsip partisipasi, demokrasi, kesejahteraan, kolektivitas, dan pembangunan yang
bersumber kekuatan dari dalam.
Dalam konteks memberdayakan masyarakat miskin, Prato dan Longo (2012:8)
menyebutkan bahwa pemberdayaan menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan,
bagaimana menghubungkannya, dan siapa yang bekerja. Dharmawan (2000) dalam
Dharmawan (2006:10) mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses yang
memungkinkan masyarakat mengembangkan kapabilitasnya untuk memiliki
kemampuan mempengaruhi, membuat keputusan, dan memiliki akses terhadap sumber
penghidupan yang lebih baik.
Pemberdayaan dapat membentuk hak yang lebih berarti, dan hak memungkinkan
terjadinya pemberdayaan seperti dijelaskan oleh Fox (2004:7-12). Gambar 2.2
mengilustrasikan penjelasan tersebut. Selain membentuk hak, untuk memahami siklus
yang sebenarnya dalam pemberdayaan, kita harus asumsikan bahwa kekuatan formal
pro reformasi dibatasi oleh kekuatan informal anti reformasi, melibatkan skala
keekonomian yang jelas, dan pembelajaran dari tata kelola partisipasi dan keberdayaan
(empowered participatory governance).

8

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 2.2. Hubungan Hak dan Pemberdayaan dalam Lingkungan Kelembagaan
Formal dan Informal (Fox 2004:8)
Longwe (1991) dalam Luttrell et al. (2009:5) memberikan beberapa perbedaan
tingkatan pemberdayaan yaitu tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran
dan kepedulian, tingkat partisipasi dan mobilisasi, serta tingkat pengendalian.
Narayan (2002) kemudian menjelaskan bahwa ada 4 elemen kunci dalam
pemberdayaan yang harus diperhatikan dalam reformasi kelembagaan yaitu akses
informasi, inklusi atau partisipasi, akuntabilitas, dan kapasitas kelembagaan lokal.
Kematangan kelembagaan di tingkat lokal dapat didefinisikan dalam hal
pandangan anggota yang luas, norma internal dan saling percaya, hubungan dan
jaringan eksternal, teknologi dan perbaikan, serta lama bertahannya (Pretty dan Ward
2001 dalam Iftekhar 2003:31). Kematangan tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh
Iftekhar (2003:31) sebagai berikut:
1. Pandangan yang luas dan pembentukan rasa pada realitas baru dan pengaturan
untuk perubahan.
2. Norma internal dan saling percaya yang merupakan pengakuan kapasitas untuk
mencapai tujuan.
3. Hubungan dan jaringan eksternal dengan berbagai organisasi dan cukup kuat untuk
mengantisipasi tekanan dari luar.
4. Teknologi dan perbaikan berbasis prinsip ekologis yang mendorong adaptasi dan
inovasi.
5. Bertahan lama dengan berbagai aktivitas dan melewati ambang batas kematangan.

9

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

2.3. Agroekosistem dan Pertanian Berkelanjutan
Pada hakikatnya eksistensi konsep pertanian berkelanjutan sebenarnya bukan
sesuatu yang baru, King (1911) dalam Zamora (1995) dalam Salikin (2003)
menuliskan bahwa teknik usaha tani dengan metode organik atau pertanian permanen
(organic farming) yang mengintegrasikan pengelolaan kesuburan tanah dengan sistem
ekologi telah dilakukan oleh para petani di daratan Cina, Jepang, dan Korea sekitar
empat abad yang lalu.

Gambar 2.3. Siklus Perkembangan Gelombang Budaya Pertanian (Sudibyo 1995
dalam Salikin 2003)
Sistem pertanian berkelanjutan adalah back to nature, yakni sistem pertanian
yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan
lingkungannya atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah.
Terminologi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai padanan istilah
agroekosistem pertama kali dipakai sekitar awal 1980-an oleh pakar pertanian FAO
(food agriculture organization). Agroekosistem ini mengacu pada modifikasi
ekosistem alamiah dengan sentuhan campur tangan manusia untuk menghasilkan
bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia
(Salikin 2003).
Sementara itu, Conway (1984) dalam Salikin (2003) juga menggunakan istilah
pertanian berkelanjutan dengan konteks agroekosistem yang berupa memadukan
antara produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity). Ada
tiga kesepakatan yang harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan, yaitu: (1) produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam
pemanfaatan sumber daya, (2) proses biologi harus dikontrol oleh sistem pertanian itu
sendiri (bukan tergantung pada masukan yang berasal dari luar pertanian) dan (3) daur
hara dalam sistem pertanian harus lebih ditingkatkan dan bersifat tertutup (Harwood
1990 dalam Sutanto 2002).

