Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan BMK

Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan BMKT di Indonesia
Jujun Kurniawan, M.A.
Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
e-mail: jujun.fib@ugm.ac.id
Disampaikan pada W orkshop Kebijakan Koordinasi Pengelolaan dan Strategi Pemanfaatan
Benda Berharga Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT)
Jakarta, 16—17 Desember 2015

Pendahuluan
Letak Indonesia yang sangat strategis, telah dimanfaatkan sejak dahulu sebagai
jalur pelayaran perdagangan internasional. Salah satu bukti dari ramai dan pentingnya jalur
pelayaran perdagangan di Nusantara ini dapat dibuktikan dengan banyaknya temuantemuan kapal tenggelam di perairan laut Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan dan
Pengendalian Sumber daya Kelautan dan Perikanan pernah memperkirakan terdapat lebih
dari 500 titik kapal tenggelam yang tersebar di seluruh perairan Indonesia (Kompas, 20 April
2013: 12), meskipun sampai saat ini belum diketahui secara pasti data titik kapal tenggelam
di perairan Indonesia yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Keberadaan kapal tenggelam yang berpotensi sebagai data arkeologi dapat
memiliki nilai ilmu pengetahuan, sejarah, dan nilai ekonomi. Benda berharga yang umumnya
berasal dari kapal tenggelam, di samping memiliki potensi ekonomi juga mengandung buktibukti sejarah/arkeologi maritim. Selama ini, perhatian utama pada pengelolaan situs kapal
tenggelam adalah artefaktual berupa keramik. Hal ini dikarenakan benda hasil
pengangkatan asal kapal muatan yang tenggelam, yang berupa keramik, merupakan

temuan yang paling banyak dan dominan. Keramik sebagai benda cagar budaya memiliki
nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, keramik hasil
pengangkatan dari situs kapal tenggelam ini mengandung nilai informasi dan nilai akademis
yang tinggi karena memiliki:
1.

nilai kuantitas: jumlah artefaktual yang ditemukan umumnya banyak sehingga nilai
informasinya akan semakin baik namun, semakin banyak jumlah temuan keramik
dalam jenis dan masa yang sama, maka nilai ekonomisnya akan semakin kecil;

2.

nilai in situ: lokasi penemuan dipastikan asli dan masih pada tempatnya;

3.

nilai otentisitas: pengamatan dari segi bahan, bentuk, dan isi temuan dipastikan asli
bukan imitasi atau modifikasi; dan

4.


nilai integritas: temuan-temuan lain yang berupa non-keramik dapat saling menunjang
atau merupakan suatu perpaduan yang utuh sehingga makna kultural yang dimiliki
dapat disajikan secara utuh

1

Kondisi artefaktual berupa keramik asal kapal yang tenggelam tersebut didukung
oleh lingkungan pengendapannya yang berupa sedimen lumpur dasar laut sehingga
memberikan kondisi artefak yang ter-preservasi dengan sangat baik. Tak jarang temuan
artefak keramik ini secara umum diperoleh dalam bentuk yang utuh dengan permukaan
glasir yang masih sangat baik. Kondisi ideal ini memberikan keuntungan dalam
menginterpretasikan kandungan informasinya.
Dalam hal pengelolaan potensi sumber daya kelautan, keberadaan kapal
tenggelam dalam konteks arkeologis merupakan salah satu aspek yang perlu mendapatkan
perhatian. Keberadaan kapal tenggelam yang berpotensi sebagai data arkeologi dapat
memiliki berbagai nilai, baik ilmu pengetahuan, sejarah, maupun nilai ekonomis. Oleh karena
itu upaya pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam tersebut perlu mendapat
pengawasan yang baik. Bentuk pemanfaatannya pun diupayakan agar tidak memberi
dampak negatif yaitu berupa pemusnahan data sejarah budaya/arkeologi.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia mulai menyadari potensi tinggalan arkeologi
bawah air sejak tahun 1986 setelah terjadi kasus pengangkatan dan pelelangan ilegal
muatan kargo kapal VOC Geldermalsen di perairan Pulau Buaya Riau. Walaupun lokasi
penemuannya berada di wilayah perairan Indonesia, namun seluruh temuan barang dimiliki
oleh pihak asing perorangan. Kemudian disusun suatu regulasi yang saling menguntungkan
antara pemilik wilayah tempat penemuan, pemilik barang, dan pengambil barang. Akan
tetapi, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan hasil dari penjualan tersebut. Dari peristiwa
ini kemudian muncul regulasi-regulasi yang cenderung lebih berorientasi pada aspek nilai
jualnya.

