Protest and Demonstrations Protes dan Ak (1)
Protes dan Aksi Massa
Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217
Latar Belakang
Salah satu bentuk ekspresi dari perilaku sosial dan perilaku politik adalah protes.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan
tidak menyetujui, menolak, menentang, menyangkal, dsb. Sedangkan dalam Oxford
Dictionary, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan atas bentuk ketidaksetujuan
ataupun keberatan terhadap sebuah kondisi. Bentuk konkret dari protes, tidaklah harus
berhubungan dengan hal-hal yang sangat besar. Seorang anak yang merengek karena tidak
mau menghabiskan semangkuk sop yang disajikan orangtuanya, adalah merupakan sebuah
protes (Reutch). Begitu pula dengan anggota parlemen yang melakukan walk out dalam
sidang paripurna, karena gagasannya yang tidak diakomodir, merupakan sebuah protes.
Protes dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Protes yang
dilakukan secara murni hanya dilakukan oleh individu dan dilakukan di ruang private, pada
umumnya hanya memiliki tujuan ekspresi dari kekecewaan dan ketidaksetujuan antar
individu saja. Protes yang dilakukan di ruang private umumnya hanya memiliki dampak
sosial, namun tidak memiliki dampak politik. Sedangkan pada sisi yang lain, protes yang
dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok dan di ruang publik, memiliki pengaruh
politik, seperti untuk mengubah keadaan, lingkungan, nilai-nilai, ataupun kebijakan. Protes
yang dilakukan secara bersama-sama ini kemudian melahirkan konsep mengenai aksi massa.
Protes dan begitupun aksi massa, hakikatnya memiliki urgensi dan akar yang kuat
dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Namun sayangnya, saat ini aksi massa
mengalami pergeseran makna yang negatif. Aksi massa sangat identik dengan demonstrasi
di jalanan yang merusak fasilitas, membuat macet, membakar ban, melanggar hukum, dll.
Tentu saja paradigma negatif tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena apabila merunut pada
argumen David Easton (dalam Mochtar Masoed: 2000), aksi massa dapat menjadi entitas
yang memberikan input maupun tekanan terhadap sistem politik demokrasi.
1
Berangkat dari hal-hal diatas, tulisan ini akan berupaya menjawab kegelisahan atas
paradigma negatif gerakan politik, dengan mengangkat dan mengembalikan hakikat aksi
massa sebagai bentuk aksi yang sakral dan efektif. Tulisan ini akan memulai dengan
menjawab pertanyaan mendasar mengenai; Apa itu aksi massa? Mengapa muncul aksi
massa? Bagaimana manajemen aksi massa yang baik?
Apa itu aksi massa?
Menurut Gamson dalam Klandermans (2004) menyebutkan bahwa,
Aksi massa diartikan sebagai seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang
berorientasi pada tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan
kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi massa adalah seperangkat
keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu peikiran tercipta bahwa partisipasi di dalam
aksi kolektif tampak berarti.
Sedangkan Tan Malaka (2000) melihat bahwa aksi massa memiliki makna mendalam
yang dihasilkan dari dua kata itu sendiri, aksi dan massa. Tan Malaka berpendapat bahwa
tidak ada aksi tidak akan berarti tanpa massa, begitupun massa tidak akan memiliki arti tanpa
aksi. Tan Malaka juga menekankan pada kesakralan aksi massa yang didasarkan kepada
penghayatan orang-orang yang terlibat dalam aksi massa terhadap perjuangan mereka.
Dalam tipologi aksi kolektif, aksi massa merupakan bentuk aksi yang paling
terstruktur dan memiliki tujuan yang jelas. Hal inilah yang kemudian membedakan aksi
massa (protes crowd) dengan casual crowd, conventional crowd, expressive crowd, dan
acting crowd. Mohtar Masoed dan Haryanto (1997) menyebutkan bahwa aksi massa bukan
hanya sekedar kerumunan yang emosional. Melainkan ia adalah isakan kolektif yang muncul
secara terencana untuk mencapai tujuan tertentu.
Mengapa Muncul Aksi Massa?
Teori Deprivasi Relatif T R Gurr
2
Teori yang dicetuskan oleh T R Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)
berasumsi bahwa protes terjadi karena akibat adanya kesenjangan antara nilai yang
diharapkan dengan nilai yang diperoleh. Pada teori ini, Gurr (dalam Mohtar Masoed dan
Haryanto: 1997) mengklasifikasikan menjadi 3 kondisi yaitu deprivasi decreental, deprivasi
aspirasional, dan deprivasi progresif.
Deprivasi decremental atau kemerosotan adalah kondisi yang paling umum terjadi.
Kondisi ini terjadi ketika tingkat harapan tetap konstan, tetapi kemampuan untuk memenuhi
tuntutan itu pada suatu titik waktu merosot. Sehingga tmbullah kesenjangan antara harapan
dan realita.
