Monopoli dan Pasar Persaingan Tidak Seha

Makalah Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat

DI SUSUN OLEH :
Mohammad dery
Adi nurhamidi
Ardan sawabi L.G
Ahmad dasuki
2016

Universitas Mulawarman
Samarinda

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis juga berterima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan tugas ini terutama kepada
Dosen yang telah membimbing kami sehingga penulis bisa menyelesaikan “Makalah
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai

pihak. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

semua

pihak yang telah

membantu dalam penyusunan tugas ini.

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................

2

Daftar Isi ..................................................................................................................

3


BAB I PENDAHULUAN

4

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................

4

1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................

4

1.3 Tujuan .................................................................................................................

5

1.4 Manfaat ...............................................................................................................

5


BAB II PEMBAHASAN

6

2.1 Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ................................

6

2.2 Azas dan Tujuan ..................................................................................................

7

2.3 Kegiatan yang Dilarang ......................................................................................

7

2.4 Perjanjian yang Dilarang......................................................................................

9


2.5 Posisi Dominan ...................................................................................................

10

2.6 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha...............................................................

16

2.7 Sanksi dalam Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat..................................

18

BAB III PENUTUP

20

3.1 Kesimpulan .........................................................................................................

20


3.2 Saran ...................................................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................

21

3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam
dunia usaha. Dengan persaingan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus
menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan
untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan
mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik.
Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana
bersaing dengan sehat sehingga munculah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan

pada akhirnya timbul praktek monopoli.
Dengan adanya praktik monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti terbuka
kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
pribadi. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan
kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi
kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah.
Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik
yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.
Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai pangsa pasar secara mutlak
sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan lagi untuk berperan serta. Apalagi
kalau produk yang dimonopoli itu merupakan kebutuhan primer, dapat dipastikan
mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam kondisi yang
demikian, masyarakat tidak mempunyai alternatif lain kecuali membeli produk yang
dimonopoli tersebut dan akan terjadi pula inefisiensi dalam menghasilkan produk.

4

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian praktik monopoli dan persaingan tidak sehat?
2. Apa saja yang termasuk pada praktik monopoli?

3. Hal - hal apa saja yang tidak tergolong dalam praktik monopoli?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian praktik monopoli dan persaingan tidak sehat
2. Mengetahui hal yang termasuk dalam praktik monopoli
3. Memahami hal yang tidak termasuk praktik monopoli

4. mengetahui hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam
melakukan suatu usaha.
5. mengetahui hal-hal yang dilarang dalam menjalankan bisnis dan
akibatnya apabila aturan tersebut dilanggar
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan mengenai Apa
itu Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menurut UU no.5 Tahun

1999 tentang praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1
ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
Monopoli diindikasikan sebagai sesuatu yang netral, bukan positif maupun negatif
dikarenakan ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya monopoli, antara lain :



Monopoli terjadi sebagai akibat dari “superior skill”, yang salah satunya dapat
terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara.



Monopoli terjadi karena pemberian negara.

Di Indonesia terlihat dari

pelaksanaan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam
pasal 51 UU ini.


Monopoli merupakan suatu “historical accident” dimana monopoli terjadi
karena tidak sengaja dan berlangsung karena proses alamiah yang ditentukan
oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini

6

penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya

monopoli sangat relevan.

2.2 Azas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan
demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah
sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

2.3 Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 adalah :


1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila:

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

7

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18 adalah :

1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 adalah :

1. Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

b. Mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan
biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 adalah :
1. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan

8

sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau
dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas,
maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
2.4 Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di
bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali
barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan

9

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan
hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar
komoditas.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.

