BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II

9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Metakognisi
1. Pengertian Metakognisi
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan Flavell pada tahun 1976.
Metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang
pengetahuan atau berpikir tentang berpikir, pengertian metakognisi yang
dikemukakan para pakar pada umumnya memberikan penekanan pada proses
berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah
berpikir tentang berpikir [8] (Livington, 2007). Livington menyatakan bahwa
“Metacognition” is often simply defined as “thinking about thinking”.
Livington mendefinisikan metakognisi secara sederhana

sebagai “thinking

about thinking” atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi menurut Livington
adalah kemampuan berpikir dimana yang menjadi objek berpikirnya adalah
proses yang terjadi pada dirinya sendiri. Namun untuk dapat memahami lebih
mendalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut dikemukakan

pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya.
O’neil dan Brown (dalam Arif, 2009) mengemukakan pengertian
metakognisi sebagai proses dimana seseorang berpikir tentang berpikir mereka
sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah [10].
Wellman (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa :
Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thinking
process wich involves active control over cognitive processes. It can be simply
defined as thinking about thinking or as a “person’s cognition about
cognition”.
Metakognisi menurut Wellman sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses
berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian aktif atas proses
kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang
tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri
[11].

10

Menurut Flavell (1976) “Metacognition refers to one’s knowledge
concerning one's own cognitive processes and products or anything related to
them...... Metacognition also thinks about one's own thinking process such as

study skills, memory capabilities, and the ability to monitor learning [12].
Kutipan di atas, menunjukkan bahwa definisi metakognisi menurut Flavell
adalah Metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang proses
kognitif sendiri dan produk atau apapun yang berhubungan dengannya,
kemudian aspek kedua Metakognisi adalah berpikir tentang proses berpikir
sendiri seperti kemampuan belajar, kemampuan memori, dan kemampuan untuk
memonitor pembelajaran.
Schonfeld (dalam Iffah, 2012) mendefinisikan metakognisi sebagai
berikut: “reflection on cognition” or ”thinking about your own thinking”.
Metacognition has focused on three related but distinct categories of
intellectual

behavior:

your

knowledge

about


your

own

thought

processes,control or self-regulation, beliefs and intuitions”. Metakognisi adalah
refleksi pada kognisi atau pemikiran tentang pemikiran diri sendiri. Metakognisi
fokus pada tiga kategori yang terkait tetapi berbeda dari perilaku intelektual
yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir diri sendiri, pengontrolan atau
pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Dalam hal ini Schoenfeld
menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan Flavell
yaitu keyakinan dan intuisi [13].
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
metakognisi mengacu pada pengetahuan dan kesadaran seseorang terhadap
proses kognisinya atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses tersebut.
Metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil
berpikirnya sendiri, kemampuan memantau (memonitor) hasil berpikirnya
sendiri, serta mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya sendiri. Intinya,
metakognitif adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang

tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana
untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan
mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif.

11

Apabila seseorang sadar tentang apa yang dipikirkan maka akan mudah
baginya untuk mengawali tindakan yang akan diambil selanjutnya. Proses
metakognisi membantu meningkatkan pembelajaran dengan cara membimbing
pelajar atau seseorang menentukan langkah yang akan diambil apabila dia
mencoba memahami suatu keadaan, menyelesaikan masalah dan membuat
suatu keputusan.
2. Metakognisi untuk Pemecahan masalah
Untuk mendapatkan kesuksesan belajar dan siswa mampu memecahkan
suatu permasalahan, guru harus melatih siswa untuk merancang apa yang
hendak dipelajari, memantau kemajuan belajarnya sendiri, dan menilai atau
mengevaluasi apa yang telah dipelajari. Asep Sapa’at (2008) membedakan
Ada 4 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk melatih siswa
dalam pemecahan masalah, diantaranya:
a. Tahap proses sadar belajar, meliputi proses untuk menetapkan tujuan

belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses
(contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan,
mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat sunyi),
menentukan

bagaimana

kinerja

terbaik

siswa

akan

dievaluasi,

mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan
belajar siswa.
b.