3
Deprivasi aspirasional menunjukkan kondisi kemampuan sistem untuk memenuhi
harapan yang konstan, namun disisi lain terjadi harapan yang tinggi. Pada kondisi ini maka
akan menimbulkan kemarahan akibat ketidakmampuan sistem untuk memenuhi harapan
yang baru saja berkembang. Adapun hal-hal yang menyebabkan peningkatan harapan ini
adalah (1) efek demonstratif, yang menampilkan cara hidup yang baru, (2) artikulasi ideologi
atau keyakinan yang baru, (3) dampak perbaikan posisi nilai secara keseluruhan, misalkan
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi.
Deprivasi progresif menunjukkan kondisi dimana terjadi peningkatan harapan yang
selalu disertai juga dengan peningkatan sistem untuk memenuhi harapan tersebut. Hal
tersebut terus berjalan dengan seimbang, hingga suatu ketika sistem yang biasanya mampu
mengikuti progresivitas harapan justru tiba-tiba merosot. Masyarakat yang selama ini sudah
merasa terpuaskan dengan terpenuhinya harapan mereka, akan menjadi sangat marah karena
sistem justru mengalami pemerosotan. Kondisi seperti ini dapat menciptakan kekecawaan
yang sangat parah, dan akan sangat mudah menyulut lahirnya protes yang bahkan menuntut
pada revolusi.
Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997) memang menyebutkan pada
dasarnya deprivasi progresif adalah kondisi yang paling berpotensi dalam menyulut protes
yang kuat dan luas. Namun secara umum, tentu saja besarnya kekecewaan dan protes sangat
dipengaruhi oleh besarnya kesenjangan yang timbul dari antara harapan dan kemampuan
sistem untuk memenuhi harapan tersebut.
4
Micro-Macro Level
Adapun Oberschall (2000) mengungkapkan bahwa penyebab timbulnya gerakan
dapat dilihat dari dua level, yaitu level makro dan mikro.
Penyebab pada level makro terdiri dari empat poin, Pertama, penolakan dan
kekecewaan terhadap sebuah kondisi hidup atau lingkungan, misalkan korupsi, pengekangan
kebebasan berpendapat, penindasan, penderitaan, dll.
Kedua, adanya perbedaan kepercayaan, nilai, dan ideologi terhadap kondisi yang ada.
Misalkan ketika ada seorang pejabat yang korupsi, para protester tidak akan melihatnya
sebagai kasus individu. Namun melihat kegagalan sistem dan pemerintah yang berkuasa
dalam menciptakan pemerintahan yang bersih.
Ketiga, kapasitas untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan sejauh mana rezim
mengawasi gerakan politik kolektif, akses informasi untuk menjaring massa, kultur
masyarakat dalam melakukan aksi kolektif, dll.
Keempat, kesempatan politik. Artinya sejauh mana terdapat peluang yang muncul
dari luar untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan dukungan lembaga donor internasional,
rezim yang sedang mengalami defisit legitimasi, dll.
Sedangkan pada level mikro Oberschall (2000) menjelaskan bahwa level ini
merupakan turunan dari pendekatan pilihan rasional. Pendekatan ini diadopsi dari
pendekatan populer gerakan politik yaitu mobilisasi sumber daya. Pendekatan ini melihat
bahwa setiap individu yang berpotensi untuk ikut dalam gerakan protes, akan
mempertimbangkan lima hal. Oberschall (2000) meringkas hal tersebut menjadi VPNSC.
Penjelasannya adalah sebagai berikut,
Pertama, (V-value) Nilai, harapan dan tujuan yang ingin diraih.
5
Kedua, (P-probability) Estimasi tantangan dan hambatan-hambatan yang akan
menghambat tujuan yang sudah ditentukan. Estimasi tersebut akan menghasilkan estimasi
probabilitas keberhasilan gerakan.
Ketiga, (N-number of participants) Estimasi terhadap banyaknya orang yang akan
mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan.
Keempat, (S-selective incetives) Dorongan dari dalam gerakan untuk bergerak.
Misalkan adanya pemimpin gerakan yang kharismatik, adanya kesamaan identitas,
solidaritas kelompok, dll.
Kelima, (C-cost) “cost” di sini tidak hanya terbatas pada biaya materi. Melainkan
sejauh mana pengorbanan yang mesti dilakukan dalam gerakan. Misalkan, berapa biaya yang
harus dikeluarkan? Berapa waktu yang akan dihabiskan? Upaya fisik apa yang harus
dilakukan? dsb.
Menurut
Oberschall,
setiap
individu
maupun
kelompok
pastinya
akan
memperhitungkan lima hal diatas. Oberschall membuat rumus;
If P (N) V + S – C (N) > 0
< atau = 0, berarti tidak berpartisipasi.
Bagaimana aksi massa dapat berhasil?
Konsep Aksi Massa Gamson
Gamson (dalam Klandermans: 2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga poin yang
mempengaruhi lahir dan suksesnya gerakan yaitu, Pertama, adanya keresahan, ketidakadilan,
kekecewaan, yang sama. Keresahan dapat timbul secara tidak langsung maupun tidak sadar
dialami oleh tiap-tiap individu. Ketika rasa kekecewaan dan keresahan terhadap sebuah isu
dialami oleh banyak orang maka hal ini akan menjadi langkah awal lahirnya aksi massa. Aksi
massa tidak akan pernah terwujud ketika keresahan tidak dirasakan banyak orang.
