Pendidikan dan Kemitraan Civil Society

Pendidikan dan Kemitraan Civil Society
Oleh Syamsul Arifin
Pengantar
Tulisan ini terinspirasi oleh isu atau permasalahan strategis pendidikan di
Indonesia yang meliputi: akses masyarakat terhadap pendidikan, partisipasi
masyarakat, dan pengembangan mutu pendidikan. Ketiga permasalahan ini dapat
dikatakan sebagai permasalahan klasik, karena selalu muncul dalam setiap periode
perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada periode Orde Baru, misalnya,
pendidikan nasional telah dihadapkan pada ketiga permasalahan tersebut. Oleh karena
itu, kebijakan pendidikan yang dirancang oleh pemerintahan Orde Baru selalu
mengarah pada upaya pengentasan ketiga permasalahan tersebut. Salah seorang ahli
pendidikan yang secara ekstensif mengkaji kebijakan Orde Baru dalam bidang
pendidikan adalah Tilaar. Pada salah satu publikasinya, Pembangunan Pendidikan
Nasional, 1945-1995 (1995), Tilaar, antara lain, mengungkap kebijakan pokok
pemerintahan Orde Baru selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT-I) yang
terpusat pada lima isu strategis, yakni: (1) relevansi pendidikan; (2) pemerataan
pendidikan; (3) peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan; (4) mutu
pendidikan; dan (5) pendidikan kejuruan.
Kajian yang dilakukan oleh Tilaar tersebut, merupakan kelanjutan dari kajian
yang dilakukan sebelumnya, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan
Masa Depan (1992). Pada buku ini, Tilaar mengawali dengan paparan apa yang

disebutnya dengan “sukses besar” program pemerintahan Orde Baru di bidang
pendidikan. Ada dua prestasi yang mendapat perhatian Tilaar dalam buku tersebut.
Pertama, sukses dalam pendidikan universal 6 tahun. Menurut Tilaar, jika banyak
negara maju memerlukan lebih dari 50 tahun untuk mencapai pendidikan universal 6
tahun bagi rakyatnya, Indonesia, tegas Tilaar, dapat mencapainya dalam waktu 15
tahun sejak dimulainya rencana pembangunan pada tahun 1969. Sukses kedua yang
yang mendapat apresiasi Tilaar adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan landasan hukum dalam pengembangan
penelolaan sistem pendidikan nasional.
Tetapi ada yang menarik pada kajian yang dilakukan oleh Tilaar terutama
kalau membaca publikasi yang muncul lebih belakangan. Sebagai contoh, misalnya,
kajian Tilaar yang berjudul, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21 (1988), dan Kekuasaan & Pendidikan: Suatu Tinjauan dari
Perspektif Studi Kultural (2003).
Pada kedua bukunya tersebut, Tilaar
mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap pengelolaan pendidikan, kendari dari sisi
kuantitas mengalami pertumbuhan yang cepat. Menurut Tilaar, pertumbuhan
pendidikan dari kuantitas belum diimbangi dengan adanya reformasi pengelolaan
lembaga pendidikan baik di level nasional maupun lokal. Tilaar (1988) menyebut
setidaknya tiga persoalan pengelolaan pendidikan yang perlu direformasi, yakni: (1)

sistem yang kaku dan sentralistik; (2) praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan
koncoisme; dan (3) sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan
rakyat. Menghadapi ketiga persoalan dalam pengelolaan pendidikan tersebut, Tilaar
(2003) merekomendasikan perubahan peran negara dalam pendidikan sebagaimana
dipaparkan pada tabel 4 di bawah.
1

Tabel 1. Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan
Peran
Pemerataan
Kualitas

Proses

Metodologi
Manajemen
Pelaksanaan
servis
pendidikan
Perubahan

sosial
Perkembangan
demokrasi
Perkembangan
sosial-ekonomi
masyarakat
setempat
Perkembangan
nilai-nilai moral
dan agama
Nasionalisme

Pendanaan

Pelaksanaan
wajib belar

Masa Lalu
Beorientasi target.
Dicapai melalui evaluasi dan

standarisasi semu melalui
ujian terpusat dan kurikulum
baku yang bersifat nasional.
Tidak dipentingkan; yang
penting ialah tercapainya
target kuantitatif.