10

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pembangunan Pertanian, Etnisitas, dan Komunikasi
Rancangan strategi pembangunan harus memperhatikan lingkungan pluralisme
budaya dan keragaman etnis karena hubungan antara etnisitas dan pembangunan
merupakan manifestasi dimensi politik, ekonomi, dan sosial (Premdas 1996:2). Ketika
etnis dipandang sebagai suatu identifikasi individu, etnis merupakan salah satu segmen
dari masyarakat yang lebih besar dengan anggota-anggotanya memiliki budaya dan
asal serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dibagi menurut budaya dan
asalnya (Yinger 1976 dalam Chávez dan Guido-DiBrito 1999:40).
Etnisitas mengacu pada kesadaran kolektif kelompok yang menanamkan rasa
memiliki dan berasal dari anggota kelompok dalam ikatan yang diakui komunitas
melalui budaya yang turun menurun (Premdas 1996:3). Komponen etnisitas tersebut
meliputi nilai-nilai budaya, perilaku, kepercayaan, bahasa, tradisi, dan sebagainya
(Premdas 1996:3; Chávez dan Guido-DiBrito 1999:40).
Komunitas adat Dayak, Baduy, dan Bali sebagai etnis dapat dipahami sebagai
aktor pembangunan di wilayah adatnya, yang menarasikan pengelolaan sumber daya
alam menurut kepentingan politik, ekonomi, dan sosial yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dalam konteks pembangunan pertanian, semuan masyarakat adat di
Indonesia (termasuk masyarakat Dayak dan Bali) mengelola lahan pertanian menurut
pengetahuan lokal yang mereka miliki.
Subak merupakan salah satu gambaran interaksi aspek politik pemerintahan,
norma, adat, keagamaan, serta aspek teknis dan teknologi pertanian yang menjadi ciri
khas sistem pertanian di Bali (Suradisastra et al. 2002 dalam Suradisastra 2008:83).
Tabel 3.1 menjelaskan tentang kelembagaan kegiatan Subak di Bali dalam mendukung
kegiatan pertanian mulai dari persiapan lapangan sampai pemanenan.
Kegiatan pertanian pada masyarakat Bali dilaksanakan oleh seke-seke
(kelompok-kelompok), yang masing-masing tahapan kegiatan pertanian memiliki
ritual menurut agama Hindu yang menjadi agama utama di Bali. Masyarakat Bali
selaku manusia dan bagian dari komunitas yang memiliki hubungan dengan Sang
Penguasa (Dewa) dan diwujudkan dalam bentuk penyembahan-penyembahan,
termasuk dalam kegiatan pertanian. Tanaman pertanian dianggap sebagai anugerah
Dewa yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia (antroposentris).
Pada tahap pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran, peran keluarga menjadi
lebih dominan. Beberapa keluarga menyimpan hasil pertanian (seperti padi) untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan beberapa keluarga lain memasarkan
hasil pertanian sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Secara umum,
kelembagaan petani di Bali lebih terbuka mensinkronkan kegiatan pertaniannya
dengan lembaga-lembaga eksternal, terutama pemerintah.

11

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Tabel 3.1. Kelembagaan Pelaksana Subak di Bali

Sumber: Suradisastra et al. (2002) dalam Suradisastra (2008:85)
Ada perbedaan antara masyarakat Bali dan Baduy dalam mengelola lahan
pertanian. Sejak dulu, masyarakat Baduy bercocok tanam dengan cara berladang atau
ngahuma, yang identik dengan perladangan berpindah Muhsin et al. (2011:80). Cara
bercocok tanam pada masyarakat Baduy mirip dengan masyarakat Dayak. Tabel 3.2
menggambarkan praktek kebudayaan dan ritual pada masyarakat Dayak dalam
pengelolaan lahan dengan sistem Gilir Balik.
Meskipun sudah ada masyarakat Dayak yang bercocok tanam dengan sistem
pertanian sawah, namun pengetahuan lokal mereka dalam behuma (atau bagi
masyarakat Baduy dikenal dengan ngahuma) sebagai bentuk berladang berpindah
memiliki banyak kearifan lokal dari segi konservasi, ketahanan pangan, dan sosial
budaya masyarakat (Yuliono et al. 2011:203). Ritual agama selalu menyertai dalam
setiap tahapan behuma. Secara umum, kelembagaan pelaksana pertanian pada
masyarakat Dayak telah diatur secara adat.

12

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Tabel 3.2. Sistem Ladang Gilir Balik Behuma di Masyarakat Dayak
Kegiatan
Pemilihan lahan
Pembersihan
semak belukar
Menebang pohon
Membakar lahan
Mengumpulkan
sisa pembakaran

Menanam benih
Menyiangi
Pengendalian
hama dan
penyakit
Persiapan panen

Panen
Penyimpanan
hasil panen
Pesta panen
Pengolahan hasil

Penyimpanan
gabah
Pesta penutupan
panen

Ritual Agama
Batanung

Tujuan Ritual
Menentukan lahan yang akan ditanami pada
musim ini
Batabas
Membersihkan kumpai (semak belukar) pada
lokasi ladang yang sudah dipilih untuk dibuka
Batabang
Menebang pohon-pohon besar setelah selesai
batabas
Manyalukut
Membakar lahan yang sudah kering (hasil
tabasan dan tabangan)
Mamanduk
Mengumpulkan kembali sisa hasil
pembakaran
yang belum habis, untuk kemudian dibakar
kembali
Menugal/bemata Menanam benih di ladang yang telah siap,
umang
dilakukan sebulan setelah kegiatan mamanduk
Marumput
Membersihkan rumput/gulma di perladangan
Aruh basambu
Ritual yang diadakan sebagai tolak bala agar
tanaman tidak terserang hama/penyakit
Manyambut
Maampatungi
banih/maambil
banih
Mangatam/mem
anen
Baancak,
Aruh bawanang
(banihmudah)
Beirik
Begumba
Babuat
Aruh bawanang
(banih halin),
aruh

