Laporan Kasus MASTOSITOSIS KUTAN DIFUS TIPE BULOSA: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

  Laporan Kasus

MASTOSITOSIS KUTAN DIFUS TIPE BULOSA:

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

  

Istiana Fiatiningsih, Paranita Ferronika, Dyah Ayu Mira Oktarina,

Sunardi Radiono, Hardyanto Soebono, Retno Danarti

Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

  ABSTRAK Mastositosis kutan (MK) merupakan penyakit yang ditandai oleh akumulasi sel mast di kulit dan sering dijumpai pada anak. Manifestasi klinis yang menyertai dikaitkan dengan gejala sistemik akibat pelepasan mediator sel mast dan pemeriksaan imunoflouresensi direk negatif. Meskipun tipe bulosa jarang ditemukan, namun sering dijumpai pada mastosistosis kutan difus (MKD) dan terkait dengan keterlibatan sistemik.

  Seorang bayi laki-laki usia 5 bulan diperiksakan ke poliklinik dengan lesi kulit berupa bula tegang multipel berbagai ukuran, di atas kulit normal atau bercak hiperpigmentasi. Pemeriksaan tanda Darier didapatkan hasil positif. Pemeriksaan darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, ultrasonografi abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan bula subepidermal dengan infiltrasi difus sel mononuklear di dermis. Pewarnaan Giemsa dan toluidin blue menunjukkan peningkatan jumlah sel mast dan imunofluoresensii direk menunjukkan deposit IgG dan IgM linear di membran basalis. Berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis dan histopatologi, pasien didiagnosis sebagai MKD.

  Manifestasi klinis penyakit bulosa pada anak sulit dibedakan secara klinis. Pemeriksaan his topa tolo gik d an imunofluor esen sii d iper luka n untuk m eneg akkan dia gnosis. Pada MK, pemeriksaan imunofluoresensii direk seharusnya negatif, sedangkan pada kasus dijumpai deposit IgG dan IgM linear di membran basalis, sedangkan deposit C3 tidak dapat dievaluasi. Menurut penulis hasil pemeriksaan imunofluoresensii direk pada pasien ini non-spesifik sehingga belum dapat disimpulkan apakah kelainan ini mempunyai koinsidensi dengan pemfigoid bulosa juvenilis atau epidermolisis bulosa akuisita. Evaluasi penilaian prognosis MK pada anak penting dilakukan untuk pelacakan keterlibatan sistemik secara rutin.(MDVI 2015; 42/2:70 -78) Kata Kunci: mastositosis kutan difus tipe bulosa – keterlibatan sistemik ABSTRACT

  Cutaneous mastocytosis (CM), mostly found in children, is a disease with an accumulation of mast cells in the skin and associated with systemic symptoms caused by release of mast cell mediators. Histopatological examination shows an increase of mast cell infiltration and negative results of direct imuno flourescence (DIF). Bullous type, a rare variant, is most often found in diffuse cutaneous mastocytosis (DCM) and associated with systemic involvements.

  A 5-month-old boy came to outpatient with blisters and black spots all over body. Physical examination showed multiple tense bullae in a variety of sizes on normal or hyperpigmented patches. Darier’s sign was positive. Routine blood examination, liver and renal function tests, and abdomen ultrasonography were within normal limit. Histopathology showed subepidermal blister with diffuse infiltration of dominant mononuclear cells in the dermis. Giemsa and toluidin blue stains showed positive increasing of mast cells and DIF showed linear deposition of IgG and IgM in the basal membrane. Based on clinical, physical and histopathological findings, the diagnosis was bullous type DCM.

  The clinical manifestations of bullous diseases in children are almost the same, making it difficult to diagnose clinically. Histopathologic and immunofluorescent examinations are needed in establishing a diagnosis. In CM, the DIF should be negative, but in this case showed a linear deposition of IgG and IgM in the basal membrane of the epidermis whereas C3 deposition could

  

Korespondensi : not be evaluated. We conclude this DIF findings was a non-specific results. However, it could not

Gd. Radiopoetra Lt. 3 FK UGM be concluded whether this case had a coincidence with BP or EBA. The prognosis evaluation of

  

Jl. Farmako, Sekip, Yogyakarta children with CM is important in order to know whether it is necessary to track signs of systemic

Telp: 0274-560700, 7493585 involvement.(MDVI 2015; 42/2:70 - 78)

  Email : istiana.f.rahmat@gmail.com Key words: bullous type - diffuse cutaneous mastocytosis - systemic involvement

