BAB II PERJANJIAN DENGAN SYARAT-SYARAT BAKU - Penggunaan Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pembelian Kenderaan Roda Empat (Studi Normatif Terhadap Penggunaan Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Pada Pt. Bca Finance Di Kota Medan)

BAB II PERJANJIAN DENGAN SYARAT-SYARAT BAKU A. Pengertian Perjanjian Baku Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu ”standard contract” atau ”standard voorwaarden”. Di luar negeri

  belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah "Allgemeine Geschatfs

  Bedingun", "Standard vertrag", "Standaardkonditionen"

  Hukum Inggris menyebut "Standard Contract", yang terjemahan bebasnya adalah "Perjanjian Baku", baku berarti patokan, ukuran, acuan.

  Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.

  Latar belakang timbulnya perjanjian baku ini adalah karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya, hanya menerima apa yang disodorkan.

  Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efesiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu. Sehubungan dengan sifat massal dn kolektif, pejanjian baku "Vera Bolger", menamakannya sebagai "take it or

  leave it contract". Jika debitur menyetuji salah satu syarat-syarat maka debitur

  mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.

  Beberapa ahli mencoba memberikan defenisi mengenai klausal aksenorasi dan perjanjian baku, yang antara lain : Rijen mengatakan bahwa klausal eksenorasi adalah klausul yang dicantumkan di - dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. Klausal eksenorasi/eksensi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Yang bersifat massal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir, yang dinamakan perjanjian baku.

  Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut : -

  "Standardvoorwaarden zijn schftelijke concept bedingen welke zijn omzonder orderhandelingen omtrent hun inhoud opgemen te worden in een gewoonlijk obnepaald aantal nog te sluiten overeenkonsten van bepaald aard". Artinya :

  "Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu".

  Drooglever Fortuijn, merumuskan dengan : -

  "Contracten waarvan een belangrijk deel van de inhould word bepaald door een vast semenstel van contracts bedingen" artinya : "Perjanjian yang bagian

  pentingnya dituangkan dalam susunan perjanjian".

  Uraian di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. Jika anda pada suatu saat membuka rekening di bank, atau mencuci pakaian di tukang binatu atau mengirimkan surat melalui titipan kilat, tanpa disadari anda mengikatkan diri pada perjanjian baku.

  Dari pegawai bank, anda akan menerima formulir perjanjian koran, dari titipan kilat anda sebagai debitur akan diberi tanda terima, yang berisi perjanjian baku. Formulir itu bermacam-macam bentuknya, ada yang panjang yang terdiri dari beberapa lembar folio, ada yang hanya dari satu lembar folio dan ada pula yang kecil dari itu. Huruf dicetak kecil, yang kadang-kadang diperlukan kacamata untuk membacanya.

B. Perjanjian Dengan Syarat-syarat Eksonerasi

  Perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula dengan perjanjian

  23

  dengan syarat-syarat untuk pembebasan atau penghapusan tanggungjawab. Dengan perjanjian ini diinginkan salah satu pihak dari para pihak dibatasi atau dibebaskan dari sesuatu tanggungjawab berdasarkan hukum. Beban tanggungjawab yang mungkin diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus terhadap penyusunan perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi tersebut.

  Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.

  Klausul eksonerasi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkand alam perjanjian secara individual atau secara massal. Yang bersifat massal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir,

  24 yang dinamakan perjanjian baku.

  Engels menyebutkan adanya tiga bentuk juridis dari perjanjian dengan syarat- syarat eksonerasi ini. Ketiga bentuk ini adalah ;

  1. Tanggungjawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.

  23 24 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 104.

  Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 47.

  2. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian dalam keadaan darurat).

  3. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebaan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikul tanggungjawab pihak lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggungjawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurang pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal itu.

C. Kedudukan Klausul Baku dan Klausul Eksonerasi Dalam Azas Kebebasan Berkontrak yang Bertanggungjawab

  Dari keseluruhan jenis perjanjian baku ini, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti rugi kepada debitur adalah sebagai berikut :

  1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur ;

  2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu ;

  3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu ;

  4. Bentuknya tertulis ;

  5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

  Merupakan pertanyaan disini, apakah klausul eksenorasi/perjanjian baku memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain untuk memenuhi azas kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab.

  Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :

  1. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya.

  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

  3. Suatu hal yang tertentu dan 4. Suatu sebab yang halal.

  Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah azas esensial dari hukum perjanjian. Azas ini dinamakan juga azas konsensualisme yang menentukan adanya

  (rasion d'etre, het besraanwaarde) perjanjian.

