Hukum dan Pluralisme menuju hukum yang r

MEMBANGUN HUKUM YANG “NETRAL” BAGI MASYARAKAT PLURAL (POLITIK
HUKUM DALAM DIMENSI HUKUM AGAMA DAN HUKUM ADAT)
Jurnal ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Politik Hukum
Dosen Pengampu :
Mustafa Lutfi, S.Pd., SH., MH
Oleh
Moh.Sahrun Nizam

: 13220200

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG
2016

MEMBANGUN HUKUM YANG “NETRAL” BAGI MASYARAKAT PLURAL (POLITIK
HUKUM DALAM DIMENSI HUKUM AGAMA DAN HUKUM ADAT)
Moh. Sahrun Nizam
Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah, UIN Maulana Malik Ibrahim


Abstrak
Hukum yang akan diberlakukan di suatu negara tidak dapat dilepaskan dari situasi konkrit di
negara tersebut Paling tidak aliran historis, aliran realis, aliran hukum sosiologis dan aliran
feminis mengakui hal tersebut. Untuk dapat mempergunakan aliran-aliran hukum yang ada
mengenai hukum yang idealnya diberlakukan di suatu Indonesia, terlebih dahulu perlu
dipaparkan situasi konkrit keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini. Setelah mengetahui
situasi pluralism nilai dan masyarakat Indonesia, sebelum mengajukan usulan tentang hukum
yang sebaiknya diberlakukan dalam situasi tersebut,perlu diketahui terlebih dahulu politik
Hukum Indonesia menghadapi pluralism nilai dan masyarakatnya.menciptakan sebuah produk
Hukum yang ‘Netral’, bagi, berbagai macam budaya dan latar belakang yang ada pada
masyarakat Indonesia. Terciptanya sebuah Hukum yang ‘Netral’, agar mampu memberikan
rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Keyword : Hukum, pluralism, netral
A. Pendahuluan
Salah satu orientasi teoritik antropologi hukum ialah menguji aneka ragam
studi interaksi keberadaan hukum dengan aspek-aspek kemasyarakatan, baik sebagai
efek dari keberadaan lembaga-lembaga hukum, doktrin dan praktek hukum serta
fenomena antropologis yang berlangsung dari eksistensi satu hukum. Karena tidak


dapat dibantah bahwa kecenderungan akhir dari efektifitas satu hukum sangat
tergangung pada faktor antropologi hukum, ilmu hukum, analisis ekonomi terhadap
hukum, analisis terhadap kriminologi, analisis agama terhadap hukum dan analisis
hak asasi manusia yang mengait dengan hukum.1
Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan
hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya
pluralisme hukum di indonesia di sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia
yang mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara
etimologis bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun pada dasarnya memiliki
persamaan yang sama yaitu mengakui semua perbedaan-perbedaan sebagai
kenyataan atau realitas. Dan di dalam tujuan pluralisme hukum yang terdapat di
indonesia memiliki satu cita-cita yang sama yaitu keadilan dan kemaslahatan bangsa.
Kehidupan hukum indonesia yang notabenya menganut sistem hukum yang
begitu plural. Sedikitnya terdapat lima sistem hukum yang tumbuh dan berkembang
di dunia. 1).Sistem Common law, sistem common law ini dianut oleh inggris dan
bekas penjajahan inggris,pada umumnya , bergabung dalam negara - negara
persemakmuran, 2). Sistem Civil Law yang berasal dari hukum romawi,yang dianut
di Eropa Barat, dan di bawa ke negara-negara bekas penjajahanya oleh pemerintah
kolonial dahulu, 3) Hukum Adat,hukum adat berlaku di negara Asia dan
Afrika,hukum adat berlaku tergantung adat masing masing atau suatu wilayah

tersebut, 4). Hukum islam, hukum islam di anut oleh orang-orang Islam di manapun
berada,baik di negara-negara di Afrika Utara, afrika Timur, Timur Tengah (Asia
Barat) dan Asia ,5). Sistem Hukum Komunis atau sosialis yang dilaksanakan di
negara-negara seperti Uni Soviet.2
Dari kelima sistem hukum yang terdapat di Dunia, Indonesia hanya
menganut tiga dari lima sistem hukum tersebut yakni sistem hukum Adat, sistem
hukum Islam dan hukum Barat, ketiga hukum tersebut saling berkesinambungan
antara satu dengan yang lain mereka saling beriringan menggapai tujuan yang sama,
1
2

Jawahir Thontowi, paper yang disampaikan pada Perkuliahan Program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga, 27 Mei 2010.
Mohammad Daud Ali, Hadirnya hukum islam di indonesia (Hukum Islam),Jakarta:
Rajawali Press, 1990, hlm. 43

namun di dalam perjalananya mereka mengikuti aturan yang terdapat di dalam
hukum tersebut.
Tetapi bila di kaji secara logika masing-masing hukum tersebut, memiliki
kesamaan di dalamnya. Mau tidak mau bahwa sistem pluralisme hukum di indonesia

telah melekat dan menjadi darah daging bagi masyarakat kita. Dan kita tidak bisa
mengelak bahwa hukum pluralisme tersebut berkembang di indonesia. Konsep
pluralisme hukum bangsa Indonesia menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara
berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam
mengatur relasi-relasi sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada indonesia,
hukum akan terpakai sendiri dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut.
Hakikatnya pluralisme hukum di indonesia tujuaanya sama, yakni mencapai
keadilan dan kemaslahatan bangsa. Walaupun hukum bangsa ini bersumber lebih dari
satu aturan hukum yang begitu terlihat dan nampak begitu jelas, sistem hukum
tersebut memiliki visi dan misi yang sama. Dari sistem keanekaragaman hukum
bangsa ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa
Indonesia yang ingin mencapai kehidupan yang maslahat, adil dan sejahtera. Banyak
literatur di kemukakan bahwa tujuan hukum adalah mencapai dari pada keadilan. Di
dalam buku Prof. Peter Mahmud Marzuki SH.MS.LLM. “Gustav radbruch
menyatakan bahwa cita hukum adalah tidak lain dari pada keadilan.3
B. Metode Survei/Analisis
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta
desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus cocok dengan pendekatan
penelitian yang dipilih. Prosedur, teknik, serta alat yang digunakan dalam penelitian

harus cocok pula dengan metode penelitian yang ditetapkan.
Jenis

penelitian

yang

digunakan

dalam

penyusunan

penelitian

ini

adalah penelitian pustaka (library research), yang bertujuan untuk mendeskripsikan

3


Peter Mahmud Marzuki, Pengantar hukum indonesia,( Civil Law dan Common Law),
Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm. 7

sebuah penelitian dan apabila memungkinkan memberi solusi masalah- masalah
dalam kehidupan sehari-hari.4.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan nilai-nilai
masyarakat (Values of people approach), dengan analisis kualitatif karena penelitian
ini diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep hukum
dan undang- undang ikutannya atau peraturan organik 5, dengan tujuan untuk
memperoleh kejelasan dan pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum
yang bersumber dari prinsip-prinsip hukum.
3. Sumber data
Sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh.
Sumber data merupakan salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang
diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan.6

Maka sumber data


diklasifikasikan menjadi:
a. Data Primer
Data yang diambil dari beberapa Buku ataupun penelitian-penelitian yang
berhubungan erat dengan apa yang penulis sedang diteliti.
b. Data Sekunder
Data yang diambil dari buku-buku maupun jurnal yang diterbitkan yang masih
ada hubungan dengan penelitian penulis.