Sumber: Yuliono et al. (2011:198)

13

Menyambut buah padi, dilakukan ketika biji
padi keluar dari kelopaknya
Bertujuan untuk permisi kepada pencipta
bahwa akan dilakukan pemanenan
Memetik padi yang telah masak
Meletakkan padi di lumbung dengan disertai
mantra-mantra
Ritual pesta panen
Memisahkan padi dari tangkainya
Membuang padi yang kosong (tidak berisi
beras)
Meletakkan padi ke lulung (wadah
menyimpan gabah)
Pesta panen yang dilakukan untuk menutup
musim tanam sebelumnya

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Bila kita bandingkan bahasa dalam budaya pertanian masyarakat Bali dan
Dayak, ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Namun memperhatikan
istilah-istilah yang digunakan seperti Tabel 3.2, banyak istilah masyarakat Dayak yang
memiliki kesamaan dengan istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat. Istilah-istilah seperti batabang dan marumput juga
dikenal dalam bahasa Minangkabau, yaitu manabang dan marumpuik. Hal ini
menunjukkan bahwa budaya pertanian pada suatu etnis juga dapat menjadi bagian
budaya yang penting pada etnis lainnya.
Tetapi, Montalvo dan Reynal-Querol (2005:293) menyebutkan bahwa
keragaman bahasa (ethnolinguistic) dan agama berpotensi menyebabkan dimensi
konflik yang kuat. Pendekatan pembangunan pertanian juga perlu mempertimbangkan
keragaman bahasa dan agama secara baik karena keduanya merupakan unsur-unsur
yang menunjukkan karakteristik etnis tertentu. Contohnya, untuk kepentingan
penyuluhan pertanian, penyuluh harus memahami bagaimana karakteristik etnisitas
dan pembangunan pertanian dalam mempengaruhi strategi penyuluhannya.
Snodgrass (1995:15) menilai berbeda terhadap keberagaman etnis, yaitu
keberagaman etnis dalam kerangka politik yang stabil dapat menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi karena banyak bakat-bakat yang dapat digunakan secara
produktif. Bahkan menurut Loury (2000:232), ahli ekonomi menyarankan untuk
berbuat di luar mekanisme pasar apabila terjadi ketidakadilan bagi komunitas etnis
dalam pembangunan ekonomi. Hal ini seperti dijelaskan Baulch (2002:17) bahwa
kemiskinan pada etnis tertentu dapat disebabkan oleh kekurangan sumber daya (modal
fisik dan manusia) atau kurang mendapatkan manfaat dari sumber daya karena
diskriminasi budaya dan informasi.
Dalam konteks pembangunan pertanian, pertimbangan terhadap etnisitas dapat
dilakukan dengan memahami tahapan pengembangan identitas etnis. Phinney (1989)
dalam Fisher (2012:48) menyebutkan sekurangnya ada 3 tahapan pengembangan
identitas etnis, yaitu: (1) komunitas kurang mengeksplorasi identitas etnisnya sehingga
perlu didorong, (2) pencarian identitas melalui eksperimentasi dan penjelasan, dan (3)
pencapaian identitas etnis sehingga mendapat penerimaan dan terinternalisasi.
Ragam etnis dengan ragam komunikasi lintas budaya dapat menjadi modal
dalam pembangunan pertanian. Untuk mendorong pembangunan pertanian berbasis
etnis, beberapa upaya perlu dilakukan, baik dalam perbaikan produksi, aktivitas,
maupun dukungan teknis.
Dengan memodifikasi cara RLDP (2009:57-61),
pendekatan pembangunan pertanian seharusnya mencakup 3 hal.
Pertama,
pembangunan yang melibatkan aktivitas perbaikan produksi dengan praktek pertanian
berkelanjutan, pelatihan budidaya pertanian, memenuhi kebutuhan kelompok
masyarakat, penyediaan infrastruktur sederhana, dan persetujuan penggunaan lahan
secara adat.
Kedua, pembangunan merupakan aktivitas layanan yang beorientasi pada
keluarga petani, peningkatan keterampilan, fasilitas pembiayaan, produksi kerajinan
tangan, pengembangan usaha skala mikro, dan perluasan kesempatan kerja. Ketiga,

