Laporan Akhir Semester Manusia dan Masya

Manusia dan Masyarakat Indonesia: Masyarakat Kecil di Pasar Pal, Tugu

Selama satu semester, saya dan teman-teman kelas MMI-E secara rutin
mengunjungi Pasar Pal, Tugu yang menjadi setting kelas kami. Pasar Pal terletak di
daerah Kelapa Dua, Depok dan tepatnya berada di dekat pertigaan Cimanggis, Jalan
Raya Bogor. Secara umum, Pasar Pal merupakan pasar tradisional yang sama dengan
pasar-pasar lainnya. Pasar Pal memiliki blok-blok yang dibentuk berdasarkan jenis
barang yang di jual. Di bagian depan pasar, ada toko-toko yang menjual jam tangan,
perkakas rumah tangga, dan mainan anak-anak. Blok pakaian dan perhiasan ada di
bagian pinggir pasar dan sepanjang jalan tengah pasar. Blok sayur, daging, dan bumbu
ada di bagian tengah dan belakang pasar. Selain itu, di lantai 2 bangunan utama pasar,
terdapat beberapa kios penjahit, rumah makan kecil-kecilan, dan mushola.
Pada kunjungan pertama ke Pasar Pal, saya dan teman-teman menentukan
setting yang akan kami amati selama satu semester ini. Saya dan Astri, teman
sekelompok saya, memutuskan untuk memilih setting di blok pedagang ikan dan sayur
yang ada di sepanjang jalan kecil yang bisa dilalui dari belokan kanan pertama dari
depan pasar. Alasan kami memilih tempat adalah karena pedagang di situ terlihat akrab
satu sama lain. Selain itu, ketika kami bolak-balik lewat, para pedagang di daerah itu
tidak terlihat keberatan dan tersenyum kepada kami.
Setting saya terdiri dari 5 kios; kue, ayam potong, sayur, bumbu dapur, dan
plastik, dan sampai kunjungan ketiga, pelaku di setting saya terdiri dari 10 pelaku, dan

7 di antaranya merupakan pedagang di setting saya. Berikut merupakan gambaran dari
subsetting dan setting saya:

Gambar 1 Subsetting

1

Gambar 2 Setting

Foto di atas merupakan foto setting saya. Di sebelah kiri merupakan foto dari
Budhe Nur dan di sebelah kanan merupakan foto dari kios Pak Maulana dan Abdan.
Saat itu Budhe Nur sedang beres-beres akan pulang dan Pak Maulana sedang bercanda
dengan pedagang lain di luar setting pengamatan saya.
Pelaku yang saya amati ditentukan dari beberapa kunjungan, di kunjungan
pertama saya hanya menemui Budhe Nur, Bu Afridah, dan Bu Peni. Budhe Nur
merupakan
seorang
Gambar 3 dan
4 Settingpedagang ayam potong yang telah berusia 61 tahun. Beliau berasal
dari Tegal dan selama 32 tahun berdagang di Pasar Pal, beliau tinggal di sebuah rumah

kontrakan. Beliau pernah lulus dari SD dan sempat melanjutkan SMP sampai akhir
kelas 1 SMP, namun karena menikah beliau tidak melanjutkan pendidikannya. Dari
pengamatan saya, Budhe Nur banyak mendominasi setiap pembicaraan di antara para
2