BMKT Sebagai Cagar Budaya
Kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologis bawah air di Indonesia sejauh ini masih
terfokus pada pemanfaatan ekonomis atas barang yang diambil/ditemukan, sedangkan
kepentingan yang lain seperti nilai penting ilmu pengetahuan, kesejarahan, dan
kemanfaatannya untuk masyarakat luas masih kurang diperhatikan. Penggunaan kata
“Benda Berharga” pada istilah Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT)
yang dibuat oleh pemerintah ini pun memberikan peluang untuk memunculkan anggapan
sebagai suatu bentuk ketidaktegasan pengakuan bahwa tinggalan arkeologi bawah air
adalah benda cagar budaya yang oleh karena itu wajib untuk dilestarikan. Koos Siti
Rochmani (2003) dalam tulisannya di Buletin Cagar Budaya menyebutkan bahwa nuansa

nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air sangat menonjol sehingga di Indonesia
tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai “harta karun” daripada benda cagar
budaya.

2

Sehubungan dengan hal tersebut, Hari Untoro Drajat (2002) dan Surya Helmi
(2010) menegaskan bahwa tinggalan arkeologi bawah air termasuk dalam kategori cagar
budaya, maka harus diperlakukan sama dengan warisan budaya lainnya. Pemahaman yang
sama dianut pula oleh masyarakat internasional. Hal ini terlihat dalam Konvensi UNESCO
Tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan bahwa kapalkapal karam dan tinggalan bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar budaya.
Pengertian warisan budaya bawah air (Underwater Cultural Heritage) dalam konvensi ini
adalah:
Pasal 1 – Definisi
Dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan:
1. (a) “Warisan Budaya Bawah Air” berarti semua jejak keberadaan
manusia yang memiliki karakter budaya, sejarah, atau
arkeologis yang sebagian atau keseluruhannya telah berada
di bawah air, secara berkala atau terus-menerus, selama
paling tidak 100 tahun seperti:

(i)

Situs, struktur, bangunan, artefak dan sisa-sisa manusia,
yang berada dalam konteks arkeologis dan alam
mereka;

(ii) Kapal, pesawat udara, kendaraan lain atau bagian dari
muatan kendaraan tersebut atau isi lainnya, yang berada
dalam konteks arkeologis dan alam mereka; dan
(iii) Benda-benda dengan karakter prasejarah.
Sementara itu, Peraturan induk mengenai pengangkatan BMKT di Indonesia ialah
Keppres No. 107 Tahun 2000. Dalam keppres ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
BMKT (Pasal 1, angka 1) adalah: ‘...Benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai
sejarah, budaya, ekonomi dan lainnya’. Tujuh tahun kemudian, keppres tersebut direvisi
menjadi Keppres No. 19 Tahun 2007. Dalam keppres tersebut definisi BMKT pun mengalami
perubahan menjadi sebagai berikut (Pasal 1 angka 1): ‘
Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, yang
selanjutnya disebut BMKT, adalah benda berharga yang memiliki nilai
sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi yang tenggelam di
wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan

landas kontinen Indonesia, paling singkat berumur 50 (lima puluh)
tahun.
Kemudian pada pasal 2 dinyatakan bahwa status BMKT merupakan milik negara.
Keppres No. 19 Tahun 2007 ini disempurnakan lagi pada tahun 2009 menjadi
Keppres No. 12 Tahun 2009. Dalam keppres terbaru ini dilakukan perubahan untuk
memperjelas status BMKT. Jika pada keppres sebelumnya BMKT memiliki status “milik
negara”, maka pada keppres berikutnya diubah menjadi ‘dikuasai negara”. Definisi BMKT
mengalami penyempurnaan bahwa BMKT memiliki unsur-unsur:

3

a. nilainya sangat penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayan bangsa Indonesia;
b. sifatnya memberikan corak khas dan unik;
c. jumlah dan jenisnya sangat terbatas dan langka;
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang benda cagar
budaya, dinyatakan menjadi milik negara.
Pada dasarnya, sesuai dengan UU Cagar Budaya, penentuan status “cagar
budaya” pada suatu warisan budaya haruslah melalui suatu proses penetapan. Proses
penetapan ini kemudian dirinci dalam empat pasal pada Bab VI, Bagian Ketiga UU Cagar

