BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini 2.1.1 Definisi Pernikahan Dini - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini

2.1.1 Definisi Pernikahan Dini

  Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.

  Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah, 2004).

  Menurut (Lutfiati, 2008; Nukman, 2009) pernikahan dini adalah institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga, pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan.

  UNICEF (2010) menyatakan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia kurang dari 18 tahun yang terjadi pada usia remaja. Pernikahan di bawah usia 18 tahun bertentangan dengan hak anak untuk mendapat pendidikan, kesenangan, kesehatan, kebebasan untuk berekspresi. Untuk membina suatu keluarga yang berkualitas dibutuhkan kematangan fisik dan mental. Bagi pria dianjurkan menikah setelah berumur 25 tahun karena pada umur tersebut pria di pandang cukup dewasa secara jasmani dan rohani. Wanita dianjurkan menikah setelah berumur 20 tahun karena pada umur tersebut wanita telah menyelesaikan pertumbuhannya dan rahim melakukan fungsinya secara maksimal.

2.1.2 Hukum Menikah Dini

  Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub). Perintah untuk menikah merupakan tuntutan untuk melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti atau keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah.

  Rasulullah SAW menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena shaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan. Oleh karena itu, para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum :

  1. Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumus- kannya pada zina.

  2. Sunnah (thatawwu') menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.

  3. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.

  4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemashlahatan (kebaikan). Maupun menikah dengan tujuan menyakiti pasangannya.

  Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). Pernikahan dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti para pelajar, mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi pelajar yang masih sekolah, bergantung pada orang tua dan belum mempunyai penghasilan sendiri, mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.

  Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat- syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal : 1. , yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan

  Kesiapan ilmu dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat nikah, maupun sesudah nikah

  2. Kesiapan materi atau harta , yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau primer bagi istri yang berupa sandang, pangan, dan papan setelah menikah. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain

  3. Kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shanâani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jimaâ. Ini menunjukkan keharusan kesiapan fisik sebelum menikah.

2.1.3 Efek Positif Pernikahan Dini

  2012) menulis tentang efek positif pernikahan dini, diantaranya: 1. Pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan muda-mudi. Persentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata.

  Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan sebagainya.

  2. Dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak, sebagaimana anak-anak itu pun nanti akan dapat mengurus dan melayani mereka.

  3. Saat belum mampu menikah, anak-anak muda akan senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan pikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan menjadi maksud dan tujuan yang paling penting. Apalagi saat mereka keluar bersama teman-teman sepergaulan yang tidak baik, ditambah keadaan perilaku mereka sendiri yang buruk. Hal ini akan berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan bekas dari dampak negatif ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah.

  Ada sebagian dari mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif tersebut. Sedangkan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampak- dampak negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih utama untuk diri mereka sendiri.

  Oleh karena itu, anda dapat menemukan anak-anak muda belia dari pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka memeras keringat dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang kepada istri, anak dan orang tuanya di kampung. Di samping itu, anda juga dapat menemukan anak- anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya, menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan dengan perempuan, di saat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan orang tua.

  4. Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih tinggi tingkat kemungkinannya dibandingkan pada usia lain sebagaimana yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.

  5. Meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.

  6. Meringankan beban para ayah yang tergolong fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i.

  7. Memenuhi kebutuhan sebagian keluarga, misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka.

  8. Kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak bergantung kepada orang lain.

2.2 Konsep Perkawinan

  Definisi perkawinan menurut undang–undang perkawinan nomor I tahun 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa hubungan seksual yang sah berdasarkan norma agama, masyarakat dan hukum adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang telah disahkan dalam lembaga perkawinan.

  WHO (2010) telah menetapkan bahwa usia 10-24 tahun merupakan batasan remaja yang masih mendapat perhatian dan perlindungan oleh orang tua. Oleh karena itu perkawinan dini dan kehamilan dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan perempuan dari segi medis maupun psikis. Konvensi Hak-Hak Anak menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan. Adapun Undang-Undang Perlindungan Anak menganggap siapa saja di bawah usia 18 tahun sebagai anak dan orang tua bertanggung jawab untuk mencegah pernikahan di bawah umur (Pasal 26). Undang-Undang Perkawinan juga bertentangan dengan komitmen Internasional dan undang-undang yang menghendaki hak-hak yang sama untuk menikah dan menetapkan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan.

