Pancasila dan Persepsi Kita docx

Pancasila dan Persepsi-Persepsi Kita
Basri Amin
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com
Kita tidak mungkin menyegarkan dan mengamalkan (keluhuran) Pancasila tanpa
membaca dan menghayatinya dengan utuh dan mendalam. Pancasila bukanlah idiologi
biasa. Ia bukan sekadar dasar negara, pegangan kebangsaan dan pedoman bertata
negara yang retorik dan heroik untuk Indonesia.
Pancasila lahir dari pendalaman pengalaman sejarah yang panjang dan konstruk
pemikiran yang tinggi. Dalam proses perumusannya, kita menemukan perjumpaan
harapan bersama yang amat jernih dasar moralnya. Selanjutnya, perumusan Pancasila
diramu melalui percakapan-percakapan politik kenegaraan yang mendalam. Setiap
pemahaman kelompok, gelombang sejarah banga-bangsa lain di dunia serta dasardasar teorinya, dibentangkan dalam setiap debat para pendiri Indonesia. Hal lain yang
tak kalah pentingnya, para pendiri bangsa merumuskan dasar negara dan konstitusi
dengan penuh ikhlas, terbuka, dan nalar yang tajam.
Pada tanggal 28 April 1945 pemerintah (pendudukan) Jepang membentuk Badan untuk
Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka. Selanjutnya, dibentuklah
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jumlah mereka 62 orang. Ketua PPKI
adalah seorang dokter, bernama dr. Radjiman, mantan ketua Budi Oetomo. Mereka
mulai bersidang sejak 29 Mei 1945. Pada permulaan sidang tersebut, dr. Radjiman

Wedioningrat sebagai ketua mengajukan pertanyaan besar: “apakah dasar negara
yang akan kita bentuk itu?” Dengan pertanyaan inilah perdebatan dan pembahasan
berlangsung hebat dan hangat.
Selama tiga hari bersidang, jawaban tentang Dasar Negara belum ditemukan suara
bulat. Ada sikap terbelah antara memilih dasar Islam atau dasar nasional (sekuler)
sebagai dasar tata negara Indonesia. Selama sekian hari itu, Soekarno tampaknya
memilih menjadi “pendengar yang aktif”. Beliau menyimak dengan sabar sejumlah
pandangan dan pidato. Demikian juga dengan Bung Hatta. Barulah pada tanggal 1 Juni
1945, Soekarno akhirnya menyampaikan pidato panjang, sekitar 25 halaman, --yang
dikemudian hari diberi judul Lahirnya Pancasila---. Jalan tengah diformulasi oleh
Soekarno bahwa dasar negara Indonesia adalah “bukan negara agama, bukan pula
negara sekuler, melainkan Pancasila!”.
Penting diketahui bahwa Soekarno tidak buru-buru menyampaikan Pancasila, tapi ia
lebih dahulu secara panjang lebar menjelaskan sejarah ideologi-ideologi dunia, faktafakta kebangsaan Indonesia, makna kemerdekaan sebagai “jembatan emas”, lokalitas

suku-suku di Nusantara, sejarah Tiongkok, agama-agama, dan perpecahan faksi politik
di berbagai negara di dunia, serta teori-teori besar tentang “bangsa”, dst. Jadi,
Soekarno menggali dan “menyarikan” Pancasila melalui pendalaman yang luas tentang
keindonesiaan dan kemerdekaan dalam konteks dunia. Dalam pidato 1 Juni 1945
tersebut, Bung Karno juga berulang-ulang menyebut syukur alhamdulillah dan rahmat

