Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(1)

PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Oleh

PARLUHUTAN SILITONGA

087005106/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

 

PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PARLUHUTAN SILITONGA

O87005106/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

 

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Nama Mahasiswa : Parluhutan Silitonga

N I M : 087005106

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) K e t u a


(4)

  Telah diuji pada :

Tanggal : 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota :1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, Mhum

2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum


(5)

  ABSTRAK

Membicarakan tentang pengoplosan beras menjadi sangat penting disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, Fungsi strategis beras terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga bersentuhan dengan sosial politik. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting.

Dari sisi konsumen, pentingnya beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Asia disebabkan karena lebih dari 70% kebutuhan kalori dan protein sebagian penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Untuk Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan baik di Jawa maupun di luar Jawa sangat tinggi yaitu 97% sampai dengan 100%.

Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan

kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan.

Tindakan pengoplosan atau mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.

Pada Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan Pada Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan “.

Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas; kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen.

i


(6)

 

Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya, akan diberikan sanksi sesuai pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak-hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak-hak-hak konsumen tersebut akan memberikan

kepastian hukum bagi konsumen untuk memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Disamping itu dengan dijaminya hak-hak konsumen akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi diantara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan, dalam hal ini masalah pengoplosan beras.

Kata Kunci :

1. Pengoplosan Beras 2. Perlindungan konsumen


(7)

  ABSTRACT

Talking about “pengoplosan” rice becomes very important because rice is a strategic food commodities, rice strategic function lies in its position that became staple food for about 3 (three) billion people or half the world population. Rice in Indonesia is not only an economic problem, but also social contact with politics. Not surprisingly, when the rice has always been an important issue. From the consumer side, the importance of rice as a staple food for most people in Asia caused by more than 70% of calorie and protein needs some Asian population, particularly low-income communities, full of rice. For Indonesia, the participation rate of rice consumption in urban and rural areas both in Java and outside Java is as high as 97% to 100%.

Pengoplosan action or mix problem of rice should be given to the actual proportions in order to obtain the same understanding and actions in conducting consumer protection. In Indonesia, the term often “oplos” connotations with the business mix in order to take advantage without regard to quality. Eg diesel fuel or diesel pengoplosan action with subsidized kerosene. In such a way is intended to gain a huge advantage but this action was clearly result in damage to machinery and deceive and harm consumers. Such mixing mode can be categorized as fraudulent and contrary to the Law Number 8 Year 1999 concerning consumer protection and can punished

Pengoplosan action or rice mix between a quality different with other qualities such as a quality rice mixed with rice quality two, three or quality underneath, needs to be studied more in depth again whether the action is wrong and detrimental to the public / consumer or violating consumer protection laws.

In Article 8 of the Consumer Protection Act, has been arranged on the prohibited acts for businesses and in Article 19 digits (1) of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection stated that "businessmen responsible for providing compensation for damage, pollution, and / or loss of consumers due to consumption of goods and or services produced or traded. "

Article mentioned above regulate the business responsibilities of the products. It said businesses are responsible to give compensation for; damage, pollution and loss of consumers. If the perpetrators of violations of business conduct in the operations, will be subject to sanctions according to Article 60 through Article 63 Consumer Protection Act.

The government is fully responsible for obtaining guarantees consumer rights, with guaranteed consumer rights would provide legal certainty for consumers to obtain or determine the choice of goods and / or service needs and maintain or defend their rights if harmed by the behavior of business actors provider of consumer needs. Besides, with guaranteed consumer rights will create a healthy business climate. In order to create a healthy business climate needs to be coordination among the relevant technical agencies to stretch and settles a problem, in this case the problem pengoplosan rice.


(8)

 

Key words: 1. Rice mix

2. Consumer Protection


(9)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan program studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Judul tesis adalah : “PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.

Pada penulisan tesis ini, penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister;


(10)

 

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing utama yang telah memberi arahan dan membantu penulis dalam pennyempurnaan tesis ini;

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, M.Hum, selaku komisi pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum dan Dr. Agusmidah, SH, M.Hum, selaku komisi penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya.

6. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dirut Perum BULOG dan jajaran Direksi Perum BULOG yang telah memberikan beasiswa kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta


(11)

 

seluruh keluarga besar Perum BULOG Divisi Regional Sumatera Utara, Sub Divre Kisaran dan Sub Divre Medan yang memberikan masukan dan dorongan semangat kepada Penulis untuk tetap terus belajar.

8. Isteri dan anak ku tercinta yang telah memberikan dorongan dan dukungan moril dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

9. Rekan-rekan satu angkatan (XIII) dan staf pegawai dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan kepada Penulis untuk kelancaran menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

10. Semua pihak yang membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan nama dan jabatannya satu persatu.

Penulis berharap tesis ini dapat memberikan konstribusi bagi semua pihak yang berkepentingan walaupun tidak luput dari kekurangan. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Medan, Agustus 2010 Penulis

PARLUHUTAN SILITONGA


(12)

 

RIWAYAT HIDUP

Nama : Parluhutan Silitonga

Tempat/Tgl lahir : Medan, 11 Nopember 1969 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Riwayat Pendidikan : 1. SD. Negeri Sipahutar Tapanuli Utara, Lulus tahun 1982 2. SMP Negeri Sipahutar Tapanuli Utara Lulus Tahun 1985

3. SMA Swasta RK. Tri Sakti Medan, Lulus Tahun 1988

4. Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan, lulus Tahun 1993

5. Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2008-2010


(13)

 

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… ABSTRACT ………. KATA PENGANTAR………. RIWAYAT HIDUP ……….. DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ………

i iii v viii ix xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………

B. Perumusan Masalah ……… C. Tujuan Penelitian ……… … D. Manfaat Penelitian ……….. E. Keaslian Penelitian ……….. F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… ...

