Media Massa dan Hegemoni Negara Terhadap

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah
kehidupan manusia. Bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut
pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika
manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa
marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam
bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang di yakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagian
besar manusia, bahkan terkadang termasuk oleh perempuan itu sendiri. Situasi ini lalu
melahirkan sebuah sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem
budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika
Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran
terhadap nilai nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Hegemoni dan dominasi laki-laki di politik dan parlemen dapat dilihat pada minimnya
aktivitas dan politisi politik perempuan yang kondisi tersebut secara linier berakibat pada jumlah
anggota legislatif perempuan di parlemen. Pada pemilu 1999 jumlah perempuan hanya mencapai
9 persen dari keseluruhan jumlah anggota parlemen, sementara pada pemilu 2004 yang telah
ada ketentuan kuota, keterwakilan perempuan hanya mencapai 11 persen. Atas dasar kenyataan

tersebut, maka aktivitas politik bagi perempuan menjadi sangat penting dan mendesak harus
dilakukan sehingga keterpurukan perempuan di politik tidak semakin besar. Keterpurukan
perempuan tersebut harus diubah baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persoalan kuantitas
sebagaimana nyatakan menurut Tumbu Saraswati dan Chusnul Mari’iyah dari wawancara, yang
menyatakan bahwa kuantitas perempuan di parlemen mempengaruhi keberhasilan perjuangan
sebuah isu-isu perempuan
Pentingnya mempengaruhi kebijakan negara agar lebih berpihak kepada kaum
perempuan sudah banyak di pahami oleh kaum perempaun itu sendiri. Akan tetapi Negara
sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan kebijakan tertentu. Dan
pressure terhadap negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki
posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.

2

Dalam konsep Gramsci, keseimbangan posisi tawar antara gerakan perempuan, yang lalu
direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai
masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa
saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul
nilai nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy
menyebutnya sebagai gerakan ‘counter hegemoni’, dimana kaum perempuan mampu tampil dan

elahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan ‘counter hegemoni’, kaum perempuan, sebagaimana di
sebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang
tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media.
Kebutuhan akan dukungan media Industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini
disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima
oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu Media industri juga mampu menempatkan
dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling
ketergantungan yang kuat antara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk
menaikan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara, justru berperan sebagai pendukung
budaya patriarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak
menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan
dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan ‘perselingkuhan sosial
(social conspiration) dengan media industri. Perselingkuhan sosial antara negara dengan media
industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media industri itu adalah bagian dari
masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah institusi yang memiliki ideologi kapital, memang bukan
tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya,
terutama jika mengingat bahwa ideologi kapitalis sangat menekankan pada orientasi financial

(profit oriented). Orientasi financial itu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah
media industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan
pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang
sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang
berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum
perempuan untuk ‘memaksa’ media industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan
mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus

3

mengangkat isu isu perjuangan agar mampu bermain dalam ‘arena pasar’ yang laku jual agar
dapat terus memaksa media industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada
akhirnya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung ide ide yang mereka perjuangkan.
Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menaikan posisi
tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan
dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini
maupun ‘fighting movement’ seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan
untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran ‘melintas tembok’ sekalipun. Pada

konsep ini jelas bahwa ‘ideologi pembebasan’ ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah
daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang
akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi
besar itu adalah ‘collective will’ dari kaum perempuan itu sendiri. Dari sini jelas bahwa
menjadikan ‘collective will’ sebagai sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan
agar ide ide perjuangan kaum perempuan itu memiliki energi yang konstant dan signifikan.
B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Mengubah suatu konstruksi budaya memang tidak mudah, baik pada tataran wacana
maupun praktis. Meski demikian, hal itu tidak lalu berarti bahwa upaya kearah perubahan tidak
bisa dilakukan, bahkan menjadi semakin mendesak untuk memperjuangkan norma-norma hukum
dan kebijakan yang lebih membela perempuan (sensitive gender). Perjuangan ini diharapkan
bisa membuat kondisi perempuan secara perlahan dan pasti

berubah menjadi lebih baik,

terutama di ruang politik, sehingga tidak tertinggal jauh dengan laki-laki. Dengan dilakukan
secara terus menerus mengupayakan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen meningkat
sehingga mencapai jumlah dan kualitas yang memadai dalam setiap setiap komisi di DPR (14
komisi). Peningkatan kuantitas yang juga dibarengi dengan kualitas tersebut diharapkan mampu
mewarnai prilaku politik anggota legislatif laki-laki. Keterwakilan yang seimbang akan menjadi

mendukung proses perjuangan isu-isu perempuan lebih berhasil dan sekaligus representasi dari
sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Dalam perjuangan tersebut, dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama tentu dari
kelompok perempuan itu sendiri dengan mengembangkan collective will berdasarkan kekuatan
subyektif perempuan. Menurut Shvedova (dalam Azza Karam,2001:17), kekuatan subyektif inilah
yang akan

mampu menggerakkan perjuangan yang dilakukan sehingga dapat dikatakan bahwa

4

Affirmative action adalah suatu alat penting untuk memperjuangkan mencapai 30 persen
perempuan secara realistis di parlemen agar perempuan mampu bermain pada tingkat
pembuatan keputusan. Salah satu kekuatan penggerak lainnya adalah media massa. Media
massa pada era aktivitas politik modern adalah element penting dan bahkan sangat menentukan
persepsi politik yang berlangsung. Perjuangan perempuan atau masyarakat sipil, yaitu kelompokkelompok

perempuan,

dalam


upaya

mewujudkan

aturan

legal

peningkatan

keterlibatan/partisipasi perempuan di politik dan anggota parlemen tidak terlepas dari peranan
media massa. Peranan media massa hampir tidak mungkin dinafikan, bahkan seringkali menjadi
kekuatan penekan yang ampuh dalam menggerakkan perjuangan tersebut dalam bentuk
menciptakan opini dan persepsi publik dan masyarakat sipil lainnya sehingga masyarakat atau
kelompok perempuan dapat melakukan kontrol terhadap proses perjuangan yang berlangsung.
Media massa dengan segenap perangkatnya juga memiliki kepentingan dan ideologi
sendiri.

Dalam Konsep Gramcsi, media massa diinterpretasikan sebagai instrument untuk


meyebarluaskan dan memperkuat hegemoni dominan, akan tetapi media sekaligus dapat juga
digunakan untuk menyebarluaskan dan memperkuat ide-ide dan gerakan counter hegemoni.
(Stillo, 1999:10)
Dalam realitas ideologi kapitalisme, hegemoni dan dominasi laki-laki juga berlangsung di
media. Media tidak mungkin melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan institusi pengelola
media itu sendiri.

