MEREKONSTRUKSI SEJARAH LEMBAGA PENDIDIKA DOC

KATA PENGANTAR

Merekonstruksi Sejarah Lembaga Pendidikan Islam
Moh. Toriqul Chaer1

Lembaga pendidikan adalah suatu institusi di mana pendidikan itu berlangsung.
Lembaga tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam
beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang
pengertian lembaga pendidikan Islam. Menurut Nata (2005) dalam buku, Filsafat
Pendidikan Islam mengungkapkan bahwa kajian lembaga pendidikan Islam (tarbiyah
Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macammacam lembaga pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lembaga
pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keIslaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Permasalahan yang terjadi pada dunia pendidikan Islam merupakan masalah
sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga-lembaga sosial yang
ada, lembaga disebut juga institusi atau pranata. Dengan demikian lembaga pendidikan
Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan. lembagalembaga sosial, baik yang permanen maupun yang berubah-ubah. Menurut Hasan
Langggung pendidikan Islam berputar sekitar pengembangan jasmani, akal, emosi,
rohani, dan akhlak manusia. Begitu juga pendidikan dalam pengertian yang utuh, bukan
terbatas disekolah saja tetapi juga mempengaruhi pelajaran-pelajaran di rumah, di
masyarakat bahkan dijalanan selain itu, Islam juga mengenal pendidikan seumur hidup.2
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam Al-Qur’an tidak dikemukakan

penjelasan tentang lembaga pendidikan Islam secara detil, kecuali lembaga pendidikan
yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya
1

Moh. Toriqul Chaer, S. Ag, M. Pd.I, lahir di Tegal 21 Agustus 1974. Alumnus Short
Cource Ethnografi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI, bekerjasama dengan Institut Agama Islam Latifah
Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya (2012); Short Course Metodologi Penelitian
Antropologi Agama, Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
Direktorat PendidikanTinggi Islam Ditjen Pendidikan lslam Kementerian Agama RI
(2013); menjadi pembicara pada International Conference on Islamic Civilization
(ICIC) Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (29 - 31 Agustus
2014). Saat ini sebagai pengajar di STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron,
Ngawi, Jawa Timur.
2

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Bogor: Kencana, 2003), 146

1


pendidikan,

seperti masjid,

rumah,

sanggar

para

sastrawan,

madrasah, dan universitas. Meskipun lembaga seperti itu tidak disinggung secara
langsung dalam Al-Qur’an, akan tetapi Al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan
perhatian terhadap lembaga sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan
tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang
dalam Al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku
penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat
durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. An-Nisa (4): 72; QS. Al-A’raf (7):4; QS.
Al-Isra’ (17) :16; QS. An-Naml (27) :34) sebagian dihubungkan pula dengan

penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai
(QS. An-Nahl (16):112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para
Nabi (Q.S. An-Naml (27): 56; QS. Al-A’raf (7):88; QS. Al-An’am (6):92). Semua ini
menunjukkan bahwa lembaga (lingkungan) pendidikan berperan penting sebagai tempat
kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
Islam mengenal lembaga pendidikan semenjak detik-detik turunnya wahyu Allah
kepada Nabi SAW. Rumah Arqam bin abi al-arqam merupakan lembaga pendidikan
pertama. Guru agung pertama dalam dunia Islam adalah Nabi sendiri. Lembaga
pendidikan

Islam

bukanlah

lembaga

pendidikan

yang


beku,

Islam

justru

memperkenalkan lembaga pendidikannya dengan cara yang fleksibel, berkembang
menurut kehendak waktu dan tempat ketika rumah Al-Arqam dan rumah lain dianggap
sudah tidak dapat memuat bilangan kaum muslim yang begitu besar, umat Islam
kemudian mengalihkan lembaga pendidikannya ke masjid yang menjadi tempat kedua
atau institusi kedua setelah rumah Al-Arqam. Sedangkan lembaga pendidikan ketiga
muncul setelah kerajaan Umayyah. Masjid yang semula dijadikan tempat belajar utama
kini beralih menjadi tempat belajar orang dewasa sementara anak-anak mulai
mempelajari ilmu di Kuttab.3
3

Ibid., 152. Kuttab secara bahasa berasal dari istilah Arab, ka-ta-ba yang berarti
“menulis”. Menggunakan pola (wazan) fu’aal menjadi kuttab yang secara harfiah
berarti “para penulis” (Ensiklopedi Islam, 2003: 86). Lembaga ini bertujuan untuk
mengajarkan keterampilan menulis (kitabah) dan menghasilkan para penulis.