10

2.5 Posisi Dominan
Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh
perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar
tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut,
perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi
oleh perusahaan pesaingnya. Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada
pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan,
akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan
usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum persaingan usaha,
menjadi perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam hal ini di Indonesia,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah terhadap posisi dominan suatu
perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa yang mempunyai posisi dominan
pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah
terlapor mempunyai posisi dominan? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab
dengan ya, bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi
dominannya, maka yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah
pelaku usaha tersebut benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
dan bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi
dominannya. Kalau pelaku usaha (terlapor) tidak mempunyai posisi dominan,
bagaimana terlapor dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang
bersangkutan? Dan hal yang perlu dicari tahu dan dibuktikan adalah apakah pasar
yang bersangkutan terdistorsi atau tidak. Bentuk pasar terdistorsi misalnya pelaku
usaha lain tidak dapat masuk ke pasar yang bersangkutan, karena adanya hambatanhambatan pasar (entry barrier) atau apakah terlapor mempunyai hubungan terafiliasi
dengan pelaku usaha lain sehingga dapat melakukan hambatan-hambatan persaingan
usaha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dielabolarasi dalam bab ini, ditinjau
dari aspek UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

11

Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) sehingga mempermudah pemahaman tentang
apa yang dimaksud dengan posisi dominan dan penyalahgunaannya.
Dari ketentuan Pasal 25 ayat 1 pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
dapat menyalahgunakan posisi domiannya baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk:
a. Mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau
jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan
menetapkan syarat-syarat perdagangan
Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a
adalah syarat perdagangan yang dapat mencegah konsumen memperoleh barang
yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan
bahwa konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk
tidak membeli barang dari pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada
ketergantungan terhadap pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Posisi
dominan pelaku usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak memperoleh
barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
adalah sangat kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha tersebut dapat
mengontrol perilaku konsumen tersebut untuk tidak membeli barang yang
bersaing dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut.
Mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen/pembeli tersebut? Karena pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu
konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di
dalam aturan hokum persaingan usaha negara lain. Yang sering terjadi adalah
bahwa pelaku usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli)
untuk mendapatkan barang dari
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi

12

Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar.
Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian
membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi
pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di
pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan
berupa melakukan hambatan masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan
barang di pasar atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau
jasa di pasar yang bersangkutan dan melakukan jual rugi yang akan
menyingkirkan persaingnya dari pasar. Termasuk melakukan perjanjian tertutup
dan praktek diskriminasi dapat dikategorikan suatu tindakan membatasi pasar.
Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di dalam UU No. 5/1999.
Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau
pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain
pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau ditolak.
Atau pelaku usaha yang menguasai suatu fasilitas jaringan teknologi tertentu
(essential facilities doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku
usaha pesaingnya asalkan tidak mengganggu sistem jaringan teknologi tersebut
jika dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha yang
menikmati jaringan teknologi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
penggunaan jaringan tersebut. Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam
25

ayat

1b

adalah

membatasi

pengembangan

teknologi.

Sebenarnya

pengembangan teknologi adalah merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu
yang menemukannya menjadi hak atas kekayaan intelektual penemunya.214 Hal
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang
mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian
pembatasan pengembangan teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya
pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan teknologi yang dilakukan oleh
pelaku usaha pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas
maupun kuantitas.

13

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
Memasuki pasar bersangkutan
Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan
pesaing faktual dan pesaing potensial. Pesaing faktual adalah pelaku usahapelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang
bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang
mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh
pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan
masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan
hambatan masuk pasar oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah.
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah
penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga
pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut demikian kokoh pada sektor
tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang
bersangkautan.
Sedangkan hambatan masuk pasar akibat kebijakan negara atau
pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis.
Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan
lisensi.
Sedangkan hambatan masuk pasar secara strategis adalah kebijakankebijakan yang memberikan perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku
usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar.
Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah
bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan. Selain
pelaku usaha yang dominan dapat melakukan penyalahgunaan posisi
dominannya sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, pelaku
usaha tersebut dapat juga melakukan perilaku yang diskriminatif, baik
diskriminasi harga dan non harga dan jual rugi (predatory pricing).

Hubungan Afiliasi Dengan Pelaku Usaha yang Lain
a. Jabatan rangkap

14

Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di
perusahaan yang lain apabila perusahaan - perusahaan tersebut; a) berada dalam
pasar bersangkutan yang sama; atau b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang
dan atau jenis usaha; atau c) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang
dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak
melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat
jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).
Pertanyaannya adalah apakah jabatan rangkap tersebut dapat diawasi di depan
(pencegahan) atau kemudian (repressif)? Penilaian terhadap jabatan rangkap
biasanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham perusahaan. Jika
perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan yang lain, dan akibat
pengambilalihan saham tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka
penempatan tersebut dapat dinilai, apakah nanti dapat mengakibatkan persaingan
usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan atau tidak, maka dinilai kembali
melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku
usaha yang mengambilalih dan pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal).
Artinya, pelaku usaha yang mengambilalih dan yang diambilalih berada pada pasar
bersangkutan yang sama. Selain itu jabatan rangkap juga dapat terjadi di dua
perusahaan yang tidak bergerak dibidang usaha yang sama, melainkan adanya
keterkaitan usaha dalam proses produksi barang terebut dari pasar hulu sampai ke
pasar hilir. Ini disebut perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat dalam
bidang dan atau jenis usaha.

b. Kepemilikan saham silang
Ketentuan Pasal 27 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham
mayoritas. Pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam
bidang yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama, atau mendirikan
beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan yang apabila mengakibatkan: a.) Satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang

15

atau jasa tertentu; b.) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut pelaku usaha yang menguasai saham
mayoritas dibeberapa pelaku usaha dan mengakibatkan penguasaan pangsa pasar
lebih dari 50% untuk monopolis dan lebih dari 75% untuk oligopolis dapat
mengakibatkan posisi dominan. Kempemilikan saham mayoritas yang dimiliki oleh
satu pelaku usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu,
kemudian dengan pembuktian penguasaan pangsa pasar di pasar yang bersangkutan.
Setelah pelaku usaha menguasai saham mayoritas, baru dibuktikan apakah
menguasai pangsa pasar lebih dari 50% atau lebih dari 75%, yaitu apa yang disebut
dengan posisi dominan. Jika pelaku usaha sudah terbukti mempunyai posisi
dominan, maka langkah berikutnya adalah membuktikan apakah posisi dominan
tersebut disalahgunakan yang mengakibatkan pasar menjadi terganggu.

c. Merger, akuisisi & konsolidasi
Secara sederhana, merger, akuisisi dan konsolidasi, atau yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dan dipakai dalam peraturan perundang-undangan dengan
istilah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.


Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 9 “Penggabungan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan
diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan
pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.



Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 10 ”Peleburan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri
dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hokum
memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan
status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena
hukum”.



Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 11 ”Pengambilalihan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang

16

perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan
beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut”.
2.6 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU merupakan
lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak
lainnya. KPPU bertanggung jawab kepada Presiden. Setiap orang yang mengetahui
telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran UU ini dapat melaporkan secara
tertulis kepada KPPU dengan menyertakan identitas pelapor. Keberatan terhadap
putusan KPPU diajukan ke PN paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan putusan.
Jika masih keberatan dapat mengajukan kasasi ke MA dalam waktu 14 hari setelah
putusan dibacakan.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk
secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran
melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau
menghambat bisnis pelaku usaha lain.

17

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu
sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang
selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan
kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
2.7 Sanksi dalam Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada
tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal
yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi
administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya
diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga
mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok.
Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.


Pasal 48

18

1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.


Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a) Pencabutan izin usaha; atau
b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran
tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan
atau penyidikan dalam konteks pidana.

19

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada
monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud
dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah
satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu
persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

3.2 Saran
Dengan adanya Makalah ini diharapkan dapat membantu dalam memahami apa
itu Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan apabila terdapat keselahan
dan kekurangan pada Makalah ini mohon dimaafkan karena tidak ada gading yang
tak retak dan tak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan itu hanya milik sang
pencipta dan kekurangan hanya milik kita semua makhluknya.

20

DAFTAR PUSTAKA
Hardjan ruslie. Hukum perjanjian indonesia dan common law. Cet II. Jakarta : Pustaka
sinar Harapan. 1996
Sirait, Ningrum N. ”Hukum Persaingan di Indonesia: UU No. 5/1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Cet. I. Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2004.
Indonesia. Undang-undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999 LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817

21