1. Kerangka Teori ……….. .. 2. Konsepsi ……… .. G. Metode Penelitian ………..

1. Tipe atau Jenis Penelitian……….

2. Sumber Data ……….

3. Teknik Pengumpulan Data ……… 4. Metode Analisis Data ………

1 7 8 9 9 10 10 23 28 28 28 29 30

BAB II TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengoplosan Beras ……….

B. Perbuatan yang dilarang Dalam UU . No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen……… C. Pengoplosan Beras ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen……….

31 34 38

BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP

PERDAGANGAN PANGAN

A. Pembinaan dan Pengawasan……….. 1. Departemen Perindustrian dan Perdagangan………… 2. Departemen Kesehatan dan BPOM……….. 3. Perusahaan Perum BULOG……….. 4. Pemerintah Kabupaten dan Kota……….. 5. Polisi Negara Republik Indonesia………..

ix 51 52 53 55 57 58


(14)

 

6. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) ………. B. Kelemahan Pembinaan dan Pengawasan perdagangan

Beras……….. …..

59 59

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KONSUMEN DARI TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan konsumen ……… B. Hubungan antara konsumen dan produsen……… C. Hak dan kewajiban konsumen……… D. Hak dan Kewajiban pelaku usaha……….. E. Tanggungjawab produsen atau pelaku usaha………… F. Perlindungan konsumen dari pengoplosan beras…….. G. Penyelesaian sengketa konsumen………

64 69 71 77 79 84 94

BAB IV KESIMPULAN

A. Kesimpulan ………

B. Saran………..

104 106

DAFTAR PUSTAKA ………. 109


(15)

 

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komponen fisik beras sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6127-1999...…... 27 Tabel 2. Harga Pembelian Pemerintah Terhadap gabah dan Beras

Sesuai Inpres RI No. 7 Tahun 2009 tanggal 29 desember 2009….. 57


(16)

  ABSTRAK

Membicarakan tentang pengoplosan beras menjadi sangat penting disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, Fungsi strategis beras terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga bersentuhan dengan sosial politik. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting.

Dari sisi konsumen, pentingnya beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Asia disebabkan karena lebih dari 70% kebutuhan kalori dan protein sebagian penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Untuk Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan baik di Jawa maupun di luar Jawa sangat tinggi yaitu 97% sampai dengan 100%.

Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan

kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan.

Tindakan pengoplosan atau mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.

Pada Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan Pada Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan “.

Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas; kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen.

i


(17)

 

Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya, akan diberikan sanksi sesuai pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak-hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak-hak-hak konsumen tersebut akan memberikan

kepastian hukum bagi konsumen untuk memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Disamping itu dengan dijaminya hak-hak konsumen akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi diantara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan, dalam hal ini masalah pengoplosan beras.

Kata Kunci :

1. Pengoplosan Beras 2. Perlindungan konsumen


(18)

  ABSTRACT

Talking about “pengoplosan” rice becomes very important because rice is a strategic food commodities, rice strategic function lies in its position that became staple food for about 3 (three) billion people or half the world population. Rice in Indonesia is not only an economic problem, but also social contact with politics. Not surprisingly, when the rice has always been an important issue. From the consumer side, the importance of rice as a staple food for most people in Asia caused by more than 70% of calorie and protein needs some Asian population, particularly low-income communities, full of rice. For Indonesia, the participation rate of rice consumption in urban and rural areas both in Java and outside Java is as high as 97% to 100%.

Pengoplosan action or mix problem of rice should be given to the actual proportions in order to obtain the same understanding and actions in conducting consumer protection. In Indonesia, the term often “oplos” connotations with the business mix in order to take advantage without regard to quality. Eg diesel fuel or diesel pengoplosan action with subsidized kerosene. In such a way is intended to gain a huge advantage but this action was clearly result in damage to machinery and deceive and harm consumers. Such mixing mode can be categorized as fraudulent and contrary to the Law Number 8 Year 1999 concerning consumer protection and can punished

Pengoplosan action or rice mix between a quality different with other qualities such as a quality rice mixed with rice quality two, three or quality underneath, needs to be studied more in depth again whether the action is wrong and detrimental to the public / consumer or violating consumer protection laws.

In Article 8 of the Consumer Protection Act, has been arranged on the prohibited acts for businesses and in Article 19 digits (1) of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection stated that "businessmen responsible for providing compensation for damage, pollution, and / or loss of consumers due to consumption of goods and or services produced or traded. "

Article mentioned above regulate the business responsibilities of the products. It said businesses are responsible to give compensation for; damage, pollution and loss of consumers. If the perpetrators of violations of business conduct in the operations, will be subject to sanctions according to Article 60 through Article 63 Consumer Protection Act.

The government is fully responsible for obtaining guarantees consumer rights, with guaranteed consumer rights would provide legal certainty for consumers to obtain or determine the choice of goods and / or service needs and maintain or defend their rights if harmed by the behavior of business actors provider of consumer needs. Besides, with guaranteed consumer rights will create a healthy business climate. In order to create a healthy business climate needs to be coordination among the relevant technical agencies to stretch and settles a problem, in this case the problem pengoplosan rice.