Kedua, Adanya kesamaan harapan, common enemy, tujuan yang sama. Setelah
sekelompok orang merasakan keresahan yang sama terhadap sebuah isu, kelompok tersebut
6
dituntut untuk menyamakan harapan dan tujuan mereka bersama. Hal ini tentu saja menjadi
tantangan, karena keresahan yang sama tidak selalu berbuah pada tujuan yang sama. Pada
tahap
inilah
kelompok
terkait
memiliki
tantangan
untuk
mengartikulasi
dan
mengagregasikan harapan dan tujuan mereka untuk mewujudkan tujuan kolektif.
Ketiga, adanya keyakinan bahwa aksi yang dilakukan akan mencapai keberhasilan.
Sering kali terjadi, sebuah kelompok telah berhasil merasakan keresahan yang sama, tujuan
yang sama, namun masalahnya mereka tidak yakin akan aksi yang akan mereka lakukan.
Kelompok yang kehilangan pada tahap ketiga ini sangat mungkin akan menjadi gerakan
politik yang mandul atau jalan di tempat. Sedangkan gerakan yang didasari dan terus
memelihara tiga poin ini, maka akan semakin memperbesar peluang mereka dalam
merealisasikan tujuan gerakan.
Keresahan Ketika Keresahan Bersamapun Tidak Muncul
Tentunya akan menjadi persoalan serius ketika terdapat gerakan yang hendak
muncul. Namun hanya sangat sedikit orang yang merasakan keresahan. Kondisi ini dapat
terjadi dengan kemungkinan (1) Khalayak publik memang tidak mengetahui tentang isu yang
sedang dipermasalahkan. Hal ini bisa terjadi karena informasi mengenai isu tersebut bersifat
terbatas, tertutup, atau bahkan rahasia. Dapat dimungkinkan juga karena isu tersebut
belum/tidak disebarluaskan ke masyarakat luas. (2) Khalayak publik sudah mengetahui
mengenai isu terkait, namun banyak yang menganggap itu bukan sebagai suatu masalah. (3)
Khalayak publik sudah mengetahui dan menganggap isu terkait sebagai suatu masalah,
namun enggan berkorban dalam memperjuangkan isu tersebut.
Pada kondisi seperti ini maka individu-individu yang telah merasakan keresahan dan
menganggap bahwa isu terkait penting untuk diperjuangkan dapat melakukan agenda setting.
Agenda setting dapat dilakukan dengan melakukan propaganda berupa poster, mimbar bebas,
menulis di media massa (Kalndermans: 2004). Dapat juga melakukan pewacanaan publik
dengan mengadakan kegiatan-kegiatan terkait isu yang akan diangkat. Kemudian
pencerdasan publik juga dapat dilakukan dengan melakukan diskusi, seminar, gosip, buzzing
di sosial media, dll.
7
Isu yang hendak diangkat dapat dikaji dengan memperhatikan bahaya historis
ataupun bahaya potensial. Bahaya historis yaitu melihat ancaman yang muncul dengan
melihat pola-pola perkembangan isu dari masa lalu. Misalkan gerakan protes terbesar
terhadap penolakan Perang Irak di berbagai belahan dunia, didasari kekhawatiran masyarakat
dunia akan peran yang selalu meluas dan berbuntut panjang, bahkan berpotensi melahirkan
perang dunia baru. Kemudian bahaya potensial yaitu melihat potensi ancaman yang muncul
dengan didasarkan kerentanan isu terkait. Misalkan gelombang protes terhadap senjata nuklir
dilakukan karena masyarakat dunia khawatir terhadap potensi perang senjata nuklir yang
dapat menyebabkan berakhirnya kehidupan di dunia (Klandermans: 2004).
Bagaimana apabila tetap hanya sedikit orang yang terlibat dalam aksi?
Apabila upaya agenda setting ternyata tidak membuahkan hasil banyak. Tindakan
yang dapat dilakukan adalah para aktivis tetap harus bergerak untuk melakukan agenda
setting dan rekrutmen. Namun tentu saja gerakan tidak dapat dimulai dengan menunggu
banyaknya partisipan. Movement must go on, aksi harus tetap dilakukan dan tidak boleh
kehilangan momentum. Hal yang dapat dilakukan oleh para aktivis adalah dengan melakukan
manajemen massa. McCharty dan Zald (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)
mengklasifikasikan empat lingkaran partisipasi dalam gerakan, yaitu (1) pemimpin aktivis,
(2) penggerak utama, (3) partisipan, dan (4) simpatisan.