Akibat kecenderungan media dikelola sebagai industri adalah munculnya

kapitalisme media. Kondisi tersebut diperkuat oleh cara berpikir pengelola media itu sendiri yang
dibentuk oleh pemahaman budaya patriarkhi

mengakibatkan tayangan-tayangan mengenai

perempuan hanya teks seputar rumah tangga dan fashion. Hal ini terjadi bukan hanya pada
tayangan yang besifat hiburan tapi juga pada tayangan berita yang semestinya lebih netral.
Gambaran atau prototipe perempuan pada umumnya lebih kepada apa yang disukai dan laku
dijual oleh media massa yang lalu mempengaruhi tulisan dan persepsi tentang perempuan dan
aktivitas mereka di politik.

Pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah :
1.

Apa konsep-konsep/tema utama yang muncul dari teks media yang berkaitan
dengan kuota 30 % perempuan di parlemen ?

2.

Bagaimanakah posisi / site of struggle media massa dalam proses perjuangan kuota
30 persen keterwakilan perempuan di parlemen ?.

5

3.

Apakah

media

dapat dianggap sebagai alat penyebaran dan penguatan bagi


masyarakat politik (negara, DPR dan partai politik), ataukah dipergunakan sebagai
alat penyebaran dan penguatan perjuangan perempuan (masyarakat sipil) ?
4.

Apakah proses perjuangan ketentuan khusus sementara kuota 30 % dicantumkan
dalam UU Pemilu Tahun 2003 oleh pejuang perempuan (masyarakat sipi) dapat
dianggap sebagai gerakan counter hegemoni ?

5.

Mengapa Ideologi (superstruktur) dan kekuatan subyektif perempuan menjadi hal
penting dalam praktek politik (political praxis) dalam upaya memperjuangkan
hegemony –counter hegemoni ?.

Berdasarkan pertanyaan diatas, maka tujuan penelitian adalah :
1. Menemukan dan mengeluarkan tema/topik utama, mengetahui makna dan konsepkonsep yang menghubungkan alur dari isi teks surat kabar KOMPAS dan Media
Indonesia mengenai perjuangan ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan
di parlemen.
2. Menjelaskan posisi media massa dalam proses perjuangan kuota 30 persen

keterwakilan perempuan di parlemen: menjadi alat penyebaran dan penguatan bagi
masyarakat politik (negara, DPR dan partai politik) atau dapat juga dipergunakan
sebagai alat penyebaran dan penguatan perjuangan perempuan (civil society).
3. Mengungkapkan proses perjuangan ketentuan khusus sementara kuota 30 %
dicantumkan dalam UU Pemilu Tahun 2003 oleh pejuang perempuan (civil society)
sebagai gerakan counter hegemoni.
4. Menjelaskan Ideologi (superstruktur) dan kekuasaan subyektif menjadi kekuatan
dalam praktek politik (political praxis) memperjuangkan hegemony –counter
hegemoni.
C. Signifikansi Penelitian
Dalam tataran praktis, study ini diharapkan dapat memperluas khasanah, tidak hanya
kaum perempuan, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, tentang marjinalisasi dan ketidak
adilan gender yang masih terjadi hampir dalam semua lingkup kehidupan terhadap kaum
perempuan. Study ini juga di harapkan dapat memberi masukan kepada Media, khususnya media
industri, untuk me redefinisi peran dan fungsinya yang berkaitan dengan masalah perempuan
disamping memberi pemahaman kepada kaum perempuan itu sendiri tentang posisi media
sebagai institusi indistri yang hampir mustahil bias melepaskan diri dari nilai-nilai kapitalisme.

6


Secara akademis / teoritis, analisis Gramscian dalam study ini menawarkan ideologi dan
re-konstruksi awal bagi gerakan kaum perempuan untuk meneruskan perjuangan menuju
kesetaraan dan keadilan gender karena affirmative action tentang kota 30 % di parlemen
bukanlah merupakan keberhasilan final dari hakekat tujuan gerakan perempuan itu sendiri.
Pemahaman terhadap posisi media industri dalam studi ini juga di harapkan dapat memberikan
pemahaman baru terhadap konstruksi komunikasi antara gerakan kaum perempuan dengan
media itu sendiri.
Dalam lingkup teknis/metodologis, studi ini merupakan usaha untuk menganalogikan
secara korelatif situasi dan gerakan perjuangan kaum perempuan serta kaitannya dengan
keberadaan media massa melaui analisis Gramscian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
II. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK
Paradigma yang dipakai dalam penelitian mengenai Media Massa dan Hegemoni Negara
terhadap Realitas Perempuan,; Analisis Gramscian atas Proses Affirmative Action, Kuota 30 %
adalah “Paradigma Kritikal” atau Critical Theory, yaitu Paradigma yang bercirikan Ideologically

oriented inquiry seperti pendekatan neo-Marxism, materialism, feminism, participatory inquiry
dan beragam teory lainnya yang termasuk teori kritikal (Guba, 1990:23).
Epistemologinya bersifat transactional and subyectivist, maksudnya adalah peneliti dan
obyek yang diteliti diasumsikan harus saling berinteraksi satu dengan lainnya. Sedangkan tataran
metodologi menggunakan pendekatan dialogic and dialectical, yaitu transactional nature of
inquiry, paradigma ini membutuhkan dialog antara peneliti dan subyek penelitian, dimana
diharapkan dialog yang berlangsung haruslah bersifat dialectikal secara alamiah untuk
mentransformasikan

penolakan dan kesalahpamahaman

sehingga menjadi lebih tercapai

kesadaran untuk melihat dan menciptakan perubahan sebuah struktur. Giroux (1988) menyebut
situasi tersebut dengan “as transformative intelectuals” (dalam Egon C. Guba and Yvonna S.
Lincoln, 1994: 110).
A. Media Massa dalam konstalasi Pertukaran Posisi (war of position) antara Masyarakat politik
dan Masyarakat Sipil
Media massa memiliki kemampuan komunikasi media yang bersifat massal dan seringkali
mengandung unsur ‘doktrin information’ yaitu informasi satu arah yang membuat media menjadi
leluasa untuk mengkonstruksi suatu informasi. Media massa juga dipandang sebagai alat yang
memiliki kekuatan sentral (powerfull) dan sangat dipengaruhi oleh ideologi dominan seperti

