RUSIA INDONESIA Dan Perbandingan Diferensias
RUSIA – INDONESIA : Perbandingan Diferensiasi Agama
Masyarakat dan Kaitannya dengan Upaya Negara Mengatasi
Disitegrasi Nasional.
disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Perbandingan Politik
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Jahja Muhaimin
Suci Lestari Yuana, S.IP, MA
INA LAILATUS SIAMI
12/328624/SP/25009
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara dan sudah menjadi
fungsi negara untuk melindungi hak-hak warganya.
Aturan-aturan universal seperti
HAM memainkan peran penting sebagai salah satu instrumen yang memastikan
terjaganya hak-hak warga negara dan dijalankannya fungsi negara untuk memenuhi hakhak tersebut. Meskipun demikian, di luar ranah hukum, kehidupan beragama yang sehat
dalam suatu masyarakat plural dan demokratis menuntut dikembangkannya pula etos
hubungan antar pemeluk agama yang baik sehingga tak memicu timbulnya disintergrasi
negara.
Bagi Indonesia, peristiwa revolusi serta dampaknya yang terjadi di Rusia dan
disintegrasi yang terjadi di Uni Soviet patut dijadikan cermin bagi kelangsungan bangsa
dan negara Indonesia sendiri. Karena kejadian-kejadian itu mempunyai pola-pola dan
kecenderungan yang bisa dipelajari sehingga apabila pola dan kecenderungan itu terjadi
di Indonesia, maka peristiwa serupa juga dimungkinkan akan terjadi di Indonesia.
Tentang kekhawatiran munculnya disintegrasi bangsa akibat tidak adanya
toleransi antar umat beragama, adalah salah satu tantangan bagi negara multikulturalisme.
Nilai-nilai lama sejarah yang mengandung paksaan bahwa orang harus bersatu dan
seragam tak dapat lagi digunakan. Semantara keragaman sosial budaya dan agama dalam
satu negara menjadi fakta yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, ada kesamaan pola
tentang setting historis bangsa Indonesia dengan bangsa Rusia, terutama tentang
keragaman etnis, bahasa, budaya serta agama dalam masyarakat. Sehingga, penulis ingin
memaparkan lebih dalam tentang keragaman agama di Indonesia pasca terjadinya
reformasi dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet serta membandingkan ancaman
disintegrasi bangsa di kedua negara.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan diferensiasi agama dalam masyarakat di Indonesia
pasca terjadinya reformasi dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan kaitannya dengan
upaya pemerintah menghadapi ancaman disintegrasi bangsa?
2
1.3
Landasan Konseptual
1.3.1
Multikulturalisme dan Pluralisme
Sebagaimana diungkapkan oleh Kymlicka, masyarakat modern dewasa ini
semakin sering diperhadapankan pada berbagai macam kelompok yang menuntut
pengakuan atas identitasnya, dan diterimanya perbedaan kulturalnya masingmasing. Hal inilah yang biasa disebut sebagai tantangan multikulturalisme.
Multikulturalisme sendiri sebenarnya mencakup berbagai bentuk pluralisme
budaya yang berbeda, masing-masing memiliki tantangannya sendiri-sendiri.
Keterangan ini sebenarnya mau menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan
multikultur merupakan salah satu bentuk dari pada pluralisme, dalam hal ini
pluralisme kultural. Pluralisme atau kemajemukan merupakan sebuah fakta yang
tak terelakan dalam kehidupan manusia. Berdasarkan fakta ini, persoalan
mengenai tercapainya suatu masyarakat yang beradab dalam kewargaan yang
inklusif (terbuka) merupakan sebuah problem universal.
Masyarakat yang pluralistik hanya dapat ditata secara etis apabila keadilan
dinomorsatukan terhadap pandangan-pandangan tentang tujuan hidup manusia.
Prinsip-prinsip keadilan harus netral terhadap keyakinan-keyakinan tentang hidup
yang baik dalam arti bahwa orang atau kelompok orang tidak ada yang
didiskriminasikan hanya karena kekhasan keyakinan, cita-cita moral dan
religiusnya dan bahwa prinsip-prinsip itu oleh seluruh masyarakat dapat diterima
secara adil, jadi tidak hanya berdasarkan pandangan komunitas tertentu tentang
apa yang baik.
Multikulturalisme merupakan pluralisme budaya. Dengan kata lain
pengakuan akan kepluralan merupakan gagasan penting bagi multikulturalisme.
Lebih
jauh,
multikulturalisme
merupakan
perangkat
gagasan
yang
memperjuangkan “politics of recognition”. Yakni, bentuk pengakuan terhadap
setiap entitas kultural yang ada, khususnya yang terpinggirkan dan tidak berdaya.1
1
Will Kymlicka, 2002, Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin), LP3ES ; Jakarta,.
3
1.3.2 Disintegrasi Negara
Salah satu yang menjadi hambatan negara untuk maju ialah adanya konflik
internal yang berupa gejala separatisme hingga ancaman disintegrasi negara.
