Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan

(1)

KONSUMEN PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM 090200232

TOGA ADI PUTRA SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET DITINJAU

MENURUT KONTRAK BAKU PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM 090200232

TOGA ADI PUTRA SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum

NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010

Zulkifli Sembiring SH. MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia. Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan paksa dari objek pembiayaan, hingga akhirnya konsumen harus mengalami kerugian karena penarikan paksa oleh pihak debt collector. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

Kesimpulan dalam skripsi ini, bahwa kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen hanyalah sebagai alat bantu dan upaya terakhir perusahaan pembiayaan untuk mengembalikan objek pembiayaan yang tertunggak kreditnya. Penggunaan jasa debt collector seharusnya tidak perlu diambil oleh pihak perusahaan pembiayaan. Penarikan atas kendaraan bermotor tidak diperbolehkan tanpa alas hak yang benar. Jika debitur wanprestasi atau tidak melaksanakan kewajibannya melunasi kredit, maka berdasarkan alasan syarat batal kreditur dapat membatalkan perjanjian. Dengan batalnya perjanjian maka kreditur dapat menarik kembali barang-barang yang telah diserahkannya kepada debitur. Namun pembatalan itu tidak serta merta dapat dilakukan oleh kreditur. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan oleh putusan pengadilan. Tanpa adanya putusan pengadilan maka tidak ada pembatalan, dan tanpa pembatalan maka kreditur tidak dapat menyita barang yang telah diterima oleh debitur melalui debt collector. Dalam hal kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen yang mengalami penarikan


(4)

paksa dijalan raya pemerintah melalui kementerian keuangan telah mengeluarkan satu terobosan peraturan baru yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan, yang melarang perusahaan leasing malakukan penarikan paksa kendaraan bermotor dijalan raya.


(5)

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini mengenai “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga ( Debt Collector ) Karena Kredit Macet Ditinjau Pada Kontrak Baku ( Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan )

Penulis sadar dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun penyusunan kalimatnya, serta tak lepas dari bantuan pihak-pihak tertentu baik berupa bimbingan, kritik, saran bahkan pengarahan. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. H. Hasim Purba, SH. M. Hum selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syamsul Rizal, SH. M. Hum selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

4. Dr. H. Hasim Purba, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi. 5. Zulkifli Sembiring, SH. MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.

7. Para Staff Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang ikut serta dalam membantu proses pendidikan,

8. Keluargaku tercinta, Ayahanda St. Rasmi Halomoan Sinaga, Ibundaku tersayang Rosmaida br. Siagian, Abangda Lambok Sinaga, Kakanda Rayani Lorentina Sinaga, Sri Yanti Sinaga, Kamelia Sinaga, dan Adinda Asnita Sinaga yang sudah memberikan dukungan, semangat, perhatian, dan senyum untukku.

9. Sahabat-Sahabatku seperjuangan, Budi Bahreisy, Ari Ade Bram Manalu, Aldar Valeri, Luthfi Fauzi Fahmi, Fauzul Asyura, Ismail Ginting, Agustinus C Siallagan, Evan Ricardo T, King Richter S, Andi Azlansah Putra, Lia Hartika, Sarah Sylviana, Dea Arum Amelia, Putri Indah Sari, Dewi Ratih, Arini Wulandari, Dian Sasmita, Yudhistira Frandana, terima kasih atas semuanya yang sudah kita jalani bersama.

10.Teman-Temanku Stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya.


(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini kurang sempurna. Oleh karena itu mohon kritik dan sarannya agar skripsi ini bisa menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita semua.

Medan, 05 Oktober 2014 Penulis,

Nim 090200232


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI………. iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…. 1

B. Permasalahan……….…… 4

C. Tujuan Penulisan……….. 5

D. Manfaat Penulisan……… 5

E. Metode Penelitian………. 6

F. Keaslian Penulisan……… 9

G. Sistematika Penulisan………... 9

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN A. Pengertian Perjanjian/Perikatan………. 12

B. Asas Dalam Perjanjian………... 21

C. Jenis-Jenis Perjanjian………. 25

D. Syarat Sahnya Perjanjian………... 31

E. Wanprestasi………... 38

F. Perbuatan Melawan Hukum……….. 44

BAB III TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen………. 47


(9)

C. Hak Dan Kewajiban………... 53

1. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha……….…. 53

2. Hak Dan Kewajiban Konsumen……….. 58

D. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen………. 59

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET A. Kedudukan Pihak Ketiga (Debt Collector) Dalam Perjanjian Leasing……….. 64