Sekarang & Masa Depan
Berorientasi kualitas.
Sebagai prioritas utama yang
sesuai dengan kebutuhan daerah.

Indoktrinisasi.
Negara dan birokrasinya
memegang peranan sentral.
Pemerintah sebagai aktor
utama

Sangat penting karena yang
dipentingkan adalah perubahan

tingkah laku dan outcome
pendidikan.
Dialogis.
Manajemen berpusat pada
institusi sekolah.
Pemerintah sebagai partner yang
cukup menetapkan arah.

Terarah dan opresif.

Demokratis dan grass-root.

Menentukan bingkai
kehidupan berdemokrasi
terbatas pada prosedur.
Bukan menjadi pertimbangan
penyusunan kurikulum.

Mengembangkan perubahan
tingkah laku demokratis secara

substantif.
Salah satu komponen pokok
penyusunan kurikulum.

Ditentukan oleh pemerintah
pusat.

Berakar dari budaya dan agama
setempat.

Pemaksaan dari atas dan
bersifat formalistis.
Mengabaikan identitas
daerah.
Seluruhnya menanggung
pembiayaan pendidikan.
Dana sebagai alat pelestarian
kekuasaan pemerintah.
Ditentukan secara terpusat
oleh pemerintah pusat.


Pendekatan multikultural.

Selektif sebagai lembaga
pemersatu nasional dalam
pemerataan, kaulitas, dan
persatuan nasional.
Sesuai dengan kondisi dan
kemampuan daerah. Pelaksananya
secara bertahap sesuai dengan
kondisi sosial ekonomi daerah.

Selain Tilaar, masih ada beberapa ahli dan pemerhati pendidikan yang
melakukan kajian secara ekstensif terhadap persoalan pendidikan. Nugroho,
misalnya, dalam salah satu kajiannya, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan
Strategi (2008) mengidentifikasi empat permasalahan strategis yang dihadapi oleh
pendidikan Indonesia. Permasalahan strategis pertama yang disebut oleh Nugroho
adalah pemerataan. Menurut kajian yang dilakukan Tilaar (1992), Indonesia dinilai
2


sebagai salah satu negara berkembang yang mampu menuntaskan persoalan
pendidikan universal (wajib belajar) hanya dalam waktu 15 tahun, lebih cepat dari
negara yang tergolong maju yang membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun. Tetapi
jika indikator pemerataan pendidikan menggunakan jenjang pendidikan di atas
sekolah dasar (SD), sebenarnya masih banyak masyarakat Indonesia yang belum
terserap ke dalam sektor pendidikan.
Untuk mengungkap rendahnya akses
masyarakat terhadap pendidikan, Nugroho menggunakan indikator pemerataan dari
Depdiknas. Indikator pertama adalah APK (Angka Partisipasi Kasar), yaitu persentase
jumlah murid pada suatu satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang
berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. Berdasarkan data
Susenas 2003 diperoleh gambaran bahwa rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15
tahun sampai ke atas mencapai 7,1 tahun, dan proporsi penduduk berusia 10 tahun
yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2%. Sementara angka buta aksara
penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 10,12%.
Indikator kedua yang digunakan Nugroho adalah Angka Partisipasi Murni
(APM), yakni persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah
penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan, baik secara agregat maupun
menurut karakteristik siswa. Dengan merujuk pada data Susenas 2003, Nugroho
memberikan gambaran bahwa APM pada 2003 mencapai hampir 93% untuk SD,