Seperti yang diungkapakan Samuel P. Huntington (1993) bahwa konflik antar
peradaban tidak lagi disebabkan oleh faktor - faktor ekonomi, politik dan ideologi,
tetapi justru dipicu oleh masalah – masalah suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan
dengan runtuhnya struktur politik negara – negara Eropa Timur. Intensitas
hubungan dialogis akan semakin berkembang searah dengan semakin terbukanya
betas – batas wilayah administratif suatu negara, lebih – lebih antar berbagai
wilayah kehidupan dalam suatu negara. Hal ini juga merupakan indikator semakin
terbukanya peluang “pertentangan budaya” yang bersumber pada keyakinan
agama. 2
1.4
Argumen Utama
Adanya kemiripan - kemiripan pola, trend, kecenderungan dari perkembangan
sistem sosial politik, ekonomi, dan budaya dari suatu masyarakat akan bisa digunakan
untuk analisis bagi suatu masyarakat lain maupun membandingkannya. Rusia pasca
runtuhnya Uni Soviet sudah mulai mengakui multikulturalisme dengan memiliki
keberagaman agama dalam masyarakatnya. Pemerintah Rusia segera menyadari kekuatan
politik masyarakat beragama yang dulunya hanya sebatas kelompok minoritas, kini telah
bertumbuh semakin banyak. Perubahan sosial masyarakat inipun jika tidak diperhatikan
akan menimbulkan gejolak perpecahan, sehingga
pemerintah pun mengambil jalan
kebijakan dengan memenuhi segala fasilitas yang dibutuhkan bagi kaum beragama.
Ditambah dengan dukungan pemerintah terhadap aliansi keagamaan yang pro terhadap
toleransi antar agama juga menjadi upaya pemerintah untuk meminimalisir konflik yang
sering dihadapi negara multikulturalisme ini.
2
Samuel P. Huntington. 1993.The Clash of Civilization. New York ; Simon & Schuster Publisher.
4
Sedangkan Indonesia, yang memang sudah multikultural dalam hal agama, di era
reformasi kebebasan beragama semakin diakui dan munculnya aliran aliran baru yang
menambah multikulturalisme di Indonesia sendiri. Namun dengan banyaknya agama dan
kultur dalam masyarakat lantas membuat negara ini masih menghadapi gejala
separatisme ataupun ancaman disintegrasi negara. Memang bukan hanya faktor
diferensiasi agama ataupun budaya yang menyebabkan perpecahan negara, namun
dengan mengetahui kondisi multikulturalisme dalam masyarakat,diharapkan pemerintah
dapat mengambil kebijakan politik yang tepat untuk meminimalisir konflik yang dapat
memicu disintegrasi negara. Pemerintah Indonesia yang berideologikan Pancasila
menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai hal yang utama diatas identitas
kebangsaannya. Hal ini membuat upaya menuntaskan masalah disintegrasi nasional
belum maksimal dan mendasar. Kesadaran politik masyarakat akan pentingnya persatuan
dan kesatuan Indonesia masih rendah dan mudah terprovokasi kelompok ekstrimis yang
menginginkan perpecahan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kehidupan Masyarakat Rusia dalam Multikulturalisme Agama Pasca Runtuhnya Uni
Soviet.
Rusia adalah sebuah negeri besar, apalagi setelah menjadi Uni Soviet, dengan
memiliki pengaruh yang luas di sebagian wilayah dunia. Sejarah negerinya yang lama,
telah memberikan arti penting dalam perkembangan ilmu sejarah sosial, politik, ekonomi,
dan budaya baik untuk Rusia sendiri, Uni Soviet, Asia, dan Eropa. Revolusi Rusia 1917
merupakan Revolusi Besar yang berpengaruh pada belahan dunia ini, sehingga menjadi
kajian para ilmuwan yang sangat menarik. Ketika Uni Soviet mengalami kemunduran
ekonomi, negara ini mencoba untuk melihat kembali prinsip-prinsip dasar ideologinya.
Di bawah kepemimpinan Gorbachev, Uni Soviet berusaha untuk bangkit menjadi negara
yang besar di dunia tetapi sekaligus juga menjadi negara yang lebih demokratis. Dengan
digulirkannya Perestroika dan Glasnot oleh Gorbachev, banyak sekali terjadi perubahan
di negeri ini. Tampaknya keinginan Gorbachev untuk menjadikan Uni Soviet menjadi
negara maju justru menjadi sebaliknya dengan terjadinya disintegrasi negeri adidaya ini
hingga terpecah-pecah menjadi negara-negara yang memiliki kemerdekaan sendirisendiri, sekaligus mengakhiri Era Perang Dingin antara Uni Soviet dengan Amerika
Serikat.
Sejak menggulirnya perestroika dan glasnost tahun 1991 yang juga ditandai
dengan bubarnya Uni Soviet, kehidupan agama di Rusia menemukan momentum baru.
Kehidupan agama yang semua selalu ditekan di bawah pemerintahan komunis, sekarang
bagaikan rerumputan kering yang memperoleh siraman hujan,bermunculan ke permukaan
sosial dengan penuh antusias. Masyarakat tidak lagi takut- takut mengenalkan afiliasi
serta identitas etnis dan agama secara terbuka. Negara Federasi Rusia dengan penduduk
sekitar 140 juta, terdiri atas 71,8% Kristen Ortodoks,18% Islam, 1,8% Katolik, 0,7%
Protestan, 0,6% Buddha, 0,3% Yahudi, 0,9% beragam sekte, sisanya tanpa agama. Dari
segi etnis, yang terbesar tentu saja Rusia, sekitar 79,8%. Sedangkan Undang-undang dan
6
konstitusi tentang keagamaan Federasi Rusia sendiri ternyata hanya mengakui empat
agama tradisional, yaitu Kristen Ortodoks, Islam, Buddha, dan Yahudi. 3
Pemerintah Rusia sedang berjuang menemukan identitas dan ideologi bangsanya
sebagai pengikat dan sumber etos baru untuk membangun kembali citra dan peran
dirinya sebagai sebuah negara besar yang mesti diperhitungkan dunia.
