Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembel

Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembelajaran Sejarah
Mu’ammar Ali Pradana
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang
Abstrak
Teori kritis merupakan sebuah teori yang berdasarkan pada kritik
terhadap sebuah hubungan-hubungan sosial yang nyata. Teori
kritis lahir dari para pemikir-pemikir dari Universitas Frankfrut,
Jerman sehingga banyak menyebut merupakan sebuah madzhab
Frankfrut. Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah
Frankfrut ini merupakan dari pemikiran Karl Marx. Teori ini
berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia
dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah
emansipatoris. Teori kritis mendorong seorang peneliti yang
melakukan eksplanasi sejarah untuk dapat berfikir kritis, rasional,
dan menjadi emansipatoris. Pembelajaran sejarah secara kritis
diidentifikasi berorientasi kepada masalah, bercirikan egaliter,
hasil dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen kurikulum.
Pembelajaran Sejarah secara kritis adalah melalui penerapan
model-model pembelajaran yang berdasarkan pada permasalahan.
Kata Kunci : teori, kritis, eksplanasi, pembelajaran, sejarah
A. Teori Kritis

Salah satu dari sekian banyak teori sosial yang ada salah satunya adalah
teori kritis. Sesuai dengan namanya, teori kritis merupakan sebuah teori yang
berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan-hubungan sosial yang nyata.
Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks
dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak
mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa
diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata (Magnis, 1992:176).
Teori kritis lahir dari para pemikir-pemikir dari Universitas Frankfrut,
Jerman sehingga banyak menyebut merupakan sebuah madzhab Frankfrut.
Madzhab Frankfurt (Frankfurt School) pertama kali muncul pada tahun 1923,
tetapi baru pada sekitar tahun 1930 aliran ini dikenal di Jerman. Frankfurt School
sering disebut dengan banyak nama, diantaranya Teori Kritis, Madzhab Frankfurt
(Die Frankfuter Schule), atau Teori Kritik Masyarakat (Kartono dkk., 2004:3).
Sejak awal kemunculannya, teori ini berkaitan dengan Sekolah Frankfurt
(Frankfurt School). Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Madzhab
Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang

muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para
pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat
pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan

mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.
Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923.
Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh
Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi),
Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang
fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog),
Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya (Sindhunata, 1990:20). Sedangkan
Adorno, seperti dinyatakan William Outhwaite, merupakan the most important
thinker of the Frankfurt School (Outhwaite, 1998: 2).
Selain mereka, dalam Lembaga Penelitian di Frankfurt juga ada Frederich
Polock (seorang ekonom), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (ilmu
kesusasteraan), Eric Fromm (psikolog), dan Karl August Wittfogel. Keberadaan
sarjana-sarjana dari belbagai bidang keahlian dalam lembaga ini sejak semula
bertujuan agar persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat dapat dipelajari
dari berbagai sudut pandang ilmiah (Bertens, 1990: 176-177).
Untuk memahami gagasan teori kritis Aliran Frankfurt kita perlu
memahami perkembangan aliran itu. Ada beberapa fase penting perkembangan
aliran tersebut. Pertama, fase pembentukan aliran, yaitu sekitar tahun 1923-1933
ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt.
Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli ekonomi,

sejarahwan sosial. Grunberg berhasil mengarahkan kajian-kajian teoritis Aliran
Frankfurt lebih berorintasi empiris dan menekankan pentingnya pendekatan
ekonomi maupun dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial.
Fase kedua, fase pengungsian anggota Aliran Frankfurt ke Amerika Utara
pada tahun 1933-1950. Dimasa pengungsian ini, gagasan-gagasan teori kritis Neo
Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran kegiatan berbagai lembaga Frankfurt.
Horkhemeir menjadi direktur pada fase ini. Dialah yang melakukan reorientasi
teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan kajian-kajian teoritis para
pendahulunya. Pada fase kepemimpinan Mark Horkheimer, Aliran Frankfurt

mengubah orientasi aliran dari yang bersifat ekonomis historis versinya Grunberg
menjadi orientasi filosofis. Hal tersebut mengagasi atau menjadi dasar teori kritis
aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas ketika tokohnya kembali ke
Jerman pada tahun 1950-an.
Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950 sampai
1973. Pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya
Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan kematian dua tokoh
terkemuka praktis aliran Frankfurt terhenti. Aliran itu tidak lagi berperan dalam
dunia pemikiran sosial. Pamornya sebagai avant garde intelektual nyaris berahkir.
Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya kembali dengan munculnya Jurgen