  PENDAHULUAN

  Mastositosis merupakan penyakit yang ditandai oleh peningkatan dan aktivasi sel mast pada berbagai jaringan, misalnya kulit, sumsum tulang, hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Mastositosis kutan (MK) merupakan penyakit dengan akumulasi sel mast di kulit yang manifestasinya dikaitkan dengan gejala sistemik akibat pelepasan mediator sel mast berupa flushing, gatal, bula, diare, nyeri abdomen, mual, hipotensi, sakit kepala, dan nyeri tulang. Mastositosis kutan sering dijumpai pada anak, sedangkan mastositosis sistemik (MS) sering dijumpai pada dewasa. 1,2 Mastositosis kutan dibedakan menjadi tipe makulopapular atau urtikaria pigmentosa (UP), mastositosis kutan difus (MKD) dan mastositoma kutan. 2 Mastositosis bulosa (MB) adalah varian yang jarang, 1 dapat terjadi pada semua tipe MK dan paling banyak dijumpai pada MKD. 3-6

  Insidens mastositosis diperkirakan 3-7 per 1.000.000 penduduk/tahun. 7 Prevalensi pada populasi sulit ditentukan karena banyak kasus bersifat swasirna dan sering tidak terdiagnosis. Prevalensi pada anak diperkirakan 5,4 kasus per 1000 anak, 6 dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 1,8:1, 8 dan kejadian dalam keluarga sangat jarang dijumpai. 3 Pemeriksaan imunofluoresensi lan gsun g pada mastositosis menunjukkan hasil negatif. Makalah ini melapor kan satu kasus MKD tipe bulosa den gan pemeriksaan imunofluoresensi langsung positif yang menunjukkan endapan IgG dan IgM linear di membran basalis. Koinsidensi kasus mastosistosis dengan penyakit autoimun bulosa lain seperti pemfigoid bulosa maupun epidermolisis bulosa akuisita (EBA) belum pernah dilaporkan. Pembahasan laporan kasus ini ditekankan pada diagnosis MB berdasarkan klinis, histopatologi dan imunofluoresensi langsung (DIF), serta kemungkinan koinsidensi dengan penyakit autoimun bulosa.

  KASUS

  Seorang bayi laki-laki usia 5 bulan, diperiksakan ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta subbagian Dermatologi Anak dan Genodermatosis dengan keluhan utama lepuh dan bercak hitam pada hampir seluruh tubuh.

  Sejak lahir pada kulit muncul bercak hitam yang tidak gatal, tersebar pada hampir seluruh tubuh dan tidak disertai demam. Keluhan bercak hitam dirasakan semakin memudar dengan bertambahnya usia. Kurang lebih sejak usia 1,5 bulan muncul lenting berisi air di kulit kepala tanpa didahului bidur sebelumnya dan tidak disertai demam. Lesi kulit tersebut sering digaruk sehingga pecah dan menimbulkan luka berkerak. Lesi yang sembuh meninggalkan kulit berwarna merah-keputihan, menebal dan licin. Keluhan lenting menyebar ke area wajah dan hanya sedikit pada badan. Orang tua memeriksakan pasien ke dokter spesialis anak, namun diagnosis tidak diketahui. Pasien diberi krim Ezzera ® dan krim Fuladic ® yang digunakan dua kali sehari, puyer 2x/hari (tidak diketahui kandungan isinya), dan sirup 1x/hari. Pasien beberapa kali kontrol dan mendapat terapi yang sama. Selama pengobatan, lepuh dan lenting tidak muncul tetapi kambuh jika obat habis. Kurang lebih 1 minggu sebelum dibawa berobat ke rumah sakit, keluhan lepuh kambuh dan pasien diperiksakan ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Diagnosis tidak diketahui dan mendapatkan terapi salep racikan yang digunakan dua kali sehari. Keluhan lepuh makin banyak dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga pasien kemudian dibawa ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

  Pasien lahir spontan ditolong bidan dengan berat badan lahir 3,6 kg dan panjang badan 50cm. Pasien diberi ASI eksklusif selama 3 bulan, dan pertumbuhan serta perkembangan dalam batas normal. Pasien merupakan anak pertama dari ibu berusia 24 tahun dan ayah 31 tahun. Riwayat pemeriksaan kehamilan ibu rutin dilakukan di bidan, tanpa riwayat abortus sebelumnya. Riwayat diare lama dan kambuh-kambuhan, riwayat sering muntah, riwayat kejang dan pingsan, wajah merah dan bengkak, serta riwayat konsumsi obat-obatan sebelumnya disangkal. Riwayat keluhan lepuh di badan pada anggota keluarga lain disangkal. Riwayat pernikahan antar saudara atau kerabat dekat pada orang tua dan anggota keluarga lain disangkal.

  Pemeriksaan fisis menunjukkan keadaan umum sedang, tanda vital dalam batas normal, berat badan 6,5 kg. Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali tidak dijumpai. Status dermatologis menunjukkan pada hampir seluruh tubuh tampak makula hiperpigmentasi, multipel, batas kurang tegas, dengan berbagai ukuran antara 0,5cm hingga 3cm. Pada kulit kepala dan badan tampak vesikel- bula multipel, berdinding tegang, di atas kulit normal atau bercak hiperpigmentasi, dengan ukuran bervariasi, diskret sebagian berkelompok. Sebagian lesi vesikel pecah membentuk erosi dengan dasar eritematosa dan sebagian tertutup krusta kekuningan. Pada badan dan kulit kepala tampak plak sikatriks multipel, ukuran bervariasi, dengan gambaran kulit tampak kasar, sebagian dengan plak dan nodus eritematosa multipel diskret (Gambar 1a&b).