  Pernikahan dipandang sebagai suatu yang harus dipatuhi dan dapat menyebabkan kondisi dan posisi perempuan menjadi lemah. Budaya setempat membatasi ruang gerak perempuan. Bentuk pernikahan dini dapat pula sebagai pola yang melindungi atau lebih tepatnya mengekang perempuan untuk dapat berkembang dalam segala bentuk. Pernikahan dini dapat meningkat pada daerah-daerah krisis perang dengan alasan untuk peningkatan ekonomi dan untuk menghindari bahaya pelecehan dan perkosaan (UNICEF, 2010).

  Mathur (2010) juga mengemukakan beberapa penyebab-penyebab lain yang menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and lack ofalternatives). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan terhadap anak perempuan, serta kurang kesempatan-kesempatan yang diberikan pada pihak wanita seperti kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua adalah nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of

  

virginity and fears about premarital sexual activity ). Berkaitan dengan penyebab

  kedua, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi kehamilan di luar nikah (premarital pregnant) (Bannet, 2010).

  Dalam UU PA pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa “perlindungan anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam deklarasi hak asasi manusia, dikatakan bahwa pernikahan harus dilakukan atas persetujuan penuh kedua pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan usia dini ini, persetujuan menikah seringkali merupakan akumulasi dari paksaan atau tekanan orangtua/wali anak, sehingga anak setuju untuk menikah seringkali merupakan rasa bakti dan hormat pada orangtua. Orangtua beranggapan menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih.

  Pernyataan senada juga dikeluarkan oleh International Humanist and Ethical

  Unio n, bahwa pernikahan anak merupakan bentuk perlakuan salah pada anak (child abuse). Dalam hal ini, mengingat berbagai konsekuensi yang dihadapi

  anak terkait dengan pernikahan dini sebagaimana telah dibahas, maka pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban orang tua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sanksi pidana berupa hukuman kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak.

  Terkait dengan kesehatan reproduksi dan pernikahan dini, maka dokter anak berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan orang tua mengenai pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia dini serta membantu orangtua untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sesuai tahapan usianya. Dokter anak juga berperan membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan orang tua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya penelantaran atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini.

2.3 Remaja

  Masa remaja merupakan masa transisi antara masa remaja-remaja ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dari tubuh termasuk fungsi reproduksi. Pertumbuhan dan perkembangan ini mempengaruhi perubahan fisik, mental maupun sosial, sehingga masa ini sering disebut sebagai masa-masa kritis dalam kehidupan manusia (Hurlock, 2003).

  Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa. Tidak ada batasan tajam antara akhir masa kanak-kanak sampai masa awal pubertas pada remaja putri. Secara klinis pubertas dimulai dengan tumbuhnya ciri-ciri kelamin sekunder dan diakhiri jika sudah ada kemampuan bereproduksi. Masa pubertas diawali dengan berfungsinya ovarium yang biasanya terjadi pada umur 8-14 tahun dan berlangsung kurang lebih selama 4 tahun. (Widiyastuti dkk, 2009)

  Manusia secara biologis mempunyai kebutuhan seksual, begitu juga dengan remaja. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan remaja sehingga diperlukan perhatian khusus, karena jika timbul dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab dan bisa mengakibatkan kehamilan. Banyaknya remaja putri yang menikah di usia muda memicu kasus kehamilan dan persalinan yang tidak aman. Pernikahan usia muda hingga saat ini masih menjadi persoalan yang serius secara global. Selain menyebabkan putusnya akses pendidikan, pernikahan usia muda juga berdampak secara psikologis, ekonomis, dan juga kesehatan reproduksi.

