MAKALAH masyarakat madani dan kesejahter
MASYARAKAT MADANI DAN
KESEJAHTERAAN UMAT
Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam
Drs. Muhtarom Ilyas
Oleh:
Ardo Fachrizal Ilmy
(5215100138)
M.Farchan Ramadhan
(5215100147)
Muhammad Awaluddin
(5215100704)
1
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt., yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Masyarakat Madani dan
Kesejahteraan Umat”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini,
penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak
Dosen Drs. M.Muhatarom Ilyas mata kuliah Pendidikan Agama
islam yang telah membimbing kami menyelesaikan makalah ini,
serta teman-teman yang telah memotivasi penulis untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, karena masih memiliki banyak kekurangan, baik
dalam hal ini maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Oleh sebab itu, Kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya,
11
september 2015
2
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebagian
pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh
masyarakat tentang masyarakat madani. Masyarakat madani
diprediksi sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan
potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Bangsa Indonesia
pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat
madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami
perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan
kehidupan masayakat pada era orde baru.
Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami
proses
yang
sangat
panjang.
Masyarakat
madani
muncul
bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada
saat
transformasi
menuju
masyarakat
modern.
Dalam
mendefinisikan masyarakat madani ini sangat bergantung pada
kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam islam masyarakat
yang ideal adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT,
hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan
hidupnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang
tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan
akhirat
untuk
dunianya.
Mereka
bersikap
3
seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan
akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1.
Apakah pengertian konsep masyarakat madani?
2.
Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3.
Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4.
Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat
madani?
5.
Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
2.
Untuk memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani.
3.
Untuk memahami karakteristik masyarakat madani.
4.
Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan
masyarakat madani.
5.
Untuk memahami sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. KONSEP MASYARAKAT MADANI
Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah dikemukakan
oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari tentang
fenomena masyarakat madani, antaranya:
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Majid merupakan
salah satu seorang muslim yang telah mempopulerkan istilah masyrakat madani
dengan mengaitkan hijrahnya Nabi Muhammda SAW dai Mekah ke Madinah
yang sebelumnya bernama Yatsrib. Perkataan Madinah, menurut Nurcholis Majid,
dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian, yaitu :
a. Secara konvensioal kata madinah dapat bermakna sebagai kota.
b.Secara kebahasaan dapat diartikasn sebagai peradaban. Dalam bentuk lain, kata
madaniyah yaang dapat berarti peradaban juga berpadanan dengan
kata
tamaddun dan hadlarah, artinya berperadaban dan modern.
Perubahan nama kota Yatsrib menjadi Madinah, menurut Nurcholis, pada
hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi, bahwa beliau bersama
kaum Muhajirin dan Anshar bertekad mendirikan dan membangun masyarakat di
peradaban kota tersebut.
5
Tindakan Nabi Muhammad SAW mengganti nama kota tersebut
menunjukan beliau telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia
dalam membangun masyarakat yang berperadaban (ber-madaniyah), karena
tunduk dan patuh kepada ajaran kepatuhan (din), yang dinyatakan dengan
mewujudkan
supremasi
hukum
dan
peraturan
bertingkah
laku
secara
komprehensif.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo yang belatar belakang
kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,
perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu
ruang publik yang
mampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui normanorma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta
pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Masyarakat madani diistilahkan pertama kali oleh mantan Wakil Perdana
Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim.
Menurut Ibrahim masyarakat madani merupakan system sosial yang
subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbanganan taraf kebebasan
individu dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan
firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15:
عدن ي قلميإن قولشقماإل ۖ ك لللوا لمدن لردزلق
ل قققدد قكاقن للقسبقإإ لفي قمدسك قلنلهدم آي قةة ۖ قجن نققتالن ق
غلفوةر
ب ق
قر لبنك لدم قوادشك للروا ل قله ۚ بقل دقدةة قط لي نبقةة قوقر ن ة
“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan)
6
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
2. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Masyarakatat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia
membutuhkan
unsur-unsur
sosial
yang
menjadi
prasyarat
terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi
karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang
harus dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah publik
yang
bebas
(free
publik
sphere),
demokrasi,
toleransi,
kemajemukan (pliralism), dan keadilan sosial (social justice).
1. Wilayah Pubilik yang Bebas
Free public sphere adalah ruang publik yang bebas
sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat masyarakat. Di
wilayah ruang publik ini semua warga negara memiliki posisi dan
hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik
tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar
civil society. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik
dapat diartikan sebagai wilayah bebas di mana semua warga
negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat
publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang
sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu
negara dapat menjadi suasana tidak bebas di mana negara
mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial
politiknya.
2. Demokrasi
Demokrasi
adalah
prasyarat
mutlak
lainnya
bagi
keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi
masyarakat
sipil
tidak
mungkin
terwujud.
Secara
umum
7
demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber
dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.
3. Toleransi
Toleransi
adalah
sikap
saling
menghargai
dan
menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai
pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu pandangan
Nurcholis
Madjid,
adalah
persoalan
ajaran
dan
kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata
cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok
yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai
hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yanng benar.
Dalam perspektif ini, toleransi bukan sekedar tuntutan sosial
masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian
penting dari pelaksanaan ajaran moral agama.
Senada dengan Majdid. Azra menyatakan bahwa dalam
kerangka
menciptakan
berkeadaban
kehidupan
(tamaddun/
civility),
yang
berkualitas
masyarakat
dan
madani
menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesedihan individuindividu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik
dikalangan warga bangsa.
4. Pliralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain
bagi civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap
harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam,
tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima
kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian
sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagemen
of diversities within the bonds of civility). Bahkan menurutnya
pula, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan
8
umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (check and balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya
dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang
nyata-nyata
diperlukan
dalam
masyarakat
yang
majemuk.
Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial merupakan
dekrit Allah untuk umat manusia.
5. Keadilan
Keadilan sosial adalah adanya
keseimbangan
dan
pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap
warga
negara
ekonomi,
yang
politik,
mencakup
pengetahuan,
seluruh
dan
aspek
kehidupan:
kesempatan.
Dengan
pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan
pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh
kelompok atau golongan tertentu.1
3. PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT
MADANI
Islam dan Masyarakat Madani
Apa yang disebut sebagai modern dalam kehidupan sebuah negara yang
mengembangkan realitas masyarakat madani, tidak selalu berkaitan dengan masa
atau waktu. Artinya, ketika
kita berbicara mengenai negara-negara modern,
kemodernan itu tidak ditentukan oleh waktu atau masa. Dalam sejarah,
kemodernan dalam kerangka waktu merujuk pada suatu episode revolusi
komersial;
renaisans;
revolusi
industry;
munculnya
protestantisme;
dan
sebagainya. Dalam kehidupan politik dunia ketiga, kemodernan selalu dikaitkan
dengan masa-masa munculnya kebangkitan nasional, yang kemudian bermuara
dengan diperolehnya kemerdekaan.
1
9
Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat
madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai
gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh, antara
lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada
sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut.
Hal ini tidak aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan
masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh
para pemikir dan filosuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke,
Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.
Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan
antara islam dengan masyarakat madani. Apa yang ingin
dikatakan di sini adalah bahwa, seperti para pemikir dan filosof
politik klasik tersebut, islam, baik yang ideal (al qur’an dan
sunah) maupun menyejarah atau yang nampak dalam kehidupan
sehari-hari (sejarah dan praktik islam), juga mengembangkan
dimensi masyarakat madani. Pernyataan ini berkesan apologis
atau memuji diri sendiri, seandainya yang mengungkapkan
adalah para pemeluk islam sendiri. Apalagi, hal itu diungkapkan
ditengah suasana yang sering sekali islam dipandang sebagai
sesuatau
yang
berlawanan
dengan
kehidupan
masyarakat
madani. Paling tidak, menurut beberapa orang, sulit untuk
menemukan
negara
muslim
dalam
praktik
yang
mengembangkan masyarakat madani.
Tetapi, kalau ungkapan apresiatif atau yang bersifat
menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau
barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan
konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada
dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang kali orang
akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif.
Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah
10
misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik
yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di
Madinah,
adalah
bersifat
sangat
modern.
Memang
bukan
organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada
waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan
konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam
mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan
politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara.
Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan
masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad
adalah prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi.
Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang
diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap
sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi
warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga
disebut dengan umat madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas
ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah,
yang
mengakui
persamaan,
diterapkannya
dan
musyawarah
prinsip-prinsip
merupakan
keadilan,
ciri-ciri
awal
terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai
dengan munculnya semangat masyarakat madani. Disitu, yang
ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa
dan
bernegara
yang
sebanding
dengan
kehidupan
politik
demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang
sederhana.
Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian
adalah dari mana sumber transformasi atau perubahan itu
berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk
mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam. Karena
sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam
11
tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara
besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut pandang
keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama
proses
perubahan
dari
situasi
jahiliyah
ke
berperadaban
ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi islam adalah
membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan
menuju
alam
mengeluarkan
terang.
umat
Dalam
manusia
kehadiran
dari
islam
kegelapan
ke
adalah
terang
benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah
kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta.2
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir
pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan
yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :
ت للل نقنالس تقأ دلملروقن لبال دقمدعلرو ل
علن ال دلمن دك قلر قوتلدؤلملنوقن لبالل نقله ۗ قول قدو
ف قوتقن دقهدوقن ق
ك لن دتلدم قخيدقر أ ل نقمإة أ لدخلرقج د
كاقن قخيدررا ل قلهدم ۚ لمن دلهلم ال دلمدؤلملنوقن قوأ قك دثقلرلهلم ال دقفالسلقوقن
ب لق ق
آقمقن أ قدهلل ال دلكقتا ل
Artinya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
2 : Bahtiar Effendy. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta : Galang
Pres
12
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat
Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas
SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang
dimaksud dalam Al-Qur‟an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan
kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang
politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu
menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih
dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
4. KESEJAHTERAAN UMAT
Pengertian
Sejahtera menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aman, senosa
dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam gangguan dan kesukaran.
Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
selamat dan sentosa.
Sebagian pakar menyaakan bahwa kesejahteraan merupakan keadaan yang
didambakan dalam Al Qur’an sebagaimana tercermin dari surga yang dihuni oleh
Adam dan istrinya sesaat sebelum mereka diturunkan untuk melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya
diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebuh dahulu ditempatkan di surga.
13
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga
bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi,serta kelak dihuninya secara
hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang bayang surga itu adalah
masyarakat yang sejahtera.
Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada
pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat
bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada
orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang
dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
Terlindung kesucian agamanya
Terlindung keselamatan dirinya
Terlindung akalnya
Terlindung kehormatannya
Terlindung hak milik/hak ekonominya.3[1]
Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem
ekonomi. Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem
budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari
sistem-sistem ini sangat menentukan dalam memberikan warna sejahtera seperti
apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera seperti itu akan bertahan lama
atau berlaku secara universal.
A. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Hukum
Surat an-Nisa’ menyebutkan bahwa sumber hukum dalam Islam yang
wajib dijadikan referensi di dalam segala tindakan dan hukum mereka, yaitu:
Pertama, Al-Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada
Allah.