  Pemeriksaan tanda Darier menunjukkan lesi urtika (positif). Pemeriksaan tanda Nikolsky negatif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosis banding yang diajukan adalah mastositosis kutan difus (MKD) tipe bulosa,

  chronic bullous disease of childhood (CBDC), pemfigoid bulosa juvenilis, dan epidermolisis bulosa akuisita (EBA).

  Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis ringan (11,5x10 3 /µL) dengan peningkatan hitung limfosit (82,3%), dan anemia ringan (11,6 g/dL).

  Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal dalam batas normal. Pemeriksaan Tzanck tidak didapatkan sel akantolitik, pemeriksaan Gram vesikel didapatkan polimorfonuklear (+)

  

I Fiatiningsih, dkk Mastositosis kutan difus tipe bulosa

  1a 1b

Gambar 1a dan b. Gambaran klinis menunjukkan bula tegang multipel dalam berbagai ukuran di atas kulit normal atau patch hiperpigmentasi.

  Permukaan kulit teraba kasar dengan plak dan nodus eritema multipel serta skar hipertrofi

  dan tidak dijumpai bakteri. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan histopatologi pada lesi bula di punggung dengan pewarnaan hematoksilin- eosin menunjukkan bula subepidermis berisi leukosit polimorfonuklear, eosinofil, sel mononuklear dan eritrosit. Dermis bagian superfisial hingga dermis bawah didapatkan infiltrat sel radang yang difus, didominasi sel mononuklear dan eosinofil (Gambar 2a&b).

  Pemeriksaan tanda Darier menunjukkan lesi urtika (positif). Pemeriksaan tanda Nikolsky negatif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosis banding yang diajukan adalah mastositosis kutan difus (MKD) tipe bulosa,

  chronic bullous disease of childhood (CBDC), pemfigoid bulosa juvenilis, dan epidermolisis bulosa akuisita (EBA).

  Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis ringan (11,5x10 3 /µL) dengan peningkatan hitung limfosit (82,3%), dan anemia ringan (11,6 g/dL).

  Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal dalam batas normal. Pemeriksaan Tzanck tidak didapatkan sel akantolitik, pemeriksaan Gram vesikel didapatkan polimorfonuklear (+) dan tidak dijumpai bakteri. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan histopatologi pada lesi bula di punggung dengan pewarnaan hematoksilin- eosin menunjukkan bula subepidermis berisi leukosit polimorfonuklear, eosinofil, sel mononuklear dan eritrosit. Dermis bagian superfisial hingga dermis bawah didapatkan infiltrat sel radang yang difus, didominasi sel mononuklear dan eosinofil (Gambar 2a&b).

  2a 2b Gambar 2a dan 2b. Pemeriksaan histopatologi dengan HE menunjukkan bula subepidermal dengan infiltrasi difus sel mononuklear di dermis. Gambar 2a perbesaran 40x, dan gambar 2b perbesaran 100x

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 70 - 78

  

I Fiatiningsih, dkk Mastositosis kutan difus tipe bulosa

  Pewarnaan Giemsa dan toluidin blue menunjukkan Pemeriksaan DIF pada kulit normal di punggung positif gambaran akumulasi sel mononuklear dengan granula menunjukkan gambaran deposit IgG dan IgM linear di 2 metakromatik sebagai sel mast (>250sel/mm ) (Gambar 3a&b) membran basalis epidermis (Gambar 5a&b). dan (Gambar 4a&b).

  3a 3b

Gambar 3a dan b. Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Giemsa menunjukkan bula subepidermal dengan peningkatan infiltrasi

difus sel mast di dermis. Gambar 3a. perbesaran 40x dan gambar 3b perbesaran 100x

  4a 4b Gambar 4a dan b. Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan toluidin blue menunjukkan bula subepidermal dengan peningkatan infiltrasi difus sel mast di dermis. Gambar 4a. perbesaran 40x, dan gambar 4b perbesaran 100x

  5a 5b

  Gambar 5a & b. Pemeriksaan imunofluoresensi langsung menunjukkan deposit IgG dan IgM linear di membran basalis. Gambar 5a menunjukkan deposit IgG linear di membran basalis dan gambar 5b menunjukkan deposit IgM linear di membrana basalis.

  Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, diagnosis kerja yang diajukan adalah mastositosis kutan difus tipe bulosa. Dilakukan penghitungan indeks SCORMA, didapatkan hasil 64.