Budaya. Meskipun suatu cagar budaya, dalam hal ini benda cagar budaya, belum memiliki
surat ketetapan sebagai “benda cagar budaya”, namun memiliki keharusan untuk tetap
diperlakukan sebagai benda cagar budaya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelestarian Cagar Budayaa disebutkan adanya
pengertian mengenai Objek yang Diduga Cagar Budaya, pada Pasal 1, angka 7 disebutkan:
‘...Objek yang Diduga Cagar Budaya adalah objek yang diduga memenuhi kriteria sebagai
Cagar Budaya.’ Kemudian dalam dokumen RPP itu, Objek yang Diduga Cagar Budaya
bersinonim/ disetarakan dengan Cagar Budaya.
Pada RPP tersebut, Objek yang Diduga Cagar Budaya dilindungi oleh pemerintah.
Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 79 ayat (1): ‘...Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat berperan aktif melindungi Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.’ Dengan
demikian, pemerintah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengelola BMKT, meskipun
sumber daya arkeologi tersebut secara legal formal belum ditetapkan sebagai benda cagar
budaya.

Nilai Penting BMKT Sebagai Sumber Daya Arkeologi di Perairan Indonesia
Mengetahui nilai penting suatu warisan budaya dapat membantu untuk
menentukan kebijakan dan langkah yang tepat untuk pelestarian warisan budaya. Dalam hal
ini termasuk keputusan untuk melakukan perlindungan, pemugaran, pemanfaatan, dan

bahkan pengembangannya. Pada dasarnya pelestarian warisan budaya adalah upaya untuk
mempertahankan nilai penting yang dikandungnya agar tidak berkurang atau bahkan hilang,
sehingga dapat dimanfaatkan baik di masa kini maupun masa yang akan datang.
Dalam UU Cagar Budaya Nilai penting warisan budaya dapat diperhitungkan
berdasarkan kemanfaatannya bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau

a

RPP yang digunakan dalam tulisan ini merupakan versi draft 25 September 2014. RPP ini sebagai
turunan perundangan dari UU No. 11 Tahun 2010. Selama RPP ini belum disahkan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1993 tentang UU RI Nomor 5 Tahun 1992 masih berlaku.

4

kebudayaan. Namun, UU tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut, bagaimana nilai
penting ini dapat diukur untuk dapat memenuhi kriteria tadi. Bahkan pada perundangan
sebelumnya (UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya) juga tidak merinci
mengenai hal ini, begitu pula dalam turunan perundangannya kala itu yaitu baik PP No. 10
Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No.5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, maupun
Kepmendikbud No. 064/U/1995 tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya

dan/atau Situs.
Setidaknya hingga saat ini di Indonesia belum ada rumusan baku yang dipandang
cukup mapan sebagai acuan model penentuan nilai penting suatu warisan budaya.
Ketiadaan ketentuan baku tentang kriteria tolok ukur penetapan nilai penting dalam sumber
daya arkeologi ini cenderung menimbulkan perbedaan pandangan terhadap nilai suatu
objek. Salah satu upaya untuk mempermudah penentuan nilai penting sebagaimana yang
ditetapkan UU Cagar Budaya telah diusulkan oleh Daud Aris Tanudirjo (2004a) yang merinci
kriteria nilai penting dalam UU Cagar Budaya menjadi unsur-unsur nilai penting sumber daya
budaya yang lebih terukur yaitu:
1. Nilai Penting Sejarah: apabila sumber daya budaya tersebut dapat menjadi bukti yang
berbobot dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu; berkaitan erat dengan tokohtokoh sejarah; atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu.
2. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan: apabila sumber daya budaya itu mempunyai potensi
untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang
keilmuan tertentu.
3. Nilai Penting Kebudayaan: apabila sumber daya budaya tersebut dapat mewakili hasil
pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati
diri bangsa atau komunitas tertentu.
Atas dasar keterangan tersebut di atas, keberadaan situs-situs kapal yang
tenggelam beserta BMKT nya dapat mengacu tiga elemen dasar yang menjadi unsur-unsur
nilai penting sumber daya budaya, yaitu nilai sejarah, pengetahuan, dan kebudayaan.