C. Hasil dan Pembahasan
4
5
6

Saifudin Azar, MetodePenelitian, (Yogyakarta: Pus taka Pelajar, 1998), hlm. 36
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, sebagaimana dikutip oleh H.M. Hadin
Muhjad, Dasar-Dasar Penelitian Hukum, Jakarta: Aditama 2011, hlm. 33-34
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press,
2001 , hlm: 32

1. Pluralisme Nilai Agama dan Hukum Adat di Indonesia

a. Pluralisme Nilai Agama di Indonesia
Negara Indonesia mengakui berbagai agama untuk dianut masyarakatnya.
Agama-agama tersebut adalah agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Selain
agama juga diakui adanya aliran kepercayaan. Diantara agama-agama tersebut,
agama Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya. Dengan demikian dari
sisi kekuatan, agama Islam mempunyai kekuatan sosial yang lebih besar dibanding
kekuatan agama-agama lainnya.
Nilai-nilai yang dianut dalam agama yang satu dengan yang lain sering
berbeda, atau paling tidak ditafsirkan secara berbeda. Agama adalah kepercayaan
akan adanya Tuhan atau Allah beserta ajaran-ajaranNya. Apabila ditinjau dari sumber
ajaran agama, yakni dari Tuhan, maka mestinya ajaran agama apapun pada dasamya
akan sama karena sumbernya sama. Pada kenyataannya, antara agama yang satu
dengan agama yang lain saling mengklaim bahwa hanya ajaran agama mereka yang
benar. Ajaran masing-masing agama bersumber dari alkitab yang diyakini berasal
dari Tuhan. Dari berbagai alkitab itulah sumber perbedaan nilai dari masing-masing
agama, meskipun pada hakekatnya bersumber dari ajaran yang sama, yakni ajaran
Tuhan. Beberapa contoh puralisme nilai yang diakibatkan adanya perbedaan agama
adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini7.
1) Adanya dualisme asas dalam perkawinan, yakni asas monogame dan asas
poligame. Asas monogame dianut oleh pemeluk agama non muslim. Asas

poligame dengan syarat-syarat tertentu dianut oleh pemeluk agama Islam.
2) Dalam ajaran Islam, adanya 10 aurat perempuan yang harus ditutupi.
Perempuan muslim harus berjilbab sehingga 10 auratnya tertutup. Yang boleh
melihat hanyalah mereka yang termasuk muhrimnya. Bagi umat non muslim,
ketentuan tersebut tidak ada. Yang ada hanya ketentuan yang sifatnya umum,
yakni berpakaian secara sopan dan tidak harus menggunakan jilbab sehingga
menutupi 10 auratnya.
3) Dalam ajaran Islam, ahli waris harus seagama dengan pewaris. Dalam agama
non muslim tidak mengenal aturan tersebut, bahkan tidak ada ketentuan
mengenai pewarisan.
7

Sajuti Thalib, Politik Hukum: Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dan
Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta, 1987, hlm 4041

4) Pemeluk agama muslim mengenal bulan puasa selama satu bulan dan dalam
bulan puasa tersebut dalam rangka menghormati umat muslim, ada himbauan
bagi penjual makanan dan tempat hiburan untuk tutup selama bulan puasa.
Pemeluk agama non muslim juga mengenal puasa, akan tetapi tidak selama itu
dan tidak ada himbauan bahwa penjual makanan dan tempat hiburan untuk

tutup.
5) Makanan yang mengandung babi haram bagi pemeluk agama Islam, akan tetapi
tidak haram bagi pemeluk agama Kristiani.

b. Pluralisme Nilai Hukum Adat di Indonesia
Selain hukum positif yang dari hukum diciptakan oleh pembuat UndangUndang, hukum positif Indonesia juga terdiri dari hukum tidak tertulis, yang hidup
dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya, dipatuhi serta mempunyai sanksi.
Hukinn tidak tertulis tersebut disebut dengan hukum adat.
Antar generasi ada perbedaan pandangan mengenai eksistensi hukum adat di
Indonesia8. Berpendapat bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena
ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum adat adalah suatu
jenis hukum yang merachmati, yang simpatik, yang karena dinamik dan plastiknya
memberikan kemungkinan sepenuhnya imtuk menumbuhkan pengadilan dan
keadilan dan karena tinggi nilainya. Kandimgan di dalamnya banyak memberikan
sumbangan yang mulia dalam perkembanan seluruh umat manusia. Oleh karena itu
patutlah jika mematnirya, memelihara dengan khidmad sebagai pusaka dari leluhur 9.
Senada dengan pendapat tersebut, dapat pula dicatat pendapat Nasroen, yang
menyatakan bahwa kesanggupan bangsa Indonesia dalam soal kebudayaan ternyata
dari hukum adat ini adalah tinggi mutunva dalam mengatur ketatanegaraan dan
mengatur budi pekerti dan pergaulan hidup manusia. Hukum adat adalah asli

kepunyaan dan ciptaan bangsa Indonesia sendiri10. Soeripto yang mencoba untuk
mencari pertalian antara hukum adat dengan falsafah negara Pancasila, telah sampai
kepada kesimpulan bahwa kedudukan hukum adat dapat dianggap sama dengan
kedudukan Pancasila dalam hal hukum. Antara Pancasila dan hukum Adat ada
8
9

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003, hlm 5
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,
1985, hlm 13
10 Nasroen Sahibi, Kerukunan Antar Umat Beragama, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm
14

kesatuan dan persatuan dalam hal hukum11. Soekanto secara tegas menyatakan bahwa
apabila mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai hukum
adat, tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan penuh perasaan piila, mereka melihat
sesuatu sumber yang mengagumkan, adat istiadat dahulu dan sekarang, adat istiadat
yang dapat berkembang, adat istiadat yang seirama12. Pendapat-pendapat tersebut
mewakili pandangan generasi terdahulu tentang eksistensi hukum adat, sebagai
hukum yang memang ada dan berkembang di masyarakat adat serta masih dipatuhi
karena mengandung nilai-nilai luhur.