Habermas, seorang teoritisi terkemuka yang tetap melestarikan dan
mengembangkan teori dan metodologi para pendahulunya (Musthofa, 2008:2).
Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah Frankfrut ini merupakan
dari pemikiran Karl Marx. Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme
sebagai sebagai titik tolak pemikirannya. Namun sekolah Frankfurt juga
meletakan dirinya dalam perspektif idealisme Jerman, yang dirintis oleh
Immanuel Kant (kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan
ketika Horkheimer menjabat direktur, ia memasukan ajaran Freud ke dalam
pemikiran sekolah Frankfurt (Sindhunata, 1990:29). Sehingga dalam
perkembangannya tidak hanya pemikiran Marx yang menjadi dasar dari
pengembangan yang dilakukan oleh Sekolah Frankfrut namun juga meliputi
pemikiran krtitsisme Kant, dialektika Hegel hingga Sigmund Freud.
Sebagai sebuah aliran pemikiran kontemporer, madzhab Frankfurt telah
memberikan sumbangsih yang tak kalah pentingnya dengan pemikiran–pemikiran
kontemporer lainnya. Dimulai dari konteks historis berkembangnya aliran tesebut,
yang berkembang di Eropa Barat akibat situasi perang dunia ke II memaksa
orang-orang yang tergabung di dalam madzhab tersebut untuk merevisi ulang alur
pemikiran Marx untuk menjelaskan situasi yang mereka alami. Perjalanan tersebut
mengakibatkan mereka untuk mensintesiskan pemikiran Marx dengan teori
psikoanalisinya Sigmund Freud. Akan tetapi walaupun demikian mereka tetap

berpedoman kepada alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari
pemikiran kritisi ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritis

historis dialektisnya Hegel. Imbas dari kolaborasi tersebut melahirkan teori kritis
yang mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang terhadap proses
penindasan dan ekploitasi manusia dalam tatanan sosial (Musthofa, 2008:6).
Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial
tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik
– sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial
masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial
modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi
permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa
konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi
instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu
yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia
yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx
tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin
kompleks.
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsipprinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan
kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian

fungsi teori ini adalah emansipatoris. Menurut Horkheimer, teori kritis tidak lagi
berpusing dengan prinsip-prinsip umum, membangun pengetahuan yang kukuh
dan tertutup pada dirinya sendiri, seperti yang dilakukan teori tradisional. Dari
semuula Horkheimer sudah menetapkan tujuan teori kritisnya yakni memberikan
kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan
demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional
tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya
(Sindhunata, 79-80).
Teori kritis mendorong manusia untuk selalu menggunakan rasional
mereka untuk melihat segala sesuatu di sekitar mereka. Horkheimer menekankan
pada kekritisan individu dalam sebuah sistem sosial masyarakat. Dengan sikap
kritis dan rasionailas yang dimiliki oleh seseorang akan menjadikannya menjadi
manusia yang emansipatoris. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kebebasan

untuk menggunakan menggunakan sifat rasional mereka sehingga dapat
mendorong manusia dari sifat yang irasional.
Berdasarkan hal tersebut, Ciri teori kritis adalah sebagai berikut :
1. Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang
mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur
masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

2. Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat
yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran
dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu
bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang
terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran
tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memiliki
kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan
menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan,
serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis
tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya
memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan
bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu
melayani transformasi praktis masyarakat (Musthofa, 2008:3).
Horkheimer mengajukan tiga syarat agar teori dapat menjadi
emansipatoris. Pertama, ia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat. Kedua, ia
harus berfpikir secara historis. Ketiga, ia harus tidak memisahkan teori dan
praksis. Horkheimer telah memperlihatkan bahwa teori kritisnya yang memenuh
tiga syarat tersebut. Maka ia yakin bahwa teori kritisnya dapat memberi kesadaran

untuk menjebol keadaan masyarakat yang irasional (Sindhunata, 1990:93).
Sehingga untuk mencipatakan yang emansipatoris yang berarti dalam hal ini
merupakan masyarakat yang bebas dalam menggunakan sikap kritis dan sifat
rasional tersebut haruslah memenuhi ketiga syarat tersebut.
Teori kritis aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh
masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam
kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional. Teori kritis ingin menjelaskan

hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori
kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi
masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang
rasionalitas. Secara garis besar, pokok-pokok pikiran Teori Kritis dapat dicirikan
sebagai berikut: pertama, bahwa filsafat bukan hanya kontemplasi, yakni
perenungan tentang sesuatu yang tidak menyentuh realitas kehidupan. Kedua,
filsafat seharusnya dapat mengubah masyarakat berupa pembebasan manusia dari
hegemoni yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya. Ketiga, objek analisisnya
adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Marx masih hidup.
Keempat, suatu pencerahan sebagai upaya menyadarkan manusia tentang
kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanis. Kelima, menolak perubahan
dengan cara revolusioner, karena terbukti revolusi telah mengakibatkan hal-hal

yang lebih mengerikan dan suasana represi yang lebih jahat (Kartono dkk.,
2004:10)
Secara umum teori kritis dalam konteks ilmu sosial dapat didefinisikan
sebagai suatu proses kritis untuk mendorong penyadaran orang agar memiliki
kemampuan untuk “menghadapi” kondisi struktural yang mendominasi, menekan
bahkan mengeksploitasi. Tampak jelas, bahwa pendekatan teori kritis mempunyai
komitmen yang tinggi pada terbangunnya tata kehidupan sosial yang setara
(equal), berkeadilan dalam arti terbebas (misi pembebasan) dari suatu sistem yang
mendominasi/diskriminatif, represif dan eksploitatif. Hal ini didasarkan pada
pemikiran, bahwa ilmu sosial mestinya bukan hanya sekadar memberi
pemahaman atas ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi
resources, melainkan seharusnya berusaha untuk ikut membantu menciptakan
kesetaraan dan kemajuan (emansipasi) dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain
itu, teori kritis tampaknya juga memiliki keterikatan moral untuk mengkritik
status quo dan membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan
(Subekti, 2012:7).
Jadi, Teori Kritis berbeda dengan teori filsafat tradisional yang hanya
bersifat kontemplatif ataupun ‘lamunan’ yang jauh dari kehidupan manusia dalam
masyarakat yang nyata. Teori Kritis dipahami sebagai teori pewaris Karl Marx,
sebagai teori yang bersifat materialis emansipatoris. Teori Kritis berusaha menjadi


praktis untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang dianggap
menindas atau mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan
masyarakat emansipatoris bebas dari penindasan (Rozi, 2005:6).
B. Teori Kritis dalam Ekspalanasi Sejarah
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam teori kritis, maka
sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama teori kritis pada
seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara
rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibatakibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori
kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman
rasio instrumental. Teori kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur
dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang
keliru tentang rasionalitas (Musthofa, 2008:6).
Teori Kritis menolak pernyataan bahwa teori harus objektif, hanya
menggambarkan apa adanya mengenai dunia, lepas dari subjektivitas manusia
(Kartono dkk., 2004: 84). Sehingga teori yang mengklaim dirinya objektif justru
sebenarnya tidak objektif karena fakta-fakta sosial dibuat oleh manusia.
Dalam penulisan sejarah, subjektifitas memang tidak pisah dipisahkan.
Secara metodologis, sebuah penelitian sejarah memiliki langkah-langkah yang
harus dilakukan. Penelitian sejarah, terdapat lima tahapan diantaranya, pemilihan