Namun,
setidaknya bahasa dan ikatan kewargaan masih kuat sebagai sebuah warga dan bangsa
Rusia, meskipun di dalamnya terdapat puluhan etnis sebagaimana Indonesia. Hubungan
antaragama-agama yang disebut sebagai agama tradisional di Rusia memang berlangsung
cukup harmonis. Masyarakat Rusia yang pluralis dan multietnis disatukan dalam satu
negara Rusia dan mereka memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalahmasalah bersama. Kehidupan beragama di Rusia sampai saat ini belum ternoda dengan
konflik yang berkepanjangan. Semua saling menjaga keseimbangan dan toleransi.
Dukungan dari pemerintah bagi agama-agama yang ada pun sangat kuat. Contohnya bagi
umat muslim di Rusia, pemerintah telah menambah jumlah masjid, memfasilitasi
kegiatan pengiriman calon jemaah haji, serta mendukung aliansi bernafaskan islam.
Dukungan serupa juga dinikmati agama-agama tradisional lainnya di Rusia.
Pemerintah Rusia juga gencar mempromosikan toleransi antar umat beragama
dengan merangkul gereja Kristen Ortodoks, yang menjadi agama terbesar di Rusia, untuk
menyebarkan pesan toleransi kepada semua warga negara. 4 Aliansi muslim di Rusia juga
turut menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Mereka percaya bahwa hal ini
dapat menciptakan suatu kerukunan warga negara dan bisa membuat suatu negara
menjadi maju dan besar. Karena perpecahan di antara warga negara, termasuk
perpecahan agama, justru akan semakin membuat negara terpuruk.
2.2
Kehidupan Multikulturalisme Agama Di Indonesia
Di Indonesia, cita-cita pemerintah untuk menciptakan kerukunan umat beragama
memiliki tujuan yang lebih luas dari kebebasan beragama. Pemenuhan hak untuk
kebebasan beragama dan berkepercayaan menjadi salah satu instrumen terpenting untuk
setidaknya memastikan bahwa batas-batas minimal terkait hak warga negara telah
3
M. Aji Surya. 2012. Segenggam Cinta dari Moskwa : Catatan Perjalanan di Rusia. Jakarta. PT Kompas Media
Nusantara
4
ibid
7
terpenui dengan baik. Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri dengan deklarasi
universal untuk HAM dan meratifi kasi beberapa instrumen pentingnya melalui UU.
Sementara hak untuk beragama dan berkepercayaan dijamin oleh UUD 1945, harus
diakui bahwa dalam masyarakat masih terus ada gesekan di antara para pemeluk agama.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik
Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama
kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya
sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada
juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas.
Kehidupan multikultural di Indonesia sendiri tak bisa lepas dari ideologi yang
mengikat masyarakat negara ini, yaitu Pancasila. Dewasa ini, berbagai macam konflik
antar agama lebih banyak menjadi sorotan publik sehingga Indonesia terkesan sebagai
negara yang intolerance. Cukup penting bagi kita untuk melihat kedalam bagaimana
sesungguhnya kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat kompleks ini berjalan
ditengah keberagaman. Kondisi toleransi umat beragama di Indonesia ini dinilai pasif,
mereka hidup berdampingan namun tidak saling peduli. Berbagai riset yang dilakukan
oleh lembaga nasional kita menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama di
Indonesia sangat buruk. Beberapa golongan masyarakat bahkan secara terang-terangan
menolak hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Sejumlah kasus yang pernah
terjadi bahkan tindakan seorang warga beragama Kristen yang menggedor- gedor pintu
masjid karena merasa terganggu oleh suara loudspeaker masjid pada bulan Ramadan.5
Mengenai kebijakan pemerintah Indonesia, Ketetapan Presiden mengenai
pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama hingga Instruksi Kementerian Agama 6
memang sudah dikeluarkankan terkait pembinaan umat beragama. Hal tersebut belum
mampu mengakomodir lebih dari 237,6 juta penduduk yang diantaranya sekitar 87,1%
beragama muslim, 16,5% kristen, 6,96% katolik, 1,69% hindu dan 0,72% Budda, sisanya
beragama lain.
5
Zainal Abidin Bagir, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Center for Religious and
Cross-cultural Studies. Yogyakarta, Sekolah Pascasarjana UGM
6
Selengkapnya dapat dilihat di http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499
8
2.3
Perbandingan Upaya Pemerintah Rusia dan Indonesia Terkait Ancaman Disintegrasi
Negara
Di atas permukaan, hubungan antar agama - agama yang di Rusia memang
berlangsung cukup harmonis. Antara agama satu dan yang lain, bisa hidup berdampingan
secara rukun dan saling menghormati (peaceful coexistence). Akan tetapi ada pula sisi
lain dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berbeda keyakinan ini. Setidaknya demikian
yang dirasakan penganut agama Kristen non-ortodoks yang mengalami diskriminasi dari
kelompok ortodoks. Demikian pula bagi kelompok Muslim yang oleh pemerintah sering
dicap sebagai kelompok ekstremis, terutama di daerah Rusia bagian selatan. Laporan
lembaga aktivis keagamaan dan HAM beberapa tahun terakhir mengungkapkan
banyaknya kasus kekerasan dengan target kelompok Muslim yang dianggap ikut terlibat
dalam gerakan separatis dan serangan terorisme di berbagai wilayah Rusia. Dengan
demikian tentu beberapa wilayah wilayah di Rusia berkeinginan untuk memerdekakan
diri. Seperti daerah Chechnya dan Dagestan yang memiliki potensi radikalisme.