  Pernikahan dini menimbulkan dampak bagi remaja laki-laki dan remaja putri. Salah satu dampak pernikahan dini cukup signifikan adalah kesehatan reproduksi. Berdasarkan Penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM pada tahun 2010 hampir di semua wilayah Indonesia, remaja putri yang menikah pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan beresiko tinggi. Kehamilan remaja meningkatkan risiko kematian dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang hamil pada usia lebih dari 20 tahun. Demikian pula dengan risiko kematian bayi 30% lebih tinggi pada ibu yang melahirkan pada usia muda dibandingkan pada ibu yang melahirkan pada usia lebih dari 20 tahun (National Geographic, 2011).

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini

  Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.

1. Sebab dari Anak

  a. Faktor Pendidikan Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.

  Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal- hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika di luar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

  b. Terlibat hubungan biologis Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. Purba (2012), diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. “Sebulan terakhir, Maman (40) kebingungan. Anak pertamanya, laki-laki, mogok tidak mau melanjutkan sekolah setelah Juni lalu lulus SMP. Bukan hanya itu, anak itu minta dikawinkan, padahal usianya baru 16 tahun. Karena usia si anak baru 16 tahun, untuk menikah harus mendapat izin dari pengadilan.

  

”Keluarga pihak perempuan memaksa cepat menikah. Katanya takut hamil,

tetapi sebetulnya tidak hamil,” kata Maman yang bekerja menjaga rumah di

Jakarta dan berasal dari Madukoro, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

  Dia berencana membujuk lagi anaknya agar mau melanjutkan sekolah. Kalau tetap tak mau, Maman hanya pasrah. ”Ikut saya ke Jakarta. Kerja sedapatnya, mungkin ngepel dan cuci-cuci,” kata Maman yang lulusan SD.

  c. Hamil sebelum menikah Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, bagaimana kelak rona perkawinan anak gadis ini, perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bisa goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan.

  2. Sebab dari luar Anak

  a. Faktor Pemahaman Agama Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak- anak tersebut.

  Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat majelis hakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu sampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanakan. Bahwa perbuatan anak yang saling suka sama suka dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.

  b. Faktor ekonomi Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak. c. Kuatnya tradisi dan budaya.

  Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).

  Peran orang tua dalam menentukan jodoh anaknya cukup besar. Setidak- tidaknya terdapat sebanyak 49% perkawinan wanita belia merupakan perjodohan yang diatur oleh orang tua. Campur tangan orang tua dalam mencarikan dan menentukan pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umum ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan.

  Praktek pernikahan dini sering dipengaruhi oleh tradisi lokal. Sekalipun ada ketetapan undang-udang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama sering memberi dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih di bawah umur. Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. Undang-Undang Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak lelaki di atas usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

  Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini, pertama kali dijodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan desa ini melakukan pernikahan dini.

  Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah, ”Adat orang sini kalau punya anak

  

perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa

sampai lama tidak laku-laku."

  Di daerah ini, anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak memperdulikan, apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian diceraikan. Berbagai cara biasa dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah urusan administrasi, memberi uang pelicin hingga harus memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah di usia 13 tahun.

  Hanum (2011) menyatakan bahwa nilai budaya lama yang menganggap bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya di kalangan orang tua saja melainkan juga di kalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan kaum muda terhadap pernikahan dini. Perempuan di pedesaan di ikuti dengan pernikahan di usia muda yang mengantarkan remaja pada kehamilan dan persalinan.

  Hal ini dapat meningkatkan resiko kematian maternal, yang mencakup 4 terlalu yaitu terlalu muda untuk melahirkan, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak melahirkan anak. Umur ibu yang kurang dari 18 tahun meningkatkan resiko lahirnya bayi “Berat Bayi Lahir Rendah” (BBLR) dapat juga beresiko terkena kanker leher rahim, karena pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang sehingga pertumbuhan sel akan menyimpang dan tumbuh menjadi kanker.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Dr. Sukron Kamil dari UIN Cabang Rembang menyatakan bahwa, pernikahan dini karena perjodohan saat usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada tahun 2006- 2010, jumlah anak menikah dini (di bawah 15 tahun) masih meningkat. Beberapa penyebab terjadinya pernikahan usia dini, 62% wanita menikah karena hamil di luar nikah, 21% di paksa orang tua menikah dini karena ingin memperbaiki keadaan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan di bawah umur adalah karena dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancaman depresi pun dapat menyerangnya.

