Desentralisasi Fiskal Teori dan Praktik.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Desentralisasi fiskal merupakan kewenangan yang diberikan pemerintah
pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
pelayanannya untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dari tingkat provinsi
sampai desa. Pemerintahan Indonesia yang semula bersifat sentralistik diubah
sistemnya menjadi desentralistik karena pada prinsipnya pemerintah daerahlah
yang lebih mengerti kondisi masyarakat yang ada di daerahnya).
Adanya desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas,
pemerintah lokal lebih mengetahui preferensi dan kebutuhan masyarakat,
sehingga apabila biaya penyediaan barang dan jasa publik adalah sama untuk
pemerintahan lokal (kabupaten/kota) dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,
maka akan lebih efektif dan efisien apabila penyediaan tersebut diserahkan
kepada pemerintah lokal.
Untuk penyediaan jasa dan barang publik ini diperlukan sumber fiskal
yang memadai. Selain dana transfer dari pemerintah pusat , dengan adanya
desentralisasi, setiap daerah dapat lebih memanfaatkan potensi daerahnya
masingmasing sebagai sumber pendanaan dalam pembangunan. Sehingga
daerah diarahkan untuk secermat mungkin dalam penggunaan dana APBDnya
khususnya untuk daerah yang tidak kaya sehingga dapat memberikan kontribusi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka pada makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang “Desentralisasi fiscal, Teori dan praktik”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian dari Desantralisasi Fisakl?
2. Apakah 4 Pilar Utama dari Desaentralisasi fiskal?
3. Bagaimana Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah?
4. Bagaimana Desentralisasi di Indonesia?
5. Bagaimana Elemen Utama Desentralisasi Fiskal?
6. Bagaimana Sistem Dana Perimbangan?
7. Bagaimana Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah?
8. Bagaimana Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan
Efektif?
9. Bagaimana Rencana Aksi 2015?
10. Bagaimana Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah?
11. Bagaimana Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan
Minimum?
1
1.3 TUJUAN PENULIS
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian dari Desantralisasi Fisakl
2. Mengetahui 4 Pilar Utama dari Desaentralisasi fiskal
3. Mengetahui Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah
4. Mengetahui Desentralisasi di Indonesia
5. Mengetahui Elemen Utama Desentralisasi Fiskal
6. Mengetahui Sistem Dana Perimbangan
7. Mengetahui a Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah
8. Mengetahui Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan
Efektif
9. Mengetahui Rencana Aksi 2015
10. Mengetahui Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah
11. Mengetahui Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan
Minimum
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pemberdayaan masyarakat melalui
pemberdayaan fiskal pemerintah daerah (Bahl, 2009)
2.2 EMPAT PILAR UTAMA DESENTRALISASI FISKAL :
a. Pilar pengeluaran
b. Pilar penerimaan
c. Pilar transfer antar berbagi tingkatan pemerintahan/pemerintah daerah
d. Pilar pinjaman daerah
1. Tujuan transfer :
a. Pemerataan vertikal (vertical equalization)
Tujuannya adalah untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan
yang diperoleh setiap level pemerintahan dengan pelayanan yang
harus diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat /
fiscal gap
b. Pemerataan horizontal (horizontal equalization)
Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga
menghasilkan penerimaan yang sama di daerah.
c. Mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial
externalities)
Pemerintah
Pusat
perlu
memberikan
semacam
insentif/menyerahkan sumber – sumber keuangan agar pelayanan
publik dapat dipenuhi daerah. Seperti “imbalan pendapatan”
dalam proyek proyek seperti universitas, rumah sakit, dsb.
Sehingga Pemerintah daerah mau berinvestasi disitu.
d. Mengarahkan prioritas (redirecting priorities)
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing – masing di
dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakat dan
seringkali prioritas yang dikembangkan di setiap level
pemerintahan bertentangan dengan prioritas yang sedang
dibangun oleh level pemerintahan lainnya. Contohnya pemerintah
pusat menginginkan pembangunan di sektor pendidikan
sedangkan pemerintahan daerah menginginkan pembangunan di
sektor kesehatan. Agar keinginan pemerintah pusat dan daerah
dapat berjalan secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat
memberi transfer kepada daerah. Transfer tersebut dapat
membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat
sesuai keinginan yang diharapkan masing – masing level
pemerintahan
3
e. Melakukan eksperimen dengan ide – ide baru (experimenting with
new ideas)
Sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba/eksperimen program
baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan
daerah yang mana menjadi ajang uji coba suatu program baru dari
pusat
f. Stabilisasi
g. Kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan
minimum di setiap daerah
Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave yang menyatakan bahwa
peran redistributif dari sektor publik dijalankan oleh pemerintah
pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap
daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh
pemerintah pusat
4
2.3 KRITERIA DESAIN TRANSFER PUSAT KE DAERAH
a. Otonomi
Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal. Prinsip ini menekankan
agar pemerintah daerah memiliki independensi dan fleksibilitas dalam
menentukan prioritas – prioritas mereka. Tidak boleh adanya pembatasan
yang ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti
atau mengacu kepada ketentuan pusat.
b. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy)
Pemerintah daerah seharusnya memiliki pendapatan yang cukup untuk
menjalankan segala kewajiban/fungsi yang diembannya
c. Keadilan (equity)
Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan
positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan besarnya kapasitas fiskal
daerah yang bersangkutan
d. Transparan dan Stabil
Transfer disini mesti diumumkan dan dapat diakses/diketahui oleh
masyarakat, dan setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan
totalnya sehingga memudahkan penyusunan anggaran
e. Sederhana (simplicity)
Alokasi dana kepada pemerintah daerah didasarkan pada faktor – faktor
objektif dan formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk
dipahami.
f. Insentif
desain transfer harus memberikan insentif bagi daerah dan menangkal
praktik yang tidak efisien
Jenis – jenis transfer
a. Transfer tanpa syarat
Transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam
kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap daerah dapat
melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak.
Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang
bersifat horizontal.
Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan penuh
dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan peritimbangan
sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerah tersebut.
b. Transfer dengan syarat
Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting
oleh pemerintah pusat namun kurang penting oleh daerah. Contohnya
proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerah lain.
Transfer ini dikelompokkan menjadi :
Transfer Pengimbang
5
Transfer pengimbang merupakan transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menutup sebagian/seluruh kekurangan
pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Transfer pengimbang
dibedakan menjadi 2 yaitu:
- Transfer pengimbang tidak terbatas
Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut memang
ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi.
Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan
dana sebesar Rp 100 Miliyar. Sementara itu, daerah hanya
mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan
dana atau sebesar Rp 10 Miliyar. Maka, kekurangan tersebut
ditanggung sepenuhnya oleh pusat.
- Transfer pengimbang terbatas
Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang
dapat digunakan. Misalnya, sebuah proyek pembangunan
universitas awalnya membutuhkan dana sebesar Rp 100 Miliyar.
Sementara itu daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar
10%. Maka kekurangan ditanggung sepenuhnya oleh pusat.
Namun, dalam perjalanannya estimasi biaya membengkak
menjadi Rp 110 Miliyar. Karena pemerintah pusat tidak mau
mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah anggaran semula yaitu Rp 100 Miliyar.
Transfer bukan pengimbang
Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis
urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah
sendiri telah mengalokasikan dananya dengan jumlah besar/kecil.
Transfer ini dapat dipakai oleh pemerintah pusat untuk menjadi
sarana menginternalisasikan manfaat tersebut.
2.4 DESENTRALISASI DI INDONESIA
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada
pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang akan merupakan
tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur,
diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula
sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah
menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom. Dengan demikian, otonomi daerah
adalah bersumber dari desentralisasi tetapi desentralisasi tidaklah selalu
mengacu pada otonomi. Otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada
kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian otonomi daerah menurut UU
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun
2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip demokrasi,
keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu daerah
terdapat perbedaan interpretasi dari satu sistem pemerintahan dengan sistem
6
pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari faktor-faktor yang dijadikan tolok
ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
Dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk
memudahkan pembangunan di tiap daerah guna mencapai tujuan negara.
Transfer dana dari APBN yang terdiri atas dana perimbangan dan dana otonomi
khusus dan penyesuaian sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah
dalam proses transfer. Setidaknya Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mencatat ada 21 masalah. Kompleksnya
proses transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam
berbagai bentuk, seperti Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA ), Dana
Alokasi Khusus (DAK), Dana Anggaran Umum (DAU), Dana Penyesuaian, Dana
Insentif Daerah (DID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
(DPPID), membuat proses pembangunan di daerah menjadi tidak optimal. Belum
lagi sumber daya manusia daerah sebagai pelaksana otonomi atas penerimaan
transfer dana tersebut belum mumpuni untuk mengelolanya.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional.
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Ketentuan UU nomer 32 tahun 2004 tentang urusan yang tetap dilakukan
oleh pemerintah pusat dan pembiayaan guna melaksanakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal itu sukses maka semuanya harus dalam rangka memenuhi 3
prinsip pokok yaitu prinsip transparansi, peran serta/ partisipasi, dan
akuntabilitas.
7
2.5 ELEMEN UTAMA DESENTRALISASI FISKAL
4 elemen utama desentralisasi fiskal: sistem dana perimbangan;sistem
pajak dan pinjaman daerah sistem administrasi dan anggaran pemerintah pusat,
dan serta daerah;penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM
Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah mempercepat
terwujudnya kesejahteraan ekonomi melalui peningkatan PRDB per kapita, dan
peningkatan ekonomi daerah melalui investasi yang mampu membuka lapangan
kerja. Dan juga dari segi sosial yaitu dengan menekan angka pengangguran
terbuka sehingga meningkatkan index pembangunan manusia (IPM) dan
akhirnya menekan angka kriminalitas. Asas Desentralisasiadalah penyerahan
wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penerapan otonomi daerah
bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyara-kat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masya-rakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sarana untuk mendatangkan para investor salah satunya dengan
meningkatkan pelayanan publik
Good Governance
Standar akuntansi pemerintah(PP no 24/2005 tentang SAP)
Reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah(PP no 58/2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah)
Standar pelayanan minimum/SPM (PP no 65/2005 tentang SPM)
8
2.6 SISTEM DANA PERIMBANGAN
Masalah strategis pada desentralisasi di indonesia adalah pada sistem
transfer antar tingkat pemerintahan, ciri ciri sistem transfer di indonesia:
Sering adanya perubahan formula pada DAU dan DAK
Peningkatan cakupan dari DBH dan penerapan earmarked pengeluaran
dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah
Perubahan total alokasi DAU dan DAK
Belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignment
atau dalam hal ini adalah tingkat pencapaian SPM (standar pelayanan
minimum)
Kondisi Dana Alokasi Umum yang diharapkan
Menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU
Kemandirian dengan cara belanja daerah tidak memanfaatkan variabel
DAU
Perhitungan kebijakan fiscal yang benar benar didasarkan pada
perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah dengan bertujuan pada
peningkatan SPM (standar pelayanan minimum)
Kondisi Dana Alokasi Khusus yang diharapkan
Perlunya diperjelas prioritas nasional yang perlu di dukung oleh DAK,
seharusnya hanya 3 bidang prioritas yang di khususkan yaitu
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Agar belanja daerah lebih fokus
dan terarah.
Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat dan
daerah dalam pelaksanaann DAK
Menyederhanakan formula alokasi DAK menjadi:
i.
Kriteria Umum
ii.
Kriteria Khusus
iii.
Kriteria Teknis
Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK menjadi lebih rumit dari
formulasi DAU maka diperlukan penyederhanaan dengan mempertimbangkan
fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional dan daerah (Ditjen
Perimbangan Keuanganm,2009)
Kondisi Dana Bagi Hasil yang diharapkan
9
Harapan secara sederhana yaitu suatu sistem bagi hasil yang lebih
sederhana.
Dan
tetap
mengemban
fungsinya
untuk
mengurangi
ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal
nasional
Penyederhanaan alokasi DBH dan pemberian argumentasi yang jelas
dan rinci terhadap proporsi pembagian DBH antara pusat dan daerah.
Sistem penyaluran DBH yang lebih baik agar alokasi DBH ke daerah
penghasil menjadi tepat waktu, dan jumlahnya tepat sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal sesuai yang direncanakan
Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu “earmarking”
10
2.7 SISTEM PAJAK LOKAL DAN PINJAMAN DAERAH
Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia
cenderung menetapkan berbagai jenis retriusi untuk mengurangi keterbatasan
jenis pajak yang berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis
2003). Indonesia maupun Negara lain dimana pemerintah daerahnya memiliki
otonomi pajak yang relative rendah juga mengalami peningkatan praktik adopsi
retribusi untuk menghasilkan pendapatan tambahan (Bryson 2008).
Keleluasaan untuk menentukan tariff pajak atau peluasan pajak daerah
vis a vis penurunan alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah,
tergantung dari kondisi awal keuangan public yaitu:
1)
Tingginya transaction cost bisa di akibatkan dari:
Misal tingginya uncertainty dari penetapan kebijakan pemerintah daerah
yang berubah-ubah, dikarenakan tata perundang-unangan yang masih
taraf membenahan serta lemahnya enforcment;
Biaya finansial atau administrasi yang lebih tinggi diakibatkan lemahnya
kapasitas daerah;
Serta akibat dari informasi yang terpusat ataupun ekslusif untuk setiap
daerah sehingga tidak ada pembelajaran dari best practices daerah dan
juga kosensus politik.
2)
Pengalaman Negara-negara lain menunjukkan pemerintah daerah
dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih “status
quo” dalam penerimaan pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan
Osei Wusu 2004)
Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam
bentuk peningkatan batasan defisit anggaran daerah (dan juga batasan
akumulasi pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin
belum sepenuhya berjalan, atau terbatasnya sumber penerimaan untuk
penyediaan barang publik, menyebabkan beberapa daerah memiliki
anggaran defisit.
11
2.8 PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN DAERAH YANG EFISIENSI DAN
EFEKTIF
Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satuu instrument yang
sangat penting dalam desentralisasi fiscal, karena mencerminkan seberapa
besar otoritas pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintah. Pajak juga
merupakan instrument untuk pengelola permintaan dan penawaran barang public
local, instrument untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah
daerah terhadap public, dan instrumen untuk mempengaruhi tingkah laku
konsumen / public setempat. Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi
seberapa besar daerah dipercaya dan mempunyai kemampuan pengelolaan
sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai pengeluarannya. Jika
beberapa sumber fiscal yang penting dikonsolidasi dan di kelola ditingkat pusat,
maka peran transfer akan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber
fiscal yang penting dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi
kurang dominan. Otoritas pajak yang dimiliki oleh suatu tingkat pemerintahan
mempunya beberapa tingkatan, dari hanya kewenangan memungut atau
administrasi, kewenangan menentukan tarif, hingga kewenangan untuk
menentukan jenis dan basis pajak dalam tingkatan otoritas yang paling rendah,
pemerintah daerah hanya diberikan wewenang memungut (delegasi).
Kondisi saat ini
Kondisi saat ini
Dalam skema desentralisasi fiscal di Indonesia, pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tariff secara terbatas
untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU (tariff maksimum
telah ditentukan oleh UU). Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki
instrument yang hanya terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan.
Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah
untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya
tinggi. Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ditunjukan oleh data
bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%.
kondisi yang diharapkan.
Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiscal dengan penguatan
kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu yang sangat
penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti
memberikan sumber fiscal tanpa mempertimbangkan dampak terhadap daerah
dan nasional, melainkan melalui penelaahan beberapa factor dengan mengacu
pada prinsipp efisiensi dan efektivitas.
tiga Strategi
Tiga strategi utama guna memperbaiki kondisi perpajakan daeah yaitu:
harmonisasi pajak daerah dan pusat, Dimana jenis pajak pada
dasarnya tidak berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru,
maka harus dihindari terjadinya pajak ganda (double taxation) yang
disebabkan pusat dan daerah sama-sama memungut pada basis/jenis
12
yang sama. Harmonisasi yang baik bagi
pusat maupun daerah
mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai tugas pembiayaan yang
diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak terlepas dari
kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian baban
belanja pusat-daerah (expenditure assignment). Alokasi kewenangan
pajak ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga
pembagian beban belanja.
local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis
pajak secara utuh, maka ada peluang untuk melakukan redifinisi istilah
perpajakan yang lebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis
pajak ini untuk kemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang
dapat dilakukan pusat, daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah menerapkan system
opsen untuk PPh. System opsen ini selain sebagai sumber pendapatan,
juga dapat menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi sealigus latihan
bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah yang baik tidaklah harus
banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalah signifikan hasilnya.
Satu hal penting yang perlu diingat dalam optimalisasi adalah local taxing
power adalah bahwa desain desentralisasi fiscal di Indonesia
menghendaki adanya pajak daerah yang mempu memberikan hasil yang
signifikan, bukan pajak daerah yang dominan
Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif
terhadap perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya
diintegrasikan dengan perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan
usaha. Saat ini banyak daerah masih menerapkan berbagai pungutan
untuk mendapatkan izin usaha. Walaupun makin banyak daerah yang
mempunyai Sistem Pelayanan Satu Pintu/Jendela (OSS = One Stop
Service), tetapi pada tataran implementasi, masih banyakOSS yang tidak
secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perizinan usaha
memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat beberapa
jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan biaya.
Pajak pengolahan usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrument
yang berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai
alat untuk menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa
menghilangkan unsur pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu
membayar biaya-biaya perizinan atau perpanjangannya secara terpisahpisah., cukup melakukan pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah
juga dapat mendesain tarif pajak ini sehingga tidak memberatkan dunia
usaha sekaligus sebagai alat untuk meningkatkan daya saing daerah.
Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam
kemampuan dan kapasitas pemerinahan daerahnya., dalam desain pajak
untuk daerah perlu dilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya
prekondisi minimum untuk menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat
pemberian wewenang pajak tertentu ke daerah, dan kedua, pusat
membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam
pemahaman ekonomi perpajakan dan kemampuan teknis administrasi
13
perpajakan. Adanya perkondisi atau persyarat minimum ini
memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam dan
serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing
2.9 RENCANA AKSI 2015
Guna mendukung menerapkan strategi tersebut di atas secara baik, maka
dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan
sebagai berikut:
Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga
pengalihan pajak kedaerah yang siap tidak akan menimbulkan
ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.
Mempercepat masa transisi pengalihan PBB dari 5 menjadi 3 tahun
Menerapkan sistem opsen untuk beberapa jenis pajak tertentu, missal
pajak rokok dan PPh.
Mengenalkan pajak pengelolaan usaha sebagai pengganti semua
pungutan untuk memperoleh dan memperpajang izin usaha.
Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak secara terbatas dengan
terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini
untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi. Menyelaraskan
penguatan pajak daerah dengan kewajian belanja daerah dan besaran
transfer dari pusat.
2.10 ADMINISTRASI PUSAT DAN PENGANGGARAN DAERAH
Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada system
penerimaan untuk pemerintah daerah, yaitu system transfer dan revenue
asssignments, tetapi juga menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah.
Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiscal
dari pengeluaran pemerintah, dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran
pusat dan daerah. Kebijakan penganggaran pada pemerintah pusat dan daerah
merupakan reformasi yang relative baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun
2007). Perubahan baru pada proses administrasi penganggaran di tingkat pusat
dan daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemeriintah pusat
dan daerah, yang bertujuan untuk memperkuat:
1. Akuntabilitas dari pengeluaran (input)
2. Keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan
3. Keterkaitan dengan pencapaian peningkatan aspek kesejahterahaan di
masyarkat (outcome).
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Desentralisasi Fiskal di Indonesia memerlukan banyak hal yang perlu diperbaiki
baik dari segi formulasi maupun kebijakan agar tiap daerah bisa berkembang dan
masyarakatnya semakin makmur selaras dengan tujuan pemerintah pusat dan
negara. Desentralisasi Fiskal juga membantu setiap daerah dalam
mengembangkan potensinya melalui Dana Bagi hasil, Dana Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus. Tentunya penentuan dari dana yang dibagikan tidak
mengandung unsur politik atau menguntungkan diri sendiri maupun kelompok.
15
DAFTAR PUSTAKA
Prawoto, Agus, 2011. Pengantar keuangan publik (edisi pertama). Yogyakarta:
BPFE.
