Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe

(1)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

DI PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA (SFI)

CABANG LHOKSEUMAWE

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NAMA : TALITA FILDZAH NADILAH

NIM : 040200148

DEPARTEMEN : HUKUM PERDATA DAGANG


(2)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat, rahmat, kesehatan, kesempatan yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Pada kesempatan ini Penulis menyusun skripsi dengan judul :

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DI PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA CABANG LHOKSEUMAWE

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi tugas Akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa isi skripsi ini belum sepenuhnya sempurna, oleh karena itu penulis menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca untuk penyempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan moril maupun materil, bimbingan petunjuk, saran-saran, nasehat yang sangat berharga bagi Penulis. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Runtung, Sitepu, S.H.M.hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.,selaku Ketua Departemen Hukum Perdata sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. 4. Ibu Aflah, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali Penulis.


(3)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

5. Bapak/Ibu Dosen beserta seluruh staf pegawai yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara.

6. Seluruh pegawai perpustakaan Fakultas hukum USU, pak man, pak min, kak juli, kak yuni.

7. Seluruh Staf dan Karyawan PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe yang telah banyak membantu. Khususnya kepada Bapak Dysi Julio Dyalim.

8. Ayahnda tercinta Edy Hariady, S.E., dan Ibunda tersayang Meta Rulita yang telah banyak memberi semangat dan masukan-masukan yang sangat berguna bagi penulis untuk menyelesaikan sekripsi ini dan adik-adik tersayang Ogi, Bela, Abi terima kasih atas semangat dan hiburannya. 9. Someone special Reza, terima kasih atas semangat, dukungan, masukan,

yang sangat bermanfaat bagi penulis.

10.Sahabat-sahabat terbaik dan tercinta Fitruk, bu`kost, desbeq, tyas, putri, noey, kubo, ulfeh, eka, dini, suthe, zaqi, topik, ilmi, novan, yowa, heri, surya, terima kasih atas semangat, dukungan dan ilmunya. Dan seluruh teman Stb.`04, adik-adeik stb`05,`06 lainnya yang tidak dapat disebut satu per satu.


(4)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

11.Buat senioren dan alumni HMI Komisariat FH-USU terima kasih atas semangat dan dukungannya.

Medan, Mei 2008


(5)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

PRAKATA ………..……….. i

DAFTAR ISI ………. iv

ABSTRAK ……….…..….. vi

BAB I : PENDAHULUAN ………...……... 1

A. Latar Belakang ……… 3

B. Permasalahan ……….………. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….………... 6

D. Keaslian Penulisan ……….…. 7

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 7

F. Metode Penulisan ……… 11

G. Sistematika Penulisan ………. 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN DAN PEMBIAYAAN KONSUMEN ……… 16

A. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian ……… 18

1. Pengertian Perjanjian ……… 18

2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ……….……. 22

3. Asas-asas Dalam Perjanjian ……….….... 31

4. Berakhirnya Perjanjian ………. 36

B. Tinjauan Umum Terhadap Pembiayaan Konsumen ………….. 42


(6)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

2. Jenis-Jenis Perusahaan Pembiayaan Konsumen ………….… 48

3. Para Pihak Dalam Pembiayaan konsumen ……….… 51

4. Manfaat Pembiayaan Konsumen Bagi Para Pihak ……..….... 53

5. Perkembangan Pembiayaan Konsumen ………..… 57

BAB III : GAMBARAN KHUSUS PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA CABANG LHOKSEUMAWE ……….…….…... 62

A. Sejarah Singkat Perusahaan ………...… 62

B. Produk SUZUKI FINANCE ………..… 62

C. Struktur Organisasi Perusahaan ……….……… 63

BAB IV : PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DI PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA (SFI) CABANG LHOKSEUMAWE ………..… 76

A. Prosedur Permohonan Pembiayaan Konsumen dan Hambatannya ………... 76

B. Pemberian Jaminan Oleh Debitur Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen ………. 85

C. Bentuk Wanprestasi dan Upaya Penyelesaiannya dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen ……… 89

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 93

A. Kesimpulan ……….…………... 93

B. Saran ……….………. 96


(7)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yaitu pertama bagaimana prosedur permohonan pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, dan apa yang menjadi hambatan dalam prosedur permohonan pembiayaan tersebut, kedua bagaimana ketentuan mengenai pemberian jaminan oleh Debitur dalam perjanjian pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe dan ketiga apa saja bentuk wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan konsumen dan bagaimana akibat bagi para pihak dengan adanya wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian pembiayaan konsumen.

Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mendapatkan data yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber. Dalam pengumpulan data penulis mengadakan penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Penelitian dilakukan di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer yaitu Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPerdata), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan, UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus bahasa maupun kamus hukum.

Dalam proses permohonan pembiayaan terdapat suatu permasalahan yang dapat menghambat jalannya proses tersebut, dimana hambatan tersebut ialah yang

pertama calon debitur tidak bersedia memberikan berkas persyaratan, dimana untuk mendapatkan pembiayaan dari pihak perusahaan, maka calon debitur harus memenuhi persyaratan dan menyerahkan berkas persyaratan yang telah ditentukan oleh perusahaan guna keperluan arsip pihak perusahaan. Kedua calon debitur menolak untuk disurvey ke rumah atau ke perusahaannya oleh pihak kreditur guna keperluan pihak perusahaan untuk menganalisa kapasitas dari calon debitur apakah mampu untuk memenuhi kewajibannya atau tidak untuk membayar angsuran pembiayaan kepada perusahaan. Dalam perjanjian pembiayaan, PT. SFI Cabang Lhokseumawe mewajibkan Calon Debitur untuk memberikan hak kepemilikannya secara fidusia sebagai jaminan dalam perjanjian, yaitu Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) kepada perusahaan, baru akan menjadi milik debitur apabila angsuran atas pembiayaan telah dilunasi oleh debitur. Dalam setiap perjanjian adakalanya seorang debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya, begitu juga dalam perjanjian pembiayaan di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe. Adapun bentuk-bentuk wanprestasi dari debitur yang mengakibatkan dapat dieksekusi objek dari perjanjian pembiayaan tersebut yaitu debitur tidak memenuhi salah satu atau lebih dari kewajibannya. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan memberikan surat peringatan, apabila surat peringatan tersebut tidak ditanggapi, dalam tiga tahap, maka kreditur berhak untuk menarik unit kendaraan yang menjadi objek perjanjian pembiayaan tersebut dengan fiat eksekusi dengan suatu penetapan pengadilan.


(8)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam perjalanan dan pergaulan setiap manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya, sehingga dalam kehidupannya manusia akan selalu melakukan bermacam-macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Di dalam melakukan kegiatan tersebut, masing-masing individu akan dihadapkan pada kebutuhan atau kepentingan yang berbeda-beda, yang mana dalam memenuhinya bisa dilakukan dengan jalan mengadakan hubungan dengan sesamanya. Dengan seiring berkembangnya manusia, dengan segala cara dan upaya manusia didalam kehidupan berusaha untuk mempermudah mendapatkan barang-barang kebutuhannya, berbagai upaya kemudahan yang diciptakan dengan cepat diserap dan diterapkan pula. Dalam salah satu upaya manusia sendiri adalah untuk menciptakan keteraturan dan keharmonisan di dalam meletakkan lalu lintas hukum terutama dalam melaksanakan perjanjian antar masyarakat.