Nilai Penting Sejarah
Keberadaan kapal karam dan muatannya di perairan Laut Indonesia menjadi bukti
konkret mengenai kebesaran Nusantara sebagai jalur perdagangan maritim. Hal ini pun
menjadi penting sebagai data penguat mengenai tahap perkembangan kebudayaan di
Indonesia melalui penggambaran interaksi budaya antara Nusantara, Asia, dan Eropa.
Dalam konteks sejarah budaya, Cina (di samping pula India) dapat dilihat sebagai pusat
peradaban besar di Asia. Oleh karena itu, Cina dianggap sebagai pemeran utama dalam
setiap perubahan budaya di Asia Tenggara. Salah satu saluran dalam proses kontak budaya
tersebut adalah kontak dagang melalui pelayaran niaga. Data artefaktual yang terdapat pada
situs kapal karam terkadang berkorelasi dengan bukti-bukti kebudayaan material di kota-

5

kota pelabuhan/kerajaan-kerajaan pesisir pada konteks waktu yang sama. Data dari kapal
karam ini dapat menjelaskan proses budaya dan perkembangan sejarah suatu tempat.
Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
Lokasi situs kapal karam ini menjadi sebuah bukti arkeologis dari jalur pelayaran
perniagaan yang ramai di Laut Jawa. Selain itu, muatan kapal berupa keramik dan nonkeramik merupakan salah satu informasi awal yang dapat dipercaya mengenai perdagangan
antar regional di Indonesia. Melalui data dari keramik kapal karam ini pula dapat menjadi
salah satu penjelas kapan dan bagaimana keberadaan artefak keramik di berbagai situs

arkeologi yang tersebar di Indonesia secara umum.
Kegiatan pengangkatan BMKT ini (dan juga setiap kegiatan serupa di situs-situs
lain) dapat menjadi bahan evaluasi untuk metode dan teknik arkeologi bawah air di
Indonesia. Evaluasi arkeologis tersebut di antaranya: pengidentifikasian temuan arkeologis,
sistem penyelaman, teknik ekskavasi, prosedur fotografi, sistem registrasi artefak temuan,
prosedur penanganan artefak temuan, dan upaya konservasi.
Nilai Penting Kebudayaan
Situs kapal karam yang hampir dipastikan berupa kapal dagang, tidak hanya
ditumpangi pelaut-pedagang saja. Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa para
peziarah dan penyebar agama tidak jarang ikut serta menumpang kapal-kapal dagang
semacam ini. Bukti konkret yang dapat menunjukkan hal ini memang tidak mudah diperoleh,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa kapal dagang ini juga membawa non-pedagang.
Dalam pada itu, Islam berkembang sangat pesat di Nusantara namun tidak di Thailand dan
China misalnya, karena pada konteks saat itu nusantara menjadi pusat perdagangan di
kawasan Asia Tenggara.

Pengelolaan dan Penelitian BMKT
Dalam upaya memperoleh kemanfaatan BMKT dalam memperkuat jati diri
Indonesia sebagai negara maritim, tentunya perlu dilakukan berbagai penelitian untuk
menggali dan menginterpretasi tinggalan bawah air tersebut. Namun, penelitian mengenai
kajian arkeologi bawah air di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan belum
adanya metode penelitian yang mapan. Selain itu, penelitian semacam ini merupakan kajian
yang relatif baru dan belum populer di Indonesia jika dibandingkan dengan kajian arkeologi
di darat (terrestrial archaeology). Judi Wahjudin (2003) dalam sebuah artikel pernah
memaparkan tentang metode penelitian bawah air yang mungkin dapat diterapkan di
Indonesia, namun pemaparan metode tersebut masih bersifat pengenalan dan sangat
umum.
Perguruan tinggi, dalam hal ini Universitas Gadjah Mada yang memiliki tugas utama
berupa pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Telah ikut andil dalam

