Hijrah dan Revolusi Mental mencegah

Harian Waspada 25 Oktober 2014
Hijrah dan Revolusi Mental
Oleh: Husamah, S.Pd., M.Pd.
(Dosen di Universitas Muhammadiyah Malang)
Menjelang akhir Oktober ini bangsa Indonesia menjumpai dua momen besar. Pertama
adalah pelantikan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden Republik Indonesia.
Kedua adalah perayaan tahun baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah. Perhatian masyarakat di
seantero negeri seluruhnya tertuju kepada pasangan Jokowi-JK. Sementara itu, cerita tentang
tahun baru Islam sayup-sayup terdengar.
Peristiwa spektakuler berupa hijrahnya Nabi SAW beserta para sahabat dari Mekkah ke
Madinah memang telah berlalu 1436 tahun. Namun, tentu saja pelajaran berharga dari peristiwa
sejarah itu harus tetap terpatri. Bijaknya, sebagai umat dan anak bangsa kita harus menarik
garis penghubung dari kedua momen tersebut.
Sangat wajar bila peristiwa sejarah hijrah dan kisah-kisah inspiratif yang menyertainya kita
dijadikan cerminan untuk kehidupan saat ini maupun masa depan bangsa. Hijrah membawa
pesan penting dan universal khususnya bagi kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Sebagai
peristiwa masa lalu, hijrah tidak akan bermakna apa-apa bagi kehidupan masa kini jika tidak
ada upaya mengaktualisasikan pesan dasarnya. Meskipun merupakan peristiwa masa lalu,
hijrah tetap memiliki signifikasi dan relevansi sangat penting bagi kehidupan kita.
Menyelami Makna Hijrah
Gibb dan Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam telah menobatkan Umar bin

Khattab sebagai pembangun imperium Arab yang legendaris. Umar bin Khattab pula yang
menetapkan hijrah Nabi sebagai awal perhitungan kalender Islam yang didasarkan pada
peredaran bulan. Fazlur Rahman, pemikir modernisasi Islam, menyebut peristiwa hijrah yang
kampanyekan oleh Umar sebagai marks of the begining of Islamic calendar and the founding of
Islamic community. Ia menyebut demikian sebab peristiwa hijrah menjadi momentum penting
dalam perhitungan kalender Islam. Ia juga menyebut hijrah sebagai the founding of
Islam, sebab hijrah merupakan babak baru dalam membentuk masyarakat demokratis, egaliter,
dan berperadaban.
Sementara itu, seorang ulama terkemuka Indonesia, Quraish Shihab dalam Tafsir AlMishbah memamparkan 3 poin penting terkait hijrah. Pertama, kata "Hijrah", digunakan untuk
mengistilahkan perpindahan suatu kaum atau individu dari satu hal yang sifatnya buruk kepada
yang sifatnya baik. Pengertian ini berlaku kepada kegiatan pindah tempat maupun pindah
kelakuan (sikap).
Kedua, dalam al-Qur'an Allah SWT telah berjanji untuk memberikan kelapangan bagi
siapapun yang berhijrah. Namun, kelapangan itu hanya berlaku bagi orang yang secara
sungguh-sungguh melaksanakan hijrah. Ketiga, sebelum hijrahnya Nabi SAW, Nabi-Nabi
sebelum beliau pun melaksanakan Hijrah. Nabi Musa AS beserta kaumnya pernah berhjrah dari
Mesir ke Palestina. Patut menjadi catatan bahwa hasil dari hijrahnya Nabi-Nabi terdahulu
berbeda satu sama lain disebabkan oleh perbedaan usaha yang dilakukan oleh masing-masing
Nabi. Hijrahnya Nabi SAW dilakukan dengan perencanaan yang matang, dan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi serta bertahap. Nabi SAW, sebagai pemimpin, justru yang terakhir