B. Ketentuan Dan Prosedural Penarikan Paksa kendaraan Bermotor……… 71

C. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Karena Kredit Macet……….... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……… 85

B. Saran……….. 86

DAFTAR PUSTAKA………. 89


(10)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia. Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan paksa dari objek pembiayaan, hingga akhirnya konsumen harus mengalami kerugian karena penarikan paksa oleh pihak debt collector. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

Kesimpulan dalam skripsi ini, bahwa kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen hanyalah sebagai alat bantu dan upaya terakhir perusahaan pembiayaan untuk mengembalikan objek pembiayaan yang tertunggak kreditnya. Penggunaan jasa debt collector seharusnya tidak perlu diambil oleh pihak perusahaan pembiayaan. Penarikan atas kendaraan bermotor tidak diperbolehkan tanpa alas hak yang benar. Jika debitur wanprestasi atau tidak melaksanakan kewajibannya melunasi kredit, maka berdasarkan alasan syarat batal kreditur dapat membatalkan perjanjian. Dengan batalnya perjanjian maka kreditur dapat menarik kembali barang-barang yang telah diserahkannya kepada debitur. Namun pembatalan itu tidak serta merta dapat dilakukan oleh kreditur. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan oleh putusan pengadilan. Tanpa adanya putusan pengadilan maka tidak ada pembatalan, dan tanpa pembatalan maka kreditur tidak dapat menyita barang yang telah diterima oleh debitur melalui debt collector. Dalam hal kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen yang mengalami penarikan


(11)

paksa dijalan raya pemerintah melalui kementerian keuangan telah mengeluarkan satu terobosan peraturan baru yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan, yang melarang perusahaan leasing malakukan penarikan paksa kendaraan bermotor dijalan raya.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia. Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.1 Lembaga pembiayaan adalah suatu badan yang melalui kegiatannya di bidang keuangan yakni menarik dana dari masyarakat dan menyalurkannya kemasyarakat. Lembaga pembiayaan ini dibagi menjadi dua kelompok yakni lembaga keuangan atau yang sering disebut bank dan lembaga keuangan bukan bank.2

Salah satu lembaga pembiayaan konsumen yang tumbuh pesat pada saat ini adalah PT. Summit OTO Finance. PT. Summit OTO Finance didirikan tahun 1990, pada awalnya perusahaan ini bernama PT. Summit Sinar Mas Finance, hasil

1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 98


(13)

kerjasama usaha antara PT. Sinar Mas Multiartha dan Sumitomo Corporation, Jepang. Awalnya PT. Summit Sinar Mas Finance memfokuskan aktivitas usaha pada sewa guna usaha. Namun di tahun 2003 PT. Summit Sinar Mas Finance mengubah aktivitas usahanya menjadi perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor, sekaligus mengganti namanya menjadi PT. Summit OTO Finance.

Sumitomo Corporation adalah perusahaan dagang Jepang yang terpadu (sogoshosha). Sebagai Pemegang saham utama, Sumitomo Corporation memberikan dukungan dan mengendalikan semua aspek usaha dari manajemen, treasury, keuangan hingga operasi. Dengan dukungan dari Sumitomo Corporation, PT Summit OTO Finance telah berhasil tumbuh dan meningkatkan pembiayaan motor serta memiliki kantor jaringan yang tersebar diseluruh Indonesia. Usaha utama PT. Summit OTO Finance adalah pada pembiayaan kepemilikan motor baru. PT Summit OTO Finance lebih berfokus kepada pelanggan perorangan dari pada perusahaan, dengan tujuan penyebaran risiko. Sebagai perusahaan pembiayaan yang independen, PT. Summit OTO Finance tidak memiliki keterkaitan dengan pabrikan, sehingga perusahaan memiliki keleluasaan untuk membiayai semua merek motor yang tersedia di pasar.

PT. Summit OTO Finance sebagai penyedia jasa pembiayaan bagi konsumen tentunya mempunyai berbagai jenis pembiayaan. Salah satu jenis pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah pembiayaan konsumen (consumer finance). Dalam pandangan masyarakat saat ini menganggap perusahaan pembiayaan sepeda motor adalah perusahaan leasing pada umumnya, padahal sebenarnya terdapat perbedaan diantara keduanya.