Di dalam suasana abad perdagangan dewasa ini, boleh dikatakan sebagian besar kekayaan umat manusia terdiri dari keuntungan yang dijanjikan oleh orang lain yang akan disediakan atau diserahkan.

Perjanjian sebagaimana diatur di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bersifat terbuka, dan sering juga disebut menganut asas kebebasan berkontrak yang mengandung arti bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.


(9)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Perjanjian semacam ini sering juga di sebut sebagai perjanjian tidak bernama. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.

Adapun yang di maksud dengan perjanjian tidak bernama di dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang namanya tidak secara khusus disebut dalam KUHPerdata. Sedangkan yang di maksud ketentuan umum dalam pasal tersebut adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perjanjian pembiayaan adalah perjanjian yang tidak ada diatur di dalam KUHPerdarta, tetapi hidup di dalam pergaulan masyarakat berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian.

Sejak dahulu walaupun belum ada suatu Peraturan Perundang-undangan yang mengatur, namun perjanjian pembiayaan telah dilakukan orang, karena disamping Buku III KUHPerdata sifatnya terbuka, juga karena perjanjian ini sangat membantu para pihak lebih-lebih bagi para ekonomi lemah, dalam hal yang bersangkutan hendak memiliki suatu barang.

Jadi pada umumnya oleh undang-undang setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian asal saja sesuai dengan undang-undang itu sendiri,


(10)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

sehingga mereka akan tertarik kepada apa yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian itu (open system), dengan demikian keinginan para pihak yang paling dominan.

A. Latar Belakang

Dewasa ini banyak sekali jenis-jenis pembiayaan yang ditawarkan pihak lembaga keuangan pada masyarakat dan juga dunia usaha, salah satu jenis pembiayaan yang ditawarkan kepada masyrakat adalah pembiayaan konsumen.

Hadirnya pembiayaan konsumen sehubungan dengan dikeluarkannya Paket Kebijaksanaan Bidang Pasar Modal dan lembaga Keuangan pada bulan Desember 1988, yang dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi dipandang perlu untuk memperluas sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat, sehingga peranannya sebagai sumber dana pembangunan semakin meningkat.

Dalam memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen membuat perjanjian pembiayaan konsumen, yang mengatur tentang penyediaan dana bagi pembelian barang-barang tertentu.

Bentuk dari perjanjian pembiayaan konsumen biasanya dituangkan dalam perjanjian baku. Bentuk ini dipakai oleh karena adanya segi positif dari perjanjian baku, yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki segala sesuatunya dilakukan secara praktis, cepat dan efisien, serta terencana, tanpa mengabaikan kepastian hukum.

Perjanjian pembiayaan konsumen pada dasarnya adalah kewajiban untuk memenuhi suatu perikatan, di mana suatu perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian atau undang-undang. Pembiayaan konsumen juga merupakan


(11)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

perjanjian, maka dapat disimpulkan bahwa pembiayaan konsumen merupakan suatu perjanjian yang menghasilkan perikatan.

Dalam perjanjian pembiayaan konsumen, pada dasarnya akan melahirkan suatu mekanisme, di mana pihak yang mampu ingin memperoleh keuntungan dari dana yang dimiliki dan pihak yang kurang mampu berhasrat untuk membeli barang dengan cara yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk konkrit hubungan para pihak tersebut yang tertuang dalam perjanjian pembiayaan konsumen.

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa perjanjian pembiayaan konsumen muncul karena faktor perekonomian yang semakin sulit serta kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dapat memperolehnya melalui fasilitas permbiayaan konsumen dari perusahaan pembiayaan konsumen. Akan tetapi untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan konsumen, bahwa pihak yang mendapatkan sejumlah dana atau pinjaman tersebut harus dapat melunasi kembali.

Pembiayaan konsumen ini sangat membantu masyarakat didalam pemenuhan kebutuhan akan barang-barang konsumtifnya seperti sepeda motor, alat-alat elektronik, mobil, perabotan rumah tangga, dan lain-lain. Hanya saja dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut, para pihak lembaga keuangan harus bertindak secara ekstra hati-hati. Di karenakan dari pembiayaan tersebut akan timbul sejumlah resiko yang cukup besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang dipinjamkan dapat diterima kembali atau tidak.


(12)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Untuk memperkecil risiko kerugian di atas, maka diperlukan suatu peraturan atau prosedur yang tepat dan benar dalam pemberian pembiayaan konsumen. Prosedur pemberian kredit tidak tergantung pada sedikit atau banyaknya tahapan yang harus dilalui oleh calon debitur, tetapi yang menjadi perhatian adalah bahwa masing-masing tahapan yang ada telah benar-benar dilaksanakan dengan baik dan tepat.

Dari uraian tersebut di atas, maka penulis mengangkat judul “PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DI PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA (SFI) CABANG LHOKSEUMAWE”. B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana prosedur permohonan pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, dan apa yang menjadi hambatan dalam prosedur permohonan pembiayaan tersebut?

2. Bagaimana ketentuan mengenai pemberian jaminan oleh Debitur dalam perjanjian pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe?

3. Apa saja bentuk wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan Konsumen dan bagaimana akibat bagi para pihak dengan adanya wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian pembiayaan konsumen?


(13)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini, di samping bertujuan untuk melengkapi tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan bertujuan anatara lain :

1. Untuk mengetahui dan memahami prosedur permohonan pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, dan untuk dapat memberikan gambaran mengenai hambatan-hambatan yang terdapat dalam prosedur permohonan perjanjian pembiayaan.

2. Untuk mengetahui mengenai pemberian jaminan oleh debitur dalam perjanjian pembiayaan konsumen pada PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe.

3. Untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen serta akibat dari wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan konsumen.

Suatu penulisan yang dibuat diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, begitu juga yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Manfaat dari penulisan skrpsi ini yaitu :

1. Secara teorities, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap perkembangan hukum yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen.

2. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang perjanjian pembiayaan konsumen khususnya oleh PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI),


(14)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

sehingga dapat membawa wawasan ilmiah baik secara khusus maupun secara umum berkenaan dengan penulisan ini.

D. Keaslian Penulisan

Bahwa penulisan skripsi ini di dasarkan pada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dimulai awal sampai akhir penyelesaiannya. Ide penulis di dasarkan dengan melihat perkembangan pembiayaan konsumen pada prakteknya. Karya tulis ini asli sebab tidak ada judul dan pembahasan yang sama. Dalam rangka penulisan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe” ini, maka selain membaca buku yang berhubungan dengan tulisan ini, penulis juga mengambil beberapa informasi dari berbagai media lain baik cetak maupun digital dan mempergunakan semua hal tersebut sebagai bahan dalam penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Seiring dengan perkembangan perekononomian dewasa ini, adanya lembaga pembiayaan yaitu pembiayaan konsumen, sangat membantu dalam penyediaan fasilitas pembiayaan konsumen dalam bentuk penyediaan dana bagi pembelian barang-barang tertentu.

Dengan makin pesatnya lembaga pembiayaan konsumen ini, dimana dapat dilihat dalam praktek kehidupan sehari-hari, bahwa keberadaannya telah diterima oleh masyarakat dan juga merupakan hal yang menggambarkan kepada kita bahwa dengan hadirnya lembaga pembiayaan yaitu pembiayaan konsumen tersebut dapat meningkatkan pembangunan sektor ekonomi.