63,5% untuk SMP, 54,32% untuk SLTA, dan 14,26% untuk perguruan tinggi.
Setelah pemerataan, Nugroho menyoroti masalah mutu dan relevasi.
Setidaknya ada empat komponen utama pendidikan yang dijadikan tolok ukur oleh
Nugroho dalam menilai mutu dan relevansi pendidikan Indonesia, yaitu: kurikulum,
lulusan, guru, dan infrastruktur pendukung. Analisis Nugroho terhadap kelima
komponen tersebut dapat diringkas sebagaimana tabel 5 di bawah.
Tabel 2. Analisis Mutu Kurikulum, Lulusan, Guru, dan
Infrastruktur Pendukung
Komponen
Kurikulum

Kelebihan
Menggunakan KBK

Lulusan

Menggunakan
UAN
sebagai standar nasional
keberhasilan pendidikan.


Guru

Terdapat
standar
kualifikasi
akademik
minimal untuk menjadi
guru.
UUD
1945
hasil
amandemen mematok 20%
APBN
untuk
sektor
pendidikan.

Infrastruktur
Pendukung


Kekurangan
Banyak guru yang belum
berkompeten
dalam
menjabarkan isi dokumen
KBK ke dalam bentuk
praktik kegiatan belajar di
kelas.
Governance (tata kelola,
transparansi, akuntabilitas,
tatanan,
proses,
dan
kelembagaan) dari UAN
masih lemah.
Banyak guru yang belum
memenuhi
standar
kualifikasi
akademik
minimal.

3

Permasalahan strategis ketiga yang disoroti oleh Nugroho adalah manajemen.
Terahadap masalah strategis yang ketiga ini, Nugroho memberikan afirmasi terhadap
tata kelola pendidikan yang bersifat desentralistik, karena dapat memberikan ruang
secara lebih lebih leluasa terutama pemerintah daerah dalam mengembangkan
kebijakan pendidikan yang lebih menguntungkan masyarakat. Pemerintah daerah
yang disebut Nugroho berhasil mengembangkan kebijakan pendidikan adalah
Jembarana. Keberhasilan Jembarana dipaparkan oleh Nugroho dalam, Kebijakan
Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Jembrana
2000-2006 (2008), dan Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami
Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik (2008),
yang ditulis bersama Tilaar. Salah satu keberhasilan Jembarana yang dipaparkan oleh
Nugroho adalah penyelenggaraan pendidikan yang “tidak memungut bayar” kepada
seluruh siswa sekolah negeri sejak SD hingga SMP, meskipun Jembarana merupakan
salah satu kabupaten termiskin di Bali, khususnya dari segi pendapatan asli daerah
yang kurang dari 5% terhadap APBD.
Penelitian berikutnya yang perlu disebut pada bagian ini adalah yang
dilakukan Idris yang berjudul, Analisis Kritis Mutu Pendidikan (2005). Penelitian
yang dilakukan oleh Idris sengaja dikutip pada bagian ini, karena dapat dijadikan
bahan pertimbangan untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu
aspek pendidikan yang paling mudah mendapat sorotan adalah mutu lulusan sekolah.
Hal ini tidak mengherankan karena lulusan sekolah merupakan salah satu aspek
pendidikan yang bersentuhan secara langsung dengan stakeholders, seperti dunia
industri dan lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya yang dituju oleh lulusan
sekolah pada jenjang di bawahnya. Padahal, mutu lulusan sekolah tidak hanya
ditentukan oleh siswa, tetapi sangat tergantung pada sejumlah variabel. Dalam
penelitiannya, Idris membuktikan hubungan antarvariabel, yakni kepemimpinan
kepala sekolah, kemampuan mengajar guru, status sosial ekonomi orang tua, status
akademik siswa (NEM), motivasi belajar, dan fasilitas belajar siswa dengan mutu
lulusan sekolah. Karena keterkaitan sejumlah variabel tersebut, Idris
merekomendasikan perlunya pendekatan sistemik dalam meningkatkan mutu
pendidikan, terutama mutu lulusan sekolah.
Pada bagian ini penting juga disebut penelitian yang dilakukan oleh
Faisal,dkk., Partisipasi Masyarakat terhadap Sekolah (2007).
Penelitian ini
mengungkap partisipasi masyarakat terhadap sekolah di sepuluh wilayah di Indonesia,
yakni: Magelang (Jawa Timur), Malang (Jawa Timur), Mandailing Natal atau Madina
(Sumatera Utara), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Cianjur (Jawa Barat), Wonosobo
(Jawa Barat), Tuban (Jawa Timur), dan Lombok Barat atau Lobar. Temuan lapangan
dalam penelitian yang dilakukan Faisal, dkk. menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat terhadap sekolah umumnya muncul dalam tiga wujud utama, yakni: dana,
fasilitas, dan pemikiran/moral. Dari ketiga wujud ini, yang paling menonjol adalah
partisipasi dalam bentuk dana, kemudian diikuti dengan pemikiran, dan fasilitas.
Kelompok partisipan terbesar terhadap sekolah adalah orang tua murid, diikuti
alumni, dan kalangan masyarakat lainnya, baik kelompok maupun individu.
Meskipun mencakup wilayah penelitian yang luas, tetapi penelitian yang
dilakukan Faisal, dkk. belum mengungkap partisipasi kritis masyarakat terhadap
implementasi kebijakan pendidikan di masing-masing wilayah. Padahal banyak
implementasi kebijakan pendidikan yang perlu mendapat perhatian kritis dari
masyarakat terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Dalam konteks ini, maka
penelitian yang dilakukan oleh Irawan, dkk., Mendagangkan Sekolah: Studi
4

Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta (2004), penting dibaca.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu bentuk wujud nyata
reformasi pendidikan. Tetapi sayangnya pada tataran implementasi, MBS belum
berjalan dengan baik. Inti MBS, menurut Tilaar (2004), adalah partisipasi masyarakat
sebagai pendukung dan sekaligus pengontrol kegiatan pendidikan di dalam
masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Irawan, dkk. berhasil menunjukkan
ketidakefektifan MBS pada sejumlah sekolah yang diteliti karena, antara lian, adanya
pungutan yang dilakukan sekolah tanpa menyertakan peran serta masyarakat yang
justru ditekanakan oleh MBS.
Berdasarkan review terhadap sejumlah kajian terdahulu dapat ditarik suatu
benang merah, bahwa untuk menuntaskan permasalahan krusial pendidikan, baik di
tingkat nasional, maupun lokal (daerah) membutuhkan partisipasi kolektif dari
masyarakat. Dalam konteks ini, keberadaan masyarakat kewargaan atau civil society
memiliki posisi strategis. Mengapa civil society? Pasca-Orde Baru, di satu sisi, terjadi
peningkatan jumlah institusi civil society. Banyak penelitian terdahulu yang
mengungkap fenomena tersebut, seperti yang dilakukan Hikam (1996), Gunawan dan
Nurjulianti (1999), Nyman (2006), Manan (2005), dan Culla (2006). Tetapi, di sisi
lain, penelitian yang mengkaji secara mendalam tentang keterlibatan institusi civil
society dalam menangani persoalan utama pendidikan seperti keterbatasan akses,
partisipasi masyarakat, dan mutu pendidikan belum banyak dilakukan. Berdasarkan
pemikiran tersebut, penelitian ini memfokuskan pada kajian kemitraan masyarakat
kewargaan (civil society) dalam meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat
sebagai upaya pengembangan mutu pendidikan.
Pengembangan Alur Pemikiran
Berdasarkan pada kajian di atas, selanjutnya bisa dikemukakan suatu tesis
bahwa bahwa penyelesaian permasalahan pendidikan seperti keterbatasan akses,
rendahnya partisipasi dan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan oleh satu institusi
saja, misalnya, sekolah atau pemerintah saja. Pihak pemerintah sendiri telah
memberikan peluang kepada masyarakat terlibat lebih aktif dalam pengelolaan
pendidikan. Peluang dari pemerintah ini dicetuskan dalam UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Balitbang-Depdiknas (2004), UU tersebut
serta perangkat PP yang berkaitan, berimplikasi pada perubahan paradigma
pengelolaan sistem pendidikan. Jika di masa lalu, stake-holder pendidikan itu
sepenuhnya ada di tangan aparat pusat, maka dalam era otonomi pendidikan sekarang
ini peranan sebagai stake-holder itu akan tersebar kepada berbagai pihak yang
berkepentingan.
Salah satu model pengelolaan yang digulirkan Departemen Pendidikan
Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS
merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau
kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta
jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Di samping pemberian otonomi yang
lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan,
MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
semua stake-holder pendidikan di sekolah, sehingga tercipta sense of belonging (rasa
memiliki) dari mereka (Balitbang-Depdiknas, 2004).
Meskipun tidak disebut secara eksplisit oleh Balitbang-Depdiknas, institusi
civil society perlu disebut sebagai salah satu stake-holder yang memiliki posisi
strategis dalam pengelolaan pendidikan. Dikatakan strategis karena civil society
5