Tahap merencanakan belajar, meliputi proses memperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu
belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam
belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah
yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar
(outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).

c. Tahap monitoring dan refleksi belajar, meliputi proses merefleksikan
proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri
(self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna
dan bermanfaat bagi saya?, bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat

12

saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga
konsentrasi dan motivasi dalam belajar.
d. Tahap

evaluasi,


dapat

didefinisikan

sebagai

verbalisasi

mundur

(retrospective) yang dilakukannya setelah kejadian berlangsung, yaitu
dengan melihat kembali strategi yang telah ia gunakan dan apakah strategi
tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak dalam
pemecahan masalah [14].
B. Masalah Matematika
Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia yang
tidak dapat terpisahkan. Setiap manusia pasti mempunyai masalah dalam
kehidupannya. Masalah sering disebut sebagai kesulitan, hambatan, gangguan, atau
kesenjangan.

Robert K. Merton (dalam Trunodipo, 2011) mengartikan masalah sebagai
”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak diinginkan” antara standar kebersamaan
dan kondisi nyata [15].
Menurut Suharnan (2005) masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi
sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginkan [16].
Sedangkan menurut Nurman (dalam Andriani 2011) masalah bersifat
relatif. Suatu situasi atau kondisi (dapat berupa isu/pertanyaan/soal) yang disadari
dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera diperoleh suatu
cara mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera” dalam hal ini adalah bahwa
pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara
yang dapat digunakan untuk mengatasinya [17].
Berdasarkan pendapat Nurman, masalah bagi seorang siswa belum tentu
menjadi masalah bagi siswa lain, karena setiap siswa mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang berbeda-beda. Ketika siswa dapat menyelesaikan suatu situasi
dengan kemampuannya maka situasi yang diberikan tersebut bukan suatu masalah
baginya. Sebaliknya jika seseorang mengalami kesulitan ataupun tidak segera dapat
menemukan suatu solusi dari kondisi yang ia hadapi maka kondisi tersebut
merupakan masalah bagi dirinya. Masalah sendiri dapat dinyatakan dalam bentuk
soal maupun pertanyaan. Suatu pertanyaan dapat menjadi masalah bagi siswa


13

apabila dalam menyelesaikan pertanyaan tersebut siswa tidak memiliki cara atau
strategi yang siap dipergunakan untuk menyelesaikannya, sehingga siswa tidak
dapat memperoleh suatu jawaban atau solusi penyelesaian [17].
Untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana menyelesaikan masalah?”
menurut G. Polya (Princeton University Press, 1957) dapat dirangkum sebagai
berikut :
1. Memahami masalah
a. Pertama dapatkah menyatakan masalah dalam kata-kata sendiri
b. Apa yang coba dicari atau dikerjakan
c. Apa yang tidak diketahui
d. Data-data apa saja yang ada, atau informasi apa yang didapatkan dari
masalah yang dihadapi
e. Informasi apa yang tidak tersedia
f. Adakah kemungkinan untuk memenuhi kondisi atau persyaratan itu,
g. Apakah kondisi atau persyaratan itu cukup untuk menentukan masalah?
Atau itu tidak cukup ? Atau berlebihan ? Atau bertentangan ?
h. Membuat gambar atau sketsa yang cocok
i. Memisahkan bagian-bagian dari kodisi yang diketahui

2. Merencanakan pemecahan masalah
Walaupun bukan merupakan keharusan, strategi berikut ini sangatlah berguna
dalam proses pemecahan masalah.
a. Mencari pola.
b. Menguji masalah yang berhubungan serta menentukan apakah teknik yang
sama bisa diterapkan atau tidak.
c. Menguji kasus khusus atau kasus lebih sederhana dari masalah yang
dihadapi untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang penyelesaian
masalah yang dihadapi.
d. Membuat sebuah tabel.
e. Membuat sebuah diagram.
f. Menulis suatu persamaan.
g. Menggunkan strategi tebak-periksa.
h. Bekerja mundur.

14

i. Mengidentifikasi bagian dari tujuan keseluruhan.
j. Menghubungkan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui
k. Perlu dipertimbangkan adanya masalah tambahan jika hubungan langsung