2. Politik Hukum di Indonesia Terhadap Agama dan Hukum Adat
a. Politik Hukum di Indonesia Terhadap Agama
Politik

hukum

adalah

kehendak

penguasa

mengenai

hukum

yang

diberlakukan dan ke arah mana hukum akan dikembangkan. Indonesia adalah
masyarakat yang plural dengan nilai, baik karena perbedaan agama, perbedaan adat,
maupun perbedaan yang lainnya, misalnya suku.
Bagi kaum instrumentalis, hukum dan kekuasaan negara dipergunakan
sebagai alat oleh kelompok terorganisir atau individu-individu dalam masyarakat
untuk merealisasikan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan mereka. Kaum
instrumentalis menyetujui bahwa hukum adalah hasil hubungan-hubungan politik di
antara kelompok dan individual. Paham instrumentalis ada dua tipe, pertama pluralis
dan yang kedua elit-elit bersama (corporate elit).
Hukum yang Netral Bagi Masyarakat Plural [Studt pada Sltuasl di Indormtify
Hukum menurut pandangan pluralis lebih merupakan pola desentralisasi dari
kekuasaan ekonomi dan politik dan kekuasaan dibangun dari beberapa kelompok
kepentingan yang saling berseberangan. Lawrence Friedmann lebih mempertegas
lagi pandangan faham pluralis mengenai hukum, yakni bahwa hukum merupakan

11
12

Soeripto Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Bandung: Abardin CV, 1987, hlm 402
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001, hlm 18

hasil dari kepentingan kelompok yang saling berkompetisi yang sering mempunyai
kekuatan yang berbeda-beda13.
Pandangan kaum pluralis tersebut di atas didasarkan pada pengalaman
mereka bahwa dalam masyarakat plural nilai dan kepentingan, atau dalam
masyarakat liberal nilai dan kepentingan, proses pembentukan hukum diwarnai
dengan

upaya

dari

berbagai

kelompok

kepentingan

untuk

mendesakkan

kepentingannya agar diakomodasi oleh hukum. Tujuannya adalah untuk melegitimasi
kepentingan mereka. Mengapa mereka butuh legitimasi, karena dalam masyarakat
plural nilai atau masyarakat liberal nilai, sulit sekali memperoleh legitimasi dari
kelompok kepentingan lainnya. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah dengan
menggunakan kekuasaan negara atau hukum yang mempunyai legitimasi. Apabila
pandangan pluralis ini dipergunakan, akan terjadi pertentangan nilai dalam proses
pembuatan hukum dan apabila kriteria kepentingan yang diakomodasi dalam hukum
adalah nilai mayoritas, bukan nilai yang paling berkualitas, maka kepentingan
kelompok minoritas akan selalu kalah berkompetisi.
Mengenai hubungan negara berhadapan dengan agama, terdapat dua bentuk
hubungan yang ekstrem dan saling berlawanan, yakni negara sekularistik dan negara
agama. Dalam negara sekularistik, negara menganggap sepi adanya agama-agama
dalam masyarakat. Agama tidak ditindas akan tetapi juga tidak didukung ataupun
diikutsertakan dalam kebijakan-kebijakan negara. Dilihat dari kepentingan agama,
apabila dalam suatu masyarakat hanya terdapat sekelompok kecil penganut agama
dan kelompok yang jauh lebih besar lainnya tidak begitu peduli dengan agamaagama, maka negara sekularistik dapat diterima. Di sisi lain, apabila dalam
masyarakat agama memainkan peran yang besar dan jumlah penganutnya cukup
besar (tidak perlu mayoritas), maka paham negara sekularistik tidak akan diterima14.
Politik hukum lain yang sarat dengan unsur agama adalah ketentuan Pasal 31
ayat (5) UUD 1945, yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
13

Lawrence Friedmann, Teor dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994, hlm19
14 Frans Magnis suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1988, Hlm 356

tehnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia". Dalam ketentuan Pasal
tersebut sekali lagi unsur agama dimasukkan dalam kebijakan pengatuan pendidikan.
Ketentuan UUD 1945 sebelumnya yang mengatur mengenai kebijakan pendidikan
nasional tidak memuat unsur agama di dalamnya. Perubahan politik hukum yang
memasukkan nsur agama tersebut bukan tidak punya maksud. Secara sekilas
tujuannya adalah baik, mengembangkan ilmu pengetahuan yang disasrkan atas nilainilai yang dianggap luhur. Sayang bahwa nilai yang dipilih adalah nilai agama, yang
sekali lagi dalam tataran pelaskanannya dapat menimbulkan konflik antar agama.
Ada standard ganda yang dilakukan oleh pemerintah dalam politik hukumnya
terhadap agama. Di satu sjsi ada bidang yang diatur tanpa dicampuri unsur agama,
seperti kebudayaan (lihat Pasal 32 UUD 1945 amandmen keempat), ekonomi (lihat
pasal 33 UUD 1945 amandemen keempat). Di sisi lain,ada yang dicampuri unsur
agama, seperti bidang pendidikan (lihat pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945 amandemen
keempat).
Dari dulu hingga kini ilmu pengetahuan diakui bahwa ilmu harus bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Ilmu harus dapat membuat kehidupan manusia lebih adil,
lebih damai, lebih sejahtera, lebih beradab dan seterusnya. Itulah sifat hubungan
antara ilmu dengan nilai-nilai yang luhur, seperti kemanusiaan, keadilan,
kesejaheraan ataupun agama. Kebenaran ilmiah sudah ada metodologinya sendiri,
akan tetapi aspek aksiologi dari ilmu pengetahuan memang dapat dimasuki dengan
nilai-nilai moral, seperti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan manusia dan
seterusnya. Lopa berpendapat bahwa ilmu, iman dan amal meruakan satu kesatuan.
Satu kesatuan yang dmaksud adalah sebagai berikut. Dengan ilmu orang dapat
memperdalam agama dan imannya dan selanjutnya iman yang kuat akan menuntun
orang dalam beramal. Pendapat tersebut mendukung padngan yang ada selama ini
bahwa metodologi ilmiah sudah ada caranya tersendiri dan tiak apa dicampuri unsur
agama, akan tetapi aspek aksiologi dari ilmu pengetahuan yang dapat dicampuri
nilai-nilai agama atau nilai luhur lainnya15.
15

Baharuddin Lopa, Masalah-masalah Politik,Hukum,Sosial dan Budaya, Sebuah
Pemikiran, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm 130

Apabila perumusan pasal 31 (5) UUD 1945 amandemen keempat yang
memuat unsur agama tersebut tetap dibiarkan, dalam tataran penafsiran yang bias
yang dapat menimbulkan konflik antar agama.