berada di luar pemerintahan, kendati tidak harus diposisikan secara diametral antara
civil society dengan pemerintah atau negara (state). Pada tingkat diskursus teoritik,
memang terdapat perbedaan cara pandang dalam menjelaskan posisi civil society di
hadapan negara. Jika coba dipilah diskursus tentang civil society pada zaman modern
terpola pada beberapa pandangan. Pandangan liberalisme-radikal lebih menekankan
aspek kemandirian masyarakat dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga
menjadi antitesis dari state. Pandangan ini rupanya lebih mementingkan masyarakat
(society). Pandangan ini memperoleh kritik tajam dari Hegel yang kemudian
didukung oleh Marx. Hegel mempunyai pandangan pesimistik bahkan nihilistik
tentang civil society. Menurut Hegel, civil society merupakan wilayah kehidupan
orang-orang yang telah meninggalkan pesan kuat keluarga dan masuk ke dalam
kehidupan ekonomi yang kompetitif. Menurut Hegel, ini adalah arena di mana
kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perseorangan
bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan sehingga civil society itu
mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya. Dengan watak sosial
semacam itu, Hegel kemudian menekankan pentingnya supervisi dan kontrol negara.
Sebab dalam pandangan Hegel, kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan
yang berbeda, yang menjadi karakter civil society sebagai sesuatu yang menciptakan
kerawanan kepada kohesi masyarakat.
Pandangan berikutnya adalah yang memosisikan civil society sebagai,
intermediary entity, standing between the private and the state (Diamond, 1994).
Pandangan ini diwakili oleh Alexis de Tocqueville (Hikam, 1996) yang
mendefinisikan civil society sebagai:
“wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara
lain
kesukarelaan
(voluntary),
keswasembadaan
(self-generating),
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara,
dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diakui oleh
warganya”.
Pengertian dari de’Tocqueville di atas sejiwa dengan pengertian yang
dirumuskan Diamond(1994) : “civil society is the realm of organized social life that
is voluntary, self-generating, self-supporting, autonomous from the state, and bound
by legal order or set or sharea rules”.
Lalu bagaimana pengertian civil society di Indonesia? Berikut ini coba
dikonstruksikan kembali pandangan kalangan intelektual Indonesia seputar pengertian
civil society. M. Ryass Rasyid (1997) yang menggunakan istilah masyarakat
kewargaan sebagai versi bahasa Indonesia dari civil society memberi rumusan bahwa
yang dimaksud dengan civil society atau masyarakat kewargaan merupakan konsep
tentang keberadaan masyarakat yang mandiri dan dalam batas-batas tertentu mampu
memadukan dirinya sendiri serta cenderung membatasi intervensi negara ke dalam
realitas yang telah diciptakan sebagai ruang kegiatannya.
Tetapi tidak semua pakar politik di Indonesia merasa nyaman dengan upaya
pengalihan konsep civil society ke dalam bahasa Indonesia. Ramlan Surbakti, pakar
politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, bahkan merasa kesulitan dalam memberi
pengertian terhadap konsep civil society. Menurut Ramlan Surbakti (1997), civil
society merupakan konsep yang masih diperdebatkan (contested concept). Ramlan
Surbakti tidak memberikan pengertian civil society, tetapi lebih mementingkan pada
esensi dari civil society yang ia rujuk dari pemikiran Jurgen Harbermas yang
6

