Kenaikan Harga Tiket Kereta Ekonomi Pers

http://metro.kompasiana.com/2011/04/13/kenaikan-harga-tiket-ka-ekonomi-perspektif-konsumen-355298.html

Kenaikan Harga Tiket KA Ekonomi:
Perspektif Konsumen
Dibaca: 631

Komentar: 0

0

Sofian Munawar Asgart

Pendahuluan
Selasa, 22 Desember 2009, beberapa media cetak maupun elektronik hampir
serempak menyampaikan pemberitaan mengenai rencana kenaikan harga tiket
kereta api (KA) ekonomi.[1] Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (KAI), Ignatius
Jonan menyebutkan bahwa kenaikan harga tarif KA ekonomi tidak bertujuan untuk
meningkatkan keuntungan PT.KAI, tetapi untuk mengurangi kerugian sekaligus untuk
meningkatkan pelayanan transportasi kepada masyarakat. Menurutnya, untuk
meningkatkan pelayanan KA ekonomi, pilihannya hanya ada dua. Pertama,
menaikkan dana subsidi atau yang dikenal dengan public service

obligation (PSO). Kedua, menaikkan harga tarif. ”Kami telah mengajukan kenaikan
PSO dari Rp 535 miliar menjadi Rp 670 miliar untuk tahun anggaran 2010. Tapi,
tampaknya pemerintah tidak akan menaikkan dana PSO, jadi pilihannya menaikkan
tarif,” kata Ignatius Jonan.[2]

Rencana kenaikan tersebut akan diberlakukan secara bertahap dalam empat
semester. Setiap semester, tarif diusulkan naik sebesar 12,5 persen dan dimulai pada
Juli 2010 hingga Januari 2012. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut:

No
1
2
3
4

Bulan
Juli
Januari
Juli
Januari

Total Kenaikan

Tahun
2010
2011
2011
2012

% Kenaikan
12, 5
12, 5
12, 5
12, 5
50

Meskipun rencana kenaikan harga tarif KA ekonomi itu akan dilakukan secara
bertahap, namun kebijakan itu tetap merupakan pilihan dilematis. Para pihak yang
terlibat dan berkepentingan –pemerintah sebagai regulator, PT.KAI sebagai operator
dan masyarakat umumnya sebagai konsumen– tentu memiliki sudut pandang
berlainan dengan argumentasi masing-masing. Tulisan singkat ini ingin mencoba

melihat rencana kenaikan harga tarif KA ekonomi tersebut dari perspektif
masyarakat sebagai konsumen KA ekonomi.

Kenaikan Tarif KA Ekonomi: Tuntutan yang Ironis
Pasal 151 UU No.23 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pedoman penetapan tarif
angkutan KA didasarkan atas perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan,
dan keuntungan.[3] Dengan begitu, persoalan tarif bukan sesuatu yang berdiri
sendiri, namun berkorelasi dengan aspek-aspek lainnya. Karena itu, pernyataan Dirut
PT. KAI mengenai kenaikan dana PSO atau kenaikan tarif sebagai ”hanya” dua pilihan
yang tersedia untuk meningkatkan pelayanan KA ekonomi, agaknya terlalu
menyederhanakan persoalan sekaligus menggeneralisir persoalan.
Disebut menyederhanakan persoalan karena seolah-olah jika PSO dan atau harga
tiket dinaikkan maka secara otomatis akan meningkatkan pelayanan dan
menuntaskan seluruh persoalan. Faktanya, kenaikan tarif justru tidak berkorelasi
dengan peningkatan pelayanan. Bahkan, hasil studi Dessy Eresina Pinem (2003)
menyebutkan bahwa permintaan penumpang menurun secara elastis seiring
kenaikan tarif. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh PT.KAI setelah kenaikan tarif
tidak berhasil menambah pendapatan operasional, pun apalagi untuk meningkatkan
pelayanan.[4]