(14)

Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Sedangkan sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. Jadi dalam hal ini jenis pembiayaan yang dilakukan oleh PT. Sommit Oto Finance tersebut adalah pembiayaan konsumen (consumer finance), bukan leasing (sewa guna usaha).

Menurut Budi Rachmad perbedaan pembiayaan konsumen dengan sewa guna usaha, khususnya yang dengan hak opsi (finance lease) adalah sebagai berikut:

1. Pada pembiayaan konsumen, pemilikan barang/ objek pembiayaan berada pada konsumen. Adapun pada sewa guna usaha (leasing), pemilikan barang/ objek pembiayaan berada pada lessor.

2. Pada pembiayaan konsumen, tidak ada batasan waktu pembiayaan dalam arti disesuaikan dengan unsur ekonomis barang/ objek pembiayaan. Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur sesuai dengan umur ekonomis objek/ barang modal yang dibiayai oleh lessor.

3. Pada pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada calon konsumen yang telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


(15)

mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Adapun pada sewa guna usaha calon lessee diharuskan ada atau memiliki syarat-syarat di atas.3

Melihat pengaturan mengenai perusahaan pembiayaan di atas, maka pada saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa setiap objek kendaraan bermotor dalam perjanjian pembiayaan konsumen harus dibebani dengan perjanjian jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan tersebut. Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir, dimana hal ini sesuai ketentuan Pasal 4 Fidusia). Perjanjian accessoir berarti bahwa lahir dan hapusnya perjanjian jaminan fidusia bergantung pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang atau perjanjian pembiayaan). Dalam Pasal 4 UU Fidusia dinyatakan bahwa “jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.” Jaminan fidusia wajib didaftarkan dimana dengan didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, kantor pendaftaran fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada penerima jaminan fidusia dan jaminan fidusia ini lahir setelah dilakukan pendaftaran. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran

3Budi Rachmat, Multi Finance Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan


(16)

Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa “perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.” Lebih lanjut, dalam Pasal 3 Permenkeu tersebut dinyatakan bahwa “perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.”

Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan paksa dari objek pembiayaan. Tentu saja ini sangat merugikan konsumen, dimana konsumen yang sudah banyak mengangsur cicilan objek pembiayaannya, hanya keterlambatan pembayaran sedikit, akhirnya konsumen harus mengalami penarikan paksa oleh pihak perusahaan pembiayaan. Berdasarkan latar belakang


(17)

inilah penulis membuat skripsi ini dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan.”

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen?

2. Bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet?

3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet?

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur tentang hukum jaminan fidusia di negara Indonesia. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:


(18)

1. Untuk mengetahui kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen.

2. Untuk mengetahui ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet.

3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:

1. Manfaat secara teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum ekonomi. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada debitur dalam setiap proses transaksi kredit pembiayaan konsumen yang terjadi di Indonesia.


(19)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:

a. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).4

b. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat, atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.5

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) dan penelitian lapangan. 2. Sumber Data

Data dalam penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari:

4 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),

hlm. 81


(20)

a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum perdata dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dan lain-lain.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan lain-lain.

3. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan


(21)

bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.6

4. Analisis Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Di samping itu ada pun metode pengumpulan data yang lain yaitu data primer, data yang diperoleh langsung dari objek penelitian seperti Wawancara, dan sebagainya.

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet (Studi Pada PT. Summit OTO Finance Cabang Medan)” adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti judul skripsi yang hampir


(22)

sama, namun dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan ilmiah.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam lima bab, yang gambarannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian perjanjian/perikatan, asas dalam perjanjian, jenis-jenis perjanjian, syarat sahnya perjanjian, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum.


(23)

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban konsumen, dan badan penyelesaian sengketa konsumen.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG

MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET (STUDI PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai peranan pihak ketiga dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bentuk penarikan kendaraan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, dan bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(24)

A. Pengertian Perjanjian/Perikatan

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.7

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.

8

7 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2,

(Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430

8 Mariam Darus Badrulzaman(1), KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 65

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang. Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian. Perjanjian melahirkan perikatan


(25)

yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Adapun pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan dalam Pasal 1313 KUH Perdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.9 Ini berarti suatu perjanjian menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak (debitur)kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian. Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.10 Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau bilateral or reciprocal agreement, dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.11

9

Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja(1), Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,

(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2003), hlm. 92

10 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum

Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 150

11 Ibid.


(26)

Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang saja atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara para pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus seharusnya dipakai kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat. 12

Pengertian tentang perjanjian pada setiap sarjana tentunya mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Menurut Subekti

12 Abdul Kadir Muhammad(1), Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992),


(27)

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal itu.13 Menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan sesuatu hal itu.14 Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi kewajiban itu.15 Menurut Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.16

a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum.

Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :

13 Subekti(1), Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hlm. 1 14

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1992), hlm. 12

15 Mariam Darus Badrulzaman(2), Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 3

16 Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada Puri


(28)

b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.17

M. Yahya Harahap menyatakan perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya.18 Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.19

17 Ibid., hlm 42

18 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6

19 Ibid., hlm. 7

Kalau demikian, perjanjian atau verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum rechtshandeling. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah


(29)

yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.20

1) Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

Handri Rahardjo mengatakan secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

2) Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama.21

Handri Raharjo menyatakan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain berkewajiban berprestasi. Yang dimaksud dengan lapangan harta kekayaan adalah hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum (harta

20 Mariam Darus Badrulzaman(1), Op.Cit., hlm. 66

21 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 42


(30)

kekayaan) dan dapat dinilai dengan uang.22

a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak dimana subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum dengan syarat subjek adalah orang mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum.

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dari beberapa pengertian tentang perjanjian yang telah diurikan diatas, terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Namun, dalam prakteknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum. Selain itu dalam merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain:

b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dimana unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan (kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.


(31)

c) Ada tujuan yang akan dicapai dalam perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan dimana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.

d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan dimana prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Bentuk perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta.

f) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok.23

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:

(1).Membuat atau tidak membuat perjanjian (2).Mengadakan perjanjian dengan siapapun


(32)

(3).Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya (4).Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.24 Sedangkan unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:

(a).Ada beberapa para pihak

(b).Ada persetujuan antara para pihak (c).Adanya tujuan yang hendak dicapai (d).Adanya prestasi yang akan dilaksanakan (e).Adanya bentuk tertentu lisan atau tulisan

(f).Adanya syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.25

Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Dalam perjanjian dikenal adanya tiga unsur yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu :

[1].Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

[2].Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

24 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Fakultas

Hukum Universitas Djuanda Bogor), hlm. 5


(33)

[3].Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.26

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan di dalam bukunya Hukum Perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonom) 2. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)

3. Asas kepercayaan 4. Asas kekuatan mengikat 5. Asas persamaan hukum 6. Asas keseimbangan 7. Asas kepastian hukum 8. Asas moral

9. Asas kepatutan 10. Asas kebiasaan27

Ad.1. Asas Kebebasan Berkontrak

Handri Raharjo menyebutkan asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar

26 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja(1), Op. Cit., hlm. 84

27 Mariam Darus Bardrulzaman(3), KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan


(34)

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.28 Jika dipahami secara saksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat sesuatu, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.29

Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara pihak-pihak, mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan saja, dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat secara lisan saja didasarkan pada asas bahwa manusia itu dapat dipegang mulutnya, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya.

Ad.2. Asas Konsensualisme

30

28 Handri Raharjo, Op. Cit., hlm. 43 29 Ibid., hlm. 44

30 Abdulkadir Muhammad(1), Op. Cit., hlm. 85 Ad.3. Asas Kepercayaan

Kepercayaan adalah merupakan dasar untuk mengadakan perjanjian, dimana kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu satu sama lain akan memegang janjinya dengan kata lain akan memenuhi prestasinya.


(35)

Kekuatan mengikat dari setiap perjanjian adalah juga merupakan dasar untuk timbulnya perjanjian, sebab apabila perjanjian yang telah diperbuat tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya, akan mengakibatkan perjanjian itu tidak mempunyai arti apa-apa sehingga dengan demikian bahwa asas kekuatan mengikat merupakan jaminan akan kepastian hukumnya.

Ad.5. Asas Kesamaan Hukum

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak menghormati satu sama lain sebagaimana manusia ciptaan Tuhan.31

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu, asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perlunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan etikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang dihubungi dengan kewajibannya untuk memperhatikan etikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

Ad.6. Asas Keseimbangan

32

Ad.7. Asas Kepastian Hukum

31 Mariam Darus Bardrulzaman(3), Op. Cit., hlm. 114 32 Ibid.


(36)

Tujuan hukum pada umumnya adalah keadilan, akan tetapi kepastian hukum adalah merupakan suatu yang sangat penting terutama dalam hukum perjanjian, sebab dengan adanya kepastian hukum yang telah ada ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan sebagai jaminan akan pelaksanaan perjanjian tersebut akan mempermudah untuk selanjutnya mengetahui hak dan kewajibannya diantara para pihak yang membuatnya.