b. Politik Hukum Indonesia terhadap Hukum Adat
Berlakunya hukum perdata di Indonesia sampai saat ini bersifat pluralisms.
Ada lebih dari dua hukum yang diberlakukan untuk masing-masing golongan
masyarakat, yakni untuk golongan Indonesia asli, golongan Eropa dan golongan
Timur Asing yang berada di Indonesia. Pluralisme hukum perdata tersebut dari
sejarhnya diakibtakan adanya politik hukum dari pemerintah Hindia Belanda waktu
itu yang memberlakukan ketentuan Pasal 131 jo.163 IS (Indische Staats Regeling,
S.1855-2). Berdasrkan ketentuan tersebut berlakunya hukum perdata bagi golongan
Indonesia asli adalah hukum adat. Hingga saat ini politik hukum pemerintah Hindia
Belanda tersebut masih berlaku meskipun dalam bebrapa bagian hukum perdata
sudah diganti dengan hukum nasional Indonesia.
Hukum perdata terdiri dari hukum tentang orang, tentang keluarha, tentang
benda dan harta kekayaan. Berlakunya hukum perkawinan saat ini sudah diatur dan
berlaku secara nasional untuk semua golongan dengan diundangkannya UU
No.1/1974 tentang Perkawinan. Dasar peinikiran yang dipergunakan dalam kaedah
hukum UU No. 1/1974 adalah hukum agama, bukan hukum adat. Jadi hukum adat
tentang perkawinan sepanjang sudah diatur dalam UU No.1/1974 sudah tidak berlaku
lagi. Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam UU No.1/1974. Dalam praktek,
upacara perkawinan doiserahkan kepada para pihak. Pada umumnya yang
dipergunakan adalah hkum adat masing-masing.
Berlakunya hukum waris saat ini masih dipengaruhi oleh politik hukum
pemerintah Hindia Belanda (lihat Pasal 131 jo 163 IS), yakni bagi golongan
Indonesia asli berlaku hukum adat, bagi golongan Eropa berlaku BW dan bagi
golongan Timur asing berlaku hukum adat mereka yang dibawa di Indonesia. Dengan

demikian ada pluralisme berlakunya hukum waris di Indonesia. Hingga saat ini
pepemrintah belum merubah politik hukum yang berhubungan dengan hukum waris
tersebut. Dengan demikian politik hukum Indonesia mengenai hukum waris masih
meneruskan politik hokum penerintah Hindia Belanda, yakni memebrlkukan hukum
adat.
Berlakunya hukum waris adat antara masyarakat adat yang satu dengan yang
lain berbeda-beda. Van Vollen Houven menyebut ada 19 lingkungan hhukum adat.
Perbedaan berlakunya hukum adat yang berbeda-beda tersebut menyebabkan
timbulnya konflik mengenai berlakunya hukum, dalam hal ada dua pihak yang
tunduk pada hukum adat yang berbeda, melakukan hubungan hukum. Pertanyaannya
adalah, hukum mana yang diberlakukan? Pertanyaan tersebut dijawab dalam hukum
antar golongan. Dalam hukum antar golongan akan dinteukan hukum mana yang
akan diberlakukan apabila ada konflik hukum antara du golongan yang tunduk apda
hukum yang berbeda. Cara menentukannya ada dua, yakni dengan pilihan hukum
(untuk hukum pelengkap) dan penunjukkan hukum (untuk hukum pemaksa)16.
Apabila politik hukum terhadap adanya pluralisme hukum adat adalah dengan
tetap memberlakukan masing-masing hukum adat tersebut, maka masih diperlukan
adanya hukum antar golongan, yang akan menyelesaikan konflik hukum apabila dua
orang yang tunduk apda hukum yang berbeda melakukan hubungan hukum. Karena
hukum yang berbeda adalah hukum adat, maka diperlukan hukum antar adat yang
akan menyelesaikan konflik hukum antara dua orang yang tunduk apda hukum adat
yang berbeda.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, untuk menentukan hukum
adat mana yang diberlakukan apabila ada dua pihak yang tunduk apda hukum adat
yang berbeda melakukan hubungan hukum, dilakukan dengan pilihan hukum atau
penunjukkan hukum. Dalam hal dilakukan pilihan hukum, dasarnya alah kesepakatan
para pihak. Pertanyaannya, bagaimana apabila para pihak tidak ada kata sepakat?
Tentu masih menyisakan persoalan. Dalam hal akan diselesaikan dengan
16

Sunaryati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung:
Alumni, 1971, hlm 139

penunjukkan

hukum,

persoalannya

ateh

hukum

seperti

apa

yang

akan

dipergunakannya? Pemerintah samapi saat mi kesulitan menentukan hukum yang
dapat diterapkan untuk mengatur pluralitas hukum adat, dalam ha berbeda.
3. Politik Hukum yang “Netral” untuk Mengatur Masyarakat
a. Pengertian Hukum yang “Netral”
Di dalam GBHN Tahun 1999, Pemerintah Indonesia menetapkan politik
hukumnya pada penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu,
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif (lihat Bab IV.A.2 GBHN Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan Bab
IV.A.2 GBHN 1999 tersebut, ada tiga sistem hukum yang hendak dipadukan dalam
penataan sistem hukum nasional, yakni:
a. Hukum agama
b. Hukum adat
c. Hukum tertulis yang tidak diskriminatif
Substansi hukum yang hendak diramu dalam rangka menetapkan politik
hukum ke depan nampaknya jelas, namun demkian menemukan bahwa Pemerintah
Indonesia masih mengalami kesulitan dalam menentukan isi hukum yang mengatur
bidang-bidang yang sangat sensitif, atau yang bersifat spiritual, misalnya tentang
hukum keluarga (perkawinan, anak, warisan). Kesulitan meramu isi hukum yang
mengatur bidang yang sensitif itulah yang menyebabkan sampai saat ini proses
penyusunan hukum nasional tidak berjalan dengan lancar17.
Seandainya dalam menentukan isi hukum nasional Pemerintah Indonesia
hendak menerapkan unifikasi hukum dengan mendasarkan pada hukum adat atau
hukum agama, timbul pertanyaan yang harus dijawab: hukum adat atau hukum
agama mana yang akan dipilih? Frans Magnis Suseno (2001:103) mengungkapkan
bahwa penerapan hukum agama dalam masyarakat multi agama tidak akan
memecahkan masalah. Pertatna, kalau ada lebih dari satu agama, maka yang menjadi
pedoman penyelenggara negara adalah norma-norma dari salah satu agama.
17