Kedua, Sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) .
mengamalkannya adalah ketaatan kepada Rasul.
3
14
Ketiga, Pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi di dalam umat. Mereka terdiri atas ulama’
dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti
tentara, para petani, industriawan dan pendidik yang semuanya menangani
bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan
kepada Ulil Amri.
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat
59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”4[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 59
tersebut adalah perintah wajib yang Allah Ta’ala lontarkan kepada umat islam
berupa taat kepada-Nya dan Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada AlQur’an dan hadits, dan taatilah penguasa-penguasa kamu, jika mereka beragama
islam yang berpegang teguh kepada syari’at Allah, sebab tidak ada ketaatan
kepada makhluk, jika dia durhaka kepada Sang Khalik. Dan dalam firman-Nya
terdapat kata “minkum (di antara kamu)” merupakan dalil bahwa penguasapenguasa yang wajib kamu taati adalah penguasa-penguasa yang muslim lahir dan
batinnya, daging dan darahnya, bukan muslim bentuk dan penampilannya saja.
Pada ayat kemudian “kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, maksudnya adalah putuskanlah
sesuatu yang menjadi perselisihan tersebut dari hukum-hukum yang terdapat
dalam kitab Allah dan hadits nabi –Nya, dan pada sambungan ayat,”jika kamu
4
15
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” ini adalah syarat yang
menghapus jawabnya untuk menunjukkan lafazh yang terdahu;lu. Jawabnya yang
terbuang; maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya. Ini bertujuan
memotivasi agar umat islam senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an
(Allah) dan hadits (rasul-Nya). Seperti perkataan,”jika kamu anakku maka kamu
jangan menentang aku”. “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya,” ialah kembali kepada Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan
hadits merupakan hal yang lebih utama bagi umat dan lebih baik
akibat/dampaknya bagi umat.5[3]
Setiap hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits, bila umat muslim
tidak bersandar kepadanya, tidak pula kembali kepada pendapat Ahlul Halli wal
‘Aqdi (Ijma’ Ulama’) maka hukumnya bathil, yang mengikuti hawa nafsu semata
dan tidak menjamin kemaslahatan hajat hidup orang banyak serta ridha Allah
SWT.6[4]
Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi
kemaslahatan umat, sebenar-benar hukum yang mengedepankan hak asasi
manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, dan
bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar serta tidak pula tajam ke bawah dan
tumpul ke atas.
B. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi
Isu ekonomi islam secara internasional telah lama bergulir. Guliran ini
menemukan momentumnya pada awal 1970-an, ketika terjadi perang Arab-Israel
yang membangunkan solidaritas dan kesadaran umat islam dari tidur panjangnya.
Demikian pula halnya di Indonesia , meskipun rembesan-rembesan gairah
ekonomi islam internasional telah masuk ke negeri ini sejak decade 1980-an,
tetapi gerakan ekonomi islam menemukan momentumnya pada saat krisis
ekonomi melanda negeri ini di ujung decade 90-an. Hal itu ditandai dengan
5
6
16
maraknya berdiri lembaga-lembaga syari’ah dan sejenisnya seperti Baitul Mal wa
Tamwil (BMT) dan bank-bank syari’ah di sektor praktis.7[5]
Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud
untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada
nilai-nilai
kemanusiaan.
Perbincangan
tentang
prinsip
moral
tersebut
dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup:
Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak
melampaui batas. Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik,
adil, saling menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT.
Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan
nikmat dari Allah kepada hamba-Nya.8[6] Dengan demikian orientasi ekonomi
islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan
didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah SWT.
Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup
manusia, sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan
apa saja, agar pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi
secara baik, menjadi kata kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan
hidup secara baik. Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan
persoalan pemberdayaannya kepada manusia karena mereka yang lebih tahu
urusan dunianya. Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa
seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan terhadap urusan
hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah
digariskan Allah SWT.
Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap
aktivitas kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi
islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain:
1. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2. Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3. Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
7
8
17
4.
Terwujudnya
kebebasan
individual
dalam
konteks
kemaslahatan
dan
kesejahteraan umat.9[7]
Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari
beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1.
2.
3.
4.
Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan
harta.10[8]
Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan
ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak
dimiliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada
manusia untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan
bisnis islam.
C. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Politik
Manusia adalah human social atau makhluk sosial yang tak bisa berlepas
diri dari hidup orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia
tak akan bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain.
Manusia juga oleh Aristoteles disebutkan “zoon politicon” yaitu dalam
artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma dan sistem
dalam mengatur urusan hidup dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan
urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua poin
penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab terhadap AlQur’an tentang kekuasaan, yaitu:
1. Penegakkan Etika dalam Kehidupan Politik
Kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka
apapun proses politik harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang
bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan pesan utama Rasulullah SAW,
bahwa ia tidak diutus kedunia melainkan untuk menyempurnakan etika (makhluk)
manusia.
9
10
18
Quraish Shihab menolak pandangan yang mengahalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan . Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik
itu kotor, dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali
kepentingan jangan bawa-bawa moralitas dalam arena politik, dan jargon-jargon
lain yang berusaha menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan politik,
adalah cara pandangan yang sesat lagi menyesatkan. Orang boleh saja berupaya
untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi sekalipun, namun ia
tidak boleh melupakan nilai-nilai moral dan etika.11[9]
Bagi Quraish, agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan
sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan
maghfirah Allah, yang dalam bahasa Al-Qur’an diungkapkan dengan baldatun
thoyyibatun wa Robbun Ghofur, menurutnya, ada tiga peran agama dalam
menwujudkan hal demikian, yaitu:
1.
Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas
sumber daya manusia
2. Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat sesuatu kekuatan
3.
pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat
Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang
menghambat seseorang dari segala penyimpangan.12[10]
Menurut Quraish juga, dalam pandangan agama, Tuhan memberi
kemampuan kepada pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong
kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntutan-tuntutan-Nya yang termaktub
dalam kitab suci. Dalam konteks ini hadits Nabi menyatakan yang artinya
“Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah
melalui Al-Qur'an”.13[11]
Dengan kekuasaan yang dimiliki pemerintah, sekian banyak hal dapat
dicapai dan sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian,
11
12
13
19
kekuasaan politik yang dilandasi etika yang kuat tentu akan melahirkan
masyarakat yang beretika pula.
2. Pemihakan Terhadap Kepentingan Masyarakat
Seseorang memperoleh kekuasaan politik adalah berdasarkan kontrak
sosial. Masyarakat yang dipimpinnya telah menyerahkan sebagian haknya untuk
diatur urusan-urusannya dan menyatakan kepatuhan kepadanya. Bentuk
konkretnya pada masa lalu diwujudkan ketika rakyat membai’at pemimpin.
Dalam masa modern sekarang hal ini direalisasikan dalam bentuk pemilu.
Memang di dalam pemilu tidak semua orang secara aklamasi memilih seorang
penguasa atau dengan kata lain tidak ada penguasa yang memperoleh suara secara
mutlak. Namun dengan mayoritas suara yang diperolehnya dari masyarakat ia
berhak menduduki kursi kepemimpinan. Meskipun sebagian rakyat tidak
memilihnya, ketika ia terpilih secara sah, maka semua rakyat wajib mematuhinya.
Oleh sebab itu, sebagai imbalannya pemimpin yang terpilih wajib
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan mengayomi semua masyarakatnya,
mengutamakan kepentingan mereka dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap
mereka. Karena kekuasaan merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat
serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk pelaksanaan kekuasaan akan
dipertanggungjawabkannya di depan Mahkamah Allah kelak. Tidak ada satupun
yang lepas dari pertanggungjawaban.14[12]
Dari berbagai keterangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa masalah
kesejahteraan sosial (umat) sebenarnya adalah menjadi tanggung jawab ita semua.
1.
Individu Muslim.
Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, Nabi
Muhammad SAW, pernah menegur sahabat Abu Darda’ yang hanya sibuk
14
20
puasa dan shalat saja, tanpa mengabaikan kesehatan diri sendiri dan
kebutuhan keluarganya.
2.
Masyarakat Muslim
Di dalam hidup bermasyarakat kita harus dapat mempunyai solidaritas
terhadap sesama dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Setiap Muslim
dianjurkan agar saling tolong menolong dalam urusan kebijakan dan
takwa, dan dilarang tolong menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. (Q.S Al Maidah : 2)
3.
Pemerintah
Kisah Khalifah Umar bin al- Khattab dalam menanggulangi kesulitan
makanan rakyatnya, secara pribadi beliau mengadakan pemantauan
langsung kepada rakyatnya dan kemudian beliau mengantarkan sendiri
makanan untuk rakyatnya yang miskin. Kasus ini mengandung makna
tanggung jawab pemerintah terhadap masalah kesejahteraan sosial, yang
seharusnya dapat diteladani oleh semua pemimpin.
Penutup
Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah
membalik telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat
secara sistem hukum, sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya.
Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanantatanan hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam,
bertindak semata beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya.
Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap
harta yang dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu
memakan/merampas harta orang lain.
Sejahtera secara politik diukur dengan penegakkan etika dalam kehidupan
berpolitik dan pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Karena kekuasaan
merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah
SWT.
21
BAB III
KESIMPULAN
1. Masyarakat madani merupakan systems sosial yang subur berdasarkan prinsip
moral yang menjamin keseimbanganan taraf kebebasan individu dengan
kesetabilan masyarakat
2. Masyarakatat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia
membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat
terwujudnya
tatanan
masyarakat
madani.
Faktor-faktor
tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan
menjadi karakter khas masyarakat madani.
3. Karakteristik dari masayarakat madani yaitu Wilayah Pubilik
yang Bebas, Demokrasi, Toleransi, Pliralisme, Keadilan.
4. Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam
terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi,
militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam
menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar
dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
5. Tujuan-tujuan
kesejahteraan
tersebut
tidak
ekonomi,
hanya
melainkan
mencakup
juga
masalah
mencakup
permasalahan persaudaraan manusia manusia dan keadilan
sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu,
kehormatan harta, kedaimanan jiwa dan kebagiaan, serta
keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Ajaran
Islam, sama sekali tidak pernah melupakan unsur materi
dalam kehidupan dunia. Materi penting dalam kemakmuran,
kemajuan umat islam, realisasi kehidupan yang baik bagi
22
setiap manusia, dan membantu manusia melaksanakan
kewajibannya kepada Tuhan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas,M.Muhtarom dkk. 2012. Pendidikan Agama Islam Membangun Karakter
Madani.Surabaya: Litera Jannata Perkasa.
Efendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme keagamaan.
Yogyakarta : Galang Pres.
Furqan, Arief. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Furqan, Arief. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Kahf,Monzer. 1979. Ekonomi Islam (telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Lubis,Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Naskah Konferensi Rajab 1432 H, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan
Khilafah, (Medan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011), h. 19
Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Cipta Bagus Segara,
2012), h. 87
Syaikh M. Ali Ash-shabuni, Shofwatut Tafasir, (Jakarta Timur: Pustaka AlKautsar, 2011), jilid I, h. 664
Mahmud Syaltut, Terjemahan Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1990), h. 399
Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam au Wazhifah al-Hukumah alIslamiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 5
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 117-118
Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan Tuhan, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 194
Ibid, h. 194
24
Muhammad Iqbal, Etika Politik Qur’ani, (Medan: IAIN Press, 2010), h.