topik, pengumpulan data (heuristik), verifikasi/kritik (kritik intern dan ekstern),
intepretasi dan historiografi (Kuntowijoyo, 1994: 90). Dalam langkah-langkah
sebuah penelitian sejarah tersebut salah satunya adalah mencakup interpretasi.
Tahap ini adalah proses peneliti untuk menafsirkan sumber-sumber yang telah
melalui proses verifikasi baik secara ekstern maupun secara intern. Tahapan ini
bergantung bagaimana sejauh mana intepretasi peneliti terhadap sumber tersebut.
Subjektifitas dan subjektifisme peneliti sangat berpengaruh pada proses ini.
Penafsiran dalam sebuah penelitian sejarah memang menjadi hal yang
penting mrengingat dalam proses ini dibutuhkan sebuah sikap kritis dari seorang
peneliti sejarah untuk melihat dan menelaah sumber-sumber sejarah yang telah ia
dapatkan sebelumnya. Teori yang mendorong individu untuk menggunakan sikap
kritisnya dalam melihat dan menafsirkan segala fenomena-fenomena dalam

lingkungan mereka dapat menjadi acuan bagi seorang peneliti sejarah untuk
menangkap fenomena apa yang dapat mereka lihat dari data-data historis dalam
penelitian yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat menerima begitu saja hal-hal
yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan kritik didalamnya. Kritik
yang mereka lakukan dapat berupa kritik intern maupun kritik ekstern. Dengan
melakukan kritik tersebut dapat membantu seorang peneliti untuk menentukan
keabsahan sumber, kebenaran sumber, dan apakah sumber tersebut dapat
dipercaya atau tidak.
Rasionalitas seorang peneliti juga diuji dalam proses ini. Hal ini penting
karena penafsiran yang mereka haruslah masuk akal dan tidak bersifat irasional.
Maka dalam tahapan ini teori kritis memberikan sumbangannya dalam hal
membebaskan seseorang individu untuk melihat segala sesuatunya secara rasional
dan mendorong mereka untuk lepas dari irasionalitas. Eksplanasi sejarah yang
dilakukan oleh seorang peneliti yang akhirnya akan menciptakan sebuah
historiografi tentunya harus mempunyai dasar yang kuat dan dapat diterima akal.
Selain menggunakan sumber sejarah baik berupa dokumen, prasasti, candi, lisan,
dan lain sebagainya yang dapat dipertanggungjawabkan tentunya seorang peneliti
dalam melakukan penafsiran sumber tersebut tidak bisa melakukannya dengan
sesukanya. Dalam menafsirkan hal tersebut tentunya peneliti harus menggunakan
pemikiran yang diakronis dimana hal tersebut berkaitan dengan kronologis yang
merupakan salah satu unsur penting dalam eksplanasi sejarah. Disamping itu
seorang peneliti sejarah dalam menafsirkan sumber yang mereka dapatkan hruslah
logis dan sesuai dengan apa yang mereka teliti. Sifat rasionalitas yang ditekankan
oleh teori kritis dapat menjadi acuan seorang peneliti sejarah dalam melakukan
eksplanasi historis.
Prinsip-prinsip teori kritis yaitu yang menekankan pada kebebasan
individu baik untuk mengkritisi hal-hal apa saja yang mereka lihat dan rasakan
serta bebas untuk menggunakan pemikiran logis mereka dapat sehingga dapat
menjadikan mereka seorang emansipatoris juga membantu seorang peneliti
sejarah. Emansipatoris yang ada dalam teori kritis dapat menjadi sebuah motivasi
seorang peneliti sejarah yang bebas, bebas untuk berfikir, bebas untuk menuliskan
penafsiran yang mereka lakukan, dan bebas dari segala bentuk kepentingan.