pelaku yang berada di setting. Kemudian Bu Afridah, pemilik toko plastik yang telah
berjualan di sana selama 30 tahun. Beliau berusia 50 tahun, berasal dari Padang, dan
berpendidikan SD. Beliau memiliki rumah sendiri di Depok dan tinggal bersama anakanaknya. Bu Peni sendiri merupakan pemilik toko bumbu dapur dan sayuran di sebelah
toko Bu Afridah. Beliau masih berusia 36 tahun dan tinggal bersama suami dan satu
anaknya di Depok. Beliau dan suaminya berasal dari Padang. Bu Peni pernah
mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMA, lalu beliau menikah dan mengikuti
suaminya berdagang di Depok.
Ketika pertama kali saya berada di setting tersebut, Budhe Nur-lah yang
pertama kali menyapa saya dan menawarkan bantuan. Bu Afridah dan Bu Peni sendiri
berada di dalam tokonya. Mungkin karena kios Budhe Nur hanya terdiri dari meja,
kursi, diatapi terpal, dan tidak dibatasi apapun, sehingga beliau bisa dengan mudah
melihat dan menyapa orang-orang yang melewati kiosnya. Sedangkan toko Bu Peni dan
Bu Afridah lebih tertutup dan hanya bagian depannya yang terbuka, membuat saya
harus mendekati toko, baru beliau bisa merespon kehadiran saya. Di setting Astri, saya
juga menyadari hal tersebut, kios Bang Haji selain diramaikan oleh anak dan

karyawannya, kios yang hanya terdiri dari meja, kursi, dan tanpa pembatas
memudahkan orang lain melihat mereka dan dari kejauhan mereka bisa berinteraksi,
seperti memanggil orang yang mereka lihat atau sebaliknya. Mungkin juga di setting
lain ditemui hal seperti ini, ternyata bentuk kios atau toko bisa mempengaruhi interaksi
yang terjadi.
Selain itu Budhe Nur juga cukup ramah dan sering mengajak saya mengobrol
tentang kondisi pasar dan pengunjungnya. Karena beliau berasal dari Jawa Tengah,
beliau sering menggunakan Bahasa Jawa Krama kepada pelanggannya yang ia rasa
sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Bahasa Jawa Krama biasa digunakan untuk
menghormati orang yang diajak bicara, misal orang tersebut berumur lebih tua atau
orang yang lebih dihormati. Ketika saya melihat Budhe Nur berbicara dengan bahasa
krama pada pelanggannya, saya merasa pelanggannya akan merasa lebih dihargai.
Penggunaan bahasa dalam interaksi bisa mempengaruhi interaksi yang tejadi karena
bahasa bisa menunjukkan sikap dan sifat seseorang. Sehingga dengan menggunakan
Bahasa Krama, Budhe Nur menunjukkan bahwa beliau menghargai pelanggannya.
Dengan adanya sikap saling menghormati, interaksi antarpelaku sosial dapat berjalan
dengan baik. Penggunaan Bahasa Krama oleh Budhe Nur bisa dipengaruhi dari suku
3

asal Budhe Nur, yaitu suku Jawa yang mengatur hubungan sopan santun dengan

menggunakan tingkatan bahasa. Selain suku, usia juga bisa mempengaruhi penggunaan
bahasa dalam berinteraksi. Orang tua cenderung lebih banyak menggunakan Bahasa
Krama ketimbang anak-anak muda.
Di satu kesempatan, saya pernah melihat Budhe Nur sedang merokok,
kemudian sewaktu beliau melihat saya, beliau langsung mematikan rokoknya dan
menyimpannya di bawah meja. Jujur saja, saya jarang melihat ibu-ibu, apalagi yang
sudah berumur lebih dari 50 tahun, merokok di daerah asal saya, Banyumas. Berbeda
dengan daerah ibu kota, saya sering melihat banyak ibu-ibu merokok, terutama di pasar.
Melihat tindakan Budhe Nur yang merokok di pasar sebenarnya tidak terlalu
mengagetkan, namun ketika Budhe Nur menyimpan rokoknya, saya merasa bahwa
Budhe Nur tidak ingin saya melihat beliau merokok. Bisa jadi karena Budhe Nur tidak
ingin saya merasa tidak nyaman karena asap rokoknya, bisa juga karena Budhe Nur
ingin menjaga pandangan saya terhadap Budhe Nur. Karena di masyarakat umum,
budaya merokok dipandang sebagai sesuatu yang kurang terpuji dan sering
diasosiasikan dengan orang yang kurang baik.
Bu Afridah dan Bu Peni sama-sama berasal dari Padang dan kedua-duanya
sama-sama memiliki kios sendiri di pasar, tidak seperti Budhe Nur yang menyewa
tempat. Kios Bu Afridah sering dikunjungi pembeli sehingga beliau tidak terlalu sering
keluar dari kiosnya untuk mengobrol dengan pedagang yang lain. Paling-paling hanya
menanggapi guyonan dari pedagang yang lain dari dalam kiosnya. Namun, ketika saya