tidak dapat ditemukan
l. Adakah teorema yang berkaitan dengan pertanyaan
m. Pernahkah menemui permasalahan yang sejenis
n. Atau apakah pernah menemui masalah yang sama dalam bentuk yang
sedikit berbeda
o. Coba menemukan permasalahan biasa yang meiliki kemiripan dengan
masalah yang ditanyakan
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
a. Melaksanakan strategi sesuai dengan yang direncakan pada tahap
sebelumnya.
b. Melakukan pemeriksan pada setiap langkah yang dikerjakan. Langkah ini
bisa merupakan pemeriksaan secara intuitif atau bisa juga berupa
pembuktian secara formal.
c. Upayakan bekerja secara akurat.
d. Meneliti langkah-langkah penyelesaian
e. Apakah sudah jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh
a. Periksa hasilnya pada masalah asal (Dalam kasus tertentu, hal seperti ini
perlu pembuktian).
b. Interpretasikan solusi dalam konteks masalah asal. Apakah solusi yang
dihasilkan masuk akal?
c. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah tersebut?
d. Jika memungkinkan, tentukan masalah lain yang berkaitan atau masalah
lebih umum lain dimana strategi yang digunakan dapat bekerja.
e. Meneliti hasil yang diperoleh, argumen-argumen yang digunakan
f. Memikirkan apakah hasil atau cara yang digunakan dapat digunakan untuk
menyelesaikan beberapa masalah lain [18].
Menurut Hudoyo (2001), suatu soal atau pertanyaan disebut masalah
tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi

15

seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin
baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan
pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Jadi suatu
pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan tersebut menantang untuk
dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin [19].
Pengertian masalah matematika dikemukakan oleh Hudoyo (2001) sebagai
berikut :
Masalah matematika adalah masalah yang berkaitan dengan matematika
sekolah. Suatu masalah dikatakan masalah matematika jika memenuhi 3
(tiga) syarat yaitu : (1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami
siswa. (2) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah
dikuasai siswa, dan (3) melibatkan ide-ide matematika [19].
Sedangkan menurut Holmes (dalam Lutfi, 2013) terdapat dua kelompok
masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin.
a.

Masalah Rutin
Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin
sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat
diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Masalah rutin dapat
membutuhkan satu, dua atau lebih langkah pemecahan. Charles dalam Holmes
pada intinya menyatakan bahwa masalah rutin memiliki aspek penting dalam
kurikulum, karena hidup ini penuh dengan masalah rutin. Oleh karena itu
tujuan pembelajaran matematika yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah
siswa dapat memecahkan masalah rutin.

b. Masalah Nonrutin
Kouba dalam Holmes pada intinya menyatakan bahwa masalah nonrutin
kadang mengarah kepada masalah proses. Masalah nonrutin membutuhkan
lebih dari sekadar penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan
penggunaan prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan
pemecah masalah untuk membuat sendiri metode pemecahannya. Dia harus
merencanakan dengan seksama bagaimana memecahkan masalah tersebut.
Strategi-strategi seperti menggambar, menebak dan melakukan cek, membuat
tabel atau urutan kadang perlu dilakukan. Holmes menyatakan yang intinya
bahwa, masalah nonrutin dapat berbentuk petanyaan open ended sehingga

16

memiliki lebih dari satu solusi atau pemecahan. Masalah tersebut kadang
melibatkan situasi kehidupan atau membuat koneksi dengan subyek lain [20].
Berdasarkan uraian di atas maka masalah matematika adalah soal
matematika yang tidak bisa diselesaikan dengan prosedur rutin yang dikuasai siswa,
dan dalam penyelesaiannya siswa tidak secara langsung mengetahui bagaimana
menyelesaikan masalah yang diberikan.
C. Pemecahan Masalah Matematika
Masalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui
prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya
memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan
melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan masalah
matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai
keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem
solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (dalam sofan, 2012) mengistilahkannya
sebagai heart of mathematics [5].
Pemecahan masalah atau problem solving, merupakan masalah yang
benar–benar sentral dalam pembelajaran matematika. Lebih-lebih dalam kurikulum
matematika, hampir di semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, di dalam
Standar Isi, akan dijumpai penegasan betapa kompetensi pemecahan masalah betulbetul harus dicapai. Hal ini ditegaskan pada tujuan pembelajaran matematika yang
ke tiga disebutkan bahwa : Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh [4] (Depdiknas, 2006). Dalam latar belakang
dari Standar Isi mata pelajaran matematika, secara tegas disebutkan bahwa
pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika, yang
mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka atau masalah
dengan berbagai cara penyelesaian [4] (Depdiknas, 2006). Dari uraian di atas jelas
bahwa pemecahan masalah adalah sangat penting di dalam pembelajaran
matematika.
Pemecahan masalah matematika seperti halnya pemecahan masalah pada
umumnya mempunai berbagai interpretasi. Menurut Branca (dalam Sofan, 2012)