(15)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Bagi seseorang yang membutuhakan dana, tentunya dapat meminjam dana untuk keperluannya yang dalam hal ini khusus pembiayaan konsumen untuk sepeda motor SUZUKI, di mana untuk memperoleh penyediaan dana tersebut maka seseorang yang memerlukan dana sebagai pihak yang kekurangan dana, dapat mengadakan perjanjian dengan pihak yang mempunyai dana lebih, yaitu dalam hal ini perusahaan pembiayaan konsumen.

Oleh sebab itu, agar dapat mengetahui pelaksanaan perjanjian tersebut dalam prakteknya, maka penulis mengangkat judul “Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. SUZUKI Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe”. Agar tidak menimbulkan salah penafsiran atas judul tersebut, maka penulis memberikan definisi : pertama, yang dimaksud perjanjian secara yuridis pengertian perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata, dapat dilihat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Ada juga pengertian perjanjian menurut beberapa sarjana, yang petama menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa perjanjian yaitu “Suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.1

Menurut R.M. Suryodiningrat, perjanjian ialah “Ikatan dalam bidang hukum harta benda (vermogens recht) antara dua orang atau lebih, di mana satu

1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum PerdataTtentang Perjanjian-Perjanjian Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, Hal.11.


(16)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

pihak berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakannya”. 2

Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, perjanjian adalah “Memberikan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan perikatan tersebut”.3

Menurut Y.R.Soesilo, dkk, pembiayaan konsumen adalah : “Suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi ataupun distribusi”.

Kemudian yang dimaksud dengan Pembiayaan Konsumen. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dikemukakan bahwa pembiayaan konsumen ini diselenggarakan oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa : “Perusahaan pembiayaaan Konsumen adalah suatu badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala”.

4

Menurut Ade Arthesa dan Edia Handiman, pembiayaan konsumen adalah “Kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga keuangan bagi konsumen dan di tujukan untuk pembelian barang-barang yang bersifat konsumtif dan bukan untuk keperluan produktif.”5

2 Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, 1985, Hal.14.

3 Kartini&Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.17.

4 Y.R.Soesilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000, Hal.149.

5 Ade Arthesa, MM dan Ir. Edia Handiman, Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Bandung, 2006, Hal.266.


(17)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Untuk menghindari terjadinya itikad buruk dari debitur, maka kreditur mewajibkan debitur memberikan jaminan dalam perjanjian. Dibutuhkannya jaminan dalam perjanjian pembiayaan adalah semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada kreditur.

Pada dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata jamin yang berarti

tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan.secara yuridis mengenai jaminan diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Segala kebendaan si berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan suatu segala perikatan pribadi debitur tersebut.”

Pengertian jaminan juga didapat dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian.

Menurut Tan Kamello, “jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.”6

Dalam perjanjian adakalanya debitur lalai dalam memenuhi prestasinya seperti yang sudah disepakati sebelumnya, secara yuridishal ini diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan “Si berutang lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi

6 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni, Bandung, 2004, Hal.31.


(18)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Menurut Munir Fuady, “wanprestasi disebut juga dengan istilah cidera janji adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak yang bersangkutan”.7

Menurut Sanusi Bintang dan Dahlan, “wanprestasi (inkar janji) berarti tidak melaksanakan isi kontrak”.8

Menurut Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, “wanprestasi adalh suatu istilah yang menunjuk pada ketidakpastian prestasi oleh debitur”.9

F. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan mendapatkan data yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber. b. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe di Jalan Darussalam Nomor 32 C Lhokseumawe.

c. Metode Pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut : a. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

7 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis(Menata Bisnis Modern di Era Global), PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, Hal.17

8 Sanusi Bintang&Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekonomi&Bisnis, Banda Aceh, 2000, PT. Citra Aditya Bhakti, Hal.20


(19)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Yakni melakukan penelitian dengan cara mecari data melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, internet, pendapat sarjana dan bahan kuliah.

b. Field Research (Penelitian Lapangan)

Yakni dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan Bapak Dysi Julio Dyalim sebagai Kepala Cabang.

4. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi :

1. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan, UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

2. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku, majalah, pendapat sarjana, dan bahan kuliah.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa maupun kamus hukum.

5. Analisis Data

Analisa data yang dilakukan secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian di lapangan secara tertulis dan lisan dipelajari secara utuh dan menyeluruh.


(20)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, dipaparkan sistematika penulisan dengan tujuan agar mempermudah pengertian dan pendalaman secara jelas. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab dan dari bab-bab ini dibagi lagi atas beberapa sub bab guna memudahkan dalam penguraiannya. Secara lengkap bab-bab yang disajikan adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada Bab ini diuraikan hal-hal yang bersifat umum dari tulisan ini, dimulai dari latar belakang mengapa penulis memilih judul yang di maksud, memaparkan apa yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dan manfaat yang diperoleh dari penulisan tersebut. Pada bagian ini juga diuraikan apa yang menjadi permasalahan, keaslian penulisan, menguraikan mengenai tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN DAN

PEMBIAYAAN KONSUMEN

Pada Bab ini diuraikan apa pengertian dari perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, asas-asas dalam perjanjian dan juga membahas mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Selanjutnya pada bab ini juga diuraikan secara umum mengenai pembiayaan konsumen, yaitu pengertian pembiayaan konsumen, jenis-jenis perusahaan pembiayaan konsumen, para pihak dalam pembiayaan


(21)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

konsumen, manfaat pembiayaan konsumen bagi para pihak, dan perkembangan pembiayaan konsumen.

BAB III : GAMBARAN KHUSUS PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA CABANG LHOKSEUMAWE

Pada bab ini diuraikan secara khusus sejarah singkat dari perusahaan, produk dari SUZUKI FINANCE dan struktur organisasi perusahaan.

BAB IV : PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

KONSUMEN DI PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA (SFI) CABANG LHOKSEUMAWE

Dalam bab ini maka akan dijawab apa yang menjadi permasalahan, yaitu dibahas mengenai prosedur permohonan pembiayaan konsumen di PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe beserta hambatannya dalam pelaksanaannya, pemberian jaminan oleh debitur dalam perjanjian pembiayaan, juga membahas mengenai bentuk-bentuk wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan dan akibat dari wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian pembiayaan tersebut.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini dirangkum analisa permasalahan dan pembahasannya dari bab-bab terdahulu dan kemudian


(22)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

menyimpulkan isi dari uraian-uraian tersebut, serta mengemukakan sejumlah saran sehubungan dengan topik skripsi ini.


(23)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN DAN

PEMBIAYAAN KONSUMEN

Dalam Buku III KUHPerdata diatur mengenai hukum perjanjian. Hukum perjanjian ini dalam masyarakat umum sangat besar manfaatnya, seiring dengan karakteristik masyarakat itu sendiri dalam korelasinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup, menggunakan berbagai macam cara, secara historis dulunya berawal dengan memakai sistem barter, di mana barang ditukar dengan barang milik orang lain. Dalam perkembangannya sistem barter ini makin lama semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan dengan memilih cara-cara yang lebih praktis, misalnya dengan menggunakan alat tukar uang. Perkembangan ini erat sekali kaitannya dengan kemajuan berfikir masyarakat.

Masyarakat mempunyai banyak kepentingan yang semuanya dapat dipenuhi melalui perjanjian. Tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari manusia sering melakukan perjanjian. Misalnya pada saat mereka membeli suatu barang, atau membayar suatu jasa seperti manjahit pakaian kepada seorang penjahit, mereka sebenarnya melakukan suatu perjanjian.

Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli


(24)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

barang, tanah, pembelian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauhnya menyangkut tenaga kerja.10

Untuk beberapa perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah, dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah semata-mata hanya merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde) perjanjian, misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas dengan akta notaris (Pasal 38 KUHDagang).

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan, Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan:

11

10 Abdul Khadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal.93. 11 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, Hal.14.

Perjanjian merupakan salah satu kerangka dalam hukum perdata, di kalangan para pakar menimbulkan berbagai pandangan ada yang menyebutkan dengan hukum perjanjian, hukum persetujuan, hukum perikatan, dan hukum perutangan.

Hukum perjanjian tidak diatur secara mutlak, melainkan dapat disesuaikan dengan suara hati masing-masing para pihak, mereka dapat mengadakan ketentuan-ketentuan sendiri, mungkin menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian, mungkin juga melengkapi, menambah atau mengurangi dan sebagainya. Fakta ini menunjukkan bahwa hukum perjanjian dalam KUHPerdata bersifat openbaar system atau juga disebut menganut sistem terbuka.


(25)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

A. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian 1. Pengertian perjanjian

Istilah-istilah tidak ditemui suatu keseragaman, sehingga otomatis tidak dijumpai juga keseragaman dalam definisi perjanjian. Hal ini menyebabkan belum ada kesepakatan mengenai rumusan yang tetap dan tepat tentang perjanjian itu sendiri.

Secara yuridis pengertian perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata, dapat dilihat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Bila dianalisa lebih dalam, tampak bahwa rumusan tersebut tidaklah lengkap dan terlalu luas. Hal ini dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu:

Rumusan itu dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dikatakan terlalu luas dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.12

Berbicara mengenai perjanjian, maka tidak terlepas dari perikatan. Sebelum lebih lanjut membicarakan tentang pengertian perikatan, Subekti, memberikan rumusan perikatan sebagai berikut: “Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan”.13

12 Mariam Darus Badrulzaman,Op.cit,Hal.18

13 R..Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIX, PT.Internusa, Jakarta, 2001, Hal.122.


(26)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Dari rumusan itu dapat diketahui ada dua orang atau dua pihak dalam suatu perikatan, yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban. Pihak yang berhak untuk menuntut dinamakan pihak berpiutang atau pihak kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak debitur. Hubungan ini disebut dengan perhubungan hukum yang berarti hak dari kreditur tidak dipenuhi oleh debitur, maka kreditur dapat menuntut debitur di muka hakim. Dengan kata lain bahwa perikatan adalah suatu perhubungan prestasi, prestasi adalah suatu hal tertentu yang patut dipenuhi yang menurut undang-undang (Pasal 1234 KUHPerdata) dapat berupa :

a) Menyerahkan suatu barang; b) Melakukan suatu perbuatan; c) Tidak melakukan suatu perbuatan.

Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, sumber-sumber hukum perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Sesuai dengan tulisan ini yang ditekankan adalah sumber yang berdasarkan perjanjian. Melalui perjanjian ini, perikatan mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perjanjian dengan batasan tidak dilarang oleh undang-undang atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Dengan mengadakan perjanjian, para pihak tidak terikat dengan jenis perjanjian yang mempunyai nama atau yang diatur dalam KUHPerdata dan peraturan perundangan lainnya.

Sejalan dengan luasnya pengertian perjanjian sebagaimana yang di maksudkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata itu, M.Yahya Harahap, menyatakan: “Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu pengertian suatu hubungan hukum


(27)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

kekeayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.14

J.Satrio, menyatakan: “Perjanjian adalah sekelompok/sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan”.

Abdul Khadir Muhammad, menyatakan: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan”.

15

Achmad Ichsan berpendapat : “Apabila di antara dua orang atau lebih terjadi sesuatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah di antara mereka persetujuan”.

16

Dari pengertian tersebut di atas, ditemukan beberapa unsur dalam perjanjian tersebut, yakni hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan melakukan kewajiban pada pihak yang lain. Hubungan hukum dalam perjanjian tercipta oleh karena

Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, perjanjian berarti suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih untuk mengikatkan diri pada seseorang atau lebih dengan didasarkan pada kata sepakat dan menimbulkan akibat hukum yang bertujuan untuk melakukan sesuatu demi tercapainya tujuan bersama.

14 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal.6. 15 J.Satrio, Hukum Perjanian,PT.Citra Aditya Baakti, Bandung, 1992, Hal.4 16 Acmad Ichsan, Hukum Perdata I-B,PT.Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, Hal.16.


(28)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

adanya tindakan hukum yang dilakukan untuk para pihak sehingga terhadap satu pihak diberi hak-hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itu pun segera menyediakan diri dibebani dengan kewajiban-kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Pada umumnya hak lahir dari perjanjian itu bersifat relatif yang berarti hak prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum. Menurut M. Yahya Harahap, ada beberapa pengecualian :

1) Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara orang tertentu, perjanjian bisa terjadi oleh karena suatu keadaan atau suatu kekayaan tertentu. 2) Oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata dapat

dikonkritisasi sebagai verbintenis, sekalipun tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu.17

Undang-undang menentukan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata mempunyai dua asas umum yaitu asas kebebasan berkontrak yang berarti suatu asas yang memberikan kepada para pihak dalam perjanjian untuk berbuat leluasa atau bebas di dalam membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan


(29)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

kesusilaan. Asas konsensualisme mengandung arti bahwa suatu perjanjain lahir apabila ada kata sepakat diantara para pihak. Di samping itu juga hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut sistem terbuka yang berarti hukum perjanjian itu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan berupa apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Sistem terbuka mengandung arti bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata merupakan hukum pelengkap karena para pihak dapat menambahkan atau memperluas isi perjanjian dari ketentuan dalam KUHPerdata. 2. Syarat Sahnya Perjanjian

Secara juridis, suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi empat unsur pokok yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) Kecakapan untuk membuat perikatan; c) Suatu hal tertentu;

d) Suatu sebab yang halal.

Keempat unsur tersebut selanjutnya dalm doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan dalam:

1) dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanian (unsur subjektif), dan

2) dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).


(30)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Keempat unsur pokok tersebut harus terpenuhi, sebab apabila tidak terpenuhinya salah satu unsur pokok tersebut menyebabkan cacad dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan. Jika unsur subjektif tidak terpenuhi maka suatu perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika tidak terpenuhinya unsur objektif, maka suatu perjanjian tersebut batal demi hukum, dengan kata lain bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Agar syarat-syarat ini lebih jelas, maka akan diuraikan satu per satu. Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Yang di maksud dengan kata sepakat adalah bahwa kedua subjek yang membuat perjanjian itu haruslah sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perikatan yang mereka adakan. Pernyataan itu dibuat para pihak atas suatu hal yang dikehendaki bersama. Pernyataan ini dinyatakan berdasarkan kebebasan para pihak.

Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kehilafan, paksaan maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu kata sepakat yang telah diberikan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:

1) Salah pengertian atau kekhilafan; 2) Paksaan;

3) Penipuan.

Kata sepakat yang yang diberikan karena salah pengertian, paksaan atau penipuan adalah tidak sah karena persetujuan diberikan dengan cacad kehendak.


