KAPITALISME ERSATZ dan PENDIDKAN docx

KAPITALISME ERSATZ dan PENDIDKAN
Menurut Yoshihara Kunio dalam bukunya “the rise of Ersatz Capitalisme in
Southeast Asia”, Kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara adalah Kapitalisme Erzat.
Kata Erzat itu sendiri berasal dari bahasa Jerman yang berarti “substitusi” atau “pengganti”,
yang kemudian dipakai dalam bahasa Inggris dengan pengertian yang sedikit berbeda, yakni
“pengganti yang lebih inferior. Kapitalisme yang demikian menurut Yohihara adalah
kapitalisme dinamis yang menggejala di Eropa pada abad ke-19 dan berhasil membawa
kawasan ini dari sistem feodal dan masuk kedalam Kapitalisme Industri sehingga melahirkan
kemajuan tegnologi dan ekonomi yang luar biasa.
Ada dua tesis Yoshihara yang kemudian menyebabkan Kapitalisme itu menjadi
ersatz. Pertama, campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga menggangu prinsip
persaingan pasar bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Ini menimbulkan
tumbuhnya pencari rente di kalangan birokrat pemerintah, sehingga wiraswastawan
sesungguhnya tidak dapat berkembang. Bukan berarti bahwa disini menetang campur tangan
pemerintah, hanya ini sudah terjadi berlebihan, ini bisa kita liat dari banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan pihak birokat dengan swasta, yang sudah menjadi penyebab kasus korupsi
terbanyak di Indonesia.
Kedua, Kapitalisme yang tidak didasarkan oleh perkembangan tegnologi yang
memadai. Akibatnya, tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Padahal, menurut Yoshihara,
industrialisasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk sebuah pembangunan yang
mandiri. Hal ini juga bisa kita lihat di Indonesia bahwa Kapitalisme kebanyakan hanya

bergerak dibidang jasa. Kalaupun bergerak dibidang industri, dia hanya berperan sebagai
“kapitalisme komprador (agen industri manufaktur asing)”. Hal ini juga sangat kontras kita
lihat dengan banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional yang karena tingkat
penguasaan tegnologinya, akhirnya mampu memonopoli perdagangan internasional bahkan
penetrasinya juga sudah masuk ke pasar dalam negri dari negara yang mau melakukan
industrialisasi.
Lalu apa kaitannya dengan pendidikan ?
mungkin dalam tulisan ini kita perlu menaggalkan jubah perdebatan anti-kapitalisme dulu.
Tapi mari kita berbicara mengenai bagaimana membangun kapitalisme yang tulen, atau
kapitalisme yang dinamis.
Jika kita mengacu pada dua tesis yang diajukan oleh yoshihara diatas, maka saya
menyimpulkan bahwa Indonesia tidak akan pernah mencapai kapitalisme yang dinamis atau
tulen. Kita ambil saja contoh dalam pendidikan pertama, mungkin agak sedikit berbeda tesis
pertama yoshihara bahwa pemerintah terlalu ikut campur tangan. Realitas yang terjadi di
Indonesia hari ini adalah bahwa pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan (cikal bakal
lahirnya tegnologi), bahkan cendrung sebagai penyedia karpet merah bagi komersialisasi
pendidikan. Ini terlihat dari serangkaian aturan yang dikeluarkan pemerintah, dimulai dari
Peraturan Pemerintah (PP) no. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai
Badan Hukum. Konsekuensinya, kampus memiliki otonomi di wilayah akademik sampai
pendanaan. PP ini kemudian berganti wajah, dimana semakin menegaskan lepas tanggung

jawabnya pemerintah lewat UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dimana BHMN-BHMN serta perguruan tinggi yang masih berada dalam masa transisi

