BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN KEGIATAN ASURANSI A. Usaha Perasuransian - Pertanggungjawaban Agen Asuransi Dalam Penyampaian Informasi Produk Ditinjau Dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN KEGIATAN ASURANSI A. Usaha Perasuransian Usaha perasuransian pada mulanya masuk ke Indonesia pada waktu

  penjajahan Belanda yang pada saat itu negara Indonesia masih disebut dengan Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negara kita sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.

  Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlakukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di zaman Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah : 1.

  Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda 2. Perusahaan-perusahaan yang merupakan kantor cabang dari perusahaan asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan negara lainnya.

  Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya sehingga manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat pribumi.

  Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran karena jumlah kendaraan bermotor sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Belanda dan bangsa asing lainnya.

  Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis berhenti, terutama karena pemisahan perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.

  Setelah Perang Dunia II usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan asing terumata Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka pada tahun 1946 yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Kemudian mulailah bermunculan berbagai perusahaan asuransi baik lokal maupun asing di

7 Indonesia hingga saat ini.

  Usaha perasuransian di Indonesia terus berkembang sehingga menjadi salah satu kegiatan usaha yang diatur oleh pemerintah karena di dalamnya merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Usaha perasuransian ini telah disahkan pada tanggal 11 Februari 1992 yaitu Undang-

7 Sejarah Asuransi, www-asuransi.com/sejarah asuransi.htm. (diakses tanggal 11 Juni 2014).

  Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat

   dengan UUUP).

  Peraturan mengenai usaha perasuransian tersebut merupakan hukum publik yang mengatur kegiatan usaha perasuransian, sedangkan perjanjian yang timbul sehubungan dengan kontrak asuransi diatur tersendiri di dalam Kitab Undang-

   Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan hukum privat.

  Menurut UUUP, kegiatan asuransi merupakan salah satu kegiatan menghimpun dana masyarakat yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk manfaat asuransi. Meskipun sama-sama menghimpun dana, kegiatan perasuransian tidak sama dengan kegiatan perbankan. Salah satu perbedaan yang sangat prinsip dan mencolok adalah jika konsumen akan mendapatkan bunga setelah uang tersebut disimpan di bank selama beberapa hari, bulan, bahkan tahun. Sebaliknya, apabila konsumen menggunakan uangnya untuk adalah konsumen mendapatkan manfaat asuransi jiwa berupa proteksi selama masa pertanggungan dan sejumlah uang pertanggungan pada waktu berakhirnya

   masa pertanggungan.

  Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mengikat antara pihak penanggung dengan pihak yang tertanggung yang mana dalam hal ini pihak penanggung akan menerima premi asuransi dari pihak tertanggung yang sebagai gantinya pihak tertanggung akan mendapatkan tanggung jawab dari pihak penanggung atas terjadinya suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan 8 Usaha Perasuransian, (diakses tanggal 7 Juni 2014). 9 10 Asuransi, (diakses tanggal 7 Juni 2014).

  Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya (Bandung: PT. Citra aditya bakti, 2009), hlm. 193. yang diharapkan yang merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diduga

   sebelumnya.

  Bahan pertanggungan atau yang dikatakan sebagai obyek asuransi adalah hal-hal yang dapat ditanggung oleh pihak penanggang adalah berupa benda-benda yang dimiliki oleh pihak tertanggung, jasa pihak tertanggung, jiwa dan raga pihak tertanggung serta materil yang hilang dikarenakan oleh suatu kejadian yang merugikan pihak tertanggung dan kerusakan yang bukan disengaja. Sebagai contoh adalah sebuah kecelakaan mobil yang mengakibatkan mobil tersebut hancur. Apabila mobil tersebut sebelumnya telah diasuransikan, maka mobil itu

  

menjadi tanggungjawab pihak penanggung.

  Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi yang bergerak dibidang Kerugian, Jiwa, Reasuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen

   Asuransi, Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultas Aktuaria. Usaha

   Perasuransian dibagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan penjabaran diatas, yaitu : 1.

  Usaha Asuransi a.

  Usaha Asuransi Kerugian, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

  b.

  Usaha Asuransi Jiwa, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.

  c.

  Usaha Reasuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.

  2. Usaha Penunjang Usaha Asuransi 11 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Pengertian Asuransi

  atau Pertanggungan , Pasal 1 ayat (1) 12 13 Ibid , Pasal 1 ayat (2) 14 Ibid , Pasal 1 ayat (4) Bagaimana Aturan Usaha Perasuransian di Indonesia, (diakses tanggal 20 Juli 2014). a.