(31)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Perjanjian yang demikian, dapat dimohonkan pembatalannya ke pengadilan. Mengenai salah pengertian atau kekhilafan (dwaling) yang dapat dibatalkan harus mengenai inti pokok persetujuan. Ada dua jenis salah pengertian atau kekeliruan yaitu kekeliruan mengenai hakekat benda atau barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian (eror in substantia) dan kekeliruan mengenai orangnya (eror in persona). Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujan itu dapat batal. Hanya salah pengertian terhadap objeklah yang menyebabkan persetujuan dapat batal. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1322 KUHPerdata, yang berisi:

Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujan itu dapat batal, misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang di maksud. Hanya namanya saja yang kebetulan sama. Maka dalam hal ini tidak menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Hanya salah pengertian terhadap objeklah yang menyebabkan persetujuan dapat batal. Misalnya jika seorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunannya saja. Maka dalam hal ini perjanjian dapat dibatalkan.


(32)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Mengenai paksaan (dwang) terjadi apabila orang yang dipaksa tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain harus menyetujui perjanjian itu. M. Yahya Harahap, menyatakan :

Paksaan yang dapat melenyapkan perizinan dalam persetujuan ialah paksaaan pisik. Sedemikian rupa paksaan kekerasan yang diancamkan, sehingga orang yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan perbuatan yang diapksakan. Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seseorang terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksanya. Berbeda dengan paksaan psikis atau disebut paksaan

compulsiva. Disini sifat paksaan bersifat relatif, yang masih memberi kemungkinan kepada pihak yang dipaksa melakukan pilihan kehendak.18

18 M. Yahya Harahap, Op.cit,Hal.25

Menurut Pasal 1323 KUHPerdata, “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya suatu perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pasal tersebut menunjuk pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadap perjanjian tersebut dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut. Hal yang terakhir tersebut sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh orang bayaran atau orang suruhan, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat di bawah paksaan atau ancaman tersebut.


(33)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Menurut Pasal 1325 KUHPerdata perjanjian juga batal jika paksaan atau ancaman itu di tujukan terhadap istri atau sanak keluarga garis lurus ke atas maupun ke bawah.

Yang diamaksud dengan penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang atau nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan, seandainya akan dilakukan perbuatan tipu muslihat tersebut dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penipuan tersebut tidak boleh dipersangkakan akan tetapi harus dapat dibuktikan.

Menurut M.Yahya Harahap, sesuatu baru disebut tipu muslihat apabila: 1) Hal itu merupakan kebohongan yang diatur rapi;

2) Sesuai pula dengan taraf pendidikan kecakapan orang yang ditipu. Kalau yang ditipu tadi orang yang terpelajar, dan hanya dengan penipuan yang sangat rendah dia sudah percaya, tentu dianggap tidak ada penipuan.19

Ad.b. Kecakapan untuk membuat perikatan.

Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain, pihak yang bersangkutan harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan harus menginsafi akan tanggung jawab yag akan dipikulnya sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat.

Undang-undang tidak menyatakan secara tegas siapa yang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Didalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan


(34)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika benar oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap, maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Orang yang dinyatakan tidak cakap tersebut menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang di bawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 tahun atau yang berumur kurang dari 21 tahun akan tetapi telah kawin. Jadi dalam hal ini meskipun mereka yang melakukan perjanjian belum berusia 21 tahun, namun telah kawin, maka mereka dianggap telah dewasa. apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak lagi kembali dalam keadaan belum dewasa.

Menurut hukum adat pada umumnya ada tiga ketentuan yang dianggap merupakan ciri dari orang dewasa, yaitu:

1. Mampu membiayai kebutuhan sendiri; 2. Sudah lepas dari tanggung jawab orang tua; 3. Sudah kawin.

Orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang tidak sehat akal pikirannya dan berada dalam asuhan atau pengawasan orang lain. Mereka


(35)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

yang ada dalam pengampuan ini bila dilihat dari faktor usia telah cakap bertindak dalam hukum, tetapi karena undang-undang menentukan lain, maka setiap perbuatan hukum untuk dan atas nama kepentingan orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus dilakukan oleh para curatornya.

Pasal 108 KUHPerdata yang melarang perempuan bersuami untuk melakukan perbuatan hukum tanpa seizin atau mendapat bantuan suami, oleh pemerintah dianggap tidak manusiawi dalam era kemerdekaan. Oleh karena itu berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, tanggal 14 Agustus 1963, diinstruksikan kepada hakim agar tidak lagi mempergunakan ketentuan Pasal 108 KUHPerdata tersebut dalam pertimbangan hukumnya.

Setelah adanya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 angka 1 jelas diakatakan bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat dan keduanya berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dewasa ini ketentuan tentang wanita bersuami tidak cakap untuk melakukan perjanjian, karena berdassarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa suami dan istri cakap bertindak dalam hukum.

Ad.c. Suatu hal tertentu.

Suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu mempunyai arti bahwa objek yang diperjanjikan harus jelas barangnya, jenisnya, dan dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata). Dengan demikian barang-barang di luar itu tidak dapat


(36)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

menjadi objek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, pelabuhan umum, barang atau benda yang terlarang yaitu narkotika dan yang sejenisnya.

Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang dijadikan objek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, baik mengenai benda berwujud atau benda tidak berwujud. Objek perjanjian dapat pula berupa barang-barang baru diharapkan akan ada di kemudian hari. Dengan demikian barang tersebut belum ada pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi objeknya adalah batal demi hukum.

Ad.d. Suatu sebab yang halal.

Bila diperhatikan secara umum menunjukkan seolah-olah pengertian halal yang di maksud merupakan tolak ukur dari hukum agama. Namun bila diamati lebih dalam sebab yang halal di maksud sebagai kriteria yang dipakai dalam perundang-undangan yaitu hukum yang berlaku positif bagi kita.

Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan : ”Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab, jika tujuan yang di maksudkan oleh para pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai. Misalnya dibuat suatu perjanjian lokasi atas suatu perjanjian yang tidak pernah ada sebelumnya.

Perjanjian diakatakan dibuat dengan suatu sebab yang palsu adalah suatu sebab yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari


(37)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

perjanjian itu, misalnya apabila dibuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk sarana pengobatan, tetapi ternyata kedua belah pihak bermaksud untuk menyebarluaskan secara bebas tidak demi kepentingan pengobatan.

Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan : “Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun tidak ada suatu sebab yang lain dari pada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian adalah sah”.

Pasal 1337 KUHPerdata : “Suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Sebab yang di maksud oleh undang-undang tersebut dalam hal ini bukanlah merupakan hubungan sebab akibat atau causalitas.

Mariam Darus badrulzaman, menyatakan : “Sebab/causa dalam perjanjian adalah isi atau maksud dari perjanjian”. Dapat dilihat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah apakah isi dan maksud tujuan tujuan dari perjanjian yang dibuat itu bertentangan atau tidak dengan undng-undang. Apabila perjanjian yang dibuat halal, atau tidak bertentangan dengan undang-undang maka perbuatan itu boleh dilakukan. Akibat hukum perjanjian yang dilakukan dengan sebab yang tidak halal adalah perbuatan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah diselenggarakan.