7

sistim politik, ekonomi dan budaya perusahaan. Pengaruh ideologi dan sistem kepercayaan
(system belief) media mempengaruhi proses produksi, skala produksi dan difusi komunikasi.
Skala produksi dan difusi komunikasi adalah aktivitas yang selalu dilakukan media dengan segala
perangkat di dalamnya yang berakibat pada ketergantungan media terhadap khalayak mereka
dan sebaliknya ketergantungan khalayak terhadap media massa.
Media mampu menyediakan beragam informasi yang dibutuhkan dan menentukan
pembentukan realitas, pemikiran dan pandangan tertentu tentang dunia dan realitas sosialnya
(Fenton, dalam Taylor,edt. 1999:297). Lebih lanjut dijelaskan oleh Jenny Kitzinger (dalam Greg
Phillo, edt, 1999:16), bahwa media memperkenalkan orang pada fakta, fase-fase kehidupan dan
sejarah dunia atau image yang kesemuanya terkadang menjadi satu serta menjadi alat yang
sangat efektif untuk mengetahui keakuratan informasi yang disajikan.
Media juga merupakan bagian dari industri budaya yang terikat dengan sistem
komunikasi masyarakat yang dikelola sebagai sebuah organisasi industri yang memiliki
kepentingan dan kecenderungan tersendiri. Kepentingan dan kecenderungan media ditentukan
oleh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik lingkungan media tersebut

menentukan

konstruksi kerangka pikir, kerja dan prilaku mengelola media dan media massa.
Media massa memang tidak mungkin melepaskan diri dari nilai, ideologi, kepentingan
dan sistem kehidupan yang ada dimana media tersebut tumbuh dan berkembang. Atas dasar
pertimbangan tersebut, maka media massa dalam pemahaman para ahli Marxist adalah suatu
kekuatan yang mampu menentukan realitas mereka berdasarkan realitas nilai, ideologi dan
sistem yang ada.
Cara media memaknai realitas sangat tergantung pada sistem belief dan ideologi yang
dianut media massa tersebut. Hal itu karena media disamping sebagai institusi bebas, juga
memiliki kontrol terhadap lingkungannya dan sekaligus dikontrol oleh masyarakat, baik civil
society maupun political society, khususnya negara. Kontrol terhadap media sangat tergantung
dari pengaruh kekuatan dominan dalam masyarakat tersebut yang mengakibatkan

sumber-

sumber media teralokasi dan pada akhirnya digunakan oleh struktur kapitalis yaitu mode of
production (Garnham, 2000:27)
Kekuatan

ekonomi

yang

mempengaruhi

produksi

sosial

secara

langsung

ikut

mempengaruhi masyarakat industri, juga ditentukan oleh perkembangan teknologi, pada
akhirnya memperkuat dominasi oleh kelompok dominan dan menjadikan proses tersebut semakin
kompleks.

Proses tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologi yang memberikan

legitimasi kekuasaan. Dalam proses ini Antonio Gramsci menjelaskan bahwa

telah terjadi

hegemoni ideologi dominan. Ideologi sebagai superstruktur masyarakat memproduksi institusi

8

dimana institusi tersebut secara konstan berjuang melalui makna dan kekuasaan. (1999:299).
Ideologi dominan inilah yang kemudian menentukan dan mamaknai realitas sosial, budaya dan
politik masyarakat politik dan masyarakat sipil termasuk didalamnya realitas politik perempuan.
Media dalam konteks tersebut justru berperan menjadi bagian dari kelompok penguasa
dan

borjuis,

yaitu

masyarakat

politik

dan

ideologi

dominan,

sehingga

media hanya

mentransformaiskan satu warna atau kecenderungan realitas dimana realitas tersebut dikuasai
oleh ideologi kelompok penguasa. Situasi ini sesuai dengan Pemahaman media massa menurut
teori-teori Marxist yang berprinsip bahwa media sebagai

‘instrument’,, dan berposisi sebagai

pemelihara apa yang pemilik perusahan komunikasikan dan digunakan untuk mengontrol. Kontrol
dilakukan atas produksi budaya dengan tujuan untuk memelihara ‘’status quo’.
Antonio Gramsci memandang media bukan hanya alat yang dapat dipergunakan oleh
penguasa atau pengelola media dengan nilai-nilai mereka dan mendukung nilai tersebut

(determinictic approach).

Menurut Gramsci (Stillo, 1988:8), media juga ‘dapat’ dimanfaatkan

oleh civil society, yang dalam kasus ini, kaum pejuang perempuan untuk menyebarkan dan
memperkuat ide-ide pembebasan. Semuanya tergantung pada kerja perempuan untuk berupaya
agar media menjadi bagian dari perjuangan yang dilakukan, sehingga isi teks media tidak hanya
sebagaimana kecenderungan selama ini yaitu dalam bentuk yang dipengaruhi oleh konstruksi
budaya patriarkhi dan idealogi kapitalis, tetapi juga dapat muncul alternatif-alternatisf isi dan
tayangan media dengan beragam perspektif sehingga memungkinkan terjadinya perdebatan
‘publik’ tentang ide, konsep dan bahkan ideologi tentang apa yang sesuai di masyarakat. Adanya
kemungkinan ragam alternatif perspektif yang melandasi isi media sangat penting untuk
menciptakan ragam pemahaman atas realitas yang ada. Pemahaman dan pemaknaan realitas
seharusnya tidak hanya dikuasai oleh satu-satunya perspektif yang kemudian sangat mungkin
memaksa masyarakat dan sistem untuk hanya menggunakan dan mengetahui (common sense)
satu perspektif untuk memahai realitas social, budaya dan politik yang terjadi, tetapi tetap harus
terbuka dan tersedia wacana bahwa sebuah realitas dapat dipahami dari beragam perspektif,
juga sebaliknya bahwa perspektif untuk memahami realitas sangat banyak.
Arthur Asa Berger dalam buku Mass Media: A Critical Perspective (2003:13), menyatakan
bahwa media massa telah mampu membawa efek dalam kehidupan manusia karena
manusia/khalayak media menghabiskan jumlah waktu tertentu untuk menikmati media yang
bahkan jadwal khalayak ditentukan oleh media. Walau tetap ada pihak yang menyatakan bahwa
mereka sadar akan kehadiran media massa dan mereka menikmati media massa, namun sama
sekali tidak terpengaruh oleh media tersebut. Kemandirian mereka sebagai individu yang memiliki
subyektivitas rasional tidak membawa dampak sama Media menjadi alat produksi budaya yang