mengunjungi kiosnya, Bu Afridah ternyata baik dan ramah, dan mirip seperti Budhe
Nur, sama-sama suka bercerita. Bu Afridah banyak menceritakan mengenai Padang dan
kehidupannya di Depok. Beliau bercerita bahwa beliau merupakan orang tua tunggal
dengan 3 orang anak. Suaminya pergi entah ke mana beberapa tahun yang lalu.
Sementara itu, Bu Peni lebih pendiam dan saya jarang melihat beliau keluar dari
kiosnya kecuali untuk mengambilkan sesuatu untuk pelanggannya.
Sewaktu saya mencoba untuk berkenalan, awalnya beliau agak menolak, tapi
ketika saya mengajaknya berbicara tentang hal lain, beliau mulai mau menjawab
pertanyaan saya. Sebagai pedagang yang pendidikannya lebih tinggi dibanding
pedagang lain di setting saya, topik pembicaraan yang Bu Peni bicarakan juga berbeda,
beliau banyak bercerita mengenai pendidikan dan pekerjaan, seperti keponakannya
4

yang baru lulus kuliah sedang mendaftar kerja di bank A atau anaknya yang sekarang
duduk di kelas 3 SMK ingin melanjutkan kuliahnya. Sepertinya tingkat pendidikan
mempengaruhi minat seseorang. Bu Peni yang pernah mengenyam pendidikan hingga
SMA mungkin

sadar bahwa mengejar karir itu penting. Dan mengejar karir bisa


dilakukan dengan cara bersekolah, mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Walaupun
tidak bertanya langsung, saya merasa Bu Peni berharap anaknya tidak meneruskan
pekerjaannya berdagang di pasar dan bisa bekerja di kantor. Berdagang bukanlah
pekerjaan yang buruk, namun berdagang seharian di pasar memang lumayan
melelahkan. Apalagi pasar tradisional yang panas dan agak kumuh karena masih
berlantai tanah dan semua jenis barang dagangan berkumpul di satu tempat.
Suami Bu Peni, Pak Erman, berusia 46 tahun dan sama-sama berasal dari
Padang. Pendidikan terakhir beliau yaitu SD. Pak Erman sehari-hari membantu Bu Peni
berjualan di pasar. Dulu, Pak Erman pernah memiliki kios pakaian di Pasar Pal, namun
karena ada kejadian kebakaran sekitar tahun 1998, beliau menutup kiosnya yang
terbakar dan sekarang telah membeli kios untuk Bu Peni berjualan bumbu-bumbu
dapur. Pak Erman memang lebih banyak berbicara mengenai keadaan pasar dari zaman
dulu beliau pertama berdagang sampai sekarang. Pak Erman biasa duduk di sebuah
meja tidak terpakai di depan kiosnya. Sepertinya suami-istri ini lebih suka duduk
menunggu pembeli, melayani pembeli dengan bicara secukupnya, dan tidak terlalu
banyak berbicara dengan sesama pedagang yang ada di sekitarnya. Selama saya
melakukan pengamatan, saya tidak melihat adanya interaksi antara Bu Peni dan Pak
Erman dengan pedagang yang lain. Mungkin karena Bu Peni lebih banyak berada di
dalam kiosnya dan ketika saya datang, Pak Erman sedang sibuk dengan telepon
genggamnya. Yang saya lihat, Pak Erman hanya mengobrol dengan Pak Maulana atau