6

meningkatkan kajian arkeologi bawah air di Indonesia. Melalui jalur pendidikan, khususnya
di Jurusan Arkeologi memiliki beberapa mata kuliah dalam kajian arkeologi bawah air seperti
Arkeologi Maritim yang mengenalkan dan memberikan gambaran tentang pentingnya kajian
arkeologi untuk mengungkapkan kehidupan bahari, tata cara pengkajian dalam bidang ini
termasuk penanganan dan interpretasi data arkeologi bawah air, serta contoh-contoh
rekonstruksi kehidupan bahari di Indonesia sejak masa prasejarah hingga kini. Selain itu,
terdapat mata kuliah Keramologi yang memberikan pengetahuan mengenai pentingnya studi
keramik dalam arkeologi Indonesia dan memberikan keterampilan identifikasi keramik dari
situs-situs di Indonesia termasuk situs bawah air.
Pelaksanaan kurikulum tersebut difasilitasi dengan sarana yang mendukung dan
mendorong mahasiswa untuk mengkaji bidang arkeologi bawah air. Saat ini jurusan
Arkeologi FIB UGM memiliki peralatan selam sejumlah 10 set perlengkapan SCUBA (selfcontained underwater breathing apparatus) termasuk di dalamnya tabung oksigen,
divecomp, dan dua buah kompresor tabung. Peralatan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa
arkeologi yang diorganisir oleh himpunan mahasiswa jurusan. Tidak kurang dari 40 orang
mahasiswa sejak tahun 2004 berkegiatan di bidang ini. Secara rutin mereka melakukan
latihan dan kajian teori-metodologi dan melakukan sertifikasi untuk keterampilan
penyelaman.
Untuk melengkapi pelaksanaan pendidikan dalam kajian arkeologi bawah air
tersebut, dalam beberapa tahun ini jurusan Arkeologi telah mengundang beberapa pakar
kajian arkeologi bawah air dan arkeologi maritim untuk memberikan kuliah umum atau kuliah
berseri seperti Prof. Dr. Mark Staninfoth, Dr. John N. Miksic, dan Alejandro Mirabal, M.Sc.
hal ini dilakukan dalam rangka dialog ilmiah dengan perkembangan keilmuan arkeologi
maritim di dunia internasional.
Belum banyak penelitian terhadap artefak temuan BMKT pernah dilakukan oleh
sivitas akademika UGM, beberapa di antaranya adalah penelitian terhadap artefak wadah
berbahan kaca hasil pengangkatan BMKT di Cirebon (Setiawan, 2009). Penelitian mengenai
kapal karam di Situs USAT Liberty, Tulamben, Bali dikaji melalui pemodelan wisata
shipwreck dan kajian pembentukan data arkeoginya dilakukan oleh Shinatria Adhityatama
(2012) dan Henki Riko Pratama (2012). Kemudian, penerapan kajian manajemen sumber
daya budaya pada peninggalan arkeologi bawah air secara ilmiah pernah dilakukan oleh
Yadi Mulyadi (2009) dan Jujun Kurniawan (2014). Penelitian tersebut melihat penerapan
pelibatan peran masyarakat pada tahap-tahap pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air di
situs Gua Moko, Kota Bau-Bau, Sulteng, dan penelitian evaluatif terhadap BMKT di Jepara.
Beberapa staf pengajar di jurusan Arkeologi pernah pula mengikuti pelatihan, lokakarya, dan
memberikan ceramah di bidang maritim dan arkeologi bawah air baik di tingkat universitas,
lokal, maupun forum ilmiah internasional.

7

Sementara itu di bidang pengabdian kepada masyarakat, untuk kajian bak
arkeologi bawah air maupun arkeologi maritim masih kurang dilakukan. pihak kampus belum
terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi mengenai BMKT dan sumber daya arkeologi
maritim pada umumnya. Pada kesempatan beberapa waktu yang lalu Fakultas Ilmu Budaya
UGM mengusung tema kebudayaan maritim dalam acara pameran terbuka kampus UGM di
Gadjah Mada Expo. Pada kesempatan itu, dikenalkan pula khasanah kebudayaan maritim
beserta tinggalan materinya, termasuk di dalamnya kajian arkeologi bawah air.
Perguruan tinggi dalam hal ini melalui tugas tridharma nya berkomitmen untuk terus
berperan sebagai wadah untuk melakukan edukasi dan mempersiapkan arkeolog yang
memiliki wawasan, keterampilan, dan kompetensi di bidang kemaritiman dan kajian bawah
air.

Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan BMKT
Pada hakikatnya, tujuan pengelolaan BMKT adalah pelestarian warisan budaya
dengan mempertahankan nilai penting sumber daya arkeologi, agar tidak hilang ataupun
berkurang. Muatan yang hendak diwariskan pada generasi sekarang dan yang akan datang
adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sumber daya arkeologi. Tanpa adanya wujud
fisik sumber daya arkeologi, maka proses transformasi tersebut akan sulit dilakukan.
Sementara itu, kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologi dalam hal konsep
pelestarian dan pengelolaannya memiliki tiga hal model pemanfaatan (Cleere, 1989: 5--10)
yaitu: pertama nilai ideologis, untuk memantapkan identitas budaya (termasuk di dalamnya
aspek kesejarahan) suatu kelompok masyarakat, kedua nilai akademis yang berkaitan
dengan aspek keilmuan dan penelitian, ketiga nilai ekonomi yang berhubungan dengan
kemanfaatan, kepentingan pariwisata, dan kemampuan atau kemungkinannya untuk
mendapatkan keuntungan. Satu hal yang sangat penting dalam keseluruhan sistem
pengelolaan sumber daya arkeologi adalah bentuk pemanfaatan yang harus berwawasan
pelestarian. Konsep ini digunakan untuk melindungi dan mengatur upaya-upaya pelestarian
sumber daya budaya dan nilai-nilai yang dikandungnya, sehingga dapat berbanding lurus
dengan perolehan kualitas baik nilai ideologis maupun nilai ekonomisnya.
Dalam mengelola sumber daya arkeologi, strategi yang terbaik adalah melakukan
suatu pengembangan yang dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih pada
bagaimana pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus menerus dengan tetap
memperhatikan pelestarian sumber daya tersebut. Adapun strategi pengelolaan terhadap
kegiatan pengangkatan dan pemanfaatan BMKT tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, identifikasi ulang sangat wajar untuk dilakukan terhadap BMKT hasil
pengangkatan yang merupakan sumber daya arkeologi. Hal ini perlu dilakukan untuk
meninjau dan mengevaluasi informasi yang ada. Selain itu, kondisi BMKT pasca

8

pengangkatan yang tidak dilakukan tindakan proses konservasi yang memadai dalam waktu
yang cukup lama, akan mengalami perubahan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua, memastikan ketersediaan payung hukum yang dapat melindungi sumber
daya arkeologi tersebut. Ketersediaan regulasi yang ada idealnya tidak saling bertentangan
satu sama lain. Regulasi mengenai pemanfaatan BMKT dalam bentuk penjualan untuk
kepentingan negara hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi. Terdapat dua pihak aturan
hukum yang memiliki fokus yang berbeda tentang pengelolaan warisan budaya bawah air
ini terutama mengenai pemanfaatannya. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
memiliki paradigma perlindungan dan pengembangan. Sementara di pihak lain terdapat
Keppres No.19 Tahun 2007 dengan paradigma pemanfaatan ekonomi.
Ketiga, preservasi perlu dilakukan agar BMKT hasil pengangkatan sebagai sumber
daya arkeologi dapat bertahan lebih lama. Walaupun sifat dari artefak berupa keramik
memiliki daya tahan terhadap keausan yang tinggi, namun perubahan lingkungan tempat
artefak tersebut dari lingkungan pengendapan bawah laut selama ribuan tahun ke
lingkungan darat dengan udara terbuka tentunya akan membawa dampak. Kegiatan
preservasi ini wajib dilakukan oleh pihak perusahaan pemegang izin pengangkatan
bersama-sama PANNAS BMKT berdasarkan pedoman yang telah dikeluarkan oleh
Direktorat Peninggalan Bawah Airb. Konstribusi dari kegiatan preservasi yang memadai ini
akan memberikan hasil yang positif dalam mempertahankan nilai penting dari BMKT
tersebut. Hal ini akan memberikan manfaat baik untuk ilmu pengetahuan maupun
kepentingan ekonomisnya.
Keempat, pendokumentasian sumber daya arkeologi secara terperinci perlu
dilakukan lagi sehingga data tersebut dapat digunakan untuk preservasi di masa depan. Hal
ini juga untuk menjamin transparansi mengenai pengelolaan BMKT hasil pengangkatan
tersebut. Sampai saat ini, BMKT masih dipandang sebagai barang berharga yang memiliki
potensi nilai ekonomi yang sangat tinggi, maka keberadaan pengelolaannya cenderung
riskan untuk mengalami penyimpangan.
Kelima, memberi kesempatan pada masyarakat untuk mengeksplorasi sumber
daya arkeologi, serta memberikan tanggapan yang positif terhadap hasil interpretasi yang
telah dilakukan. termasuk di sini adalah memberikan keleluasaan kepada pihak akademisi
untuk mengeksplorasi dan memberikan interpretasi terhadap tinggalan tersebut. Selain itu,
BMKT

pasca

dipertimbangkan

pengangkatan
adanya

yang

telah

tempat

berstatus

Barang

Milik

penyimpanan/pameran

Negara
yang

perlu
dapat

menunjukkan/menggambarkan obyek temuan secara jelas. Masyarakat umum yang
nantinya sebagai pengunjung display/pameran ini diharapkan akan memperoleh manfaat

b

saat ini menjadi Direktorat Warisan Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial

9

dengan melakukan wisata yang bersifat edukatif ini, yakni secara rinci mendapat gambaran
tentang masa lalu obyek arkeologi bawah laut serta kegiatan pengangkatan obyek tersebut.
Hal ini sejalan dengan UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Pasal 85 dan Pasal
91. Pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila
setelah rangkaian pengelolaan BMKT berupa pengangkatan selesai dilakukan.