17

ada tiga jenis interpretasi pemecahan masalah matematia yaitu: sebagai tujuan,
proses, dan keterampilan dasar. Interpretasi lain adalah pemecahan masalah sebagai
pendekatan, proses, dan tujuan pembelajaran (Baroody dalam Sofan, 2012)
Sedangkan Riedesel, dkk (masih dalam Sofan, 2012) menginterpretasi emecahan
masalah sebagai proses dan produk.
Dalam tulisan ini, pemecahan masalah matematika diinterpretasikan
sebagai pendekatan, proses, dan tujuan. Interpretasi ini didasarkan pada pendapat
bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun pada pendapat bahwa
pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa. Dengan
kata lain, suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika seyogyanya
ditemukan kembali oleh siswa di bawah bimbingan guru. Dengan demikian
pemecahan masalah matematika dapat dilihat sebagai upaya mencari jalan keluar
yang dilakukan siswa dengan menggunakan pengetahuan matematika yang
dimilikinya. Hal ini dikarenakan kemampuan dalam pemecahan masalah
matematika merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa, yang
dalam hal ini mencakup proses berpikir siswa tentang kemampuan dirinya dalam
membangun strategi untuk memecahkan masalah, yang jika dikaitkan dengan
tulisan sebelumnya merupakan proses metakognisi siswa dalam memecahkan
masalah matematika.

D. Hubungan Pemecahan Masalah dan Metakognisi
Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksikan proses
belajar mereka secara sadar, pada hakikatnya, mereka akan menjadi lebih percaya
diri dan lebih mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar merupakan sebuah
kepemilikan pribadi bagi siswa untuk meneruskan perjalanan panjang mereka
dalam memenuhi kebutuhan intelektualnya.
Sebelum siswa mampu menerapkan metakognisi untuk membantu
belajarnya, terlebih dahulu mereka diajarkan strategi-strategi untuk menilai
pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka perlukan untuk
mempelajari sesuatu, dan memilih rencana yang efektif untuk belajar atau
memecahkan masalah.

18

Dari tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa metakognisi adalah suatu
bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan
dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang
dimungkinkan memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab
dalam setiap kegiatan yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang
saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”. “Hal apa yang membantu saya
menyelesaikan masalah ini?”. Pengontrolan diri ini akan membantu seseorang
dalam mengatur kognisinya dan mengarahkan dalam pemecahan masalah dengan
baik.
Lidinilah

(dalam

Sumawan,

2012)

berpendapat

bahwa

strategi

metakognitif adalah komponen metakognisi berkaitan dengan cara untuk
meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir. Apabila kesadaran itu ada,
seseorang dapat mengontrol pikirannya. Strategi metakognitif dapat digunakan
untuk mengarahkan siswa agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dan
belajar yang dilakukannya. Dengan mengunakan strategi metakognitif diharapkan :
1. Siswa akan mampu mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian
memperbaiki kelemahan tersebut
2. Siswa dapat menentukan cara belajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya
sendiri
3. Siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang
berkaitan dengan soal-soal yang diberikan oleh guru atau masalah-masalah
yang timbul berkaitan dengan proses pembelajaran
4. Siswa dapat memahami sejauh mana keberhasilan yang telah ia capai dalam
belajar [11].
Charles dan Lester (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa terdapat 3
aspek yang turut mempengaruhi penyelesaian masalah matematika, yaitu :
1. Aspek kognitif, termasuk di dalamnya pengetahuan konseptual, pemahaman
dan strategi untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut
2. Aspek efektif, merupakan aspek yang mempengaruhi kecenderungan siswa
untuk menyelesaikan masalah
3. Aspek metakognisi, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengatur
pemikirannya sendiri [11].