9

paling berpengaruh saat ini karena media massa pada dasarnya merupakan representasi
masyarakat tertentu yang bentuk komunikasi dan ekspresi budayanya ditentukan oleh hubungan
antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. (Murdock dan Golding, 1987:13).
Pentingnya memahami dan memilih komunikasi politik secara tepat akan sangat mampu
menciptakan proses politik untuk mencapai keinginan, baik partai politik, negara maupun
organisasi perempuan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan seperti UU Partai Politik.
UU Pemilu, UU KDRT, UU Buruh Mingran, UU Tenaga Kerja, UU Perkawinan dll.
Thompson (1990:98) menjelaskan bahwa dalam proses konstruksi inAilah media terikat
dengan beragam kepentingan termasuk didalamnya adalah kepentingan media sendiri sebagai
sebuah institusi yang memiliki ideologi dan hegemoni tersendiri memiliki apa yang dinamakan
’coorporate logic’. ‘Coorporate logic’ adalah kerangka pikir, kerangka kerja, tujuan dan yang lebih
hakekat adalah ideologi sebuah perusahan yang mempengaruhi bahkan menentukan aktivitas
perusahan. dominan.
Konstruksi perempuan melalui media massa masih sangat kuat dipengaruhi ibudaya
patriarkhi. Media masih melihat dan memahami perempuan dalam wilayah domestik sedangkan
laki-laki dalam wilayah publik. Produksi media menurut Daniel Chanler dalam artikel Marxist
Media Theory, tampak seperti satu cara, jalan dan sikap yang cenderung mengekspresikan hal
yang seragam (monolithic expression) dari nilai-nilai kelas penguasa, dan menolak perbedaan
bentuk yang muncul.
Hasil penelitian yang dilakukan McNeal (2000:43) menemukan bahwa gerakan
perempuan telah ditolak-mentah-mentah secara luas oleh media khususnya televisi, jika
dibandingkan dengan persoalan-persoalan rumah tangga, perkawinan dan fashion. Tampilantampilan media yang sangat mendukung satu cara pandang tentang perempuan dan realitas
mereka telah menyebabkan banyak kaum perempuan justru memperkuat nilai-nilai yang
merugikan partisipasi dan keterwakilan mereka di politik. Hal itu semua mengakibatkan
diskriminasi sosial dan politik terhadap kaum perempuan. Dan kondisi keterpurukan perempuan
di politik dialami oleh perempuan hampir di seluruh dunia , kecuali hanya dibeberapa negara
Skandanavia. Karennanaya proses produksi media dan konsumsi sangat ditentukan oleh
kepentingan ideologi dominan yaitu kaum penguasa dan ideologi kapitalisme.
Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, media massa adalah alat yang dipergunakan oleh
kelompok elite untuk mengabadikan kekuasaan, kesejahteraan dan status melalui penciptaan
popularisasi filosofi, budaya dan moral mereka. Dengan kata lain media mampu menciptakan,
memperkuat,

mendukung

atau

bahkan

meruntuhkan

sebuah

hegemoni

berdasarkan

kecenderungan institusi media yang juga memiliki ideologi sendiri. Sekaligus media juga dapat

10

dipergunakan untuk menyebarluaskan dan memperkuat ide-ide civil society . (Stillo, 1998: 5)
Tetapi sangat tergantung pada kekuatan civil society itu sendiri untuk memenangkan media
sehingga mendukung aktivitas dan kerja counter hegemoni mereka. Perjuangan

melibatkan

media adalah penting karena memang tidak mungkin menafikan peranan media massa dalam
hampir semua aspek kehidupan terutama di era modern sekarang ini.
Peran media semakin penting karena sebuah realitas tentang baik dan buruk, benar dan
salah dapat terbentuk melalui media massa. Sebagaimana dikatakan oleh Gurevicth (1992:76 )
bahwa media mampu mengkonstruksi images tentang dunia dan kehidupan sosial serta
mendifinisikan realitas sosial. Dalam hal ini, anggota masyarakat atau khalayak mempelajari
tentang dunia sosial dan tentang dirinya dari representasi media tentang masyarakat. Media
massa karenanya sangat mampu mengkonstruksi, memberi identitas dan membentuk imej terhad
seseorang, sebuah kelompok, sebuah negara dll dengan realitas tertentu termasuk bagaimana
media massa memberi identitas pada proses dan peristiwa politik termasuk terhadap seorang
kandidat.

B. Hegemoni – Counter Hegemoni Antonio Gramsci sebagai Kekuatan
Masyarakat Sipil.

Dalam buku ‘Gagasan-Gagasan Politik Antonio Gramsci’ (Roger Simon,1999:11), konsep
Gramsci tentang hegemoni dinyatakan sebagai konsep yang sangat maju. Konsep ini dibangun
atas dasar pengakuan bahwa perjuangan demokrasi rakyat dan lembaga-lembaga parlementer
yang telah terbentuk tidak perlu memiliki karakter kelas. Sebaliknya lembaga-lembaga tersebut
harus menjadi jalur bagi perjuangan politik antara dua kelas utama yaitu kelas pekerja dan kelas
kapitalis. Untuk bergerak maju menuju sosialisme, gerakan buruh harus menemukan cara untuk
mempertautkan perjuangan-perjuangan demokrasi rakyat ini dengan tujuan-tujuan sosialis yaitu
dengan membangun aliansi yang memungkinkan untuk meraih kedudukan kepemimpinan
nasional (hegemoni). Bentuk masyarakat ini yang lalu dinamakan oleh Gramcsi dengan
masyarakat sipil (civil society).
Dalam buku The Sociology of Political Praxis : An Introductionl to Gramsci’s Theory,
Salami (1981:18) dijelaskan bahwa fokus pikiran Gramsci adalah ‘ Problem of Hegemony’.Lebih
lanjut Gramsci berpendapat, bahwa hegemoni berlaku atau eksis di wilayah politik, budaya dan
ekonomi.