  Usaha Pialang Asuransi yaitu usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepetingan tertanggung.

  b.

  Usaha Pialang Reasuransi yaitu usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.

  c.

  Usaha Penilai Kerugian Asuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian obyek asuransi yang dipertanggungkan.

  d.

  Usaha Konsultan Aktuaria, yaitu usaha yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.

  e.

  Usaha Agen Asuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung. usaha perasuransian. Ketiga badan hukum tersebut adalah Perusahaan Perseroan (selanjutnya disingkat dengan PERSERO), Koperasi dan Usaha Bersama

  

  (Mutual). PERSERO adalah perusahaan yang semua modalnya berbentuk

  

  saham, yang jenis peredarannya tergantung jenis saham tersebut. Persero adalah suatu bentuk usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

  Perseroan terbatas diatur pada Pasal 1 undang-undang perseroan terbatas yaitu badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha degan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya. Koperasi adalah badan usaha yang berlandaskan asas-asas kekeluargaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

  25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menegaskan pengertian koperasi pada 15 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 7 ayat (1). 16 Jenis Badan Usaha Indonesia(diakses tanggal 20 Juni 2014).

  Pasal 1 ayat (1) yaitu badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Lain pula dengan Usaha Bersama (Mutual) yang merupakan badan usaha namun peraturan undang-undangnya belum ada, untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17 Usaha bersama (mutual) dapat dikategorikan sebagai persekutuan

  perdata (maatschap). Di dalam hal kepemilikan perusahaan perasuransian, perusahaan perasuransian hanya dapat didirikan oleh :

   1.

  Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia

  2. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapatkan izin usaha dari menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelanggarakan Program Asuransi Sosial.

19 Program asuransi sosial adalah suatu program

  yang merupakan turun tangan dari pemerintah yang bersifat memberikan perlindungan bagi masyarakat.

20 Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk

  mendapatkan izin usaha butuh memenuhi beberapa persyaratan mengenai :

   a.

  Anggaran dasar b. Susunan organisasi c. Permodalan d. Kepemilikan e. Keahlian di bidang perasuransian f. Kelayakan rencana kerja

  17 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 7 ayat (3). 18 Ibid 19 Ibid, Pasal 9 ayat (1). 20 Jenis Badan Usaha Indonesia, www.akademiasuransi.org (diakses tanggal 21 Juli 2014). 21 Republik Indonesia, Op.Cit, Pasal 9 ayat (2). g.

  Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat Selain dalam perlunya suatu perizinan dalam usaha perasuransian, suatu usaha perasuransian membutuhkan pengawasan yang wajib dilakukan oleh

  

  menteri. Hal-hal didalam usaha perasuransian yang memerlukan pembinaan dan

  

  pengawasan meliputi:

  1. Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi, yang terdiri dari: a. Batas tingkat solvabilitas;

  b. Retensi sendiri;

  c. Reasuransi;

  d. Investasi;

  e. Cadangan teknis; dan

  f. Ketentuan-Ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan;

  2. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:

  a. Syarat-syarat polis asuransi;

  b. Tingkat premi;

  c. Penyelesaian klaim;

  d. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan

  e. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha; Segala hal yang mengatur masalah perusahaan perasuransian telah diatur, namun apabila dalam suatu hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam 22 23 Ibid , Pasal 10.

  Ibid , Pasal 11 ayat (1) undang-undang ini atau peraturan pelaksanaanya, menteri dapat melakukan tindakan berupa pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, atau

  

  pencabutan izin usaha, namun tetap memiliki tahapan yang berstruktur dengan tahapan pelaksanaan yang utama yaitu pemberian peringatan, yang kedua

  

  pembatasan kegiatan usaha dan yang terakhir adalah pencabutan izin usaha, oleh sebab itu sebab itulah sebelum sampai pada tahapan akhir, menteri dapat memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana dalam

  

  rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya, dan pada akhirnya pencabutan izin usaha tersebut akan diumumkan oleh menteri dalam

   surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas.

B. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

  Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.

  Konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab. Perlindungan konsumen semakin banyak dibicarakan, hal ini disebabkan selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas sehingga masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.

  24 25 Ibid , Pasal 17 ayat (1) 26 Ibid , Pasal 17 ayat (2) 27 Ibid , Pasal 18 ayat (1) Ibid , Pasal 18 ayat (2)

  Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UUPK. UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.

  Ketentuan yang menyatakan bahwa semua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang sehingga haruslah dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengen penyedia barang dan jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pula asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen tersebut yang menyebabkan di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.