113
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2000), h.58
25
KESEJAHTERAAN UMAT
Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam
Drs. Muhtarom Ilyas
Oleh:
Ardo Fachrizal Ilmy
(5215100138)
M.Farchan Ramadhan
(5215100147)
Muhammad Awaluddin
(5215100704)
1
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt., yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Masyarakat Madani dan
Kesejahteraan Umat”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini,
penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak
Dosen Drs. M.Muhatarom Ilyas mata kuliah Pendidikan Agama
islam yang telah membimbing kami menyelesaikan makalah ini,
serta teman-teman yang telah memotivasi penulis untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, karena masih memiliki banyak kekurangan, baik
dalam hal ini maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Oleh sebab itu, Kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya,
11
september 2015
2
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebagian
pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh
masyarakat tentang masyarakat madani. Masyarakat madani
diprediksi sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan
potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Bangsa Indonesia
pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat
madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami
perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan
kehidupan masayakat pada era orde baru.
Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami
proses
yang
sangat
panjang.
Masyarakat
madani
muncul
bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada
saat
transformasi
menuju
masyarakat
modern.
Dalam
mendefinisikan masyarakat madani ini sangat bergantung pada
kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam islam masyarakat
yang ideal adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT,
hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan
hidupnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang
tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan
akhirat
untuk
dunianya.
Mereka
bersikap
3
seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan
akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1.
Apakah pengertian konsep masyarakat madani?
2.
Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3.
Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4.
Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat
madani?
5.
Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
2.
Untuk memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani.
3.
Untuk memahami karakteristik masyarakat madani.
4.
Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan
masyarakat madani.
5.
Untuk memahami sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. KONSEP MASYARAKAT MADANI
Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah dikemukakan
oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari tentang
fenomena masyarakat madani, antaranya:
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Majid merupakan
salah satu seorang muslim yang telah mempopulerkan istilah masyrakat madani
dengan mengaitkan hijrahnya Nabi Muhammda SAW dai Mekah ke Madinah
yang sebelumnya bernama Yatsrib. Perkataan Madinah, menurut Nurcholis Majid,
dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian, yaitu :
a. Secara konvensioal kata madinah dapat bermakna sebagai kota.
b.Secara kebahasaan dapat diartikasn sebagai peradaban. Dalam bentuk lain, kata
madaniyah yaang dapat berarti peradaban juga berpadanan dengan
kata
tamaddun dan hadlarah, artinya berperadaban dan modern.
Perubahan nama kota Yatsrib menjadi Madinah, menurut Nurcholis, pada
hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi, bahwa beliau bersama
kaum Muhajirin dan Anshar bertekad mendirikan dan membangun masyarakat di
peradaban kota tersebut.
5
Tindakan Nabi Muhammad SAW mengganti nama kota tersebut
menunjukan beliau telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia
dalam membangun masyarakat yang berperadaban (ber-madaniyah), karena
tunduk dan patuh kepada ajaran kepatuhan (din), yang dinyatakan dengan
mewujudkan
supremasi
hukum
dan
peraturan
bertingkah
laku
secara
komprehensif.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo yang belatar belakang
kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,
perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu
ruang publik yang
mampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui normanorma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta
pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Masyarakat madani diistilahkan pertama kali oleh mantan Wakil Perdana
Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim.
Menurut Ibrahim masyarakat madani merupakan system sosial yang
subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbanganan taraf kebebasan
individu dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan
firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15:
عدن ي قلميإن قولشقماإل ۖ ك لللوا لمدن لردزلق
ل قققدد قكاقن للقسبقإإ لفي قمدسك قلنلهدم آي قةة ۖ قجن نققتالن ق
غلفوةر
ب ق
قر لبنك لدم قوادشك للروا ل قله ۚ بقل دقدةة قط لي نبقةة قوقر ن ة
“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan)
6
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
2. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Masyarakatat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia
membutuhkan
unsur-unsur
sosial
yang
menjadi
prasyarat
terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi
karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang
harus dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah publik
yang
bebas
(free
publik
sphere),
demokrasi,
toleransi,
kemajemukan (pliralism), dan keadilan sosial (social justice).
1. Wilayah Pubilik yang Bebas
Free public sphere adalah ruang publik yang bebas
sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat masyarakat. Di
wilayah ruang publik ini semua warga negara memiliki posisi dan
hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik
tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar
civil society. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik
dapat diartikan sebagai wilayah bebas di mana semua warga
negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat
publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang
sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu
negara dapat menjadi suasana tidak bebas di mana negara
mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial
politiknya.
2. Demokrasi
Demokrasi
adalah
prasyarat
mutlak
lainnya
bagi
keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi
masyarakat
sipil
tidak
mungkin
terwujud.
Secara
umum
7
demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber
dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.
3. Toleransi
Toleransi
adalah
sikap
saling
menghargai
dan
menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai
pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu pandangan
Nurcholis
Madjid,
adalah
persoalan
ajaran
dan
kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata
cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok
yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai
hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yanng benar.
Dalam perspektif ini, toleransi bukan sekedar tuntutan sosial
masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian
penting dari pelaksanaan ajaran moral agama.
Senada dengan Majdid. Azra menyatakan bahwa dalam
kerangka
menciptakan
berkeadaban
kehidupan
(tamaddun/
civility),
yang
berkualitas
masyarakat
dan
madani
menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesedihan individuindividu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik
dikalangan warga bangsa.
4. Pliralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain
bagi civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap
harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam,
tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima
kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian
sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagemen
of diversities within the bonds of civility). Bahkan menurutnya
pula, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan
8
umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (check and balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya
dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang
nyata-nyata
diperlukan
dalam
masyarakat
yang
majemuk.
Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial merupakan
dekrit Allah untuk umat manusia.
5. Keadilan
Keadilan sosial adalah adanya
keseimbangan
dan
pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap
warga
negara
ekonomi,
yang
politik,
mencakup
pengetahuan,
seluruh
dan
aspek
kehidupan:
kesempatan.
Dengan
pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan
pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh
kelompok atau golongan tertentu.1
3. PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT
MADANI
Islam dan Masyarakat Madani
Apa yang disebut sebagai modern dalam kehidupan sebuah negara yang
mengembangkan realitas masyarakat madani, tidak selalu berkaitan dengan masa
atau waktu. Artinya, ketika
kita berbicara mengenai negara-negara modern,
kemodernan itu tidak ditentukan oleh waktu atau masa. Dalam sejarah,
kemodernan dalam kerangka waktu merujuk pada suatu episode revolusi
komersial;
renaisans;
revolusi
industry;
munculnya
protestantisme;
dan
sebagainya. Dalam kehidupan politik dunia ketiga, kemodernan selalu dikaitkan
dengan masa-masa munculnya kebangkitan nasional, yang kemudian bermuara
dengan diperolehnya kemerdekaan.
1
9
Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat
madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai
gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh, antara
lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada
sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut.
Hal ini tidak aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan
masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh
para pemikir dan filosuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke,
Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.
Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan
antara islam dengan masyarakat madani. Apa yang ingin
dikatakan di sini adalah bahwa, seperti para pemikir dan filosof
politik klasik tersebut, islam, baik yang ideal (al qur’an dan
sunah) maupun menyejarah atau yang nampak dalam kehidupan
sehari-hari (sejarah dan praktik islam), juga mengembangkan
dimensi masyarakat madani. Pernyataan ini berkesan apologis
atau memuji diri sendiri, seandainya yang mengungkapkan
adalah para pemeluk islam sendiri. Apalagi, hal itu diungkapkan
ditengah suasana yang sering sekali islam dipandang sebagai
sesuatau
yang
berlawanan
dengan
kehidupan
masyarakat
madani. Paling tidak, menurut beberapa orang, sulit untuk
menemukan
negara
muslim
dalam
praktik
yang
mengembangkan masyarakat madani.
Tetapi, kalau ungkapan apresiatif atau yang bersifat
menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau
barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan
konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada
dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang kali orang
akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif.
Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah
10
misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik
yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di
Madinah,
adalah
bersifat
sangat
modern.
Memang
bukan
organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada
waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan
konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam
mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan
politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara.
Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan
masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad
adalah prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi.
Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang
diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap
sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi
warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga
disebut dengan umat madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas
ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah,
yang
mengakui
persamaan,
diterapkannya
dan
musyawarah
prinsip-prinsip
merupakan
keadilan,
ciri-ciri
awal
terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai
dengan munculnya semangat masyarakat madani. Disitu, yang
ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa
dan
bernegara
yang
sebanding
dengan
kehidupan
politik
demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang
sederhana.
Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian
adalah dari mana sumber transformasi atau perubahan itu
berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk
mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam. Karena
sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam
11
tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara
besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut pandang
keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama
proses
perubahan
dari
situasi
jahiliyah
ke
berperadaban
ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi islam adalah
membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan
menuju
alam
mengeluarkan
terang.
umat
Dalam
manusia
kehadiran
dari
islam
kegelapan
ke
adalah
terang
benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah
kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta.2
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir
pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan
yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :
ت للل نقنالس تقأ دلملروقن لبال دقمدعلرو ل
علن ال دلمن دك قلر قوتلدؤلملنوقن لبالل نقله ۗ قول قدو
ف قوتقن دقهدوقن ق
ك لن دتلدم قخيدقر أ ل نقمإة أ لدخلرقج د
كاقن قخيدررا ل قلهدم ۚ لمن دلهلم ال دلمدؤلملنوقن قوأ قك دثقلرلهلم ال دقفالسلقوقن
ب لق ق
آقمقن أ قدهلل ال دلكقتا ل
Artinya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
2 : Bahtiar Effendy. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta : Galang
Pres
12
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat
Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas
SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang
dimaksud dalam Al-Qur‟an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan
kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang
politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu
menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih
dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
4. KESEJAHTERAAN UMAT
Pengertian
Sejahtera menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aman, senosa
dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam gangguan dan kesukaran.
Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
selamat dan sentosa.
Sebagian pakar menyaakan bahwa kesejahteraan merupakan keadaan yang
didambakan dalam Al Qur’an sebagaimana tercermin dari surga yang dihuni oleh
Adam dan istrinya sesaat sebelum mereka diturunkan untuk melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya
diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebuh dahulu ditempatkan di surga.
13
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga
bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi,serta kelak dihuninya secara
hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang bayang surga itu adalah
masyarakat yang sejahtera.
Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada
pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat
bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada
orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang
dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
Terlindung kesucian agamanya
Terlindung keselamatan dirinya
Terlindung akalnya
Terlindung kehormatannya
Terlindung hak milik/hak ekonominya.3[1]
Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem
ekonomi. Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem
budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari
sistem-sistem ini sangat menentukan dalam memberikan warna sejahtera seperti
apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera seperti itu akan bertahan lama
atau berlaku secara universal.
A. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Hukum
Surat an-Nisa’ menyebutkan bahwa sumber hukum dalam Islam yang
wajib dijadikan referensi di dalam segala tindakan dan hukum mereka, yaitu:
Pertama, Al-Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada
Allah.
Kedua, Sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) .
mengamalkannya adalah ketaatan kepada Rasul.