Pemerintah Rusia menyadari benar bahwa perkembangan keagamaan di
negaranya akan berpengaruh dalam bidang sosial budaya dan perpolitikan. Sehingga
untuk tetap persatuan Rusia sebagai negara berdaulat, negara ini menempuh kebijakan
strategis yakni dengan merangkul semua agama yang ada. Dengan mendukung
pengembangan tempat ibadah dan pendidikan agama di sekolah, serta melibatkan para
aktivis dan aliansi keagamaan yang tergolong minoritas kedalam berbagai kegiatan
nasional Rusia, pemerinah Rusia dinilai cukup berhasil meredam gejolak konflik yang
dipicu oleh faktor multikultural agama. 7 Hampir semua golongan masyarakat Rusia yang
terpisahkan oleh agama kini merasa memiliki peran penting seperti saudaranya, etnis
Rusia dalam kehisupan sosial maupun politik, karena semua mendapat perhatian dari
pemerintah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bangsa dan negara Indonesia yang masih
mengalami krisis multisegi yang bekepanjangan ini, masih harus menghadapi berbagai
gejolak dan goncangan pergolakan sosial dalam bentuk kerusuhan dan kekerasan
masyarakat yang cenderung menjurus ke arah terjadinya disorganisasi sosial dan
7
M Aji Surya dan Frassminggi Kamasa. 2012. Geliat Islam di Rusia Catatan Diplomat Indonesia. Jakarta : PT
Kompas Media Nusantara
9
disintegrasi masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk ini. Tantangan disorganisasi
sosial dan disintegrasi bangsa semakin terasa ketika situasi konflik semakin meningkat
dalam bentuk benturan sosial dengan aksi kekerasan yang bersifat brutal dan destruktif
disertai isu-isu konflik bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
Peristiwa konflik seperti itu terjadi misalnya disintegrasi Timor Timur (1999), konflik
Agama di Ambon dan Maluku (1988-2003), Kalimantan Barat (1998/1999), Aceh (19982005), Poso (2000), Sampang Madura (2012), aksi demonstrasi dengan kekerasan akibat
diskriminasi agama hingga permasalahan rumah ibadah.
Tata nilai yang berlaku di daerah yang di suatu daerah tidak selalu sama dengan
daerah lain. Itulah kondisi sosial budaya negara pluralistik di Indonesia. Sehingga jalan
kebijakan strategis kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah melalui otonomi daerah.
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Darah yang diikuti dengan
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, setiap daerah kini memiliki otoritas sendiri untuk mengatur daerahnya. 8 Namun,
upaya yang diharapkan pemerintah mampu meredam gejolak dan semangat pemecahan
dari NKRI belum cukup menuntaskan masalah. Kualitas SDM yang rendah ditambah
masalah sosial yang menumpuk serta belum adanya pemerataan pembangunan menjadi
faktor konflik sosial yang mengatasnamakan SARA. Pasca reformasi Indonesia juga
dilanda ketidak pastian hukum yang mengubah paradigma masyarakat tentang persatuan
dan kesatuan dengan nilai – nilai demokrasi. Sehingga upaya penumpasan ketegangan
antar umat beragama di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi.
8
Emil Salim. 1999. Otonomi Daerah. Dalam Frans.M.Parera. 1999. Demokratisasi dan Otonomi. Jakarta ; PT.
Kompas Media Nusantara. Hal 163
10
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Faktor agama menjadi faktor ancaman serius dalam dinamika kehidupan
masyarakat majemuk seperti Indonesia ataupun Rusia. Di Rusia, masyarakat beragama
secara demografi disadari oleh pemerintah cukup substansial, sehingga kebijakan yang
diterapkan pun penuh perimbangan dengan keberadaan serta kebutuhan mereka. Kondisi
sosial politik di Rusia juga cukup kondusif bagi para pemeluk agama untuk saling
menjada toleransi antar umat beragama. Aliansi keagamaan juga mendapat dukungan
pemerintah Rusia sehingga gejolak masyarakat yang dapat memicu konflik keagamaan
dapat ditangani pemerintah dengan baik dengan dibantu aliansi keagamaan ini.
Sedangkan yang dapat kita lihat di Indonesia kini masih banyak masyarakat
multikultural yang hidup dalam konflik. Dari hal kecil seperti pembangunan rumah
ibadah hingga aliran keagamaan baru, masih menjadi permasalahan antar kelompok
beragama. Upaya penyelesaian oleh pemerintah pun terlalu berlarut – larut dan hasilnya
gejolak disintergrasi nasional pun masih kerap terjadi. Otonomi yang ditempuh sebagai
jalan kebijakan pemerintah rupanya belum sepenuhnya efektif menumpas gejolak konflik
antar
agama
dalam
masyarakat.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
masyarakat
multikulturalisme di Indonesia cukup kompleks dibandingkan di Rusia. Keberhasilan
relasi keagamaan yang harmonis dan adil harus didukung dengan toleransi umat
beragama yang baik. Dan disini ketegasan serta profesionalitas pemerintah sebagai
pembuat kebijakan menjadi penentu untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat
agar tidak terjadi gesekan antara masyarakat beragama tersebut.
,
11
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Center for
Religious and Cross-cultural Studies. Yogyakarta, Sekolah Pascasarjana UGM
Huntington, Samuel P. 1993.The Clash of Civilization. New York ; Simon & Schuster
Publisher.
Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin). Jakarta ; LP3ES
Parera, Frans.M. 1999. Demokratisasi dan Otonomi. Jakarta ; PT Kompas Media Nusantara
Surya, M. Aji. 2012. Segenggam Cinta dari Moskwa : Catatan Perjalanan di Rusia. Jakarta. PT
Kompas Media Nusantara
Surya, M Aji, Frassminggi Kamasa. 2012. Geliat Islam di Rusia Catatan Diplomat Indonesia.
Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Website Pemerintah Kementerian Agama . http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499
diakses pada 3 Januari 2014
12
Masyarakat dan Kaitannya dengan Upaya Negara Mengatasi
Disitegrasi Nasional.
disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Perbandingan Politik
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Jahja Muhaimin
Suci Lestari Yuana, S.IP, MA
INA LAILATUS SIAMI
12/328624/SP/25009
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara dan sudah menjadi
fungsi negara untuk melindungi hak-hak warganya.
Aturan-aturan universal seperti
HAM memainkan peran penting sebagai salah satu instrumen yang memastikan
terjaganya hak-hak warga negara dan dijalankannya fungsi negara untuk memenuhi hakhak tersebut. Meskipun demikian, di luar ranah hukum, kehidupan beragama yang sehat
dalam suatu masyarakat plural dan demokratis menuntut dikembangkannya pula etos
hubungan antar pemeluk agama yang baik sehingga tak memicu timbulnya disintergrasi
negara.
Bagi Indonesia, peristiwa revolusi serta dampaknya yang terjadi di Rusia dan
disintegrasi yang terjadi di Uni Soviet patut dijadikan cermin bagi kelangsungan bangsa
dan negara Indonesia sendiri. Karena kejadian-kejadian itu mempunyai pola-pola dan
kecenderungan yang bisa dipelajari sehingga apabila pola dan kecenderungan itu terjadi
di Indonesia, maka peristiwa serupa juga dimungkinkan akan terjadi di Indonesia.
Tentang kekhawatiran munculnya disintegrasi bangsa akibat tidak adanya
toleransi antar umat beragama, adalah salah satu tantangan bagi negara multikulturalisme.
Nilai-nilai lama sejarah yang mengandung paksaan bahwa orang harus bersatu dan
seragam tak dapat lagi digunakan. Semantara keragaman sosial budaya dan agama dalam
satu negara menjadi fakta yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, ada kesamaan pola
tentang setting historis bangsa Indonesia dengan bangsa Rusia, terutama tentang
keragaman etnis, bahasa, budaya serta agama dalam masyarakat. Sehingga, penulis ingin
memaparkan lebih dalam tentang keragaman agama di Indonesia pasca terjadinya
reformasi dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet serta membandingkan ancaman
disintegrasi bangsa di kedua negara.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan diferensiasi agama dalam masyarakat di Indonesia
pasca terjadinya reformasi dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan kaitannya dengan
upaya pemerintah menghadapi ancaman disintegrasi bangsa?
2
1.3
Landasan Konseptual
1.3.1
Multikulturalisme dan Pluralisme
Sebagaimana diungkapkan oleh Kymlicka, masyarakat modern dewasa ini
semakin sering diperhadapankan pada berbagai macam kelompok yang menuntut
pengakuan atas identitasnya, dan diterimanya perbedaan kulturalnya masingmasing. Hal inilah yang biasa disebut sebagai tantangan multikulturalisme.
Multikulturalisme sendiri sebenarnya mencakup berbagai bentuk pluralisme
budaya yang berbeda, masing-masing memiliki tantangannya sendiri-sendiri.
Keterangan ini sebenarnya mau menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan
multikultur merupakan salah satu bentuk dari pada pluralisme, dalam hal ini
pluralisme kultural. Pluralisme atau kemajemukan merupakan sebuah fakta yang
tak terelakan dalam kehidupan manusia. Berdasarkan fakta ini, persoalan
mengenai tercapainya suatu masyarakat yang beradab dalam kewargaan yang
inklusif (terbuka) merupakan sebuah problem universal.
Masyarakat yang pluralistik hanya dapat ditata secara etis apabila keadilan
dinomorsatukan terhadap pandangan-pandangan tentang tujuan hidup manusia.
Prinsip-prinsip keadilan harus netral terhadap keyakinan-keyakinan tentang hidup
yang baik dalam arti bahwa orang atau kelompok orang tidak ada yang
didiskriminasikan hanya karena kekhasan keyakinan, cita-cita moral dan
religiusnya dan bahwa prinsip-prinsip itu oleh seluruh masyarakat dapat diterima
secara adil, jadi tidak hanya berdasarkan pandangan komunitas tertentu tentang
apa yang baik.
Multikulturalisme merupakan pluralisme budaya. Dengan kata lain
pengakuan akan kepluralan merupakan gagasan penting bagi multikulturalisme.
Lebih
jauh,
multikulturalisme
merupakan
perangkat
gagasan
yang
memperjuangkan “politics of recognition”. Yakni, bentuk pengakuan terhadap
setiap entitas kultural yang ada, khususnya yang terpinggirkan dan tidak berdaya.1
1
Will Kymlicka, 2002, Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin), LP3ES ; Jakarta,.
3
1.3.2 Disintegrasi Negara
Salah satu yang menjadi hambatan negara untuk maju ialah adanya konflik
internal yang berupa gejala separatisme hingga ancaman disintegrasi negara.