  Di dalam hukum Inggris, azas ini dikenal juga. Berkata Anson sebagai berikut : "A promise more than a mere statement on intention, for it imports a willingness on the par of the promiser to be bound to the person to whom it is made".

  Dengan demikian, kita melihat bahwa azas kebebasan ini tidak hanya milik KUH Perdata, akan tetapi bersifat universal. Azas konsensualisme yang terdapat di dalam pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti "kemauan" (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kamauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini mem- bangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Azas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

  Manusia terhormat akan memelihara janjinya, kata Eggens. Grotius mencari dasar konsensus itu di dalam hukum kondrat. Ia mengatakan, bahwa pacta sunt

  servanda (janji itu mengikat). Seterusnya ia menyatakan lagi promisorum impledorum obligation (kita harus memenuhi janji kita). Azas konsensualisme ini

  mempunyai hubungan yang sangat erat dengan azas kebebasan berkontrak dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

  Ketentuan ini berbunyi "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang.

  Azas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

  Meninjau masalah "ada" dan "kekuatan mengikat" perjanjian baku, maka secara teoritis juridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 (1) KUH Perdata.

  Kita melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan "real

  bergaining" dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk

  mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku ini karena tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata dan akibatnya tidak ada.

  Ada dua paham yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah

  25

  perjanjian baku melanggar azas kebebasan berkontrak atau tidak yaitu : Sluiter mengatakan, perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan - pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.

  Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara - teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

  Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa - perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adalah kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

  Asser Rutten mengatakan pula bahwa "Setiap orang yang menandatangani - perjanjian, bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada 25 Mariam Darus Badraman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, hal. 52. orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditanda tangani. Tidak mungkin seorang menanda tangani apa yang tidak diketahui isinya".

  Hondius di dalam desertasinya mempertahankan bahwa, perjanjian baku - mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan "kebiasaan" (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Mariam Darus Badrulzaman berkesimpulan bahwa : klausul eksonerasi/perjanjian - baku bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab, terlebih lagi jika ditinjau dari azas-azas dalam sistem hukum nasional, di mana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang didahulukan. Di dalam perjanjian baku, kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajiban-kewajibannya. Dari segi lain, perjanjian baku hanya memuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul debitur. Perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan. Tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana caranya memberikan perlindungan kepada debitur. Apakah criteria yang dipergunakan untuk menertibkan klausul eksonerasi/perjanjian baku tersebut. Dalam hal ini, yang dapat berperan adalah badan pembentuk undang-undang, pemerintah, pengadilan, notaris dan konsultan hukum.

D. Beberapa Perkembangan Perjanjian Baku di Berbagai Belahan Dunia

  Perjanjian baku tidak hanya dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental

  (Civil Law) tetapi juga di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law).

  Di Amerika Serikat sampai dengan sekitar tahun 1960, seperti juga di negara- negara lainnya yang berlaku sistem hukum Common Law, pengadilan-pengadilan di sana tetap berpegang teguh pada prinsip Caveat Emptor (Let the buyer beware), yang berarti pembelilah yang harus berhati-hati, sedangkan formulir biasanya dibuat oleh pihak penjual. Dalam hal ini pembeli oleh hukum dimintakan untuk bersikap hati-hati untuk dirinya sendiri. Ini berarti pihak penanda tangan kontrak oleh hukum dibebankan kewajiban membaca (duty to read) kontrak yang bersangkutan. Manakala dia gagal melakukan tugas membaca tersebut, maka risiko mesti ditanggung. Kontrak baru bisa dibatalkan jika terjadi fraud atau misrepresentation. Namun demikian, sejak lebih kurang tahun 1960, pengadilan di Amerika Serikat mulai waspada dengan eksistensi perjanjian baku yang semakin gencar berlakunya. Untuk mengatasi adanya perjanjian baku yang berat sebelah, mulailah di sana dikembangkan “doktrin ketidakadilan” (unconscionability) yang melarang perjanjian yang isinya sangat tidak seimbang, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Oleh Pengadilan di Amerika Serikat, perjanjian yang demikian dapat dibatalkan sebagian atau seluruhnya. Di Amerika Serikat, di samping dibatalkannya kontrak baku (yang berat sebelah) atau klausula-klausula di dalamnya berdasarkan doktrin

  “ketidakadilan” tersebut, bahkan perjanjian baku atau klausula-klausulanya seperti itu dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan-ketentuan khusus tentang perjanjian baku.

