E Government Birokrasi dan Diseminasi Ke
Sitasi:
Luthfia, Agusniar Rizka. 2015. ”E-government, Birokrasi dan Diseminasi Kebijakan Publik”.
Gagasan, Vol. 21, No. 1, April 2015, hal. 42-46.
E-Government, Birokrasi dan Diseminasi Kebijakan Publik
Agusniar Rizka Luthfia
Dunia kini berubah semakin cepat. Pesatnya laju perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi membuat berbagai proses sosial pun berlangsung
semakin deras. Arus informasi yang pada masa lalu dapat dikatakan cenderung
lambat. Saat ini semua itu dapat terjadi dengan sekejap saja. Hal ini pun
merambah ke dalam segenap sendi kehidupan sehari-hari. Salah satu produk
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi adalah internet. Bahkan saat
ini, masyarakat dapat dikatakan mulai tidak dapat lepas dari internet itu sendiri.
Masyarakat di Indonesia dalam tataran tertentu. Atau tepatnya pada kalangan
sosial tertentu mulai kecanduan. Mereka semakin hari semakin mengalami
ketergantungan dan bahkan tidak dapat melepaskan diri darinya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan Marshall McLuhan, ia mengatakan
manusia berusaha untuk menciptakan teknologi kemudian menggunakan
teknologi tersebut dan akhirnya tidak dapat terlepas atau menjadi tergantung
dengan teknologi tersebut (technological determinism) (Nurudin, 2007). Kini
internet dengan segenap variannya telah membuat manusia di abad ini menjadi
ketergantungan. Bisa dibayangkan, sebagai contoh, sebuah kantor yang dalam
aktivitas kesehariannya menggunakan internet. Apabila internet tersebut
dihilangkan dapat dipastikan berbagai kegiatan yang selama ini dijalankan dapat
terhambat dan lumpuh.
Internet dapat pula dikatakan sebagai wahana globalisasi. Meminjam
bahasa Giddens, ia akan terus dan terus menyusup dalam kehidupan masyarakat
baik itu secara perlahan ataupun berlangsung dengan cepat (Giddens, 2001).
Sementara itu, Eka Nada Shofa Alkhajar dalam bukunya Media, Masyarakat dan
Realitas Sosial (2014) mengatakan internet sebagai media baru telah meruntuhkan
batas-batas teritorial. Internet pun mahir mengatasi berbagai hambatan ruang,
waktu dan birokrasi. Lebih dari itu, internet mampu membuat segenap manusia
dari berbagai belahan dunia dapat terkoneksi dan berkomunikasi secara cepat
(Alkhajar, 2014).
Peranan internet pun merambah dalam bidang pemerintahan. Hal ini tentu
saja dapat dikatakan baik karena akan mampu berdampak positif bagi proses
pelayanan masyarakat sekaligus bagi pembangunan demokrasi di tanah air. Dalam
artian memberi ruang yang lebih terbuka terhadap rakyat untuk dapat mengakses
dan bersentuhan secara langsung dengan pemerintah berkenaan dengan berbagai
hal terkait relasi pemerintah dan masyarakat. Ini sebagaimana dikatakan Peter
Ferdinand dalam The Internet, Democracy, and Democratization (2000). Ia
menuturkan: The Internet is a powerful democratizing force. It transcends
national and cultural borders, facilitates the spreads of ideas around the globe
and allows like-minded people to find one another in the realm of cyberspace .
Ferdinand benar, internet memang merupakan kekuatan luar biasa
terutama dalam rangka demokratisasi. Selanjutnya, perkembangan internet
melahirkan apa yang dinamakan e-government. Hal ini jelas kian membuat
administrasi menjadi lebih terbuka, transparan serta mudah diawasi. Oleh karena
itu, ini dapat dikatakan pula sebagai pintu baru bagi terbukanya ruang-ruang
komunikasi pemerintah.
E-Government dan Birokrasi
Electronic government atau disingkat e-government kini dapat dikatakan
sudah berkembang dengan pesat di Indonesia. Terhitung semenjak dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2003 berkenaan dengan Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Dalam konteks ini, Presiden
mengamanatkan kepada seluruh pemimpin daerah baik itu Gubernur, Walikota
dan
Bupati
untuk
mengambil
langkah-langkah
konkrit
dalam
rangka
pengembangan e-government secara nasional.