Seperti yang diungkapakan Samuel P. Huntington (1993) bahwa konflik antar
peradaban tidak lagi disebabkan oleh faktor - faktor ekonomi, politik dan ideologi,
tetapi justru dipicu oleh masalah – masalah suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan
dengan runtuhnya struktur politik negara – negara Eropa Timur. Intensitas
hubungan dialogis akan semakin berkembang searah dengan semakin terbukanya
betas – batas wilayah administratif suatu negara, lebih – lebih antar berbagai
wilayah kehidupan dalam suatu negara. Hal ini juga merupakan indikator semakin
terbukanya peluang “pertentangan budaya” yang bersumber pada keyakinan
agama. 2
1.4
Argumen Utama
Adanya kemiripan - kemiripan pola, trend, kecenderungan dari perkembangan
sistem sosial politik, ekonomi, dan budaya dari suatu masyarakat akan bisa digunakan
untuk analisis bagi suatu masyarakat lain maupun membandingkannya. Rusia pasca
runtuhnya Uni Soviet sudah mulai mengakui multikulturalisme dengan memiliki
keberagaman agama dalam masyarakatnya. Pemerintah Rusia segera menyadari kekuatan
politik masyarakat beragama yang dulunya hanya sebatas kelompok minoritas, kini telah
bertumbuh semakin banyak. Perubahan sosial masyarakat inipun jika tidak diperhatikan
akan menimbulkan gejolak perpecahan, sehingga
pemerintah pun mengambil jalan
kebijakan dengan memenuhi segala fasilitas yang dibutuhkan bagi kaum beragama.
Ditambah dengan dukungan pemerintah terhadap aliansi keagamaan yang pro terhadap
toleransi antar agama juga menjadi upaya pemerintah untuk meminimalisir konflik yang
sering dihadapi negara multikulturalisme ini.
2
Samuel P. Huntington. 1993.The Clash of Civilization. New York ; Simon & Schuster Publisher.
4
Sedangkan Indonesia, yang memang sudah multikultural dalam hal agama, di era
reformasi kebebasan beragama semakin diakui dan munculnya aliran aliran baru yang
menambah multikulturalisme di Indonesia sendiri. Namun dengan banyaknya agama dan
kultur dalam masyarakat lantas membuat negara ini masih menghadapi gejala
separatisme ataupun ancaman disintegrasi negara. Memang bukan hanya faktor
diferensiasi agama ataupun budaya yang menyebabkan perpecahan negara, namun
dengan mengetahui kondisi multikulturalisme dalam masyarakat,diharapkan pemerintah
dapat mengambil kebijakan politik yang tepat untuk meminimalisir konflik yang dapat
memicu disintegrasi negara. Pemerintah Indonesia yang berideologikan Pancasila
menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai hal yang utama diatas identitas
kebangsaannya. Hal ini membuat upaya menuntaskan masalah disintegrasi nasional
belum maksimal dan mendasar. Kesadaran politik masyarakat akan pentingnya persatuan
dan kesatuan Indonesia masih rendah dan mudah terprovokasi kelompok ekstrimis yang
menginginkan perpecahan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kehidupan Masyarakat Rusia dalam Multikulturalisme Agama Pasca Runtuhnya Uni
Soviet.
Rusia adalah sebuah negeri besar, apalagi setelah menjadi Uni Soviet, dengan
memiliki pengaruh yang luas di sebagian wilayah dunia. Sejarah negerinya yang lama,
telah memberikan arti penting dalam perkembangan ilmu sejarah sosial, politik, ekonomi,
dan budaya baik untuk Rusia sendiri, Uni Soviet, Asia, dan Eropa. Revolusi Rusia 1917
merupakan Revolusi Besar yang berpengaruh pada belahan dunia ini, sehingga menjadi
kajian para ilmuwan yang sangat menarik. Ketika Uni Soviet mengalami kemunduran
ekonomi, negara ini mencoba untuk melihat kembali prinsip-prinsip dasar ideologinya.
Di bawah kepemimpinan Gorbachev, Uni Soviet berusaha untuk bangkit menjadi negara
yang besar di dunia tetapi sekaligus juga menjadi negara yang lebih demokratis. Dengan
digulirkannya Perestroika dan Glasnot oleh Gorbachev, banyak sekali terjadi perubahan
di negeri ini. Tampaknya keinginan Gorbachev untuk menjadikan Uni Soviet menjadi
negara maju justru menjadi sebaliknya dengan terjadinya disintegrasi negeri adidaya ini
hingga terpecah-pecah menjadi negara-negara yang memiliki kemerdekaan sendirisendiri, sekaligus mengakhiri Era Perang Dingin antara Uni Soviet dengan Amerika
Serikat.
Sejak menggulirnya perestroika dan glasnost tahun 1991 yang juga ditandai
dengan bubarnya Uni Soviet, kehidupan agama di Rusia menemukan momentum baru.
Kehidupan agama yang semua selalu ditekan di bawah pemerintahan komunis, sekarang
bagaikan rerumputan kering yang memperoleh siraman hujan,bermunculan ke permukaan
sosial dengan penuh antusias. Masyarakat tidak lagi takut- takut mengenalkan afiliasi
serta identitas etnis dan agama secara terbuka. Negara Federasi Rusia dengan penduduk
sekitar 140 juta, terdiri atas 71,8% Kristen Ortodoks,18% Islam, 1,8% Katolik, 0,7%
Protestan, 0,6% Buddha, 0,3% Yahudi, 0,9% beragam sekte, sisanya tanpa agama. Dari
segi etnis, yang terbesar tentu saja Rusia, sekitar 79,8%. Sedangkan Undang-undang dan
6
konstitusi tentang keagamaan Federasi Rusia sendiri ternyata hanya mengakui empat
agama tradisional, yaitu Kristen Ortodoks, Islam, Buddha, dan Yahudi. 3
Pemerintah Rusia sedang berjuang menemukan identitas dan ideologi bangsanya
sebagai pengikat dan sumber etos baru untuk membangun kembali citra dan peran
dirinya sebagai sebuah negara besar yang mesti diperhitungkan dunia.