Secara normatif, salah satu tujuan dari penulisan sejarah memang berkaitan
dengan hal-hal yang demikian. Namun hal ini juga menjadi kelemahan dalam
penelitian sejarah. Kebebasan yang ditekankan dalam teori kritis juga dapat
menjadi permasalahan baru dalam penelitian sejarah. Kebebasan seorang individu
dalam melakukan penulisan sejarah dapat menyebabkan terjadinya
kesimpangsiuran.
Dalam penulisan sejarah Indonesia misalnya menjadi sebuah fakta tatkala
penulisan sejarah terhadap sebuah peristiwa tertentu mempunyai banyak versi
yang dalam konteksnya saling bertentangan. Perbedaan dalam penulisan sejarah
ini seringkali menimbulkan pertentangan diantara para penulis sejarah Indonesia
itu sendiri. Mereka saling menyangkal dan menganggap penulisan yang dilakukan
oleh dirinya merupakan sebuah kebenaran. Subjektifitas penulis memang menjadi
penyebab perbedaan penulisan sejarah Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting dan
berdampak pada masyarakat luas mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan budaya
yang seringkali menjadi pertentangan dalam penulisan sejarah.
Memang dalam penulisan dan pembelajaran sejarah hal-hal yang demikian
tidak dapat dihindari karena pennulisan sejarah tidak pernah lepas dari
subjektifitas. Terkadang subjektifitas penulis dapat menjadi bias tatkala opini yang
mereka sampaikan bertentangan dengan fakta-fakta dari objek penelitian mereka
sendiri. Memang subjektifitas penulis tak bisa lepas dari penulisan sejarah karena
dengan subjektifitasnya itu sendiri fakta-fakta sejarah itu mereka tafsirkan.
Sebagai ilmu, tentunya sejarah mempunyai sebuah etika dan disiplinnya yang
secara langsung maunpun tidak langsung mengikat mereka saat melakukan
penulisan sejarah. Etika dan disiplin itu sendiri yang akan menjaga kualitas
sebuah tulisan apakah menjadi tulisan yang ilmiah atau tidak ilmiah. Sejarah
memang dapat digunakan sebagai sarana doktrin, pembelaan, pembenaran,
menuding kesalahan, dan menyudutkan lawan namun dengan disiplin itu sendiri
sejarah harusnya menjadi sebuah pencerahan bagi pembacanya tentang sebuah
kajian yang seobjektif mungkin.

C. Teori Kritis dalam Pembelajaran Sejarah

Secara historis, pedagogy kritis (critical pedagogy) dipersepsi sebagai
realisasi dari teori kritis (critical theory) dari para pemikir Frankfurt School yang
diaplikasikan di sekolah (Supriatna, 2007:1). Pendidikan tidak pernah berdiri
bebas tanpa berkait secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di mana
pendidikan itu diselenggarakan. Dalam hal pendidikan sebagai proses
pembebasan, konteks sosial sebagai penyebab yang juga menyebabkan
dehumanisasi dan keterasingan saat penyelenggaraan pendidikan, menjadi tidak
terlepas sangat menentukan. Untuk mendorong proses belajar menjadi peka
terhadap persoalan ketidakadilan sosial pada era global ini, diperlukan perumusan
visi dan misi yang sesuai dengan perkembang formasi sosial serta menentukan
bagaimana keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial dan
menerjemahkannya sehingga dapat diaplikasikan dalam metodologi, dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar. Dalam perspektif kritis, melakukan
refleksi kritis merupakan tugas pendidikan. Pendidikan tidak mungkin dan tidak
bisa netral, objektif maupun “detachment” dari kondisi masyarakat. Untuk itu,
diperlukan kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap
sistem dan struktur ketidakadilan sosial serta pengdekonstruksian terhadap
diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Visi
kritis pendidikan yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan
yang tertindas untuk sistem sosial baru dan lebih adil menjadi agenda pendidikan
(Rozi, 2005:8).
Pembelajaran sejarah secara kritis diidentifikasi berorientasi kepada
masalah, bercirikan egaliter, hasil dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen
kurikulum (Supriatna, 2007:5). Teori kritis dapat membantu pembelajaran sejarah
dengan konsep-konsep yang mereka usung yaitu kritis terhadap kondisi,
menngunakan pemikiran yang rasional, dan dialektis. Pembelajaran sejarah
apabila diterapkan dengan menggunakan konsep-konsep tersebut maka siswa
tidak lagi dilihat sebagai objek melainkan subjek dalam pembelajaran. Guru dapat
mendorong siswa untuk kritis terhadap pembelajaran yang mereka dapatkan dan
mereka lakukan. Guru tidak menjadi kunci dalam pembelajaran yang dapat
menyebabkan sikap kritis siswa tidak muncul. Dalam pembelajaran guru memiliki
peran untuk memandu siswa dalam menentukan arah pembelajaran yang akan