T.O Ihromi, Bianglala Hukum, Bandung: Tarsito, 1986, hlm 40

Golongan masyarakat yang beragama lain akan menjadi golongan kelas dua dan
mereka tidak akan krasan tinggal di negara tersebut. Kedua, andaikatapun hanya ada
satu agama saja, masalahnya tidak akan terpecahkan, karena antara penganut agama
itupun pasti ada pandangan-pandangan yang berbeda. Sebagai contoh, penerapan
syariat Islam di Aceh menlmbulkan konflik tersendiri dari para penganutnya
(Sudarto; Subiyantoro, dalam Journal Perempuan, Januari 2008: 7-31). Di lain
pihak, modernisasi menghadapkan masyarakat dengan masalah-masalah yang
jawabannya tidak ditemukan secara langsung dalam ajaran agama.
Qodry Azizy (2004:303) dalam kajiannya juga mengemukakan kesimpulan
bahwa ada tekad dari bangsa Indonesia untuk tidak mengikuti begitu saja hukum
Belanda, untuk tidak bersandar sepenuhnya pada hukum adat serta tidak seluruhnya
mengikuti hukum agama. Pertanyaannya yang muncul: Lantas isi hukum yang
bagaimana yang mestimya diupayakan dalam sistem hukum nasional Indonesia?
Dari latar belakang tersebut dapat diajukan suatu permasalahan, yakni: Politik
hukum yang bagaimanakah yang harus diambil untuk menentukan isi hukum yang
tepat diberlakukan bagi bangsa Indonesia yang plural nilai?
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia adalah negara hukum
(lihat Penjelasan UUD 1945 Tentang Sistem Pemerintahan No.l). Sebagai negara
hukum, maka penelitian tentang persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
hukum penting untuk dilakukan demi tegaknya supremasi hukum (the rule of law),
lebih-lebih persoalan hukum yang sering membawa dampak pada persoalan yang
serius lainnya, misalnya disintegrasi bangsa pelanggaran hak asasi manusia,
pemiskinan (Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia, tanpa
tahun) dan peminggiran kelompok-kelompok tertentu, misalnya perempuan18.
Persoalan hukum yang akan dijelaskan di sini adalah tentang penciptaan
model tatanan hukum yang tepat berdasarkan Pancasila, untuk mengatur masyarakat

18

Yayasan Journal Perempuan (YJP), Journal Perempuan, No. 57, Cet. Pertama, Januari
2008, Jakarta.

atau bangsa yang plural nilai, karena perbedaan agama atau adat istiadat. Usul model
tatanan hukum yang diajukan adalah hukum yang "netral".
Pengertian hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural nilai
didasarkan pada beberapa argumentasi, yakni19:
1) Adanya pandangan bahwa tendens keadilan dalam hukum mengandung
tendens yang lain, yakni hukum yang tidak memihak, yang dalam pertikaian
kepentingan-kepentingan, dalam tuntutan-tuntutan dan pandangan-pandangan
orang, tidak berpihak kepada yang kuat, melainkan berpihak kepada mereka
yang mempunyai nilai yang lebih tinggi, diukur dengan ukuran yang obyektif.
Keadilan di sini dimaksudkan sebagai ketidakberpihakan, kenetralan. Hukum
yang netral berarti bagian dari hukum yang adil. Selanjutnya Apeldoom
mengemukakan bahwa ketidakberpihakan dalam hukum tersebut meliputi baik
dalam peraturan hukumnya, maupun dalam penegakannya (putusan hakim).
2) Hukum sebagai kehendak yang obyektif dan netral dari Kelsen yang berangkat
dari situasi plural nilai di negara Austria. Kelsen menyatakan bahwa: Sumber
pembuatan norma hukum berasal dari kehendak, akan tetapi bukan kehendak
subyektif seperti halnya dalam bidang psikologi, melainkan kehendak yang
obyektif dan netral. Kehendak obyektif adalah kehendak yang tidak melekat
pada subyek tertentu atau kehendak yang tidak tergantung dari ada tidaknya
subyek. Sekalipun subyeknya meninggal, kehendak obyektif akan tetap ada.
Kelsen sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat suatu norma dasar
(grund norm), yang berfungsi sebagai sumber keharusan dalam bidang hukum.
3) Pandangan hukum yang netral sebagai a tool of social engineering dari Roscoe
Pound. Hukum menurut Pound merupakan suatu tehnik sosial (social
Engineering) atau kontrol sosial (social control) yang bertujuan untuk
menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan masyarakat yang satu
dengan yang lain, agar harmonis dan tidak memihak, yang didukung dengan
paksaan negara demi keamanan negara dan demi memajukan kepentingan
umum.
4) Pandangan Ehrlich mengenai hukum yang adil sebagai jalan tengah
menghadapi konflik kepentingan dalam masyarakat.
5) Pancasila adalah sumber segala sumber hukum di Indonesia yang substarisinya
mempunyai nilai-nilai obyektif yang dapat diterima oleh semua kelompok
kepentingan.
Mendasarkan pada pengertian hukum yang "netral" dari Apedoorn, Kelsen,
Pound Ehrlich di atas, pengertian hukum yang "netral" yang dimaksud dalam tulisan
ini ada hukum yang tidak memihak pada salah satu nilai atau kepentingan kelompok
19

Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Mr. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1981, hlm 51

tertentu, melainkan berdiri di atas berbagai kepentingan dan nilai kelompok yang
ada, dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan, dengan Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukumnya. Model tatanan hukum yang "netral" bukan berarti
netral dari nilai. Tatanan hukum yang "netral" di sini tetap harus bernilai, hanya saja
nilai tersebut haruslah dapat diterima oleh semua pihak yang berbeda agama atau
adat istiadat, dengan Pancasila sebagai dasarnya. Hukum yang netral adalah hukum
yang adil. Dari batasan hukum yang "netral" tersebut, dapat ditetapkan unsurunsurnya, yakni:
1)
2)
3)
4)

Tidak memihak salah satu nilai atau kepentingan dari kelompok tertentu.
Berdiri di atas berbagai kepentingan yang berbeda
Dapat diterima oleh semua kepentingan kelompok
Pancasila yang berisi nilai keadilan, kemanusiaan dan persatuan sebagai
perekat dan pemersatunya.
Dari dua pandangan dalam aliran hukum alam klasik, keadilan adalah titik

tolak dari substansi hukum. Hukum yang baik adalah yang adil. Tujuan hukum
adalah untuk mencapai keadilan. Dalam susunan masyarakat yang sifatnya homogen,
menentukan isi hukum yang dianggap adil relatif mudah, karena tidak banyak nilai
yang saling bertentangan dalam menyimpulkan keadilan yang seperti apa yang
disetujui bersama.Pandangan satu kelompok dengan kelompok lain dalam suatu
masyarakat mengenai mana yang dianggap benar dan tidak benar secara garis besar
akan sama dalam susunan masyarakat homogen. Hal tersebut akan berbeda dalam
masyarakat yang sifatnya plural.
Dalam susunan masyarakat plural, akan terdapat berbagai nilai yang satu
dengan yang lain saling bertentangan. Dalam situasi demikian, mencari kesepakatan
untuk menentukan substansi hukum yang dianggap adil yang dapat diterima oleh
semua kelompok masyarakat, akan lebih sulit. Ukuran keadilan antara kelompok
yang satu dapat berbeda dengan kelompok yang lain. Pengertian keadilan distributif
dan komutatif dari Aristoteles, keadilan kaum utilitarian sebagaimana dikemukakan
Bentham dan keadilan sosial atau struktural dari John Rawls akan diuji, mana yang

sekiranya tepat diterapkan sebagai dasar bagi hukum yang "netral" untuk mengatur
masyarakat plural nilai.
Sebelum sampai pada usulan model tatanan hukum yang "netral", perlu
dikemukakan

fakta

empirikal

munculnya

problematika-problematika

akibat

diterapkannya hukum agama tertentu atau adat tertentu dalam masyarakat plural
agama dan plural adat. Problematika tersebut merupakan dasar argumentasi
sosiologis atau empiris untuk usulan model hukum yang "netral"20.