11

Konsep ‘civil society’ menurut Gramsci sangat penting dalam proses transisi dan
perubahan yang diperjuangkan (1999:12 ). Gramsci membedakan antara lembaga-lembaga publik
negara dengan masyarakat sipil yang terdiri dari semua organisasi swasta yang bersifat sukarela
seperti serikat pedagang, partai politik, gereja, organisasi masyarakat dan oraginisasi amal.
Hegemoni kelas penguasa dan ideologi dominan dijalankan

dalam masyarakat sipil

dengan mengajak kelas-kelas yang berada di bawahnya (subordinate classes) untuk menerima
nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang telag diambil oleh kelas yang dominan itu sendiri dengan
cara membangun jaringan kerja sama yang didasarkan atas nilai-nilai tersebut. Langkah-langkah
Sosialisme dilakukan dengan membangun hegemoni tandingan (hegemoni-counter-hegemoni)
oleh perempuan sebagai civil society. Langkah ini memerlukan proses reformasi moral dan
ideologi yang panjang. Gramcsi

menyebutkanya ‘ ’perang posisi’

(war of position). (Stillo,

1999:4-8).
Perang posisi menurut Gramsci (Stillo.1999:8) merupakan salah satu cara yang dapat
dipergunakan oleh ciivl society untuk memperjuangkan hegemoni civil society dengan cara-cara
rasional dan lemah lembut atas dasar kekuatan intelektual dan kepemimpinan moral dan itu
hanya tepat dan dapat dilakukan dalam masyarakat yang telah maju dan demokratis.
Kelompok civil society dihasilkan dari aliansi atau hubungan yang di dalamnya terjadi
perdebatan ide untuk memperoleh kekuasaan untuk dipergunakan untuk melawan tirani
kekuasaan masyarakat politik yaitu negara dan partai politik. Perlawanan terhadap hegemoni dan
ideologi dominan dapat dilakukan dengan menguasai sistem konseptual yaitu supersruktur dan
kekuatan politik. Hal ini sebagaimana diyatakan oleh Antonio Gramsci, bahwa kata kunci dari
konsep sistem hegemoni Gramsci adalah ‘ superstruktur dan kekuatan politik. Superstruktur
sangat penting dalam pemikiran Gramsci untuk mempenjuangkan kekuatan masyarakat sipil
karena supertsruktur dipandang sebagai ‘ruh’ atau spirit yang melandasi dan memberi kekuatan
gerakan yang dilakukan untuk melawan hegemoni dominan yang tirani.
Sedangkan kekuatan politik civil society dalam superstruktur adalah kekuatan dan
kekuasaan masyarakat sipil untuk menciptaka hegemoni dan menjadi kekuatan hegemoni baru
yang dihasilkan dari perlawanan terhadap hegemoni dominan sebelumnya. Perlawanan tersebut
berlangsung dalam politik praksis. Maka tidak ada hegemoni tanpa kekuatan politik dalam
superstruktur. Karena disitulah kekuatan individu-individu masyarakat sipil berhasil menciptakan
kekuatan bersama untuk tujuan bersama yaitu melawan hegemoni dominan.
Dalam pergerakan counter hegemoni, perjuangan yang berlangsung menggunakan
pikiran (myths) dan simbol-simbol kelompok dominan untuk megkonstruksi dan memperoleh
kepercayaan dari masyarakat dengan simbol-simbol dan pikiran baru dari kelompok counter

12

hegemoni. Bagi Gramsci hal itu bermakna bahwa kemunculan pemikiran (myths) yang
berkembang membutuhkan wadah dan wilayah yaitu organisasi dan proses itu melingkari atau
meliputi seluruh kelompok yang ada untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan pengalaman
atau kondisi konkrit yang baru dengan hegemoni baru. Hal ini memberikan kepada kelompok
counter hegemoni untuk memiliki kekuasaan yang selama ini hanya dimiliki oleh kelompok
dominan hegemoni.
Lebih lanjut, Gramcsi menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah
hubungan. Hubungan sosial dalam masyarakat sipil dan merupakan hubungan kekuasaan
sehingga kekuasaan

bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan hanya terwujud dalam

aparat negara yang bersifat koersif. Setiap kelompok sosial dapat menjadi anggota hegemoni.
Kelompok lebih rendah hanya dapat menjadi kelas hegemonik dengan cara memperkuat
kemampuan untuk memperoleh dukungan dari kelas dan kekuatan sosial lain. Kelompok ini harus
melakukan aktivitas koorporasi melampaui kepentingan mereka sendiri (dalam Stillo,( 1999:30).
Kepentingan bersama yang digerakkan oleh kekuatan bersama dalam ‘collective will’ untuk
melakukan pernjuangan (class of struggle), yang diharapkan akan dapat menyebarkan ide-ide
yang mendukung kepentingan civil society.
Muhadi sugiono dalam buku Kritik Antonio Gramsci terhadap Dunia Ketiga (1999:32)
menjelaskan bawa teori hegemoni Gramsci lebih merefleksikan sikap Prinsip Hegel mengenai
perwujudan “ruh dan Ide” dalam sebuah masyarakat. Konsep hegemoni oleh Gramsci bisa
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang antara struktur dan superstruktur sebagaimana
dipahami Marxisme Orthodox dan Gramsci menamakan keduanya sebagai ‘ kesatuan dialectical

oposisi’.(1999:33). Lebih lanjut Sugiono (1999:37 ) menjelaskan bahwa dalam batasan dialectical
meliputi civil society dan political society. Teori hegemoni Gramsci mensyaratkan penggunaan
kekuatan memaksa (coersive) hanya sebagai pilihan terakhir ketika kesadaran spontan menemui
kegagalan.
Prison Notebook menjelaskan konsep hegemoni adalah penyempurnaan selanjutnya dan
pengembangan dari gerakan collective wil yang merupakan kekuatan yang menggerakkan
kebersamaan perjuangan. Perjuangan bukan semata tindakan praktis, namun lebih dari itu,
bahwa gerakan counter hegemoni adalah suatu gerakan yang merujuk terutama pada
‘intelektual cultural dan arahan moral’ oleh kelas-kelas fundamental atas organisasi masyarakat
social dan penyebaran konsep baru tentang dunia antara massa popular
Konsep hegemoni Gramsci mengimplikasikan bahwa aplikasinya melibatkan konstalasi
kekuatan sosial politik yang luas yang disebut historical bloc. Hegemoni merupakan fase sejarah
dimana kesatuan organik yang direalisasikan dengan tujuannya adalah untuk mencapai kesatuan

13

(unity) yaitu intelektual, politik dan social. Historical dikarakteristik oleh beragam proses dan
semua kearah kecenderungan terhadap kesatuan. (dalam Salami,1981:136)
Konsep Hegemoni Gramcsi (dalam Hendarto,1993:56) terletak pada diakuinya peranan

‘kesadaran subyektif’ (subyective conciosness) dari para pelaku dalam mencapai hubungan timbal
balik yang harmonis antara civil society dan negara. Kesadaran subyektif ini merupakan
kesepakatan kelompok-kelompok sipil yang membentuk aliansi untuk memperjuangkan ideologi
untuk melakukan perdebatan dengan ideologi dominan yaitu ideologi negara dan kelas penguasa.
Dari upaya tersebut diharapkan muncul alternatif ideologi yang mampu merubah beragam
kekerasan yang dilakukan negara kepada perempuan sebagai civil society selama ini.
Dominasi hegemoni yang menghasilkan kekuasaan dari masyarakat sipil seharusnya
dilandasi oleh kekuatan ideologi, sosial dan budaya, bukan kekuatan fisik karena kekuatan yang
ditopang oleh ideologi, social dan budaya akan menciptakan kekuasaan dan hegemoni yang
diperoleh secara sukarela atau kesadaran penuh masyarakat, bukan kesadaran atau kepatuhan
yang sifatnya spontan. Hal itu dapat dipahami karena Gramsci lebih menyukai hegemoni yang
dilandasai kekuatan ide/ pikiran, social dan budaya dimana kekuasaan dan kepatuhan diperoleh
dengan cara dan jalan yang lembut (soft) melewati perdebatan atau argementasi atas ide-ide
bukan kekuatan fisik yang memaksa.

