Dari Lada ke Karet Perubahan Sosial dan

Dari Lada ke Karet:
Perubahan Sosial dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942
Oleh
Ika Ningtyas Unggraini
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret, Surakarta
[email protected]

Abstrak
Aceh Timur mengalami banyak perubahan di awal abad ke-20. Liberalisasi ekonomi yang
diterapkan Pemerintah Hindia Belanda, membuka investasi Barat terutama di sektor
perkebunan karet. Kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal, akhirnya membuat perusahaan
perkebunan mendatangkan ribuan buruh dari luarAceh, utamanya dari Pulau Jawa. Harga
karet yang cukup prospek di pasar internasional memicu perubahan dari penamanan lada ke
karet oleh rakyat. Perubahan sosial dan ekonomi pun terjadi pada masyarakat Aceh Timur,
yang akhirnya membentuk masyarakat multikultural Aceh Timur dewasa ini.

Pendahuluan
Aceh adalah kawasan paling akhir di Nusantara yang ditaklukan kolonial Belanda
sebagai perluasan pax-Neerlandica. Penaklukan tersebut membutuhkan proses yang paling
melelahkan, menelan banyak korban dan biaya karena mendapatkan perlawanan sengit dari
rakyat dalam Perang Aceh (1873-1904). Setelah menguasai hampir semua distrik, Pemerintah

Hindia-Belanda memberlakukan investasi asing seluas-luasnya di Aceh berupa pembukaanperkebunan-perkebunan besar. Pelaksanaan liberalisasi ekonomi itu tidak jauh berbeda seperti
yang telah dimulai di Jawa pada 1870 dan diperluas ke luar Jawa terutama Sumatera dan
Kalimantan pada akhir abad ke-19.
Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris barat,
memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah
dan tenaga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan
eksploitasi produksi pertanian yang memungkinkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan
dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem

perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar,
dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan1.
Pembukaan perkebunan-perkebunan besar itu dimungkinkan oleh Undang-undang
Agraria (Agrarissche Wet) yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1870.
Pada satu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani pribumi atas tanah
mereka. Di lain pihak, UU Agraria membuka peluang bagi orang asing, orang-orang bukan
pribumi, untuk menyewa tanah. Selain UU Agraria, Pemerintah Hindia Belanda juga
mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai perburuhan-perburuhan yang menegaskan
kondisi pekerjaan yang layak bagi orang-orang Indonesia, misalnya mengenai tingkat upah
minimal yang harus dibayar kepada buruh-buruh Indonesia2. Meskipun dalam kenyataannya
peraturan-peraturan itu tidak dilaksanakan sehingga merugikan kaum buruh.

Aceh Timur saat ini secara administratif berada di Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh
Timur, yang memiliki 24 kecamatan dan 513 gampong atau desa. Saat era Pemerintahan
Hindia Belanda daerah ini disebut Afdeeling Oostkust van Atjeh dengan luas wilayah 12 ribu
km persegi3 yang membentang mulai Langsa hingga Tamiang. Langsa pada awalnya
merupakan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Namun pada tahun 2000 dan 2001, Langsa dan
Tamiang memekarkan diri menjadi Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang.
Letak geografis di Selat Malaka, membuat Aceh Timur telah memainkan peran
pentingnya dalam sejarah. Kawasan ini menjadi pintu masuk ke Nusantara sekaligus sebagai
pusat perdagangan dunia pada abad ke-12 dengan lada4 sebagai komoditas utamanya.

1 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi,
Yogyakarta: Aditya Media, halaman 7.

2 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010, Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, halaman 371-372.
3 Muhammad Gade Ismail, 1989, The Economic Position of the Uleebalang in the Late Colonial State Aceh (East
Aceh, 1900-1942), makalah untuk konferensi di Netherlands Institute For Andvanced Study Wassenaar,
Netherlands, 12-14 Juni 1989, halaman 2-3.
4 Tanaman lada juga sudah tua. Ada yang menduga bahwa lada tersebar ke daerah Jawa dan Malasyia anatara
100 SM dan 600 M, melalui orang-orang Hindu. Lada yang ditanam di kebun-kebun daerah Sumatra Utara dan

Jawa Barat sangat mantap dalam pasaran perdagangan laut yang terpusat di Malaka pada sekitar 1500. Lihat
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi, halaman
19.