  Pasien diterapi dengan metilprednisolon setara prednison 1,5mg/kgBB/hari yaitu 8mg/hari (pagi), sirup

  cetirizin 1xsendok teh/hari (malam), sirup ranitidin 2x1/2

  sendok teh, kompres betadin 1% dua kali sehari dan krim

  mupirocin dua kali sehari (lesi erosi). Saat pemantauan ulang

  setelah 1 bulan terapi, lesi bula masih sering muncul dan kadang dalam jumlah banyak, dengan indeks SCORMA sebesar 73. Peman tauan ulan g dilakukan un tuk mengevaluasi berbagai faktor pemicu dan diduga salah satunya adalah suhu lingkungan yang panas. Terapi dilanjutkan dan diberikan edukasi untuk menghindari faktor pemicu.

  PEMBAHASAN

  Manifestasi dan prognosis mastositosis kutan pada anak dan dewasa berbeda, sehingga pendekatan identifikasi dan penatalaksanaan kasus pada anak berbeda dengan dewasa. Mastositosis kutan sering dijumpai pada anak dengan manifestasi urtikaria pigmentosa 70-90% kasus, mastositoma 10-35%, dan MKD 1-3% kasus. 9 Diagnosis

  MK didasarkan pada manifestasi klinis, riwayat dan pemer iksaan fisis, pemer iksaan labor atorium dan dikonfirmasi dengan histopatologi, 10 serta tidak adanya tanda mastositosis sistemik. 11 Pada MK tanda Darier positif. 2 Pemeriksaan organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati) diperlukan untuk mencari keterlibatan sistemik. 4,9 Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk mencari kelainan hematologik terkait keterlibatan sumsum tulang. 10 Gambaran histopatologi MK ditandai dengan peningkatan infiltrasi sel mast yang dapat terlihat dengan pewarnaan

  Giemsa, toluidin blue, Astra blue atau pewar naan imunohistokimia triptase atau pewarnaan spesifik dengan anti-kit (CD117). 2,3 Eosinofil dapat menyertai infiltrat sel mast. 10 Pemeriksaan DIF pada mastositosis menunjukkan hasil negatif. 6 Dilepaskannya protease sel mast dalam jumlah yang banyak menyebabkan pemisahan taut dermoepidermal membentuk bula. 12,13 Lesi bula terjadi pada UP sekitar 23% kasus, mastositoma 31% dan MKD sebesar 100%. Pada MKD dapat timbul lesi pada hampir seluruh tubuh (terutama badan dan kepala), kulit tampak leathery/kasar dan menebal dengan aksentuasi pada lipatan kulit (pseudo-lichenified) dan peau-d’orange-like appearance, berwarna coklat kemerahan difus, atau hiperpigmentasi yang menetap. Lesi dapat berupa bula tegang, kadang hemoragik, yang pecah meninggalkan erosi dan krusta yang lebih menonjol dan persisten dibandingkan dengan tipe MK lain. Lesi nodus dan plak sering dijumpai, 4,5,7,11,14 Pada pasien didapatkan keluhan bercak kehitaman yang gatal dan riwayat lepuh pada hampir seluruh tubuh. Riwayat pingsan, flushing, diare berkepanjangan, mual muntah disangkal dan tanda Darier positif. Pemeriksaan status dermatologikus tampak vesikel- bula tegang multipel di atas kulit hiperpigmentasi/normal, sebagian dengan erosi tertutup krusta kecoklatan, sebagian dengan papul-plak dan nodus eritematosa-sewarna kulit multipel diskret. Tidak ditemukan keterlibatan hepar, limpa, limfe, dan kelainan darah. Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Giemsa dan toluidin blue menunjukkan bula subepidermal dengan peningkatan infiltrat sel mast di dermis yang mengarah pada diagnosis MKD tipe bulosa.

  Manifestasi klinis berbagai penyakit bulosa pada anak hampir sama, sehingga diagnosis secara klinis tidak cukup. Pemeriksaan histopatologi dan imunofluoresensi diperlukan

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 70 - 78 un tuk pen egakan diagn osis pasti. 15 Pemer iksaan imunofluoresensi langsung merupakan metode pemeriksaan untuk mencari adanya deposit imunoreaktan (autoantibodi in vivo) pada membran mukosa atau kulit. 16 Pemeriksaan imun ofluoresensi lan gsung mer upakan baku emas penegakan diagnosis penyakit bulosa. 17 Pada kasus dijumpai vesikel-bula tegang, gatal, pada hampir seluruh tubuh, terutama kepala dan badan. Luka yang menyembuh sebagian disertai jaringan parut dan sebagian dengan dispigmentasi-hiperpigmentasi. Manifestasi klinis tersebut masih mungkin sebagai gambaran klinis CBDC, pemfigoid bulosa, dan EBA. Pemeriksaan histopatologi pada kasus juga masih mungkin sebagai gambaran histopatologi CBDC, pemfigoid bulosa, dan EBA dengan ditemukannya bula subepidermal dengan infiltrat eosinofil dan sel mononuklear.