Pemimpin aktivis adalah orang yang berjumlah sedikit dan bersedia meluangkan
seluruh waktunya untuk keberlangsungan gerakan. Mereka adalah aktor utama dalam
menentukan strategi dan tujuan gerakan. Penggerak utama adalah orang-orang yang secara
komitmen berjuang dalam gerakan. Mereka menyisihkan sebagian waktu dan tenaganya
untuk keberlangsungan gerakan. Mereka ikut menekan pemerintah, mempengaruhi opini
publik, dan meningkatkan gairah gerakan. Adapun partisipan adalah orang yang turut serta
dalam aksi, penggalangan dana, penyebaran propaganda, dll. Kemudian yang terakhir adalah
simpatisan, mereka adalah kelompok yang tidak berpartisipasi langsung terhadap gerakan.
Namun memberikan dukungan moral terhadap gerakan.
8
Ilustrasi dari empat lingkaran aktivis tersebut dapat dilihat dibawah ini:
Si patisa
Thi k tha k
Pe ggerak uta a
Partisipa
Dalam ilustrasi diatas telah dipaparkan peran dan fungsi masing-masing. Prinsip
dalam pemetaan ini adalah plotting the rights man on the right Place. Kita memberi peran
dan fungsi kepada individu/kelompok sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Tidak
mungkin seorang thing-thang diperankan hanya untuk dukungan moral. Begitu pula tidak
mungkin individu/kelompok yang hanya bersedia menjadi simpatisan, namun dipaksakan
untuk banyak bergerak. Kuncinya adalah Berikan peran dan fungsi kepada setiap aktor
dengan kapasitas dan posisinya masing-masing. Bagaimanapun jadikan setiap orang yang
tergabung dalam aksi ini merasa dihargai dan dibutuhkan kehadirannya.
Lebih lanjut, Dieter Rutch (2006) pernah melakukan survei mengenai persentase
keterlibatan dalam gerakan politik diberbagai kawasan di dunia, mulai dari Eropa Barat,
negara maju non Eropa, Eropa timur, dan negara-negara selatan. Rutch membagi bentuk
partisipasi menjadi empat, yaitu menandatangani petisi, mengikuti demonstrasi, mengikuti
boikot, ikut dalam serbuan yang tidak resmi, dan pendudukan gedung pemerintahan. Hasil
survei Rutch dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
9
Pada tabel tersebut menunjukkan adanya tren yang sama mengenai tingkat partisipasi,
dimana persentase dari bentuk partisipasi terendah seperti menandatangani petisi selalu lebih
besar angkanya dibandingkan bentuk partisipasi yang lebih tinggi, mulai dari ikut dalam
demonstrasi hingga pendudukan kantor-kantor pemerintah. Empat lingkaran partisipasi ala
Mc Charty dan Zald kiranya dapat dipadukan dengan hasil survey Rutch. Ilustrasi dari
perpaduannya dapat dilihat dibawah ini:
Si patisa
Partisipa
Partisipa
Pe ggerak
Pe ggerak
Thi k tha k
Pe ggerak
Thi k tha k
Thi k tha k
Thi k tha k
10
Kesimpulan
Pembahasan kita diatas telah menjelaskan kepada kita mengenai hakikat perilaku
protes dan aksi massa. Protes dan aksi massa adalah sebuah manifestasi dari kekecewaan,
keresahan, dan harapan dari penggiatnya. Ada banyak sekali teori yang menjelaskan
mengapa protes dan aksi massa dapat muncul. Namun sejauh ini, dua teori yang paling
populer adalah mengenai deprivasi relatif TR Gurr dan teori Resources mobilization yang
diadopsikan oleh Oberschall dalam micro level-nya. Kemudian dapat kita lihat pula bahwa
keberhasilan dari sebuah gerakan sangat dipengaruhi kondisi keresahan bersama,
kemampuan menyamakan tujuan dan harapan, agenda setting yang baik, manajemen massa
yang tepat, dan pemilihan strategi gerakan yang sesuai.
Tidak ada hal lain yang pantas untuk dituliskan pada bagian akhir ini. Kecuali
menegaskan kembali mengenai hakikat protes dan aksi massa. Sudah saatnya, paradigma
negatif mengenai protes dan aksi massa kita tinggalkan jauh-jauh. Protes dan aksi massa,
adalah sebuah hal yang alamiah, sakral, normal, bahkan dibutuhkan dalam kehidupan
berdemokrasi. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer berkata, didiklah rakyat dengan
organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.
11
Daftar Pustaka
Ananta, Toer. 2007. Jejak Langkah. Yogyakarta: Lentera Dipantera
Haryanto, Mochtar Masoed, dkk. 1997. Gerakan Politik. Jakarta:BPP Depdagri
Klandermans B. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell.