14

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

pembangunan harus memberikan dukungan teknis dengan aktivitas dalam wilayah
etnis tersebut, peningkatan kapasitas penyuluhan, dan aktivitas jasa.
3.2. Pemahaman Komunikasi Lintas Budaya untuk Pemberdayaan Kelembagaan
Budaya pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak seperti yang dijelaskan pada
Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 dapat menunjukkan kecerdasan budaya masyarakat dalam
pengelolaan lahan. Kecerdasan budaya mencakup aspek kognitif, motivasi, dan
perilaku seperti dijelaskan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Aspek-aspek Kecerdasan Budaya (Earley 2002 dalam Johnson et al.
2006:536)
Aspek-aspek kecerdasan budaya sebagaimana terlihat pada Gambar 3.1
terepresentasikan dalam budaya pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak. Naskah
budaya sebagaimana dituliskan dalam Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 dapat dirumuskan
dalam bentuk bahasa yang universal sehingga kita dapat membandingkannya
(Wierzbicka 1994:21). Bahasa masyarakat Bali dan Dayak memang memiliki
perbedaan signifikan, namun makna dibalik semua itu dapat kita pahami bahwa kedua
masyarakat memiliki kecerdasan budaya yang dirangkai dalam bentuk hubungannya
pada Sang Pencipta dan alam.
Komunikasi dalam masyarakat Bali dan Dayak berasal dari pengetahuan
lokalnya yang dimiliki oleh aktor-aktor dalam masyarakat itu sendiri dan diwujudkan
dalam bentuk aksi. Memori, basis pengetahuan, dan aksi tersebut membentuk struktur
sistem sosial seperti yang dijelaskan Giddens (1984) dalam Walsham (2002:361).
Strategi pemberdayaan kelembagaan petani dalam pembangunan pertanian juga
dipengaruhi oleh bagaimana pemahaman kita terhadap komunikasi lintas budaya yang
ada di Indonesia. Dalam kasus masyarakat Bali dan Dayak, peran agama memang
dinarasikan menjadi salah satu kekuatan dalam pengembangan pertanian sebagai

15

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

wujud hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan lingkungannya. Bila kita
mengacu pada pengertian pemberdayaan seperti dirumuskan Williams et al. (1994)
dalam Oxaal dan Baden (1997:1), pemahaman terhadap pola komunikasi bisa menjadi
alat untuk mendominasi (power over), mempengaruhi (power to), mencapai tujuan
(power with), dan meyakinkan (power within).
Kelembagaan pelaksana pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak memiliki
aturan-aturan yang berlaku internal untuk mencapai tujuan yang diinginkan
sebagaimana pengertian kelembagaan yang diungkapkan World Bank (2002) dalam
Herbel et al. (2012:21). Ketika proses kelembagaan melibatkan interaksi antar aktor
dalam masyarakat, komunikasi budaya pertanian merupakan interaksi simbolik aktor
dalam pembangunan pertanian yang penting diketahui.
Fung dan Wright dalam Isaac dan Heller (2003:87) menyebutkan bahwa salah
satu tantangan paling berat dalam promosi tata kelola partisipasi dan keberdayaan
(empowered participatory governance) adalah mengembangkan bentuk kelembagaan
yang kuat untuk menggerakkan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses yang
disengaja. Oleh karena itu, pelembagaan komunitas meliputi mobilisasi masyarakat
untuk mengatasi masalah-masalah dan meningkatkan partisipasi dalam kelembagaan
dan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya (Dreier 1996:121).
Pentingnya pemberdayaan kelembagaan tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa
Richter (2011:1) menilai masyarakat pedesaan (terutama petani) sangat kurang
mendapatkan pelayanan. Kemiskinan menjadi ciri utama masyarakat pedesaan di
Indonesia termasuk pada masyarakat Bali dan Dayak karena, menurut World Bank
dalam Bonfiglioli (2003:14), kemiskinan dinilai sebagai bentuk perampasan
kesempatan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan gizi, termasuk kurangnya
pemberdayaan dan keamanan.
Gambar 3.2 mengilustrasikan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan melalui
perbaikan tata kelola. Perbaikan tata kelola inilah yang nantinya menjadi ruang bagi
penguatan komunikasi sebagai interaksi simbolik masyarakat dalam pembangunan
pertanian. Tata kelola mendorong narasi kelembagaan yang lebih baik untuk
mencapai keberlanjutan sumber mata pencaharian dan upaya pengentasan kemiskinan.
Tata kelola yang tercermin dalam naskah budaya masyarakat Bali dan Dayak
dalam mengelola lahan pertanian merupakan bentuk tata kelola tingkat lokal yang
diyakini mampu menjaga keberlanjutan sumber daya dalam kerangka menjaga
hubungan dengan Sang Pencipta dan lingkungannya. Untuk menjamin tata kelola
yang baik, pemberdayaan kelembagaan dan peningkatan kapasitas menjadi kondisi
pemungkin untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

16

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 3.2. Tata Kelola dalam Mempertahankan Sumber-Sumber Mata Pencaharian
dan Pengentasan Kemiskinan (Bonfiglioli 2003:14)
Proses pengembangan kelembagaan diawali faktor-faktor pemungkin dan peran
fasilitator yang mampu menggerakkan kelembagaan lokal, baik formal maupun
informal. Gambar 3.3 menjelaskan sebuah ilustrasi pentingnya peran kelembagaan
lokal untuk mendorong aktor dan jaringannya dalam mencapai tujuan organisasi. Pola
hubungan aktor dan jaringannya mengikuti proses komunikasi yang berkembang di
dalam masyarakat itu sendiri dan menghasilkan bentuk-bentuk interaksi simbolik.