Abdul Khadir Muhammad, menyatakan :

Perjanjian yang berkuasa tidak halal (dilarang undang-undang) misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (bertentangan dengan ketertiban umum) misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang berkuasa tidak halal (bertentangan dengan kesusialaan) misalnya membocorkan rahasia perusahaan.20

20 Abdul Khadir Muhammad,Op.cit, Hal.96.


(38)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Dari uraian diatas jelas bahwa untuk melakukan perjanjian meskipun para pihak diberi kebebasan, namun kebebasan itu tidak terlepas dari norma atau peraturan hukum yang berlaku. Dengan kata lain perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat sahnya perjanjian atau secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan bagaimana bentuknya tergantung pada para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

3. Asas-asas Dalam Perjanjian

Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa latin principium, bahasa Inggris principle dan bahasa Belanda beginsel, yang artinya yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat.

Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum

(the base of rule of law).21

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat

21 Tan Kamello, Op.cit, Hal.158.


(39)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Ada beberapa asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a) Asas personalia.

Asas personalia dijumpai pada Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya dan akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata menunjuk pada asas personalia, namun ketentuan pasal tersebut juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian.

Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUHPerdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan atas :

1) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini, maka ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi; 2) Sebagai wakil dari pihak tertentu;


(40)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

b) Asas konsensualitas.

Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa adanya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam prjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau

consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Ketentuan yang mengatur asas ini dapat terlihat pada pasal mengenai sahnya suatu perjanjian yaitu Pasal 1320 KUHPerdata.

c) Asas kebebasan berkontrak.

Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUHPerdata. Jika asas konsensualitas dasar keberadaannya pada poin pertama pasal tersebut yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, maka asas kebebasan berkontrak dasarnya dalam rumusan poin keempat Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu suatu sebab yang tidak terlarang. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang


(41)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah suatu yang terlarang, seperti termuat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan denagn kesusilaan atau ketertiban umum”. Memberikan gambaran umum kepada kita bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.

Menurut Ridwan Khairandy :

Bahwa kebebasan berkontrak dan asas pacta suntservanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.22

d) Asas pacta suntservande.

Asas pacta suntservande atau perjanjian berlaku sebagai undang-undang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan: ”Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat secara sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak

22 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, Hal. 1.


(42)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.

Suatu prestasi untuk melaksanakan suatu kewajiban selalu memiliki dua unsur penting. Pertama berhubungan dengan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh debitur (schuld). Dalam hal ini ditentukan siapa debitur yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh kreditur yang berhak atas pelaksanaan kewajiban tersebut. Kedua berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban, tanpa memperhatikan siapa debiturnya (haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut terletak pada debitur, berarti debitur yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, adalah juga yang seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya didasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum di antara pihak dalam perikatan tersebut.

Dalam konteks demikian berarti suatu perjanjian tanpa haftung adalah perjanjian yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kreditur (perikatan alamiah). Perjanjian yang dapat dilaksanakan adalah ibarat pelaksanaan undang-undang oleh negara.

Di luar perikatan alamiah setiap kreditur yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitur dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan pada pejabat negara yang berwenang, yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang


(43)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta kekayaan debitur.

4. Beakhirnya Perjanjian

Sesuai dengan asas bahwa para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan isi perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka tentang berakhirnya suatu perjanjian dapat ditentukan juga oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Namun demikian undang-undang ada mengatur tentang cara-cara penghapusan perjanjian yakni didalam Pasal 1381 KUHPerdata. Menurut isi pasal ini disebutkan cara-cara penghapusan perjanjian tersebut terdiri atas :

a) Pembayaran (betaling).

Pengertian pembayaran mempunyai arti yang luas, bukan hanya dalam pembayaran hutang, tetapi juga dalam memenuhi sebuah jasa yang sudah diperjanjikan. Misalnya dokter yang melakukan operasi terhadap seorang pasien yang telah melunasi pembayaran.

Pada umumnya tindakan pembayaran merupakan tindakan nyata (fietelijke handeling) yang mempunyai arti bisa dilakukan tanpa ikatan formalitas dan bebas. Kadang-kadang pembayaran untuk memenuhi prestasi tersebut dapat dilakukan sepihak dan pada hal yang lain dilakukan dengan kerjasama antara debitur dan kreditur.

Pasal 1382 KUHPerdat menentukan bahwa yang melakukan pembayaran yang paling utama adalah debitur sebagai orang yang berkepentingan langsung.


(44)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Dan kemudian dapat dilakukan oleh penjamin atau oleh pihak ketiga yang sama sekali tidak berkepentingan dalam perjanjian. Berdasarkan pasal ini M. Yahya Harahap, menyatakan : “Kalau demikian harus disertai dengan syarat, misalnya pembayaran dilakukan untuk dan atas nama sendiri, berarti pelunasan debitur belum terjadi”.23

23 M.Yahya Harahap, Op.cit.Hal.110

Berbeda halnya dengan Pasal 1400 KUHPerdata yang mengatur tentang penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagi akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atas hutang debitur kepada pihak kreditur. Tetapi untuk perjanjian dan isinya tidak berubah. Hal inilah yang disebut dengan subrogasi. Sebagai akibat dari subrogasi ini adalah segala tuntutan yang dimiliki oleh kreditur yang lama beralih kepada pihak ketiga.

Dalam pelaksanaan subrogasi tidak berlaku untuk semua prestasi. Khusus mengenai objek prestasi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu harus dilakukan oleh debitur tersebut. Misalnya prestasi menyerahkan lukisan yang harus dilukis sendiri oleh si debitur.

b) Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Dengan Konsignasi atau Penitipan. Hapusnya perjanjian dengan cara seperti ini disebkan oleh karena kreditur lalai atau enggan menerima pembayaran atau penyerahan benda prestasi. Tindak lanjut yang harus dialakukan setelah kreditur tidak bersedia menerima pembayaran adalah dengan jalan konsignasi atau penitipan.


(45)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Hapusnya perjanjian dengan cara seperti ini hanya mungkin dapat terjadi dalam perjanjian yang berbentuk penyerahan sesuatu benda bergerak atau atas pembayaran sejumlah uang.

Menurut Pasal 1405 KUHPerdata, ada beberapa syarat untuk sahnya penawaran pembayaran dan konsignasi, yakni :

1) Harus langsung dialakukan oleh debitur kepada kreditur atau wakil/kuasa yang berhak menerima pembayaran atau penyerahan. Debitur diutamakan dalam hal ini. Akan tetapi pihak ketiga dapat bertindak atas nama dan untuk debitur. 2) Penawaran pembayaran yang diajukan kepada kreditur harus meliputi seluruh

hutang yang sudah waktunya dapat ditagih, bunga uang yang sudah dapat ditagih dan ongkos yang telah dikeluarkan serta biaya yang belum dikeluarkan yang diperhitungkan belakangan.

3) Pembayaran harus berbentuk mata uang resmi yang sah.

4) Penawaran baru diajukan kepada kreditur pada saat pembayaran yang sudah diperjanjikan telah sampai.

5) Penawaran ini dilakukan ditempat yang sudah diperjanjikan.

Penawaran ini dilaksanakan didepan Notaris atau Juru Sita yang didampingi oleh dua orang saksi.

c) Pembaharuan Hutang (Novasi)

Pembaharuan hutang adalah suatu persetujuan di antara para pihak untuk menghapuskan perjanjian yang lama dan pada saat yang sama diadakan perjanjian yang baru yang mempunyai hakekat dan jiwa yang serupa dengan perjanjian yang terdahulu.