Tidak dapat dimungkiri, e-government ini merupakan sarana untuk
mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan
efisien. Hal yang harus diingat di sini adalah bahwasanya e-government itu
berbasiskan media baru berupa internet. Bahkan saat ini konteks bahasan antara
internet dengan pemerintah telah menjadi suatu kajian ilmu yang menarik di
berbagai belahan dunia. Khususnya berkenaan dengan praktik e-government
terlebih misalnya praktik e-government di negara berkembang. Beberapa studi
bahkan telah dilakukan mengenai e-government di Indonesia dengan melihat
peluang sekaligus hambatan dalam penerapannya.
Ditilik dari berbagai literatur, definisi e-government pun beragam.
Pemerintah
Federal
Amerika
Serikat
memaknai
e-government
sebagai
penyampaian informasi dan pelayanan online pemerintahan melalui internet atau
media digital lainnya. Sementara itu, pemerintah New Zeland mendefinikannya
sebagai sebuah cara bagi pemerintahan untuk menggunakan sebuah teknologi baru
untuk melayani masyarakat dengan memberikan kemudahan akses untuk
pemerintah dalam hal pelayanan dan informasi juga untuk menambah kualitas
pelayanan serta memberikan peluang untuk berpartisipasi dalam proses dan
institusi demokrasi. Sedangkan pemerintah Italia memaknai e-government sebagai
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technology) yang modern pada pengadministrasian negara (Hidayanto et. al.,
2014).
Mirip dengan pemerintah Italia, UNDP (United Nation Development
Programme) mendefinisikan: “E-government is the application of Information
and Communication Technology (ICT) by government agencies”. Menurut OECD
(Organization for Economics Cooperation and Development ), definisi egovernment lebih terkait pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
melalui internet sebagai alat untuk mencapai pelayanan pemerintah yang lebih
baik (Indrajit, 2006). Sementara itu, Bank Dunia ( World Bank) mendefinisikannya
secara lugas sebagai berikut: “e-Government refers to the use by government
agencies of information technologies that have the ability to transform relations
with citizens, businesses, and other arms of government”.
Kemudian definisi menarik lain dikemukakan Grant dan Chau (2005),
mereka mendefinisikan e-government berdasarkan penelitian literatur yang
diterbitkan baik berasal dari akademisi maupun praktisi terhitung sejak tahun
1992 hingga 2004. Mereka menyimpulkan e-government sebagai inisiatif
transformasi yang dipengaruhi oleh kemampuan teknologi informasi dan
komunikasi untuk (1) Mengembangkan dan menghasilkan pelayanan publik yang
berkualitas tinggi dan terintegrasi; (2) Membangun hubungan manajemen
konstituen yang efektif; (3) Mendukung tujuan pengembangan ekonomi dan sosial
masyarakat, bisnis dan komunitas sosial pada tingkat lokal, negara dan
internasional (dalam Ridley, 2011).
Dari berbagai uraian mengenai e-government di atas. Sejatinya wajah
birokrasi kita diharapkan terus bertransformasi menjadi lebih baik. Dari sosok
yang menyulitkan dan tidak menyenangkan menjadi sosok yang ramah dan
melayani. Kita kerap menjumpai birokrasi misalnya di masa lalu bahkan mungkin
di beberapa daerah hingga hari ini kerap jauh dari misi utamanya yakni
memberikan sebuah pelayanan yang baik kepada masyarakat. N. Flynn dalam
bukunya Public Sector Management (1990) mengungkapkan berbagai hal seperti
kesulitan mengakses, prosedur yang lama dan berbelit-belit, biaya yang tidak jelas
hingga praktik pungutan liar (pungli) merupakan beberapa contoh mengapa
birokrasi menjadi penting untuk dibenahi (Flynn, 1990). Tak heran, sejak
tumbangnya Orde Baru, pemerintah terus dan terus menggalakkan apa yang
dinamakan reformasi birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (2012) mengurai reformasi birokrasi sebagai bentuk
transformasi segenap aspek dalam manajemen pemerintah menuju pemerintah
berkelas dunia.