17

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 3.3. Proses Pengembangan Kelembagaan (Herbel et al. 2012:72)

Karena pentingnya peran komunikasi dalam pemberdayaan kelembagaan, kita
perlu mempertimbangkan agen-agen komunikasi (yang juga dapat berperan sebagai
agen perubahan) dalam setiap upaya yang menyentuh kepentingan kelembagaan di
tingkat lokal terkait dengan pembangunan pertanian. Setiap komunikasi yang
diwujudkan sebagai interaksi simbolik dalam budaya pertanian pada semua
masyarakat akan membentuk pendukung-pendukung budaya (epistemic community) di
tingkat masyarakat. Agen-agen yang mampu memobilisasi interaksi dalam kelompok
seharusnya merupakan epistemic community dari budaya pertanian yang telah
dikembangkan.
Pemberdayaan agen-agen tersebut sangat penting. Gambar 3.4 menjelaskan
tentang interaksi antara agen dan struktur kelembagaan dalam rangka mendorong
perubahan. Ketika kepentingan saling berhubungan dengan aturan, peran, dan pola
hubungan dalam kelembagaan serta sikap berkaitan dengan ketidakpastian, maka
seorang agen harus mampu meningkatkan kapabilitas masyarakat berdasarkan
pengetahuan lokalnya untuk mencapai tujuan tertentu. Poin ini menjadi penting untuk
mendorong suatu kelembagaan musyawarah yang dicirikan oleh partisipasi aktif
anggota kelompoknya.

18

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 3.4. Pemberdayaan Agen sebagai Adaptasi untuk Perubahan (El Harizi:14)
Dengan memahami bahwa komunikasi lintas budaya sebagai interaksi simbolik
yang berkembang dalam kelembagaan di tingkat lokal, tata kelola lokal menentukan
kebijakan pemberdayaan kelembagaan yang mampu mendorong kapabilitas
masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam
pengembangan praktek budidaya pertanian. Patel (2011:7) menegaskan bahwa
masyarakat berdaya jika mereka: (1) memiliki akses informasi, (2) terlibat dalam
forum-forum pembahasan isu dan pengambilan keputusan, (3) dapat mengajak
pengambil keputusan untuk mempertimbangkan pilihan dan aksi, dan (4) memiliki
kapasitas dan sumber daya untuk melembagakan kepentingan dan peran dengan
lembaga publik.
3.3. Komunikasi Lintas Budaya dan Pertanian Berkelanjutan
Gudykunst (1995) dalam Smith (2004:60) telah mengembangkan teori yang
menjelaskan pengaruh kegelisahan dan ketidakpastian terhadap pola komunikasi
dengan orang luar, baik antar maupun dalam budaya itu sendiri. Ada kondisi yang
harus dihindari, yaitu: (1) meningkatnya kegelisahan dalam berinteraksi, (2)
menurunnya kemampuan untuk menangani kegelisahan, (3) menurunnya daya tarik
terhadap orang luar, (4) berkurangnya respek, (5) ekspektasi yang kurang positif, (6)
lebih formalitas, dan (7) menurunnya kemampuan untuk mentolerir ambigu.

19

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Teori tersebut dapat menjadi kondisi yang dialami pada masyarakat Bali dan
Dayak (bahkan pada semua masyarakat) bila introduksi pola pembangunan ternyata
menyebabkan kegelisahan dan ketidakpastian, termasuk dalam kasus penyeragaman
pola pertanian dalam dan antar wilayah. Jika budaya menjadi perhatian dalam
pembangunan pertanian, maka Hofstede (1991:15-17) telah menjelaskan adanya
perbedaan budaya menurut wilayah, agama, gender, generasi, dan kelas.
Komunikasi budaya masyarakat Bali dan Dayak dalam konteks pembangunan
pertanian tidak bisa dilepaskan dari sifat kolektivitas masyarakat adat pada umumnya.
Tabel 3.3 menjelaskan sepuluh perbedaan antara masyarakat kolektif dan individualis.
Pada masyarakat kolektif, budaya dibangun atas kesadaran bersama dan rasa
kebersamaan. Komunikasi dalam pembangunan pertanian bagi masyarakat adat
merupakan interaksi simbolik yang menerangkan tentang kebersamaan.
Tabel 3.3. Perbedaan antara Masyarakat Kolektif dan Individualis
INDIVIDUALISME
Peduli pada diri sendiri
Kesadaran untuk diri sendiri
Hak privasi
Berbicara menurut pikiran sendiri
Lain diklasifikasikan sebagai individu
Opini pribadi
Pelanggaran norma adalah dosa
Bahasa ke-aku-an adalah biasa
Belajar bagaimana mempelajari
Tugas berlaku setelah hubungan