perubahaan status memiliki wewenang yang besar untuk mengeksplorasi berbagai sumber
pendanaan pendidikan dengan berbagai kreativitasnya. Faktanya, Undang-Undang ini
melempangkan privatisasi pendidikan melalui pelepasan tanggung jawab pembiayaan untuk
kemudian dibebankan pada masyarakat. Aturan berikutnya adalah UU no.12 tahun 2012
tentang Perguruan Tinggi, dimana sebagian isinya sama dimana perguruan tinggi diberikan
otonomi baik akademik maupun pendanaan. Hanya saja ada bentuk yang sedikit berbeda dari
UU ini adalah mengenai subsidi silang (yang kaya membantu yang miskin) yang kemudian
kita kenal dengan UKT.
Jika dibaca lebih jauh sebenarnya, persoalan otonomi di wilayah pendanaan
operasionalisasi pendidikan memuncullkan problem baru. Negara tidak sepenuhnya
memberikan subsidi pembiyaan pendidikan. Negara lepas tangan dan perguruan tinggi
dipaksa untuk mencari dana sendiri. Inilah yang kemudian menjadi pintu komersialisasi. Dan
lebih jauh lagi bahwa ada agenda Kapitalisme Internasional yang hendak ikut bercampur
tangan dalam pendidikan kita, seperti Agreement Establising the World Trade Organization
1994, General Agreements on Traffics and Services (GATS) oleh WTO tentang 12 sektor jasa
yang dilebarilisasi, dimana pendidikan termasuk di dalamnya, kemudian proyek World Bank
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE) yang disahkan 17 april

2010 (lebih lanjutnya baca tulisan Pukul Mundur UKT).
Kembali lagi pada masalah bagaimana membangun kapitalisme Tulen atau dinamis,
jelas bahwa ini tidak akan tercapai apabila pemerintah lepas tanggung jawab. Karena ketika
kita membaca sejarah kapitalisme Eropa, satu-satunya negara yang mencapai proses
Kapitalisme Tulen tanpa campur tangan negara hanyalah negara Inggris.
Selain faktor campur tangan pemerintah, jika kita mengacu pada tesis kedua
Yoshihara. Maka dapat disimpulkan juga bahwa Indonesia tidak akan mencapai kapitalisme
tulen. Alasanya bahwa; pertama, mengacu pada akses pendidikan. Jelas bahwa komersialisasi
pendidikan menyebabkan akses pendidikan kita semakin susah—jangankan menghasilkan
tegnologi baru—maka akan sulit bagi kita untuk melahirkan intelektual-intelektual progresif.
Kedua, anggaran riset yang rendah dan selalu menurun setia tahun. Menurut data yang
dipublikasikan LIPI rasio Litbang terhadap APBN yang dihitung sejak tahun 1969-2009
menunjukkan pola eksposional yang terus menurun bahkan paling buntut diantara negaranegara ASEAN, tahun 2015 nilainya berkisar 0,2 % per PDB. Ketiga, anggaran pendidikan
yang kecil. Pengalokasian anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan yang
manipulatif . Pada awalnya, dari tahun 2003 sampai 2008 pemerintah tidak sanggup (atau
mungkin tidak mau) menganggarkan 20% % dari APBN dan APBD untuk pendidikan.
Namun pada tahun 2007, MK mengeluarkan putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007. Putusan
tersebut sangat mengejutkan, MK memasukkan gaji dan tunjangan pendidikan dalam jaminan
20% anggaran untuk pendidikan dalam APBN dan APBD. Padahal tahun-tahun sebelumnya,
telah dipisahkan antara anggaran untuk pendidikan (dalam hal ini operasional) dengan

gaji/tunjangan pendidik. keempat, Kurikulum yang terus berganti hampir tiap tahun, bahkan
dalam kurikulum yang baru KKNI (Kerangka Kesatuan Nasional Indonesia) hanya mengukur
pendidikan sampaikan tingkatan ahli, bukan pada pendidikan yang berdaya cipta . Ini
terkesan bahwa pendidikan kita seakan-akan hendak menjadikan kita budak, bukan sebagai
pemain dalam kapitalisme global. Kelima, dan masih banyak lagi masalah lainya yang
terlalu kompleks untuk dibahas dalam satu tulisan.