Ad.8. Asas Moral

Dapat terjadi seseorang melakukan tindakan terhadap sesamanya yang berguna bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari adalah semata-mata oleh karena ikatan moral. Akan tetapi sekalipun demikian dalam hal-hal tertentu asas moral ini membawa akibat hukum bagi yang melakukannya.

Ad.9. Asas Kepatutan

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.33

Mengenai kebiasaan juga dapat memberikan/menyelesaikan suatu hubungan hukum, bilamana dalam ketentuan undang-undang tidak dapat menyelesaikannya, sebabnya adalah sekalipun pembuat undang-undang mempunyai kebebasan wewenang untuk merumuskan ketentuan-ketentuan dalam Ad.10. Asas Kebiasaan


(37)

suatu undang-undang sebagai manusia yang mempunyai kemampuan yang terbatas dapat terjadi dalam suatu hubungan hukum tidak diatur sebelumnya.

Perjanjian yang disebut di atas adalah sangat penting terutama pelaksanaan suatu perjanjian itu berarti melaksanakan akibat hukum yang timbul karenanya, yang dikehendaki oleh para pihak yang pada waktu melakukan/mengadakan perjanjian. Hukum juga mengatur akibat-akibat hukum bilamana suatu perjanjian yang disepakati semula, seperti apa yang di uraikan ini.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula.34

1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya jual beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, diuraikan tentang apa itu jual beli. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian. Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran Pasal dari KUHPerdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:


(38)

Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga, yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah belanda koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu verkoop (menjual), sedangkan koop adalah membeli.35

2. Perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya perjanjian hibah. Pasal 1666 KUHPerdata memberikan suatu pengertian bahwa penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan suatu barang, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Perjanjian ini juga selalu disebut dengan perjanjian cuma-cuma. Yang menjadi kriteria perjanjian ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.


(39)

3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani. Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali .36

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh undang-undang. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pertanggungan, pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada A.


(40)

banyaknya. Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu asas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih dikenal party otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.37

5. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

Contohnya : A ingin membeli barang B, tetapi A tidak mempunyai uang sekaligus, dalam hal ini B si empunya barang mengizinkan A untuk mempergunakan barang tersebut sebagai penyewa, dan apabila dikemudian hari A mempunyai uang, A diberi kesempatan oleh B (si empunya barang) untuk membeli lebih dahulu barang tersebut. Perjanjian sewa beli itu adalah merupakan ciptaan yang terjadi dalam praktek. Hal di atas tersebut, memang diizinkan oleh undang-undang sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Bentuk perjanjian sewa beli ini adalah suatu bentuk perjanjian jual-beli akan tetapi di lain pihak ia juga hampir berbentuk suatu perjanjian sewa-menyewa. Meskipun ia merupakan campuran atau gabungan daripada perjanjian jual beli dengan suatu perjanjian sewa menyewa, tetapi ia lebih condong dikemukakan semacam sewa menyewa.

38

37 Mariam Darus Badrulzaman(3), Op.Cit.,hlm. 32 38 Ibid., hlm. 35

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban


(41)

pihak-pihak. Untuk berpindahnya hak milik atas sesuatu yang diperjual belikan masih dibutuhkan suatu perbuatan yaitu perbuatan penyerahan. Pentingnya perbedaan antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir adalah untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya suatu penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu sah menurut hukum atau tidak. Objek dari perjanjian obligatoir adalah dapat benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak, karena perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Yaitu bahwa sejak adanya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban mengadakan sesuatu.

6. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian di samping adanya perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam pakai. Salah satu contoh uraian di atas yaitu perjanjian penitipan barang, yang tercantum dalam Pasal 1694 KUHPerdata, yang memberikan seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.39

39 Abdulkadir Muhammad(2), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 88

Dari uraian di atas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu perjanjian riil, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan


(42)

adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang dititipkan.