   Hukum perlindungan konsumen dirancang dengan asas dan tujuan yang

  jelas, bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum,

  

  yang mana perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

   1.

  Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan

  2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

  3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha , dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan 28 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Diadit Media, 2001), hlm. 30. 29 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 2 30 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2011) hlm. 25.

  5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum

  Hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan- kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini, maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan asas “efisiensi”. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi

   waktu, biaya dan tenaga.

  

  tujuan yang telah dirancang sebaik mungkin, yaitu: 1.

  Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen 31 32 Ibid , hlm. 31.

  Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 3

  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen

  Dalam esensialnya dapat diambil bahwa alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan secara khusus mengatur dan

  

  melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai berikut: 1.

  Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan

2. Konsumen memerlukan sarana atau secara hukum tersendiri sebagai upaya guna melindungi atau memperoleh haknya.

  Di samping UUPK, hukum konsumen ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelumnya, telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000) dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk membela kepentingan konsumen, 33 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 44. masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan ini tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa

  

  diantaranya adalah: 1.

  Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan , Alinea ke-4 berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”. Landasan hukum lainnya terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi: Tiap warga Negara berhak atas

  

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang mana penjelasan autentik

warga negara.” dan salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah

  disusunya dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi : “......meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen” 2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

  Dalam hukum perdata yang dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya 34 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Diadit Media, 2001), hlm. 30- 52. itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis. Seperti penjelasannya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) , terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku Kesatu dan Buku Kedua. Lalu, berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

  Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara Ketentuan hukum administrasi , misalnya menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No.75. Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan “ Pemerintah

  

melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan upaya kesehatan” . Dari peraturan perundang-undangan

  diatas terlihat beberapa departemen dan atau lembaga pemerintah tertentu menjalankan tindakan administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan undang- undang tersebut.

  Ketentuan dasarnya, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

  

  konsumen. Pihak-pihak yang terkait didalam hal ini adalah konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

  

  maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebagai konsumen tentunya memiliki hak dan kewajiban. Hak konsumen, sebagaimana

  

  tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah: 1.

  Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

35 Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

  Konsumen, Pasal 1 ayat (1) 36 37 Ibid,

  Pasal 1 ayat (2) Ibid , Pasal 4

  5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7.

  Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;

  Apabila hak-hak tersebut diakui oleh Undang-Undang yang mana berarti berlaku hanya di Indonesia, bukan berarti secara Internasional konsumen tidak memiliki hak terhadap suatu barang dan jasa. Terdapat 4 hak dasar yang diakui secara internasional, yang mana secara umum 4(empat) hak dasar konsumen,

   1.

  Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3. Hak untuk memilih (the right to choose) 4. Hak untuk didengar (the right to be heard) Pada prinsipnya, apabila adanya suatu hak maka ada suatu kewajiban.

   Dalam hal inilah yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu: 1.

  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 38 39 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Grasindo,2000), hlm. 16-27.

  Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 5.

  2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

  Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

  

  ekonomi. Namun ternyata tidak hanya konsumen yang memiliki hak di dalam

  

  bidang ini, sangatlah jelas bahwa pada dasarnua hak pelaku usaha adalah: 1.

  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang 3.

  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

   Sedangkan yang menjadi kewajiban pelaku usaha adalah: 1.

  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 40 41 Ibid , Pasal 1 ayat (3) 42 Ibid ,

  Pasal 6 Ibid, Pasal 7

  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan.atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

  Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi merupakan hak konsumen dan juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat

  

  informasi), yang akan sangat merugikan konsumen. Informasi adalah sesuatu

43 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 44.

  yang sangat penting, terutama yang jelas dan benar adanya, terlebih karena menguntungkan dan melindungi kedua belah pihak.

  Objek didalam perlindungan konsumen ini adalah barang dan jasa. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan meupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

  

  konsumen. Jasa pada definisinya adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

  

  konsumen. Di dalam memperkenalkan barang dan jasa tersebut perlu dilakukan adanya promosi, yaitu kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang

  

  dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan, Promosi tersebut sangatlah penting dalam proses penyebaran informasi yang dari pengertiannya sendiri dapat tujuan barang dan/atau jasa tersebut. Namun, promosi juga harus mengandung unsur agar suatu promosi tersebut efektif terhadap penyebaran informasinya

  

  kepada setiap anggota masyarakat, beberapa unsur yang harus ada ialah: 1.

  Kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi 2. Tentang suatu barang dan/atau jasa yang; a. akan diperdagangkan, dan 44 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

  Konsumen ,Pasal 1 ayat (4) 45 46 Ibid ,

Pasal 1 ayat (5)

  47 Ibid, Pasal 1 ayat (6) Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2011), hlm. 14. b. sedang diperdagangkan 3.

  Tujuan menarik minat beli dari pihak konsumen Sangatlah wajar apabila harga yang ditawarkan biasanya lebih rendah

  

  daripada harga yang diperdagangkan di tempat lain. Hal ini dapat dilihat dari pengertian promosi itu sendiri yang dapat kita ketahui bahwa tujuannya adalah menarik minat masyarakat, membuat konsumen memperhatikan apa yang sedang kita promosikan, dan juga mengambil perhatian masyarakat. Semakin besar dan berkembangnya pasar, maka semakin penting pula suatu perlindungan bagi pihak konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung dampaknya sehingga upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang mengangkut perlindungan

   konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.

  Pemberian hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen, terdapat lembaga yang dapat menangani segala hal yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, yaitu Lembaga Perlindungan 48 49 Ibid Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 5.

  Konsumen Swadaya Masyarakat (LPSK) yang memiliki definisi lembaga non- pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan

  

  menangani perlindungan konsumen, yang sesuai dengan penjelasannya bahwa lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen

  

  menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Tidak hanya satu badan saja yang wajib dalam pembelaan konsumen, namun ada satu badan lagi yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang berfungsi sebagai badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan

  

  konsumen, tampak bahwa saat ini konsumen tidak perlu lagi merasa takut akan dirugikan di dalam suatu pasar karena kedua lembaga yang disahkan oleh undang- undang adalah lembaga yang cukup kuat dalam melindungi konsumen. Rumusan pengertian Badan Perlindungan Konsumen Nasional sebagai badan yang luas. Sudah tentu hal ini sangat menguntungkan konsumen. Hal tersebut memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan konsumen dari kedudukan yang sebelumnya berada pada pihak yang lemah tatkala berhadapan dengan pelaku usaha yang memiliki bargaining position yang sangat kuat dalam

  

aspek sosial, ekonomi, bahkan psikologi.

  50 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (9) 51 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2011), hlm. 17. 52 53 Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (12).

  Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 21. Berjalannya suatu produk yang akan diperdagangkan kepada konsumen, untuk memastikan bahwa suatu objek tersebut tidak merugikan kedua-belah pihak, maka perlu adanya suatu klausula baku yang merupakan setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

  

  perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Sebelum lahirnya UUPK, dalam berbagai literatur lebih banyak memperkenalkan istilah “kontrak baku” atau “standard baku”, kini dalam UUPK menggunakan istilah klausula baku. Bagi kedua istilah tersebut semuanya benar, mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klausula baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha didalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

  

  oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya. Namun, dalam penggunaan kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan pihak dalam menegosiasikan

  

  klausula perjanjian. Suatu kegiatan usaha pasti erat dengan adanya suatu sengketa. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada kenyataanya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilanpun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui 54 55 Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (10). 56 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 18.

  Ibid , hlm. 19. lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

   usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (atau selanjutnya disingkat dengan BPSK) sebagai badan diluar pengadilan, yang mana memiliki wewenang untuk menangani dan menyelesaikan segala masalah antara pelaku usaha dan konsumen yang berhubungan dengan pasar, dimana fungsi ini tampak pada pengertian dasar BPSK adalah badan yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa

  

  antara pelaku usaha dan konsumen. Untuk lebih mengetahui secara jelas Tugas dan wewenang BPSK, maka diuraikan secara sistematis bahwa tugas dan

  

  wewenang BPSK meliputi: 1.

  Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, arbitrasi atau konsiliasi;

  2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; Pengawasan klausul baku; 4. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang-undang ini;

  5. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan maupun tertulis, tentang dilanggarnya perlindungan konsumen

  6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen 7.

  Memanggil pelaku usaha pelanggar

57 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 126.

  58 59 Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (11) Ibid , Pasal 52.

  8. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran itu

  9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut huruf g apabila tidak mau memenuhi panggilan

  10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat-alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen 12.

  Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang-undang 13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha pelanggar undang- undang

  Pengertian BPSK baru memberikan makna apabila dihubungkan dengan substansi penjelasannya, sehingga pengertian tersebut seharusnya menyatakan,”Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang

  

  dan konsumen secara efisien, cepat, murah dan profesional”. Penyelesaian sengketa melalui BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil, yang mana pemeriksaannya dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan

   dengan hukum yang berlaku.