Demikian halnya mengenai peningkatan dana PSO yang juga tidak pernah terbukti
berpengaruh pada meningkatknya kualitas layanan PT. KAI. Totok Siswantara (2007)
bahkan menyebutkan bahwa ada indikasi dana PSO yang diterima PT.KAI digunakan
secara menyimpang, yakni lebih banyak digunakan untuk menutupi defisit
ketenagakerjaan PT.KAI ketimbang sebagai subsidi transportasi rakyat.[5] Meskipun
dana PSO yang diberikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlahnya[6],
tetapi kualitas layanan KA –terutama kelas ekonomi– malah semakin tidak sehat.
Menurut Taufik Hidayat (2006) ada empat kriteria yang dapat menjadi petunjuk
sehat atau tidaknya kondisi perkeretaapian, yaitu (1) Hubungan antara
perkeretaapiaan dan perspektif sosial kemasyarakatan. Banyaknya pelemparan batu
terhadap KA, misalnya, menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak harmonis. (2)
Hubungan antara perkeretaapian dan perspektif pasar. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan akan pelayanan dengan kesiapannya melayani tuntutan pasar yang begitu
besar menunjukkan bahwa PT.KAI kurang responsif. (3) Efisiensi internal
perkeretaapian. Pengelolaan perkeretaapian Indonesia yang masih tradisional dan
monopolistik sangat sulit untuk terhindar dari inefisiensi dalam operasi dan
pemeliharaan. (4) Tingkat keselamatan penumpang. Sering terjadinya kecelakaan KA
merupakan indikasi lemahnya penanganan terhadap aspek keselamatan penumpang.
Dari keempat kriteria tersebut, perkeretaapian Indonesia dapat dikatakan bernilai
merah[7] Karena itu, tuntutan untuk menaikkan tarif KA ekonomi di tengah mismanajeman dan masih bobroknya kualitas pelayanan PT.KAI merupakan ironi.


Merekomendasikan Citizen Charter
William N. Dunn (1999) menyebutkan bahwa kebijakan publik sebagai suatu
rangkaian panjang pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk
keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor
pemerintah atau negara, yang dirumuskan dalam bidang isu tertentu.[8] Sementara
Thomas R. Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “… is whatever
governments choose to do or not to do …”.[9] Dalam bahasa yang hampir sama,
George C. Edward dan Ira Sharansky menyebutkan kebijakan publik sebagai “… is
what governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of government
programs …”.[10]Pendekatan ini menempatkan negara dalam posisi sentral dan
monolitik dalam pembuatan kebijakan.
Namun demikian, dalam konteks yang lebih mutakhir, Peter Hall (1990)
menyebutkan bahwa teori negara dalam kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua
kelompok,
yaitu
kelompok state-centric dan state-structural.
Teori statecentric menekankan otonomi negara dari tekanan societal, mengasumsikan bahwa

kebijakan secara umum dibuat oleh para pejabat publik yang menjalankannya secara

independen dari organisasi-organisasi seperti kelompok kepentingan atau partai
politik yang menyalurkan tuntutan dan kepentingan sosietal. Kelompok statestructural menggunakan perangkat analisis yang menekankan adanya dampak
struktur dan tindakan negara pada kebijakan, serta menganggap aktor di luar negara
seperti kelompok kepentingan, partai politik dan aktor-aktor lain memainkan
peranan penting, namun lebih pada alasan bahwa struktur dan tindakan-tindakan
negara mempengaruhi kekuatan kepentingan yang diartikulasikan oleh aktor nonnegara.[11]
Dalam konteks kenaikan harga tiket KA, PT.KAI sebagai operator tentu tidak punya
hak untuk mengatur harga tiket. Sebagai operator, PT.KAI hanya bisa mengajukan
permohonan kepada pemerintah sebagai regulator.[12] Pemerintah sebagai
regulator pun sejatinya tidak bisa melakukannya secara semena-mena. Ia harus
meminta persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Demikian halnya DPR sebagai
aspirator rakyat, ia harus mampu menangkap “suasana batin” masyarakat dalam
mengambil berbagai keputusan yang bersifat publik. Karena itu, dalam konteks
rencana kenaikan harga tiket KA ekonomi yang kini mengemuka, proses pengambilan
keputusan idealnya harus mengakomodasi partisipasi masyarakat melalui konsultasi
publik. Secara illustratif hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah dengan membentuk semacam
wadah yang akan berfungsi sebagai pusat pengaduan masyarakat (community