Setelah di kemukakan tentang keanekaan dari perjanjian, maka dapat di kelompokkan bentuk atau jenis-jenis dari perjanjian yang terdapat dalam undang-undang maupun di luar undang-undang-undang-undang. Perjanjian yang telah di kemukakan di atas, terdapat juga bentuk-bentuk perjanjian khusus yang berbeda dalam penfasirannya. Mariam Darus Badrulzaman, dalam bukunya Pendalaman Materi Hukum Perikatan mengungkapkan perlu dibicarakan adanya suatu perjanjian yaitu perjanjian campuran. Perjanjian campuran ini menurut beliau ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar, disini terlihat ada suatu perjanjian sewa-menyewa disamping itu pula menyediakan makanan yang dengan sendirinya terbentuk pula perjanjian jual beli. Dalam hal perjanjian campuran ini ada beberapa paham. Paham I mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang bersangkutan mengenai perjanjian khusus hanya dapat diterapkan secara analogis tidak dapat dibenarkan oleh undang-undang. Karena untuk terciptanya suatu perjanjian harus jelas maksudnya, sehingga apabila tidak jelas maksudnya atau isi dari perjanjian itu, akan menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Paham II menyebutkan, ketentuan yang dipakai adalah ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan. Paham III menyatakan, ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu.40

40 Mariam Darus Badrulzaman(4), Pendalaman Materi Hukum Perikatan, (Medan:


(43)

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini harus dapat dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.41

41 Ibid., hlm. 98

Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:


(44)

a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi:

1). Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan dewasa dan tidak sakit ingatan.

2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi:

1). Suatu hal (objek) tertentu.

2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).42

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:

a). Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu. b). Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.

c). Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d). Syarat izin dari yang berwenang.43

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah. Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata

42 Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus,

(Jakarta: Prenada, 2004), hlm. 12-13

43 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra


(45)

sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:

(1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad persamaan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.44

Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang bunyinya tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan

44 Abdul Kadir Muhammad(3). Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: Cipta Aditya


(46)

paksaan atau penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata). Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti dalam Pasal 1328 KUH Perdata. Penipuan menurut Pasal 1328 KUH Perdata ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.45

(2). Cakap untuk membuat suatu perikatan

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yang menjadi obyek perjanjian. Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian, misalnya menjual mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut baru dengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.


(47)

Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1329 KUH Perdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin.46

a. Orang-orang yang belum dewasa

Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin, disimpulkan secara a contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (khusus untuk ketentuan ini sudah dicabut).

(3). Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan


(48)

(4). Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.47

Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perjanjian tersebut. Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanya mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Adanya kekurangan terhadap syarat subyektif tersebut tidak begitu saja diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakah mereka menghendaki pembatalan terhadap perjanjian tersebut atau tidak.48

47Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan

dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 319

48 R. Subekti(3), Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 22

Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan atas pelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetap sah.


(49)

Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (null and void). Secara yuridis, dianggap dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Akibat dari batal demi hukum, maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena dasar hukumnya tidak ada.49

E. Wanprestasi

Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya bekewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di katakan dalam mengkritisi Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, dimana dikatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih. KUH Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir demi perjanjian dan dari perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak. Tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Pada umumnya semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yang disepakati, artinya bahwa


(50)

para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak.

Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Jika dikaitkan kepada definisi perjanjian yang telah dirumuskan oleh para sarjana sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka yang akan dilaksanakan oleh yang mempunyai kewajiban ada tiga hal sesuai dengan apa yang menjadi objek perjanjian yang dibuatnya.

Kewajiban dari seseorang untuk melaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian dalam bahasa hukumnya lazim disebut dengan istilah prestasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa prestasi dalam hukum khususnya dalam hukum perjanjian terdapat tiga jenis yakni memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu

Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, akan tetapi dalam pelaksanaannya sering terjadi salah satu pihak yang membuat perjanjian itu tidak melaksanakannya sesuai dengan yang telah disepakatinya semula, sehingga orang yang bersangkutan dikatakan ingkar janji. Hal yang demikian dalam ilmu hukum disebut dengan istilah wanprestasi. Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat


(51)

terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.50

1. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya

Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur. Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat berwujud dalam beberapa bentuk, yaitu:

2. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya

3. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya 4. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya, maupun disebabkan karena kelalaian pihak debitur untuk tidak melaksanakannya.51

50Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2011), hlm. 74

51 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya(2), Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 69

Pertanyaannya adalah sejak kapankah debitur itu telah wanprestasi, sebab di dalam prakteknya bahwa wanprestasi itu tidak secara otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak bahwa wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan. Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata telah ditentukan cara untuk menetapkan adanya wanprestasi dari seorang debitur yang berbunyi si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.