Malaka, Tan. 2000 (Ed). Aksi Massa. Teplok Press: Yogyakarta
Rutch, Dieter. 2006. The Oxford Handbook of Party Politics: The Spread of Protest
Politics. Chapter 38. London: Oxford
Oberschall, Anthony. 2000. Social movements and the transition to democracy,
Democratization, Routledge Journal Volume 14 Number 4
Masoed, Mohtar. 2000. Perbandingan Sistem Poltik. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Oxford Online Dictionary
12
Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217
Latar Belakang
Salah satu bentuk ekspresi dari perilaku sosial dan perilaku politik adalah protes.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan
tidak menyetujui, menolak, menentang, menyangkal, dsb. Sedangkan dalam Oxford
Dictionary, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan atas bentuk ketidaksetujuan
ataupun keberatan terhadap sebuah kondisi. Bentuk konkret dari protes, tidaklah harus
berhubungan dengan hal-hal yang sangat besar. Seorang anak yang merengek karena tidak
mau menghabiskan semangkuk sop yang disajikan orangtuanya, adalah merupakan sebuah
protes (Reutch). Begitu pula dengan anggota parlemen yang melakukan walk out dalam
sidang paripurna, karena gagasannya yang tidak diakomodir, merupakan sebuah protes.
Protes dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Protes yang
dilakukan secara murni hanya dilakukan oleh individu dan dilakukan di ruang private, pada
umumnya hanya memiliki tujuan ekspresi dari kekecewaan dan ketidaksetujuan antar
individu saja. Protes yang dilakukan di ruang private umumnya hanya memiliki dampak
sosial, namun tidak memiliki dampak politik. Sedangkan pada sisi yang lain, protes yang
dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok dan di ruang publik, memiliki pengaruh
politik, seperti untuk mengubah keadaan, lingkungan, nilai-nilai, ataupun kebijakan. Protes
yang dilakukan secara bersama-sama ini kemudian melahirkan konsep mengenai aksi massa.
Protes dan begitupun aksi massa, hakikatnya memiliki urgensi dan akar yang kuat
dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Namun sayangnya, saat ini aksi massa
mengalami pergeseran makna yang negatif. Aksi massa sangat identik dengan demonstrasi
di jalanan yang merusak fasilitas, membuat macet, membakar ban, melanggar hukum, dll.
Tentu saja paradigma negatif tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena apabila merunut pada
argumen David Easton (dalam Mochtar Masoed: 2000), aksi massa dapat menjadi entitas
yang memberikan input maupun tekanan terhadap sistem politik demokrasi.
1
Berangkat dari hal-hal diatas, tulisan ini akan berupaya menjawab kegelisahan atas
paradigma negatif gerakan politik, dengan mengangkat dan mengembalikan hakikat aksi
massa sebagai bentuk aksi yang sakral dan efektif. Tulisan ini akan memulai dengan
menjawab pertanyaan mendasar mengenai; Apa itu aksi massa? Mengapa muncul aksi
massa? Bagaimana manajemen aksi massa yang baik?
Apa itu aksi massa?
Menurut Gamson dalam Klandermans (2004) menyebutkan bahwa,
Aksi massa diartikan sebagai seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang
berorientasi pada tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan
kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi massa adalah seperangkat
keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu peikiran tercipta bahwa partisipasi di dalam
aksi kolektif tampak berarti.
Sedangkan Tan Malaka (2000) melihat bahwa aksi massa memiliki makna mendalam
yang dihasilkan dari dua kata itu sendiri, aksi dan massa. Tan Malaka berpendapat bahwa
tidak ada aksi tidak akan berarti tanpa massa, begitupun massa tidak akan memiliki arti tanpa
aksi. Tan Malaka juga menekankan pada kesakralan aksi massa yang didasarkan kepada
penghayatan orang-orang yang terlibat dalam aksi massa terhadap perjuangan mereka.
Dalam tipologi aksi kolektif, aksi massa merupakan bentuk aksi yang paling
terstruktur dan memiliki tujuan yang jelas. Hal inilah yang kemudian membedakan aksi
massa (protes crowd) dengan casual crowd, conventional crowd, expressive crowd, dan
acting crowd. Mohtar Masoed dan Haryanto (1997) menyebutkan bahwa aksi massa bukan
hanya sekedar kerumunan yang emosional. Melainkan ia adalah isakan kolektif yang muncul
secara terencana untuk mencapai tujuan tertentu.
Mengapa Muncul Aksi Massa?
Teori Deprivasi Relatif T R Gurr
2
Teori yang dicetuskan oleh T R Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)
berasumsi bahwa protes terjadi karena akibat adanya kesenjangan antara nilai yang
diharapkan dengan nilai yang diperoleh. Pada teori ini, Gurr (dalam Mohtar Masoed dan
Haryanto: 1997) mengklasifikasikan menjadi 3 kondisi yaitu deprivasi decreental, deprivasi
aspirasional, dan deprivasi progresif.
Deprivasi decremental atau kemerosotan adalah kondisi yang paling umum terjadi.
Kondisi ini terjadi ketika tingkat harapan tetap konstan, tetapi kemampuan untuk memenuhi
tuntutan itu pada suatu titik waktu merosot. Sehingga tmbullah kesenjangan antara harapan
dan realita.