berangkat hijrah. Beliau berangkat bersama Abu Bakar As-Siddiq. Meskipun mengalami
berbagai rintangan, Nabi SAW tidak gentar bahkan ketika mereka berdua bersembunyi di gua,
Nabi SAW lah yang menenangkan Abu Bakar. Buah dari perencanaan serta kebersamaan itu
maka hijrah berjalan sukses.
Quraish Shihab, sebagaimana Fazlur Rahman, menyimpulkan bawa hijrahnya Nabi SAW
adalah bentuk optimisme dan mengandung nilai untuk peradaban. Ketika Nabi SAW hijrah

menuju Yastrib, beliau lantas merubah nama kota menjadi Madinah. Nabi SAW memulai
sebuah peradaban baru dan nilai-nilai baru yang ditanamkan, populer kita kenal sebagai
masyarakat madani.
Ternyata, perintah hijrah bukan sekadar bermakna perpindahan geografis dan fisik
material, tetapi juga perpindahan secara spiritual, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Makna
hijrah juga berarti perpindahan dan perubahan terhadap formasi sosial, politik, budaya dan
keberagamaan. Hijrah geografis dan fisik material akan sia-sia jika tidak dibarengi hijrah pikiran
dan tekad (mental) serta perilaku. Lahirnya Piagam Madinah yang mengakui nilai-nilai
kemanusiaan universal, toleransi, antidiskriminasi, antiketidakadilan, dan peradaban humanis
membuktikan bahwa pilihan strategi dan pendekatan yang dilakukan oleh Nabi SAW cukup
bijak dan tepat. Pilihan Nabi terbukti dalam sejarah yang ditandai dengan beberapa prestasi
sosial, ekonomi, politik, dan spiritual saat itu.
Hijrah dan Revolusi Mental

Hijrah Nabi SAW bersama para pengikutnya merupakan misi untuk membangun
masyarakat dengan penuh optimisme, keyakinan, dan positive thingking. Reaktualisasi makna
hijrah sangat diperlukan bangsa Indonesia, yakni kemampuan untuk berpindah menyikapi hidup
dengan optimis dan positive thinking ditengah multikrisis. Melalui komando Jokowi-JK, bangsa
ini harus segera melakukan „hijrah mental” (sedikit mengubah jargon kampanye Jokowi-JK yaitu
“revolusi mental”). Nabi memberikan keteladanan “mental” dengan berani hijrah dari kondisi
dizalimi dan dikalahkan.
Hijrah mental harus kita maknai sebagai upaya melakukan perbaikan atas mentalitas diri
pribadi setiap individu. Berbagai perilaku terpuji yang harus segera dilakukan sebagai wujud
hijrah mental adalah menghentikan KKN, menghentikan sikap ingin dilayani, bekerja untuk
rakyat, cinta tanah air, dan ksatria. Intinya, hijrah mental adalah melakukan perubahan secara
radikal atas sikap yang bertentangan dengan norma sehari-hari, baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun berbangsa.
Hijrah mental harus dilakukan secara berjamaah dan melibatkan seluruh elemen. Bangsa
Indonesia harus bertekad baja untuk berhijrah dari krisis mental yang hina menjadi mental
mulia. Kita tentu tidak ingin terus tercatat sebagai bangsa penghasil koruptor. Faktanya, praktik
korupsi sudah di luar nalar sehat dan melibatkan orang-orang terhormat. Ini fakta paradoksal
sekaligus ironi. Tentu kenyataan kelam ini harus segera kita akhiri.
Mari kita ingat janji Allah: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati
di muka bumi ini tempat hijrah yang luas serta kelapangan rizki. Barangsiapa keluar dari

rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. (QS.An-Nisa’: 100).
Akhirnya, melalui hijrah, kita berkesempatan mendapatkan energi sosial dan spiritual
untuk melakukan introspeksi dan menyusun strategi guna memperbaiki bangsa. Oleh karena
itu, sepatutunya kita berdo‟a semoga Jokowi-JK bangsa ini segera melakukan hijrah (revolusi)
mental sehingga cita-cita baldatun tayyibatun warbbaun ghafur segera terkabul. Amin.
Husamah, S.Pd. M.Pd.
D/a Perum IKIP Tegalgondo Blok 1C no. 7 Malang
HP. 081216183817
Rekening: BNI 46 Capem UMM an Husamah, No. 0184138507