Sementara di awal abad ke-20, Aceh Timur menjadi wilayah pertama di Aceh yang diinfiltrasi
oleh investasi privat Barat dalam pengeboran minyak, perkebunan karet dan kelapa sawit5.
Mengapa Aceh timur dipilih sebagai daerah pertama untuk investasi asing? Menurut Gade
Ismail, karena wilayah ini relatif lebih aman, kedua daerahnya lebih cepat ditundukkan, dan
ketiga populasi yang hidup lebih mix, bukan penduduk Aceh asli.6 Penduduk Aceh Timur
berasal dari daerah lainnya di wilayah Aceh lain yakni Pasai, Pidie dan Aceh Besar yang
bermigrasi pada abad ke-19. Saat itu mereka bermigrasi ke Aceh Timur yang untuk
kepentingan ekonomi, yakni menanam lada. Tingginya permintaan lada di pasar dunia,
mengakibatkan penduduk Aceh harus mencari daerah baru untuk menanam lada. 7 Pada 1873,
diperkirakan populasi penduduk Aceh Timur yang menanam lada sekitar 100 ribu jiwa
dengan produksi lada sekitar 100 ribu pikul. Daerah yang menjadi sentra lada di Aceh timur
yakni Simpang Ulim, Idi Rayeuk, Julok Rayeuk, Peureulak dan Langsa.
Alasan penting lainnya pemilihan Aceh Timur adalah karena ada kepentingan untuk
ekspansi investasi asing dari Deli, Sumatra Timur yang berkembang lebih dulu sejak 1862.
Sejak Sultan Deli membuka kesempatan selapang-lapangnya kepada investor asing, Belanda
semakin terdorong untuk cepat-cepat meneliti wilayah Aceh di bagian timur yang berbatasan

langsung dengan Deli.8 Saat itu kawasan Sumatra Timur telah banyak

dibuka untuk

perkebunan tembakau, karet9 dan kelapa sawit10.
5 Muhammad Gade Ismail, 1989, op.cit halaman 1.
6 Ibid halaman 5.
7 Mawardi, 2005, Menyadap Getah untuk Orderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di
Aceh Timur 1907-1939, Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, halaman 49.
8 Mohammad Said, 1985, Aceh Sepanjang Abad, Jilid Kedua, PT Harian Waspada Medan, halaman 231.
9 Pohon karet yang asli, focus elastica, diusahakan menjadi tanaman perkebunan di Jawa Barat dan pesisir
timur Sumatera mulai tahun 1864. Akan tetapi percobaan pertama yang dilakukan pemerintah dengan pohon
karet impor, hevea brasiliensis pada tahun 1900 yang telah membuka jalan menuju keberhasilan. Mulai sekitar
tahun 1906 hevea berkembang pesat, terutama di sumatera. Tanaman karet yang ditanam pertama disadap
pada usia lima tahun dan mulai diekspor 1912. Pada tahun 1930, 44 persen dari luas tanah yang disediakan
bagi tanaman2 perkebunan yang utama di Indonesia ditanami karet. M.C Ricklefs, 2008, Sejarah Indonesia
Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta halaman 331 .
10 Sekitar tahun 1907 percobaan-percobaan komersial yang pertama dibuat dengan kelapa sawit. Para perintis
onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K Schadt, yang menanam pohon-pohon kelapa sawit
di atas konsesinya, Tanah Itam Ulu dan pengusaha orderneming Belgia, Adrien Hallet yang menanam kelapa

sawit di Onderneming Pulau Raja di Asahan. Sebelum tahun 1911 pohon-pohon kelapa sawit ditanam semata2
hanya sebagai pohon-pohon hiasan di perkebunan-perkebunan. Selengkapnya lihat Karl J Perlzer, 1985, Toean
Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947, Jakarta Sinar
Harapan, halaman 71.

Pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya telah membuka Aceh Timur kepada investor
barat pada 1898. Mulai investasi tembakau di Tamiang dan tambang minyak bumi 11 (De
koninklijke Nederlandisch Indie) yang memperoleh konsesi di Simpang Kanan dan Simpang
Kiri. Namun kedua investasi itu gagal dan ditutup pada 1901. Kegagalan ini sempat membuat
citra Aceh Timur terpuruk sampai akhirnya investasi kembali mengalir pada 190712. Investasi
pertama berupa pembukaan perkebunan karet pada 1907 dan kelapa sawit pada 1912. Seluruh
investasi itu dimiliki oleh pemodal asing utamanya dari Barat.
Perkebunan asing di Aceh Timur akhirnya berkembang cepat dalam tempo yang
singkat. Hingga tahun 1923, setidaknya sudah ada 20 buah jumlah pekebunan; 12 diantaranya
adalah kebun karet, 7 kebun kelapa sawit dan 1 kebun kelapa 13. Pembukaan perkebunan karet
di Aceh Timur ini merupakan perluasan dari investasi asing di Sumatra Timur. Di daerah
pengusahaan tanaman karet terjadi pada 1906. Pihak yang mempromosikan dan
mengorganisir perkembangan tersebut berasal dari berbagai negara barat seperti Inggris,
Perancis, Belgia, Belanda dan Amerika Serikat. Mereka saling bekerjasama baik dalam
penyediaan modal atau dalam mengelola perusahaan. Awalnya, perkebunan karet disumbang