Kerangka pikir counter hegemoni menjadi budaya, sehingga mendasari tindakan
masyarakat seperti perempuan utuk selalu tidak menghenti-hentinya berada dalam situasi
kritis, mempertanyakan keadaan atau sebuah situasi yang sedang mereka alami serta
sekaligus memmikirkan secara kritis tindakan atau perjuangan yang harus dilakukan
untuk melawan dominasi ideologi yang merugikan perempuan. Sehingga kerangka pikir
hegemoni tidak menguasai, namun membalikkan konsep dan kerja dengan menjadikan
hegemoni civil society sebagai kekuatan dan alat kontrol.
C. Hubungan Superstruktur dan struktur dalam Gerakan Counter Hegemoni
Struktur dan superstruktur secara dialektikal saling berhubungan hingga mencapai
sebuah kesatuan. Semua ide ini terpresentasi dalam pemikiran Gramsci tentang hegemoni.
Hegemoni proletarian adalah suatu tindakan politik kreatif diantara pemikiran Marxist. Gramsci
sangat menekankan pada masalah superstruktur. Dalam suprstruktur, Gramsci menemukan
“kunci” untuk transformasi sosialis. Hegemoni memerlukan/melibatkan kesatuan dialectical antara

14

masyarakat politik dan masyarakat sipil, serta kesatuan dialectical antara struktur dan
superstruktur. (1981:137)
Hubungan struktur dan superstruktur menurut Gramsci tidaklah bersifat mekanistik, tapi
hubungan tersebut seperti sebab (couse) dan efek (effect). Hal itu terjadi sampai proses tersebut
berakhir; sementara kondisi-kondisi material adalah instrumen untuk menuju penciptaan fase
“ethico- political histories”. Bobbio dan Texier, yang telah memformulakan interpretasi Gramsci,
menyatakan bahwa sebenarnya hal itu tidak berbeda dengan bentuk tradisional Marxist Ortodok,
yaitu bahwa struktur socio-ekonomic adalah historical bloc.
Dalam pemikiran Gramcsi, Superstruktur adalah komponen penggerak yang esensial, hal
ini berbeda dengan Marx yang menyatakan bahwa semua kehidupan digerakkan oleh landasan
ekonomi (economic base). Setiap produksi didasarkan atas pertimbangan ekonomi. Bahkan
elemen-elemen superstruktur seperti budaya, social dan ideologi ditentukan oleh landasan
ekonomi. (Stillo,1998-1999:1). Sebaliknya, Gramsci menyatakan bahwa, landasan kehidupan dan
pergerakan adalah superstruktur dan menolak ekonomi sebagai landasan produksi dan
kehidupan. (Mouffe,1979:59). Berkaitan dengan itu Gramsci menyatakan pendapatnya dalam
teori superstruktur (Mouffe:1979:2) sebagai berikut:
Superstruktur memiliki dua level, yaitu civil society dan political.

Masyarakat politik

adalah sebuah institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melakukan perintah, sementara
masyarakat sipil lebih berperan sebagai obyek pasif yang diperintah. Gramsci berpendapat bahwa
superstruktur dipahami sebagai elemen determinisme, sementara element struktur adalah sebab
mekanikal dari transformasi superstruktur. Dalam konteks ini, Rosa Luxemberg menyatakan
bahwa strategi revolusi konkret secara general harus melibatkan partai politik dan sindikasi idea
para pekerja. (1981:129). Bagi Gramsci, revolusi bersifat organik, yaitu prosesnya membutuhkan
aktivitas sadar/ terencana secara terorganisasir serta merupakan bentuk kesadaran dari teori
kritis. Ini berimplikasi bahwa intelektual, budaya dan persiapan politik kelas pekerja diperlukan
sebagai syarat mutlak suksesnya revolusi rakyat.
Dalam upaya menjelaskan pentingnya perjuangan merebut hegemoni oleh masyarakat
sipil terhadap masyarakat politik, Menurut Salami (1981:181), Gramsci menggunakan semua
fenomena dari perspektif filosofis general untuk tujuan kemenangan praktis atas perjuangan
hegemoni. Analisis hegemoni budaya Gramsci adalah political dan historical. Semua fenomena
budaya adalah fenomena historical yang esensial. Karenanya instrumen dalam proses
transformasi di dunia merupakan struktur yang mendukung berkembangnya superstruktur. Jadi
struktur hanya alat untuk melayani superstruktur dalam perjuangan counter hegemoni.

15

D. Negara dan Perjuangan Political Praxis
Menurut Bobbio, pemikiran Antonio Gramcsi tentang negara tidak dapat dilepaskan dari
tradisi pemikiran Marxist. (dalam Mouffe, 1979:26). Untuk itu sebelum menjelaskan konsep
negara menurut Gramcsi, maka kita lihat terlebih dahulu konsepsi negara menurut Marx dan
Engels yang dikenal dengan konsep ‘doctrin of the state’. Dalam pandangan Marx dan Engels :
1.

Negara merupakan

sebuah struktur yang memaksa, sebagai konsentrasi dan

pengelolaan kekerasaan atas masyarakat.
2.

Negara adalah instrument kelompok dominan, dimana eksekutif negara hanyalah
suatu komite untuk pegaturan terhadap kepentingan umum kaum borjuis.

3.

Negara merupakan momen sekunder atas kelompok subordinat, sebagai bentuk
penghormatan civil society terhadap kondisi dan regulasi negara, bukan negara
yang memperhatikan dan mengatur kehidupan masyarakat sipil.

Asumsi inilah yang lalu mempengaruhi pandangan Antonio Gramcsi mengenai negara,
yaitu negara bukanlah akhir dari historical baru, tapi lebih merupakan suatu aparat dan
instrumen.