sesekali menjawab pertanyaan pedagang lain. Menurut saya, sedikitnya interaksi antara
Bu Peni dan Pak Erman disebabkan karena keduanya bukan tipe orang yang suka
banyak berbicara, sehingga obrolan di antara mereka pun menjadi sedikit.
Pak Maulana, pedagang sayur di sebelah Budhe Nur. Beliau hanya bertugas
menjadi penjaga kios sayur di Pasar Pal. Pak Maulana berusia sekitar 30 tahun, berasal
dari Pemalang, dan berpendidikan SD. Pak Maulana juga tinggal di sebuah rumah
kontrakan selama bekerja di Depok, 1 tahun terakhir. Pak Maulana suka berjalan-jalan
ke tempat pedagang yang lain dan mengobrol dengan para pedagang maupun
5

pelanggan. Sepertinya sikap banyak berbicara Pak Maulana memang sudah menjadi
cirri khasnya. Tapi memang para pedagang lelaki di pasar biasanya lebih cerewet
daripada kaum lelaki lainnya. Menurut saya, sifat cerewet tapi tetap ramah dibutuhkan
dalam kegiatan berdagang supaya pelanggan bisa merasa lebih nyaman dan lebih dekat
dengan penjual, membuat pelanggan berpikir, ‘wah, Bapak ini ramah sekali, ya, saya
jadi suka berbelanja di sini.’ Sementara itu apabila pedagang melayani pembelinya
dengan jutek dan acuh tak acuh, tidak menjelaskan dagangannya, pelanggan bisa jadi
ingin cepat-cepat pergi dan membeli seperlunya saja atau apabila terpaksa.
Budhe Nur dan Pak Maulana yang kiosnya berdampingan terlihat sangat akrab
satu sama lain. Interaksi yang terjadi antara Pak Maulana dan Budhe Nur, seperti Pak

Maulana membantu Budhe Nur membuang genangan air di atas terpal kios Budhe Nur
atau ketika Budhe Nur menawari Pak Maulana makanan yang beliau miliki, biasa saya
lihat di setting. Interaksi yang terjadi ini menunjukkan adanya hubungan baik antara
Budhe Nur dengan Pak Maulana, mereka berdua mau saling membantu, berbagi, dan
peduli dengan satu sama lain. Hal ini bisa dipengaruhi oleh usia di antara keduanya, di
mana Pak Maulana berusia jauh lebih muda dari Budhe Nur, sehingga Pak Maulana
merasa sudah seharusnya beliau membantu Budhe Nur untuk aktivitas yang berat bagi
Budhe Nur. Sepertinya interaksi saling membantu dan berbagi antara Budhe Nur dan
Pak Maulana sudah menjadi kebiasaan, karena Pak Maulana cukup peka dan sigap
membantu Budhe, seperti membawakan barang, tanpa diminta terlebih dahulu dan
Budhe Nur juga langsung menawari sesuatu yang beliau miliki sebelum Pak Maulana
meminta.
Rekan kerja Pak Maulana, Abdan, masih berusia 18 tahun. Dia berasal dari
Serang dan pendidikannya berhenti ketika dia lulus dari SD. Sekarang ia bekerja
berjualan sayur di Pasar Pal bersama dengan Pak Maulana. Ketika saya mengobrol
dengan Abdan, bercerita bahwa sebelumnya ia juga berjualan sayur namun di pasar
yang lain. Dibandingkan Pak Maulana, Abdan termasuk pendiam. Dia tidak pernah
menanyai saya terlebih dahulu dan hanya menjawab pertanyaan saya, begitu juga
interaksinya dengan pedagang lain, ia hanya menanggapi apabila namanya dipanggil,
kecuali dengan Pak Maulana. Sepertinya hal ini dipengaruhi oleh umurnya yang baru