center). Gagasan mengenai community center sebenarnya sangat simpel. Wadah ini
diinisiasi oleh masyarakat sendiri secara mandiri. Community center ini terutama
diorientasikan bagi masyarakat yang tidak puas atas pelayanan dasar yang diberikan

oleh pemerintah. Melalui community center, warga yang mempunyai keluhan yang
sama terhadap pelayanan PT.KAI, misalnya, melakukan komplain secara bersama
sehingga mempunyai kekuatan dan daya desak yang kuat. Menurut Aris Purnomo
(2007) community center akan memiliki arti penting menjadi wadah akumulasi dan
saluran komplain atau pengaduan warga. Selain itu, community center juga
diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih
berperan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.[13]
Dalam konteks perkeretaapian, keberadaan community center ini menjadi urgen
karena dalam kenyataannya, masyarakat sebagai pengguna jasa KA –terutama
konsumen KA kelas ekonomi— seolah tidak punya pilihan lain sehingga sama sekali
tidak punya bargaining position ketika harus berhadapan dengan PT.KAI dengan
segala birokrasi dan ortodoksinya, misalnya dalam hal kenaikan tarif.
Melaluicommunity center, masyarakat bukan hanya dapat menolak kenaikan tarif,
namun dapat pula menegosiasikan hal lainnya yang lebih urgen dalam rangka
membangunwin-win solution. Misalnya, masyarakat bisa saja memahami dan
menerima kenaikan tarif sesuai usulan PT.KAI. Namun demikian, dalam waktu

bersamaan community center juga dapat memaksa PT.KAI untuk menandatangani
kesepakatan dengan warga (citizen charter) mengenai standar pelayanan minimal
dan peningkatan kinerja yang harus dilakukan PT.KAI. Secara illustratif hal ini dapat
divisualisasikan sebagai berikut.

Harus disadari bahwa konsumen KA ekonomi merupakan pengguna jasa transportasi
terbanyak di negeri ini.[14] Namun ironisnya, nasib konsumen KA ekonomi justru
mengalami marginalisasi dan diskriminasi. Mereka bukan saja tidak bisa menuntut
peningkatan kenyamanan, keandalan, dan ketepatan waktu. Untuk mendapatkan
pelayanan minimal sekalipun masih sangat sulit. Dalam konteks inilah community
center memperlihatkan urgensinya. Melalui citizen charter masyarakat dapat
berperan secara lebih proaktif dalam mengadvokasi beragam kebijakan publik
sehingga menjadi kebijakan yang pro-rakyat.***

Daftar Bacaan
Dunn, William N. (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Dye, Thomas R. (1978). Understanding Public Policy, Prentice-Hall,Englewood Cliffs, New Jersey.
Edward, George C. (1978). The Policy Predicament, Freemand and Co., San Francisco.
Hall, Peter A (1990). Policy Paradigms, Social Learning and The State: The Case of Economic Policy-Making In
Britain, Estudio Working Paper.

Hidayat, Taufik (2006). Perkeretaapian Indonesia di Persimpangan Jalan. YLKI-Indonesian Railway Watch-Ford
Foundation, Jakarta.
Pinem, Dessy Eresina (2003), “Dampak Kenaikan Tarif Terhadap Pendapatan KRD Patas Dilihat dari Kesediaan
dan Kemampuan Membayar Penumpang”, Tesis, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung.
Purnomo, Aris, Agus Wibowo, dan Suhud Darmawan (2007). Handbook Mekanisme Komplain dalam Pelayanan
Publik agar Pelayanan Publik Pro Masyarakat Miskin, Pattiro-Access, Jakarta.
Siswantara, Totok, “Budaya Perkeretaapiaan,” dalam Pikiran Rakyat, Bandung: Edisi 1 Februari 2007.
Bisnis Indonesia, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/usulan-kenaikan-tarif-ekonomi-dikaji/
Kompas.com, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009
Pikiran Rakyat, Bandung: Edisi 22 Januari 2009
TEMPO Interaktif, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009
Undang-undang No.23 Tahun 2003 tentang Perkeretaapiaan
Peraturan Pemerintah No.56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapiaan.