Lebih lanjut Gramsci menyatakan bahwa negara tidak merepresentasikan

kepentingan universal, yaitu rakyat, tapi lebih mengutamakan kepentingan particular. Negara
bukan suatu institusi permanen tapi hanya merupakan insitusi transitory yang dapat saja negara
tersebut hilang atau hancur karena perkembangan masyarakat itu sendiri (1979:24).
Konsep Gramsci tentang civil society lebih radikal dari Marx. Bagi Marx, civil society
adalah bagian dari struktur ekonomi dari sistem kapitalisme dan

hubungan negara dengan

masyarkat sipil dilandaskan atas hubungan ekonomi. Sedangkan menurut Gramsci (dalam
Salami,1981:139), civil society bukanlah bagian dari struktur tapi merupakan bagian dari
superstruktur. Masyarakat sipil dan masyarakat politik (Civil dan political society) dibedakan
dalam pernyataan dua fungsi superstruktur yang berlangsung dalam dominan group, yaitu civil
society yang dikarakteristikkan atas konsep ‘civil ideological sphere’, dan masyarakat politik yang
dikarakteristikkan atas konsep ‘political ideological sphere’.

Sedangkan bagi Gramsci,

masyarakat sipil tidak hanya membutuhkan proses teori tetapi juga strategi praktis, dimana
keduanya memiliki implikasi penting. Aktivitas kerja dan kesadaran adalah proses yang paling
penting bagi masyarakat sipil untuk memperjuangkan hegemoni dan ideologi mereka.
Kehancuran sebuah negara disebabkan karena ketidakseimbangan antara civil society
dan political society. Negara terkadang sangat mementingkan masyarakat politik, dan cenderung
mengabaikan kepentingan rakyat. Kondisi ini menciptakan hegemoni dominan para penguasa
terhadap rakyat. Dan rakyat menjadi bagian dari ideologi tersebut, walau mereka mengikuti

16

bukan karena kesadaran akan hegemoni tersebut, namun semata karena kepentingan tertentu.
Mengubah kondisi tersebut sangat mungkin dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sipil
dan menggerakkan collective will mereka yang berjuang untuk satu kepentingan yaitu menjadi
kekuatan counter hegemoni.
Gramcsi menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan.
Hubungan sosial dalam masyarakat sipil adalah merupakan hubungan kekuasaan sehingga
kekuasaan bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan hanya terwujud dalam aparat negara
yang bersifat koersif. Setiap kelompok sosial dapat menjadi anggota hegemoni. Kelompok lebih
rendah hanya dapat menjadi kelas hegemonik dengan cara memperkuat kemampuan untuk
memperoleh dukungan dari kelas dan kekuatan sosial lain. Kelompok ini harus melakukan
aktivitas koorporasi melampaui kepentingan mereka sendiri.(1998-1999:30).

Kepentingan

bersama yang digerakkan oleh kekuatan bersama dalam bentuk ‘collective will’ ini dibutuhkan
untuk melakukan perjuangan (class of struggle), yang diharapkan akan dapat menyebarkan ideide yang mendukung kepentingan masyarakat sipil. Hegemoni bukan sesuau yang didapat begitu
saja tapi hegemoni memang sesuatu kondisi yang harus diperjuangkan. (Stillo, 1998-1999:6)
Dalam konteks yang berbeda, negara sebagai sebuah institusi legal dan memiliki
kekuatan dan kewenangan legal untuk mengatur rakyatnya, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
berbagai hubungan kekuatan antara perangkat negara, masyarakat, organisasi sipil, sistem
ekonomi dll. Lenin menyatakan bahwa negara adalah sebuah instrumen penguasa. Dan sebagai
alat represif oleh satu kelas penguasa, negara memiliki kekurangan dan bersifat ekonomistik.
Berbeda dengan Lenin, Gramcsi mengatakan negara adalah suatu proses pembentukan dan
penggantian yang terus berlangsung akan keseimbangan yang tidak stabil (1999:100).
E. Ideologi Perjuangan Politik-Counter Hegemoni
Ideologi adalah serangkaian ide yang

menstruktur pada sebuah realitas kelompok,

sebuah sistem representasi atau suatu tanda (code) makna tentang bagaimana individu dan
kelompok memahami dunia. Para ahli kritikal percaya bahwa tidak ada ideologi dominan, tapi
yang ada adalah dominan kelas dalam masyarakat yang mereka sendiri mengalami perjuangan
diantara yang ada. (Littlejohn, 1996:229).
Ideologi sebagai sebuah sistem ide dinyatakan juga oleh Gramcsi, walau ia
menyatakan bahwa ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Lebih lanjut Gramsci menjelaskan
bahwa ideology adalah ‘ruh’ atau spirit yang menjadi penggerak dalam membangun kekuatan
untuk perjuangan melawan tirani dari hegemoni ideologi dominan. Sistem itu sendiri terbagi dua,

17

yaitu sistem yang berubah-ubah (abitrary system) yang dikemukakan oleh intelektual dan ahli
filosof tertentu dan sistem ideologi organik historis ( historically organic ideologies), yaitu ideologi
yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Sistem ideologi historis

memiliki keabsahan

psikologis. mengatur manusia, dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak,
mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya. (Simon,
1999:83).
Negara dan lembaga negara adalah kekuatan yang memiliki ideologi yang dinilai represif
karena kewenangan yang mereka miliki. Kewenangan tersebut cenderung dipergunakan untuk
mendukung kelanggengan ideologi dan hegemoni kelompok dominan baik negara maupun kaum
kapitalis dalam struktur ekonomi dan menimbulkan kekerasan bagi masyarakat subornasinya.
Kewenangan yang dimiliki negara cenderung bersifat tertutup dan jarang memberi kesempatan
kepada masyarakat sipil untuk mendapatkan hak-hak mereka dengan baik. Perubahan ideologi
dan kehidupan praktis menurut Gramsci hanya akan berlangsung dengan baik dalam politik
praktis. Jadi ide dan konsep perjuangan harus diperjuangkan dalam tindakan praktis, sehingga
perubahan dapat terjadi baik dalam tataran ideal maupun praktis.
Untuk perjuangan mengubah persepsi tersebut, maka diperlukan perjuangan counter
hegemoni masyarakat sipil yang kuat sehingga masyarakat sipil atau dalam konteks ini
perempuan memiliki kekuatan