18 tahun, sementara pedagang di sekitarnya rata-rata berumur di atas 30 tahun dan ia
merasa tidak terlalu ‘nyambung’ untuk mengobrol dengan mereka. Selain itu, gender
juga bisa berpengaruh, mengingat pedagang di sekitarnya juga mayoritas perempuan
6

sehingga ia merasa kurang cocok dengan obrolan ibu-ibu pedagang. Ibu-ibu lebih suka
bercerita dengan ibu-ibu, gadis-gadis lebih suka berkumpul dengan gadis-gadis, bapakbapak lebih suka duduk bersama bapak-bapak, dan anak laki-laki lebih suka bermain
bersama anak laki-laki, itulah yang biasa kita lihat di kehidupan sehari-hari. Gender dan
umur memainkan peran penting dalam minat seseorang untuk berinterkasi dengan
orang lain karena gender dan umur dapat mempengaruhi ketertarikan seseorang,
misalnya ibu-ibu suka memasak sehingga lebih suka mengobrol dengan ibu-ibu lainnya
yang sama-sama suka memasak sehingga obrolan di antara mereka bisa seimbang atau
nyambung.
Pak Maulana sering meninggalkan kiosnya untuk mengunjungi kios pedagang
yang lain tanpa memberitahu Abdan, sepertinya Abdan telah mengerti bahwa ketika
Pak Maulana meninggalkan kios, ia yang harus menjaga kios sayur tersebut. Ketika
saya bertanya pada Pak Maulana, beliau bilang bahwa ada semacam kesepakatan di
antara mereka untuk bekerja secara shifting atau bergantian, dan ketika mereka menjaga
kios berdua, ada semacam kebiasaan di mana Pak Maulana sering meninggalkan Abdan
untuk menjaga kios. Abdan terlihat tidak merasa keberatan. Kebiasaan ini bisa saja

terjadi karena pautan umur, mengingat umur Pak Maulana yang cukup jauh dengannya
sehingga ia merasa harus menuruti Pak Maulana. Di sekitar kita juga banyak terjadi hal
yang sejenis, yang lebih muda dan baru akan menuruti mereka yang lebih tua dan lebih
berpengalaman.
Di depan kios Bu Afridah ada Pak Emon, pedagang kue yang paling lama
berjualan di Pasar Pal dibandingkan subyek-subyek yang lain di setting, lebih dari 35
tahun ia telah berjualan di sana. Pak Emon berusia 53 tahun dan berasal dari Kuningan.
Seperti Budhe Nur dan Pak Maulana, beliau juga mengontrak rumah di Depok dan
berpendidikan SD. Seperti Budhe Nur, Pak Emon juga sering menawari pedagang di
sebelahnya kue yang ia jual, walaupun memang tidak terlalu sering karena barang yang
ia jual merupakan barang titipan. Begitu juga dengan Bu Afridah, beliau juga suka
berbagi makanan dengan pedagang yang lain. Saling membantu dan berbagi banyak
ditemui di antara pelaku sosial yang telah mengenal dekat sama lain, masing-masing
pelaku merasa bahwa berbagi dan bantu-membantu merupakan suatu keharusan ketika
hidup bersama orang lain, apalagi di setting saya, para pedagang telah mengenal satu
sama lain selama bertahun-tahun. Tentunya menjaga hubungan baik di antara mereka
menjadi penting karena tetangga-tetangga mereka berdagang merupakan salah satu
7