3
Deprivasi aspirasional menunjukkan kondisi kemampuan sistem untuk memenuhi
harapan yang konstan, namun disisi lain terjadi harapan yang tinggi. Pada kondisi ini maka
akan menimbulkan kemarahan akibat ketidakmampuan sistem untuk memenuhi harapan
yang baru saja berkembang. Adapun hal-hal yang menyebabkan peningkatan harapan ini
adalah (1) efek demonstratif, yang menampilkan cara hidup yang baru, (2) artikulasi ideologi
atau keyakinan yang baru, (3) dampak perbaikan posisi nilai secara keseluruhan, misalkan
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi.
Deprivasi progresif menunjukkan kondisi dimana terjadi peningkatan harapan yang
selalu disertai juga dengan peningkatan sistem untuk memenuhi harapan tersebut. Hal
tersebut terus berjalan dengan seimbang, hingga suatu ketika sistem yang biasanya mampu
mengikuti progresivitas harapan justru tiba-tiba merosot. Masyarakat yang selama ini sudah
merasa terpuaskan dengan terpenuhinya harapan mereka, akan menjadi sangat marah karena
sistem justru mengalami pemerosotan. Kondisi seperti ini dapat menciptakan kekecawaan
yang sangat parah, dan akan sangat mudah menyulut lahirnya protes yang bahkan menuntut
pada revolusi.
Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997) memang menyebutkan pada
dasarnya deprivasi progresif adalah kondisi yang paling berpotensi dalam menyulut protes
yang kuat dan luas. Namun secara umum, tentu saja besarnya kekecewaan dan protes sangat
dipengaruhi oleh besarnya kesenjangan yang timbul dari antara harapan dan kemampuan
sistem untuk memenuhi harapan tersebut.
4
Micro-Macro Level
Adapun Oberschall (2000) mengungkapkan bahwa penyebab timbulnya gerakan
dapat dilihat dari dua level, yaitu level makro dan mikro.
Penyebab pada level makro terdiri dari empat poin, Pertama, penolakan dan
kekecewaan terhadap sebuah kondisi hidup atau lingkungan, misalkan korupsi, pengekangan
kebebasan berpendapat, penindasan, penderitaan, dll.
Kedua, adanya perbedaan kepercayaan, nilai, dan ideologi terhadap kondisi yang ada.
Misalkan ketika ada seorang pejabat yang korupsi, para protester tidak akan melihatnya
sebagai kasus individu. Namun melihat kegagalan sistem dan pemerintah yang berkuasa
dalam menciptakan pemerintahan yang bersih.
Ketiga, kapasitas untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan sejauh mana rezim
mengawasi gerakan politik kolektif, akses informasi untuk menjaring massa, kultur
masyarakat dalam melakukan aksi kolektif, dll.
Keempat, kesempatan politik. Artinya sejauh mana terdapat peluang yang muncul
dari luar untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan dukungan lembaga donor internasional,
rezim yang sedang mengalami defisit legitimasi, dll.
Sedangkan pada level mikro Oberschall (2000) menjelaskan bahwa level ini
merupakan turunan dari pendekatan pilihan rasional. Pendekatan ini diadopsi dari
pendekatan populer gerakan politik yaitu mobilisasi sumber daya. Pendekatan ini melihat
bahwa setiap individu yang berpotensi untuk ikut dalam gerakan protes, akan
mempertimbangkan lima hal. Oberschall (2000) meringkas hal tersebut menjadi VPNSC.
Penjelasannya adalah sebagai berikut,
Pertama, (V-value) Nilai, harapan dan tujuan yang ingin diraih.
5
Kedua, (P-probability) Estimasi tantangan dan hambatan-hambatan yang akan
menghambat tujuan yang sudah ditentukan. Estimasi tersebut akan menghasilkan estimasi
probabilitas keberhasilan gerakan.
Ketiga, (N-number of participants) Estimasi terhadap banyaknya orang yang akan
mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan.
Keempat, (S-selective incetives) Dorongan dari dalam gerakan untuk bergerak.
Misalkan adanya pemimpin gerakan yang kharismatik, adanya kesamaan identitas,
solidaritas kelompok, dll.
Kelima, (C-cost) “cost” di sini tidak hanya terbatas pada biaya materi. Melainkan
sejauh mana pengorbanan yang mesti dilakukan dalam gerakan. Misalkan, berapa biaya yang
harus dikeluarkan? Berapa waktu yang akan dihabiskan? Upaya fisik apa yang harus
dilakukan? dsb.
Menurut
Oberschall,
setiap
individu
maupun
kelompok
pastinya
akan
memperhitungkan lima hal diatas. Oberschall membuat rumus;
If P (N) V + S – C (N) > 0
< atau = 0, berarti tidak berpartisipasi.
Bagaimana aksi massa dapat berhasil?
Konsep Aksi Massa Gamson
Gamson (dalam Klandermans: 2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga poin yang
mempengaruhi lahir dan suksesnya gerakan yaitu, Pertama, adanya keresahan, ketidakadilan,
kekecewaan, yang sama. Keresahan dapat timbul secara tidak langsung maupun tidak sadar
dialami oleh tiap-tiap individu. Ketika rasa kekecewaan dan keresahan terhadap sebuah isu
dialami oleh banyak orang maka hal ini akan menjadi langkah awal lahirnya aksi massa. Aksi
massa tidak akan pernah terwujud ketika keresahan tidak dirasakan banyak orang.