KOLEKTIVISME
Melindungi keluarga atau kelompok
Kesadaran untuk kelompok
Fokus pada rasa memiliki
Menjaga harmoni
Lain diklasifikasikan menurut kelompok
Opini menurut kelompok
Pelanggaran norma adalah memalukan
Bahasa ke-aku-an dihindari
Belajar bagaimana melakukan
Hubungan berlaku setelah tugas

Sumber: Hofstede (2011:11)
Ciri kolektivitas sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.3 menjadi sangat penting
sekali dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Komunikasi sebagai interaksi
simbolik kolektivitas masyarakat dalam budidaya pertanian dapat mendukung
kolaborasi produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity)
seperti diistilahkan oleh Conway (1984) dalam Salikin (2003). Hal ini diperkuat oleh
Harwood (1990) dalam Sutanto (2002) yang menyatakan ada tiga kesepakatan yang
harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, ialah: (1) produksi
pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam pemanfaatan sumber daya, (2) proses
biologi harus dikontrol oleh sistem pertanian itu sendiri (bukan tergantung pada
masukan yang berasal dari luar pertanian) dan (3) daur hara dalam sistem pertanian
harus lebih ditingkatkan dan bersifat tertutup.
Keberhasilan pertanian berkelanjutan dipengaruhi oleh proses pemberdayaan
kelembagaan, dalam hal menyebarluaskan inovasi yang menjadi keunggulan budaya
pada masyarakat. Komunikasi tanpa kelembagaan, atau sebaliknya, merupakan
sebuah keniscayaan dalam mendorong inovasi budidaya pertanian. Komunikasi inilah
yang kemudian menjadi landasan utama kelembagaan musyawarah.

20

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 3.5. Kendala Petani dan Inovasi Kelembagaan (Herbel et al. 2012:30)
Gambar 3.5 di atas menjelaskan bahwa pengetahuan dan informasi sebagai unsur
komunikasi dalam suatu komunitas dapat mempengaruhi pembangunan pertanian.
Jaringan komunikasi pertanian dan sistem informasi menjadi alternatif pilihan inovasi
kelembagaan untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Pola komunikasi lintas budaya memberikan pemahaman bahwa strategi
penyuluhan, sebagai strategi yang tepat membangun komunikasi sesuai dengan ragam
budaya di masyarakat pertanian, harus menangkap kebutuhan budaya pertanian di
tingkat masyarakat itu sendiri. Penyuluhan seharusnya mampu menginternalisasikan
paradigma berkelanjutan yang diusung dalam konsep pertanian berkelanjutan. Dengan
demikian, peran penyuluh adalah mutlak dalam mendorong efektifitas pertanian
berkelanjutan.
Penyuluh dapat memainkan peran dalam membangun hubungan yang saling
mengikat antar petani atau anggota komunitas.
Penyuluh harus mampu
mengembangkan kapasitas untuk pemberdayaan kelembagaan dan inisiasi tindakantindakan kolektif sesuai dengan kebutuhan petani, tradisi saling percaya, dan

21

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

kerjasama yang efektif. Kepedulian dan fasilitasi yang intensif dari seorang penyuluh
sangat penting dalam membangun hubungan mengikat diantara atau dengan petani itu
sendiri.
Dalam konteks yang lebih luas, paradigma pertanian berkelanjutan harus
dinegosiasikan oleh agen-agen perubahan di berbagai level. Ketika pemerintah
memiliki tujuan dalam pencapaian target pembangunan pertanian, maka agen-agen
perubahan (seperti penyuluh dan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) harus mampu
menginformasikan tujuan optimalisasi pertanian dengan baik.
Gambar 3.6
menjelaskan bagaimana seharusnya peran seorang agen perubahan (fasilitator) dalam
menegosiasikan tujuan secara seimbang sehingga praktek-praktek pertanian yang
terukur dapat mendorong perubahan perilaku semua stakeholder yang terkait dengan
pembangunan pertanian.

Gambar 3.6. Alternatif Komunikasi Lintas Budaya dalam Pengembangan Pertanian
(dimodifikasi dari Kagawa-Singer dan Kassim-Lakha 2003:582)
Kemampuan tenaga fasilitator menjadi sangat penting sekali dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Pelatihan lintas budaya dan pembelajaran perilaku akan
mengisi ruang atribut dan keahlian personal serta pengetahuan budaya untuk
meningkatkan kompetensi tenaga fasilitator di lapangan. Perubahan perilaku dan
peningkatan kemampuan merupakan kunci untuk memahami berbagai pola
komunikasi lintas budaya dalam masyarakat pertanian (seperti pada masyarakat Bali
dan Dayak.

22

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Gambar 3.7. Kompetensi Lintas Budaya dalam Pertanian Bekelanjutan (dimodifikasi
dari Johnson et al. 2006:536)

Gambar 3.7 menjelaskan bagaimana pengaruh kompetensi lintas budaya dalam
mendukung pertanian berkelanjutan. Pada intinya adalah perilaku dan kemampuan
lintas budaya menjadi salah satu yang penting diperkuat, terutama kepada pelakupelaku pemberdayaan kelembagaan seperti penyuluh, LSM, dan tenaga fasilitator
lainnya. Penciptaan lingkungan politik, sosial, dan ekonomi yang mendukung menjadi
peran yang harus dimainkan oleh pemerintah, selain dari memperkuat faktor-faktor
internal.