orang yang paling dekat dan diharapkan bisa diandalkan ketika mereka memiliki

masalah dan membutuhkan bantuan.
Pelaku yang hanya saya temui sekali salah satunya adalah seorang penjual bubur
sumsum. Beliau adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun, Pak Emon merupakan
pelanggan dari bubur sumsum yang dijual beliau. Saya tidak mengetahui nama beliau
dan ketika saya bertanya pada Pak Emon, Pak Emon juga tidak mengetahui namanya,
beliau hanya mengetahui sebutannya, sebuah nama panggilan yang kurang jelas saya
dengar waktu itu. Menurut saya, sikap Pak Emon yang tidak menanyakan nama dari si
penjual ini bukan berarti Pak Emon tidak menghargai atau tidak mempedulikan si
penjual. Bisa jadi, karena orang-orang di sekitar atau orang lain yang biasa membeli
bubur lebih sering memanggil si penjual dengan sebutan lain, sehingga Pak Emon
hanya menirukan bagaimana orang lain memanggilnya. Seperti kebanyakan orang,
mungkin Pak Emon malas berkenalan dengan si penjual dan menanyakan langsung
namanya karena beliau melihat orang-orang di sekitarnya terlihat sudah mengenalnya
dan memberi julukan kepada si penjual. Mungkin Pak Emon berpikir bahwa ketika
beliau menanyakan namanya, suasana malah menjadi canggung karena Pak Emon
sendiri sudah menjadi salah satu pelanggannya, seperti ‘masa seorang pelanggan tidak
tahu nama penjual langganannya. Ya sudah, saya ikut-ikut yang lain saja memanggil dia
dengan julukannya.’
Pelaku yang hanya saya temui sekali lainnya adalah Bu Tono, beliau merupakan
pelanggan dari Pak Emon. Bu Tono tidak setiap hari mengunjungi dagangan kue Pak
Emon, namun Pak Emon hapal bahwa Bu Tono sering mencari lepet. Saya merasa
bahwa hubungan penjual dan pembeli perlu dijaga dengan baik, salah satunya dengan
cara menghapal kesukaan si pelanggan. Ketika pelanggan ditawari sesuatu yang ia suka
oleh pedagang langganannya, tentu saja ia merasa diistimewakan karena barang atau
makanan favoritnya diingat oleh si pedagang. Dengan menghapal barang langganan
pelanggannya, pedagang juga berusaha untuk membangun hubungan yang dirasa lebih
dekat sehingga pelanggannya mau terus membeli di tempatnya karena merasa telah
nyaman dan mengenal dekat dengan si pedagang.
Ketika saya sedang duduk-duduk mengobrol dengan Pak Maulana dan Pak
Erman, lewatlah Pak Min, beliau merupakan petugas administrasi pasar yang setiap hari
berkeliling menarik retribusi harian dari para pedagang di pasar. Dari penampilannya,
8

saya menduga beliau berusia sekitar 40 tahun. Saya mengetahui namanya dari Pak
Erman yang waktu itu sedang mengobrol dengan saya. Saya tidak sempat mengajak
beliau mengobrol atau berkenalan karena beliau terlihat sibuk menjalankan tugasnya.
Meskipun begitu, Pak Min juga sering menyapa para pedagang yang ia lalui, terkadang
beliau juga berhenti sebentar di setting milik Astri untuk mengobrol dengan Bang Haji.
Di setting saya beliau hanya menyapa dan tersenyum kepada para pedagang. Menurut
saya, Pak Min jarang mengobrol di setting saya dengan alasan yang sama seperti
Abdan, karena pedagang di setting saya didominasi oleh kaum perempuan.
Apabila Pak Min lewat, para pedagang yang melihat Pak Min langsung
mengeluarkan uang empat ribu rupiah untuk diberikan ke Pak Min. Semua pedagang di
setting saya membayar retribusi harian pasar. Ini menunjukkan para pedagang memiliki
sifat disiplin dan mungkin juga terpengaruh oleh adanya norma hukum yang berlaku
dan mengatur tentang kewajiban membayar iuran retribusi harian bagi para pedagang.
Selain itu, manfaat dari pembayaran retribusi harian juga dirasakan langsung oleh para
pedagang, sampah-sampah dibersihkan dan keamanan juga terjaga. Sehingga pedagang
benar-benar merasa bahwa retribusi yang mereka bayarkan sebanding dengan yang
mereka terima. Bahkan menurut Budhe Nur, biaya empat ribu rupiah itu termasuk
murah karena di pasar-pasar lain iurannya bisa mencapai lima belas ribu rupiah. Harga
yang tidak terlalu mahal ini bisa juga menjadi insentif orang untuk membayar dengan
taat. Begitu juga di setting Astri dan teman-teman yang lain, bagi saya ini menunjukkan
bahwa secara umum pedagang Pasar Pal mematuhi peraturan untuk mendapatkan
manfaatnya, yaitu kebersihan dan keamanan.
Hubungan di antara pedagang di setting saya sepertinya tidak berhenti sampai
mereka selesai berjualan di pasar. Berdasarkan cerita dari Bu Afridah, beberapa
pedagang, yaitu Budhe Nur, Pak Emon, Bu Peni dan suaminya, termasuk Bu Afridah
sendiri, sering mengunjungi hajatan yang diadakan oleh salah seorang pedagang.
Misalnya ketika anak Pak Emon menikah, para pedagang bersama-sama berangkat ke
Kuningan untuk menghadiri hajatan pernikahan putri Pak Emon. Selain itu, mereka
juga pernah mengunjungi Bu Afridah di Padang dan mengadakan pergi bersama di
kesempatan lain. Rasa kekeluargaan terasa di antara para pedagang, mungkin karena
mereka telah mengenal satu sama lain dalam waktu yang cukup lama, selain itu selisih
umur di antara mereka juga tidak terpaut cukup jauh, sehingga interaksi yang terjadi
bisa ‘nyambung’, dan hajatan merupakan acara yang sering dilakukan oleh para orang
9