(19)

 

Key words: 1. Rice mix

2. Consumer Protection


(20)

         

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Tanggal 20 April 1999, Indonesia memiliki instrumen hukum yang integratif dan komprehensif yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.1

Pengaturan perlindungan konsumen tersebut dilakukan dengan2

:

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap

 

1

Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 195 2


(21)

         

segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha sebagai penyedia kebutuhan konsumen3

.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang semakin penting, mengingat makin pesat dan lajunya ilmu pengetahuan serta teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen.

Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak konsumen tersebut akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi di antara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, dalam hal ini permasalahan yang akan dikaji adalah pengoplosan beras.

 

3

  Lihat, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan beberapa kewajiban pelaku usaha atas upaya perlindungan konsumen.


(22)

         

Pengoplosan beras menjadi sangat penting untuk dikaji lebih mendalam lagi disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi negara-negara di dunia terutama di belahan Asia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting, tidak saja bagi petani, tetapi juga bagi ekonom, politikus dan para elite, karena itu kebijakan di bidang beras akan menjadi fokus perhatian semua pihak.4

Dari sisi konsumen, peran penting beras melebihi kentang, jagung, gandum dan serealia lainnya. Fungsi strategisnya terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok

(staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Di banyak Negara Asia, beras menyediakan 30% - 80 % kebutuhan konsumsi kalori per kapita dan menjadi gantungan hidup sebagian besar penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah.5

Untuk masyarakat Indonesia, beras merupakan sumber utama kalori dengan konsumsi kalori total mencapai 54,3 % artinya lebih dari setengah asupan kalori bersumber dari beras, demikian pula dengan konsumsi protein, beras merupakan sumber protein penting karena lebih dari 40 % pemasukan protein disumbang melalui beras.6

Tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sangat tinggi; 97-100%.7

 

4

 Khudori, Ironi Negeri Beras (Yokjakarta: INSISTPress, 2008), hlm. v  5

 Ibid. 

6

 Harianto. “Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras”, dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto.

Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM FE.UI, 2001

7

  Suroso dan Sulastri. “Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan

Pemerintah Untuk Melindungi Petani”, Dalam Achman Suryana dan Sudi Mardianto. Bunga Rampai


(23)

         

Konsekuensi dari data-data ini menjelaskan bahwa seseorang yang mengkonsumsi beras dalam jumlah yang cukup, sangat kecil kemungkinanya untuk kekurangan kalori dan protein. Sebaliknya, seseorang yang kekurangan mengkonsumsi beras, sementara kandungan kalori dan protein pangan substitusi tidak terlalu baik, besar kemungkinan akan kekurangan kalori dan protein. Artinya beras menjadi andalan konsumen dalam mempertahankan kehidupannya.

Pada umumnya kebijakan perberasan berhubungan dengan ketersediaaan atau produksi beras serta harga beras yang beredar di pasaran. Untuk kebijakan harga produksi berorientasi kepada perlindungan harga petani (floor price/harga dasar) dan perlindungan terhadap konsumen (ceiling price/batas harga eceran tertinggi). Kedua harga produksi tersebut merupakan petunjuk tentang turut campur tangan pemerintah terhadap sistem pasar. 8

Masalah perberasan di Indonesia yang sering menjadi fenomena adalah melonjaknya harga beras yang cukup tinggi disebabkan tingginya permintaan pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti menjelang Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru serta pada saat-saat adanya Pemilihan Umum. Selain itu beberapa faktor utama penyebab naiknya harga beras (Tahun 2010) adalah karena :9

 

8

Khudori, Ironi Negeri Beras Op.cit, hlm. 90  9


(24)

         

a. Pengaruh psikologis dari kebijakan perberasan Indonesia

Yaitu adanya kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan setiap tahunnya. Untuk tahun 2010, HPP naik 10 persen dibandingkan HPP Tahun 2009 (Instruksi Presiden-Nomor.7 Tahun 2009).10

b. Mundurnya masa tanam yang mengakibatkan mundurnya panen, sehingga masa paceklik menjadi lebih panjang.

c. Beras bersubsidi (Rasdi) yang belum berjalan penuh atau optimal.

d. Ekspektasi pedagang dengan gencarnya berita tentang kenaikan harga beras dunia. e. Spekulasi kenaikan harga pupuk yang diperkirakan berlaku mulai bulan April 2010. f. Hambatan transportasi akibat gangguan cuaca.

g. Stok beras di tingkat petani dan di tingkat penggilingan/pedagang mulai menipis.

Apabila terjadi lonjakan harga beras di pasaran, pada umumnya akan mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat terhadap komoditi pangan tersebut, utamanya masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, sementara di sisi lain para pelaku usaha akan mengalami penurunan penjualan. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi stabilitas nasional karena kenaikan harga beras berkonstribusi cukup signifikan pada kenaikan harga umum atau inflasi. Oleh karena itu banyak kebijakan yang

 

10

 Instruksi Presiden Nomor.7 Tahun 2009, Jakarta: 28 Desember 2009, Harga Gabah Kering Panen dengan kadar air maksimum 25 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 10% adalah Rp 2.640,-/kg di petani, atau Rp 2.685,-2.640,-/kg di penggilingan. Gabah Kering Giling dengan kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 3.300,-/kg di penggilingan, atau Rp 3.345,-/kg di gudang Bulog. Beras dengan kadar air maksimum 14%, bulir patah maksimum 20%, kadar menir maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95% adalah Rp 5.060,-/kg di gudang BULOG. Tahun 2009 harga beras sebesar Rp. 4.060/KG


(25)

         

diambil pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga beras di pasar domestik, mulai dari pelaksanaan impor beras sampai kepada pelaksanaan operasi pasar yang dilakukan oleh Perum BULOG. Untuk tahun 2010, Operasi Pasar dilaksanakan sesuai dengan instruksi Menteri Perdagangan kepada Perum BULOG melalui surat No. 56/M-DAG/SD/1/2010 tanggal 13 Januari 2010.

Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan.11

Tindakan mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda, misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.

 

11

Rahardi Ramelan, “Oplos Atau Blending”, http://www.leapidea.com/presentation?id=93. di akses tanggal 08 Februari 2010


(26)

  B. Perumusan Masalah :

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tindakan pengoplosan beras ditinjau dari Undang-undang Perlindungan konsumen.

2. Bagaimanakah pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras.

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen.

C. Tujuan penelitian:

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengoplosan beras apakah perbuatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

2. Untuk mengetahui pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras.


(27)

  D. Manfaat Penelitian :

Manfaat dari penelitian ini dibedakan dalam manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu :

1. Manfaat Teoritis :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut :

a. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berhubungan dengan perdagangan beras.

b.Masukan bagi penegak hukum yang ingin memperdalam, mengembangkan dan menambah pengetahuan tentang pelaksanaan pengoplosan beras sesuai undang-undang dan ketentuan yang berlaku.

c.Menambah kasanah perpustakaan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagi berikut :

a. Sebagai masukan bagi pemerintah dan penegak hukum dalam menangani masalah pelaksanaan pengoplosan beras .

b. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi masyarakat tentang pelaksanaan pengoplosan beras yang benar sesuai ketentuan yang berlaku.

c. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan perundang-undangan nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah kebijakan perberasan.


(28)

         

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka Penelitian dengan judul “PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah .

F. Kerangka Teori dan konsepsi 1. Kerangka Teori

No state shall make on enforce any law wich shall abridge the privileges or immunities of citizens…, nor shall any state deprive any person of life, liberty, or property without due process of law, nor deny any person within its jurisdiction the equal protection of the laws.

(Tidak satu Negara pun dapat membuat atau menjalankan hukum yang dapat mengurangi hak dan kekebalan dari warga negara…, juga tidak satu negara pun yang dapat menghilangkan kehidupan, kebebasan, atau hak milik dari seseorang tanpa melalui proses hukum yang adil, tidak ada satu negara pun yang dapat menolak perlakuan yang sama terhadap warga negaranya di depan hukum)

(Amandemen XIV dari Konstitusi Negara Amerika serikat)12

 

12


(29)

         

Keadilan dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu ; 13

a. Keadilan Kumutatif,

b. Keadilan Distributif dan c. Keadilan Hukum.

Keadilan kumutatif merupakan suatu keputusan yang konstan untuk memberikan setiap orang haknya (to give each one his due) dengan tujuan untuk menyesuaikan atau menyeimbangkan interaksi antar individu, sehingga masing-masing bisa memperoleh haknya secara sama. Jadi keadilan kumutatif merupakan keadilan yang berasal dari suatu kebajikan yang khusus dan pada prinsipnya memberlakukan asas “sama rata sama rasa” tanpa melihat pada kualifikasi pencari keadilan tersebut, jadi keadilan kumutatif memberlakukan orang secara sama (equal).

Keadilan distributif diartikan sebagai suatu keputusan yang konstan dari negara sebagai otoritas kekuasaan untuk memberikan setiap orang akan haknya, dengan tujuan untuk mendistribusikan barang-barang yang dapat dimiliki dalam jenis dan jumlah yang masing-masing bervariasi, sesuai dengan jasa baik (merits), kecurangan/ketercelaan

(demerits), kemampuan dan kebutuhan dari setiap individu dalam suatu masyarakat. Sehingga terhadap keadilan distributif ini ada yang menganggap sebagai bagian dari “keadilan untuk memberi hasil ( remunerative justice) atau keadilan untuk mempertahankan hak (vindicative justice). Dalam hal ini, keadilan distributif memberikan setiap orang sesuai prestasinya, atau memberikan setiap orang sesuai tingkat kesalahannya, karena itu berbeda dengan keadilan kumutatif yang menekankan kepada pengertian

 

13


(30)

 

“kesamaan”, sedangkan keadilan distributif lebih menekankan kepada pengertian “proporsional”.

Keadilan hukum (legal justice) berarti keadilan telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh pengadilan. Namun ada pengertian lain dari keadilan hukum ini yang sebenarnya lebih merupakan keadilan sosial, yaitu suatu keputusan yang konstan dari warga negara untuk memberikan kepada negara hak dari negara tersebut, dengan tujuan untuk menyesuaikan setiap tindakan individu dengan kepentingan bersama dalam negara.14

Seorang guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak ekonomi modern” yakni Adam Smith mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury).15

Teori Keadilan Adam Smith, hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan kumutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan kumutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.16 Prinsip keadilan kumutatif tersebut adalah sebagai berikut;

      

14

Ibid, hlm 118 15

R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, dalam Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai

Landasan Pembangunan Ekonmi. Hal. 5

16


(31)

 

1. Prinsip No Harm

Prinsip keadilan kumutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib mentaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality),

yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.

2. Prinsip Non-Intervention

Di samping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain. Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan.


(32)

 

3. Prinsip Keadilan Tukar

Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa; upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar.

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau keuntungan.

Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak jujur, nakal yang jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan atau jasa tidak sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harganya. Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha17

.

Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan atau jasa yang dihasilkan tanpa campur

      

17

Abdul Halim Barkatullah , Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH. Unlam Press, 2008), hlm. V.


(33)

         

tangan konsumen sedikitpun.18

Pada peristiwa semacam inilah dibutuhkan hukum untuk memberikan perlindungan konsumen.

Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang secara universal pula harus dilindungi dan dihormati yaitu :19

a. Hak keamanan dan keselamatan b. Hak atas informasi

c. Hak untuk memilih d. Hak untuk di dengar e. Hak atas lingkungan hidup

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah:20

a. Let the buyer beware (caveat emptor) b. The due care theory

c. The prifity of contract

d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat

 

18

 Husni Syawali, op.cit., hlm. 37   19

 Ibid, hlm. 39

20

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia 2006), hlm 63 


(34)

  1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin inisebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.

2. The due care theory

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, tampak si penggugat (konsumen) harus membentangkan bukti-bukti. Si pelaku usaha (tergugat) cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari si penggugat barulah ia membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian (negligence). Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya sipelaku usaha dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial,


(35)

 

psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini.

3. The prifity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi

(contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidamg konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortius liability). Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha.

4. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat

Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.

Dalam etika bisnis, dikenal adanya etika pengakuan yang melihat adanya asimetri dalam tugas dan kewajiban manusia, disamping itu terdapat teori pemeliharaan hak yang mengakui tanggung jawab produsen atau penjual atas produk sebagai hasil hubungan yang asimetri antara pihak konsumen (yang lebih lemah) dan pihak produsen atau pemasok


(36)

         

(yang lebih kuat). Teori ini melindungi hak-hak pihak yang lemah dan mendukung gagasan suatu masyarakat moral yang mempraktikkan keadilan.21

Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu kita melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia.22

Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha, namun kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen (yang diatur dalam Pasal 4 UUPK ), lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (yang dimuat pada Pasal 6 UUPK ), dan kewajiban pelaku usaha (dalam Pasal 7 UUPK ) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang dimuat dalam Pasal 5 UUPK)23

.

 

21

 Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm. 88

22

Husni Syawali, op.cit, hlm. 8 23

Lihat Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999


(37)

         

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen, diantaranya :24

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK 25

. Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan pokok yaitu: 26

 

24

Lihat Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 25

 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 26


(38)

         

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.

Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 Undang-Undang Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk, berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi masyarakat luas. 27

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan undang-undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen28

.

Tanggung jawab untuk mengganti rugi tidak saja karena dilakukannya perbuatan melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati, bahkan tanggung jawab itu tidak hanya karena perbuatan atau tidak berbuat pelaku sendiri, tetapi juga karena

 

27

Ibid hlm. 42 28

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2008), hlm. 3


(39)

         

perbuatan atau tidak berbuat dari orang-orang yang menjadi atau termasuk tanggung jawabnya (lihat Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata)29

Tanggung jawab dalam hukum dibagi ke dalam asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fauld) dan tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fauld). Pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang ia tuntut untuk membayar ganti rugi tersebut (tergugat), sedang pada asas tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault)

seseorang bertanggung jawab begitu kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan pada dirinya. 30

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fauld) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.31

Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak

 

29

 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: CV. Triarga Utama, 2002), hlm 77.

30

 Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hlm. 82


(40)

         

pidana. Undang-undang Perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban produk oleh pelaku usaha (product liability).32

Tanggung jawab produk (product liability) adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (prosessor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual dan mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.33

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dicantumkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berisi “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Dalam istilah “melawan” melekat pada sifat aktif dan pasif. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan perkataan lain apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga

 

32

Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di

Indonesia”.(Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996), hlm. 6 33

Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan di Indonesia,


(41)

         

menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badanya.34

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok yaitu :

a) Adanya perbuatan b) Adanya unsur kesalahan c) Adanya kerugian yang diderita

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

1. Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, Pengoplos beras dalam hal ini diartikan sebagai pelaku usaha. Kedua, Perlindungan konsumen. Dari uraian kerangka teori di atas, peneliti akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain :

 

34


(42)

         

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.35

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan36

3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 37

4. Beras adalah butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (biasa disebut sekam atau

epicarp)38

, atau gabah yang telah dikupas dan telah terbebas dari bekatul.39

5. Produk adalah barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut.40

6. Dari penelusuran literatur yang ada, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda41

. yaitu

“oplossen“ 42

artinya; melebur, larut dan meluluh. Di Indonesia kata oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur.

 

35

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 36

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 37

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 38

 Khudori, op.cit., hlm v 39

Abdul Waris Patiwiri, Teknologi Penggilingan Padi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 19

40

 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1996) hlm. 254

41

http://www.sekolahvirtual.or.id/2009/10/kata-serapan-dari-bahasa-belanda-dalam-bahasa-indonesia-k-o/, diakses tanggal 11-04-2010


(43)

 

      

7. Mencampur adalah : menyatukan atau mengumpulkan (dua atau tiga macam benda dsb) supaya bercampur43

atau memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain44

. 8. Perum BULOG adalah Perusahaan Umum BULOG yang selanjutnya disebut

Perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1969, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.45

9. Standar mutu beras adalah persyaratan standar mutu beras berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6127-1999 yang terdiri dari komponen umum dan komponen fisik beras.

10.Yang dimaksud dengan komponen umum adalah : a. bebas hama dan penyakit,

b. bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, c. bebas dari campuran bekatul dan

d. bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan, Sedangkan komponen fisik beras ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

 

42

 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)

43

 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976) hlm. 182 44

 http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses 10 Maret 2010. 