19

Aspek yang ketiga merupakan aspek yang penting diperhatikan dalam mengajarkan
penyelesaian masalah. Hal ini disebabkan karena penyelesaian masalah tidak
terlepas dari kesadaran siswa untuk mengontrol dan mengecek belajarnya sendiri,
apa yang ia pikirkan dapat membantunya menyelesaikan suatu masalah.
Dari penjelasan di atas kemampuan metakognisi memiliki peran dalam
kegiatan pemecahan masalah matematika. Metakognisi akan membantu seseorang
mengatur proses dan hasil berpikirnya sebelum, sesudah, dan ketika sedang
berlangsugnya proses pemecahan masalah. Sehingga membantu seseorang
memecahkan masalah dengan baik dan memperoleh hasil pemecahan masalah yang
tepat.
Pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah meliputi tiga tahap berikut,
yaitu: (1) mengenali masalah dan merencanakan langkah-langkah untuk
menyelesaikan masalah; (2) memantau langkah-langkah pemecahan masalah
selama kegiatan pemecahan masalah berlangsung; (3) mengevaluasi hasil
penyelesaian masalah yang telah dibuat.
E. Proses Metakognisi dalam Memecahkan Masalah
Pada pemecahan masalah matematika, pelibatan metakognisi akan
memberikan dampak penting bagi pola pikir seseorang. Namun demikian beberapa
siswa mungkin akan mengalami masalah bila menghadapi tugas yang terlalu sulit,
sehingga tidak mampu melakukan langkah pemecahan yang diperlukan. Jadi
diperlukan kejelian memilih tugas yang tepat untuk diselesaikan agar dapat
mengenali proses metakognisi yang dilakukan.
Menurut Schoenfeld (dalam Iffah, 2012) ada tiga cara untuk menerapkan
metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika, yakni knowlege, beliefs
(and intuition) and self-regulation [13].
1. The metacognitiove knowledge. Komponen yang relevan untuk memecahkan
masalah adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Schoenfeld
(dalam Iffah) menegaskan bahwa pendekatan seseorang ke suatu tugas dan
pemahaman seseorang tentang bagaimana untuk menyelesaikan tugas
dipengaruhi oleh sejauh mana orang dapat secara realistis menilai apa yang
mampu dipelajari.

20

2. Beliefs and intuitions adalah ide-ide tentang sebuah topik belajar yang salah
satunya membawa untuk bekerja. Schoenfeld menyatakan bahwa siswa
membangun kerangka matematika mereka dari keyakinan mereka, intuisi dan
pengalaman masa lalu dalam memahami dan memaknai kehidupan dunia
3. Self regulation mengacu pada seberapa baik seseorang memantau apa yang
dilakukan dan seberapa baik dia menggunakan hasil pengamatan untuk
membimbingnya memecahkan masalah. Cara lain untuk berpikir tentang hal ini
adalah sebagai kesadaran berpikir seseorang dan perkembangan seseorang
dalam memecahkan masalah [13].
Cohors-Fresenborg & Kaune (dalam Iffah, 2012) mengelompokkan
aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1)
perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), (3) refleksi (reflection).
Schraw (masih dalam Iffah) menyatakan bahwa, planning melibatkan identifikasi
dan pemilihan strategi yang tepat, dapat termasuk penetapan tujuan, mengaktifkan
pengetahuan sebelumnya, dan rencana waktu yang dihabiskan dalam penyelesaian.
Monitoring atau pemantauan diantaranya adalah memperhatikan dan menyadari
kinerja pemahaman dan tugas, monitoring dapat termasuk pengujian diri atau
menguji diri sendiri. Reflection atau evaluation didefinisikan sebagai “penilaian
produk dan proses regulasi pembelajaran seseorang”, dan termasuk peninjauan
kembali [13].
Berdasarkan pengelompokan aktivitas metakognisi yang diungkapkan
Cohors-Fresenborg & Kaune yang ditunjang pengertian dari Schraw dan
dikombinasikan dengan langkah-langkah pemecahan Polya, maka dapat disusun
proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah sebagai berikut :

21

Tabel 2.1 Proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah
N
o
1

2

3

4

Indikator Metakognisi
a.

b.

c.

d.

Memahami masalah
1. Planning (rencana)
Merencanakan apa yang akan dilaksanakan untuk memahami masalah
2. Monitoring
Memonitor langkah yang dilakukan dalam memahami soal
3. Evaluation (evaluasi)
Mengevaluasi langkah yang digunakan dalam memahami soal
Menyusun rencana penyelesaian
1. Planning (rencana)
Merencanakan hal yang akan dilakukan untuk menyusun rencana penyelesaian
2. Monitoring
Memonitor hal yang dilakukan dalam menyusun rencana penyelesaian
3. Evaluating (evaluasi)
Mengevaluasi hal yang dilakukan dalam menyusun rencana
Melaksanakan rencana penyelesaian
1. Planning (rencana)
Merencanakan untuk menggunakan rencana yang telah dibuat untuk
menyelesaikan masalah
2. Monitoring
Memonitor penggunaan rencana penyelesaian yang telah dibuat untuk
menyelesaikan masalah
3. Evaluating (evaluasi)
Mengevaluasi kebenaran penggunaan langkah penyelesaian apakah telah
sesuai dengan rencana atau belum pada setiap tahapnya
Memeriksa kembali
1. Planning (rencana)
Merencanakan untuk memeriksa langkah penyelesaian secara keseluruhan
2. Monitoring
Memonitor pemeriksaan langkah penyelesaian
3. Evaluation (evaluasi)
Mengevaluasi apakah langkah penyelesaian secara keseluruhan yang