Dalam hal ini perlu penegasan bahwa penulis disini bukan penulis dalam arti para
pengarang kitab-kitab akan tetapi orang yang memiliki keahlian menulis pada
umumnya. Untuk dapat menulis secara otomatis murid-murid yang belajar di
kuttab harus dapat membaca (qiraah) (SM No. 06/Th. Ke- 96, 2011: 48).
Berdasarkan kajian Shalabi (2003), Kuttab telah ada di negeri Arab sejak masa praIslam, walau belum begitu dikenal dan baru berkembang pesat setelah periode bani
Ummayah, namun seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, jumlah
pemeluk Islam yang semakin bertambah jumlahnya. Selain kuttab-kuttab yang ada
di masjid, terdapat pula kuttab-kuttab umum yang berbentuk madrasah, yakni telah

2

Setelah itu muncullah sistem madrasah, yang menjadikan sistem pendidikan Islam
memasuki periode baru dalam pertumbuhan dan perkembangannya, diman periode ini
adalah periode terakhirnya. Sebab di sini madrasah sudah merupakan salah satu
organisasi resmi negara dimana dikeluarkannya pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
negara.4
Pelajaran dimadrasah resmi berjalan menurut peraturan dan undang-undang
sebagaimana ita kenal hari ini, segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan
murid-murid, program-program pengajaran, staf-staf perpustakaan, dan gelar-gelar
ilmiah semuanya diatur dan diberi undang-undang. Bentuk lembaga pendidikan Islam

mempergunakan gedung sendiri dan mampu menampung ribuan murid. Kuttab
jenis ini mulai berkembang karena adanya pengajaran khusus bagi anak-anak
keluarga kerajaan, para pembesar, dan pegawai Istana. Diantara yang
mengembangkan pengajaran secara khusus ini adalah Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi
(w.714). Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi yang pada mulanya menjadi muaddib bagi anakanak Sulayman bin Na’im, Wazir Abd al-malik bin Marwan (Lihat Shalabi, A, Sejarah
Pendidikaan Islam, terj. Muhtar Yahya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 86). Menurut
Izudin Abbas ada dua macam kuttab diantaranya adalah Satu ; kuttab untuk anakanak yang membayar iuran pendidikan. Dua ; untuk anak-anak orang miskin yang
disebut Kuttab Al-Sabil (pondok orang dalam perjalanan). Bersama dengan
kemajuan peradaban yang dicapai oleh masyarakat Islam di zaman kerajaan
Abbasiyah, lembaga-lembaga pendidikan lain mulai mengarahkan dirinya terhadap
pendidikan Islam dan muncullah Daar al hikmah dengan tujuan agar gerakan
terjemahan bertambah luas.
4
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar
menenuhi elemen-elemen institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada
lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank P. Besag dan Jack L.
Nelson menyatakan elemen institusi sekolah terdiri atas tujuh macam, yaitu;
1) Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga sekolah diharapkan memberi
kontribusi terhadap tuntutan masyarakat yang ada, tuntutan kelembagaan
sendiri dan aktor;

2) Actor (pelaku). Actor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan fungsi
kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai status dalam institusi
tempat ia berada;
3) Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar dengan bebrerapa bentuk dan
hubungan-hubungannya antar-aktor;
4) Share in society (tersebar dalam masyarakat). Institusi memberikan
seperangkat nilai, ide, dan sikap dominan dalam masyarakat, serta mempunyai
hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik terhadap sistem politik,
ekonomi masyarakat, kebudayaan, pengetahuan, dan kepercayaan;
5) Sanction (sanksi). Institusi memberikan penghargaan dan hukuman bagi actor.
Wewenang sanksi diperlakukan bila berhubungan dengan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat tempat institusi berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai
dengan ukurannya;
6) Ceremony (upacara, ritus, dan simbol). Upacara dalam pendidikan dilakukan
sebagai pengikat tentang status, pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda;
7) Resistance
to
change (menentang
perubahan).
Institusi

berorientasi
terhadap status quo akan menimbulkan problem baru. Institusi didirikan untuk
tujuan sosial tertentu, sehingga ia hidup dengan cara tertentu pula. Oleh
karena itu, actor sering khawatir melakukan kesalahan, walaupun hal-hal yang
dilakukan mengandung inovasi positif. Perubahan yang terjadi akan menjadi
sorotan masyarakat (Lihat Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta:Kencana, 2008, Cet ke 2, hlm. 242.