  Gambaran klinis, pemeriksaan histopatologi dan DIF ketiga diagnosis banding tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Pada kasus, hasil pemeriksaan DIF tidak dijumpai deposit IgA linear di membran basalis sehingga diagnosis banding CBDC dapat disingkirkan.

  Patofisiologi terbentuknya bula pada pemfigoid bulosa dikaitkan dengan deposit autoantibodi IgG yang terikat pada antigen BP180 (glikoprotein transmembran hemidesmosom). Ikatan IgG dan antigen BP180 akan mengaktivasi komplemen. Komplemen akan menyebabkan degranulasi sel mast dan penarikan neutrofil dan eosinofil yang akan melepaskan ber bagai mediator inflamasi dan pr oteinase yan g menyebabkan celah subepidermal. Sel mast dilaporkan berperan penting pada patofisiologi terbentuknya celah subepidermal pada pemfigoid bulosa. Selain oleh aktivasi komplemen, degranulasi sel mast disebabkan oleh aktivasi IgE. Pada pemfigoid bulosa, selain IgG autoantibodi IgE juga secara spesifik berikatan pada antigen BP180 pada domain NC16A, sedangkan IgE sendiri berikatan pada reseptor sel mast yang akan menyebabkan degranulasi sel mast. 23-25 Degranulasi sel mast menyebabkan pelepasan berbagai mediator misalnya histamin, slow-releasing

  substance of anaphylaxis (SRSA), eosinophil chemotactic activating factor (ECAF), heparin dan mediator lain yang

  berperan dalam mekanisme tanda Darier. 26 Pada kasus ini peningkatan akumulasi sel mast dermis mungkin sebagai manifestasi MKD tipe bulosa. Selain itu, akumulasi sel mast mungkin juga berkaitan dengan patofisiologi terjadinya celah subepidermal pemfigoid bulosa dengan dijumpainya deposit autoantibodi IgG pada membran basalis. Pada MKD tipe bulosa seharusnya tanpa disertai deposit autoantibodi.

  Pemeriksaan imunofluoresensi lan gsun g pada pemfigoid bulosa dan EBA menunjukkan deposit IgG linear di membran basalis. Pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada EBA lebih banyak dijumpai deposit IgG linear di membran basalis tanpa deposit C3, sedangkan pada pemfigoid bulosa dijumpai deposit IgG disertai dengan C3. 22 Pada kasus, dijumpai juga deposit IgM linear di membran basalis yang dapat ditemukan pada diagnosis banding EBA, tetapi deposit C3 tidak dapat dinilai, sehingga diagnosis banding berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi langsung belum dapat menyingkirkan diagnosis pemfigoid bulosa atau EBA. Pemeriksaan indirect immunofluorecence (IIF) dengan salt-split skin test (SSST) sering diperlukan untuk membedakan EBA dan pemfigoid bulosa yang secara histopatologi/ imunofluoresensi langsung sulit dilakukan. Pada pemeriksaan IIF pemfigoid bulosa dijumpai gambaran autoantibodi IgG terikat pada sisi epidermis dan atau sisi dermis, sedangkan pada EBA IgG hanya dijumpai pada sisi dermis. 27 Pada kasus pemeriksaan imunofluoresensi langsung masih menunjukkan hasil non-spesifik dengan deposit C3 yang tidak dapat dinilai dan masih diperlukan pemeriksaan ulang imunofluoresensi langsung ataupun pemeriksaan SSST lebih lanjut. Oleh karena itu, berdasarkan klinis, pemeriksaan fisis dan histopatologi diagnosis kerja adalah MKD tipe bulosa, namun karena hasil pemeriksaan imunofluoresensi langsung non-spesifik, dan belum dapat disimpulkan apakah kelainan tersebut bersamaan dengan pemfigoid bulosa juvenilis atau EBA. Untk memastikan hal tersebut, diperlukan pemeriksaan ulang imunofluoresensi langsung (C3) ataupun pemeriksaan SSST lebih lanjut, sehingga diagnosis yang tepat dapat ditegakkan dan mempengaruhi terapi serta prognosis penyakit.