Deskriptor

Memikirkan apa yang akan dilaksanakan untuk dapat memahami masalah
Memantau caranya dalam memahami soal
Memeriksa kembali cara yang digunakan dalam memahami soal

Memikirkan apa yang akan dilakukan ketika akan menyusun rencana penyelesaian
Memantau kegiatannyadalam menyusun rencana penyelesaian
Memeriksa langkahnya dalam menyusun rencana

Berpikir akan menggunakan rencananya untuk memecahkan masalah

Melaksanakan dan memantau langkah penyelesaian yang dilakukan berdasarkan
rencana
Memeriksa apakah langkah yang dilakukan telah sesuai dengan rencana

Berpikir akan memeriksa seluruh langkah yang dilakukan
Memantau langkahnya dalam memeriksa kembali
Memeriksa kembali apakah langkahnya dalam memeriksa kembali telah benar

22

dilakukan sudah benar

23

F. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz,
dalam Sudarman, 2012), dengan kata lain Adversity Quotient merupakan
kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21]. AQ
memberi tahu anda seberapa jauh anda mampu bertahan menghadapi kesulitan
dan untuk mengatasinya.
Menurut Stoltz (dalam Mulyani, 2013) AQ mempunyai 3 bentuk, yaitu (1)
AQ adalah suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan, (2) AQ adalah suatu ukuran untuk
mengetahui respon seseorang untuk menghadapi kesulitan, (3) AQ adalah
serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon
seseorang terhadap kesulitan [22].
Suksesnya pekerjaan dan hidup seseorang banyak ditentukan oleh AQ.
Orang yang memiliki AQ lebih tinggi, akan selalu mawas diri dan selalu
mengoreksi dirinya, sehingga mereka tidak mudah menyalahkan orang lain.
Mereka yang ber AQ tinggi memiliki rasa tanggungjawab besar terhadap
persoalan yang dihadapi, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki mereka
terus berusaha untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Seorang ber AQ tinggi memiliki ketahanan yang baik, artinya mereka tidak
mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan. Dengan segala keterbatasannya,
mereka mampu berpikir, bertindak dan menyiasati diri untuk maju terus.
Sebaliknya, rendahnya AQ seseorang adalah minimnya daya tahan hidup,
sehingga mereka mempunyai kebiasaan mengeluh dan sulit untuk mengambil
hikmah dibalik semua permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai ilustrasi untuk memudahkan memahami AQ, berikut cerita
mengenai dua orang siswa ketika mengerjakan soal yang diberikan guru. Kedua
siswa memberikan respon yang berbeda terhadap tugas yang diberikan guru.
Siswa pertama tidak bisa mengerjakan tugas dan akhirnya menyerah, dia
menganggap tugas yang diberikan terlalu sulit dan dia merasa tidak bisa
mengerjakannya, dia merasa kemampuannya tidak cukup untuk menyelesaikan
tugas dan merasa tugas tersebut tidak mungkin bisa dikerjakan olehnya,

24

sehingga dia menyerah dan berhenti berusaha. Meski kondisinya sama, tapi
siswa kedua menyikapinya dengan cara yang berbeda, siswa kedua menyadari
kekurangannya, ia merasa kesulitan namun ia tetap berusaha untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Siswa kedua mempunyai prinsip setelah
kegagalan pasti ada keberhasilan dan setiap kesulitan pasti ada jalan keluar.
Dengan demikian siswa kedua tetap berusaha untuk mengatasi kesulitan dan
terus berusaha sampai menemukan jawabannya. Dari cerita tersebut muncul
pertanyaan, mengapa siswa pertama mengambil keputusan untuk berhenti
berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan guru, sementara siswa kedua mau
berusaha mengerjakan tugas. Jawaban yang dapat diberikan adalah karena AQ
mereka berbeda, siswa pertama memiliki AQ lebih rendah dari siswa kedua.
Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengumpamakan hidup ini sebagai sebuah
pendakian puncak gunung. Pendaki yang awalnya berada di kaki gunung sedikit
demi sedikit mendaki, semakin mendekati puncak ia akan mendapatkan medan
yang semakin terjal, yang akhirnya mencapai puncak. Merekalah yang
dikatakan sukses jika mereka sampai pada puncak tertinggi. Pengertian
pendakian dalam kehidupan sehari-hari dapat berarti usaha untuk mencapai
cita-cita yang tinggi [6].
Dalam pengajaran, pendakian dapat diartikan sebagai langkah peserta
didik dalam

mencapai prestasi belajar yang baik. Seorang siswa dapat

dikatakan melakukan pendakian jika mereka mampu meningkatkan kemampuan
belajarnya, termasuk memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah.
Puncak dari sebuah gunung diibaratkan solusi yang dicari. Jalan yang berliku,
semak belukar, jurang yang curam, medan yang terjal adalah kesulitan yang
dihadapi dalam mencari solusi. Sementara siswa yang menjadi problem solver
adalah si pendaki yang dituntut untuk mendaki gunung sampai puncak yang
merupakan keberhasilan dalam mendapatkan solusi.
2. Kategori Adversity Quotient
Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan orang kedalam tiga
kategori AQ. Yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ
tinggi) [6].

25

Tabel 2.2 Kategori Adversity Quotient
No
1
2
3
4
5

Skor
59 ke bawah
60 sampai dengan 94
95 sampai dengan 134
135 sampai dengan 165
166 ke atas

Kategori Siswa
quitter
peralihan quitter menuju camper
camper
peralihan camper menuju climber
climber

Berdasarkan skor ARP (Adversity Response Profle)

Tetapi dalam hal ini yang menjadi perhatian penulis adalah kategori
quitter, camper, dan climber.
Siswa yang masuk kategori quitter biasanya belajar seadanya sekedar ikut
teman, sedikit ambisi, minim semangat, biasanya tidak kreatif, tidak banyak
memberi sumbangan yang berarti dalam kelompok, biasanya menjauh dari
permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi kurang.
Siswa camper adalah anak yang tak mau mengambil resiko yang terlalu
besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya.
Siswa

camper

masih

menunjukkan

sejumlah

inisiatif,

mereka

tidak

memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesmpatannya ada. Mereka
berusaha sekedarnya saja, mereka berpandangan bahwa tidak perlu nilai tinggi
yang penting lulus.
Siswa climber menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki
semangat tinggi dan mereka cenderung membuat segalanya terwujud, terus
mencari cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusi, penuh dengan inspirasi.
Siswa climber adalah anak yang mempunyai tujuan atau target. Untuk mencapai
tujuan itu ia mengusahakan dengan ulet dan gigih. Ibarat orang mendaki
gunung, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa
climber

biasanya senang belajar matematika, karena mereka menyukai

tantangan. Mereka tidak mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian
dan disiplin tinggi.
Penggunaan istilah quitter, camper, dan climber oleh stoltz (dalam
Mulyani, 2013) berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung
menaklukkan puncak Everest. Ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian
selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada

26

pula yang benar-benar berkeinginan menaklukkan puncak tersebut. Dari kisah
tersebut kemudian Stoltz mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan
sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada
posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan
ia sebut climber [22].
3. Pentingnya Adversity Quotient dalam Pembelajaran Matematika
Matematika mempunyai sifat yang khas dibandingkan disiplin ilmu yang
lain. Menurut Hermes (dalam Suhartono, 2011) semua konsep matematika
memiliki sifat abstrak sebab hanya ada dalam pikiran manusia. Hanya pikiran
yang dapat “melihat” objek matematika. Objek dalam matematika yang abstrak
dapat

menyebabkan

siswa

kesulitan

dalam

mempelajari

matematika.