45


(44)

 

Tabel.1. Komponen Fisik beras sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01- 6127-1999 .

No Komponen

Mutu

Satuan Mutu

I

Mutu II

Mutu III

Mutu IV

Mutu V

1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 100 95 85

2 Kadar Air (mak) (%) 14 14 14 14 15

3 Beras Kepala (min) (%) 100 95 84 73 60

4 Butir utuh (min) (%) 60 50 40 35 35

5 Butir Patah (mak) (%) 0 5 15 25 35

6 Butir Menir (mak) (%) 0 0 1 2 5

7 Butir merah (mak) (%) 0 0 1 3 3

8 Butir kuning/rusak (mak) (%) 0 0 1 3 5

9 Butir mengapur (mak) (%) 0 0 1 3 5

10 Butir asing (mak) (%) 0 0 0,02 0.05 0,2

11 Butir gabah (mak) (%) 0 0 1 2 3

12 Campuran Varietas lain (mak) (%) 5 5 5 10 10

Sumber: Abdul Waris Patiwiri, Teknologi Penggilingan Padi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 20-21


(45)

  G. Metode Penelitian

1. Tipe atau jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat ahli hukum maupun praktisi hukum.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Sumber data tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu dari data bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan dasar yaitu batang tubuh Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang-Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, badan hukum yang tidak


(46)

         

dikodifikasikan seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai badan hukum primer misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian hukum, dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum.

Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus (hukum), ensiklopedia dan lain-lain46

3. Teknik Pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.

 

46

   Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2001) hlm. 116-117


(47)

  4. Metode analisis data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut permasalahan yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat. Pendekatan yuridis normatif artinya data penelitian dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut di atas, maka dapat dilakukan penafsiran dengan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang diajukan dalam tesis ini secara lengkap.


(48)

         

BAB II

TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengoplosan Beras

Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dibutuhkan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup. Dengan demikian pengadaan dan pendistribusian makanan tersebut harus dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/Men.Kes/Per/IV/89 tentang Pendaftaran Makanan, Makanan diartikan sebagai “barang yang dimasudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta semua bahan yang digunakan pada produksi makanan dan minuman”.47

Pengertian pangan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan:48

“ (1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari: sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.

Berkaitan dengan pemenuhan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup, utamanya dalam pemenuhan pangan pokok yaitu beras, tidak tertutup kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari pelaku usaha dalam menghasilkan

 

47

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/men.Kes/Per/IV/89 Tentang Pendaftaran Makanan. 

48


(49)

 

lain50

.

       

beras tersebut sehingga beras yang diterima oleh masyarakat tidak memenuhi syarat : aman, bermutu dan bergizi, akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sebagai antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati pemilihan beras yang akan dikonsumsi.

Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan tentang pengoplosan beras, maka perlu diberikan pembatasan pengertian tentang “oplos”. Dari berbagai literatur yang ditelusuri, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda49

, yaitu : “oplossen” yang berarti “larut”. Di Indonesia istilah “oplos ” sering dikonotasikan sebagai usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur adalah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang

Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata “blending”, merupakan usaha yang biasa dilakukan di dalam perdagangan, khusunya komoditi pertanian untuk mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun kualitas yang diinginkan konsumen, penggilingan besar melakukan blending untuk mendapatkan kualitas dan harga yang tepat dan memakai merek atau brand tertentu untuk memudahkan pemasarannya. Demikian juga yang dilakukan pedagang besar yang menampung beras dari berbagai daerah, melakukan

blending untuk menghasilkan rasa, kualitas dan harga yang tepat bagi konsumen.51

Proses pelaksanaan pengoplosan beras dapat digambarkan sebagai berikut:

 

49

Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)

50

Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses tanggal 10 Maret 2010

51 

Rahardi Ramelan, “Oplos Atau Blending”, http://www.leapidea.com/presentation?id=93. di akses tanggal 08 Februari 2010


(50)

Beras  

Kualitas A  ‐‐‐‐‐‐‐ x‐‐‐‐‐‐‐ 

Beras 

Kualitas B  ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐> 

Beras  Kualitas C        dicampur    menghasilkan   

Menteri Perdagangan dalam kunjungannya ke Pasar Induk Beras Cipinang, 21 Januari 2010, menyatakan apabila pedagang melakukan pencampuran beras, pelaku usaha harus tetap berpatokan kepada undang-undang perlindungan konsumen. Apabila pedagang mencampur beras berkualitas medium tiga dengan beras berkualitas medium satu, pedagang harus menjual beras dengan beras kualitas medium dua, jangan lantas menjualnya dengan harga medium satu sehingga kembali mengorbankan konsumen.52

Nurul Khumaida, menyebutkan pemberitaan di salah satu majalah Jepang, dimana Polisi Jepang menangkap pedagang beras karena dituduh melakukan tindakan kriminal yakni mencampur beras yang berbeda kualitas. Pengoplosan itu diduga dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yakni dengan cara mencampur beras kualitas A dengan beras kualitas B, lantas hasil pencampuran tersebut dijual dengan beras Kualitas A. Polisi Jepang dengan mudah menangkap pelaku usaha tersebut karena polisi dengan gamblang dapat membedakan beras kualitas A dengan beras oplosan.53

B. Perbuatan yang dilarang Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dan Perundang-undangan lainnya

Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara umum hanya menyebut dan mengatur barang dan atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

      

52

 http://anindityo@ mediaindonesia.com, diakses tanggal 07 Mei 2010 

 

53

  Nurul Khumaida, http://www.mail.archive.com/iasa@yahoogroups.com/msg00341.html, diakses tanggal 12-04-2010


(51)

 

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan, tidak sesuai dengan berat bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu tingkatan, komposisi, proses pengolahannya, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal yang dicantumkan dalam label, tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat, tidak mencantumkan informasi dan /atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang tersebut


(52)

         

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Selain perbuatan yang dilarang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yaitu Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 18, serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada Bab II Pasal 5, yang menyebutkan beberapa larangan bagi pelaku usaha, sebagai berikut:54

1. UU Nomor 7 Tahun 1996 a. Pasal 8

Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran makanan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

b. Pasal 10

A. Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

B. Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). c. Pasal 18:

(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.