  Hukum di Jerman, berlaku sejak tanggal 9 Desember 1976, yakni dengan syarat-syarat baku dari kontrak (AGB Gezetz) telah mengatur tentang syarat-syarat baku, antara lain dengan membuat daftar dari klausul-klausul yang dicurigai. Dalam beberapa putusan dari Mahkamah Agung (Hoge Raad) Negeri Belanda, beberapa petunjuk hukum dapat diambil dalam hubungan dengan masalah kontrak baku, khususnya yang mengandung klausula eksemsi, Petunjuk-petunjuk hukum tersebut

  26

  sebagai berikut:

  1. Mesti dilihat kepada beratnya kesalahan dari pelaku, termasuk dengan menganalisis kesungguhan dari kepentingan-kepentingan yang ada;

  2. Mesti dilihat dan dihubungkan dengan sifat dan isi selebihnya (di luar klausula eksemsi) dari kontrak;

  3. Mesti dilihat kedudukan para pihak dalam masyarakat dan hubungan antar para pihak dalam kontrak tersebut. Misalnya, harus dipertimbangkan faktor-faktor berikut ini:

  a. Kedudukan yang kuat atau kedudukan monopolistis dari salah satu pihak dalam kontrak.

  b. Apakah salah satu pihak mempunyai kewajiban mengadakan kontrak (misalnya perusahaan menjalankan kepentingan umum).

  c. Apakah antara para pihak ada perbedaan keahlian (seperti dokter, arsitek, akuntan, dan lain-lain).

  4. Mesti dilihat bagaimana cara terjadinya klausula yang merugikan itu. Misalnya harus diperhatikan: a. Apakah klausula tersebut lahir sesudah adanya perundingan yang cukup atau tidak.

  b. Apakah klausula tersebut lahir dalam keadaan yang menyesatkan atau tidak.

  5. Mesti dilihat berapa besarnya kesadaran yang kemengertian pihak yang kepadanya yang diajukan kontrak yang bersangkutan terhadap maksud dari klausula yang merugikan tersebut. 26 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hal.87-88.

  Pada Tahun 1854 oleh Parlemen (Inggris) mulai dikeluarkan undang-undang yang mencoba membatasi kebebasan pihak penjual untuk membuat klausula-klausula dalam kontrak baku untuk melindungi pihak pembeli barang/jasa, yang dimulai dengan undang-undang mengenai angkutan kanal dan kereta api. Dan pada abad ke sembilan belas, berbagai undang-undang lain yang menyangkut dengan kontrak tertentu juga diundangkan di Inggris, seperti juga di negara-negara industri lainnya.

  Misalnya, dalam tahun 1893 diundangkan Undang-undang Penjualan Barang (Sale of

  Goods Act). Kemudian di Amerika Serikat, ketentuan yang mirip-mirip dengan itu,

  yaitu Undang-undang Penjualan yang Seragam (the Uniform Sales Act), pada tahun

  27 1906, diterima oleh the National of Commissioner on Uniform State Laws.

  Masyarakat Internasional mengenal pula standard terms (klausula umum, diatur dalam Bab Contracting under Standard Terms dari UNIDROIT Principles) yang pada umumnya berlaku pada suatu perjanjian tanpa melihat apakah salah satu pihak atau kedua belah pihak secara eksplisit menyetujui telah menggunakan peraturan umum tersebut. Menurut Art.2.19 ayat (2) UNIDROIT Principles, yang dimaksud dengan peraturan umum adalah syarat-syarat dalam suatu kontrak yang telah disusun terlebih dahulu dan secara umum digunakan berkali-kali oleh salah satu

  28 pihak tanpa merundingkannya terlebih dahulu dengan pihak lawannya.

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Sepeda Motor Pada PT Federal International Finance (FIF) Kota PematangSiantar

2 106 113

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syari’ah (Studi Pada Bank Syari’ah Mandiri Pematangsiantar

3 60 112

Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe

7 136 107

Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional)

2 43 119

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan Sepeda Motor Melalui Perusahaan...

0 74 5

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan

38 232 103

Kontrak Baku Pada Asuransi Syariah Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen

2 16 93

Model Perjanjian Baku Pada Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telepon Selular Pasca Bayar

0 0 24

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pada Perjanjian Pembiayaan dengan Fidusia Tidak Terdaftar - Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pada Perjanjian Pembiayaan dengan Fidusia Tidak Terdaftar

1 1 23

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ve

0 1 42