kontrol atas diri mereka dengan kekuatan sendiri. Karena itu

dalam proses tersebut membutuhkan arena political praksis yang memungkinkan perubahan
terjadi bukan hanya pada tataran ideologi, melainkan juga pada tataran praksis. Perjuangan yang
melakukan perubahan kritis atas realitas praksis kondisi perempuan yang mengalami diskriminasi
politik disebabkan oleh kekerasaan yang dilakukan oleh negara.
F. Kekuasaan dan Subyektivitas Perempuan dalam Gerakan Counter Hegemoni
Heliwel dan Hindes menjelaskan bahwa kekuasaan (Power)

adalah beberapa entitas

yang bersifat kuantitas, untuk memperoleh lebih banyak atau lebih kurang. Dalam pemahaman
ini kekuasaan selalu dilihat sebagai kapasitas-kapasitas untuk memperoleh yang diinginkan
sesuai dengan jalan atau cara yang dimiliki. (dalam Taylor, edt,1997:73).
Persoalan yang sangat penting dalam kekuasaan adalah distribusi kekuasaan. Distribusi
kekuasaan dipahami sebagai analogi kesejahteraan.

Distribusi kekuasaan yang merata akan

mampu memunculkan hubungan yang harmonis antara masyarakat sipil dengan masyarakat
politik (dalam Taylor,1997:76)
Roger Simon mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan kontrol atau kemampuan
mengontrol (1999:83). Kekuasaan, dalam konteks politik, oleh para ahli politik khususnya

18

Machiavelli,-merupakan sesuatu yang cenderung dipertahankan. Pemahaman ini seringkali
menyebabkan penguasa tidak memperdulikan cara yang ditempuh untuk mempertahankan
kekuasaan. Dan nyatanya memang para penguasa dalam upaya mempertahankan kekuasaannya
menggunakan banyak cara termasuk menghalalkan kekerasaan. Politik seperti inilah yang
dicurigai dipergunakan selama orde baru, termasuk apa yang dialami kaum perempuan di politik.
Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan adalah cara membina hubungan-hubungan
antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Kekuasaan harus membawa kesejahteraan bagi
masyarakat sipil dan bukan justru mendatangkan dominasi yang mengakibatkan ketidakadilan
dan diskriminasi politik badi masyarakat sipil. Namun jika kondisi kekerasan, ketidakadilan dan
diskriminasi dialami masyarakat sipil yang disebabkan hegemoni kelompok penguasa dan kaum
borjuis termausk kaum intelektual, maka sebagaimana yang dijelaskan oleh Antonio Gramcsi
dalam konsep hegemoninya bahwa akan selalu ada kekuataan-kekuatan yang dipergunakan
untuk melawan tekanan dan sikap represif penguasa. Dipercayai juga akan ada cara-cara politik
yang kreatif dan cerdas dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mau menerima
hegemoni ideologi yang menindas.
Menurut Gramcsi, kekuasaan tidak hanya dapat diperoleh dan dipertahankan dengan
cara kekerasaan, namun juga mampu diperoleh dan dipertahankan dengan cara soft, yang
disebutnya dengan hegemoni. Kelompok yang selama ini dianggap subordinat penguasa atau
bahkan menentang penguasa dapat saja membangun aliansi baru guna menciptakan hegemoni
baru. Kelas dominan, sebagaimana paham Marxis yang dipergunakan untuk menjelaskan relasi
kekuasaan di masyarakat borjuis,

adalah kelompok dominan yang menggunakan hegemoni

negara dan sumber daya ekonomi serta produksi yang berakibat terjadinya subordinasi
kekuasaan dan sumber daya ekonomi dan produksi bagi kelas pekerja.
Atas alasan tersebut maka perempuan harus memiliki kekuasaan dan kesempatan
menjalankan kekuasaan tersebut sehingga dapat memperoleh pemahaman yang sama dan
kekuasaan yang seimbang dengan laki-laki. Kekuasaan yang dimiliki akan menyebabkan distribusi
kekuasaan dapat seimbang dan merata bagi perempuan dan laki-laki. Namun pada
kenyataannya kekuasaan hanya ada pada kelompok tertentu yaitu laki-laki yang sangat dominan
sehingga berakibat buruk pada realitas perempuan. Dominasi laki-laki dan subornasi atas
perempuan juga karena distribusi kekuasaan yang tidak sama. Laki dengan dukungan sistem
patriarchal yang selama ini secara sosial dan budaya mendukung mereka dengan leluasa
menciptakan realitas yang tetap merugikan perempuan. Pemahaman dan perlakuan diskriminatif
dan ketidakadilan atas perempuan kekal dengan beragam bentuk yang

terkadang upaya itu

tanpa sadar didukung oleh perempuan sendiri, keluarga bahkan kekuasaan negara.

19

Buku Gender in Political Theory, Judisth Squires (1999:23) menyatakan pentingnya
politik bagi perempuan dengan ungkapan yang sangat terkenal yaitu “personal is politics”. Politik
harus dipahami oleh perempuan sebagai suatu unsur yang sama pentingnya dengan unsur lain
dalam kehidupan perempuan, Karena pada dasarnya semua hal yang berkaitan dengan
kehidupan perempuan selalu berkaitan dengan politik.
Menyerahkan urusan politik kepada pihak lain yaitu laki-laki sebagai kelompok dominan
yang selama ini menghegemoni perempuan dan melakukan dominasi ideologi sehingga
menyebabkan diskriminasi gender dan ketidakadilan bagi konstruksi pemahaman dan prilaku
terhadap perempuan di segala bidang diperkuat oleh pemahaman budaya patriarkhi. Menurut
Gadis Arivia (1999:40), pemahaman demikian rupa bahkan terjadi diseluruh dunia termasuk
Indonesia yang menjalani politik patriarkhi. Politik Patriarkhi merupakan turunan dari karakteristik
negara patriarkhi yang mengedepankan kepentingan laki-laki yang juga bekerja atas dasar nilainilai patriarkhi. Dominasi laki-laki terjadi dalam semua bidang kehidupan, baik politik, social,
budaya, agama dan lain-lain.
Atas alasan tersebut, perempuan harus memiliki power untuk mengubah realitas yang
merugikan mereka dan menciptakan realitas baru yang adil dan setara. Perubahan dapat
dilakukan dengan aktif di politik dan memperoleh kekuasaan serta menjadi bagian dari politik
praktis, bagian dari proses pengambilan keputusan, memastikan beragam kebijakan dan undangundang tidak diskriminatif serta mendukung realitas perempuan, dan yang terpenting adalah
mampu melakukan kampanye dan sosialisasi pemahaman bahwa realitas perempuan selama ini
merupakan konstruksi laki-laki adalah bukan realitas perem