Pelibatan HAM dan Masyarakat Sipil dalam (1)
NASKAH AKADEMIK
PELIBATAN NILAI-NILAI HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN MASYARAKAT SIPIL
DALAM STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
Anggalia Putri Permatasari
I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah, terorisme di Indonesia adalah ancaman
nyata yang dapat membahayakan keselamatan rakyat dan negara Indonesia kapan saja.
Serangan teroris di Indonesia yang meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas sejak
peristiwa 9 September 2001 menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia
yang dituntut untuk tidak hanya dapat mengendalikan eskalasi serangan teroris, tetapi juga
mencegah serangan teroris melalui langkah-langkah pengamanan preventif sekaligus mencegah
lahirnya terorisme. Untuk menjalankan mandat yang cukup berat ini, pemerintah Indonesia
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang salah satu tugasnya adalah
menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.
Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme diperlukan untuk mengarahkan upaya-upaya
pemerintah guna menyusun langkah-langkah pencegahan dan penindasan terorisme yang
efektif.
Akan tetapi, upaya penanggulangan terorisme, khususnya langkah-langkah penindakan,
selalu berpotensi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, penindakan teroris memerlukan aksi
represif negara melalui organ-organ keamanannya, yang antara lain meliputi Kepolisian,
Intelijen, dan_bila diperlukan_Militer yang diperbantukan kepada otoritas sipil. Dalam konteks
Indonesia, strategi penindakan teroris dilakukan di dalam kerangka penegakan hukum yang
diatur dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. UU tersebut menjadi kerangka normatif untuk menjalankan aksi
represif dan supresif terhadap terorisme yang di Indonesia ditetapkan sebagai tindak pidana.
Namun, di sisi lain, langkah represif dan supresif ini membawa kerentanan-kerentanan
tersendiri. Penetapan terorisme sebagai kejahatan luar biasa oleh Kepala BNPT, Ansyad
Mba i1 membawa implikasi pemberian wewenang lebih pada lembaga Kepolisian yang menjadi
ujung tombak penindakan teroris, khususnya Detasemen Khusus 88 serta Intelijen sebagai
1 Hukum Terorisme Indonesia Masih Lembek, ANTARA, Kamis, 29 Juli 2010 07:06 WIB, dalam
http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=976&halaman=195
1
ujung tombak yang lain.2 Pelimpahan wewenang yang luas untuk melakukan aksi represif dan
supresif berpotensi membawa implikasi pelanggarah HAM dan hak-hak sipil jika tidak disertai
dengan internalisasi prinsip dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, khususnya Hak-Hak Sipil.
Penggunaan kekuatan yang tidak sesuai prosedur hukum dan represi yang indiskriminatif
justru akan melemahkan upaya penanggulangan terorisme dalam jangka panjang dengan
menurunkan legitimasi Negara dan aparatusnya di mata publik. Untuk menghindari hal
tersebut, internalisasi prinsip dan nilai-nilai HAM dan hak-hak sipil atau kebebasan sipil harus
menjadi bagian integral dari penyusunan dan implementasi strategi penanggulangan
terorisme. Selain itu, pelibatan jejaring masyarakat sipil sebagai mitra penegak hukum dalam
mencegah dan menanggulangi terorisme menjadi penting di era perang jejaring (netwar) yang
mencirikan mode konflik yang dijalankan oleh para teroris dewasa ini.3
B.
Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah untuk memberikan persepsi atau cara
pandang mengenai perumusan strategi nasional penanggulangan terorisme yang
memuat prinsip dan nilai-nilai HAM, hak-hak sipil, dan yang mendorong keterlibatan
masyarakat sipil secara aktif dalam upaya penanggulangan terorisme.
2. Naskah Akademik ini berguna sebagai pedoman dan bahan awal yang memuat gagasan
tentang urgensi penyusunan Rancangan Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme
yang melibatkan prinsip dan nilai-nilai HAM, hak-hak sipil, dan masyarakat sipil.
C.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
II.
Dasar hukum nasional dan internasional mengenai prinsip dan nilai-nilai HAM
dan sipil, yang harus dilibatkan di dalam strategi nasional penanggulangan
terorisme.
Urgensi pelibatan dan peluang kontribusi masyarakat sipil dalam strategi
nasional penanggulangan terorisme.
KERENTANAN DAN POTENSI PELANGGARAN HAM DAN HAK-HAK SIPIL DALAM
PENINDAKAN TERORISME DI INDONESIA SAAT INI
2 Shofwan Al-Banna Choiruzzad, Global War on Terror, Securitization and Human Security:
Indonesia s Case, 2010. Diunduh dari http//www.ritsumei.academia.edu/ShofwanAlBannaChoiruzzad/
Diakses 29 Mei 2011.
3 David Rosenfeld dan John Arquilla, What Next for Networks and Netwars? dalam Networks and
Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy (RAND 2001), h. 326.
2
Upaya penindakan terorisme (kontraterorisme) yang dijalankan pemerintah Indonesia
melalui instrumen represif melalui kerangka penegakan hukum dipandang membawa implikasi
pelanggaran HAM oleh pihak-pihak tertentu. Komnas HAM, misalnya, baru-baru ini menduga
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam pemenuhan hak-hak tahanan tersangka teroris
selama di dalam penjara.4 Selain itu, insiden jatuhnya korban sipil dalam penyergapan Densus
88 di Sukoharjo5 baru-baru ini dipandang oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) sebagai salah satu contoh pelanggaran HAM yang mengatasnamakan aksi
kontraterorisme. 6 Berdasarkan catatan Kontras, di sepanjang tahun 2010 saja, sudah terdapat
lebih dari 10 aksi pelanggaran HAM atas nama terorisme.7
Dalam sebuah sesi temu-dengar dengan DPR pada tahun 2010, Komnas HAM
menyatakan bahwa sebagian besar operasi penyergapan yang dilakukan oleh kepolisian telah
melanggar HAM.8 Menurut Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo, penyergapan yang
dilakukan pasukan antiteror kepolisian tidak merepresentasikan prinsip perlindungan HAM. Ia
menyebutkan bahwa Komnas HAM menemukan bahwa polisi sering menggunakan teknikteknik interogasi yang mengandung kekerasan terhadap tersangka teroris, yang melanggar
Konvensi Anti-Penyiksaan PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sementara itu, Ketua
Komnas HAM, Ifdhal Kasim menyatakan bahwa baik pemerintah maupun pihak kepolisian tidak
menanggapi berbagai laporan terkait dengan investigasi yang mengandung unsur kekerasan
sebagaimana mandat undang-undang.9
Sementara itu, dalam kajiannya tentang dampak sekuritisasi terorisme terhadap
keamanan manusia, Shofwan al-Banna menemukan bahwa terdapat dampak-dampak langsung
pelanggaran HAM yang dibawa oleh kampanye perang global melawan terorisme yang hingga
derajat tertentu juga mempengaruhi penindakan terorisme di Indonesia. Berbagai insiden
pelanggaran tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: 10
Siwi Tri Puji B, Komnas HAM Lacak Pelanggaran HAM Terhadap Tahanan Terorisme , Sabtu, 19
February 2011, dalamhttp://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/11/02/18/164765komnas-ham-lacak- pelanggaran-ham-terhadap-tahanan-terorisme. Diakses 29 Mei 2011.
5 Sekitar pukul 01.30 tanggal 13 Mei 2011, Densus 88 Anti Teror terlibat aksi baku tembak dengan
dua orang tersangka teroris, yakni Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto di Jalan Palagan Tentara Pelajar,
Dusun Dukuh RT 2/RW III, Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pelaku pada akhirnya
dilumpuhkan Densus dan tewas di tempat kejadian. Namun, dalam aksi itu, seorang pedagang angkringan
turut tewas terkena peluru nyasar. Polisi mengatakan bahwa korban yang bernama Nur Iman tewas
akibat peluru dari senjata api milik kedua tersangka teroris. Kontras Nilai Insiden Sukoharjo
Pelanggaran HAM , Sabtu, 14 Mei 2011, dalam www.tempointeraktif.com/.../2011/.../14/brk,20110514334513,id.html. Diakses 29 Mei 2011.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Commission: Most antiterrorism raids violate human rights, The Jakarta Post, 06/10/2010 5:52
PM,http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/10/commission-most-antiterrorism-raids-violatehuman-rights.html. Diakses 29 Mei 2011.
9 Ibid.
10 Shofwan al-Banna, Loc. cit.
4
3
Tabel 1. Berbagai Insiden Pelanggaran HAM sebagai Dampak Langsung
dari Perang Global melawan Terorisme di Indonesia
Kategori
Penangkapan/
Penculikan
Korban
Sahl (guru agama di
Poso)
Joko Wibowo (aktivis)
Syaifudin Umar
(aktivis)
150 aktivis diculik
Salah tangkap
Jejen Ahmad Jaelani
dan
Fahrudin
Guru agama di Poso
Kekerasan
oleh aparat
negara
Heri Sutopo (warga
biasa)
15 penduduk sipil (4
di antaranya anakanak)
Munajid
Yusron Mahmudi
Deskripsi
Ditangkap di Poso, dituduh terkait jejaring
teroris
Ditangkap tanpa adanya dokumen yang
lengkap
Diculik pada tanggal 4 Agustus 2004.
Ditemukan dalam kondisi mental yang
buruk, menurutnya akibat penyiksaan.
Polisi menyebutnya mengalami
kecelakaan.
Dituduh sebagai teroris, ditangkap tanpa
dokumen yang lengkap.
Sumber Data
Sinar Harapan,
9 Februari 2003
Suara Merdeka,
20 Januari 2008
Republika,
31 Agustus 2004
Ditangkap karena memiliki wajah yang
mirip dengan Dr. Azahari. Akhirnya
dilepaskan namun tidak pernah ada
kompensasi.