[1] Informasi seputar itu antara lain dapat disimak dalam: “Tarif Kereta Ekonomi Diusulkan Naik 50%: Kenaikan
Bertahap Mulai Juni 2010,” (Bisnis Indonesia, Jakarta: 22 Januari 2009), “Tidak Masuk Akal, PT.KAI Ingin Tarif
Ekonomi Naik 50%,” (Pikiran Rakyat, Bandung: 22 Januari 2009), “PT.KA Minta Naik 50 Persen,” Kompas.com,
Jakarta: 22 Januari 2009), “PT KA Usul Kenaikan Tarif Ekonomi 50%,” TEMPO Interaktif, 22 Januari 2009).
[2] http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/usulan-kenaikan-tarif-ekonomi-dikaji/

[3] Lebih rinci, simak Undang-undang No.23 Tahun 2003 tentang
Pemerintah No.56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapiaan.

Perkeretaapiaan

danPeraturan

[4] Dessy Eresina Pinem (2003), “Dampak Kenaikan Tarif Terhadap Pendapatan KRD Patas Dilihat dari
Kesediaan dan Kemampuan Membayar Penumpang”, Tesis, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung.
[5] Totok Siswantara, “Budaya Perkeretaapiaan,” dalam Pikiran Rakyat, Bandung: 1 Februari 2007.

[6] Data Direktoral Perkeretaapiaan (2008) menyebutkan bahwa tahun 2005 jumlah PSO yang dicairkan
sebesar 270 miliar, tahun 2006 meningkat menjadi 350 miliar, dan kemudian tahun 2007 meningkat lagi
menjadi 425 miliar.
[7] Taufik Hidayat (2006). Perkeretaapian Indonesia di Persimpangan Jalan. YLKI-Indonesian Railway WatchFord Foundation, Jakarta.
[8] William N. Dunn (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
[9] Dye, Thomas R (1978). Understanding Public Policy, Prentice-Hall,Englewood Cliffs, New Jersey.
[10] Edward, George C. (1978). The Policy Predicament, Freemand and Co., San Francisco.
[11] Hall, Peter A (1990). Policy Paradigms, Social Learning and The State: The Case of Economic Policy-Making
In Britain, Estudio Working Paper.

[12] Pasal 151 Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyebutkan bahwa tarif angkutan
KA ditetapkan oleh pemerintah.
[13] Aris Purnomo, Agus Wibowo, dan Suhud Darmawan (2007). Handbook Mekanisme Komplain dalam
Pelayanan Publik agar Pelayanan Publik Pro Masyarakat Miskin, Pattiro-Access, Jakarta.
[14] Untuk tahun 2003 saja, misalnya, PT.KAI mencatat dari total penumpang sejumlah 175. 919.930,
117.417.465 diantaranya (71,28%) adalah konsumen pemakai jasa KA ekonomi.

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELEMEN-ELEMEN BRAND EQUITY PADA PRODUK KARTU SELULER PRABAYAR SIMPATI, IM3, DAN JEMPOL (Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember)

2 69 20

Analisis Konsentrasi Geografis Sektor Ekonomi di Kabupaten Situbondo

9 121 186

PENGARUH LAMA PENUTUPAN PINTU PERLINTASAN KERETA API TERHADAP TUNDAAN DAN PANJANG ANTRIAN KENDARAAN (Studi Kasus Pada Perlintasan Kereta Api di JPL No.69 Jl. WR. Supratman, Kel. Klojen, Kec. Blimbing, Kota Malang)

24 123 19

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Pengaruh Lnflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Sbi, Dan Harga Emas Terhadap Ting Kat Pengembalian (Return) Saham Sektor Industri Barang Konsumsi Pada Bei

14 85 113

Pengaruh Rasio Harga Laba Dan Pengembalian Ekuitas Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 13 1

Penerapan Data Mining Untuk Memprediksi Fluktuasi Harga Saham Menggunakan Metode Classification Dengan Teknik Decision Tree

20 110 145

Sistem Informasi pembelian Dan Penjualan Tiket Di Paradiso Tour & TRavel Bandung

0 13 41

Implementasi Piagam Pelembang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional Di Redaksi PT. Galamedia Bandung Perkasa (HU Galamedia)

0 26 153

Pengaruh Dividen Per Share dan Return on Investment terhadap Harga Saham (Studi Kasus pada Perusahaan Otomotif yang terdaftar di BEI tahun 2006-2013)

0 10 1