(52)

Subekti menyatakan bahwa yang dimaksud dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis. Sekarang sudah lazim ditafsirkan suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas mengatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat. Hanyalah tentu saja sebaiknya dilakukan secara tertulis dan seyogyanya dengan surat tercatat agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang.52

a. Kesalahan debitur karena disengaja dan/atau lalai. Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena dua hal:

b. Keadaan memaksa.53

Seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila ia tidak melakukan apa yang diperjanjikan atau melakukan apa yang tidak boleh dilakukan. Wanprestasi yang disebabkan oleh adanya kesalahan debitur. Luasnya kesalahan meliputi:

1) Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang diketahui dan dikehendaki oleh debitur. 2) Kelalaian, maksudnya adalah debitur melakukan suatu kesalahan, akan

tetapi perbuatannya itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi yang kemudian ternyata menyebabkan terjadinya wanprestasi.54

Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu:

52 R. Subekti(4), Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 46 53 Handri Raharjo, Op. Cit., hlm. 80-81

54 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung: Alumni, 1993),


(53)

a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya.55 Mengenai akibat hukum yang timbul, bilamana si debitur wanprestasi, dalam Pasal 1267 KUHPerdata disebutkan bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

Perjanjian yang bersifat timbal balik, dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata disebutkan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Akan tetapi dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhi kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:

(1).Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi.

(2).Pembatalan perjanjian.

(3).Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim.56


(54)

Subekti menyatakan bahwa hukum atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam yaitu pertama membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat yang dinamakan ganti rugi. Kedua pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Ketiga peralihan risiko. Keempat membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.57

(a).Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan kreditur.

Ganti kerugian yang dimaksud dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata adalah akibat hukum yang ditanggung debitur yang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang berupa memberikan atau mengganti:

(b).Rugi, yaitu segala akibat negatif yang menimpa kreditur akibat kelalaian debitur/ kerugian nyata yang didapat atau diperoleh pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji.

(c).Bunga, yaitu keuntungan yang diharapkan namun tidak diperoleh kreditur, macam-macamnya:

[1]. Bunga convensional adalah bunga uang yang dijanjikan pihak-pihak dalam perjanjian (Pasal 1249 KUH Perdata).

[2]. Bunga moratoire adalah bunga pada perikatan yang prestasinya berupa membayar sejumlah uang, penggantian biaya rugi, dan bunga yang disebabkan karena terlambatnya pelaksanaan perikatan.

56 Pasal 1266 ayat 1, 2, dan 3 KUHPerdata 57 R. Subekti(3), Op. Cit, hlm. 45


(55)

[3]. Bunga kompensatoir adalah bunga uang yang harus dibayar debitur untuk mengganti bunga yang dibayar kreditur pada pihak lain karena debitur tidak memenuhi perikatan atau kurang baik melaksanakan perikatan.

[4]. Bunga berganda adalah bunga yang diperhitungkan dari bunga utang pokok yang tidak dilunasi oleh debitur (Pasal 1251 KUH Perdata).58 Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu:

[a]. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)

[b]. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus)

[c]. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking).59

F. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak

58 Handri Raharjo, Op. Cit., hlm. 81 59 R.Subekti(3), Op. Cit., hlm. 61


(56)

demikian dimana undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.60

60 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung:

Alumni, 1982), hlm. 15

Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatigedaad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatigedaad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ”tort” berasal dari kata latin ”torquere” atau ”tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis ”wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).

Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 KUHPerdata dinyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.


(57)

Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Dalam ilmu hukum terdapat tiga katagori perbuatan melawan hukum yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian.

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum. c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. d. Adanya kerugian bagi korban.

e. Adanya hubungan kausul antara perbuatan dengan kerugian.

Perbuatan melawan hukum menurut perspektif hukum pidana berarti apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang yang disebut sebagai pendirian formal, dan belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang yang bersifat melawan hukum, karena hukum bukanlah undang-undang-undang-undang


(58)

saja disamping undang-undang ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang disebut sebagai pendirian materiil.61