  60 61 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 20.

  Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Diadit Media, 2001), hlm. 3.

C. Peranan Pemerintah Untuk Melindungi Konsumen di dalam Industri Asuransi Menurut UU No 2 tahun 1992

  Perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi dijelaskan dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang berbunyi : “Usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun

  dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan

kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan

timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup

atau meninggalnya seseorang.

  Perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi yang dijelaskan dalam UUUP masih tergolong belum jelas, karena di dalam undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara rinci mengenai perlindungan hukum yang seperti apa yang diberikan kepada nasabah asuransi berkaitan dengan hak dan kewajiban yang seharusnya diterima oleh nasabah sebagai pihak pemakai jasa asuransi yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam mendapatkan perlindungan hukum. Penjelasan dalam pasal tersebut mengandung banyak makna yang oleh sebagian besar orang memiliki pemahaman yang berbeda. Hal yang sangat wajar apabila kemudian muncul banyak pertanyaan seputar perlindungan yang

   bagaimana dan seperti apa yang dimaksudkan di dalam UUUP ini.

  Pelaksanaan perlindungan yang dijelaskan dalam UUUP perlu diselaraskan dengan undang-undang lain yang memiliki keterkaitan dan dapat saling menunjang antara satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah UUPK. UUPK 62 Septiana Wahyu Triwidiyanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Asuransi JS.

  

Proteksi Extra Income Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

Perasuransian (Studi di PT. Asuransi Jiwasraya),” (Tesis, Ilmu Hukum, Universitas Negeri Surabaya,2013), hlm.16. banyak menyebutkan mengenai perlindungan yang dapat diberikan terhadap

   nasabah asuransi dalam kedudukannya sebagai pemakai jasa asuransi.

  Pentingnya peranan usaha perasuransian dalam perekonomian nasional membuat pemerintah juga ikut mempunyai andil untuk senantiasa menjamin usaha perasuransian yang berkelanjutan demi melindungi hak-hak setiap nasabahnya yang dibuktikan dengan adanya ketentuan yang sudah diatur secara baik dan mendetail sebagai landasan dari kegiatan usaha perasuransian di

64 Indonesia, meliputi: 1.

  Persyaratan bagi direksi dan komisaris untuk dinilai kemampuan dan kepatutannya;

  2. Persyaratan bagi perusahaan asuransi untuk memperkerjakan secara tetap tenaga ahli yang berkualifikasi sesuai bidang asuransi yang memberikan petunjuk perusahaan dikelola secara profesional;

  Pengaturan meneganai batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan; 4. Kewajiban Perusahaan Asuransi untuk diaudit laporan keuangannya oleh

  Akuntan Publik; 5. Kewajiban untuk memiliki dukungan reasuransi; 6. Ketentuan dasar dalam penyusunan polis.

  Perlindungan hukum terhadap nasabah perusahaan asuransi pada dasarnya sudah ada sejak diterbitkannya polis asuransi melalui Keputusan Menteri 63 64 Ibid , hlm. 15.

  

Istikhomah Dika Romadhona, “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah,” (diakses tanggal 24 Juni 2014). Keuangan RI Nomor. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Selain itu untuk lebih menjamin hak dan kewajiban para pihak agar dapat terlaksana dengan baik pemerintah juga mengeluarkan kebijakan melaluiPasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.

  Kepailitan di perusahaan asuransi menyebabkan kepentingan nasabah juga dilindungi secara mutlak, meskipun perlindungan hukum tersebut hanya menyangkut kedudukan hukum nasabah ketika terjadi kepailitan perusahaan asuransi. Pasal 20 ayat (2) UUUP menyebutkan bahwa : “Hak pemegang polis

  Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama”

  Likuidasi tidak berbeda dengan kepailitan, karena akhir dari kepailitan bisa berakhir dengan kepailitan ataupun sebaliknya. Jika suatu perusahaan asuransi telah dinyatakan pailit, maka kedudukan nasabah perusahaan asuransi merupakan kreditur prefere yaitu kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh Undang- Undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya sebagaimana Pasal 1134 KUHPerdata.

  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 55 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Dengan tetap

  

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56, pasal 57 dan

  

pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek atau hak guna atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Sehingga nasabah dari perusahaan asuransi

  yang telah dijatuhi pailit berhak untuk mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Agen Asuransi Dalam Penyampaian Informasi Produk Ditinjau Dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

7 93 117

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 90 91

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Ditinjau Dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 53 70

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

3 124 97

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahk

0 0 30