  Dr.Sukron Kamil melanjutkan, beberapa fakta di dapat dampak dari perjodohan di usia dini yang berujung pada pernikahan dini adalah :

  1. Kekerasan terhadap anak Terkadang anak mengalami kekerasan dari orang tua atau keluarga apabila menolak untuk dinikahkan. Bahkan ditemukan juga kasus setelah dinikahkan anak mencoba bunuh diri dengan minum cairan pestisida. Kekerasan juga bukan hanya dari lingkungan keluarga, namun juga dari pasangan yang umumnya berusia lebih tua dari mereka.

  2. Tingkat perceraian yang tinggi Lebih dari 50% pernikahan tidaklah berhasil, dan akhirnya bercerai. Bahkan ada juga kasus yang menjalani pernikahan hanya dalam hitungan minggu lalu berpisah. Dan biasanya hal ini terjadi karena anak perempuan tidak mau melakukan kewajiban sebagai istri dan kurangnya kesiapan masing–masing pasangan yang mau menikah 3. Kemiskinan meningkat, karena belum siap secara ekonomi 4. Trafficking/ eksploitasi dan seks komersial anak Salah satu alasan perjodohan adalah untuk memperbaiki derajat keluarganya.

  Pada beberapa kasus, banyak keluarga yang merelakan anak perempuannya untuk dinikahi oleh orang terpandang dan keluarga dijanjikan harta atau kekayaan.

  Penelitian selanjutnya yang dilakukan di wilayah kelurahan Pall Merah tanggal 28 Juli tahun 2012, beliau melakukan survei secara wawancara bersama ibu yang menikah di usia muda di dapatkan dari hasil wawancara terhadap ibu menikah muda mengatakan :

  “Saya terpaksa menikah karena status ekonomi, dan perjodohan. Dunia saya berubah 180 derajat, dari bangun sembarangan, harus berangkat pagi untuk bekerja, belum lagi siang malam anak saya menangis. Hingga kami tidak bisa tidur sekejap pun”.

  Dari respon hasil wawancara yang dilakukan, dapat disimpulkan mereka tidak mengerti arti dari pernikahan usia muda, dampak perubahan yang akan terjadi dari pernikahan di usia muda. Hal ini juga dikarenakan tugas perkembangan yang sebenarnya pada usia remaja yang harus mereka penuhi adalah masih pada tahap persiapan pernikahan dan keluarga serta menginginkan hal-hal yang diinginkan remaja pada umumnya, mereka belum masuk pada tahap pernikahan yang sebenarnya yaitu yang ada pada tugas perkembangan masa dewasa sehingga bagi remaja putri yang menikah membuat masa remaja mereka dipercepat dari yang seharusnya. Faktor kesiapan untuk menikah juga menjadi salah satu faktor penentu dalam penyesuaian pernikahan. Persiapan yang terbatas yang dimiliki remaja putri membuat beberapa pasangan yang menikah di usia seperti itu mengalami permasalahan-permasalahan dalam penyesuaian pernikahan mereka.

2.5 Dampak Pernikahan Dini Pada Remaja

  Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, yaitu (Maroon, 2011) :

2.5.1 Segi kesehatan

  Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.

  Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian.

  2.5.1.1 Kanker leher rahim Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Jika terpapar human

  papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.

  Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda.

  Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Jika ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.

  Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.

  2.5.1.2 Neoritis depresi Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizophrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.

  Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 %. Jika berdua tanpa anak, mereka masih bisa senang, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.

  Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak.

  Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.

  2.5.2 Segi fisik

  Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.

  Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

  2.5.3. Segi mental/jiwa

  Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.

  Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

  2.5.4. Segi pendidikan

  Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup

  2.5.5. Segi kependudukan

  Perkawinan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.

  Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

  2.5.6. Segi kelangsungan rumah tangga

  Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian. Berbagai konsekuensi yang diakibatkan dari pernikahan dini dikemukakan dari beberapa penelitian. Menurut Shawky (2010) yang melakukan penelitian di Jedah Saudi Arabia tentang pernikahan dini dan konsekuensi kehamilan, hasilnya mengatakan mereka yang menikah di usia dini akan berisiko dua kali untuk mengalami keguguran secara spontan dan empat kali risiko mengalami kematian janin dan kematian bayi.

  Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan dini sering berbuntut perceraian. Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja?. Pernikahan dini memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20-30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.

  Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh dikatakan baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead adolescent. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah.

  Penelitian yang dilakukan Grogger Bronars (2010) pada masyarakat kulit hitam maupun masyarakat kulit putih didapatkan bahwa perkawinan dan kehamilan pada umur belia berkaitan dengan kondisi-kondisi yang serba merugikan. Kondisi- kondisi tersebut yaitu: rendahnya tingkat pendidikan wanita, rendahnya tingkat partisipasi kerja wanita dan pendapatan keluarga muda yang rendah. Hal ini berdampak pada taraf kesejahteraan yang kurang menguntungkan. Furstenberg (2010) menyatakan bahwa bentuk-bentuk ketidakstabilan kehidupan berumah tangga, krisis keluarga, terputusnya kelanjutan sekolah, masalah pengasuhan anak dan problema ekonomi merupakan bagian dari komplikasi yang diakibatkan dari perkawinan dan kehamilan usia muda.

  Trussel (2010) juga mengemukakan bahwa kehamilan di kalangan remaja berimplikasi negatif terhadap tingkat pendidikan yang dicapai oleh wanita, posisi ekonomi di kemudian hari dan partisipasi angkatan kerja. Hal senada disampaikan UNICEF (2011), tentang konsekuensi yang diakibatkan oleh pernikahan usia dini pada anak perempuan adalah penolakan terhadap pendidikan, anak perempuan cenderung tidak melanjutkan sekolah setelah menikah sehingga mendorong terjadinya kemiskinan, mengalami masalah kesehatan termasuk kehamilan usia remaja (adolescent pregnancy), terisolasi secara sosial. Adhikari (2011) menyatakan bahwa konsekuensi dari pernikahan dini dan melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan prematur dan berat badan lahir rendah.

  Wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil. Perkawinan usia remaja berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga. Risiko lain adalah ketidaksiapan mental untuk membina perkawinan dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Dampak lain dari perkawinan dini adalah kehamilan usia muda yang berisiko terhadap kematian ibu dan bayinya karena ketidaksiapan calon ibu dalam mengandung dan melahirkan bayinya (Wilopo, 2005).

2.6 Macam-macam Perspektif Pernikahan Dini

2.6.1 Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi

  Sebenarnya kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial: bahwa pernikahan dini dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

  Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan di sini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2010). Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.

  Rosa (2011) menemukan ternyata setelah diteliti pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.

2.6.2 Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

  Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw. Bersabda :

  "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah,

maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan

mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka

berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)

  (HR. Imam yang lima).

  Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah

  

syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang

  yang telah mencapai aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil

  

baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita)

atau telah mencapai usia lima belas tahun.

  Sekarang dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas'ud ra. selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single, dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.

  Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, kita tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini.

2.7 Status Sosial Ekonomi

  Jika kita mendengar kata status, maka kita akan cenderung berfikir mengenai prestise. Bila orang awam yang berfikir, kedua kata ini telah bertaut satu sama lain, tetapi bila seorang sosiolog yang menggunakan kata status ini, dengan cara yang berbeda yaitu dengan cara merujuk posisi yang diduduki seseorang. Posisi tersebut bisa mengandung prestise yang tinggi atau rendah. Suatu konsep menurut Melvin Kohn (2010) dalam studinya adalah pengelompokan individu yang menempati posisi yang sama dalam skala prestis. Hal tersebut dapat ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Raphael (2010) menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah suatu kebutuhan ataupun yang meliputi: pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran, status pelayanan kesehatan, serta terjaminnya kebutuhan makanan.

2.7.1 Tingkat Pendapatan Keluarga

  Di Indonesia besarnya pengeluaran perkapita diukur dari pengeluaran setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal makanan dan bukan makanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak. Garis kemiskinan dinilai dari ekiuvalen nilai tukar beras (kg/org/bulan) yang dinyatakan dalam bentuk rupiah sesuai dengan nilai tukar rupiah pada saat itu.