merumuskan dua kondisi esensial bagi pembentukan civil society, yakni: pertama,
kebebasan memperbincangkan isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama sebagai
bangsa (wacana publik), seperti menyatakan pendapat, mengartikulasikan
kepentingan, melakukan proses memilih dan mengganti pengurus, dan bebas dari
perlakuan semena-mena. Dan kedua, tersedianya lembaga perwakilan rakyat, partai
politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kampus, forum-forum komunikasi,
dan tempat-tempat pertemuan umum dalam jumlah yang memadai dan berfungsi
otonomi (ruang publik). Dalam ruang publik yang bebas dan otonomlah para individu
bertindak sebagai political persons untuk memperbincangkan dan melaksanakan apa
yang telah disepakati bersama sebagai kepentingan bersama.
Sementara itu, pakar politik dari UGM, Affan Gaffar (1999) mencukupkan
pada pengertian civil society yang dirumuskan oleh Nicos Mouzelis, yakni: “all
social group an institution which, in conditions of modernity, lie between the
primordial kinship group and institutions on the other”. Meskipun Affan Gaffar
(1999) tidak merumuskan pengertian, ia merumuskan komponen penting bagi
pembentukan civil society yang meliputi empat hal utama, yaitu (1) otonomi; (2)
akses masyarakat terhadap lembaga negara; (3) arena publik yang bersifat otonom,
dan; (4) arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat.
Dari penelusuran secara teoritik tersebut, kajian ini menggunakan perspektif
moderat yang menempatkan civil society dalam dalam posisi sebagai mitra kritis
pemerintah, bukan civil society dalam pengertian radikal yang selalu mengambil
posisi bertentangan dengan negara. Perspektif teori yang dipilih ini selanjutnya akan
dikaitkan dengan fokus penelitian berikutnya, yakni akses dan partisipasi masyarakat,
serta pengembangan mutu pendidikan. Dengan posisinya sebagai mitra kritis
pemerintah, civil society diharapkan dapat menjalankan dua fungsi sekaligus.
Pertama, dalam masyarakat aktor civil society melakukan peran penyadaran agar
masyarakat menyadari terhadap haknya di bidang pendidikan. Sedangkan terhadap
negara atau pemerintah, civil society dapat menjalankan fungsi kritis untuk
mengontrol implementasi kebijakan pendidikan di tingkat daerah.
Berdasarkan pada paparan perspektif teori di atas, selanjutnya dapat dibuat
alur pikir sebagai berikut: (1) analisis masalah pendidikan yang difokuskan pada tiga
isu strategis, yaitu: keterbatasan akses, rendahnya partisipasi, dan pengembangan
mutu; (2) institusi masyarakat kewargaan atau civil society memiliki peran strategis
sebagai mitra pemerintah dalam menuntaskan permasalahan pendidikan; (3)
keterlibatan civil society pada akhirnya diharapkan mengembangkan mutu pendidikan
secara nasional, tentu saja termasuk pendidikan di Sampang.