61 Perbuatan Melawan Hukum,


(1)

kepada debitur. Namun pembatalan itu tidak serta merta dapat dilakukan oleh kreditur. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan oleh putusan pengadilan. Tanpa adanya putusan pengadilan maka tidak ada pembatalan, dan tanpa pembatalan maka kreditur tidak dapat menyita barang yang telah diterima oleh debitur melalui debt collector. Jikapun kreditur tetap memaksakan diri melakukan penyitaan, maka tindakan tersebut

merupakan pelanggaran hukum. 3. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen yang

mengalami penarikan paksa dijalan raya di akomodasi pemerintah melalui kementerian keuangan yang telah mengeluarkan satu terobosan peraturan baru yang melarang perusahaan pembiayaan melelakukan penarikan paksa kendaraan bermotor dijalan raya. Hal tersebut dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan. Peraturan Menteri Keuangan ini dengan tegas melarang perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. Jika perusahaan perusahaan pembiayaan tetap memaksa mengambil alih kendaraan, maka perusahaan pembiayaan akan dikenai sanksi sampai pembekuan dan pencabutan izin usaha. Perlindungan hukum lain yang dapat dirasakan oleh konsumen yakni, dengan adanya kebebasan


(2)

konsumen untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha kepada badan penyelesaian sengketa konsumen.

B. Saran

1. Seyogyanya pihak perusahaan pembiayaan harusnya lebih hati-hati lagi dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan permasalahan kredit macet yang dimilikinya ke pihak ketiga, jangan sampai nama baik dan kredibilitasnya hilang, hanya demi mengejar keuntungan semata tanpa memperdulikan etika dan hak-hak konsumen.

2. Mengenai wanprestasi debitur, seharusnya pihak perusahaan pembiayaan tetap memberikan kelonggaran waktu untuk meberikan waktu kepada debitur agar mampu melunasi pembayaran angsurannya, dan seharusnya perusahaan pembiayaan jangan seolah-olah melegalkan penarikan paksa. 3. Harusnya pemerintah juga mensosialkan peraturan ini jangan sampai

abu-abu, jika suatu saat ada perusahaan pembiayaan yang melanggar maka masyarakat tidak takut lagi melaporkan perusahaan pembiayaan yang tidak patuh peraturan pemerintah ke pihak yang berwajib.


(3)

Jawa Barat.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. _______. 1982. Pendalaman Materi Hukum Perikatan. Medan: Penerbit

Fakultas Hukum USU.

_______. 1986. Hukum Perikatan dengan Penjelasannya. Bandung: Citra Aditya Bhakti

_______. 1993. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya. Bandung: Alumni.

Barkatulah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian

Teoretis dan Perkembangan Pemikiran. Bandung: Nusa Media.

Fuadi , M. dkk, 2005. Pengantar Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Mahdi, Sri Soesilowati, et. all. 2005. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta:

Gitama Jaya.

_______. 2004. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Masjachan, Sri Soedewi. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok

Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.

Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Muhammad, Abdul Kadir. 1990. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. _______. 2002. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni.

Muchsin, 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Thesis Magister Ilmu Hukum. Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret. Muljadi, Karitini dan Widjaja, Gunawan. 2003. Perikatan Yang Lahir dari


(4)

Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.

Nurwidijanto, Apit. 2007. Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada

Puri Kencana Mulya Persada di Semarang. Tesis Ilmu Hukum.

Universitas Diponogoro.

Prodjodikoro, R. Wirjono. 1991. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis. Bandung: Subur.

Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu hukum. Cetakan Kelima. Bandung: Citra Aditya \ Bakti.

Roestamy, Martin & Hakim, Aal Lukmanul, 2011. Bahan Kuliah Hukum

Perikatan. Fakultas Hukum: Universitas Djuanda Bogor.

R. Saliman, Abdul, et. all. 2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan

Contoh Kasus. Jakarta: Prenada.

Satrio, J. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya). Bandung: Alumni. Setiawan, Rachmat. 1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum.

Bandung: Alumni.

Setiono. 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum). Thesis Magister Ilmu Hukum. Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret.

Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Soekanto, Soejono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Subekti, R. 1982. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni.

_______. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

_______. 1987. Hukum Perjanjian. Cet.Ke XII. Jakarta: PT Intermasa. _______. 2002. Hukum Perjanjian. Cetakan 19. Jakarta: Intermasa. _______. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.


(5)

Sunaryo, 2009. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia. Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran

Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan

C. Internet

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

diakses tanggal 14 April 2014 Debt Collector Leasing,

diakses tanggal 20 Mei 2014 Penyitaan Barang Oleh Debt Collector,

Perusahaan Pembiayaan,

diakses tanggal 16 Mei 2014 Teori Perlindungan Hukum,


(6)

D. Data Lapangan

Hasil Wawancara Dengan Surveyor PT. OTO Finance Pada Tanggal 11 Mei 2014

Isi Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Antara PT. OTO Finance Dengan Konsumen