Ditangkap karena dituduh sebagai teroris.
Pada akhirnya dilepaskan karena salah
tangkap, namun tidak ada kompensasi.
Ditangkap dan dipaksa memberikan
informasi. Mengklaim diri telah dipukuli
berulang-ulang.
Densus 88 menyerang desa untuk
memburu teroris,
Liputan 6,
14 November
2005
Dibunuh di luar prosedur.
Tempo
Interaktif, 26
Maret 2007
Dituduh sebagai teroris. Ditembak dalam
jarak dekat di depan anak-anaknya.
Republika,
31 Agustus 2004
www.tempointe
raktif.com
22 Januari 2007
Sumber: Shofwan al-Banna, 2010
Sementara itu, data Kontras menyebutkan berbagai pelanggaran HAM dalam
penanganan kasus terorisme pada tahun 2010 sebagai berikut: 11
11 Kontras dan Koalisi Reformasi Polri, Peringatan Hari Bhayangkara Ke-64 Evaluasi dan Harapan
Masyarakat
Sipil
Menuju
Polri
yang
Demokratis
dan
Akuntabel,
http://www.kontras.org/data/Paper%20Hari%20Polri%20ke-64.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
4
Tabel 2. Insiden Pelanggaran HAM dalam Penanganan Kasus Terorisme 2010/Kontras
Penyergapan
Aceh (dilakukan pada
medio Februari April
2010)
Sumatera Utara (12
April, Medan)
Proses Penangkapan
Umumnya tidak ada perlawanan
yang berarti dari para tersangka.
Pihak kepolisian sering
melakukan operasi keamanan
terorisme tanpa membawa surat
penangkapan dan penahanan
Ada kejadian penembakan
(peluru nyasar) yang
mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa (bukan teroris) di
Lamkabeau
Dalam penggerebekan di
(kawasan Beurawe, Banda Aceh),
seorang tersangka ditembak
hingga mati, namun tidak
ditemukan adanya barang bukti
Temuan Bukti
Di dalam kebanyakan dari
operasi keamanan
terorisme di Aceh tidak
ditemukan adanya barang
bukti, kecuali di Jantho,
Lamkabeau, dan Leupang
(senjata api dan obatobatan)
Beberapa orang ditahan dalam operasi
keamanan. Satu orang terluka di bagian
tangan.
Ditemukan peta sejumlah
kota besar di wilayah
Sumatera
Seorang mati dan dua orang tersangka
terorisme ditahan. Diduga kuat adanya
perlawanan dari salah seorang tersangka,
sehingga mengakibatkan kematian
Sepucuk pistol
revolver
5
Jawa Barat - (19 Maret
) Sumedang - (6 Mei)
Bekasi - (13 Mei)
Cikampek
Operasi keamanan di Sumedang dilakukan
tanpa adanya perlawanan dari para
tersangka
Operasi keamanan di Bekasi dilakukan
tanpa perlawanan dari para tersangka.
Mereka ditahan dan dilepaskan pada tanggal
13 Mei
Tidak ada barang bukti
yang ditemukan kecuali di
Cikampek (senjata api
jenis revolver)
Operasi keamanan di Cikampek
mengakibatkan dua orang tewas. Para saksi
mata yang melihat menyatakan polisi
langsung tembak ditempat, sedangkan pihak
kepolisian menyatakan para tersangka
melakukan perlawanan
Jakarta : - (6 Mei) :
Pejaten Pasar Minggu,
Jakarta Selatan dan di
hotel Sofyan - (13 Mei)
Cawang
Kedua operasi yang dilakukan di hari yang
sama tidak mendapatkan perlawanan dari
para tersangka. Baik dalam kedua operasi
ini, pihak kepolisian tidak membawa surat
penangkapan. Mereka ditahan dan
kemudian dilepaskan pada tanggal 13 Mei
2010
Sedangkan operasi keamanan yang
dilakukan di Cawang menewaskan 3 orang
(tembak di tempat)
Jawa Tengah - (13
Mei) Sukoharjo, Solo (17 Mei) Solo
Baik di dua tempat operasi keamanan,
diterapkan model operasi penggerebekan
dan semua tersangka ditahan
Operasi keamanan di
Pasar Minggu dan Hotel
Sofyan tidak ditemukan
adanya barang bukti
Sedangkan operasi
keamanan di Cawang
ditemukan ak 47 dan M 16
dalam jumlah besar
Ditemukan barang bukti
senapan, rompi anti
peluru, CD, ratusan peluru
berkaliber (Sukoharjo)
SepErangkat komputer
dan kepingan CD.
Sumber: Biro Litbang Kontras, 2010
Sementara itu, laporan terkini dari Imparsial menunjukkan bahwa salah tangkap yang
dilakukan polisi dalam penanganan terorisme jauh lebih tinggi dibandingkan dengan salah
tangkap dalam kasus-kasus lain. Menurut lembaga tersebut, hal ini terjadi karena para
tersangka tersebut seringkali ditembak mati tanpa ada klarifikasi.12 Menurut al-Banna, sejauh
ini tidak ada upaya rehabilitasi terhadap para korban salah tangkap. Lebih jauh lagi,
menurutnya langkah-langkah khusus yang dijalankan oleh TNI dan Polri telah membawa
12
Ibid.
6
dampak tidak langsung atau dampak strategis, yakni terciptanya iklim ketakutan di masyarakat,
terutama di kalangan masyarakat Muslim.13
III.
INTERNALISASI PRINSIP DAN NILAI-NILAI HAM DAN HAK-HAK SIPIL DALAM
STRATEGI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA
3.1
Dasar Hukum bagi Internalisasi Prinsip dan Nilai-Nilai HAM dan Hak-Hak Sipil
3.1.1 Kovenan Internasional
Kovenan internasional utama yang berbicara tentang perlindungan hak asasi manusia,
khususnya hak-hak sipil, adalah Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik
(KIHS) atau International Convention on Civil and Political Rights. Kovenan ini telah diratifikasi
oleh Indonesia pada tahun 2005.14 Dengan demikian, produk hukum internasional tersebut
telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia sehingga pemerintah Indonesia terikat
untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah KIHS.15 Di sisi lain, setiap orang yang
tinggal di dalam wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan
dan perlindungan atas hak-hak asasinya yang tertuang dalam KIHS. Penghormatan dan
perlindungan ini wajib diberikan oleh Negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, juga asal-usul kebangsaan
atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.16
KIHS sendiri memuat 24 (dua puluh empat) hak-hak dasar.17 Hak-hak dasar yang
berhubungan dengan penanggulangan, khususnya penindakan terorisme, adalah sebagai
berikut18
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 6 Hak untuk hidup.
Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi.
Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya.
Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut.
Dalam Pasal 4 Kovenan ini, dinyatakan pula bahwa dalam keadaan darurat yang
mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi,
Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka jika sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut. Pasal ini
Al-Banna, Loc. cit.
A Hakim G Nusantara, Keadaan Hak-Hak Sipil dan Politik Indonesia: Satu Dasa Warsa Reformasi.
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
13
14
7
dapat dijadikan landasan untuk mengurangi atau membatasi hak-hak sipil warga negara dalam
memerangi terorisme yang didefinisikan sebagai salah satu situasi darurat yang mengancam
kehidupan dan keberadaan negara.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa KIHS menyatakan bahwa langkah-langkah tersebut
tidak boleh bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum
internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. Juga ditegaskan bahwa bahkan dalam
situasi darurat sekalipun, pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, dan 15 sama sekali tidak
dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.19
Selain KIHS, terdapat Pula Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau Perlakuan atau
Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat atau The United
Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (1987) yang mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya untuk menjalankan
langkah-langkah yang efektif untuk menghindarkan tindakan penyiksaan apapun di wilayah-
wilayah yang berada di dalam yurisdiksi mereka (Pasal 2). Konvensi ini juga mewajibkan
Negara untuk sesegera mungkin menyelidiki tuduhan penyiksaan (Pasal 12 dan 13) dan bahwa
korban penyiksaan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi. Konvensi ini juga melarang
penggunaan barang bukti yang didapatkan melalui penyiksaan di dalam pengadilan (Pasal 15).
Di bawah Konvensi ini, Negara pihak juga wajib menghindari tindakan-tindakan yang kejam,
tidak manusiawi, atau perlakuan dan hukuman yang merendahkan (Artikel 16) dan juga wajib
menyelidiki tuduhan akan terjadinya tindakan-tindakan tersebut di wilayah yurisdiksi
mereka.20
3.1.2 Peraturan Perundang-Undangan Nasional
Kedua Kovenan dan Konvensi di atas telah diratifikasi oleh Indonesia, yaitu melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan
Politik)21 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia).22 Dengan demikian, Negara Indonesia
melalui pemerintahnya terikat oleh kewajiban untuk melindungi hak-hak asasi masyarakatnya,
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/07/UU-No-5-Thn-1998-ttgRatifikasi-CAT.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
21
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/07/UU-No-12-Thn-2005-ttgRatifikasi-ICCPR.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
22 Loc. cit.
19
20
8
khususnya hak-hak sipil, dari pelanggaran yang mungkin terjadi atas nama penanggulangan
terorisme.