23

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

BAB IV
PENUTUP
Komunikasi lintas budaya merupakan upaya memahami pola komunikasi budaya
pada berbagai komunitas yang berbeda. Fokus pemahamannya adalah pada keragaman
pola komunikasi sebagai interaksi simbolik yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Kita mencontohkan bahwa masyarakat Bali dan masyarakat Dayak memiliki pola
komunikasi yang berbeda terutama dalam budidaya pertanian. Namun demikian, budaya
pertanian kedua komunitas itu seringkali diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan
sebagai wujud terima kasih pada Sang Pencipta dan alam.
Masyarakat etnis di Indonesia memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda satu
dengan yang lain. Ragam etnis dengan ragam komunikasi lintas budaya dapat menjadi
modal dalam pembangunan pertanian. Untuk mendorong pembangunan pertanian berbasis
etnis, beberapa upaya perlu dilakukan, baik dalam perbaikan produksi, aktivitas, maupun
dukungan teknis. Salah satu hal yang penting adalah pemberdayaan kelembagaan berbasis
komunikasi lintas budaya yang membentuk kelembagaan musyawarah.
Dengan memahami bahwa komunikasi lintas budaya sebagai interaksi simbolik yang
berkembang dalam kelembagaan di tingkat lokal, tata kelola lokal menentukan kebijakan
pemberdayaan kelembagaan yang mampu mendorong kapabilitas masyarakat itu sendiri
dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam pengembangan praktek budidaya
pertanian. Patel (2011:7) menegaskan bahwa masyarakat berdaya jika mereka: (1)
memiliki akses informasi, (2) terlibat dalam forum-forum pembahasan isu dan
pengambilan keputusan, (3) dapat mengajak pengambil keputusan untuk
mempertimbangkan pilihan dan aksi, dan (4) memiliki kapasitas dan sumber daya untuk
melembagakan kepentingan dan peran dengan lembaga publik.
Keterlibatan masyarakat dengan berbagai pola komunikasi lintas budaya dalam
budidaya pertanian perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama dalam
mendukung paradigma pertanian berkelanjutan. Upaya kunci yang perlu dilakukan adalah
memperkuat perilaku dan kemampuan lintas budaya, terutama kepada pelaku-pelaku
pemberdayaan kelembagaan selaku agen perubahan seperti penyuluh, LSM, dan tenaga
fasilitator lainnya. Penciptaan lingkungan politik, sosial, dan ekonomi yang mendukung
menjadi peran yang harus dimainkan oleh pemerintah, selain dari memperkuat faktorfaktor internal.

24

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2014.
Pertumbuhan
penduduk
dunia
lampaui
prediksi.
http://internasional.kompas.com/read/2013/06/15/10091516/Pertumbuhan.Penduduk.
Dunia.Lampaui.Prediksi. diakses pada tanggal 02 Mei 2014
Baulch B, Chuyen TTK, Haughton D, dan Haughton J. 2002. Ethnic minority
development in Vietnam: A socioeconomic Perspective. Workshop on “Economic
Growth and Household Welfare: Policy Lessons from Vietnam. World Bank.
Bonfiglioli A. 2003. Empowering the poor: Local governance for poverty reduction.
UNCDF Senior Technical Advisor. United Nations Capital Development Fund.
Chávez AF dan Guido-DiBrito F. 1999. Racial and ethnic identity and development. New
Directions for Adult and Continuing Education. 84:39-47.
Dharmawan AH. 2006. Pendekatan-pendekatan pembangunan pedesaan dan pertanian:
Klasik dan kontemporer.
Makalah pada acara “Apresiasi Perencanaan
Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung
Prima Tani”. Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.
Dreier P. 1996. Community empowerment strategies: The limits and potential of
community organizing in urban neighborhoods. Cityscape: A Journal of Policy
Development and Research. 2(2):121-159.
El Harizi K. 2006. Empowerment: actors, institutions, and change. Draft Conference
Paper for Natural Resource Policies in the Near East and North Africa: From
Management to Governance.
A Research-based Regional Policy Forum,
Bibliotheca Alexandrina.
Fanto JA. 1996. The absence of cross-cultural communication: SEC mandatory disclosure
and foreign corporate governance. Northwestern Journal of International Law &
Business. 17(1):119-206.
Fisher K. 2012. Ethnic identity development of anglo-oriented second-generation latinos.
Journal of the Indiana University Student Personnel Association. Hal 47-54.
Fox J. 2004. Empowerment and institutional change. Mapping “virtuous circles” of statesociety interaction. Working Meeting on Power, Rights, and Poverty Reduction.
Washington DC. World Bank.
Herbel D, Crowley E, Haddad NO, dan Lee M. 2012. Good Practices in Building
Innovative Rural Institutions to Increase Food Security. Roma. FAO.
Hofstede G. 1991. Cultures and Organizations: Software of the mind. Berkshire.
McGraw-Hill Book Company.
Hofstede G. 2011. Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online
Readings in Psychology and Culture. 2(1):1-26.