 

54


(53)

         

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.

2. PP. Nomor 69 Tahun 1999, Bab II Pasal 5:55

(1) Keterangan dan atau pernyataan tentang pangan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya.

(2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.

Undang-Undang perlindungan konsumen secara jelas menyatakan beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu pada Bab IV pasal 8 s/d Pasal 17 dan jika larangan tersebut dilanggar akan diancam dengan sanksi pidana. Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya; bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Di samping berbagai larangan di atas, masih banyak larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barangnya kepada konsumen, namun secara garis besar, kesemuanya

 

55


(54)

         

adalah mengenai kualitas/kondisi, kegunaan, jaminan atas barang tersebut serta pemberian hadiah kepada pembeli.56

Secara umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya menyebut dan mengatur barang dan atau jasa yang diproduksi atau yang diperdagangkan, Terhadap barang atau jasa tersebut, dapat disimpulkan 4 (empat) parameter perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang atau jasa tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dalam hal memperdagangkan barang atau jasa dilarang memberi informasi (iklan, label, brosur, dan lain-lain) yang mengelabui dan menyesatkan konsumen.

3. Pelaku usaha dilarang melakukan cara menjual obral, undian dan lelang yang mengelabui konsumen.

4. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian atau dokumen.

C. Pengoplosan Beras ditinjau Dari UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dari berbagai parameter perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, tidak tercantum dan tidak disebutkan secara jelas

 

56

Miru Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2008) hlm. 57


(55)

         

bahwa tindakan pencampuran suatu barang yang berbeda kualitas, bertentangan atau merupakan suatu perbuatan yang melanggar undang-undang perlindungan konsumen. Namun pada Pasal 18 ayat 1-2, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan : “ Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan, kecuali pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, Beras yang dioplos harus diuji lagi apakah tindakan tersebut melanggar undang-undang perlindungan konsumen jika ditinjau dari parameter :

1) Sisi standar kualitas beras 2) Sisi informasi

3) Sisi cara menjual 4) Sisi klausula baku

1. Sisi standar kualitas beras

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Pasal 1 angka 6 menyatakan ketentuan yang berkenaan dengan standar mutu makanan/minuman : “standar mutu adalah suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan mengenai nama, bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, komposisi, wadah, pembungkus serta ketentuan lain untuk pengujian tiap jenis makanan/minuman:.57

 

57

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan 


(56)

 

Peraturan Menteri Pertanian RI No. 32/Permentan/OT.140/3/2007 tanggal 12 Maret 2007 tentang Pelarangan penggunaan bahan kimia berbahaya pada proses penggilingan padi, huller dan penyosohan beras pada Pasal 1 disebutkan sebagai berikut: Pasal 1 butir 8 :

(8) Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Pasal 1 butir 9 :

(9) Mutu beras adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap beras

Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan:

a. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat atas mutu dan kemananan pangan.

b. Memberikan ketentraman bathin masyarakat terhadap beras yang dikonsumsi.

Pada Pasal 4 butir 1 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 32/Permentan/OT.140/3/2007 tanggal 12 Maret 2007 disebutkan bahwa :

“ Beras yang diperoleh melalui penggilingan padi, huller dan penyosohan beras dilarang menggunakan bahan kimia berbahaya”. Bahan kimia yang berbahaya tersebut diantaranya adalah :

1. Klorin dan senyawanya 2. Bromat dan senyawanya 3. Asam bromat dan senyawanya 4. Asam salisilat dan garam-garamnya 5. Dietilpirokarbonat (diethylpirocarbonate) 6. Dulsin (dulcin)

7. Kloramfenikol (Chloramphenicol) 8. Nitrofurazon (nitrofurazone0


(57)

         

9. Larutan formaldehyde/formalin 10. Rodamin B

11. Parafarmaldehyde 12. Tiroksan atau 13. Kuning metanil

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan Yang Aman Digunakan, dikenal beberapa bahan tambahan makanan yang aman digunakan yakni telah diizinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), di antaranya adalah : 58

1. Pengawet seperti : asam benzoate, asam propionate, asam sorbet, natrium benzoate dan nisin.

2. Pewarna, seperti: tartrazine

3. Pemanis, seperti ; aspartame, sakarin, dan siklamat 4. Penyedap rasa dan aroma, seperti: monosodium glutamat

5. Antikempal, seperti; aluminium silikat, magnesium karbonat dan trikalsium fosfat. 6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental, seperti : lesitin, sodium laktat, dan potassium

laktat.

Sangat disayangkan apabila terdapat pelaku usaha yang melakukan tindakan pencampuran bahan-bahan kimia yang tidak dianjurkan kedalam makanan sehingga

 

58

 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan Yang Aman digunakan.  