tua. Kegiatan saling menghadiri acara ini merupakan suatu kebiasaan di antara pelaku,
seperti yang Pak Emon bilang, tidak enak apabila tidak memenuhi undangan dari
teman, alasan Pak Emon ini bisa dikategorikan sebagai logika sosial, di mana manusia
selalu mencari teman dan berusaha menjaga hubungan baik di antara para pelaku. Di
setting Astri dan setting kelas, saya tidak menemukan hal seperti ini, sehingga saya
tidak tahu apakah para pelaku di setting mereka juga menjalin hubungan di luar
hubungan sesama pedagang di pasar. Meskipun begitu, kekeluargaan di antara
pedagang Pasar Pal di mana pun settingnya semuanya dijaga dengan baik oleh para
pelaku di pasar.
Ada suku Jawa, Sunda, dan Minang, namun ternyata para pedagang di setting
saya bisa menghilangkan perbedaan-perbedaan itu dan menyamakan persepsi bahwa
mereka sama-sama berdagang di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mungkin pada awalnya perbedaan suku di antara pedagang bisa terasa karena kebiasaan
atau karakteristik yang jauh berbeda, orang yang satu suku saja banyak perbedaan
apalagi yang berbeda suku. Namun seiring berjalannya waktu, mereka bisa beradaptasi
dengan perbedaan itu. Contohnya Bu Afridah dan Bu Peni yang berasal dari Padang,
keduanya terlihat lebih dekat satu sama lain ketimbang dengan pedagang yang lain,
meskipun begitu, beliau berdua menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbincang.
Menggunakan bahasa daerah yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok tertentu bisa
menimbulkan perasaan kurang nyaman karena bahan perbincangan tidak diketahui oleh
orang yang tidak berbicara dengan bahasa itu. Setting yang terdiri dari berbagai suku
menyebabkan Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa utama. Ini juga bisa menjadi
suatu bentuk adaptasi pelaku terhadap lingkungan yang tidak biasa mereka temui di
daerah asalnya. Setting Astri juga menggunakan Bahasa Indonesia, namun menurut
saya, hal itu disebabkan oleh asal daerah para pelaku di settingnya mayoritas berasal
dari daerah Jabodetabek yang memang menggunakan Bahasa Indonesia di kehidupan
sehari-hari.
Ini merupakan sebuah pembelajaran bagi saya, biasanya saya hanya dikelilingi
oleh orang Jawa, tapi ketika berkuliah di Universitas Indonesia, saya banyak menemui
suku-suku lain di Indonesia, mulai dari orang Aceh sampai orang Lombok. Saya harus
bisa beradaptasi dengan perbedaan suku ini dan tidak mempermasalahkan asal daerah
seseorang. Hal yang bisa saya lakukan adalah dengan menggunakan Bahasa Indonesia
agar orang lain mengerti apa yang saya bicarakan dan belajar membiasakan diri dengan
10