25

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Iftekhar MS. 2003. Local level institutional arrangements in ECFC Project: A case study.
Working Paper WP023. Dhaka. Program Development Office for Integrated
Coastal Zone Management Plan (PDO-ICZMP).
Isaac TMT dan Heller P. 2003. Institutional Innovations in Empowered Participatory
Governance. Di dalam: Fung A dan Wright. Deepening Democracy. London.
Verso.
Johnson JP, Lenartowicz T, dan Apud S. 2006. Cross-cultural competence in international
business: Toward a definition and a model. Journal of International Business
Studies. 37:525–543.
Kagawa-Singer M dan Kassim-Lakha S. 2003. A strategy to reduce cross-cultural
miscommunication and increase the likelihood of improving health outcomes.
Academic Medicine. 78(6):577-586.
Levine TR, Park HS, dan Kim RK. 2007. Some conceptual and theoretical challenges for
cross-cultural communication research in the 21st century. Journal of Intercultural
Communication Research. 36(3):205–221.
Liliweri A. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Liliweri A. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta. LKIS.
Loury GC. 2000. Social exclusion and ethnic groups: The challenge to economics.
Annual World Bank Conference on Development Economics. The International
Bank for Reconstruction an d Development/The World Bank.
Luttrell C, Quiroz S, Scrutton C, dan Bird K. 2009. Understanding and operationalising
empowerment. Working Paper 308. London. Overseas Development Institute.
Montalvo JG dan Reynal-Querol M. 2005. Ethnic diversity and economic development.
Journal of Development Economics. 76:293–323.
Muhsin MZ, Sunarni N, Mahzuni D, Adyawardhina R, Nugraha A, Maulana S, dan
Kartika N. 2011. Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda: Masa Lalu,
Masa Kini, dan Masa yang Akan Datang. Bandung. Fakultas Sastra Universitas
Padjajaran.
Narayan D. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook. Washington
DC. The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank.
Oxaal Z dan Baden S. 1997. Gender and empowerment: definitions, approaches and
implications for policy.
Briefing prepared for the Swedish International
Development Cooperation Agency (Sida): Report Number 40. Brighton. BRIDGE
(development - gender), Institute of Development Studies, University of Sussex.
Patel N. 2011. Democracy: Decentralization and Grassroot Empowerment Initiatives in
Malawi. ANLEP Working Paper No. 4.
Academic Network on Legal
Empowerment of the Poor.

26

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Prato B dan Longo R. 2012. Empowerment of poor rural people through initiatives in
agriculture and natural resource management. Promoting Pro-Poor Growth: The
Role of Empowerment. OECD.
Premdas RR. 1996. Ethnicity and Development: The Caribbean and Oceania. Working
Paper 221. The Helen Kellogg Institute for International Studies.
Richter P. 2011. Empowering rural communities through financial inclusion. Rural
Policy Briefs. ILO.
Reeler D. 2007. A Three-fold Theory of Social Change and Implications for Practice,
Planning, Monitoring and Evaluation. Centre for Developmental Practice.
[RLDP] Resettlement Livelihoods and Development Program. 2009. Resettlement
Livelihoods and Ethnic Minorities Development Program. Consultation Version.
Trung Son Hydropower Project Management Board.
Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta. Kanisius.
Sarwoprasojo S. 2013. Metode penelitian komunikasi antar budaya. [Modul kuliah].
Bogor. FEMA IPB.
Saville-Troike M. 1980. Cross-Cultural Communication in the Classroom. Di dalam:
Alatis JE (Editor). Current Issues in Bilingual Education. USA. Georgetown
University
Smith PB. 2004. Acquiescent response bias as an aspect of cultural communication style.
Journal of Cross-Cultural Psychology. 35(1):50-61.
Snodgrass DR. 1995. Successful Economic Development in a Multi-Ethnic Society: The
Malaysian Case. Institute Fellow at the Harvard Institute for International
Development.
Suradisastra K. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian
Agro Ekonomi. 26(2):82-91.
Sutanto R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Yogyakarya. Kanisius.
Syahyuti. 2005. Pembangunan pertanian dengan pendekatan komunitas: Kasus rancangan
program prima tani. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(2):102-115.
Tannen D. 1984. The Pragmatics of Cross-Cultural Communication. Applied Linguistics.
5(3):189-195.
Thomas J. 1982. Cross-cultural pragmatic failure. Applied Linguistics. 4(2):91-112.
Walsham G. 2002. Cross-cultural software production and use: A structurational analysis.
MIS Quarterly. 26(4):359-380.
Wierzbicka A. 1994. Cultural scripts: A semantic approach to cultural analysis and crosscultural communication. Pragmatics and Language Learning. 5:1-24.

27

Tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial: Komunikasi Lintas Budaya

Yuliono A, Hamdani, dan Kurniawan AY. 2011. Sistem usaha tani perladangan Gilir
Balik Masyarakat Dayak Meratus di Desa Haratai Kecamatan Loksado Kabupaten
Hulu Sungai Selatan. Jurnal Agribisnis Perdesaan. 1(3):191-205.

28