Penggunaan e-government pun telah diakui sebagai salah satu langkah
nyata dalam menjalankan reformasi birokrasi di Indonesia. Hal ini menjadi
penting karena betapa tidak di masa lalu birokrasi kita bahkan sudah menjadi
masalah tersendiri dan sudah masuk kedalam apa yang dinamakan patologi
birokrasi. Kini seiring berjalan birokrasi kita sudah mulai dibenahi. Perlahan
namun pasti. Ini tentu menjadi kabar gembira bagi kita semua. Terlebih bagi
perjalanan bangsa ini ke depan.
Pembangunan, Komunikasi dan Diseminasi Kebijakan Publik
Pembangunan merupakan upaya untuk membuat kehidupan menjadi lebih
baik (Peet dan Hartwick, 2009). Pembangunan sebagai proses multidimensi
mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan
lembaga-lembaga nasional. Oleh karena itu, singkatnya, pembangunan adalah
proses perubahan masyarakat pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat ke
arah yang lebih baik (Subhilhar, 2008; Yanuardi, 2012).
Berpijak pada Amartya Sen (1999), pembangunan dimaknai sebagai suatu
“process of expanding the real freedoms that people can enjoy (removal of mayor
source of unfreedom: poverty, tyranny, poor economic opportunities & systematic
social depriviation, neglect of public utilities & the intolerance or over activity of
repressive regimes)”. Sen sekali lagi menegaskan pembangunan sesungguhnya
merupakan suatu proses pembebasan ke arah yang lebih baik. E-government di
Indonesia sudah seharusnya tidak sekadar menyelenggarakan pemerintahan secara
elektronik semata. Melainkan turut menjadi penggerak dalam praktik mewujudkan
cita-cita nasional maupun pembangunan nasional.
Adapun berbagai manfaat dari penerapan e-government ini antara lain: (1)
Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholdernya; (2)
Meningkatkan transparansi, kontrol dan akuntabilitas; (3) Mengurangi secara
signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi; (4) Memberikan peluang
bagi pemerintah untuk memdapatkan sumber-sumber pendapatan baru; (5)
Menciptakan suatu lingkungan yang dapat secara cepat dan tepat menjawab
berbagai permasalahan yang dihadapi; (6) Memberdayakan masyarakat dan pihakpihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan
publik (Indrajit, 2006). Sementara itu, website sebagai salah satu bentuk egovernment pun dapat menjadi media komunikasi yang efektif antara pemerintah
dan stakeholdernya (Medina, 2011).
Sementara itu, Putera (2009) mengungkapkan bahwasanya penerapan egovernment, akan dapat membantu berbagai hal di antaranya adalah (1)
Meniadakan hambatan pertukaran informasi antar masyarakat dan antar wilayah
negara, dan dengan demikian berbagai bentuk kesenjangan yang bersumber dari
ketidakseimbangan kesempatan memperoleh informasi dapat diatasi secara
bertahap; (2) Meningkatkan ketersediaan informasi dan pelayanan publik serta
memperluas dan memperdalam jangkauannya; (3) Meningkatkan produktivitas,
efisiensi, dan kemampuan inovasi dalam sektor produksi, serta memperlancar
rantai distribusi; (4) Meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi
pelayanan publik; (5) Memperlancar interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah,
baik pada tingkat pusat maupun daerah, dan dengan masyarakat.
Melihat berbagai manfaat di atas. Sesungguhnya kita dapat melihat relasi
yang penting dari e-government, pembangunan dan kebijakan publik antara lain:
Pertama, terbukanya ruang komunikasi dengan segenap stakeholder. Kedua,
tersedianya sarana inventarisasi masukan hingga diseminasi (penyebaran)
informasi berkenaan dengan kebijakan publik kepada masyarakat yang tentunya
akan mampu mendukung dan mempercepat cita-cita pembangunan. Ini dapat
dimaknai bahwa setiap warga negara dapat berkomunikasi langsung dengan
pemerintah dalam rangka menyampaikan aspirasi serta turut berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan. Hal ini pun sejalan dengan semangat good
governance atau tata kepemerintahan yang baik yakni dengan mengikut sertakan
masyarakat dan sektor swasta dalam pembangunan nasional.