Penutup
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sudah saatnya pihak pemerintah
mengkaji ulang kemungkinan untuk meratifikasi Konvensi UNESCO Tahun 2001 tentang
Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Konvensi ini merupakan tanggapan UNESCO dari
komunitas internasional atas penjarahan dan perusakan warisan budaya bawah air.
Konvensi UNESCO Tahun 2001 menawarkan suatu standar internasional yang tinggi untuk
perlindungan warisan budaya bawah air. Konvensi tersebut terdiri atas kerangka hukum
yang komprehensif dan aturan perlindungan melalui upaya hukum, administratif, dan
operasional yang sebaiknya diadopsi oleh Negara-Negara Pihak berdasarkan kemampuan
masing-masing. Sampai dengan Januari 2012 sudah 41 negara yang telah meratifikasi dan
menjadi Negara Pihak (State Party) konvensi ini (Flavis, 2012: 6).
Konvensi UNESCO Tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air
merupakan instrumen hukum yang penting untuk perlindungan warisan budaya bawah air.
Konvensi tersebut memiliki tujuan antara lain: pertama, memastikan perlindungan universal
yang dilakukan terhadap warisan budaya bawah air. Kedua, memfasilitasi kerja sama antar
negara. Ketiga, menetapkan standar-standar profesional. Bagian yang penting dari konvensi
ini adalah “Lampiran” (Annex) yang merupakan panduan untuk para arkeolog bawah air saat
ini. Lampiran Konvensi tahun 2001 berisi 36 aturan yang memberikan skema operasional
berupa rincian praktis mengenai “Berbagai Aturan dan Ketentuan mengenai berbagai
kegiatan yang mengarah pada warisan budaya bawah air”.
Empat prinsip utama pada Konvensi UNESCO Tahun 2001(Nagaoka, 2010)
adalah:
1. Kewajiban untuk melestarikan warisan budaya bawah air
2. Pelestarian in situ sebagai pilihan utama
3. Tidak ada eksploitasi komersial
4. Pelatihan dan berbagi informasi
Larangan terhadap aktifitas komersial tersebut di atas adalah berdagang, menjual, membeli,
dan atau barter (Maarleveld, 2013: 35). Tampaknya prinsip mengenai tidak ada eksploitasi
komersial ini lah yang menjadi hambatan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi
ini. Selama kegiatan pengelolaan BMKT berupa pemanfaatan BMKT melalui pelelangan dan
pembagian keuntungan ekonomis dari hasil pelelangan tersebut masih berlangsung atau

10

masih diterapkan maka hal ini masih bertentangan dengan prinsip umum dari Konvensi
UNESCO Tahun 2001 ini (Pasal 2, ayat 7).
UNESCO mensyaratkan bahwa dalam meratifikasi konvensi tersebut di atas harus
dilakukan perubahan paradigma dalam hal memandang tinggalan arkeologis bawah air
sebagai harta karun (treasure/benda berharga) menjadi benda cagar budaya/warisan
budaya (cultural heritage). Dengan demikian, semua tinggalan arkeologi bawah air dianggap
dan diperlakukan sama halnya dengan cagar budaya yang berada di darat. Indonesia saat
ini dipandang perlu untuk mempertimbangkan ratifikasi konvensi UNESCO tersebut. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Masanori Nagaoka (2010) mengenai keadaan terkini terkait
warisan budaya bawah air di Indonesia:
1.

Data mengenai keberadaan bangkai kapal dan benda berharga di dalamnya masih
belum akurat;

2.

Terbatasnya kapasitas dalam pengawasan dan pengendalian BMKT, dan terbatasnya
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dibandingkan dengan luas wilayah laut
Indonesia;

3.

Situs bangkai kapal di wilayah perairan dangkal umumnya telah rusak dan dijarah;

4.