Di tingkat nasional, Indonesia pun telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
yakni UU No. 39 Tahun 1999. Sesungguhnya, sebagian dari substansi KIHSP yang relevan
dengan penanggulangan terorisme telah dimasukan ke dalam UU HAM, misalnya hak hidup
(pasal 9), hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat (pasal 33 ayat 1), hak atas pemeriksaan adil dan proses
hukum yang semestinya (pasal 17, pasal 18 (1) (2) (3) (4) (5)), dan hak bebas dari hukum
pidana yang berlaku surut (pasal 18 (2)).23
Selain itu, pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar
panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD
1945. Dengan demikian HAM tidak lagi merupakan semata-mata hak moral dan hak atas dasar
UU, tetapi sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang harus dipatuhi oleh
pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.24
Selain berbagai aturan di tataran normatif yang telah diuraikan di atas, pemerintah
dengan dukungan DPR juga telah mendirikan lembaga-lembaga independen yang dimaksudkan
untuk memajukan dan melindungi HAM, termasuk hak-hak sipil dan politik, di antaranya adalah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, baik pada tataran norma hukum maupun dengan kehadiran lembaga-
lembaga independen tersebut, sesungguhnya Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan
kelembagaan yang memadai sebagai dasar untuk menghormati dan melindungi HAM, termasuk
hak-hak sipil dan politik.
3.2
Urgensi Penerapan Prinsip-Prinsip HAM dalam Upaya Penanggulangan Terorisme
Kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti Kejahatan
Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa.25 Di bawah UU Anti
Kejahatan Terorisme itu, polisi, dengan mengesampingkan perlindungan Hak Sipil yang di atur
di bawah hukum acara pidana biasa, dapat dengan mudah melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jejaring
dan aktivitas terorisme.
Menurut A. Hakim G. Nusantara, pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak
buruk bagi hak-hak sipil mereka yang meskipun belum tentu bersalah, tapi karena dicurigai
mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme harus mengalami penangkapan,
A. Hakim G. Nusantara, Loc. cit.
Ibid.
25 Ibid.
23
24
9
penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini menurutnya jelas
memperburuk kondisi hak-hak sipil dan politik. Berkenaan dengan itu, Komnas HAM bersama
Komnas-HAM se-Asia Pasifik mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam
memberantas kejahatan terorisme, namun dengan tetap mengindahkan Hukum HAM.26
Senada dengan pendapat tersebut, Kontras juga berpandangan bahwa penanganan
terorisme tetap harus mempertimbangkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia,
khususnya hak-hak asasi yang dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak-hak asasi yang
tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun). Ketentuan non-derogable rights ini
sudah dijamin dalam Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28I), Kovenan Hak-Hak Sipil Politik (Pasal 4)
yang sudah diratifikasi Indonesia, dan Perkap HAM No. 8/2009.27 s
Ketentuan non-derogable rights tersebut membawa implikasi bahwa seburuk apapun
situasinya, Polri harus menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, khususnya tujuh hak asasi yang
tersebut di atas. Penghormatan atas hak untuk hidup, tidak disiksa dan ditahan secara
sewenang-wenang adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi. Kewajiban untuk tidak
mengkompromikan non-derogable rights ini telah dinyatakan dalam konstitusi kita UUD 1945
Pasal 28I, UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik. Polri sendiri telah mereformulasi ulang komitmen dan kewajiban HAM melalui Perkap
No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.28
Berdasarkan keberadaan berbagai produk hukum yang telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa urgensi pengindahan prinsip dan nilai-nilai HAM oleh para pemegang
wewenang penindakan terorisme secara legal-normatif sudah tidak perlu diperdebatkan lagi
karena dasar hukumnya sudah jelas, baik di level internasional maupun di tingkat nasional.
Penetapan terorisme sebagai tindak kejahatan khusus yang mensyaratkan dikuranginya
beberapa jenis hak-hak sipil secara legal tetap tidak boleh mengorbankan non-derogable rights
yang telah disebutkan di atas jika tidak ingin disebut melanggar hukum. Akan tetapi, urgensi
pengindahan prinsip dan nilai-nilai HAM dan hak-hak sipil dalam strategi penanggulangan
terorisme tidak hanya memiliki logika normatif, tetapi juga logika strategis demi efektvitas
penanggulangan terorisme itu sendiri.
Selama ini, paradigma yang dianut oleh penegak hukum berkenaan dengan penerapan
prinsip-prinsip HAM dan hak-hak sipil dalam penindakan terorisme kurang kondusif bagi
penegakkan HAM. Pengindahan prinsip-prinsip HAM dalam penindakan teroris dianggap
memberatkan proses penyergapan, penangkapan, dan penahanan tersangka teroris. Melihat
Ibid.
Kontras, Loc. cit.
28 Ibid.
26
27
10
banyaknya tersangka teroris yang tidak ditangkap hidup-hidup, timbul dugaan bahwa
pandangan the only good terrorist is a dead terrorist masih dianut di kalangan kepolisian,
khususnya Densus 88. Agar prinsip-prinsip HAM, khususnya hak-hak sipil, dapat ditegakkan
dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, paradigma tersebut perlu diubah. Sesungguhnya
penegakkan prinsip-prinsip HAM dan hak-hak sipil politik dalam penindakan terorisme justru
dapat mempermudah kerja para penegak hukum dalam jangka panjang karena hal tersebut
memberi mereka perlindungan hukum dalam menjalankan tugas mereka, melindungi mereka
dari tuntutan hukum yang dapat muncul kemudian dari tersangka atau keluarga tersangka
teroris tersebut.
Selain itu, efektivitas penindakan terorisme harus dilihat dari kacamata perlawanan
terhadap terorisme dalam jangka panjang, tidak hanya dari headcount teroris yang tertangkap
(yang seringkali menjadi tumpuan ego kepolisian). Tidak diindahkannya atau bahkan
dilanggarnya HAM dalam penindakan teroris justru akan merugikan kepolisian sendiri, dan
pada gilirannya pemerintah Indonesia, karena hal tersebut akan menurunkan legitimasi Polri
dan meningkatkan legitimasi teroris di mata masyarakat yang bersimpati, bukan pada
kekerasan yang mereka lakukan, tetapi pada cause yang mereka angkat dalam kampanye
mereka. Dalam jangka panjang, sumber daya yang diperebutkan oleh pemerintah dan teroris
adalah legitimasi publik29 dan hal ini harus selalu diingat oleh pihak-pihak yang ditugasi
menanggulangi terorisme. Pelanggaran HAM oleh polisi hanya akan memberi amunisi tambahan
bagi para teroris untuk menarik simpati masyarakat. Dengan demikian, penegakkan prinsipprinsip dan nilai-nilai HAM, khususnya hak-hak sipil, dalam langkah-langkah penindakan
terorisme berperan strategis dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia dalam
jangka panjang sehingga prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut harus dimasukkan sebagai
bagian integral dalam strategi nasional penanggulangan terorisme di Indonesia.
IV.
PELIBATAN
MASYARAKAT
SIPIL
DALAM
STRATEGI
PENANGGULANGAN
TERORISME DI INDONESIA: POTENSI DAN PELUANG KONTRIBUSI
Negara Hukum Demokratis (NHD) Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam
UUD 1945 mensyaratkan hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan mampu
melakukan kontrol terhadap perilaku Negara30, termasuk dalam penanggulangan terorisme.
Keterlibatan masyarakat sipil harusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mencegah
dan menangani terorisme karena pada hakikatnya, terorisme, sebagaimana tindak kejahatan
lainnya, muncul dari masyarakat dan harus ditangani dan dilawan oleh unsur-unsur masyarakat
29 Lihat Peter R. Neumann dan MLR Smith, The Strategy of Terrorism: How It Works and Why It Fails
(Oxon: Routlegde, 2008).
30 A. Hakim G. Nusantara, Loc. cit.
11
itu sendiri. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dapat membantu meningkatkan
legitimasi negara dalam upaya penanggulangan terorisme.
4.1
Definisi Masyarakat Sipil
Definisi masyarakat sipil beragam dan memiliki spektrum yang luas. Sebuah definisi
dari Civicus menyebut masyarakat sipil sebagai berikut:
Sebuah arena, yang berlainan dari negara dan pasar, di mana anggota masyarakat
berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan,
menyatakan, dan mendorong nilai-nilai, hak -hak dan kepentingankepentinganmereka. 31
Menurut A. Hakim G. Nusantara, konsep masyarakat sipil setidaknya mengacu pada dua
situasi dan kondisi yang berbeda. Pertama, kehadiran masyarakat sipil termanifestasikan dalam
bentuk lembaga-lembaga sosial yang kuat dan mempunyai akar yang mendalam dalam
masyarakat sehingga mampu melawan kontrol rezim-rezim otoriter. Kedua, masyarakat sipil itu
hadir dalam wujud suatu jejaring organisasi-organisasi sosial yang rapat yang memberikan
model sivilitas, kerjasama dan toleransi serta menciptakan hubungan-hubungan antara bagianbagian masyarakat yang mendorong partisipasi, civic trust, dan kerjasama. Hal inilah yang
seringkali disebut sebagai modal sosial. Sayangnya, menurut Nusantara, kedua bentuk
masyarakat sipil tersebut belum kita jumpai di Indonesia.32
Sementara itu, menurut Eric Rosand, masyarakat sipil terdiri dari asosiasi-asosiasi
dengan jangkauan yang luas, yang mencakup partai-partai politik, serikat-serikat perdagangan,
badan-badan profesional, yayasan-yayasan privat, institusi-institusi penelitian dan pendidikan,
lembaga pemikir (think-tanks), organisasi-organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, serta
kelompok-kelompok perempuan, HAM, dan lingkungan. 33
4.2
Peran Strategis dan Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Sipil dalam
Upaya Penanggulangan Terorisme
Menurut Rosand, masyarakat sipil yang kuat dapat berperan secara strategis dalam
melindungi masyarakat lokal, mencegah dan membendung ideologi radikal, dan membantu
mengatasi kekerasan politik. Dalam hal ini, masyarakat sipil berperan dalam menyuarakan
31 Civicus, Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Masyarakat Sipil di Indonesia, 2002, diunduh dari
www.civicus.org/new/media/indonesia.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
32 Ibid.
33 Eric Rosand,
The Role of Civil Society in Counterterrorism: Presentation to the EU s
Committee ,
Counter Terrorism
14
Oktober
2009,
diunduh
dari
http://www.globalct.org/images/content/pdf/Remarks/09Oct14_COTER_CIVILSOCIETY_AM.pdf.