Namun,
setidaknya bahasa dan ikatan kewargaan masih kuat sebagai sebuah warga dan bangsa
Rusia, meskipun di dalamnya terdapat puluhan etnis sebagaimana Indonesia. Hubungan
antaragama-agama yang disebut sebagai agama tradisional di Rusia memang berlangsung
cukup harmonis. Masyarakat Rusia yang pluralis dan multietnis disatukan dalam satu
negara Rusia dan mereka memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalahmasalah bersama. Kehidupan beragama di Rusia sampai saat ini belum ternoda dengan
konflik yang berkepanjangan. Semua saling menjaga keseimbangan dan toleransi.
Dukungan dari pemerintah bagi agama-agama yang ada pun sangat kuat. Contohnya bagi
umat muslim di Rusia, pemerintah telah menambah jumlah masjid, memfasilitasi
kegiatan pengiriman calon jemaah haji, serta mendukung aliansi bernafaskan islam.
Dukungan serupa juga dinikmati agama-agama tradisional lainnya di Rusia.
Pemerintah Rusia juga gencar mempromosikan toleransi antar umat beragama
dengan merangkul gereja Kristen Ortodoks, yang menjadi agama terbesar di Rusia, untuk
menyebarkan pesan toleransi kepada semua warga negara. 4 Aliansi muslim di Rusia juga
turut menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Mereka percaya bahwa hal ini
dapat menciptakan suatu kerukunan warga negara dan bisa membuat suatu negara
menjadi maju dan besar. Karena perpecahan di antara warga negara, termasuk
perpecahan agama, justru akan semakin membuat negara terpuruk.
2.2
Kehidupan Multikulturalisme Agama Di Indonesia
Di Indonesia, cita-cita pemerintah untuk menciptakan kerukunan umat beragama
memiliki tujuan yang lebih luas dari kebebasan beragama. Pemenuhan hak untuk
kebebasan beragama dan berkepercayaan menjadi salah satu instrumen terpenting untuk
setidaknya memastikan bahwa batas-batas minimal terkait hak warga negara telah
3
M. Aji Surya. 2012. Segenggam Cinta dari Moskwa : Catatan Perjalanan di Rusia. Jakarta. PT Kompas Media
Nusantara
4
ibid
7
terpenui dengan baik. Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri dengan deklarasi
universal untuk HAM dan meratifi kasi beberapa instrumen pentingnya melalui UU.
Sementara hak untuk beragama dan berkepercayaan dijamin oleh UUD 1945, harus
diakui bahwa dalam masyarakat masih terus ada gesekan di antara para pemeluk agama.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik
Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama
kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya
sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada
juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas.
Kehidupan multikultural di Indonesia sendiri tak bisa lepas dari ideologi yang
mengikat masyarakat negara ini, yaitu Pancasila. Dewasa ini, berbagai macam konflik
antar agama lebih banyak menjadi sorotan publik sehingga Indonesia terkesan sebagai
negara yang intolerance. Cukup penting bagi kita untuk melihat kedalam bagaimana
sesungguhnya kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat kompleks ini berjalan
ditengah keberagaman. Kondisi toleransi umat beragama di Indonesia ini dinilai pasif,
mereka hidup berdampingan namun tidak saling peduli. Berbagai riset yang dilakukan
oleh lembaga nasional kita menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama di
Indonesia sangat buruk. Beberapa golongan masyarakat bahkan secara terang-terangan
menolak hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Sejumlah kasus yang pernah
terjadi bahkan tindakan seorang warga beragama Kristen yang menggedor- gedor pintu
masjid karena merasa terganggu oleh suara loudspeaker masjid pada bulan Ramadan.5
Mengenai kebijakan pemerintah Indonesia, Ketetapan Presiden mengenai
pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama hingga Instruksi Kementerian Agama 6
memang sudah dikeluarkankan terkait pembinaan umat beragama. Hal tersebut belum
mampu mengakomodir lebih dari 237,6 juta penduduk yang diantaranya sekitar 87,1%
beragama muslim, 16,5% kristen, 6,96% katolik, 1,69% hindu dan 0,72% Budda, sisanya
beragama lain.
5
Zainal Abidin Bagir, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Center for Religious and
Cross-cultural Studies. Yogyakarta, Sekolah Pascasarjana UGM
6
Selengkapnya dapat dilihat di http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499
8
2.3
Perbandingan Upaya Pemerintah Rusia dan Indonesia Terkait Ancaman Disintegrasi
Negara
Di atas permukaan, hubungan antar agama - agama yang di Rusia memang
berlangsung cukup harmonis. Antara agama satu dan yang lain, bisa hidup berdampingan
secara rukun dan saling menghormati (peaceful coexistence). Akan tetapi ada pula sisi
lain dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berbeda keyakinan ini. Setidaknya demikian
yang dirasakan penganut agama Kristen non-ortodoks yang mengalami diskriminasi dari
kelompok ortodoks. Demikian pula bagi kelompok Muslim yang oleh pemerintah sering
dicap sebagai kelompok ekstremis, terutama di daerah Rusia bagian selatan. Laporan
lembaga aktivis keagamaan dan HAM beberapa tahun terakhir mengungkapkan
banyaknya kasus kekerasan dengan target kelompok Muslim yang dianggap ikut terlibat
dalam gerakan separatis dan serangan terorisme di berbagai wilayah Rusia. Dengan
demikian tentu beberapa wilayah wilayah di Rusia berkeinginan untuk memerdekakan
diri. Seperti daerah Chechnya dan Dagestan yang memiliki potensi radikalisme.