b. Akibat Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Plural Agama
Sebagaimana dikemukakan dalam BAB I, Sub Bab B dan C, hukum yang
didasarkan pada wahyu Illahi (agama) pemah dianut oleh beberapa negara pada abad
pertengahan (Abad V-XV). Dalam hukum alam agama, wahyu Illahi atau agama
diberlakukan sebagai hukum negara, sebagai hukum positif. Berkaitan dengan
adanya transformasi norma agama ke dalam hukum, Suseno berpendapat bahwa hal
tersebut tidak akan memecahkan masalah. Ada dua alasan yang dikemukakannya.
Pertama, kalau ada lebih dari satu agama, maka terpaksa yang menjadi pedoman
penyelenggaraan negara adalah norma-norma dari salah satu agama tersebut.
Golongan masyarakat yang beragama lain akan menjadi golongan kelas dua dan
mereka tidak akan krasan di negara tersebut. Kedua, andaikata pun hanya ada satu
agama saja, masalahnya tidak akan terpecahkan, karena antara penganut agama
itupun pasti ada pandangan-padangan yang berbeda. Di lain pihak, modernisasi
menghadapkan masyarakat dengan masalah-masalah yang jawabannya tidak
ditemukan secara langsung dalam ajaran agama21.
Sundari dalam penelitiannya tentang "Penerapan Hukum Agama dalam
Masyarakat Multi Agama", dengan mengambil contoh pada penerapan UU No.l
Tahun 1974 tentang perkawinan di Kabupaten Sleman, secara empiris menemukan

20
21

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm 73
Frans Magnis suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm 103

fakta bahwa penerapan UU perkawinan yang isinya bersumber dari hukum agama
banyak menimbulkan prolematika-problematika yang mendasar22.
Sumiarni dalam kesimpulan disertasinya mengungkapkan bahwa standar dan
konsep hukum perkawinan Indonesia yang diformulasikan di dalam UU No.l Tahun
1974 tentang perkawinan, juga dalam hukum adat dan hukum agama, merugikan
perempuan. Hal tersebut terungkap dari redaksi rumusan pasal-pasal tentang
pengertian dan tujuan perkawinan, syarat dan sahnya perkawinan, hak dan kewajiban
suami isteri serta dalam perjanjian perkawinan23.
Berdasarkan hasil penelitian Sundari dan Sumiarni ada beberapa problematika
yang muncul dari penerapan hukum yang tidak "netral", yakni yang bersumber dari
agama dan adat. Berlakunya hukum perdata di Indonesia, khususnya hukum
perkawinan dan waris, bersumber dari hukum agama serta hukum adat, yang rentan
terhadap berbagai problema sebagai akibat dari penerapannya dalam masyarakat
plural seperti Indonesia. Problematika yang muncul dengan diterapkannya hukum
agama dan adat dalam hukum perkawinan dan waris adalah sebagaimana di bawah
ini.
1) Problematika yang timbul denan diterapkannya Hukum agama dalam
perkawinan
2) Problematika yang timbul denan diterapkannya Hukum agama dalam warisan
c. Akibat Diterapkannya Hukum Adat dalam Masyarakat Plural Hukum Adat
Problematika yang timbul dengan diterapkannya hukum adat dalam
perkawinan. Sebagaimana dijelasakan dalam Bab terdahulu, bahwa hukum
perkawinan adat di Indonesia sifatnya pluralistis, yakni hukum perkawinan dalam
sistem patrileneal, sistem matrileneal, parental setrta alterend. Sundari dan Sumiarni
pernah
22

melakukan

penelitian

tentang

problematika

yang

timbul

dengan

E. Sundari, Laporan Penelitian “ Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Multi
Agama: Problematika dan Pemecahannya:, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Atma Jaya.
23 Endang Sumiarni, Disertasi: Analisis Jender dalam Ilmu Hukum Untuk Mengkritik
Hukum Perkawinan Indonesia, 2003

diterapkannya hukum adat dalam perkawinan. Problematika yang timbul adalah
sebagaimana di bawah ini.
1) Persoalan siapa yang harus melamar dan penentuan harta bersama
2) Menghindari Hukum adat yang memberatkan
3) Persoalan yang muncul dengan diterapkannya Hukum adat dalam pewarisan
antar adat
d. Politik Hukum yang "Netral" untuk Mengatur Masyarakat Plural Nilai
Melihat adanya pluralisme hukum (rechtsverscheidenheid) di Indonesia
dengan segala persoalannya24, emberikan pandangan tentang perlunya usaha untuk
merumuskan produk peraturan perundang-undangan tertulis yang berlaku untuk
semua golongan (univorm) yang mengandung materi yang dapat memenuhi aspirasi
rakyat pada umumnya di bidang keadilan. Menurut Ihromi, pembinaan hukum
nasional dengan legislasi harus mempunyai dampak yang menyuburkan iklim bagi
integrasi bangsa. Di sini lagi-lagi keadilan ditempatkan sebagai dasar perekat dan
pertimbangan dari hukum untuk mengatur masyarakat plural, disamping persatuan
bangsa. Nilai keadilan dan persatuan bangsa adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Meskipun telah menyebut dasar perekat dan pertimbangannya,
yakni keadilan dan persatuan bangsa, kajian Ihromi tersebut masih menimbulkan
pertanyaan: aspirasi rakyat yang manakah yang akan dipergunakan agar hukum tetap
"netral", sementara ada pluralisme nilai yang dianut rakyat Indonesia.
Dari kajian-kajian yang telah dilakukan terlebih dahulu tentang hukum yang
dapat diberlakukan pada masyarakat plural seperti Indonesia, nampak bahwa
penerapan pluralisme di bidang hukum akan menimbulkan persoalan-persoalan,
salah satunya persoalan disintegrasi bangsa. Beberapa kajian terdahulu masih
mempertentangkan dapat tidaknya sistem hukum adat dan agama diterapkan pada
masyarakat plural telah mengisyaratkan bahwa pembentukan hukum nasional hams
memperkuat perasaan "terikat" pada satuan yang bersifat nasional dan tidak
menimbulkan suasana yang malahan merangsang perasaan "bersekat-sekat" dalam
24