Fasilitas dan infrastruktur pendukung survei, pengangkatan, dan penanganan pascapengangkatan yang belum memadai;

5.

Ketiadaan museum maritim untuk mengakomodir berbagai warisan maritim termasuk
BMKT.
Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka diperlukan beberapa tindakan kolektif

jangka menengah dan panjang untuk perlindungan warisan budaya bawah air Indonesia
seperti: pertama, peningkatan kemampuan pengelolaan dari para pejabat nasional
(stakeholders) dalam mengelola situs-situs arkeologis bawah air di Indonesia serta untuk
melawan kegiatan-kegiatan gelap para pemburu harta karun. Kedua, mendorong
pendampingan dan peningkatan kesadaran di antara komunitas lokal mengenai warisan
budaya

bawah

air,

dan

kemampuan/pengembangan

di

saat

keterampilan

yang
bagi

sama,
para

mendorong

penyelam

peningkatan

arkeolog.

Ketiga,

mempelajari hukum nasional dan peraturan perundangan terkait pengelolaan BMKT di
Indonesia saat ini, dan bila perlu, membantu Pemerintah Indonesia dalam mengamandemen
ketentuan-ketentuan hukum yang ada.

11

Daftar Pustaka

Adhityatama, Shinaria. 2012. Pemodelan Jalur Aktivitas Penyelaman di Situs USAT
LIBERTY, Tulamben, Bali: Studi Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi. Skripsi
Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Cleere, Henry F. 1989. "Introduction: The Rationale of Archaeological Management". dalam
Archaeological Heritage Management in the Modern World. Ed. Henry F. Cleere.
London: Unwin-Hyman. Hlm. 1--19.
Drajad, Hari Untoro. 2002. Penelitian dan Penyelamatan Sumberdaya Laut. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim Indonesia. 6
Juni. Jakarta.
Favis, Ricardo L. 2012. “Unit 1: The 2001 Convention on the Protection of the Underwater
Cultural Heritage”. dalam Training Manual for the UNESCO Foundation Course on
the Protection and Management of Underwater Cultural Heritage in Asia and the
Pacific. Ed. Martijn R. Manders dan Christopher I. Underwood. Bangkok: UNESCO
Bangkok.
Helmi, Surya. 2010. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air
di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Pameran Warisan Budaya
Bawah Air dengan tema ‘Warisan Budaya Bawah Air, Apakah Harus Dilelang?’. 4
Agustus. Jakarta.
Indonesia Miliki 500 Situs Bawah Air. (2010, 20 April). Kompas, Hlm. 12.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2000 Tentang Panitia Nasional
Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional
Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan
dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.
Kurniawan, Jujun. 2014 Evaluasi Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam di Jepara. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Maarleveld, Thijs, Ulrike Guerin, Barbara Egger (Eds.). 2013. Manual for Activities Directed
at Underwater Cultural Heritage: Guideline to the Annex of the UNESCO 2001
Convention. Paris: UNESCO Paris.
Mulyadi, Yadi. 2009. Penerapan Community Development Dalam Pengelolaan Tinggalan
Arkeologi Bawah Air. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Nagaoka, Masanori. 2010. Konvensi UNESCO Tahun 2001 Tentang Perlindungan Warisan
Budaya Bawah Air. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Pameran Warisan

12

Budaya Bawah Air dengan tema ‘Warisan Budaya Bawah Air, Apakah Harus
Dilelang?’. 4 Agustus. Jakarta.
Pratama, Henki Riko. 2012. Proses Pembentukan Data Arkeologi Bawah Air (Studi Kasus
Bangkai Kapal Liberty di Tulamben, Bali). Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya UGM.
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pelestarian Cagar Budaya,
Draft 25 September 2015
Rochmani, Koos Siti. 2003. Perlindungan Benda Cagar Budaya Bawah Air di Indonesia.
Buletin Cagar Budaya 3: 14--15.
Setiawan, Niko Roni. 2009. Artefak Wadah Berbahan Kaca Temuan BMKT Cirebon, Analisis
Bentuk dan Komposisi Unsur Kimia. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya UGM.
Tanudirjo, Daud Aris. 2004a. Penetapan Nilai Penting Dalam Pengelolaan Benda Cagar
Budaya. Makalah dipresentasikan pada Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria
(Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya. 26–28 Mei. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
UNESCO. 2001. Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage.
Wahjudin, Judi. 2003. Arkeologi Bawah Air Sebuah Tantangan. Buletin Cagar Budaya 3: 5-10.

13