Matematika berkaitan dengan ide abstrak yang diberi simbol yang tersusun
secara hierarkis dan penalarannya deduktif. Oleh karena itu kegiatan belajar
matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi dan menuntut pemahaman
serta ketekunan berlatih [6].
Matematika diajarkan dari SD sampai sekolah lanjutan, sehingga siswa
tidak dapat menghindar dari matematika, termasuk menghindar dari kesulitan
mempelajari matematika. Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan
dalam belajar matematika. Matematika masih dianggap sulit oleh siswa, hanya
tingkat kesulitannya berbeda-beda, karena perbedaan kemampuan siswa. Ada
siswa yang merasa kesulitan pada pokok bahasan tertentu dan ada juga yang
merasa kesulitan untuk seluruh materi matematika.
Disini potensi AQ sangat dibutuhkan dalam belajar mateematika. Stoltz
(dalam Chanifah, 2013) menyatakan bahwa orang sukses dalam belajar adalah
orang yang memiliki AQ tinggi [23]. Kesulitan yang dialami mereka yang ber
AQ tinggi dijadikan tantangan, sehingga mereka menjadi siswa yang pantang
menyerah. Mereka mampu mengubah kesulitan menjadi peluang. Mereka
adalah orang yang optimis bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluar.
AQ sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Faktor dominan pembentuk
AQ adalah sikap pantang menyerah. Sikap inilah yang perlu ditanamkan pada
siswa dalam belajar matematika. Kecerdasan ini menyangkut kemampuan

27

seseorang untuk tetap gigih dan tegar dalam kesulitan. Saatnya membangun
cara pandang siswa bahwa kesulitan adalah bagian dari proses menuju
kemandirian melalui kegigihan dan daya juang.
G. Hubungan Metakognisi dalam Memecahkan Masalah dengan Adversity
Quotient
Metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan
hasil berpikirnya sendiri, kemampuan memantau (memonitor) hasil berpikirnya
sendiri, serta mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya sendiri, atau dengan
kata lain metakognisi adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan
apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui
bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang
dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif. Jika siswa
mempunyai kemampuan seperti itu dapat dimungkinkan bahwa siswa tersebut
memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, akan tetapi jika
dikaitkan dengan kemampuan Adversity Quotient siswa yang didefinisikan
sebagai kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz, dalam Sudarman, 2012), atau
dengan kata lain Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam
menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21], maka akan menjadi sesuatu hal
yang menarik untuk diteliti.
Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan kedalam tiga kategori
AQ yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi)
[6].
Jika siswa yang masuk kategori quitter biasanya menjauh dari
permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi serta
semangat belajar kurang, maka dapat dikatakan bahwa siswa quiter ini memliki
kemampuan metakognisi yang rendah juga. Hal ini dikarenakan pengetahuan
atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil berpikirnya sendiri rendah.
Bahkan untuk tahap awal kemampuan metakognisi yaitu kesadaran diri, atau
dalam hal ini sadar belajar sudah tidak terpenuhi untuk siswa dalam kategori
quitter.

28

Untuk siswa yang masuk kategori camper, adalah anak yang tak mau
mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau
keadaan yang telah dicapainya. Siswa camper masih menunjukkan sejumlah
inisiatif, mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan
kesempatannya ada. Terkait dengan metakognisi siswa camper dapat diduga
bahwa kemampuan metakognisi siswa camper adalah menengah atau sedang,
atau dalam kata lain bisa dinyatakan kemampuan metakognisi siswa camper
tidak utuh. Hal ini dikarenakan bahwa siswa camper cepat merasa puas dengan
kondisi atau keadaan yang dicapainya. Dalam kaitannya dengan kemampuan
metakognisi, siswa camper diduga hanya melalui dua tahapan dari empat
tahapan seperti yang diutarakan sapa’at [14] dalam strategi metakognisi, yaitu
kesadaran diri atau sadar belajar, merencanakan dan melaksanakan, sedangkan
tahapan berikutnya tidak dijalani yaitu tahap monitoring dan evaluasi.
Sedangkan untuk siswa kategori climber adalah siswa yang menyukai dan
menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki semangat tinggi
dan berusaha membuat segalanya terwujud. Siswa climber adalah anak yang
mempunyai tujuan atau target. Ibarat orang mendaki gunung, ia akan terus
mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa climber

biasanya

senang belajar matematika, karena mereka menyukai tantangan. Mereka tidak
mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian dan disiplin tinggi.
Terkait dengan metakognisi siswa climber dapat dikatakan bahwa siswa
climber memiliki kemampuan metakognisi yang tinggi. Siswa climber
mengetahui bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas
belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar
efektif.

Dokumen yang terkait

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64

PENGARUH PEMBERIAN ASUHAN SAYANG IBU BERSALIN TERHADAP LAMA PERSALINAN KALA II PRIMIPARA

0 0 6

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10