T.O Ihromi, Bianglala Hukum,,, hlm 39

masyarakat. Menurutnya, hukum nasional yang dibuat harus bersifat integratif,
namun belum menjawab, isi hukum yang integratif itu yang bagaimana25.
Algra & Duyvendijk mengungkapkan bahwa pandangan yang menyatakan
"pemakaian peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan alat yang paling
ampuh untuk mengatur masyarakat", makin menguasai lapangan. Algra &
Duyvendijk menambahkan bahwa dalam situasi masyarakat pluriform (majemuk)
nilai, peraturan yang sifatnya univorm merupakan "alat pengemudi" yang sifatnya
kasar. Pengertian "kasar" di sini dapat ditafsirkan bahwa peraturan yang univorm
(sama

untuk

semua

nilai

yang

berbeda)

sifatnya

akan

memaksa

dan

mengesampingkan pluralisme nilai yang ada serta menimbulkan ketidakdilan bagi
salah satu kelompok kepentingan dalam masyarakat. Pandangan Algra & Duyvendijk
tersebut

didasarkan

pada

asumsinya

bahwa

peraturan

univorm

sifatnya

menyamaratakan sejumlah kejadian, sejumlah kepentingan, dan tidak menghiraukan
perbedaan kepentingan, nilai, yang adakalanya dalam praktek ternyata dapat sangat
relevan. Nilai yang relevan yang dmaksudkan di sini mestinya nilai yang relevan
bagi hukum, seperti nilai keadilan, kepastian, kedamaian, perlindungan hak asasi
manusia dan sebagainya. Asusmsi Algra & Duyvendijk tersebut mempunyai
pengertian bahwa substansi hukum yang univorm adalah substansi hukum yang
memilih salah satu atau beberapa nilai dari seluruh perbedaan nilai yang ada. Apabila
ada dua nilai yang berbeda, misalnya nilai dua agama yang berbeda, asumsinya
hanya akan dipilih salah satu dan mengesampingkan nilai yang lain. Apabila ada dua
nilai yang sama dan satu nilai yang berbeda, kemungkinan akan dipilih dua nilai
yang sama tersebut. Demikian kira-kira konstruksi substansi hukum yang akan
dipilih dalam asumsi pendapat Algra & Duyvendijk. Algra & Duyvendijk dengan
demikian menganggap bahwa politik hukum yang univorm (isinya) tidak cocok
untuk masyarakat yang plural nilai26.
Dari pendapat Algra & Duyvendijk tersebut, secara a contario dapat
ditafsirkan bahwa peraturan yang tidak univorm sifatnya "tidak kasar" bagi
25
26

T.O Ihromi, Bianglala Hukum,,, hlm 40-41
N.E Algra & K. van Duvendijk, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan J.C.T Simorangkir &
Boerhanoedin Soetan batutah, Bandung: Bina Cipta, 1989, hlm 42-50

kelompok kepentingan yang berbeda-beda, karena tidak menyamaratakan, karena
mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda yang sangat mungkin relevan.
Negara Medinah meskipun masyoritas penduduknya beragama Islam, dengan
Piagam Madinahnya (Syahifah) tidak menyebut dirinya sebagai negara Islam. Hal
tersebut menunjukkan bahwa di dalam negara yang mempunyai satu agama
mayoritas-pun tidak serta merta kemudian berubah menjadi negara agama mayoritaspun tidak serta merta kemudian berubah menjadi negara agama (mayoritas).
Meskipun tidak mendeklarasikan dirinya sebagai negara agama (Islam), hubungan
antara hukum Islam dengan politik di negara Medinah sangat kuat, meski tanpa
menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman negara. Pertanyaan yang dapat
diajukan: Mungkinkah pedoman demikian tidak mendiskriminasikan pemeluk agama
yang lain di Medinah? abdul Halim dalam kajiannya mengungkapkan bahwa
meskipun hukum Islam dijadikan pedoman negara, Piagam Medinah sanggup
mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Pertanyaan lebih lanjut:
Bagaimana mungkin? Kembali Halim mengungkapkan rahasianya, yakni bahwa
dalam Piagam Medinah, sama sekali tidak memberlakukan hukum Islam yang satu
dan sama untuk semua golongan yang berbeda. Sebaliknya, dikatakan bahwa Piagam
Medinah mengandung prinsip-prinsip seperti: membangun etika modern dengan
prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang tertindas,
saling konsultasi/musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama. Tidak
ada prinsip yang secara eksplisit menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum Islam, akan tetapi prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang
juga dijunjung tinggi dalam hukum Islam, terutama yang menyangkut pedoman
hidup bersama dengan kelompok yang berbeda.
Prinsip kerukunan atau hidup bertetangga yang baik, saling membantu,
menegakkan keadilan, membela yang tertindas, musyawarah atau demokrasi, adalah
prinsip-prinsip yang tidak hanya dikenal dalam ajaran Islam, akan tetapi juga dikenal
dan dianut oleh agama-agama yang lain. Prinsip-prinsip dalam Piagama Medinah
tersebut sifatnya universal, yakni dapat diterima oleh semua golongan atau kelompok
(agama) yang berbeda, dan "itetral", yakni tidak condong kepada kepentingan

kelompok atau agama tertentu. Kehidupan hukum di negara Medinah membuktikan
bahwa kepentingan umat Islam dan non Islam dapat terpenuhi oleh negara tersebut,
tanpa ada diskriminasi terhadap golongan tertentu27.
Berlakunya hukum di negara Medinah merupakan dukungan empiris bagi
usulan model hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural seperti
Indonesia. Berlakunya hukum yang "netral" dan "universal" di negara Medinah
tersebut, dapat dijadikan contoh positif bagi Indonesia, yakni bahwa agama
mayoritas tidak serta merta harus menjadi hukum negara, bahwa politik hukum yang
"netral" pun tetap dapat menciptakan tata kehidupan yang baik, aman, tentram dan
damai, di tengah masyarakat dengan mayoritas agama tertentu.
Dasar berfikir bagi usulan hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat
plural adalah sebagai berikut. Fungsi hukum adalah sebagai penyelesai conflict of
interest serta sebagai peirtulih keseimbangan (restutio in integrum). Sebagai
penyelesai konflik kepentingan dan pemulih keseimbangan di tengah masyarakat
plural nilai, maka hukum harus "netral", dalam arti, tidak memihak pada salah satu
kepentingan atau nilai kelompok tertentu, melainkan berdiri di atas berbagai
kepentingan dan nilai kelompok tertentu dan dapat diterima oleh semua kelompok
kepentingan. Kerangka konseptual hukum harus "netral" ini didasarkan pada 'prinsip
mediasi' dan 'prinsip neraca'. Dalam mediasi, mediator berperan sebagai penyelesai
konflik dan harus berlaku netral. Dalam neraca, keseimbangan akan terjadi apabila
tidak berat sebelah.
Dari dasar berfikir tersebut, dihubungkan dengan problematika/konflik
kepentingan yang timbul dengan diterapkannya hukum agama dan hukum adat dalam
masyarakat plural agama dan plural adat, dapat diajukan hipotesa sebagai berikut:
Agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, desain hukum yang "netral"
merupakan pilihan yang tepat untuk mengatur masyarakat plural nilai/kepentingan
karena perbedaan agama, adat dan suku, seperti Indonesia.