Diakses 29 Mei 2011.
12
aspirasi berbagai kelompok sosial yang beragam dan menyediakan saluran berekspresi bagi
kaum yang terpinggirkan, serta dapat mempromosikan budaya toleransi dan pluralisme. 34
Di level yang lebih praktis, kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat berkontribusi
dengan cara membangun dukungan lokal untuk membantu penanggulangan terorisme, yaitu
melalui pendidikan masyarakat, melobi pemerintah untuk mengadopsi respon terhadap
terorisme yang bersifat holistik dan menghormati HAM, mengawasi implementasi langkahlangkah penanggulangan terorisme (kontraterorisme), memberi bantuan dan dukungan
terhadap korban, mempromosikan pentingnya keamanan dan perdamaian, serta memberikan
pelatihan pembangunan kapasitas.35
Selain itu, masyarakat sipil juga dapat membantu negara dalam meningkatkan
kesadaran akan ancaman dan dampak dari serangan teroris terhadap masyarakat lokal serta
dalam membangun dan memperdalam dukungan publik terhadap langkah-langkah pemerintah
untuk menanggulangi terorisme. Dukungan publik ini merupakan kunci bagi efektivitas strategi
penanggulangan terorisme dalam jangka panjang. Asosiasi-asosiasi korban bom juga dapat
memberi kontribusi penting dengan mengutuk aksi-aksi teroris dan memberi wajah manusia
dalam kampanye melawan terorisme serta dengan meningkatkan kesadaran akan human cost
dari terorisme.36
Dalam konteks Indonesia, masyarakat sipil yang dapat berkontribusi dalam upaya
penanggulangan terorisme saat ini antara lain terdiri dari lembaga-lembaga yang mengawasi
implementasi kebijakan kontraterorisme oleh Negara (misalnya berbagai LSM yang bergerak
dalam isu HAM), lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu-isu yang relevan dengan kondisikondisi yang dapat menyebabkan munculnya terorisme, misalnya kondisi sosial-ekonomi
masyarakat dan pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, dan institusi-institusi pendidikan (misalnya pesantren-pesantren) yang dapat
membantu meredam ideologi ekstrim. Selain itu, komunitas-komunitas berbasis keluarga juga
dapat membantu mengawasi lingkungannya dan mencegah anggotanya menembus batas
radikal (radical treshold) dan kemudian batas kekerasan (violence treshold) sehingga dapat
meningkatkan ketahanan masyarakat dari serangan dan penyebaran terorisme. Yang tidak
kalah penting adalah peran dari asosiasi-asosiasi korban atau penyintas serangan teroris
(misalnya Asosiasi Korban Bom Indonesia atau ASKOBI) yang dapat memberikan bantuan dan
dukungan terhadap korban terorisme dan mengkampanyekan human cost dari terorisme
seperti telah dijelaskan di atas. Asosiasi asosiasi ini dapat berperan signifikan dalam
menyampaikan pesan bahwa terorisme bukanlah jalan yang produktif dan efektif untuk
Ibid.
Ibid.
36 Ibid.
34
35
13
mencapai tujuan-tujuan politik dan menunjukkan bahwa human cost dari strategi ini tidak
dapat dibenarkan.
Di luar keterlibatan strategis di atas, ada juga keterlibatan kelompok masyarakat sipil
yang sifatnya lebih langsung, lebih praktis, dan lebih hands-on dan berkaitan dengan teroris
itu sendiri, misalnya upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian yang didirikan
oleh Noor Huda Ismail dan bertujuan untuk menjembatani reintegrasi mereka yang pernah
terlibat dalam aksi terorisme ke dalam kehidupan masyarakat yang normal. Konsep yang
mereka usung bukanlah deradikalisasi, melainkan disengagement from violence, namun upayaupaya mereka sering dipandang sebagai bagian dari upaya deradikalisasi yang juga menjadi
tekanan pemerintah Indonesia.37
37
http://www.prasastiperdamaian.com/about/
14
Meskipun memiliki peran strategis yang penting dan potensi kontribusi yang besar,
masyarakat sipil juga menghadapi tantangan-tantangan dalam keterlibatan mereka dalam
upaya penanggulangan terorisme. Menurut Eric Rosand, tantangan-tantangan yang dihadapi
oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil terbagi ke dalam dua kategori. Yang pertama adalah
kurangnya kapasitas, sumber daya, dan keahlian kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam
isu penanggulangan terorisme. Yang kedua adalah kurangnya ruang politik yang menyebabkan
terbatasnya ruang gerak mereka (freedom to engage). Menurutnya pula, kemampuan
masyarakat sipil untuk terlibat dalam isu ini berhubungan dengan terpenuhnya berbagai
kebebasan dasar, seperti kebebasan untuk mendapatkan informasi, kebebasan untuk
berasosiasi, dan kebebasan untuk emncari dana, yang harus dipenuhi oleh Negara.38
Kecenderungan pemerintah di berbagai negara untuk memasukkan isu penanggulangan
terorisme ke dalam ranah eksklusif milik pemerintah karena unsur keamanannya yang tinggi
telah mengurangi kapabilitas masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi. Dalam kasuskasus tertentu, isu terorisme bahkan digunakan untuk membatasi ruang gerak masyarakat sipil
dan lawan-lawan politik pemerintah, misalnya dengan menerapkan legislasi kontraterorisme
yang ekspansif untuk membatasi kebebasan berserikat, berbicara, dan berkumpul. Di tingkat
yang lebih halus, pemerintah dapat membatasi pendanaan kelompok-kelompok masyarakat
sipil untuk membatasi ruang gerak mereka.
Hal-hal yang dapat mengurangi tingkat keterlibatan dan kontribusi masyarakat sipil di
atas harus dihindari oleh pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil adalah aset bagi pemerintah
karena keterlibatan mereka dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia akan
meningkatkan legitimasi pemerintah dan kebijakan-kebijakan kontraterornya. Sebagaimana
dikemukakan Rosand, keterlibatan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa
pemerintah mengadopsi pendekatan penanggulangan terorisme yang holistik di mana
masyarakat sipil menekankan pendekatan yang lebih soft dan tidak militeristik, serta yang
lebih mengakar-rumput.39
4.3
Rekomendasi untuk Meningkatkan Keterlibatan dan Kontribusi Masyarakat Sipil
Sebagaimana rekomendasi Rosand kepada PBB mengenai keterlibatan masyarakat sipil
dari upaya penanggulangan terorisme, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kontribusi masyarakat sipil dalam hal ini, yaitu sebagai berikut:
1. Memperkuat kapasitas teknis dan keahilan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil
untuk dapat berkontribusi aktif dalam isu-isu yang berkaitan dengan penanggulangan
terorisme.
38
39
Rosand, Loc. cit.
Ibid.
15
2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran kelompok-kelompok masyarakat sipil akan
ancaman terorisme dan akan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
menanganinya dengan efektif, namun tetap dalam kerangka HAM dan hukum.
3. Meningkatkan dukungan negara terhadap keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat
sipil dalam diskusi-diskusi mengenai upaya penanggulangan terorisme di tingkat
nasional, regional, dan lokal.
4. Meningkatkan dukungan negara terhadap pemberian informasi dan ruang gerak pada
kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sebagaimana dikemukakan Rosang, dengan
berbagi informasi dengan dan melibatkan masyarakat sipil, pemerintah sebenarnya
meningkatkan keamanannya sendiri.
5. Mendukung inkorporasi isu penanggulangan terorisme ke dalam cakupan kerja
berbagai kelompok sipil yang telah ada pada saat ini.
V.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelibatan prinsip dan nilai-nilai HAM dan
hak-hak sipil dalam strategi nasional penanggulangan terorisme di Indonesia memiliki dasar
hukum yang jelas dan urgensi yang tinggi jika melihat rekam jejak pelanggaran HAM di
Indonesia oleh aparat negara, khususnya dengan mengatasnamakan keamanan negara. Di
samping memiliki logika normatif yang jelas, pelibatan dan penegakkan prinsip dan standar
HAM juga memiliki logika strategis untuk mengefektifkan upaya penanggulangan terorisme
dalam jangka panjang melalui peningkatan legitimasi Negara dan pemerntah di mata publik.
Dalam hal penanggulangan terorisme, publik menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Masyarakat sipil sebagai perwujudan dari nilai-nilai civic publik adalah komponen penting dari
upaya tersebut agar upaya penanggulangan terorisme dapat efektif dalam jangka panjang.
Masyarakat sipil dapat berkontribusi pada upaya penanggulangan terorisme dalam berbagai
cara, antara lain dengan mengawasi penerapan kebijakan kontraterorisme pemerintah agar
sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai HAM, mendorong pemerintah untuk mengadopsi respon
yang holistik dalam menanggulangi terorisme dan membantu pemerintah untuk melaksanakan
penanggulangan terorisme yang bersifat soft dan mengakar-rumput, misalnya pendidikan
masyarakat dan deradikalisasi. Peran masyarakat sipil yang tidak kalah penting adalah
memberi dukungan dan bantuan pada korban terorisme, mendukung kampanye antiterorisme,
dan memperkuat ketahanan komunitas lokal dari serangan terorisme serta membantu
peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat agar dapat berhenti menjadi breeding ground
bagi terorisme maupun bagi penyebaran ideologi ekstrim yang dapat mengarah pada terorisme
dan jenis-jenis kekerasan lainnya.