3
14
Ketiga, Pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi di dalam umat. Mereka terdiri atas ulama’
dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti
tentara, para petani, industriawan dan pendidik yang semuanya menangani
bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan
kepada Ulil Amri.
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat
59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”4[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 59
tersebut adalah perintah wajib yang Allah Ta’ala lontarkan kepada umat islam
berupa taat kepada-Nya dan Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada AlQur’an dan hadits, dan taatilah penguasa-penguasa kamu, jika mereka beragama
islam yang berpegang teguh kepada syari’at Allah, sebab tidak ada ketaatan
kepada makhluk, jika dia durhaka kepada Sang Khalik. Dan dalam firman-Nya
terdapat kata “minkum (di antara kamu)” merupakan dalil bahwa penguasapenguasa yang wajib kamu taati adalah penguasa-penguasa yang muslim lahir dan
batinnya, daging dan darahnya, bukan muslim bentuk dan penampilannya saja.
Pada ayat kemudian “kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, maksudnya adalah putuskanlah
sesuatu yang menjadi perselisihan tersebut dari hukum-hukum yang terdapat
dalam kitab Allah dan hadits nabi –Nya, dan pada sambungan ayat,”jika kamu
4
15
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” ini adalah syarat yang
menghapus jawabnya untuk menunjukkan lafazh yang terdahu;lu. Jawabnya yang
terbuang; maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya. Ini bertujuan
memotivasi agar umat islam senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an
(Allah) dan hadits (rasul-Nya). Seperti perkataan,”jika kamu anakku maka kamu
jangan menentang aku”. “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya,” ialah kembali kepada Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan
hadits merupakan hal yang lebih utama bagi umat dan lebih baik
akibat/dampaknya bagi umat.5[3]
Setiap hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits, bila umat muslim
tidak bersandar kepadanya, tidak pula kembali kepada pendapat Ahlul Halli wal
‘Aqdi (Ijma’ Ulama’) maka hukumnya bathil, yang mengikuti hawa nafsu semata
dan tidak menjamin kemaslahatan hajat hidup orang banyak serta ridha Allah
SWT.6[4]
Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi
kemaslahatan umat, sebenar-benar hukum yang mengedepankan hak asasi
manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, dan
bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar serta tidak pula tajam ke bawah dan
tumpul ke atas.
B. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi
Isu ekonomi islam secara internasional telah lama bergulir. Guliran ini
menemukan momentumnya pada awal 1970-an, ketika terjadi perang Arab-Israel
yang membangunkan solidaritas dan kesadaran umat islam dari tidur panjangnya.
Demikian pula halnya di Indonesia , meskipun rembesan-rembesan gairah
ekonomi islam internasional telah masuk ke negeri ini sejak decade 1980-an,
tetapi gerakan ekonomi islam menemukan momentumnya pada saat krisis
ekonomi melanda negeri ini di ujung decade 90-an. Hal itu ditandai dengan
5
6
16
maraknya berdiri lembaga-lembaga syari’ah dan sejenisnya seperti Baitul Mal wa
Tamwil (BMT) dan bank-bank syari’ah di sektor praktis.7[5]
Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud
untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada
nilai-nilai
kemanusiaan.
Perbincangan
tentang
prinsip
moral
tersebut
dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup:
Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak
melampaui batas. Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik,
adil, saling menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT.
Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan
nikmat dari Allah kepada hamba-Nya.8[6] Dengan demikian orientasi ekonomi
islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan
didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah SWT.
Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup
manusia, sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan
apa saja, agar pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi
secara baik, menjadi kata kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan
hidup secara baik. Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan
persoalan pemberdayaannya kepada manusia karena mereka yang lebih tahu
urusan dunianya. Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa
seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan terhadap urusan
hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah
digariskan Allah SWT.
Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap
aktivitas kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi
islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain:
1. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2. Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3. Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
7
8
17
4.
Terwujudnya
kebebasan
individual
dalam
konteks
kemaslahatan
dan
kesejahteraan umat.9[7]
Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari
beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1.
2.
3.
4.
Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan
harta.10[8]
Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan
ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak
dimiliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada
manusia untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan
bisnis islam.
C. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Politik
Manusia adalah human social atau makhluk sosial yang tak bisa berlepas
diri dari hidup orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia
tak akan bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain.
Manusia juga oleh Aristoteles disebutkan “zoon politicon” yaitu dalam
artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma dan sistem
dalam mengatur urusan hidup dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan
urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua poin
penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab terhadap AlQur’an tentang kekuasaan, yaitu:
1. Penegakkan Etika dalam Kehidupan Politik
Kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka
apapun proses politik harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang
bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan pesan utama Rasulullah SAW,
bahwa ia tidak diutus kedunia melainkan untuk menyempurnakan etika (makhluk)
manusia.
9
10
18
Quraish Shihab menolak pandangan yang mengahalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan . Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik
itu kotor, dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali
kepentingan jangan bawa-bawa moralitas dalam arena politik, dan jargon-jargon
lain yang berusaha menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan politik,
adalah cara pandangan yang sesat lagi menyesatkan. Orang boleh saja berupaya
untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi sekalipun, namun ia
tidak boleh melupakan nilai-nilai moral dan etika.11[9]
Bagi Quraish, agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan
sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan
maghfirah Allah, yang dalam bahasa Al-Qur’an diungkapkan dengan baldatun
thoyyibatun wa Robbun Ghofur, menurutnya, ada tiga peran agama dalam
menwujudkan hal demikian, yaitu:
1.
Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas
sumber daya manusia
2. Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat sesuatu kekuatan
3.
pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat
Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang
menghambat seseorang dari segala penyimpangan.12[10]
Menurut Quraish juga, dalam pandangan agama, Tuhan memberi
kemampuan kepada pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong
kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntutan-tuntutan-Nya yang termaktub
dalam kitab suci. Dalam konteks ini hadits Nabi menyatakan yang artinya
“Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah
melalui Al-Qur'an”.13[11]
Dengan kekuasaan yang dimiliki pemerintah, sekian banyak hal dapat
dicapai dan sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian,
11
12
13
19
kekuasaan politik yang dilandasi etika yang kuat tentu akan melahirkan
masyarakat yang beretika pula.
2. Pemihakan Terhadap Kepentingan Masyarakat
Seseorang memperoleh kekuasaan politik adalah berdasarkan kontrak
sosial. Masyarakat yang dipimpinnya telah menyerahkan sebagian haknya untuk
diatur urusan-urusannya dan menyatakan kepatuhan kepadanya. Bentuk
konkretnya pada masa lalu diwujudkan ketika rakyat membai’at pemimpin.
Dalam masa modern sekarang hal ini direalisasikan dalam bentuk pemilu.
Memang di dalam pemilu tidak semua orang secara aklamasi memilih seorang
penguasa atau dengan kata lain tidak ada penguasa yang memperoleh suara secara
mutlak. Namun dengan mayoritas suara yang diperolehnya dari masyarakat ia
berhak menduduki kursi kepemimpinan. Meskipun sebagian rakyat tidak
memilihnya, ketika ia terpilih secara sah, maka semua rakyat wajib mematuhinya.
Oleh sebab itu, sebagai imbalannya pemimpin yang terpilih wajib
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan mengayomi semua masyarakatnya,
mengutamakan kepentingan mereka dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap
mereka. Karena kekuasaan merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat
serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk pelaksanaan kekuasaan akan
dipertanggungjawabkannya di depan Mahkamah Allah kelak. Tidak ada satupun
yang lepas dari pertanggungjawaban.14[12]
Dari berbagai keterangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa masalah
kesejahteraan sosial (umat) sebenarnya adalah menjadi tanggung jawab ita semua.
1.
Individu Muslim.
Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, Nabi
Muhammad SAW, pernah menegur sahabat Abu Darda’ yang hanya sibuk
14
20
puasa dan shalat saja, tanpa mengabaikan kesehatan diri sendiri dan
kebutuhan keluarganya.
2.
Masyarakat Muslim
Di dalam hidup bermasyarakat kita harus dapat mempunyai solidaritas
terhadap sesama dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Setiap Muslim
dianjurkan agar saling tolong menolong dalam urusan kebijakan dan
takwa, dan dilarang tolong menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. (Q.S Al Maidah : 2)
3.
Pemerintah
Kisah Khalifah Umar bin al- Khattab dalam menanggulangi kesulitan
makanan rakyatnya, secara pribadi beliau mengadakan pemantauan
langsung kepada rakyatnya dan kemudian beliau mengantarkan sendiri
makanan untuk rakyatnya yang miskin. Kasus ini mengandung makna
tanggung jawab pemerintah terhadap masalah kesejahteraan sosial, yang
seharusnya dapat diteladani oleh semua pemimpin.
Penutup
Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah
membalik telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat
secara sistem hukum, sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya.
Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanantatanan hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam,
bertindak semata beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya.
Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap
harta yang dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu
memakan/merampas harta orang lain.
Sejahtera secara politik diukur dengan penegakkan etika dalam kehidupan
berpolitik dan pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Karena kekuasaan
merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah
SWT.
21
BAB III
KESIMPULAN
1. Masyarakat madani merupakan systems sosial yang subur berdasarkan prinsip
moral yang menjamin keseimbanganan taraf kebebasan individu dengan
kesetabilan masyarakat
2. Masyarakatat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia
membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat
terwujudnya
tatanan
masyarakat
madani.
Faktor-faktor
tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan
menjadi karakter khas masyarakat madani.
3. Karakteristik dari masayarakat madani yaitu Wilayah Pubilik
yang Bebas, Demokrasi, Toleransi, Pliralisme, Keadilan.
4. Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam
terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi,
militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam
menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar
dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
5. Tujuan-tujuan
kesejahteraan
tersebut
tidak
ekonomi,
hanya
melainkan
mencakup
juga
masalah
mencakup
permasalahan persaudaraan manusia manusia dan keadilan
sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu,
kehormatan harta, kedaimanan jiwa dan kebagiaan, serta
keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Ajaran
Islam, sama sekali tidak pernah melupakan unsur materi
dalam kehidupan dunia. Materi penting dalam kemakmuran,
kemajuan umat islam, realisasi kehidupan yang baik bagi
22
setiap manusia, dan membantu manusia melaksanakan
kewajibannya kepada Tuhan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas,M.Muhtarom dkk. 2012. Pendidikan Agama Islam Membangun Karakter
Madani.Surabaya: Litera Jannata Perkasa.
Efendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme keagamaan.
Yogyakarta : Galang Pres.
Furqan, Arief. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Furqan, Arief. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Kahf,Monzer. 1979. Ekonomi Islam (telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Lubis,Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Naskah Konferensi Rajab 1432 H, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan
Khilafah, (Medan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011), h. 19
Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Cipta Bagus Segara,
2012), h. 87
Syaikh M. Ali Ash-shabuni, Shofwatut Tafasir, (Jakarta Timur: Pustaka AlKautsar, 2011), jilid I, h. 664
Mahmud Syaltut, Terjemahan Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1990), h. 399
Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam au Wazhifah al-Hukumah alIslamiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 5
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 117-118
Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan Tuhan, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 194
Ibid, h. 194
24
Muhammad Iqbal, Etika Politik Qur’ani, (Medan: IAIN Press, 2010), h.
113
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2000), h.58
25