27

Abdul Halim, Peradilan Agama dan Politik Hukum Indonesia, Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2000, hlm 15-17

Hipotesa tersebut perlu diuji kebenarannya. Uraian di bawah adalah upaya
untuk menguji kebenaran hipotesa di atas, yakni berupa hasil kajian empiris dalam
situasi di Indonesia maupun hasil kajian normatif.

1) Pendapat masyarakat tentang diterapkannya hukum agama
Dalam penelitian yang dilakukan di tiga daerah yang berbeda, yakni Jakarta,
Bandung serta Yogyakarta, pendapat masyarakat tentang diterapkannya hukum
agama di Indonesia yang bersifat plural nilai agama, adalah sebagaimana
diuraikan di bawah ini. Mengenai toleransi beragama, masyarakat mempunyai
pendapat sebagaimana digambarkan dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perlunya toleransi beragama dalam masyarakat multi agama
Pendapat Masyarakat
Setuju Perlunya Toleransi
Tidak Setuju Perlunya
Toleransi
Tidak Menjawab
Total

Jumlah
441
1

Prosentase
98%
0.2%

8
450 orang

1.8%
100%

Sumber: Laporan Penelitian Sundari & Sumiarni, 2007
Toleransi merupakan sebuah nilai yang sifatnya universal serta "netral".
Universal karena tidak hanya dikenal dalam kelompok masyarakat tertentu di daerah
tertentu, atau bangsa tertentu saja. Hal tersebut juga terbukti dari data penelitian di
atas, yakni bahwa nilai toleransi temyata disetujui atau diakui tidak saja dalam
kelompok agama tertentu saja. Baik kelompok umat beragama Islam maupun
Kristiani mengakui perlunya nilai toleransi dalam kehidupan mereka, khususnya
dalam kehidupan beragama antar umat beragama. Nilai toleransi juga diakui dan
disetujui tidak saja di daerah tertentu. Hal tersebut nampak dari Tabel 1, yakni bahwa
lebih banyak masyarakat yang mengakui dan menyetujui perlunya nilai toleransi
dalam kehidupan umat beragama.
Perlunya toleransi dalam kehidupan antar umat beragama juga merupakan
nilai yang "netral", dalam arti nilai yang tidak memihak pada kelompok tertentu
sehingga dapat diterima oleh kelompok masyarakat apapun dan manapun, Nilai-nilai

seperti nilai perlunya toleransi inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat
yang plural nilai. Dengan nilai toleransi, maka tidak ada pemaksaan kehendak dari
satu kelompok kepada kelompok lainnya. Tidak ada pemaksaaan kehendak dari satu
agama kepada pemeluk agama lainnya yang berbeda. Keberadaan umat beragama
satu dan lain diakui dan dihormati.
Apabila dihubungkan dengan politik hukum untuk mengatur masyarakat
plural nilai, sebagaimana juga dikemukakan oleh T.O ihromi nilai toleransi
merupakan salah satu contoh nilai yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam
menentukan isi atau substansi hukum karena memperkuat perasaan bersatu. Nilai
toleransi tersebut secara empiris atau sosiologis, dari gambaran data penelitian di
atas, kemungkinan diterima oleh semua kelompok masyarakat juga akan jauh lebih
besar28.
2) Pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemimpin bangsa
Pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemimpin bangsa mengenai
persoalan kehidupan beragama dalam masyarakat multi agama diperoleh
dengan studi dokumen, yakni pendapat mereka sebagaimana sudah tertuang di
koran. Adapun secara keseluruhan pendapat para tokoh agama, tokoh
masyarakat maupun pemimpin bangsa tersebut adalah sebagaimana diuraikan
di bawah ini.
a) KH. Sholahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang
Melalui tulisannya di harian "Kompas" tanggal 23 Juni 2006 berjudul
"Tanpa Pancasila, China dan India Maju", beliau mempunyai pendapat
antara lain sebagai berikut.
"...Mungkin hanya sila Ketuhanan yang tidak terkadnung dalam konsep
negara ideal mereka. Sila lain, saya yakin tercakup dalam konsep negara
ideal mereka, meski dalam rumusan lain. Prinsip persatuan nasional,
keadilan sosial dan kemanusiaan tentu tercakup sesuai persepsi negara itu
pada suatu era tertentu sejalan dinamika social politik negara itu dalam
perjalanan kesejarahannya, tentu dengan memerhatikan tuntutan
perkembangan global. ..perhatikan wacana yang berkembang belakangan
ini, jika kita bicara tentang memperahankan Pancasila, hemat saya asosiasi
kita terutama tertuju pada sila Ketuhanan YME. Tampaknya sila lain
28

T.O Ihromi, Bianglala Hukum,,, hlm 40

terabaikan… ironinya, kita sibuk bicara pentingnya sila pertama tetapi
tidak mampu menjawab mengapa sila pertama tidak ada bekasnya dalam
kehidupan nyata kita. Alih-alih enjadi suatu yang membawa berkah,
adakalanya terjadi, agama justru menjadi bencana akibat konflik antar
agama…29”
b) Dr.Frank Fregosi, peneliti The European Society, Law and Religion,
Universitas Strasbough, Perancis.
Dalam diskusi "The Place of Islam in Prance and Europe" di UIN Syarif
Hidayatullah, 19 Juli 2006 mengemukakan hasil bahwa sistem masyarakat
Eropa yang sekuler sering menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat
agamis dan sebaliknya, keinginan masyarakrat agamis sering dianggap
mengada-ada oleh masyarakat Eropa yang sekuler... Sebagai contoh,
pemerintah Perancis tidak mendukung kelompok agama manapun untuk
mendirikan rumah ibadat. Di tempat umum, misalnya di bandara, didirikan
tempat khusus untuk berdoa yang berlaku bagi semua pemeluk
agama...muslim di Perancis dan Eropa beragam, tergantung dari asalnya.
Keragaman ini membuat bahasa dan tata cara peribadatan yang dipakai
juga berbeda meski sama-sama memeluk agama Islam implikasinya
kelompok menuntut ijin mendirikan masjid mereka sendiri-sendiri.
Sementara pemerintah menilai semua masjid sama dan dapat dipakai
semua orang...generasi muda menginginkan masjid yang dapat dipakai
semua orang Islam, dan ini sering menimbulkan ketegangan antar
generasi...30"
c) KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presidan RI
Dalam diskusi "Indonesia Timur dan Nasib NKRI" (18/9/2006)
mengatakan: "...demokrasi itu ada dua, yakni kedaulatan hukum dan
perlakuan yang sama sesama warga dihadapan hukum. Tetapi apakah yang
minoritas, apakah mereka didengarkan? Enggak juga kan? Ini jelas sekali
demokrasi belum ada...kenapa Papua ingin merdeka...saya mengerti
sebabnya karena tidak ada keadilan..."31
Dalam diskusi "Agama,Perdamaian dan Kebangsaan" (15/6/2006)
mengatakan; "..pedam