3

apapun dalam Islam harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati
sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lainnya tidak terjadi tumpang-tindih.
Prinsip-prinsip pembentukan lembaga pendidikan Islam itu, diantaranya adalah; 5
Pertama; prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan
manusia pada api neraka.Kedua; prinsip pembinaan umat manusia menjadi hambahamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia didunia dan
akherat. Ketiga; prinsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar
keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling
mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada khaliknya. Keempat; prinsip
amar ma’ruf nahi munkar. Kelima ; prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya
rasa, sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan

daya cipta, rasa dan karsanya.
Sebagai upaya pengembangan ilmu dan pencapaian cita-cita suatu bangsa, maka
institusi yang memiliki peran penting adalah institusi pendidikan baik negeri maupun
swasta, umum atau yang berciri khas agama islam termasuk dalam hal ini madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam, seharusnya memiliki misi yang jelas
bagaimana mempertahankan, mengembangkan, mengaktualisasikan ajaran islam.
Kaitannya

dengan

madrasah,menurut

Fazlur

Rahman

bahwa

diantara


yang

menyebabkan kemunduran ilmu pengetahuan umat islam adalah karena kekeringan dan
jauhnya umat islam dari hakekat ilmu-ilmu keagamaan yang pada dasarnya memberi
peluang selebar-lebarnya terhadap fungsi akal dan rasio, munculnya larangan ulama
pada zaman pertengahan dalam mencari ilmu yang tidak langsungberhubungan dengan
amal dan pemahaman masyarakat islam terhadap hakekat ilmu yang dianggap sesuatu
yang dicari dan dibangun secara sistematis oleh akal pikiran manusia sendiri.
Kegelisahan yang muncul ketika sekolah islam gagal mencetak kader aktivis
islam, mencerminkan konsep fungsi dan kurikulum yang tidak jelas model
pembelajarannya tidak mendorong anak didik dari keluarga bukan santri, menjadi
aktivis gerakan selama masa pendidikan. Pembelajarannya tidak beda dari sekolah
umumnya. Sejumlah bidang studi umum, berbeda dan saling bertentangan dengan ilmu
ke-islam-an. Penambahan jumlah jam bidang studi ke-islam-an bukanlah jawaban
cerdas.

5

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika,
2006), 223-224


4

Untuk menata kembali aspek-aspek pembelajaran yang telah lama tidak
dituangkan dalam pembelajaran, perlu kiranyapemahaman dan kajian secara mendalam
dan integral tahap demi tahap. “ Disamping itu, reformasi pendidikan harus
memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidkan
untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan terjadinya
peningkatan mutu pendidikan.” Kelemahan yang terjadi dalm pembelajaran di
madrasah selama ini adalah para tenaga pendidk kurang mengembangkan intern
thinking and learning experience student. Seharusnya semakin banyak lembaga islam
yang merdiri, maka semakin banyak pula tokoh islam yang memperjuangkan nilai-nilai
keislaman diberbagai aspek kehidupan.
Buku ini berisi gambaran bagaimana latar belakang sejarah perkembangan
madrasah; Fenomena Madrasah Dalam Membangun Idealisme, pembahasan Madrasah
Kontemporer,

yang

mengetengahkan

madrasah

yang

ada

saat

ini

beserta

problematikanya, Pengembangan Dan Pembangunan Madrasah di Masa D epan, dan
Catatan Akhir.
Buku yang ditulis oleh Saudara Samsul Hadi merupakan upaya
penulis untuk menghadirkan gambaran bagaimana model desain pengembangan
madrasah di masa depan. Disamping rencana untuk operasi jangka pendek yang
diimplementasikan dengan pelaksanaan tujuan, Hasil yang dicapai dan “outcome”
untuk mencapai Rencana Strategis Jangka Panjang. Selain itu, upaya untuk berusaha
menjawab -sebagian

kecil- permasalahan dalam pengembangan madrasah ke depan

yang diarahkan untuk

meningkatkan

standar

mutu,

kemampuan

penyelenggaraan pendidikan .
Ngawi, 17 Agustus 2015

5

dalam