7

MASALAH PENDIDIKAN
Keterbatasan Akses
Rendahnya Partisipasi
Pengembangan Mutu

INSTITUSI
CIVIL SOCIETY

KEBIJAKAN
PENDIDIKAN

PENGEMBANGAN
MUTU PENDIDIKAN

NEGARA
ATAU
PEMERINTAH
Bagan 1. Pengembangan Alur Pemikiran

Harapan:
Ke Arah Praksis Civil Society di Sampang
Kabupaten Sampang, merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Pulau
Madura. Selain Kabupaten Sampang, di Madura terdapat tiga kabupaten lainnya,
yaitu: Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep.
Sampang memiliki luas wilayah 1.233,30 km2, yang terletak antara 6 o 50 sampai
dengan 7 o 13 Lintang Selatan dan 113 0 80 sampai dengan 113 o 39 Bujur Timur. Di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sampang, di sebelah selatan berbatasan
dengan Selat Madura, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan,
dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Timur.
Di bandingkan dengan wilayah lainnya di Jawa Timur, statistik perkembangan
pendidikan di Sampang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh stakeholders di
Sampang, tidak saja pemerintah, tetapi juga seluruh elemen civil society. Salah satu
indikator yang perlu mendapatkan perhatian adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Sampang yang tergolong masih rendah apabila dibandingkan dengan wilayah
lainnya.Pada1999-2002, misalnya, IPM Sampang secara nasional berada pada
peringkat terbawah. Bahkan IPM Sampang mengalami penurunan pada tahun 2002.
Jika pada tahun 1999, IPM Sampang berada di peringkat tiga dari bawah, maka pada
tahun 2002, menempati posisi nomor 2 dari bawah. Bila dibandingkan dengan
8

wilayah lainnya yang ada di Jawa Timur, peringkat IPM Sampang berada posisi
paling bawah. Pada periode berikutnya, statistik IPM di Sampang ternyata belum
mengembirakan seperti dapat dibaca pada kutipan berita Surabaya Post Online
(www.surabayapost.co.id):
Ironis, angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) 2010 di sektor pendidikan di
Kabupaten Sampang terendah se-Jawa Timur, yakni sebesar 52,31%. Padahal
Pemkab setempat telah mengalokasikan dana untuk bidang pendidikan
mencapai lebih dari 20 persen dari APBD 2011, namun beberapa tahun terakhir
hasilnya hanya bergerak sedikit dari 2009 yakni sebesar 52,03%, atau 0,28%
selama dua tahun.Indikator lemahnya IPM pendidikan itu dilihat dari angka buta
huruf yang mencapai 34,6% dari jumlah penduduk Sampang. Serta rata-rata
lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang hanya mencapai 3,9 %.
Ironisnya program Keaksaraan Fungsional (KF) yang digelontorkan melalui
sumber dana APBN maupun ABPD tidak berjalan efektif dalam mengurangi
angka buta aksara tersebut.