(46)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Menurut Pasal 1413 KUHPerdata novasi terjadi :

1) Pihak debitur dan kreditur di dalam perjanjian yang lama tetap sama dengan perjanjian yang telah diperbaharui. Hal ini disebut dengan novasi objektif.

2) Pembaharuan hutang dimana seorang debitur yang baru menggantikan debitur yang lama yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran oleh kreditur.

3) Pembaharuan hutang dengan membuat perjanjian yang baru di mana kreditur yang lama digantikan dengan kreditur yang baru. Dalam jenis novasi ini kreditur yang lama tidak berhak lagi menuntut pembayaran dari perjanjian yang lama.

d) Kompensasi

Kompensasi terjadi oleh karena berjumpanya dua pribadi yang sama-sama berkedudukan sebagai debitur antara yang satu dengan yang lain, di mana mereka dapat saling melunasi dan membebaskan diri dari perhutangan. Pada umumnya hapusnya perjanjian baru dapat terjadi apabila dilakukan untuk keseluruhan dari prestasi yang diperjanjikan. Namun demikian dengan cara kompensasi dimungkinkan untuk sebagian atau sampai jumlah yang terkecil.

Menurut Pasal 1427 KUHPerdata, ada beberapa syarat terjadinya kompensasi, yakni :

1) Ada dua orang pihak yang secara timbal balik saling berkedudukan sebagi debitur.

2) Objek perjanjian terdiri dari prestasi untuk sejumlah uang atau barang yang dapat diganti atau habis dipakai dan yang sejenis.


(47)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

3) Tuntutan terhadap prestasi yang telah sampai pada waktu yang ditentukan serta dapat segera diperhitungkan.

e) Percampuran Hutang

Percampuran hutang dapat terjadi karena kedudukan kreditur telah bersatu dengan kedudukan debitur pada satu orang, sehingga dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang. Percampuran hutang ini biasanya terjadi pada kedudukan mana debitur menjadi ahli waris dari kreditur. Misalnya kreditur meninggal dunia, meninggalkan ahli waris yaitu debitur, yang dalam perjanjian mereka kebetulan menjadi ahli waris.

Hapusnya perjanjian hutang pada konfensio adalah bersifat relatif oleh karena hak-hak dari pihak ketiga tetap ada atau melekat pada perjanjian.

f) Penghapusan Hutang

Menurut Pasal 1438 KUHPerdata, penghapusan hutang merupakan tindakan dari kreditur untuk menghapuskan atau melepaskan haknya atas tuntutannya kepada debitur. Tindakan hukum disini merupakan tindakan hukum sepihak yang timbul dari pernyataan kehendak kreditur. Di pihak lain debitur diwajibkan untuk membuktikan tindakan penghapusan tersebut, bukan dengan dugaan saja.

Pasal 1439 KUHPerdata menyatakan : “Salah satu cara yakni denagn pengembalian secara sukarela surat-surat hutang dibawah tangan oleh kreditur kepada debitur”.

Pasal 1441 KUHPerdata menerapkan : “Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai tidaklah cukup dijadikan persangkaaan tentang


(48)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

pembebasan hutangnya”. Jika melihat pasal tersebut kelihatan seperti bertentang dangan Pasal 1439 KUHPerdata, namun sebenarnya bahwa perjanjian gadai adalah perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok telah dipenuhi, maka perjanjian gadai tersebut akan berakhir juga dengan pengembalian barang gadai kepada pemilik.

g) Lenyapnya Barang yang Menjadi Hutang

Menurut Pasal 144 KUHPerdata menyatakan agar perjanjian dapat berakhir karena lenyapnya barang yang menjadi hutang harus memenuhi beberapa syarat, yakni :

1) Musnahnya barang diluar perbuatan dan kesalahan debitur (overmacht);

2) Musnahnya barang terjadi saat sebelum jatuh tempo penyerahan barang kepada kreditur;

3) Apabila terjadi sesudah jatuh tempo, debitur terbebas dari kewajiban asal saja seandainya juga telah terjadi penyerahan, barang tersebut tetap musnah oleh sebab peristiwa yang sama.

h) Hapusnya Perjanjian Karena Lampau Waktu

Apabila lampau waktu dikaitkan kepada perjanjian, maka dapat memberi dua pengertian :

1) Perjanjian telah hapus, sehingga debitur terbebas dari pemenuhan prestasi; 2) Seorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka waktu

tertentu lewat.

Mengenai jangka waktu yang diperlukan untuk membebaskan seseorang dari ikatan perjanjian, terdapat beberapa jangka waktu yang berbeda, yakni :


(49)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

a) Perhitungan lampau waktu didasarkan pada saat dapat ditagih atau dituntut pemenuhan prestasi;

b) Jangka waktu menurut Pasal 1967 KUHPerdata yaitu 30 tahun;

c) Lampau waktu pendek didasarkan pada anggapan telah ada pembayaran. Hal ini diatur dalam Pasal 1968 – 1971 KUHPerdata yang mengatur jangka waktu pendek antar satu tahun sampai lima tahun;

d) Pembayaran tahunan secara periodik atau lampau waktu sesudah lewat lima tahun;

e) Lampau waktu kontraktual adalah suatu persetujuan tentang lampau waktu yang menyimpang dari undang-undang dan dibuat oleh para pihak.

Berakhirnya suatu perjanjian akan mengakibatkan hapusnya perjnajian atau bubarnya perjanjian yang dibuat para pihak dalam perjanjian tiu. Konsekwensi dari berakhirnya perjanjian ini adalah hapusnya semua pernyataan kehendak yang dicantumkan dalam perjanjian. Demikian juga hilangnya hak dan kewajiban yang melekat pada pihak-pihak yang membuat suatu perikatan.

B. Tinjauan Umum Terhadap Pembiayaan Konsumen 1. Pengertian Pembiayaan Konsumen

Pembiayaan konsumen diatur dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan, serta pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.017/1995, Tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 DESEMBER 1988 Tentang Ketentuan


(50)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.001/1989 Tanggal 18 November 1989.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988, dikemukakan bahwa pembiayaan konsumen ini diselenggarakan oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa : “Perusahaan pembiayaaan Konsumen adalah suatu badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala”

Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 1988, Pasal 1 angka (5) dinyatakan bahwa : “Perusahaan Pembiayaan adalah suatu badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk didalam bidang usaha lembaga keuangan”.

Dari pasal tersebut terlihat bahwa perusahaan pembiayaan adalah suatu lembaga pembiayaan diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank. Hal ini berarti bahwa perusahaan pembiayaan merupakan suatu lembaga pembiayaan yang dikhususkan untuk membiayai bidang tertentu.

Dari pasal 1 angka (6) tersebut di atas, juga dapat dikemukakan, bahwa perusahaan pembiayaan adalah bagian dari lembaga pembiayaan. Mengenai Lembaga pembiayaan diatur dalam pasal 1 angka 2 yang menyatakan : “Lembaga pembiayaan adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat”.


(51)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Menurut Munir Fuady “Pranata hukum pembiayaan konsumen dipakai sebagai terjemahan dari istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain adalah kredit konsumsi consumer credit. Hanya saja, jika pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan kredit konsumsi diberikan oleh bank”.24

Dalam sistem pembiayaan konsumen ini, dapat saja suatu perusahaan pembiayaan memberikan bantuan dana untuk pembelian barang-barang produk Namun demikian, pada dasarnya secara substantif pengertian kredit konsumsi sama saja dengan pembiayaan konsumen.