@@@
16
PELIBATAN NILAI-NILAI HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN MASYARAKAT SIPIL
DALAM STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
Anggalia Putri Permatasari
I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah, terorisme di Indonesia adalah ancaman
nyata yang dapat membahayakan keselamatan rakyat dan negara Indonesia kapan saja.
Serangan teroris di Indonesia yang meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas sejak
peristiwa 9 September 2001 menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia
yang dituntut untuk tidak hanya dapat mengendalikan eskalasi serangan teroris, tetapi juga
mencegah serangan teroris melalui langkah-langkah pengamanan preventif sekaligus mencegah
lahirnya terorisme. Untuk menjalankan mandat yang cukup berat ini, pemerintah Indonesia
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang salah satu tugasnya adalah
menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.
Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme diperlukan untuk mengarahkan upaya-upaya
pemerintah guna menyusun langkah-langkah pencegahan dan penindasan terorisme yang
efektif.
Akan tetapi, upaya penanggulangan terorisme, khususnya langkah-langkah penindakan,
selalu berpotensi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, penindakan teroris memerlukan aksi
represif negara melalui organ-organ keamanannya, yang antara lain meliputi Kepolisian,
Intelijen, dan_bila diperlukan_Militer yang diperbantukan kepada otoritas sipil. Dalam konteks
Indonesia, strategi penindakan teroris dilakukan di dalam kerangka penegakan hukum yang
diatur dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. UU tersebut menjadi kerangka normatif untuk menjalankan aksi
represif dan supresif terhadap terorisme yang di Indonesia ditetapkan sebagai tindak pidana.
Namun, di sisi lain, langkah represif dan supresif ini membawa kerentanan-kerentanan
tersendiri. Penetapan terorisme sebagai kejahatan luar biasa oleh Kepala BNPT, Ansyad
Mba i1 membawa implikasi pemberian wewenang lebih pada lembaga Kepolisian yang menjadi
ujung tombak penindakan teroris, khususnya Detasemen Khusus 88 serta Intelijen sebagai
1 Hukum Terorisme Indonesia Masih Lembek, ANTARA, Kamis, 29 Juli 2010 07:06 WIB, dalam
http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=976&halaman=195
1
ujung tombak yang lain.2 Pelimpahan wewenang yang luas untuk melakukan aksi represif dan
supresif berpotensi membawa implikasi pelanggarah HAM dan hak-hak sipil jika tidak disertai
dengan internalisasi prinsip dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, khususnya Hak-Hak Sipil.
Penggunaan kekuatan yang tidak sesuai prosedur hukum dan represi yang indiskriminatif
justru akan melemahkan upaya penanggulangan terorisme dalam jangka panjang dengan
menurunkan legitimasi Negara dan aparatusnya di mata publik. Untuk menghindari hal
tersebut, internalisasi prinsip dan nilai-nilai HAM dan hak-hak sipil atau kebebasan sipil harus
menjadi bagian integral dari penyusunan dan implementasi strategi penanggulangan
terorisme. Selain itu, pelibatan jejaring masyarakat sipil sebagai mitra penegak hukum dalam
mencegah dan menanggulangi terorisme menjadi penting di era perang jejaring (netwar) yang
mencirikan mode konflik yang dijalankan oleh para teroris dewasa ini.3
B.
Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah untuk memberikan persepsi atau cara
pandang mengenai perumusan strategi nasional penanggulangan terorisme yang
memuat prinsip dan nilai-nilai HAM, hak-hak sipil, dan yang mendorong keterlibatan
masyarakat sipil secara aktif dalam upaya penanggulangan terorisme.
2. Naskah Akademik ini berguna sebagai pedoman dan bahan awal yang memuat gagasan
tentang urgensi penyusunan Rancangan Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme
yang melibatkan prinsip dan nilai-nilai HAM, hak-hak sipil, dan masyarakat sipil.
C.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
II.
Dasar hukum nasional dan internasional mengenai prinsip dan nilai-nilai HAM
dan sipil, yang harus dilibatkan di dalam strategi nasional penanggulangan
terorisme.
Urgensi pelibatan dan peluang kontribusi masyarakat sipil dalam strategi
nasional penanggulangan terorisme.
KERENTANAN DAN POTENSI PELANGGARAN HAM DAN HAK-HAK SIPIL DALAM
PENINDAKAN TERORISME DI INDONESIA SAAT INI
2 Shofwan Al-Banna Choiruzzad, Global War on Terror, Securitization and Human Security:
Indonesia s Case, 2010. Diunduh dari http//www.ritsumei.academia.edu/ShofwanAlBannaChoiruzzad/
Diakses 29 Mei 2011.
3 David Rosenfeld dan John Arquilla, What Next for Networks and Netwars? dalam Networks and
Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy (RAND 2001), h. 326.
2
Upaya penindakan terorisme (kontraterorisme) yang dijalankan pemerintah Indonesia
melalui instrumen represif melalui kerangka penegakan hukum dipandang membawa implikasi
pelanggaran HAM oleh pihak-pihak tertentu. Komnas HAM, misalnya, baru-baru ini menduga
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam pemenuhan hak-hak tahanan tersangka teroris
selama di dalam penjara.4 Selain itu, insiden jatuhnya korban sipil dalam penyergapan Densus
88 di Sukoharjo5 baru-baru ini dipandang oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) sebagai salah satu contoh pelanggaran HAM yang mengatasnamakan aksi
kontraterorisme. 6 Berdasarkan catatan Kontras, di sepanjang tahun 2010 saja, sudah terdapat
lebih dari 10 aksi pelanggaran HAM atas nama terorisme.7
Dalam sebuah sesi temu-dengar dengan DPR pada tahun 2010, Komnas HAM
menyatakan bahwa sebagian besar operasi penyergapan yang dilakukan oleh kepolisian telah
melanggar HAM.8 Menurut Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo, penyergapan yang
dilakukan pasukan antiteror kepolisian tidak merepresentasikan prinsip perlindungan HAM. Ia
menyebutkan bahwa Komnas HAM menemukan bahwa polisi sering menggunakan teknikteknik interogasi yang mengandung kekerasan terhadap tersangka teroris, yang melanggar
Konvensi Anti-Penyiksaan PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sementara itu, Ketua
Komnas HAM, Ifdhal Kasim menyatakan bahwa baik pemerintah maupun pihak kepolisian tidak
menanggapi berbagai laporan terkait dengan investigasi yang mengandung unsur kekerasan
sebagaimana mandat undang-undang.9
Sementara itu, dalam kajiannya tentang dampak sekuritisasi terorisme terhadap
keamanan manusia, Shofwan al-Banna menemukan bahwa terdapat dampak-dampak langsung
pelanggaran HAM yang dibawa oleh kampanye perang global melawan terorisme yang hingga
derajat tertentu juga mempengaruhi penindakan terorisme di Indonesia. Berbagai insiden
pelanggaran tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: 10
Siwi Tri Puji B, Komnas HAM Lacak Pelanggaran HAM Terhadap Tahanan Terorisme , Sabtu, 19
February 2011, dalamhttp://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/11/02/18/164765komnas-ham-lacak- pelanggaran-ham-terhadap-tahanan-terorisme. Diakses 29 Mei 2011.
5 Sekitar pukul 01.30 tanggal 13 Mei 2011, Densus 88 Anti Teror terlibat aksi baku tembak dengan
dua orang tersangka teroris, yakni Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto di Jalan Palagan Tentara Pelajar,
Dusun Dukuh RT 2/RW III, Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pelaku pada akhirnya
dilumpuhkan Densus dan tewas di tempat kejadian. Namun, dalam aksi itu, seorang pedagang angkringan
turut tewas terkena peluru nyasar. Polisi mengatakan bahwa korban yang bernama Nur Iman tewas
akibat peluru dari senjata api milik kedua tersangka teroris. Kontras Nilai Insiden Sukoharjo
Pelanggaran HAM , Sabtu, 14 Mei 2011, dalam www.tempointeraktif.com/.../2011/.../14/brk,20110514334513,id.html. Diakses 29 Mei 2011.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Commission: Most antiterrorism raids violate human rights, The Jakarta Post, 06/10/2010 5:52
PM,http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/10/commission-most-antiterrorism-raids-violatehuman-rights.html. Diakses 29 Mei 2011.
9 Ibid.
10 Shofwan al-Banna, Loc. cit.
4
3
Tabel 1. Berbagai Insiden Pelanggaran HAM sebagai Dampak Langsung
dari Perang Global melawan Terorisme di Indonesia
Kategori
Penangkapan/
Penculikan
Korban
Sahl (guru agama di
Poso)
Joko Wibowo (aktivis)
Syaifudin Umar
(aktivis)
150 aktivis diculik
Salah tangkap
Jejen Ahmad Jaelani
dan
Fahrudin
Guru agama di Poso
Kekerasan
oleh aparat
negara
Heri Sutopo (warga
biasa)
15 penduduk sipil (4
di antaranya anakanak)
Munajid
Yusron Mahmudi
Deskripsi
Ditangkap di Poso, dituduh terkait jejaring
teroris
Ditangkap tanpa adanya dokumen yang
lengkap
Diculik pada tanggal 4 Agustus 2004.
Ditemukan dalam kondisi mental yang
buruk, menurutnya akibat penyiksaan.
Polisi menyebutnya mengalami
kecelakaan.
Dituduh sebagai teroris, ditangkap tanpa
dokumen yang lengkap.
Sumber Data
Sinar Harapan,
9 Februari 2003
Suara Merdeka,
20 Januari 2008
Republika,
31 Agustus 2004
Ditangkap karena memiliki wajah yang
mirip dengan Dr. Azahari. Akhirnya
dilepaskan namun tidak pernah ada
kompensasi.
Ditangkap karena dituduh sebagai teroris.
Pada akhirnya dilepaskan karena salah
tangkap, namun tidak ada kompensasi.
Ditangkap dan dipaksa memberikan
informasi. Mengklaim diri telah dipukuli
berulang-ulang.
Densus 88 menyerang desa untuk
memburu teroris,
Liputan 6,
14 November
2005
Dibunuh di luar prosedur.
Tempo
Interaktif, 26
Maret 2007
Dituduh sebagai teroris. Ditembak dalam
jarak dekat di depan anak-anaknya.
Republika,
31 Agustus 2004
www.tempointe
raktif.com
22 Januari 2007
Sumber: Shofwan al-Banna, 2010
Sementara itu, data Kontras menyebutkan berbagai pelanggaran HAM dalam
penanganan kasus terorisme pada tahun 2010 sebagai berikut: 11
11 Kontras dan Koalisi Reformasi Polri, Peringatan Hari Bhayangkara Ke-64 Evaluasi dan Harapan
Masyarakat
Sipil
Menuju
Polri
yang
Demokratis
dan
Akuntabel,
http://www.kontras.org/data/Paper%20Hari%20Polri%20ke-64.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
4
Tabel 2. Insiden Pelanggaran HAM dalam Penanganan Kasus Terorisme 2010/Kontras
Penyergapan
Aceh (dilakukan pada
medio Februari April
2010)
Sumatera Utara (12
April, Medan)
Proses Penangkapan
Umumnya tidak ada perlawanan
yang berarti dari para tersangka.
Pihak kepolisian sering
melakukan operasi keamanan
terorisme tanpa membawa surat
penangkapan dan penahanan
Ada kejadian penembakan
(peluru nyasar) yang
mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa (bukan teroris) di
Lamkabeau
Dalam penggerebekan di
(kawasan Beurawe, Banda Aceh),
seorang tersangka ditembak
hingga mati, namun tidak
ditemukan adanya barang bukti
Temuan Bukti
Di dalam kebanyakan dari
operasi keamanan
terorisme di Aceh tidak
ditemukan adanya barang
bukti, kecuali di Jantho,
Lamkabeau, dan Leupang
(senjata api dan obatobatan)
Beberapa orang ditahan dalam operasi
keamanan. Satu orang terluka di bagian
tangan.
Ditemukan peta sejumlah
kota besar di wilayah
Sumatera
Seorang mati dan dua orang tersangka
terorisme ditahan. Diduga kuat adanya
perlawanan dari salah seorang tersangka,
sehingga mengakibatkan kematian
Sepucuk pistol
revolver
5
Jawa Barat - (19 Maret
) Sumedang - (6 Mei)
Bekasi - (13 Mei)
Cikampek
Operasi keamanan di Sumedang dilakukan
tanpa adanya perlawanan dari para
tersangka
Operasi keamanan di Bekasi dilakukan
tanpa perlawanan dari para tersangka.
Mereka ditahan dan dilepaskan pada tanggal
13 Mei
Tidak ada barang bukti
yang ditemukan kecuali di
Cikampek (senjata api
jenis revolver)
Operasi keamanan di Cikampek
mengakibatkan dua orang tewas. Para saksi
mata yang melihat menyatakan polisi
langsung tembak ditempat, sedangkan pihak
kepolisian menyatakan para tersangka
melakukan perlawanan
Jakarta : - (6 Mei) :
Pejaten Pasar Minggu,
Jakarta Selatan dan di
hotel Sofyan - (13 Mei)
Cawang
Kedua operasi yang dilakukan di hari yang
sama tidak mendapatkan perlawanan dari
para tersangka. Baik dalam kedua operasi
ini, pihak kepolisian tidak membawa surat
penangkapan. Mereka ditahan dan
kemudian dilepaskan pada tanggal 13 Mei
2010
Sedangkan operasi keamanan yang
dilakukan di Cawang menewaskan 3 orang
(tembak di tempat)
Jawa Tengah - (13
Mei) Sukoharjo, Solo (17 Mei) Solo
Baik di dua tempat operasi keamanan,
diterapkan model operasi penggerebekan
dan semua tersangka ditahan
Operasi keamanan di
Pasar Minggu dan Hotel
Sofyan tidak ditemukan
adanya barang bukti
Sedangkan operasi
keamanan di Cawang
ditemukan ak 47 dan M 16
dalam jumlah besar
Ditemukan barang bukti
senapan, rompi anti
peluru, CD, ratusan peluru
berkaliber (Sukoharjo)
SepErangkat komputer
dan kepingan CD.
Sumber: Biro Litbang Kontras, 2010
Sementara itu, laporan terkini dari Imparsial menunjukkan bahwa salah tangkap yang
dilakukan polisi dalam penanganan terorisme jauh lebih tinggi dibandingkan dengan salah
tangkap dalam kasus-kasus lain. Menurut lembaga tersebut, hal ini terjadi karena para
tersangka tersebut seringkali ditembak mati tanpa ada klarifikasi.12 Menurut al-Banna, sejauh
ini tidak ada upaya rehabilitasi terhadap para korban salah tangkap. Lebih jauh lagi,
menurutnya langkah-langkah khusus yang dijalankan oleh TNI dan Polri telah membawa
12
Ibid.
6
dampak tidak langsung atau dampak strategis, yakni terciptanya iklim ketakutan di masyarakat,
terutama di kalangan masyarakat Muslim.13
III.
INTERNALISASI PRINSIP DAN NILAI-NILAI HAM DAN HAK-HAK SIPIL DALAM
STRATEGI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA
3.1
Dasar Hukum bagi Internalisasi Prinsip dan Nilai-Nilai HAM dan Hak-Hak Sipil
3.1.1 Kovenan Internasional
Kovenan internasional utama yang berbicara tentang perlindungan hak asasi manusia,
khususnya hak-hak sipil, adalah Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik
(KIHS) atau International Convention on Civil and Political Rights. Kovenan ini telah diratifikasi
oleh Indonesia pada tahun 2005.14 Dengan demikian, produk hukum internasional tersebut
telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia sehingga pemerintah Indonesia terikat
untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah KIHS.15 Di sisi lain, setiap orang yang
tinggal di dalam wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan
dan perlindungan atas hak-hak asasinya yang tertuang dalam KIHS. Penghormatan dan
perlindungan ini wajib diberikan oleh Negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, juga asal-usul kebangsaan
atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.16
KIHS sendiri memuat 24 (dua puluh empat) hak-hak dasar.17 Hak-hak dasar yang
berhubungan dengan penanggulangan, khususnya penindakan terorisme, adalah sebagai
berikut18
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 6 Hak untuk hidup.
Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi.
Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya.
Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut.
Dalam Pasal 4 Kovenan ini, dinyatakan pula bahwa dalam keadaan darurat yang
mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi,
Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka jika sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut. Pasal ini
Al-Banna, Loc. cit.
A Hakim G Nusantara, Keadaan Hak-Hak Sipil dan Politik Indonesia: Satu Dasa Warsa Reformasi.
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
13
14
7
dapat dijadikan landasan untuk mengurangi atau membatasi hak-hak sipil warga negara dalam
memerangi terorisme yang didefinisikan sebagai salah satu situasi darurat yang mengancam
kehidupan dan keberadaan negara.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa KIHS menyatakan bahwa langkah-langkah tersebut
tidak boleh bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum
internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. Juga ditegaskan bahwa bahkan dalam
situasi darurat sekalipun, pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, dan 15 sama sekali tidak
dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.19
Selain KIHS, terdapat Pula Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau Perlakuan atau
Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat atau The United
Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (1987) yang mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya untuk menjalankan
langkah-langkah yang efektif untuk menghindarkan tindakan penyiksaan apapun di wilayah-
wilayah yang berada di dalam yurisdiksi mereka (Pasal 2). Konvensi ini juga mewajibkan
Negara untuk sesegera mungkin menyelidiki tuduhan penyiksaan (Pasal 12 dan 13) dan bahwa
korban penyiksaan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi. Konvensi ini juga melarang
penggunaan barang bukti yang didapatkan melalui penyiksaan di dalam pengadilan (Pasal 15).
Di bawah Konvensi ini, Negara pihak juga wajib menghindari tindakan-tindakan yang kejam,
tidak manusiawi, atau perlakuan dan hukuman yang merendahkan (Artikel 16) dan juga wajib
menyelidiki tuduhan akan terjadinya tindakan-tindakan tersebut di wilayah yurisdiksi
mereka.20
3.1.2 Peraturan Perundang-Undangan Nasional
Kedua Kovenan dan Konvensi di atas telah diratifikasi oleh Indonesia, yaitu melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan
Politik)21 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia).22 Dengan demikian, Negara Indonesia
melalui pemerintahnya terikat oleh kewajiban untuk melindungi hak-hak asasi masyarakatnya,
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/07/UU-No-5-Thn-1998-ttgRatifikasi-CAT.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
21
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/07/UU-No-12-Thn-2005-ttgRatifikasi-ICCPR.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
22 Loc. cit.
19
20
8
khususnya hak-hak sipil, dari pelanggaran yang mungkin terjadi atas nama penanggulangan
terorisme.
Di tingkat nasional, Indonesia pun telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
yakni UU No. 39 Tahun 1999. Sesungguhnya, sebagian dari substansi KIHSP yang relevan
dengan penanggulangan terorisme telah dimasukan ke dalam UU HAM, misalnya hak hidup
(pasal 9), hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat (pasal 33 ayat 1), hak atas pemeriksaan adil dan proses
hukum yang semestinya (pasal 17, pasal 18 (1) (2) (3) (4) (5)), dan hak bebas dari hukum
pidana yang berlaku surut (pasal 18 (2)).23
Selain itu, pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar
panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD
1945. Dengan demikian HAM tidak lagi merupakan semata-mata hak moral dan hak atas dasar
UU, tetapi sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang harus dipatuhi oleh
pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.24
Selain berbagai aturan di tataran normatif yang telah diuraikan di atas, pemerintah
dengan dukungan DPR juga telah mendirikan lembaga-lembaga independen yang dimaksudkan
untuk memajukan dan melindungi HAM, termasuk hak-hak sipil dan politik, di antaranya adalah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, baik pada tataran norma hukum maupun dengan kehadiran lembaga-
lembaga independen tersebut, sesungguhnya Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan
kelembagaan yang memadai sebagai dasar untuk menghormati dan melindungi HAM, termasuk
hak-hak sipil dan politik.
3.2
Urgensi Penerapan Prinsip-Prinsip HAM dalam Upaya Penanggulangan Terorisme
Kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti Kejahatan
Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa.25 Di bawah UU Anti
Kejahatan Terorisme itu, polisi, dengan mengesampingkan perlindungan Hak Sipil yang di atur
di bawah hukum acara pidana biasa, dapat dengan mudah melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jejaring
dan aktivitas terorisme.
Menurut A. Hakim G. Nusantara, pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak
buruk bagi hak-hak sipil mereka yang meskipun belum tentu bersalah, tapi karena dicurigai
mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme harus mengalami penangkapan,
A. Hakim G. Nusantara, Loc. cit.
Ibid.
25 Ibid.
23
24
9
penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini menurutnya jelas
memperburuk kondisi hak-hak sipil dan politik. Berkenaan dengan itu, Komnas HAM bersama
Komnas-HAM se-Asia Pasifik mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam
memberantas kejahatan terorisme, namun dengan tetap mengindahkan Hukum HAM.26
Senada dengan pendapat tersebut, Kontras juga berpandangan bahwa penanganan
terorisme tetap harus mempertimbangkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia,
khususnya hak-hak asasi yang dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak-hak asasi yang
tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun). Ketentuan non-derogable rights ini
sudah dijamin dalam Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28I), Kovenan Hak-Hak Sipil Politik (Pasal 4)
yang sudah diratifikasi Indonesia, dan Perkap HAM No. 8/2009.27 s
Ketentuan non-derogable rights tersebut membawa implikasi bahwa seburuk apapun
situasinya, Polri harus menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, khususnya tujuh hak asasi yang
tersebut di atas. Penghormatan atas hak untuk hidup, tidak disiksa dan ditahan secara
sewenang-wenang adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi. Kewajiban untuk tidak
mengkompromikan non-derogable rights ini telah dinyatakan dalam konstitusi kita UUD 1945
Pasal 28I, UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik. Polri sendiri telah mereformulasi ulang komitmen dan kewajiban HAM melalui Perkap
No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.28
Berdasarkan keberadaan berbagai produk hukum yang telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa urgensi pengindahan prinsip dan nilai-nilai HAM oleh para pemegang
wewenang penindakan terorisme secara legal-normatif sudah tidak perlu diperdebatkan lagi
karena dasar hukumnya sudah jelas, baik di level internasional maupun di tingkat nasional.
Penetapan terorisme sebagai tindak kejahatan khusus yang mensyaratkan dikuranginya
beberapa jenis hak-hak sipil secara legal tetap tidak boleh mengorbankan non-derogable rights
yang telah disebutkan di atas jika tidak ingin disebut melanggar hukum. Akan tetapi, urgensi
pengindahan prinsip dan nilai-nilai HAM dan hak-hak sipil dalam strategi penanggulangan
terorisme tidak hanya memiliki logika normatif, tetapi juga logika strategis demi efektvitas
penanggulangan terorisme itu sendiri.
Selama ini, paradigma yang dianut oleh penegak hukum berkenaan dengan penerapan
prinsip-prinsip HAM dan hak-hak sipil dalam penindakan terorisme kurang kondusif bagi
penegakkan HAM. Pengindahan prinsip-prinsip HAM dalam penindakan teroris dianggap
memberatkan proses penyergapan, penangkapan, dan penahanan tersangka teroris. Melihat
Ibid.
Kontras, Loc. cit.
28 Ibid.
26
27
10
banyaknya tersangka teroris yang tidak ditangkap hidup-hidup, timbul dugaan bahwa
pandangan the only good terrorist is a dead terrorist masih dianut di kalangan kepolisian,
khususnya Densus 88. Agar prinsip-prinsip HAM, khususnya hak-hak sipil, dapat ditegakkan
dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, paradigma tersebut perlu diubah. Sesungguhnya
penegakkan prinsip-prinsip HAM dan hak-hak sipil politik dalam penindakan terorisme justru
dapat mempermudah kerja para penegak hukum dalam jangka panjang karena hal tersebut
memberi mereka perlindungan hukum dalam menjalankan tugas mereka, melindungi mereka
dari tuntutan hukum yang dapat muncul kemudian dari tersangka atau keluarga tersangka
teroris tersebut.
Selain itu, efektivitas penindakan terorisme harus dilihat dari kacamata perlawanan
terhadap terorisme dalam jangka panjang, tidak hanya dari headcount teroris yang tertangkap
(yang seringkali menjadi tumpuan ego kepolisian). Tidak diindahkannya atau bahkan
dilanggarnya HAM dalam penindakan teroris justru akan merugikan kepolisian sendiri, dan
pada gilirannya pemerintah Indonesia, karena hal tersebut akan menurunkan legitimasi Polri
dan meningkatkan legitimasi teroris di mata masyarakat yang bersimpati, bukan pada
kekerasan yang mereka lakukan, tetapi pada cause yang mereka angkat dalam kampanye
mereka. Dalam jangka panjang, sumber daya yang diperebutkan oleh pemerintah dan teroris
adalah legitimasi publik29 dan hal ini harus selalu diingat oleh pihak-pihak yang ditugasi
menanggulangi terorisme. Pelanggaran HAM oleh polisi hanya akan memberi amunisi tambahan
bagi para teroris untuk menarik simpati masyarakat. Dengan demikian, penegakkan prinsipprinsip dan nilai-nilai HAM, khususnya hak-hak sipil, dalam langkah-langkah penindakan
terorisme berperan strategis dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia dalam
jangka panjang sehingga prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut harus dimasukkan sebagai
bagian integral dalam strategi nasional penanggulangan terorisme di Indonesia.
IV.
PELIBATAN
MASYARAKAT
SIPIL
DALAM
STRATEGI
PENANGGULANGAN
TERORISME DI INDONESIA: POTENSI DAN PELUANG KONTRIBUSI
Negara Hukum Demokratis (NHD) Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam
UUD 1945 mensyaratkan hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan mampu
melakukan kontrol terhadap perilaku Negara30, termasuk dalam penanggulangan terorisme.
Keterlibatan masyarakat sipil harusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mencegah
dan menangani terorisme karena pada hakikatnya, terorisme, sebagaimana tindak kejahatan
lainnya, muncul dari masyarakat dan harus ditangani dan dilawan oleh unsur-unsur masyarakat
29 Lihat Peter R. Neumann dan MLR Smith, The Strategy of Terrorism: How It Works and Why It Fails
(Oxon: Routlegde, 2008).
30 A. Hakim G. Nusantara, Loc. cit.
11
itu sendiri. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dapat membantu meningkatkan
legitimasi negara dalam upaya penanggulangan terorisme.
4.1
Definisi Masyarakat Sipil
Definisi masyarakat sipil beragam dan memiliki spektrum yang luas. Sebuah definisi
dari Civicus menyebut masyarakat sipil sebagai berikut:
Sebuah arena, yang berlainan dari negara dan pasar, di mana anggota masyarakat
berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan,
menyatakan, dan mendorong nilai-nilai, hak -hak dan kepentingankepentinganmereka. 31
Menurut A. Hakim G. Nusantara, konsep masyarakat sipil setidaknya mengacu pada dua
situasi dan kondisi yang berbeda. Pertama, kehadiran masyarakat sipil termanifestasikan dalam
bentuk lembaga-lembaga sosial yang kuat dan mempunyai akar yang mendalam dalam
masyarakat sehingga mampu melawan kontrol rezim-rezim otoriter. Kedua, masyarakat sipil itu
hadir dalam wujud suatu jejaring organisasi-organisasi sosial yang rapat yang memberikan
model sivilitas, kerjasama dan toleransi serta menciptakan hubungan-hubungan antara bagianbagian masyarakat yang mendorong partisipasi, civic trust, dan kerjasama. Hal inilah yang
seringkali disebut sebagai modal sosial. Sayangnya, menurut Nusantara, kedua bentuk
masyarakat sipil tersebut belum kita jumpai di Indonesia.32
Sementara itu, menurut Eric Rosand, masyarakat sipil terdiri dari asosiasi-asosiasi
dengan jangkauan yang luas, yang mencakup partai-partai politik, serikat-serikat perdagangan,
badan-badan profesional, yayasan-yayasan privat, institusi-institusi penelitian dan pendidikan,
lembaga pemikir (think-tanks), organisasi-organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, serta
kelompok-kelompok perempuan, HAM, dan lingkungan. 33
4.2
Peran Strategis dan Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Sipil dalam
Upaya Penanggulangan Terorisme
Menurut Rosand, masyarakat sipil yang kuat dapat berperan secara strategis dalam
melindungi masyarakat lokal, mencegah dan membendung ideologi radikal, dan membantu
mengatasi kekerasan politik. Dalam hal ini, masyarakat sipil berperan dalam menyuarakan
31 Civicus, Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Masyarakat Sipil di Indonesia, 2002, diunduh dari
www.civicus.org/new/media/indonesia.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
32 Ibid.
33 Eric Rosand,
The Role of Civil Society in Counterterrorism: Presentation to the EU s
Committee ,
Counter Terrorism
14
Oktober
2009,
diunduh
dari
http://www.globalct.org/images/content/pdf/Remarks/09Oct14_COTER_CIVILSOCIETY_AM.pdf.