karakteristik suku lain. Contohnya ketika berbincang dengan orang Batak, saya tidak
perlu memikirkan bagaimana mereka terkadang suka berbicara dengan nada yang bagi
saya kurang menyenangkan, padahal mungkin maksud mereka tidak seperti apa yang
saya pikirkan. Saya harus bisa membawa diri, mampu berinteraksi sesuai dengan tujuan
atau pelaku yang sedang diajak bicara.
Selain beradaptasi, di dalam masyarakat kita juga perlu menumbuhkan rasa
saling memiliki, rasa kebersamaan. Seperti bagaimana para pelaku di setting saya saling
membantu dan membagi makanan dengan pelaku yang lain. Hanya beradaptasi tidaklah
cukup untuk bisa bergaul dengan baik di suatu masyarakat, kita juga harus memiliki
sense of belonging. Jangan sampai merasa iri dengan rezeki pedagang lain, jangan
membiarkan sifat individualis terus tumbuh dalam diri kita.
Apabila dibandingkan dengan setting teman-teman di tempat lain, setting saya
yang terdiri dari berbagai jenis dagangan sepertinya tidak memiliki alasan untuk saling
berkompetisi dengan pedagang yang lain. Namun, usaha untuk saling menjaga perasaan
satu sama lain tetap sama, mereka berusaha untuk tidak mencari masalah atau
mengganggu pedagang yang lain. Hal ini sesuai dengan sifat manusia yang
kebanyakan, atau pada dasarnya, risk averse, menghindari risiko dengan menghindari
konflik. Menurut saya, di setting saya tidak terlihat ada konflik yang begitu parah
sehingga bentuk risk averse tidak terlalu terlihat, berbeda dengan beberapa cerita di
setting lain yang dengan mudah ditemukan, seperti pedagang yang membiarkan
pemabuk berada di sekitar mereka selama ia tidak mengganggu aktivitas mereka.
Mereka membiarkan si pemabuk berada di situ karena dia tidak mengganggu dan
mereka juga tidak ingin konflik yang tadinya tidak ada malah menjadi ada apabila
mereka mengusir si pemabuk.
Perilaku saling membantu di antara para pedagang di setting lain dengan setting
saya kurang lebih sama, para pedagang saling membantu satu sama lain, demi menjaga
hubungan dan dipicu naluri alamiah manusia untuk saling membantu satu sama lain.
Hal ini bisa juga didasari oleh hubungan timbal-balik atau resiprokasi, di mana ketika
seseorang berbuat baik kepada orang lain, orang tersebut cenderung akan diperlakukan
dengan baik juga oleh orang lain. Sehingga ketika seseorang membantu orang lain,
secara tidak langsung ia membuat orang yang dibantu merasa memiliki rasa balas budi
terhadap orang yang telah membantunya, meskipun ia membantu dengan ikhlas.
11

Sebagai kesimpulan, menurut saya tindakan dan interaksi yang terjadi di setting
saya, subsetting, dan setting kelas tidak jauh berbeda. Semua pelaku saling membantu
dan cenderung tidak ingin memicu terjadinya konflik antarpedagang. Di setting saya,
saya menemui adanya kecenderungan masyarakat untuk menghindari cap negatif dari
orang lain dengan menjaga perbuatannya. Selain itu, para pelaku yang berasal dari
berbagai jenis suku rupanya juga tidak menumbuhkan rasa kesukuan, meskipun hampir
di semua setting dapat ditemui orang-orang yang berasal dari suku yang sama
cenderung lebih dekat, namun terdapat rasa kebersamaan, bahkan kekeluargaan di
antara masyarakat plural di Pasar Pal. Perbedaannya di setting saya, saya rasa
kekeluargaan di antara mereka lebih kental, dibuktikan dengan pelaku yang saling
mengunjungi hajatan pelaku lain meskipun tempat tinggal pelaku tersebut cukup jauh.
Kemudian, gender dan umur merupakan faktor penting dalam terjadinya interaksi, baik
di setting saya, subsetting, maupun di setting kelas.

12