  Keluarga dikategorikan miskin bila pengeluaran atau pendapatan per keluarga kurang dari Rp.640.000,- dan dikatakan tidak miskin bila pengeluaran atau pendapatan Rp.640.000,- atau lebih per bulan per keluarga (Susenas, 2010). Status sosial ekonomi keluarga di Indonesia diukur berdasarkan antara lain: Tingkat Pendapatan Keluarga Berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga ”Ekiuvalen Nilai Tukar Beras”.

  Penilaian status sosial ekonomi keluarga atau garis kemiskinan di Indonesia menggunakan data pengeluaran yang dipandang lebih tepat karena dalam survei data pengeluaran lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka penghasilan. Garis kemiskinan dinilai dari ekiuvalen nilai tukar beras (kg/orang/bulan) yang dinyatakan dalam bentuk rupiah sesuai dengan nilai tukar beras saat ini. Klasifikasi dari level kemiskinan bila dinilai dengan pengeluaran beras dengan harga yang dihitung sesuai harga beras saat ini, misalnya harga beras per kilogram beras Rp. 5.000. Pengeluaran dihitung berdasarkan pengeluaran untuk bahan makanan yang dijumlahkan dengan non bahan makanan dan dikalikan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama.

  Pengukuran indikator kemiskinan dihitung dengan berdasarkan pengeluaran rumah tangga/orang/tahun yang di bedakan berdasarkan tempat tinggal. Untuk daerah pedesaan 180 kg beras dan perkotaan 270 kg beras. Tingkat kemiskinan di perkirakan pengeluaran perbulan, termasuk makanan, rokok dan lainnya dalam hitungan rupiah.

  Kemudian seluruh pengeluaran dihitung dalam 1 tahun dan diubah dalam nilai tukar beras pada saat itu. Klasifikasi dari level kemiskinan dalam kriteria menurut Sajogya (2010) sesuai untuk pendapatan minimum yaitu: 1.

  Kategori bawah: pengeluaran ≤180 kg beras/orang/tahun untuk daerah pedesaan dan ≤ 270 kg beras/orang/tahun di daerah perkotaan.

2. Tingkat menengah: pengeluaran perorang/tahun 240 untuk di pedesaan dan 319 kg beras untuk daerah perkotaan.

  3. Kategori atas : pengeluaran/orang/tahun > 240 kg beras untuk pedesaan dan ≥ 480 kg beras daerah perkotaan

2.7.2 Upah Minimum

  Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok, termasuk tunjangan tetap berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Upah Minimum dan ditetapkannya Upah Minimum Sektoral Regional. Ditetapkannya UMR ini dengan pertimbangan untuk mewujudkan penghasilan yang layak dan peningkatan kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktifitas serta kemajuan perusahaan dan perekonomian.

  Pasal 1 pada peraturan menteri tenaga kerja dijelaskan juga mengenai Upah Minimum Regional yang berlaku di satu propinsi. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I untuk selanjutnya disebut Upah Minimum Sektoral Regional (UMSR). UMSR Tingkat 1 adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi. UMSR Tingkat II adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/ Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah tertentu. Menurut peraturan Gubernur No. 76 tahun 2011 tentang upah minimum Provinsi (UMP) Aceh tahun 2012 yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp. 1.400.000.-.

2.7.3 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga

  Secara keseluruhan data konsumsi rumah tangga bertujuan untuk menilai taraf hidup penduduk Indonesia. Penilaian meliputi: tingkat kecukupan gizi, khususnya tingkat kecukupan kalori, dan protein, juga untuk mengukur tingkat kemiskinan penduduk serta pengukuran ini dapat dilihat juga bagaimana penduduk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Untuk data pengeluaran dibedakan atas kelompok bahan makanan dan bukan bahan makanan yang diukur dengan nilai tukar beras.

  Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk tetap hidup sehingga dengan pendapatannya setiap orang akan berusaha mendapatkan makanan yang memadai. Orang atau rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan. Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Pola konsumsi penduduk berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara daerah satu dengan lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan lingkungannya (Susenas, 2011).

2.8 Faktor-Faktor Status Sosial Ekonomi Keluarga

  2.8.1 Pendapatan