Pemerintah Rusia menyadari benar bahwa perkembangan keagamaan di
negaranya akan berpengaruh dalam bidang sosial budaya dan perpolitikan. Sehingga
untuk tetap persatuan Rusia sebagai negara berdaulat, negara ini menempuh kebijakan
strategis yakni dengan merangkul semua agama yang ada. Dengan mendukung
pengembangan tempat ibadah dan pendidikan agama di sekolah, serta melibatkan para
aktivis dan aliansi keagamaan yang tergolong minoritas kedalam berbagai kegiatan
nasional Rusia, pemerinah Rusia dinilai cukup berhasil meredam gejolak konflik yang
dipicu oleh faktor multikultural agama. 7 Hampir semua golongan masyarakat Rusia yang
terpisahkan oleh agama kini merasa memiliki peran penting seperti saudaranya, etnis
Rusia dalam kehisupan sosial maupun politik, karena semua mendapat perhatian dari
pemerintah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bangsa dan negara Indonesia yang masih
mengalami krisis multisegi yang bekepanjangan ini, masih harus menghadapi berbagai
gejolak dan goncangan pergolakan sosial dalam bentuk kerusuhan dan kekerasan
masyarakat yang cenderung menjurus ke arah terjadinya disorganisasi sosial dan
7
M Aji Surya dan Frassminggi Kamasa. 2012. Geliat Islam di Rusia Catatan Diplomat Indonesia. Jakarta : PT
Kompas Media Nusantara
9
disintegrasi masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk ini. Tantangan disorganisasi
sosial dan disintegrasi bangsa semakin terasa ketika situasi konflik semakin meningkat
dalam bentuk benturan sosial dengan aksi kekerasan yang bersifat brutal dan destruktif
disertai isu-isu konflik bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
Peristiwa konflik seperti itu terjadi misalnya disintegrasi Timor Timur (1999), konflik
Agama di Ambon dan Maluku (1988-2003), Kalimantan Barat (1998/1999), Aceh (19982005), Poso (2000), Sampang Madura (2012), aksi demonstrasi dengan kekerasan akibat
diskriminasi agama hingga permasalahan rumah ibadah.
Tata nilai yang berlaku di daerah yang di suatu daerah tidak selalu sama dengan
daerah lain. Itulah kondisi sosial budaya negara pluralistik di Indonesia. Sehingga jalan
kebijakan strategis kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah melalui otonomi daerah.
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Darah yang diikuti dengan
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, setiap daerah kini memiliki otoritas sendiri untuk mengatur daerahnya. 8 Namun,
upaya yang diharapkan pemerintah mampu meredam gejolak dan semangat pemecahan
dari NKRI belum cukup menuntaskan masalah. Kualitas SDM yang rendah ditambah
masalah sosial yang menumpuk serta belum adanya pemerataan pembangunan menjadi
faktor konflik sosial yang mengatasnamakan SARA. Pasca reformasi Indonesia juga
dilanda ketidak pastian hukum yang mengubah paradigma masyarakat tentang persatuan
dan kesatuan dengan nilai – nilai demokrasi. Sehingga upaya penumpasan ketegangan
antar umat beragama di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi.
8
Emil Salim. 1999. Otonomi Daerah. Dalam Frans.M.Parera. 1999. Demokratisasi dan Otonomi. Jakarta ; PT.
Kompas Media Nusantara. Hal 163
10
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Faktor agama menjadi faktor ancaman serius dalam dinamika kehidupan
masyarakat majemuk seperti Indonesia ataupun Rusia. Di Rusia, masyarakat beragama
secara demografi disadari oleh pemerintah cukup substansial, sehingga kebijakan yang
diterapkan pun penuh perimbangan dengan keberadaan serta kebutuhan mereka. Kondisi
sosial politik di Rusia juga cukup kondusif bagi para pemeluk agama untuk saling
menjada toleransi antar umat beragama. Aliansi keagamaan juga mendapat dukungan
pemerintah Rusia sehingga gejolak masyarakat yang dapat memicu konflik keagamaan
dapat ditangani pemerintah dengan baik dengan dibantu aliansi keagamaan ini.
Sedangkan yang dapat kita lihat di Indonesia kini masih banyak masyarakat
multikultural yang hidup dalam konflik. Dari hal kecil seperti pembangunan rumah
ibadah hingga aliran keagamaan baru, masih menjadi permasalahan antar kelompok
beragama. Upaya penyelesaian oleh pemerintah pun terlalu berlarut – larut dan hasilnya
gejolak disintergrasi nasional pun masih kerap terjadi. Otonomi yang ditempuh sebagai
jalan kebijakan pemerintah rupanya belum sepenuhnya efektif menumpas gejolak konflik
antar
agama
dalam
masyarakat.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
masyarakat
multikulturalisme di Indonesia cukup kompleks dibandingkan di Rusia. Keberhasilan
relasi keagamaan yang harmonis dan adil harus didukung dengan toleransi umat
beragama yang baik. Dan disini ketegasan serta profesionalitas pemerintah sebagai
pembuat kebijakan menjadi penentu untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat
agar tidak terjadi gesekan antara masyarakat beragama tersebut.
,
11
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Center for
Religious and Cross-cultural Studies. Yogyakarta, Sekolah Pascasarjana UGM
Huntington, Samuel P. 1993.The Clash of Civilization. New York ; Simon & Schuster
Publisher.
Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin). Jakarta ; LP3ES
Parera, Frans.M. 1999. Demokratisasi dan Otonomi. Jakarta ; PT Kompas Media Nusantara
Surya, M. Aji. 2012. Segenggam Cinta dari Moskwa : Catatan Perjalanan di Rusia. Jakarta. PT
Kompas Media Nusantara
Surya, M Aji, Frassminggi Kamasa. 2012. Geliat Islam di Rusia Catatan Diplomat Indonesia.
Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Website Pemerintah Kementerian Agama . http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499
diakses pada 3 Januari 2014
12