Kooiman menuturkan beberapa kerangka acuan dalam mengaktualisasi
terciptanya good governance di antaranya: (1) Bahwa orientasi interaktif dan
eksternal bagi organisasi pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat
penting dan strategis; (2) Administrasi publik harus mampu memberikan
perhatian terhadap beragam sudut pandang administratif, politik, ilmiah, dan
sosial; serta harus pula mempertimbangkan berbagai pengertian yang berlaku
mengenai permasalahan tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam
diri administrasi publik tersebut; (3) Pemerintah harus mampu mencoba
mendelegasikan tanggung jawab makro terhadap berbagai pelaku sosial, dan pada
saat yang bersamaan mendorong dan memberdayakan mereka untuk mengambil
dan menerima tanggung jawab tersebut; (4) Peranan pemerintah pada akhirnya
perlu dibekali dengan kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani
konflik di antara berbagai kelompok kepentingan dan hambatan lainnya dalam
kerangka sosial-politik (Ashari dan Fernanda, 2001: 60-61).
Melalui
keterbukaan,
e-government
kemudahan
ini
akses
diharapkan
serta
berbagai
akuntabilitas
dimensi
seperti
pemerintah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang merupakan pilar good
governace dapat tercapai. Mengutip Putera (2009), kemajuan teknologi informasi
berupa internet telah menyebabkan pelayan begitu dekat dengan masyarakat.
Pemanfaatan e-government oleh pemerintah baik pusat dan daerah telah
memberikan peluang untuk melaksanakan prinsip-prinsip pelayanan yang cepat
dan tepat tanpa ada batas waktu.
Adapun hal yang harus menjadi catatan sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hidayanto et. al. (2014), faktor kepemimpinan, sumber daya
manusia, pengelolaan informasi dan budaya organisasi ternyata masih kerap
menjadi hambatan dalam pengembangan e-government. Namun demikian, seiring
berjalan tentunya e-government akan terus dan makin berkembang di negara ini
hingga ke pelosok tanah air sejalan dengan proses penyebaran jaringan internet
yang
telah
digalakkan
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
(Kemenkominfo). Harapan utamanya dari e-government ini tak lain adalah dapat
mendukung produktivitas serta efisiensi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Daftar Pustaka
Alkhajar, Eka Nada Shofa. 2014. Media, Masyarakat dan Realitas Sosial .
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Ashari, Eddy Topo dan Desi Fernanda. 2001. Membangun Kepemerintahan Yang
Baik. Jakarta: LAN RI.
Ferdinand, Peter. 2000. The Internet, Democracy, and Democratization . London:
Routledge.
Flynn, Norman. 1990.
Wheatsheaf.
Public
Sector
Management.
London: Harvester
Giddens, Anthony. 2001. Runaway World. Jakarta: Gramedia.
Hidayanto, Achmad Nizar, Yulia Razila Ningsih, Puspa Indah Sandhyaduhita, and
Putu Wuri Handayani. 2014. “The Obstacles of the E-Government
Implementation: A Case of Riau Province, Indonesia”. Journal of
Industrial and Intelligent Information , Vol. 2, No. 2, hlm. 126-130, Juni.
Indrajit, R. 2006. Elektronik Government: Strategi Pembangunan dan
Pengembangan Sistem Pelayanan Berbasis Teknologi Digital Yogyakarta:
Andi.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan E-Government.
Medina, Desmi Avicena. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap
Keberhasilan Pengembangan e-Government. Tesis. Jakarta: Universitas
Bina Nusantara.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa . Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Peet, Richard and Elaine Hartwick. 2009. Theories of Development. New York:
Guilford Press.
Putera, Roni Ekha. 2009. “E-Government dan Reformasi Birokrasi dalam Rangka
Peningkatan Pelayanan Publik di Daerah”. Demokrasi, Vol. 8, No. 1.
Ridley, Gail. 2011. “Potential toMitigate E-Government Barriers: Use of an IT
Control Framework”. MCIS 2011 Proceedings. Paper 51.
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
Subhilhar. 2008. Etika Pembangunan: Kajian Alternatif dalam Studi
Pembangunan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Sumatera
Utara, 20 September.
Yanuardi. 2012. Diktat Teori Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Dimuat di Gagasan, Vol. 21, No. 1, April 2015, hal. 42-46
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI),
Yogyakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Republik Indonesia.