mereka lakukan. Setelah merangsang siswa untuk dapat bersikap kritis maka guru
harus menumbuhkan pemikiran yang rasional dalam diri siswa sehingga sikap
kritis tersebut mengarah pada pemikiran rasional mereka.
Memang dalam perjalanannya, kurikulum yang diterapkan dalam sistem
pendidikan di Indonesia tidak selamanya dapat menunjang hal-hal yang
disebutkan di atas. Sejak kurikulum pendidikan mulai diterapkan pembelajaran
sejarah di sekolah mengalami pembatasan. Hal ini terjadi karena pemerintah
mengeluarkan sebuah buku induk pembelajaran sehingga hal-hal yang
bertentangan dengan buku tersebut dianggap menyimpang dan bertentangan.
Namun dewasa ini hal-hal tersebut mulai bergeser. Dalam beberapa dekade pasca
kemerdekaan, pembelajaran sejarah di Indonesia, dituntun oleh dokumen
kurikulum yang terpusat (lihat dokumen kurikulum 1975, 1984, 1994) dengan
bercirikan pengembangan disiplin ilmu yang menekankan pada materi (bahan
ajar) sehingga berkesan mementingkan sisi esensialisme, yang fokus pada
kebesaran masa lalu bangsa (positivisme), dan sistem evaluasi pada penekanan
ranah kognitif (positivisme). Baru pada dokumen kurikulum 2004 yang kemudian
diperbaiki menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), paradigma
tersebut mulai bergeser paling tidak by design, dengan otonomi yang diberikan
kepada pihak sekolah dan guru untuk mengaplikasikan kurikulum yang
berorientasi kepada siswa dan masyarakat lingkungannya (Supriatna, 2007:13).
Alternatif yang dapat dipilih dalam pembelajaran Sejarah secara kritis
adalah melalui penerapan model-model pembelajaran yang berdasarkan pada
permasalahan. Kemudian, pengajaran dan pembelajaran kontekstual melalui
pembelajaran sejarah secara kritis, diharapkan para peserta didik adalah mereka
yang unggul dalam sisi kreativitas, kapabilitas dan tangguh dalam menghadapi
permasalahan kontemporer, melalui dialog dengan masa lalunya, sehingga
memperoleh pemahaman yang holistik tentang keberadaannya sebagai anak jaman
yang tidak terputus dari memori kolektif bangsa ini. Hal ini dimungkinkan
mengingat pembelajaran Sejarah kritis berdasar kepada pengakuan kedudukan
guru-murid yang egaliter, komunikasi yang dialogis dan kajian sejarah berdasar
kepada permasalahan (problem oriented) (Yulifiar, tanpa tahun:5). Dengan
meninggalkan model dan metode pmbelajaran yang kuno dan lebih memilih