Kedua, Adanya kesamaan harapan, common enemy, tujuan yang sama. Setelah
sekelompok orang merasakan keresahan yang sama terhadap sebuah isu, kelompok tersebut
6
dituntut untuk menyamakan harapan dan tujuan mereka bersama. Hal ini tentu saja menjadi
tantangan, karena keresahan yang sama tidak selalu berbuah pada tujuan yang sama. Pada
tahap
inilah
kelompok
terkait
memiliki
tantangan
untuk
mengartikulasi
dan
mengagregasikan harapan dan tujuan mereka untuk mewujudkan tujuan kolektif.
Ketiga, adanya keyakinan bahwa aksi yang dilakukan akan mencapai keberhasilan.
Sering kali terjadi, sebuah kelompok telah berhasil merasakan keresahan yang sama, tujuan
yang sama, namun masalahnya mereka tidak yakin akan aksi yang akan mereka lakukan.
Kelompok yang kehilangan pada tahap ketiga ini sangat mungkin akan menjadi gerakan
politik yang mandul atau jalan di tempat. Sedangkan gerakan yang didasari dan terus
memelihara tiga poin ini, maka akan semakin memperbesar peluang mereka dalam
merealisasikan tujuan gerakan.
Keresahan Ketika Keresahan Bersamapun Tidak Muncul
Tentunya akan menjadi persoalan serius ketika terdapat gerakan yang hendak
muncul. Namun hanya sangat sedikit orang yang merasakan keresahan. Kondisi ini dapat
terjadi dengan kemungkinan (1) Khalayak publik memang tidak mengetahui tentang isu yang
sedang dipermasalahkan. Hal ini bisa terjadi karena informasi mengenai isu tersebut bersifat
terbatas, tertutup, atau bahkan rahasia. Dapat dimungkinkan juga karena isu tersebut
belum/tidak disebarluaskan ke masyarakat luas. (2) Khalayak publik sudah mengetahui
mengenai isu terkait, namun banyak yang menganggap itu bukan sebagai suatu masalah. (3)
Khalayak publik sudah mengetahui dan menganggap isu terkait sebagai suatu masalah,
namun enggan berkorban dalam memperjuangkan isu tersebut.
Pada kondisi seperti ini maka individu-individu yang telah merasakan keresahan dan
menganggap bahwa isu terkait penting untuk diperjuangkan dapat melakukan agenda setting.
Agenda setting dapat dilakukan dengan melakukan propaganda berupa poster, mimbar bebas,
menulis di media massa (Kalndermans: 2004). Dapat juga melakukan pewacanaan publik
dengan mengadakan kegiatan-kegiatan terkait isu yang akan diangkat. Kemudian
pencerdasan publik juga dapat dilakukan dengan melakukan diskusi, seminar, gosip, buzzing
di sosial media, dll.
7
Isu yang hendak diangkat dapat dikaji dengan memperhatikan bahaya historis
ataupun bahaya potensial. Bahaya historis yaitu melihat ancaman yang muncul dengan
melihat pola-pola perkembangan isu dari masa lalu. Misalkan gerakan protes terbesar
terhadap penolakan Perang Irak di berbagai belahan dunia, didasari kekhawatiran masyarakat
dunia akan peran yang selalu meluas dan berbuntut panjang, bahkan berpotensi melahirkan
perang dunia baru. Kemudian bahaya potensial yaitu melihat potensi ancaman yang muncul
dengan didasarkan kerentanan isu terkait. Misalkan gelombang protes terhadap senjata nuklir
dilakukan karena masyarakat dunia khawatir terhadap potensi perang senjata nuklir yang
dapat menyebabkan berakhirnya kehidupan di dunia (Klandermans: 2004).
Bagaimana apabila tetap hanya sedikit orang yang terlibat dalam aksi?
Apabila upaya agenda setting ternyata tidak membuahkan hasil banyak. Tindakan
yang dapat dilakukan adalah para aktivis tetap harus bergerak untuk melakukan agenda
setting dan rekrutmen. Namun tentu saja gerakan tidak dapat dimulai dengan menunggu
banyaknya partisipan. Movement must go on, aksi harus tetap dilakukan dan tidak boleh
kehilangan momentum. Hal yang dapat dilakukan oleh para aktivis adalah dengan melakukan
manajemen massa. McCharty dan Zald (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)
mengklasifikasikan empat lingkaran partisipasi dalam gerakan, yaitu (1) pemimpin aktivis,
(2) penggerak utama, (3) partisipan, dan (4) simpatisan.