Rendahnya IPM di Sampang tampaknya berkaitan perkembangan pendidikan
di tempat tersebut yang juga belum begitu menggembirakan. Secara umum
perkembangan pendidikan di Sampang dihadapkan pada persoalan klasik pendidikan
di tanah air. Salah satu permasalahan pendidikan di Sampang yang penting
diperhatikan adalah akses masyarakat terhadap pendidikan yang terlihat pada Angka
Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK).
Selain rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan terutama pada jenjang
SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, pendidikan di Sampang juga dihadapkan pada
masalah kesenjangan antara kuantitas, yakni perkembangan jumlah lembaga
pendidikan dengan kualitas performansinya. Berdasarkan informasi dari Kantor Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Sampang, perkembangan kelembagaan pendidikan di
Sampang tergolong fantastik. Tetapi perkembangan dari sisi kelembagaan tersebut,
tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas. Dari penelitian yang pernah saya
lakukan, saya mendengar lontaran ketidakpuasaan dari masyarakat terhadap kualitas
pendidikan di Sampang. Yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat adalah
disparitas antara lembaga pendidikan yang terletak di perkotaan dengan pedesaan.
Disparitas tidak hanya pada kualitas gedung sekolah, tetapi yang tidak kalah
memprihatinkan adalah, kualitas guru dan rasio jumlah guru dengan murid.
Masalah berikutnya yang dihadapi oleh pendidikan di Sampang adalah
rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Partisipasi yang dimaksud
adalah seperti dikemukakan oleh Faisal (2007) yang menekankan pada dua hal
penting, yaitu: pertama, partisipasi sebagai suatu gerakan masyarakat (social
movement). Kemudian yang kedua adalah, partisipasi sebagai praktik sosial yang
membudaya dan berkelanjutan. Dengan kedua cakupan makna tersebut, maka
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan tidak cukup diwujudkan hanya dalam
aktivitas parsial seperti sekedar membayar sumbangan pendidikan, tetapi merupakan
aktivitas yang berkesinambungan dan terlembaga untuk mengontrol terhadap seluruh
proses pendidian agar berjalan sesuai dengan stardar mutu pendidikan. Dalam bentuk
formal, di Sampang, sebagaimana juga di tempat-tempatnya lainnya, juga terdapat
Komite Sekolah (KS) pada tiap-tiap satuan pendidikan, dan Dewan Pendidikan (DP),
yang terikat pada fungsi normatifnya sebagai berikut: yakni sebagai badan
9

pertimbaangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas
(controlling agency), dan badan mediator (mediator agency). Tetapi fungsi ini belum
berjalan optimal di Sampang. Dengan mempertimbangkan adanya tiga persoalan
krusial tersebut, kemitraan masyarakat kewargaan atau yang sering disebut dengan
civil society dalam mengembangkan partisipasi masyarakat dan mutu pendidikan di
Sampang perlu dioptimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Culla, Adi Suryadi (2006) Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Diamond, Larry (1994) “Civil Society and the Development of Democracy” Journal of
Democracy, Vol. 5, No. 3, July.

Faisal, Sanapiah, dkk. (2007) Partisipasi Masyarakat terhadap Sekolah, Malang:
Universitas Negeri Malang.
Gaffar, Affan (1999) Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Gunawan, Asep dan Nurjulianti, Dewi (ed.) (1999) Gerakan Keagamaan dalam
Penguatan Civil Society: Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas
Berbasis Keagamaan, Jakarta: LSAF.
Hikam, Muhammad AS (1996) Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES.
Idris, Jamaluddin (2005) Analisis Kritis Mutu Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Irawan, Ade, dkk. (2004) Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen
Berbasis Sekolah di DKI Jakarta, Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Manan, Munafrizal (2005) Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta: Resist Book.
Nugroho, Riant (2008) Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nyman, Mikaela (2006) Democratising Indonesia: The Challenge of Civil Society in
the era of Reformasi, Denmark: Nias Press.
Nugroho, Riant (2008) Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan
Pendidikan di Kabupaten Jembrana-2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rasyid, M. Ryass (1997) “Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan”,
Jurnal Ilmu Politik No. 17, Jakarta: AIPI dan Gramedia.
10

Schutt, Russell K. (2006) Investigating the Social World: The Proscess and Practice
of Research, London: Sage Publications.
Surbakti, Ramlan (1997) “Ditsospol dan Pembentukan Civil Society”.Dalam I.
Bambang Susilo (ed.), Masyarakat & Negara: Kado untuk Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, Surabaya: Airlangga University Press.
Tilaar, H.A.R. (1992) Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa
Depan, Bandung: Rosda Karya.
Tilaar, H.A.R. (1995) 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995:
Suatu Analisis Kebijakan, Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. (1998) Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia.
Tilaar, H.A.R. (2003) Kekuasaan & Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural, Magelang: Tera Indonesia.
Tilaar, H.A.R. dan Nigroho, Riant (2008) Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan
Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

11

12