model dan metode pembelajaran yang inovatif serta dapat mendorong siswa untuk
dapat berpikir kritis dan rasional dapat dipilih oleh seorang guru dalam
pembelajaran sejarah di sekolah.
Menggunakan alternatif pembelajaran dapat dipilih oleh seorang guru
dalam pembelajaran sejarah. Seorang siswa yang dapat berfikir kritis dan juga
memiliki pemikiran yang rasional dapat menjadi sebuah fondasi awal dalam
menciptakan generasi yang lebih unggul. Apabila sejak awal seseorang diajarkan
untuk dapat berpikir logis dan kritis maka kedepan mereka dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari setelah mereka lepas dari dunia pendidikan formal.
Pendidikan inovatif yang tidak monoton dan tertutup dapat menciptakan sebuah
individu yang dapat mengaplikasi ilmu dan konsep yang mereka dapat dalam
pendidikan formal untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran-pemikiran Teori Kritis tersebut bila diterapkan dalam dunia
pendidikan akan memberikan beberapa ciri pokok. Pertama, karena manusia
dipandang sebagai subjek yang mempunyai kehendak yang mampu mengubah
kondisi sosial dan membuat sejarah, ini dapat membawa pada orientasi bahwa
dalam pendidikan, manusia akan mendapat perhatian besar. Kedua, dengan
menumbuhkan kesadaran melalui rasio, Teori Kritis mempunyai sifat
membebaskan masyarakat dari penindasan yang sifatnya semu. Ketiga, cara
berpikir dialektika dalam Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan
akan menekankan pada orientasi bahwa subjek didik mampu menumbuhkan
kesadaran sejati, suatu kesadaran yang tidak abstrak belaka (Rozi, 2005:7).
D. Kesimpulan
Secara umum teori kritis dalam konteks ilmu sosial dapat didefinisikan
sebagai suatu proses kritis untuk mendorong penyadaran orang agar memiliki
kemampuan untuk “menghadapi” kondisi struktural yang mendominasi, menekan
bahkan mengeksploitasi. Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama
perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor
lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi
dinamika sosial masyarakat dan individu. Teori Kritis berusaha menjadi praktis
untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau

mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat
emansipatoris bebas dari penindasan.
Teori Kritis berusaha menjadi praktis untuk melakukan perubahan
terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi manusia,
dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari
penindasan. Teori kritis mendorong individu untuk menggunakan sikap kritisnya
dalam melihat dan menafsirkan segala fenomena-fenomena dalam lingkungan
mereka dapat menjadi acuan bagi seorang peneliti sejarah untuk menangkap
fenomena apa yang dapat mereka lihat dari data-data historis dalam penelitian
yang mereka lakukan. Sifat rasionalitas yang ditekankan oleh teori kritis dapat
menjadi acuan seorang peneliti sejarah dalam melakukan eksplanasi historis.
Dengan meninggalkan model dan metode pmbelajaran yang kuno dan
lebih memilih model dan metode pembelajaran yang inovatif serta dapat
mendorong siswa untuk dapat berpikir kritis dan rasional dapat dipilih oleh
seorang guru dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Menggunakan alternatif
pembelajaran dapat dipilih oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah.
Seorang siswa yang dapat berfikir kritis dan juga memiliki pemikiran yang
rasional dapat menjadi sebuah fondasi awal dalam menciptakan generasi yang
lebih unggul. Apabila sejak awal seseorang diajarkan untuk dapat berpikir logis
dan kritis maka kedepan mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan seharihari setelah mereka lepas dari dunia pendidikan formal.
Daftar Rujukan
Bertens, K. 1990. Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman. Jakarta:
Gramedia.
Kartono, D. T. & Jaya, Fajar H.I. 2004. Lubang Kecil Menuju Teori Kritis.
Surakarta: Pustaka Cakra.
Kuntowijoyo. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius
Musthofa, Chatib. 2008. Teori Kritis Madzhab Frankfurt. Surabaya: Fakultas
Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Outhwaite, W.. 1998. “Adorno, Theodor Wiesengrund” dalam Stuart Brown dkk.
(ed.), One Hundred Twentieth-Century Philosophers. London & New York:
Routledge.
Rozi, Achmad Bachrur. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Teori Kritis (ke Arah
Kontekstualisasi Pendidikan yang Membebaskan).
Sindhunata. 1990. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern
oleh Marx Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta:
Gramedia.
Subekti, Slamet. 2012. Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan Historiografi
Indonesia Masa Kini. Semarang: Universitas Diponegoro
Supriatna, Nana. 2007. Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung:
Historia Utama Press.
Yulifiar, Leli. Tanpa Tahun. Reinterpretating Pembelajaran Sejarah Kritis dalam
Rekonstruksi Strategi Pendidikan Sejarah. Jakarta: FPIPS Universitas
Pendidikan Indonesia.