  Ter api mastositosis cen der un g sulit kar en a patogenesisnya yang kompleks dan klinis yang heterogen. Menghindari pemicu pelepasan mediator sel mast dan terapi simptomatik untuk mengontrol gejala terkait pelepasan mediator tersebut, 2,9 merupakan dasar penatalaksanaan. Faktor pemicu, meliputi stimuli fisik (panas, dingin, iritasi mekanik pada kulit), stress emosional, 2 obat-obatan (aspirin,

  nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID) lain, alkohol,

  morfin, polimiksin B, amfoterisin B, beberapa obat untuk an estesi gen er al, pewar n a r adiogr afi, dan dekstromethorpan). 2,12 Terapi simtomatik, meliputi antagonis reseptor histamin (H1 dan H2), agen stabilisator sel mast, dan glukokortikoid. Steroid sistemik diberikan pada kasus dengan bula ekstensif. 2 Evaluasi terapi dinilai menggunakan indeks SCORMA dengan rumus A/5+5B+2C/5, yang menilai luas lesi kulit (nilai

  A 0-100%); intensitas lesi pigmentasi, vesikulasi, elevasi, dan pemeriksaan tanda Darier yang positif (0 tidak ada lesi, 1 ringan, 2 sedang, 3 berat; nilai B 0-12); dan gejala subjektif dengan visual analog scale (VAS;0-10) terhadap faktor provokasi, flushing, diare, gatal, dan nyeri tulang (nilai C 0- 50). 1,2,29 In deks SCORMA dapat digun akan untuk mengevaluasi aktivitas penyakit karena berkorelasi dengan kadar triptase serum. 28,29

  Pr ogn osis MK pada umumn ya baik den gan kecenderungan resolusi spontan pada usia remaja. 4,12 Mastositosis dengan awitan pada anak (kurang dari 2 tahun) pada umumnya hanya MK dengan lesi terbatas pada kulit, sedangkan awitan pada dewasa sering berkembang menjadi MS. 9,30 Mutasi c-kit sering dikaitkan dengan

  

I Fiatiningsih, dkk Mastositosis kutan difus tipe bulosa

  Tabel 1. Gambaran klinis, his topato log i, dan imuno fluo res ens i lang sung diag nos is banding C BDC , pemf i go id bulosa juvenilis dan EBA dibandingkan dengan MKD tipe bulosa K rite ria Onset penyakit Keterlibatan kulit/mukosa Keluhan gatal Gambaran klinis Predileksi Histopatologi Imunofluoresensi direk

   Kulit leathery/kasar  Kulit menebal denganaksentuasi pada lipatan kulit (pseudo- lichenified)

  morfin, polimiksin B, amfoterisin B, beberapa obat untuk an estesi gen er al, pewar n a r adiogr afi, dan dekstromethorpan). 2,12 Terapi simptomatik, meliputi antagonis reseptor histamin (H1 dan H2), agen stabilisator sel mast, dan glukokortikoid. Steroid sistemik diberikan pada kasus dengan bula ekstensif. 2 MDVI

  nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID) lain, alkohol,

  Menghindari pemicu pelepasan mediator sel mast dan terapi simptomatik untuk mengontrol gejala terkait pelepasan mediator tersebut, 2,9 merupakan dasar penatalaksanaan. Faktor pemicu, meliputi stimuli fisik (panas, dingin, iritasi mekanik pada kulit), stress emosional, 2 obat-obatan (aspirin,

  Ter api mastositosis cen der un g sulit kar en a patogenesisnya yang kompleks dan klinis yang heterogen.

  keterlibatan sistemik, risiko infeksi dan komplikasi berat. 4,11 Mastositosis kutan pada anak yang menetap hingga remaja akan berkembang menjadi mastositosis sistemik pada 15- 30% kasus. 9,11 Oleh karena itu, evaluasi penilaian prognosis MK pada anak penting dilakukan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan usaha untuk mencari keterlibatan sistemik.

  Tidak dijumpai deposit antigen-antibodi 6 keterlibatan sistemik pada mastositosis dewasa. 4,25,31 Tipe MK juga berpengaruh pada prognosis. 10 Mastositosis bulosa dan MK tipe MKD sering dikaitkan dengan

   Diskolorisasi coklatkemerahan difus / hiperpigmentasi  Sering dengan bula tegang/ hemor agik  Dapat dijumpai nodul dan plak 4,5,7,11,14 Hampir seluruh tubuh 4,5,7,11,14 Bula subepidermal dengan infiltrat sel mononuklear/sel mast (konfirmasi pewarnaan Giemsa, toluidin blue, Astra blue) 2,3

   Gambaran peau-d’orange- like

  c. Mukosa: penyembuhan dengan skar jelas (sering pada anak) 15,17 Mekanobulosa: area ekstensor rentan trauma inflamatori generalisata: area non-pajanan Mukosa: konjungtiva, bukal, ginggiva, palatum, nasofaring, rektal, genital 15,17 Bula subepidermal dengan sel infiltrat campuran (terutama neutrofil dan eosinofil) 15 Deposit IgG linear membran basalis, dengan IgA dan IgM dapat dijumpai, 15 tanpa deposit C3 22 MKD tipe Bulosa Sering pada anak 1,2 Kulit dan/mukosa, gastrointestinal, organ lain 1,2 Sering dijumpai 4,5,7,11,14