Diakses 29 Mei 2011.
12
aspirasi berbagai kelompok sosial yang beragam dan menyediakan saluran berekspresi bagi
kaum yang terpinggirkan, serta dapat mempromosikan budaya toleransi dan pluralisme. 34
Di level yang lebih praktis, kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat berkontribusi
dengan cara membangun dukungan lokal untuk membantu penanggulangan terorisme, yaitu
melalui pendidikan masyarakat, melobi pemerintah untuk mengadopsi respon terhadap
terorisme yang bersifat holistik dan menghormati HAM, mengawasi implementasi langkahlangkah penanggulangan terorisme (kontraterorisme), memberi bantuan dan dukungan
terhadap korban, mempromosikan pentingnya keamanan dan perdamaian, serta memberikan
pelatihan pembangunan kapasitas.35
Selain itu, masyarakat sipil juga dapat membantu negara dalam meningkatkan
kesadaran akan ancaman dan dampak dari serangan teroris terhadap masyarakat lokal serta
dalam membangun dan memperdalam dukungan publik terhadap langkah-langkah pemerintah
untuk menanggulangi terorisme. Dukungan publik ini merupakan kunci bagi efektivitas strategi
penanggulangan terorisme dalam jangka panjang. Asosiasi-asosiasi korban bom juga dapat
memberi kontribusi penting dengan mengutuk aksi-aksi teroris dan memberi wajah manusia
dalam kampanye melawan terorisme serta dengan meningkatkan kesadaran akan human cost
dari terorisme.36
Dalam konteks Indonesia, masyarakat sipil yang dapat berkontribusi dalam upaya
penanggulangan terorisme saat ini antara lain terdiri dari lembaga-lembaga yang mengawasi
implementasi kebijakan kontraterorisme oleh Negara (misalnya berbagai LSM yang bergerak
dalam isu HAM), lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu-isu yang relevan dengan kondisikondisi yang dapat menyebabkan munculnya terorisme, misalnya kondisi sosial-ekonomi
masyarakat dan pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, dan institusi-institusi pendidikan (misalnya pesantren-pesantren) yang dapat
membantu meredam ideologi ekstrim. Selain itu, komunitas-komunitas berbasis keluarga juga
dapat membantu mengawasi lingkungannya dan mencegah anggotanya menembus batas
radikal (radical treshold) dan kemudian batas kekerasan (violence treshold) sehingga dapat
meningkatkan ketahanan masyarakat dari serangan dan penyebaran terorisme. Yang tidak
kalah penting adalah peran dari asosiasi-asosiasi korban atau penyintas serangan teroris
(misalnya Asosiasi Korban Bom Indonesia atau ASKOBI) yang dapat memberikan bantuan dan
dukungan terhadap korban terorisme dan mengkampanyekan human cost dari terorisme
seperti telah dijelaskan di atas. Asosiasi asosiasi ini dapat berperan signifikan dalam
menyampaikan pesan bahwa terorisme bukanlah jalan yang produktif dan efektif untuk
Ibid.
Ibid.
36 Ibid.
34
35
13
mencapai tujuan-tujuan politik dan menunjukkan bahwa human cost dari strategi ini tidak
dapat dibenarkan.
Di luar keterlibatan strategis di atas, ada juga keterlibatan kelompok masyarakat sipil
yang sifatnya lebih langsung, lebih praktis, dan lebih hands-on dan berkaitan dengan teroris
itu sendiri, misalnya upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian yang didirikan
oleh Noor Huda Ismail dan bertujuan untuk menjembatani reintegrasi mereka yang pernah
terlibat dalam aksi terorisme ke dalam kehidupan masyarakat yang normal. Konsep yang
mereka usung bukanlah deradikalisasi, melainkan disengagement from violence, namun upayaupaya mereka sering dipandang sebagai bagian dari upaya deradikalisasi yang juga menjadi
tekanan pemerintah Indonesia.37
37
http://www.prasastiperdamaian.com/about/
14
Meskipun memiliki peran strategis yang penting dan potensi kontribusi yang besar,
masyarakat sipil juga menghadapi tantangan-tantangan dalam keterlibatan mereka dalam
upaya penanggulangan terorisme. Menurut Eric Rosand, tantangan-tantangan yang dihadapi
oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil terbagi ke dalam dua kategori. Yang pertama adalah
kurangnya kapasitas, sumber daya, dan keahlian kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam
isu penanggulangan terorisme. Yang kedua adalah kurangnya ruang politik yang menyebabkan
terbatasnya ruang gerak mereka (freedom to engage). Menurutnya pula, kemampuan
masyarakat sipil untuk terlibat dalam isu ini berhubungan dengan terpenuhnya berbagai
kebebasan dasar, seperti kebebasan untuk mendapatkan informasi, kebebasan untuk
berasosiasi, dan kebebasan untuk emncari dana, yang harus dipenuhi oleh Negara.38
Kecenderungan pemerintah di berbagai negara untuk memasukkan isu penanggulangan
terorisme ke dalam ranah eksklusif milik pemerintah karena unsur keamanannya yang tinggi
telah mengurangi kapabilitas masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi. Dalam kasuskasus tertentu, isu terorisme bahkan digunakan untuk membatasi ruang gerak masyarakat sipil
dan lawan-lawan politik pemerintah, misalnya dengan menerapkan legislasi kontraterorisme
yang ekspansif untuk membatasi kebebasan berserikat, berbicara, dan berkumpul. Di tingkat
yang lebih halus, pemerintah dapat membatasi pendanaan kelompok-kelompok masyarakat
sipil untuk membatasi ruang gerak mereka.
Hal-hal yang dapat mengurangi tingkat keterlibatan dan kontribusi masyarakat sipil di
atas harus dihindari oleh pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil adalah aset bagi pemerintah
karena keterlibatan mereka dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia akan
meningkatkan legitimasi pemerintah dan kebijakan-kebijakan kontraterornya. Sebagaimana
dikemukakan Rosand, keterlibatan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa
pemerintah mengadopsi pendekatan penanggulangan terorisme yang holistik di mana
masyarakat sipil menekankan pendekatan yang lebih soft dan tidak militeristik, serta yang
lebih mengakar-rumput.39
4.3
Rekomendasi untuk Meningkatkan Keterlibatan dan Kontribusi Masyarakat Sipil
Sebagaimana rekomendasi Rosand kepada PBB mengenai keterlibatan masyarakat sipil
dari upaya penanggulangan terorisme, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kontribusi masyarakat sipil dalam hal ini, yaitu sebagai berikut:
1. Memperkuat kapasitas teknis dan keahilan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil
untuk dapat berkontribusi aktif dalam isu-isu yang berkaitan dengan penanggulangan
terorisme.
38
39
Rosand, Loc. cit.
Ibid.
15
2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran kelompok-kelompok masyarakat sipil akan
ancaman terorisme dan akan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
menanganinya dengan efektif, namun tetap dalam kerangka HAM dan hukum.
3. Meningkatkan dukungan negara terhadap keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat
sipil dalam diskusi-diskusi mengenai upaya penanggulangan terorisme di tingkat
nasional, regional, dan lokal.
4. Meningkatkan dukungan negara terhadap pemberian informasi dan ruang gerak pada
kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sebagaimana dikemukakan Rosang, dengan
berbagi informasi dengan dan melibatkan masyarakat sipil, pemerintah sebenarnya
meningkatkan keamanannya sendiri.
5. Mendukung inkorporasi isu penanggulangan terorisme ke dalam cakupan kerja
berbagai kelompok sipil yang telah ada pada saat ini.
V.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelibatan prinsip dan nilai-nilai HAM dan
hak-hak sipil dalam strategi nasional penanggulangan terorisme di Indonesia memiliki dasar
hukum yang jelas dan urgensi yang tinggi jika melihat rekam jejak pelanggaran HAM di
Indonesia oleh aparat negara, khususnya dengan mengatasnamakan keamanan negara. Di
samping memiliki logika normatif yang jelas, pelibatan dan penegakkan prinsip dan standar
HAM juga memiliki logika strategis untuk mengefektifkan upaya penanggulangan terorisme
dalam jangka panjang melalui peningkatan legitimasi Negara dan pemerntah di mata publik.
Dalam hal penanggulangan terorisme, publik menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Masyarakat sipil sebagai perwujudan dari nilai-nilai civic publik adalah komponen penting dari
upaya tersebut agar upaya penanggulangan terorisme dapat efektif dalam jangka panjang.
Masyarakat sipil dapat berkontribusi pada upaya penanggulangan terorisme dalam berbagai
cara, antara lain dengan mengawasi penerapan kebijakan kontraterorisme pemerintah agar
sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai HAM, mendorong pemerintah untuk mengadopsi respon
yang holistik dalam menanggulangi terorisme dan membantu pemerintah untuk melaksanakan
penanggulangan terorisme yang bersifat soft dan mengakar-rumput, misalnya pendidikan
masyarakat dan deradikalisasi. Peran masyarakat sipil yang tidak kalah penting adalah
memberi dukungan dan bantuan pada korban terorisme, mendukung kampanye antiterorisme,
dan memperkuat ketahanan komunitas lokal dari serangan terorisme serta membantu
peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat agar dapat berhenti menjadi breeding ground
bagi terorisme maupun bagi penyebaran ideologi ekstrim yang dapat mengarah pada terorisme
dan jenis-jenis kekerasan lainnya.
@@@
16