Allah SWT tentang tanah air Indonesa dan Indonesia sebagai ibu pertiwi dan tanah
tumpah darah kita. Bisa dikatakan, melalui Pidato 1 Juni tersebut, Soekarno benarbenar tampil sebagai “penyambung lidah” cita-cita besar Indonesia mencapai
merdeka dan merangkai masa depannya yang bhinneka tunggal ika. Itulah sebabnya,
dasar “kebangsaan” (nationale staat) diletakkan sebagai yang pertama. Sambutan
hangat dan tepuk tangan-riuh menyertai sela-sela Pidato Soekarno tersebut.
Soekarno merumuskan Pancasila dengan susunan awal: (1) Kebangsaan Indonesia; (2)
Internasionalisme/Perikemanusiaan; (3) Mufakat/Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial;
dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, oleh sebuah Panitia kecil kemudian
menyempurnakan susunannya di kemudian hari, terdiri dari: Soekarno, Hatta, A.A.
Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo,
Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin.
Empat puluh tahun lalu, penyegaran Pancasila kali pertama dilakukan tepatnya pada 1
Juni 1977 setelah Upacara Peringatan Hari Lahirnya Pancasila di gedung Kebangkitan
Nasional, Jakarta. Ketika itu, sebagai Proklamator, Bung Hatta diminta secara khusus
menyampaikan pidato yang menyegarkan “Pengertian Pancasila”. Sejak itu, Bung
Hatta sudah menegaskan kecenderungan kita mengamalkan Pancasila “hanya di bibir
saja...”. Pancasila, dalam penegasan Hatta, mensyaratkan: pengabdian, ketaatan dan
tanggung jawab. Terutama karena dasar moral tertinggi haruslah diletakkan di atas
seluruh penyelenggaraan bernegara, yakni melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ingat, kata yang digunakan adalah “Ketuhanan”; sebagai tanda bahwa yang dirujuk

adalah “konsep” ketuhanan dan bukan kategori tunggal yang merujuk tentang
“Tuhan” (tertentu) yang dianut oleh sekelompok orang saja. Itulah sebabnya,
Soekarno menjelaskan pula dalam pidatonya 1 Juni tentang “Ketuhanan yang
Berkebudayaan...”. Di sinilah letaknya mengapa “keragaman keagamaan” serta
berbagai lapisan budaya ber-agama di Indonesia terlindungi martabat dan hak-haknya
secara bulat dalam Konstitusi kita.
Douglas Ramage (1995) menulis buku panjang tentang Pancasila sebagai “ideologi
toleransi” dan membuktikan bagaimana gelombang-gelombang politik yang menyertai
pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi nasional, terutama bagaimana ke-Pancasilaan itu berkembang dalam beragam persepsi, kontraksi, kompetisi, dan kecemasan
yang pernah dialami oleh Orde Baru, ABRI dan kekuatan masyarakat sipil di awal
1990an hingga Orde Baru jatuh. Ada banyak tulisan ilmiah lain yang berhasil
membuktikan bahwa Pancasila adalah “formula” yang tepat dan otentik untuk
Indonesia, antara lain tentang nilai-nilai dasarnya yang berakar dalam budaya
Indonesia sendiri, sebagaimana dikaji oleh banyak ahli sejak Eka Darmaputra (1987)
hingga Yudi Latif (2011) dan Warsono (2016).

Bayangan bahwa Indonesia setiap saat terancam pecah adalah bayangan yang cukup
rasional. Terlebih kalau orang menengok sejarah panjang di berbagai tempat di
belahan dunia. Karena itu, untuk mengokohkan keberadaan kita sebagai Negara
Kesatuan, ide-ide tentang “perpecahan” yang berkembang merupakan tantangan

utama yang mestinya dihadapi. Seriusnya karena ide tentang perpecahan itu justru
muncul dari dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita
telah berkembang menjadi satu negara-bangsa yang cenderung menyerahkan
sepenuhnya setiap harapan kita kepada negara (baca: pemerintah). Sikap seperti
inilah yang membuat iklim kebangsaan kita cenderung terasa “serba pemerintah”.
Padahal, pemerintahan modern yang sebenarnya adalah pemerintahan yang “tidak
dominan”. Ia seharusnya menjadi penopang bagi tumbuhnya masyarakat yang kaya
inisiatif, mandiri dan matang membangun basis-basis produktivitas. ***