  C B D C Usia <5 tahun 15,18,19 Kulit dan/ mukosa 15,18,19 Dapat dijumpai 15,18,19

  b. Inflamatori generalisata: eritema/plak urtika dengan bula-vesikel tegang, penyembuhan milia atau skar ringan (sering pada anak)

  a. Mekanobulosa: non- inflamatori/ inflamasi ringan, vesikel-bula tegang, penyembuhan skar dan pigmentasi

  C3 di membran basalis epidermis 15,17,20 EBA Jarang pada anak 15,17 Kulit dan/mukosa 15,17 Dapat dijumpai 15,17

  Telapak tangan, telapak kaki,wajah dan jarang pada genital, 15,20 60% kasus bula generalisata 15 Bula subepidermal dengan eosinofil

15,17,20

Deposit IgG linear atau

  Jarang pada anak 6,10,20 Usia <18 tahun 15,17,21 Kulit dan/mukosa

15

Sering dijumpai

15,17,21

Bula tegang di atas kulit eritema atau normal, kadang hemoragik 15,17,21

  Abdomen bawa h dan area genital, dapat juga di tangan, kaki, wajah terutama perioral 15,18,19 Bula subepidermal dengan neutrofil, kadang sel mononuklear dan eosinofil. 15,18,19 Deposit IgA linear di dermal-epidermal junction. 15 Juvenile BP

   Plak eritema, makula-papul, urtika  Bentuk bula gambaran targetoid multiforme-like, umbilicated, atau sausage-shaped, tersusun string of pearls, atau cluster of jewels 15,18,19

   Vesikel/bula jernih hemoragik di atas kulit eritema/normal urtika

  Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 70 - 78

  DAFTAR PUSTAKA 1. Lange M, Niedosytko M, Renke J, Glen J, Nedoszyko B.

  24. Leighty L, Li N, Diaz LA, Liu Z. Experimental models for the autoimmune and inflammatory blistering disease, bullous phemphigoid. Arch Dermatol Res. 2007; 299: 417-22

  19. Mintz EM, Morel KD. Clinical features, diagnosis, and pathogenesis of chronic bullous disease of childhood.

  Dermatol Clin. 2011; 29: 459-62

  20. Brockow K, Jofer C, Behrendt H, Ring J. Anaphylaxis in patients with mastocytosis: a study on history, clinical features and risk factors in 120 patients. Allergy. 2008; 63: 226-32

  21. Waisbourd-Zinman O, Ben-Amitai D, Cohen AD, Feinmesser M, Mimouni D, Adir-Shani A. Bullous pemphigoid in infancy: clinical an d epidemiologic characteristics. J Am Acad Dermatol. 2008; 58: 41-8

  22. Smoller BR, Woodley DT. Differences in direct immunofluorescence staining pattern in epidermolysis bullosa acquisita and bullous pemphigoid. J Am Acad Dermatol. 1992; 27: 674-8

  23. Kasperkiewicz M, Zillikens D. The pathophysiology of bullous pemphigoid. Clinic Rev Allergy Immunol. 2007; 33: 67-77

  25. Chen R, Ning G, Zhao ML, Fleming MG, Diaz LA, Werb Z, dkk. Mast cells play a key role in neutrophil recruitment in experimental bullous pemphigoid. J Clin Invest. 2001; 108: 1151-8

  17. Jukic IL, Marinovic B. Significance of immunofluorescence in the diagnosis of autoimmune bullous dermatoses. Clin Dermatol. 2011; 29: 389-97

  26. Surjushe A, Jindal S, Gote P, Saple DG. Darier's sign. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2007; 73: 363-364

  27. Yang B, Wang C, Chen S, Chen X, Zhou G, Tian H, dkk al.

  Accuracy of indirect immunofluorecence on sodium chloride- split skin in the differential diagnosis of bullous pemphigoid and epidermolysis bullosa acquisita. Indian J Dermatol Venereol. 2011; 77: 677-82

  28. Anonim. Mastocytosis in children: a protocol for management.

  Pediatr Dermatol. 2008; 25: 493-500

  

I Fiatiningsih, dkk Mastositosis kutan difus tipe bulosa

  18. Fortuna G, Marinkovich MP. Linear immunoglobulin A bullous dermatosis. Clin Dermatol. 2012; 30: 38-50

  16. P oh la-Gubo G, Hintn er H. Direct an d indirect immunofluorescence for the diagnosis of bullous autoimmune diseases. Dermatol Clin. 2011; 29: 365-72

  Clinical aspects of paediatric mastocytosis: a review of 101 cases. JEADV. 2013; 27: 97-102

  Evaluasi terapi dinilai menggunakan indeks SCORMA dengan rumus A/5+5B+2C/5, yang menilai luas lesi kulit (nilai A 0-100%); intensitas lesi pigmentasi, vesikulasi, elevasi, dan pemeriksaan tanda Darier yang positif (0 tidak ada lesi, 1 ringan, 2 sedang, 3 berat; nilai B 0-12); dan gejala subjektif dengan visual analog scale (VAS;0-10) terhadap faktor provokasi, flushing, diare, gatal, dan nyeri tulang (nilai C 0- 50). 1,2,29 In deks SCORMA dapat digun akan untuk mengevaluasi aktivitas penyakit karena berkorelasi dengan kadar triptase serum. 28,29