Luthfia, Agusniar Rizka. 2015. ”E-government, Birokrasi dan Diseminasi Kebijakan Publik”.
Gagasan, Vol. 21, No. 1, April 2015, hal. 42-46.
E-Government, Birokrasi dan Diseminasi Kebijakan Publik
Agusniar Rizka Luthfia
Dunia kini berubah semakin cepat. Pesatnya laju perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi membuat berbagai proses sosial pun berlangsung
semakin deras. Arus informasi yang pada masa lalu dapat dikatakan cenderung
lambat. Saat ini semua itu dapat terjadi dengan sekejap saja. Hal ini pun
merambah ke dalam segenap sendi kehidupan sehari-hari. Salah satu produk
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi adalah internet. Bahkan saat
ini, masyarakat dapat dikatakan mulai tidak dapat lepas dari internet itu sendiri.
Masyarakat di Indonesia dalam tataran tertentu. Atau tepatnya pada kalangan
sosial tertentu mulai kecanduan. Mereka semakin hari semakin mengalami
ketergantungan dan bahkan tidak dapat melepaskan diri darinya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan Marshall McLuhan, ia mengatakan
manusia berusaha untuk menciptakan teknologi kemudian menggunakan
teknologi tersebut dan akhirnya tidak dapat terlepas atau menjadi tergantung
dengan teknologi tersebut (technological determinism) (Nurudin, 2007). Kini
internet dengan segenap variannya telah membuat manusia di abad ini menjadi
ketergantungan. Bisa dibayangkan, sebagai contoh, sebuah kantor yang dalam
aktivitas kesehariannya menggunakan internet. Apabila internet tersebut
dihilangkan dapat dipastikan berbagai kegiatan yang selama ini dijalankan dapat
terhambat dan lumpuh.
Internet dapat pula dikatakan sebagai wahana globalisasi. Meminjam
bahasa Giddens, ia akan terus dan terus menyusup dalam kehidupan masyarakat
baik itu secara perlahan ataupun berlangsung dengan cepat (Giddens, 2001).
Sementara itu, Eka Nada Shofa Alkhajar dalam bukunya Media, Masyarakat dan
Realitas Sosial (2014) mengatakan internet sebagai media baru telah meruntuhkan
batas-batas teritorial. Internet pun mahir mengatasi berbagai hambatan ruang,
waktu dan birokrasi. Lebih dari itu, internet mampu membuat segenap manusia
dari berbagai belahan dunia dapat terkoneksi dan berkomunikasi secara cepat
(Alkhajar, 2014).
Peranan internet pun merambah dalam bidang pemerintahan. Hal ini tentu
saja dapat dikatakan baik karena akan mampu berdampak positif bagi proses
pelayanan masyarakat sekaligus bagi pembangunan demokrasi di tanah air. Dalam
artian memberi ruang yang lebih terbuka terhadap rakyat untuk dapat mengakses
dan bersentuhan secara langsung dengan pemerintah berkenaan dengan berbagai
hal terkait relasi pemerintah dan masyarakat. Ini sebagaimana dikatakan Peter
Ferdinand dalam The Internet, Democracy, and Democratization (2000). Ia
menuturkan: The Internet is a powerful democratizing force. It transcends
national and cultural borders, facilitates the spreads of ideas around the globe
and allows like-minded people to find one another in the realm of cyberspace .
Ferdinand benar, internet memang merupakan kekuatan luar biasa
terutama dalam rangka demokratisasi. Selanjutnya, perkembangan internet
melahirkan apa yang dinamakan e-government. Hal ini jelas kian membuat
administrasi menjadi lebih terbuka, transparan serta mudah diawasi. Oleh karena
itu, ini dapat dikatakan pula sebagai pintu baru bagi terbukanya ruang-ruang
komunikasi pemerintah.
E-Government dan Birokrasi
Electronic government atau disingkat e-government kini dapat dikatakan
sudah berkembang dengan pesat di Indonesia. Terhitung semenjak dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2003 berkenaan dengan Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Dalam konteks ini, Presiden
mengamanatkan kepada seluruh pemimpin daerah baik itu Gubernur, Walikota
dan
Bupati
untuk
mengambil
langkah-langkah
konkrit
dalam
rangka
pengembangan e-government secara nasional.