16
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Desentralisasi fiskal merupakan kewenangan yang diberikan pemerintah
pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
pelayanannya untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dari tingkat provinsi
sampai desa. Pemerintahan Indonesia yang semula bersifat sentralistik diubah
sistemnya menjadi desentralistik karena pada prinsipnya pemerintah daerahlah
yang lebih mengerti kondisi masyarakat yang ada di daerahnya).
Adanya desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas,
pemerintah lokal lebih mengetahui preferensi dan kebutuhan masyarakat,
sehingga apabila biaya penyediaan barang dan jasa publik adalah sama untuk
pemerintahan lokal (kabupaten/kota) dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,
maka akan lebih efektif dan efisien apabila penyediaan tersebut diserahkan
kepada pemerintah lokal.
Untuk penyediaan jasa dan barang publik ini diperlukan sumber fiskal
yang memadai. Selain dana transfer dari pemerintah pusat , dengan adanya
desentralisasi, setiap daerah dapat lebih memanfaatkan potensi daerahnya
masingmasing sebagai sumber pendanaan dalam pembangunan. Sehingga
daerah diarahkan untuk secermat mungkin dalam penggunaan dana APBDnya
khususnya untuk daerah yang tidak kaya sehingga dapat memberikan kontribusi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka pada makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang “Desentralisasi fiscal, Teori dan praktik”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian dari Desantralisasi Fisakl?
2. Apakah 4 Pilar Utama dari Desaentralisasi fiskal?
3. Bagaimana Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah?
4. Bagaimana Desentralisasi di Indonesia?
5. Bagaimana Elemen Utama Desentralisasi Fiskal?
6. Bagaimana Sistem Dana Perimbangan?
7. Bagaimana Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah?
8. Bagaimana Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan
Efektif?
9. Bagaimana Rencana Aksi 2015?
10. Bagaimana Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah?
11. Bagaimana Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan
Minimum?
1
1.3 TUJUAN PENULIS
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian dari Desantralisasi Fisakl
2. Mengetahui 4 Pilar Utama dari Desaentralisasi fiskal
3. Mengetahui Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah
4. Mengetahui Desentralisasi di Indonesia
5. Mengetahui Elemen Utama Desentralisasi Fiskal
6. Mengetahui Sistem Dana Perimbangan
7. Mengetahui a Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah
8. Mengetahui Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan
Efektif
9. Mengetahui Rencana Aksi 2015
10. Mengetahui Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah
11. Mengetahui Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan
Minimum
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pemberdayaan masyarakat melalui
pemberdayaan fiskal pemerintah daerah (Bahl, 2009)
2.2 EMPAT PILAR UTAMA DESENTRALISASI FISKAL :
a. Pilar pengeluaran
b. Pilar penerimaan
c. Pilar transfer antar berbagi tingkatan pemerintahan/pemerintah daerah
d. Pilar pinjaman daerah
1. Tujuan transfer :
a. Pemerataan vertikal (vertical equalization)
Tujuannya adalah untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan
yang diperoleh setiap level pemerintahan dengan pelayanan yang
harus diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat /
fiscal gap
b. Pemerataan horizontal (horizontal equalization)
Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga
menghasilkan penerimaan yang sama di daerah.
c. Mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial
externalities)
Pemerintah
Pusat
perlu
memberikan
semacam
insentif/menyerahkan sumber – sumber keuangan agar pelayanan
publik dapat dipenuhi daerah. Seperti “imbalan pendapatan”
dalam proyek proyek seperti universitas, rumah sakit, dsb.
Sehingga Pemerintah daerah mau berinvestasi disitu.
d. Mengarahkan prioritas (redirecting priorities)
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing – masing di
dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakat dan
seringkali prioritas yang dikembangkan di setiap level
pemerintahan bertentangan dengan prioritas yang sedang
dibangun oleh level pemerintahan lainnya. Contohnya pemerintah
pusat menginginkan pembangunan di sektor pendidikan
sedangkan pemerintahan daerah menginginkan pembangunan di
sektor kesehatan. Agar keinginan pemerintah pusat dan daerah
dapat berjalan secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat
memberi transfer kepada daerah. Transfer tersebut dapat
membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat
sesuai keinginan yang diharapkan masing – masing level
pemerintahan
3
e. Melakukan eksperimen dengan ide – ide baru (experimenting with
new ideas)
Sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba/eksperimen program
baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan
daerah yang mana menjadi ajang uji coba suatu program baru dari
pusat
f. Stabilisasi
g. Kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan
minimum di setiap daerah
Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave yang menyatakan bahwa
peran redistributif dari sektor publik dijalankan oleh pemerintah
pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap
daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh
pemerintah pusat
4
2.3 KRITERIA DESAIN TRANSFER PUSAT KE DAERAH
a. Otonomi
Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal. Prinsip ini menekankan
agar pemerintah daerah memiliki independensi dan fleksibilitas dalam
menentukan prioritas – prioritas mereka. Tidak boleh adanya pembatasan
yang ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti
atau mengacu kepada ketentuan pusat.
b. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy)
Pemerintah daerah seharusnya memiliki pendapatan yang cukup untuk
menjalankan segala kewajiban/fungsi yang diembannya
c. Keadilan (equity)
Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan
positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan besarnya kapasitas fiskal
daerah yang bersangkutan
d. Transparan dan Stabil
Transfer disini mesti diumumkan dan dapat diakses/diketahui oleh
masyarakat, dan setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan
totalnya sehingga memudahkan penyusunan anggaran
e. Sederhana (simplicity)
Alokasi dana kepada pemerintah daerah didasarkan pada faktor – faktor
objektif dan formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk
dipahami.
f. Insentif
desain transfer harus memberikan insentif bagi daerah dan menangkal
praktik yang tidak efisien
Jenis – jenis transfer
a. Transfer tanpa syarat
Transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam
kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap daerah dapat
melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak.
Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang
bersifat horizontal.
Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan penuh
dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan peritimbangan
sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerah tersebut.
b. Transfer dengan syarat
Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting
oleh pemerintah pusat namun kurang penting oleh daerah. Contohnya
proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerah lain.
Transfer ini dikelompokkan menjadi :
Transfer Pengimbang
5
Transfer pengimbang merupakan transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menutup sebagian/seluruh kekurangan
pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Transfer pengimbang
dibedakan menjadi 2 yaitu:
- Transfer pengimbang tidak terbatas
Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut memang
ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi.
Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan
dana sebesar Rp 100 Miliyar. Sementara itu, daerah hanya
mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan
dana atau sebesar Rp 10 Miliyar. Maka, kekurangan tersebut
ditanggung sepenuhnya oleh pusat.
- Transfer pengimbang terbatas
Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang
dapat digunakan. Misalnya, sebuah proyek pembangunan
universitas awalnya membutuhkan dana sebesar Rp 100 Miliyar.
Sementara itu daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar
10%. Maka kekurangan ditanggung sepenuhnya oleh pusat.
Namun, dalam perjalanannya estimasi biaya membengkak
menjadi Rp 110 Miliyar. Karena pemerintah pusat tidak mau
mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah anggaran semula yaitu Rp 100 Miliyar.
Transfer bukan pengimbang
Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis
urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah
sendiri telah mengalokasikan dananya dengan jumlah besar/kecil.
Transfer ini dapat dipakai oleh pemerintah pusat untuk menjadi
sarana menginternalisasikan manfaat tersebut.
2.4 DESENTRALISASI DI INDONESIA
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada
pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang akan merupakan
tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur,
diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula
sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah
menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom. Dengan demikian, otonomi daerah
adalah bersumber dari desentralisasi tetapi desentralisasi tidaklah selalu
mengacu pada otonomi. Otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada
kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian otonomi daerah menurut UU
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun
2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip demokrasi,
keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu daerah
terdapat perbedaan interpretasi dari satu sistem pemerintahan dengan sistem
6
pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari faktor-faktor yang dijadikan tolok
ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
Dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk
memudahkan pembangunan di tiap daerah guna mencapai tujuan negara.
Transfer dana dari APBN yang terdiri atas dana perimbangan dan dana otonomi
khusus dan penyesuaian sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah
dalam proses transfer. Setidaknya Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mencatat ada 21 masalah. Kompleksnya
proses transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam
berbagai bentuk, seperti Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA ), Dana
Alokasi Khusus (DAK), Dana Anggaran Umum (DAU), Dana Penyesuaian, Dana
Insentif Daerah (DID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
(DPPID), membuat proses pembangunan di daerah menjadi tidak optimal. Belum
lagi sumber daya manusia daerah sebagai pelaksana otonomi atas penerimaan
transfer dana tersebut belum mumpuni untuk mengelolanya.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional.
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Ketentuan UU nomer 32 tahun 2004 tentang urusan yang tetap dilakukan
oleh pemerintah pusat dan pembiayaan guna melaksanakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal itu sukses maka semuanya harus dalam rangka memenuhi 3
prinsip pokok yaitu prinsip transparansi, peran serta/ partisipasi, dan
akuntabilitas.
7
2.5 ELEMEN UTAMA DESENTRALISASI FISKAL
4 elemen utama desentralisasi fiskal: sistem dana perimbangan;sistem
pajak dan pinjaman daerah sistem administrasi dan anggaran pemerintah pusat,
dan serta daerah;penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM
Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah mempercepat
terwujudnya kesejahteraan ekonomi melalui peningkatan PRDB per kapita, dan
peningkatan ekonomi daerah melalui investasi yang mampu membuka lapangan
kerja. Dan juga dari segi sosial yaitu dengan menekan angka pengangguran
terbuka sehingga meningkatkan index pembangunan manusia (IPM) dan
akhirnya menekan angka kriminalitas. Asas Desentralisasiadalah penyerahan
wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penerapan otonomi daerah
bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyara-kat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masya-rakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sarana untuk mendatangkan para investor salah satunya dengan
meningkatkan pelayanan publik
Good Governance
Standar akuntansi pemerintah(PP no 24/2005 tentang SAP)
Reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah(PP no 58/2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah)
Standar pelayanan minimum/SPM (PP no 65/2005 tentang SPM)
8
2.6 SISTEM DANA PERIMBANGAN
Masalah strategis pada desentralisasi di indonesia adalah pada sistem
transfer antar tingkat pemerintahan, ciri ciri sistem transfer di indonesia:
Sering adanya perubahan formula pada DAU dan DAK
Peningkatan cakupan dari DBH dan penerapan earmarked pengeluaran
dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah
Perubahan total alokasi DAU dan DAK
Belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignment
atau dalam hal ini adalah tingkat pencapaian SPM (standar pelayanan
minimum)
Kondisi Dana Alokasi Umum yang diharapkan
Menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU
Kemandirian dengan cara belanja daerah tidak memanfaatkan variabel
DAU
Perhitungan kebijakan fiscal yang benar benar didasarkan pada
perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah dengan bertujuan pada
peningkatan SPM (standar pelayanan minimum)
Kondisi Dana Alokasi Khusus yang diharapkan
Perlunya diperjelas prioritas nasional yang perlu di dukung oleh DAK,
seharusnya hanya 3 bidang prioritas yang di khususkan yaitu
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Agar belanja daerah lebih fokus
dan terarah.
Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat dan
daerah dalam pelaksanaann DAK
Menyederhanakan formula alokasi DAK menjadi:
i.
Kriteria Umum
ii.
Kriteria Khusus
iii.
Kriteria Teknis
Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK menjadi lebih rumit dari
formulasi DAU maka diperlukan penyederhanaan dengan mempertimbangkan
fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional dan daerah (Ditjen
Perimbangan Keuanganm,2009)
Kondisi Dana Bagi Hasil yang diharapkan
9
Harapan secara sederhana yaitu suatu sistem bagi hasil yang lebih
sederhana.
Dan
tetap
mengemban
fungsinya
untuk
mengurangi
ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal
nasional
Penyederhanaan alokasi DBH dan pemberian argumentasi yang jelas
dan rinci terhadap proporsi pembagian DBH antara pusat dan daerah.
Sistem penyaluran DBH yang lebih baik agar alokasi DBH ke daerah
penghasil menjadi tepat waktu, dan jumlahnya tepat sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal sesuai yang direncanakan
Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu “earmarking”
10
2.7 SISTEM PAJAK LOKAL DAN PINJAMAN DAERAH
Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia
cenderung menetapkan berbagai jenis retriusi untuk mengurangi keterbatasan
jenis pajak yang berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis
2003). Indonesia maupun Negara lain dimana pemerintah daerahnya memiliki
otonomi pajak yang relative rendah juga mengalami peningkatan praktik adopsi
retribusi untuk menghasilkan pendapatan tambahan (Bryson 2008).
Keleluasaan untuk menentukan tariff pajak atau peluasan pajak daerah
vis a vis penurunan alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah,
tergantung dari kondisi awal keuangan public yaitu:
1)
Tingginya transaction cost bisa di akibatkan dari:
Misal tingginya uncertainty dari penetapan kebijakan pemerintah daerah
yang berubah-ubah, dikarenakan tata perundang-unangan yang masih
taraf membenahan serta lemahnya enforcment;
Biaya finansial atau administrasi yang lebih tinggi diakibatkan lemahnya
kapasitas daerah;
Serta akibat dari informasi yang terpusat ataupun ekslusif untuk setiap
daerah sehingga tidak ada pembelajaran dari best practices daerah dan
juga kosensus politik.
2)
Pengalaman Negara-negara lain menunjukkan pemerintah daerah
dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih “status
quo” dalam penerimaan pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan
Osei Wusu 2004)
Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam
bentuk peningkatan batasan defisit anggaran daerah (dan juga batasan
akumulasi pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin
belum sepenuhya berjalan, atau terbatasnya sumber penerimaan untuk
penyediaan barang publik, menyebabkan beberapa daerah memiliki
anggaran defisit.
11
2.8 PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN DAERAH YANG EFISIENSI DAN
EFEKTIF
Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satuu instrument yang
sangat penting dalam desentralisasi fiscal, karena mencerminkan seberapa
besar otoritas pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintah. Pajak juga
merupakan instrument untuk pengelola permintaan dan penawaran barang public
local, instrument untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah
daerah terhadap public, dan instrumen untuk mempengaruhi tingkah laku
konsumen / public setempat. Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi
seberapa besar daerah dipercaya dan mempunyai kemampuan pengelolaan
sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai pengeluarannya. Jika
beberapa sumber fiscal yang penting dikonsolidasi dan di kelola ditingkat pusat,
maka peran transfer akan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber
fiscal yang penting dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi
kurang dominan. Otoritas pajak yang dimiliki oleh suatu tingkat pemerintahan
mempunya beberapa tingkatan, dari hanya kewenangan memungut atau
administrasi, kewenangan menentukan tarif, hingga kewenangan untuk
menentukan jenis dan basis pajak dalam tingkatan otoritas yang paling rendah,
pemerintah daerah hanya diberikan wewenang memungut (delegasi).
Kondisi saat ini
Kondisi saat ini
Dalam skema desentralisasi fiscal di Indonesia, pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tariff secara terbatas
untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU (tariff maksimum
telah ditentukan oleh UU). Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki
instrument yang hanya terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan.
Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah
untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya
tinggi. Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ditunjukan oleh data
bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%.
kondisi yang diharapkan.
Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiscal dengan penguatan
kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu yang sangat
penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti
memberikan sumber fiscal tanpa mempertimbangkan dampak terhadap daerah
dan nasional, melainkan melalui penelaahan beberapa factor dengan mengacu
pada prinsipp efisiensi dan efektivitas.
tiga Strategi
Tiga strategi utama guna memperbaiki kondisi perpajakan daeah yaitu:
harmonisasi pajak daerah dan pusat, Dimana jenis pajak pada
dasarnya tidak berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru,
maka harus dihindari terjadinya pajak ganda (double taxation) yang
disebabkan pusat dan daerah sama-sama memungut pada basis/jenis
12
yang sama. Harmonisasi yang baik bagi
pusat maupun daerah
mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai tugas pembiayaan yang
diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak terlepas dari
kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian baban
belanja pusat-daerah (expenditure assignment). Alokasi kewenangan
pajak ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga
pembagian beban belanja.
local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis
pajak secara utuh, maka ada peluang untuk melakukan redifinisi istilah
perpajakan yang lebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis
pajak ini untuk kemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang
dapat dilakukan pusat, daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah menerapkan system
opsen untuk PPh. System opsen ini selain sebagai sumber pendapatan,
juga dapat menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi sealigus latihan
bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah yang baik tidaklah harus
banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalah signifikan hasilnya.
Satu hal penting yang perlu diingat dalam optimalisasi adalah local taxing
power adalah bahwa desain desentralisasi fiscal di Indonesia
menghendaki adanya pajak daerah yang mempu memberikan hasil yang
signifikan, bukan pajak daerah yang dominan
Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif
terhadap perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya
diintegrasikan dengan perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan
usaha. Saat ini banyak daerah masih menerapkan berbagai pungutan
untuk mendapatkan izin usaha. Walaupun makin banyak daerah yang
mempunyai Sistem Pelayanan Satu Pintu/Jendela (OSS = One Stop
Service), tetapi pada tataran implementasi, masih banyakOSS yang tidak
secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perizinan usaha
memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat beberapa
jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan biaya.
Pajak pengolahan usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrument
yang berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai
alat untuk menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa
menghilangkan unsur pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu
membayar biaya-biaya perizinan atau perpanjangannya secara terpisahpisah., cukup melakukan pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah
juga dapat mendesain tarif pajak ini sehingga tidak memberatkan dunia
usaha sekaligus sebagai alat untuk meningkatkan daya saing daerah.
Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam
kemampuan dan kapasitas pemerinahan daerahnya., dalam desain pajak
untuk daerah perlu dilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya
prekondisi minimum untuk menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat
pemberian wewenang pajak tertentu ke daerah, dan kedua, pusat
membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam
pemahaman ekonomi perpajakan dan kemampuan teknis administrasi
13
perpajakan. Adanya perkondisi atau persyarat minimum ini
memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam dan
serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing
2.9 RENCANA AKSI 2015
Guna mendukung menerapkan strategi tersebut di atas secara baik, maka
dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan
sebagai berikut:
Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga
pengalihan pajak kedaerah yang siap tidak akan menimbulkan
ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.
Mempercepat masa transisi pengalihan PBB dari 5 menjadi 3 tahun
Menerapkan sistem opsen untuk beberapa jenis pajak tertentu, missal
pajak rokok dan PPh.
Mengenalkan pajak pengelolaan usaha sebagai pengganti semua
pungutan untuk memperoleh dan memperpajang izin usaha.
Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak secara terbatas dengan
terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini
untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi. Menyelaraskan
penguatan pajak daerah dengan kewajian belanja daerah dan besaran
transfer dari pusat.
2.10 ADMINISTRASI PUSAT DAN PENGANGGARAN DAERAH
Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada system
penerimaan untuk pemerintah daerah, yaitu system transfer dan revenue
asssignments, tetapi juga menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah.
Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiscal
dari pengeluaran pemerintah, dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran
pusat dan daerah. Kebijakan penganggaran pada pemerintah pusat dan daerah
merupakan reformasi yang relative baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun
2007). Perubahan baru pada proses administrasi penganggaran di tingkat pusat
dan daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemeriintah pusat
dan daerah, yang bertujuan untuk memperkuat:
1. Akuntabilitas dari pengeluaran (input)
2. Keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan
3. Keterkaitan dengan pencapaian peningkatan aspek kesejahterahaan di
masyarkat (outcome).
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Desentralisasi Fiskal di Indonesia memerlukan banyak hal yang perlu diperbaiki
baik dari segi formulasi maupun kebijakan agar tiap daerah bisa berkembang dan
masyarakatnya semakin makmur selaras dengan tujuan pemerintah pusat dan
negara. Desentralisasi Fiskal juga membantu setiap daerah dalam
mengembangkan potensinya melalui Dana Bagi hasil, Dana Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus. Tentunya penentuan dari dana yang dibagikan tidak
mengandung unsur politik atau menguntungkan diri sendiri maupun kelompok.
15
DAFTAR PUSTAKA
Prawoto, Agus, 2011. Pengantar keuangan publik (edisi pertama). Yogyakarta:
BPFE.
16