Pemimpin aktivis adalah orang yang berjumlah sedikit dan bersedia meluangkan
seluruh waktunya untuk keberlangsungan gerakan. Mereka adalah aktor utama dalam
menentukan strategi dan tujuan gerakan. Penggerak utama adalah orang-orang yang secara
komitmen berjuang dalam gerakan. Mereka menyisihkan sebagian waktu dan tenaganya
untuk keberlangsungan gerakan. Mereka ikut menekan pemerintah, mempengaruhi opini
publik, dan meningkatkan gairah gerakan. Adapun partisipan adalah orang yang turut serta
dalam aksi, penggalangan dana, penyebaran propaganda, dll. Kemudian yang terakhir adalah
simpatisan, mereka adalah kelompok yang tidak berpartisipasi langsung terhadap gerakan.
Namun memberikan dukungan moral terhadap gerakan.
8
Ilustrasi dari empat lingkaran aktivis tersebut dapat dilihat dibawah ini:
Si patisa
Thi k tha k
Pe ggerak uta a
Partisipa
Dalam ilustrasi diatas telah dipaparkan peran dan fungsi masing-masing. Prinsip
dalam pemetaan ini adalah plotting the rights man on the right Place. Kita memberi peran
dan fungsi kepada individu/kelompok sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Tidak
mungkin seorang thing-thang diperankan hanya untuk dukungan moral. Begitu pula tidak
mungkin individu/kelompok yang hanya bersedia menjadi simpatisan, namun dipaksakan
untuk banyak bergerak. Kuncinya adalah Berikan peran dan fungsi kepada setiap aktor
dengan kapasitas dan posisinya masing-masing. Bagaimanapun jadikan setiap orang yang
tergabung dalam aksi ini merasa dihargai dan dibutuhkan kehadirannya.
Lebih lanjut, Dieter Rutch (2006) pernah melakukan survei mengenai persentase
keterlibatan dalam gerakan politik diberbagai kawasan di dunia, mulai dari Eropa Barat,
negara maju non Eropa, Eropa timur, dan negara-negara selatan. Rutch membagi bentuk
partisipasi menjadi empat, yaitu menandatangani petisi, mengikuti demonstrasi, mengikuti
boikot, ikut dalam serbuan yang tidak resmi, dan pendudukan gedung pemerintahan. Hasil
survei Rutch dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
9
Pada tabel tersebut menunjukkan adanya tren yang sama mengenai tingkat partisipasi,
dimana persentase dari bentuk partisipasi terendah seperti menandatangani petisi selalu lebih
besar angkanya dibandingkan bentuk partisipasi yang lebih tinggi, mulai dari ikut dalam
demonstrasi hingga pendudukan kantor-kantor pemerintah. Empat lingkaran partisipasi ala
Mc Charty dan Zald kiranya dapat dipadukan dengan hasil survey Rutch. Ilustrasi dari
perpaduannya dapat dilihat dibawah ini:
Si patisa
Partisipa
Partisipa
Pe ggerak
Pe ggerak
Thi k tha k
Pe ggerak
Thi k tha k
Thi k tha k
Thi k tha k
10
Kesimpulan
Pembahasan kita diatas telah menjelaskan kepada kita mengenai hakikat perilaku
protes dan aksi massa. Protes dan aksi massa adalah sebuah manifestasi dari kekecewaan,
keresahan, dan harapan dari penggiatnya. Ada banyak sekali teori yang menjelaskan
mengapa protes dan aksi massa dapat muncul. Namun sejauh ini, dua teori yang paling
populer adalah mengenai deprivasi relatif TR Gurr dan teori Resources mobilization yang
diadopsikan oleh Oberschall dalam micro level-nya. Kemudian dapat kita lihat pula bahwa
keberhasilan dari sebuah gerakan sangat dipengaruhi kondisi keresahan bersama,
kemampuan menyamakan tujuan dan harapan, agenda setting yang baik, manajemen massa
yang tepat, dan pemilihan strategi gerakan yang sesuai.
Tidak ada hal lain yang pantas untuk dituliskan pada bagian akhir ini. Kecuali
menegaskan kembali mengenai hakikat protes dan aksi massa. Sudah saatnya, paradigma
negatif mengenai protes dan aksi massa kita tinggalkan jauh-jauh. Protes dan aksi massa,
adalah sebuah hal yang alamiah, sakral, normal, bahkan dibutuhkan dalam kehidupan
berdemokrasi. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer berkata, didiklah rakyat dengan
organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.
11
Daftar Pustaka
Ananta, Toer. 2007. Jejak Langkah. Yogyakarta: Lentera Dipantera
Haryanto, Mochtar Masoed, dkk. 1997. Gerakan Politik. Jakarta:BPP Depdagri
Klandermans B. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell.
Malaka, Tan. 2000 (Ed). Aksi Massa. Teplok Press: Yogyakarta
Rutch, Dieter. 2006. The Oxford Handbook of Party Politics: The Spread of Protest
Politics. Chapter 38. London: Oxford
Oberschall, Anthony. 2000. Social movements and the transition to democracy,
Democratization, Routledge Journal Volume 14 Number 4
Masoed, Mohtar. 2000. Perbandingan Sistem Poltik. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Oxford Online Dictionary
12