Tidak dapat dimungkiri, e-government ini merupakan sarana untuk
mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan
efisien. Hal yang harus diingat di sini adalah bahwasanya e-government itu
berbasiskan media baru berupa internet. Bahkan saat ini konteks bahasan antara
internet dengan pemerintah telah menjadi suatu kajian ilmu yang menarik di
berbagai belahan dunia. Khususnya berkenaan dengan praktik e-government
terlebih misalnya praktik e-government di negara berkembang. Beberapa studi
bahkan telah dilakukan mengenai e-government di Indonesia dengan melihat
peluang sekaligus hambatan dalam penerapannya.
Ditilik dari berbagai literatur, definisi e-government pun beragam.
Pemerintah
Federal
Amerika
Serikat
memaknai
e-government
sebagai
penyampaian informasi dan pelayanan online pemerintahan melalui internet atau
media digital lainnya. Sementara itu, pemerintah New Zeland mendefinikannya
sebagai sebuah cara bagi pemerintahan untuk menggunakan sebuah teknologi baru
untuk melayani masyarakat dengan memberikan kemudahan akses untuk
pemerintah dalam hal pelayanan dan informasi juga untuk menambah kualitas
pelayanan serta memberikan peluang untuk berpartisipasi dalam proses dan
institusi demokrasi. Sedangkan pemerintah Italia memaknai e-government sebagai
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technology) yang modern pada pengadministrasian negara (Hidayanto et. al.,
2014).
Mirip dengan pemerintah Italia, UNDP (United Nation Development
Programme) mendefinisikan: “E-government is the application of Information
and Communication Technology (ICT) by government agencies”. Menurut OECD
(Organization for Economics Cooperation and Development ), definisi egovernment lebih terkait pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
melalui internet sebagai alat untuk mencapai pelayanan pemerintah yang lebih
baik (Indrajit, 2006). Sementara itu, Bank Dunia ( World Bank) mendefinisikannya
secara lugas sebagai berikut: “e-Government refers to the use by government
agencies of information technologies that have the ability to transform relations
with citizens, businesses, and other arms of government”.
Kemudian definisi menarik lain dikemukakan Grant dan Chau (2005),
mereka mendefinisikan e-government berdasarkan penelitian literatur yang
diterbitkan baik berasal dari akademisi maupun praktisi terhitung sejak tahun
1992 hingga 2004. Mereka menyimpulkan e-government sebagai inisiatif
transformasi yang dipengaruhi oleh kemampuan teknologi informasi dan
komunikasi untuk (1) Mengembangkan dan menghasilkan pelayanan publik yang
berkualitas tinggi dan terintegrasi; (2) Membangun hubungan manajemen
konstituen yang efektif; (3) Mendukung tujuan pengembangan ekonomi dan sosial
masyarakat, bisnis dan komunitas sosial pada tingkat lokal, negara dan
internasional (dalam Ridley, 2011).
Dari berbagai uraian mengenai e-government di atas. Sejatinya wajah
birokrasi kita diharapkan terus bertransformasi menjadi lebih baik. Dari sosok
yang menyulitkan dan tidak menyenangkan menjadi sosok yang ramah dan
melayani. Kita kerap menjumpai birokrasi misalnya di masa lalu bahkan mungkin
di beberapa daerah hingga hari ini kerap jauh dari misi utamanya yakni
memberikan sebuah pelayanan yang baik kepada masyarakat. N. Flynn dalam
bukunya Public Sector Management (1990) mengungkapkan berbagai hal seperti
kesulitan mengakses, prosedur yang lama dan berbelit-belit, biaya yang tidak jelas
hingga praktik pungutan liar (pungli) merupakan beberapa contoh mengapa
birokrasi menjadi penting untuk dibenahi (Flynn, 1990). Tak heran, sejak
tumbangnya Orde Baru, pemerintah terus dan terus menggalakkan apa yang
dinamakan reformasi birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (2012) mengurai reformasi birokrasi sebagai bentuk
transformasi segenap aspek dalam manajemen pemerintah menuju pemerintah
berkelas dunia.