Menurut A. Abdurrachman, kredit konsumsi adalah kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjam-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian itu dapat mengandung risiko yang lebih besar dari pada kredit dagang biasa. Maka dari itu biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.

Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.017/1995 memberikan pengertian kepada pembiayaan konsumen yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.

Dari definisi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya antara kredit konsumsi dan pembiayaan konsumen sama saja, yang berbeda yaitu hanya pihak pemberi kredit yang berbeda.

24 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, PT. citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.204.


(52)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

dari perusahaan dalam kelompoknya. Jadi marketnya sudah tetentu, perusahaan pembiayaan seperti ini disebut captive finance company.25

25Ibid,Hal.205.

Misalnya seperti yang dilakukan oleh Suzuki Finance Indonesia, yang menyediakan pembiayaan konsumen terhadap penjualan produk-produk sepeda motor Suzuki.

Dari keterangan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian pembiayaan adalah suatu perjanjian yang diadakan antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan guna pembelian barang-barang konsumen, di mana perusahaan pembiayaan memberikan pinjaman sejumlah dana yang akan dibayar konsumen dalam jangka waktu tertentu dan dengan tingkat bunga yang telah disepakati antara kedua belah pihak.

Dilihat dari kegiatan prusahaan pembiayaan konsumen, yaitu penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang, yang pembayarannya dilakukan secara berkala oleh konsumen, dimana dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan pembiayaan konsumen meminjamkan sejumlah uang melalui fasilitas pembiayaan konsumen kepada konsumennya, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian pembiayaaan konsumen adalah bagian dari perjanjian pinjam meminjam seperti yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yang menyatakan : “Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama”.


(1)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

akan dibuat atas nama debitur, dan selama debitur belum melunasi utangnya, maka hak milik tersebut tetap berada ditangan kreditur, dan debitur hanya sebagai peminjam saja. Setelah debitur melunasi utangnya, maka hak milik yang dijaminkan secara fidusia yaitu Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor ( BPKB ) akan diserahkan kepada debitur.

3. Apabila debitur dalam kedudukannya sebagai pihak yang berutang, adakalanya lalai dalam memenuhi prestasinya, dan apabila debitur terbukti tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian pembiayaan, maka debitur dapat dikatakan wanprestasi. Bentuk umum wanprestasi yang terjadi pada PT. SUZUKI Finance Indonesia Cabang Lhokseumawe adalah :

a) Debitur tidak memenuhi salah satu atau lebih kewajiban sebagaimana ditentukan dalam perjanjian, tidak melakukan pembayaran angsuran hutang pembiayaan dengan lewatnya waktu tiga puluh hari sejak tanggal jatuh tempo angsuran;

b) Debitur tidak memenuhi kewajiban seperti merawat dan menjaga keutuhan barang jaminan dari segala kemungkinan kerusakan, hilang atau musnah, satu dan lain hal atas resiko sendiri;

c) Debitur melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan seperti menjual, meminjamkan atau melakukan perbuatan-perbuatan lain yang bertujuan dan/atau berakibat beralihnya barang jaminan tersebut kepada pihak lain siapapun adanya, dengan bentuk dan cara apapun juga, tanpa pemberitahuan kepada pihka kreditur.


(2)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

d) Barang jaminan disita atau terancam oleh suatu tindakan penyitaan pihak lain siapapun adanya karena sebab apapun juga.

Apabila Debitur telah berbuat sebagaimana tersebut di atas, maka pihak perusahaan akan melakukan tindakan, yaitu perusahaan pembiayaan akan memberikan Surat Peringatan I ( SP I ), apabila debitur tidak menanggapi Surat Peringatan I ( SP I ) tersebut, maka akan dilanjutkan dengan Surat Peringatan II ( SP II ), jika tidak ditanggapi juga oleh debitur, maka pihak kreditur akan memerikan Surat Peringatan terakhir ( SPT ) sebagai peringatan terakhir kepada debitur yang menunggak membayar angsuran hutang pembiayaan. Apabila SPT tersebut tidak juga ditanggapi, maka pihak kreditur yaitu pihak SFI akan melakukan eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan yang ada ditangan debitur secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yakni lewat suatu penetapan pengadilan. Apabila eksekusi secara fiat eksekusi tidak dapat dilakukan, maka kreditur akan melakukan eksekusi melalui gugatan biasa ke pengadilan. Dengan adanya wanprestasi ini, maka perjanjian pembiayaan berakhir.

B. Saran

1. Perlunya dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai hokum Pembiayaan Konsumen agar tercipta keteraturan dan kepastian hukum bagi para pihak yang telah terkait dalam perjanjian pembiayaan konsumen sehingga dapat mendatangkan rasa adil bagi semua pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen pada khususnya dan untuk masyarakat pada umumnya.


(3)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

2. Hendaknya kepada calon debitur sebelum mengadakan perjanjian pembiayaan terhadap kreditur membaca terlebih dahulu isi perjanjian secara detail dan teliti, apabila dirasakan sesuai baru diadakan perjanjian pembiayaan sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian harinya.

3. Kepada pihak kreditur agar terhindar dari masalah itikad buruk dari debitur, maka hendaknya sebelum memberikan fasilitas pembiayaan konsumen kepada debitur, maka pihak kreditur harus cermat dalam menyeleksi calon debitur ataupun dalam surat permohonan pembiayaan yang dilakukan oleh pihak kreditur.


(4)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku :

Arthesa,Ade dan Handiman,Edia, Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Bandung, 2006.

Badrulzaman., Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung.

Bintang,Sanusi&Dahlan. 2000. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi&Bisnis. Banda Aceh. PT. Citra Aditya Bhakti.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Fuady, Munir, 1995, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, PT. citra Aditya Bakti, Bandung.

--- 2002. Pengantar Hukum Bisnis(Menata Bisnis Modern di Era Global). PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Harahap, M.Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

Ichsan, Achmad, 1969, Hukum Perdata I-B, PT.Pembimbing Masa, Jakarta. Kamelo, Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang

Didambakan, PT. Alumni, Bandung.

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

MAHKAMAH AGUNG RI, 1994, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI (Lembaga Pembiayaan), Jakarta.


(5)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Mashudi & Mohammad Chidir Ali (alm),1995 Bab-Bab Hukum perikatan (Pengertian Elementer), Mandar Maju.

Muhammad, Abdul Khadir, 1986, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

--- Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muljadi,Kartini&Widjaja,Gunawan. 2004. Perikatan Pada Umumnya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prodjodikoro,Wirjono. 1981. Hukum PerdataTtentang Perjanjian-Perjanjian Tertentu. Penerbit Sumur Bandung. Jakarta.

Rasyid Saliman, Abdul, Dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Kasus), Jakarta, 2005.

Satrio, J, 1992, Hukum Perjanian, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,1986

Soesilo, Y.R, dkk, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Subekti, R, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIX, Penerbit PT.Internusa, Jakarta.

--- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.


(6)

Talita Filzah Nadilah : Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di PT. Suzuki Finance Indonesia (SFI) Cabang Lhokseumawe, 2008.

USU Repository © 2009

Syahrani,Ridwan, 2004, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.

Tiong,Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indoesia, Jakarta, 1985.

II. Peraturan Per Undang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61/1988 Tentang Lembaga Pembiayaan.

Keputusan Menteri keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembiayaan.

Peraturan menteri keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan.