Fenomena Arsitektur Hijau dan Perkembang

“FENOMENA ARSITEKTUR HIJAU
DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA”
Jundi Shalahuddin M,
Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Arsitektur Hijau, 2015

Abstrak: Istilah Arsitektur Hijau mulai dikenal sejak tahun 1980-an. Pada masa itu, dunia industri
mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga memberikan dampak yang sangat buruk terhadap
lingkungan. Akhirnya PBB pun mengambil langkah untuk mengurangi dampak tersebut. PBB
kemudian mengenalkan istilah “sustainability” yang kemudian berkembang menjadi “Green
Architecture” dalam dunia arsitektur. Di Indonesia sendiri, perkembangan Arsitektur Hijau dimulai
kurang lebih pada masa yang sama. Hingga saat ini, Arsitektur Hijau masih terus berkembang dan
menyebarkan pengaruh ke dalam rancangan Arsitek masa kini.
Kata Kunci: Green Architecture, Sustainable Architecture, Arsitektur Indonesia
Pendahuluan
Istilah Arsitektur Hijau mulai dikenal dalam
dunia arsitektur sejak tahun 1980-an. Pada
masa itu, banyak sekali bencana yang
berhubungan dengan dunia industri. Hal ini
menandakan kemajuan peradaban manusia dan
menunjukkan besarnya dampak kemajuan
peradaban tersebut terhadap lingkungan

(Baweja, 2008). Menanggapi hal tersebut,
pada tahun 1987 PBB mendirikan World
Commission
on
Environment
and
Development (WCED) yang kemudian
mengenalkan istilah “sustainability” yang
kemudian dalam perkembangannya di bidang
arsitektur dikenal dengan istilah “Green
Architecture”.
Di sisi lain, Wines (2008) menyatakan bahwa
bangunan-bangunan telah mengkonsumsi
seperenam sumber air bersih dunia,
seperempat produksi kayu dunia, dan
duaperlima bahan bakar dari fosil. Sehingga
sudah sewajarnya Arsitektur turut ambil peran
dalam upaya memperbaiki lingkungan.
“Green Buildings are buildings of any usage
category that subscribe to the principle of a

conscientious handling of natural resources.”

(Michael Bauer, dalam “Green Building:
Guidebook for Sustainable Architecture.”)
Berdasarkan ungkapan Bauer diatas, maka
yang dimaksud dengan Green Building adalah
bangunan
yang
memberikan
sesedikit
mungkin dampak terhadap lingkungan,
bangunan yang menggunakan material yang
bersahabat dengan lingkungan, low cost
energy, menggunakan energi terbaharukan,
dan juga murah dalam operasional dan
pembangunannya.
Arsitektur Hijau, Sustainable Architecture,
dan Zero Energy Building
Istilah Arsitektur Hijau tidak bisa lepas dari
istilah Sustainable Building, atau Bangunan

Berkelanjutan. Dimana istilah Sustainable juga
sering
digunakan
dalam
bidang
pengembangan. Secara bahasa, sustain bisa
diartikan
sebagai
bertahan
atau
mempertahankan.
Sebagaimana
mempertahankan lingkungan agar dapat
dirasakan juga manfaatnya oleh anak cucu kita
yang akan hidup dimasa yang akan datang.
Lantas bagaimana hal ini menghubungan
Arsitektur Hijau dan Sustainable Architecture?
Keduanya sama-sama memiliki kepentingan
dalam menjaga alam agar tidak berubah ke


arah yang lebih buruk dan kalau bisa justru
mengarahkan perkembangan alam ke arah
yang lebih baik.

9. Mendukung pernyataan UNESCO
mengenai
keberagaman
budaya
sebagai hasil peradaban manusia.

“Hijau merupakan istilah yang menjadi
konsep Sustainable Development atau
Pembangunan Berkelanjutan sebagaimana
yang diterapkan pada bangunan industri.
Arsitektur ‘Hijau’ ialah arsitektur yang
mempertimbangkan konsep pembangunan
berkelanjutan.” (Saraswati 2011:4)

Menurut Kelly Hart, Prinsip dari Arsitektur
Berkelanjutan adalah: small is beautiful, heat

with the sun, keep your cool, let nature cool
your food, be energy efficient, conserve water,
use local material, use natural material, save
the forests, recycle material, build to cast,
grow your food, dan share facilities.
Pernyataan Hart tentang prinsip Arsitektur
Berkelanjutan
ini
sesungguhnya
tidak
bertentangan dengan rumusan Konsep Strategi
Desain Berkelanjutan.

Dalam Deklarasi Copenhagen (7 Desember
2009), dirumuskan Konsep Strategi Desain
Berkelanjutan yang kurang lebih dapat
diartikan sebagai berikut:
1. Dimulai dari tahapan awal proyek dan
melibatkan seluruh pihak yang ikut
berpartisipasi dalam proyek tersebut.

2. Mengintegrasikan semua aspek dalam
konstruksinya dan penggunaannya di
masa depan berdasarkan “Full Life
Cycle Analysis and Management”
3. Mengoptimalkan nilai efisiensi dengan
pertimbangan menggunakan energi
terbarukan dan teknologi modern yang
ramah lingkungan sejak tahap konsep.
4. Menyadari bahwa proyek-proyek
arsitektur dan perencanaan merupakan
sistem interaktif yang kompleks dan
terkikat dengan lingkungan sekitarnya
yang lebih luas. Termasuk sejarah,,
budaya,
dan
nilai
sosial
masyarakatnya.
5. Mencari dan menggunakan material
yang baik bagi lingkungan dan

penggunanya.
6. Bertujuan untuk mengurangi produksi
karbon yang dapat berdampak buruk
pada manusia dan lingkungan.
7. Berusaha untuk meningkatkan kualitas
hidup, mempromosikan nilai-nilai
kesetaraan, memajukan ekonomi, serta
memberi kesempatan untuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat.
8. Memahami adanya ikatan lokal dan
integrasi antara desa dan kota dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhanya
baik yang bersifat fisik maupun psikis.

Namun konsep dan prinsip tersebut
bertentangan dengan pendapat Mathias Fuchs,
dalam bukunya yang berjudul: “Energy
Manual: Sustainable Architecture”, yang
menyatakan bahwa bangunan berkelanjutan

sering kali bersifat self-sufficient, sehingga
bersifat terlepas dari bangunan yang ada
disekitarnya atau masyarakat yang ada
disekitarnya. Dalam buku yang sama, Fuchs
juga
mengatakan
bahwa
bangunan
berkelanjutan sering kali mengabaikan konteks
kelokalan yang seharusnya menjadi identitas.
Oleh karena itu, diharapkan para praktisi
Arsitektur Hijau atau Sustainable Buildings
dapat kembali kepada Konsep Strategi Desain
Berkelanjutan.
Zero Energy Building/ZEB secara konseptual
adalah suatu bangunan yang mengurangi
konsumsi energinya sedemikian rupa sehingga
kebutuhan energinya dapat dipenuhi dengan
energi yang terbaharukan. ZEB dapat dibagi
menjadi sejumlah kategori (P. Torcellini,

2006):




Zero Site Energy, yaitu bangunan di
suatu tapak mampu menghasilkan
energi
sebanyak
energi
yang
dibutuhkannya di tapak tersebut.
Zero Source Energy, yaitu bangunan
mampu menghasilkan energi sebanyak
energi yang dibutuhkannya dari suatu






sumber dengan jarak tertentu dari
tempat bangunan tersebut berada.
Zero Energy Cost, yaitu bangunan
mampu menghasilkan energi dengan
nilai sama dengan energi yang
dibutuhkan oleh bangunan tersebut.
Zero
Energy
Emissions,
yaitu
bangunan
mampu
menghasilkan
energi terbaharukan dengan jumlah
sama dengan energi yang dikonsumsi
bangunan tersebut yang menghasilkan
polusi.

Perkembangan Arsitektur Hijau di
Indonesia

Di Indonesia sendiri, gerakan Arsitektur Hijau
juga tampak pada tahun 1980-an. Beberapa
tokoh yang turut berperan adalah Y.B. Mangun
Wijaya, Heinz Frick, dan Eko Prawoto
(Tanuwidjaya, Gunawan).
Pada tahun 2009, didirikan Green Building
Council Indonesia (atau sering juga disingkat
GBCI). Yaitu sebuah lembaga mandiri dan
nirlaba yang didirikan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan seperti: biro konsultan dan
konstruksi,
kalangan
indistri
properti,
pemerintah,
intitusi
pendidikan,
dan
masyarakat peduli lingkungan sebagai sarana
pertimbangan dan sertifikasi bangunan
bertaraf green.
Menurut GBCI dalam programnya yang
disebut Green Ship, terdapat beberapa faktor
yang menentukan apakah suatu bangunan
dapat diberi sertifikasi green building. Yaitu:







Tepat guna lahan
Efisiensi energi dan refrigerant
Konservasi air
Sumber dan siklus material
Kualitas udara dan kenyamanan udara
Manajemen lingkungan bangunan

Menurut Paola Sassi, dalam bukunya yang
berjudul:
“Strategies
for
Sustainable
Architecture”, hal-hal yang mempengaruhi
tepat guna lahan dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
memilih
lahan
dengan

mempertimbangkan
keberadaan
fasilitas
transportasi publik, jaringan pedestrian dan
jalur sepeda, nilai ekologi lahan, dan dampak
lahan pada komunitas; menggunakan lahan
dengan efisien dengan mempertimbangkan
kebutuhan
komunitas,
kepadatan,
pengembangan yang atraktif, kemungkinan
mixed-use, dan membangun diatas lahan yang
sebelumnya
terabaikan;
meminimalisir
dampak pengembangan dengan melindungi
habitat alami, memoertahankan tanaman
existing, meningkatkan potensi pedestrian dan
jalur sepeda, menambahkan fungsi produksi
pangan apabila memungkinkan.
Dalam praktiknya, desain Bangunan Hijau
atau Green Building terkadang ditolak oleh
klien karena besaran dana yang cenderung
lebih besar apabila dibandingkan dengan
bangunan tanpa konsep green dalam upaya
mempersiapkan fasilitas-fasilitas ‘hijau’-nya
tanpa
mengetahui
dan/atau
mempertimbangkan besaran dana yang perlu
dipersiapkan nantinya manakala bangunan
siap untuk ditinggali. Hal ini juga terjadi
karena kurangnya pengetahuan dan/atau
kesadaran
klien
mengenai
pentingnya
Arsitektur Hijau bagi keberlangsungan
komunitas kedepannya.
Masa Depan Arsitektur Hijau
Meskipun biaya pembangunan yang tinggi,
Arsitektur Hijau diharapkan tetap terus
berkembang. Pernyataan ini didukung oleh
pernyataan Dina Hartadi dari GBCI,
“Investasinya relatif mahal karena pasarnya
belum kuat. Namun, ke depan, industrinya
akan bergerak ke sana, sehingga pasarnya juga
akan terbentuk dan akan lebih murah untuk
bangunan hijau.”
Dalam perkembangannya dalam dunia
pendidikan, Arsitektur bertajuk Hijau menjadi
salah satu objek pembelajaran yang diannggap
menarik oleh mahasiswa. Hal ini didukung
oleh pendidikan sejak dini mengenai
pentingnya mencintai lingkungan dana lam

sebagaimana dirumuskan dalam “Education
for Sustainable Development”.

Daftar Pustaka
Brown, Sandy. Sustainable Architecture. 2010
B. Michael et al. Green Building: Guidebook
for Sustainable Architecture.
P. Torcellini et al. Zero Energy Buildings: A
Critical Look at the Definition. 2006
Sassi,

Paola. Strategies
Architecture.

for

Sustainable

Tanuwidyaja, Gunawan. Desain Arsitektur
Berkelanjutan Di Indonesia: Hijau
Rumahku Hijau Negeriku. 2011
http://industri20cosmas.blogspot.co.id/2012/12
/arsitektur-dan-rumah-hijau_29.html
http://sukmasandy0.blogspot.co.id/2012/10/gre
en-arsitektur.html