Penggunaan e-government pun telah diakui sebagai salah satu langkah
nyata dalam menjalankan reformasi birokrasi di Indonesia. Hal ini menjadi
penting karena betapa tidak di masa lalu birokrasi kita bahkan sudah menjadi
masalah tersendiri dan sudah masuk kedalam apa yang dinamakan patologi
birokrasi. Kini seiring berjalan birokrasi kita sudah mulai dibenahi. Perlahan
namun pasti. Ini tentu menjadi kabar gembira bagi kita semua. Terlebih bagi
perjalanan bangsa ini ke depan.
Pembangunan, Komunikasi dan Diseminasi Kebijakan Publik
Pembangunan merupakan upaya untuk membuat kehidupan menjadi lebih
baik (Peet dan Hartwick, 2009). Pembangunan sebagai proses multidimensi
mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan
lembaga-lembaga nasional. Oleh karena itu, singkatnya, pembangunan adalah
proses perubahan masyarakat pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat ke
arah yang lebih baik (Subhilhar, 2008; Yanuardi, 2012).
Berpijak pada Amartya Sen (1999), pembangunan dimaknai sebagai suatu
“process of expanding the real freedoms that people can enjoy (removal of mayor
source of unfreedom: poverty, tyranny, poor economic opportunities & systematic
social depriviation, neglect of public utilities & the intolerance or over activity of
repressive regimes)”. Sen sekali lagi menegaskan pembangunan sesungguhnya
merupakan suatu proses pembebasan ke arah yang lebih baik. E-government di
Indonesia sudah seharusnya tidak sekadar menyelenggarakan pemerintahan secara
elektronik semata. Melainkan turut menjadi penggerak dalam praktik mewujudkan
cita-cita nasional maupun pembangunan nasional.
Adapun berbagai manfaat dari penerapan e-government ini antara lain: (1)
Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholdernya; (2)
Meningkatkan transparansi, kontrol dan akuntabilitas; (3) Mengurangi secara
signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi; (4) Memberikan peluang
bagi pemerintah untuk memdapatkan sumber-sumber pendapatan baru; (5)
Menciptakan suatu lingkungan yang dapat secara cepat dan tepat menjawab
berbagai permasalahan yang dihadapi; (6) Memberdayakan masyarakat dan pihakpihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan
publik (Indrajit, 2006). Sementara itu, website sebagai salah satu bentuk egovernment pun dapat menjadi media komunikasi yang efektif antara pemerintah
dan stakeholdernya (Medina, 2011).
Sementara itu, Putera (2009) mengungkapkan bahwasanya penerapan egovernment, akan dapat membantu berbagai hal di antaranya adalah (1)
Meniadakan hambatan pertukaran informasi antar masyarakat dan antar wilayah
negara, dan dengan demikian berbagai bentuk kesenjangan yang bersumber dari
ketidakseimbangan kesempatan memperoleh informasi dapat diatasi secara
bertahap; (2) Meningkatkan ketersediaan informasi dan pelayanan publik serta
memperluas dan memperdalam jangkauannya; (3) Meningkatkan produktivitas,
efisiensi, dan kemampuan inovasi dalam sektor produksi, serta memperlancar
rantai distribusi; (4) Meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi
pelayanan publik; (5) Memperlancar interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah,
baik pada tingkat pusat maupun daerah, dan dengan masyarakat.
Melihat berbagai manfaat di atas. Sesungguhnya kita dapat melihat relasi
yang penting dari e-government, pembangunan dan kebijakan publik antara lain:
Pertama, terbukanya ruang komunikasi dengan segenap stakeholder. Kedua,
tersedianya sarana inventarisasi masukan hingga diseminasi (penyebaran)
informasi berkenaan dengan kebijakan publik kepada masyarakat yang tentunya
akan mampu mendukung dan mempercepat cita-cita pembangunan. Ini dapat
dimaknai bahwa setiap warga negara dapat berkomunikasi langsung dengan
pemerintah dalam rangka menyampaikan aspirasi serta turut berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan. Hal ini pun sejalan dengan semangat good
governance atau tata kepemerintahan yang baik yakni dengan mengikut sertakan
masyarakat dan sektor swasta dalam pembangunan nasional.