  2. Lange M, Nedoszytko B, Gorska A, Zawrocki A, Sobjanek M, Kozlowski D. Mastocytosis in children and adults: clinical disease heterogeneity. Arch Med Sci. 2012; 8: 533-41

  3. Wolff K, Komar M, Petzelbau er P. Clinical an d histopathological aspects of cutaneous mastocytosis. Leuk Res. 2001; 25: 519-28

  4. Lee EH, Kim MR, Kang TW, Kim SC. Diffuse cutaneous mastocytosis with generalized bullae. Ann Dermatol. 2010; 22: 77-80

  5. Al-Ajmi HS, Abdelkader AM, Bash andy BM. Bu llous mastocytosis in an infant: a case report. Kuwait Med J. 2005; 37: 295-8 6. Franca da Costa AL, Carvalho TCB, Lopes de Sousa AV. Bullous mastocytosis in child: case report. An Brass Dermatol. 2005; 80: 603-6

  7. Brockow K, Metcalfe DD. Mastocytosis. Chem Immunol Allergy. 2010; 95: 110-24

  8. Kiszewski AE, Duran-Mckinster C, Orozco-Covarrubias L, Gutierrez-Castrellon P, Ru iz-Maldonado R. Cutaneous mastocytosis in children: a clinical analysis of 71 cases.

  Pr ogn osis MK pada umumn ya baik den gan kecenderungan resolusi spontan pada usia remaja. 4,12 Mastositosis dengan awitan pada anak (kurang dari 2 tahun) pada umumnya hanya MK dengan lesi terbatas pada kulit, sedangkan awitan pada dewasa sering berkembang menjadi MS. 9,30 Mutasi c-kit sering dikaitkan dengan keterlibatan sistemik pada mastositosis dewasa. 4,25,31 Tipe MK juga berpengaruh pada prognosis. 10 Mastositosis bulosa dan MK tipe MKD sering dikaitkan dengan keterlibatan sistemik, risiko infeksi dan komplikasi berat. 4,11 Mastositosis kutan pada anak yang menetap hingga remaja akan berkembang menjadi mastositosis sistemik pada 15- 30% kasus. 9,11 Oleh karena itu, evaluasi penilaian prognosis MK pada anak penting dilakukan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan usaha untuk mencari keterlibatan sistemik.

  15. Sansaricq F, Stein SL, Petronic-Rosic V. Autoimmune bullous diseases in childhood. Clin Dermatol. 2012; 30: 114-27

  9. Castells M, Metcalfe DD, E scribano L. Diagnosis and treatment of cutaneous mastocytosis in children. Am J Clin Dermatol. 2011; 12: 250-70

  10. Hartmann K, Henz BM. Mastocytosis: recent advances in defining the disease. Br J Dermatol. 2001; 144: 682-95

  11. Bulat V, Mihie LL, Situm M, Buljan M, Blajic I, Pusic J.

  Most common clin ical presentation s of cu taneou s mastocytosis. Acta Clin Croat. 2009; 48: 59-64

  12. Canpolat F, Akpinar H, Eskioglu F, Yilmaz D. Bullous mastocytosis in an infant. J Turk Acad Dermatol. 2012; 6: 1261

  13. Kleewein K, Lang R, Diem A, Vogel T, Pohla-Gubo G, Bauer JW, dkk al. Diffuse cutaneous mastocytosis masquerading as epidermolysis bullosa. Pediatr Dermatol. 2011; 28: 720-5

  14. Han naford R, Rogers M. P resen tation of cutaneous mastocytosis in 173 children. Aus J Dermatol. 2001; 42: 15-21

JEADV. 2004; 18: 285-90

  MDVI Vol. 42 No. 2 Tahun 2015; 70 - 78

29. Heide R, Doorn K, Mu lder PG, Tooren enbergen AW,

  31. Lanternier F, Cohen-Akenine A, Palmerini F, Feger F, Yang Y, Beishuizen A, Groot H, dkk. Serum tryptase and SCORMA Zermati Y, dkk. Phenotypic and genotypic characteristics of (SCORin g MAstocytosis) in dex as disease severity mastocytosis according to the age of onset. Plos One. 2008; parameters in childhood and adult cutaneous mastocytosis. 3: 1906 Clin Exp Dermatol. 2008; 34: 462-8

  30. Uzzaman A, Maric I, Noel P, Kettelhut BV, Metcalfe DD, Carter CC. Pediatric-onset mastocytosis: A long term clinical follow-up and correlation with bone marrow histopathology. Pediatr Blood Cancer. 2009; 53: 629-34