(1)

2. Selain persyaratan yang sudah ada saat ini dalam proses pendirian suatu industri kilang padi, disarankan kepada institusi yang berwenang mengeluarkan ijin pendirian industri kilang padi supaya dapat menambah persyaratan dengan diharuskannya pelaku usaha membuat suatu pakta integritas bahwa industri kilang padi yang dikelola tidak akan melakukan pengoplosan beras yang diikuti dengan berbagai konsekuensi hukum yang diterima pelaku usaha jika melanggar pakta integritas tersebut.

3. Bagi seluruh masyarakat diperlukan sosialisasi melalui penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran hak-hak konsumen sebagai bagian dari hak-hak keperdataannya khususnya mengenai produk pangan/beras yang tidak sesuai dengan ketentuan. Untuk mendukung perlindungan konsumen dalam pemenuhan kebutuhan pangan beras yang sehat, disarankan agar pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tips/cara membeli beras yang baik.

4. Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha beras, dirasakan mempunyai kesulitan, hal ini dimungkinkan karena jumlah pedagang beras dan kilang padi tidaklah sedikit. Jika harus mengawasi satu persatu pelaku usaha beras tersebut, akan membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Untuk menghindari pengoplosan beras disarankan supaya pengawas di setiap pasar-pasar tradisionil secara rutin dan periodik 1 (satu) kali dalam 2 (dua) minggu menyerukan kepada para pedagang supaya jangan sekali-kali melakukan pengoplosan beras serta memasang


(2)

dengan konsekuensi tindakan hukumnya. Demikian halnya pada pasar modern untuk meyakinkan konsumen bahwa beras yang dibeli bebas dari tindakan pengoplosan, pengelola pasar seyogianya memberikan garansi terhadap produk pangan beras tersebut dengan memasang iklan di lokasi penjualan bahwa beras yang dijual bebas dari beras oplosan.

5. Bagi setiap produsen/pelaku usaha supaya lebih meningkatkan mutu pelayanan disertai dengan pertanggungjawaban yuridis dan pertanggungjawaban moral terhadap suatu produk pangan yang dihasilkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 200.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga , Jakarta: Grafindo Persada, 2001

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai

Pustaka, 1996

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988

Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Perdagangan Dalam Negeri ‘ Be a smart Consumer”.

Djumhana Muhammad, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994

Elsi Kartika, Simangunsong Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008

Endang Saefullah wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, Bandung: Eresco, 1991

Etalase, Sikapi Kabar Beras Oplosan dan Tips Memilih Beras yang Baik, http://www.posbelitung.com/home/read/21189/etalase.html, di akses tanggal 10 Januari 2010

Ferdinan Andi, R. Perlu aturan Jelas Atasi Oplos Beras, http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/01/27/9299/perlu-aturan-jelas-atasi-oplos-beras. di akses tanggal 01 Pebruari 2010

Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses 10 Maret 2010. 


(4)

Harianto. “Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras”, dalam Achmad Suryana dan sudi Mardianto. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM FE.UI, 2001

Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia (Jakarta : Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996)

Harun Alrasjid, Hubungan Antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, Jakarta ; Balai Pustaka, 1996

http://www.indotops.com/ diakses, tanggal 24-01-2010

http://www.sekolahvirtual.or.id/2009/10/kata-serapan-dari-bahasa-belanda-dalam-bahasa-indonesia-k-o/,, diakses tanggal 11-04-2010

Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Mandar Maju, 2000 Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009

Khudori, Ironi Negeri Beras Yokjakarta: INSIST Press, 2008 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Miru Ahmadi, Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta , 2008.

Moeimam Susi, Steinhauer Hein , Kamus Belanda-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana , Yogjakarta: Liberty, 1980

Najmuddin Ansarulloh, Dilema Perundang-undangan di Indonesia, http://indoprogress.blogspot.com, diakses tanggal 11-04-2010


(5)

Patiwiri Abdul Waris, Teknologi Penggilingan Padi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/men.Kes/Per/IV/89 Tentang Pendaftaran Makanan. 

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan Yang Aman digunakan.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri Serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri

Philippus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2002

Purnomo Kristianto, Pelaksanaan Oplos Mengoplos Beras, http:// oase.kompas.com diakses tanggal 08 Pebruari 2010 

   

Ramelan Rahardi, Oplos Atau Blending, http://www.leapidea.com Di akses tanggal 02 Maret 2010

Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah. No. 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perum BULOG

Republik Indonesia, Undang-Undang NO. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Republik Indonesia, Undang-Undang NO. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(6)

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006

SK Menteri Perindustrian Nomor 210 Tahun 1979 Tentang Penetapan Izin Industri

Soekanto Soejono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996

Suroso dan Sulastri. “Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras SertaKebijakan Pemerintah Untuk Melindungi Petanani”, Dalam Achman Suryana dan Sudi Mardianto. Bunga Rampai Ekonomi Beras, Jakarta: LPEM, Fakultas Ekonmi UI, 2001.

Susanto Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visi Media, 2008

Toar Agnes, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara. Yogjakarta: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, 1988. Usman Rachmadi , Hukum Arbitrase Nasional, Jakarta : PT. Grasindo, 2002

Usman Rachmadi, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika , Jakarta: Djambatan, 2000

Widianti Arin, Pedagang Beras Minta Undang-Undang Perberasan, http://www.detikfinance.com/, diakses tanggal 02-04-2010

Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2008.


Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 2 21

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 3 13

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 11

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NASABAH DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

1 1 53

Undang Undang No. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 1 45

KEDUDUKAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

0 2 12