Kooiman menuturkan beberapa kerangka acuan dalam mengaktualisasi
terciptanya good governance di antaranya: (1) Bahwa orientasi interaktif dan
eksternal bagi organisasi pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat
penting dan strategis; (2) Administrasi publik harus mampu memberikan
perhatian terhadap beragam sudut pandang administratif, politik, ilmiah, dan
sosial; serta harus pula mempertimbangkan berbagai pengertian yang berlaku
mengenai permasalahan tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam
diri administrasi publik tersebut; (3) Pemerintah harus mampu mencoba
mendelegasikan tanggung jawab makro terhadap berbagai pelaku sosial, dan pada
saat yang bersamaan mendorong dan memberdayakan mereka untuk mengambil
dan menerima tanggung jawab tersebut; (4) Peranan pemerintah pada akhirnya
perlu dibekali dengan kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani
konflik di antara berbagai kelompok kepentingan dan hambatan lainnya dalam
kerangka sosial-politik (Ashari dan Fernanda, 2001: 60-61).
Melalui
keterbukaan,
e-government
kemudahan
ini
akses
diharapkan
serta
berbagai
akuntabilitas
dimensi
seperti
pemerintah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang merupakan pilar good
governace dapat tercapai. Mengutip Putera (2009), kemajuan teknologi informasi
berupa internet telah menyebabkan pelayan begitu dekat dengan masyarakat.
Pemanfaatan e-government oleh pemerintah baik pusat dan daerah telah
memberikan peluang untuk melaksanakan prinsip-prinsip pelayanan yang cepat
dan tepat tanpa ada batas waktu.
Adapun hal yang harus menjadi catatan sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hidayanto et. al. (2014), faktor kepemimpinan, sumber daya
manusia, pengelolaan informasi dan budaya organisasi ternyata masih kerap
menjadi hambatan dalam pengembangan e-government. Namun demikian, seiring
berjalan tentunya e-government akan terus dan makin berkembang di negara ini
hingga ke pelosok tanah air sejalan dengan proses penyebaran jaringan internet
yang
telah
digalakkan
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
(Kemenkominfo). Harapan utamanya dari e-government ini tak lain adalah dapat
mendukung produktivitas serta efisiensi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Daftar Pustaka
Alkhajar, Eka Nada Shofa. 2014. Media, Masyarakat dan Realitas Sosial .
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Ashari, Eddy Topo dan Desi Fernanda. 2001. Membangun Kepemerintahan Yang
Baik. Jakarta: LAN RI.
Ferdinand, Peter. 2000. The Internet, Democracy, and Democratization . London:
Routledge.
Flynn, Norman. 1990.
Wheatsheaf.
Public
Sector
Management.
London: Harvester
Giddens, Anthony. 2001. Runaway World. Jakarta: Gramedia.
Hidayanto, Achmad Nizar, Yulia Razila Ningsih, Puspa Indah Sandhyaduhita, and
Putu Wuri Handayani. 2014. “The Obstacles of the E-Government
Implementation: A Case of Riau Province, Indonesia”. Journal of
Industrial and Intelligent Information , Vol. 2, No. 2, hlm. 126-130, Juni.
Indrajit, R. 2006. Elektronik Government: Strategi Pembangunan dan
Pengembangan Sistem Pelayanan Berbasis Teknologi Digital Yogyakarta:
Andi.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan E-Government.
Medina, Desmi Avicena. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap
Keberhasilan Pengembangan e-Government. Tesis. Jakarta: Universitas
Bina Nusantara.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa . Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Peet, Richard and Elaine Hartwick. 2009. Theories of Development. New York:
Guilford Press.
Putera, Roni Ekha. 2009. “E-Government dan Reformasi Birokrasi dalam Rangka
Peningkatan Pelayanan Publik di Daerah”. Demokrasi, Vol. 8, No. 1.
Ridley, Gail. 2011. “Potential toMitigate E-Government Barriers: Use of an IT
Control Framework”. MCIS 2011 Proceedings. Paper 51.
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
Subhilhar. 2008. Etika Pembangunan: Kajian Alternatif dalam Studi
Pembangunan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Sumatera
Utara, 20 September.
Yanuardi. 2012. Diktat Teori Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Dimuat di Gagasan, Vol. 21, No. 1, April 2015, hal. 42-46
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI),
Yogyakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Republik Indonesia.