bangsa Inggris Arthur Lampard, yang punya pengalaman karet di Malaya, mengunjungi
Sumatra atas nama perusahaan Harrison dan Crossfield pada 1906. Bersama dengan seorang
temannya dari Swiss bernama Victor Ris, Lamprad memulai usahanya di Sumatra.pada
190914.
Beragamnya kegiatan bisnis telah membawa banyak perubahan di Aceh bagian timur.
Apabila pada abad 19, kehidupan ekonomi di daerah ini didominasi oleh perkebunan lada,
tetapi awal abad 20 berubah menjadi daerah investasi barat yang menghasilkan komoditas
ekspor seperti karet, minyak sawit dan minyak15. Tingginya harga karet di pasar dunia pada
11 Pemboran pertama dimulai di daerah Perureulak pada tahun 1900 kemudian tahun 1902 dan 1903 masingmasing di daerah Langsa, Peudada, Idi, Julok Rajeuk dan Cunda. selanjutnya di daerah2 itu muncul beberapa
maskapai perminyakan seperti Holland-Perlak Maatschappij, Bataafsche Petroleum Maatschappij, Perlak
Petroleum Maatschappij, dan zuid-Perlak Petroleum Maatschappij.
12 M Gade Ismail, 1991, Seuneubok Lada, Uleebalang dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah
Batas Aceh Timur 1840-1942, dalam Mawardi, 2005, Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial
Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di aceh Timur, 1907-1939, Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, halaman 71.
13 Munawiyah, 2002, Birokrasi kolonial di Aceh 1903-1942, tesis, program pascasarjana prodi sejarah jurusan
imu-ilmu humaniora UGM, halaman 187.
14 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia, 2004, Yogyakarta: Aditya Media
bekerjasama dengan Fak Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada halaman 108.
15 Muhammad Gade Ismail, 1989, halaman 14.


awal abad ke-20, membuat penduduk Aceh akhirnya ikut menanam karet. Maka, perkebunan
karet rakyat pun ikut bersaing dengan perkebunan asing swasta hingga Pemerintah HindiaBelanda kemudian membatasi produksi karet rakyat. Menurut M.C Ricklef, penanaman karet
berhubungan erat dengan berkembangnya industri mobil di Eropa16.
Pengembangan perkebunan besar di pantai timur Sumatera memiliki ciri yang berbeda
dengan perkembangan pabrik gula di Pulau Jawa. Apabila di Pulau Jawa pemilik pabrik gula
dengan mudah memperoleh tenaga kerja untuk bekerja di pabrik gula, tidak demikian halnya
dengan pemilik perkebunan besar di pantai timur Sumatera. Penduduk asli pantai timur
Sumatra tidak tertarik untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang ada di daerah mereka.
Akibatnya pemilik perkebunan harus mendatangkan buruh-buruh mereka dari Pulau Jawa 17.
Dari Sumatera Timur buruh-buruh Jawa pada akhirnya ditarik untuk dipekerjakan juga ke
perkebunan Aceh Timur. Selain buruh Jawa, maskapai perkebunan juga mempekerjakan
buruh Cina dan Keling.
Praktek liberalisasi ekonomi dengan mendatangkan investasi asing itu akhirnya
menimbulkan apa yang disebut dualisme ekonomi. Yakni kesenjangan yang begitu besar
antara pemilik perkebunan dengan pekerjanya. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo
menjelaskan dualisme ekonomi itu karena secara struktural di perkebunan terdapat dua
lapisan sosial yaitu lapisan asing dan pribumi. Golongan pertama menempati jabatan teras
dengan pendapatan tinggi, seperti jabatan pimpinan, staf pengelola, administrator, dan tenaga
spesialis. Golongan kedua, menempati kedudukan sebagai pekerja kasar atau buruh dengan

upah rendah halaman18.
Selain dua lapisan sosial, diskriminasi ras atau etnis juga menjadi ciri lain sistem
kolonial. Perspektif kolonial superioritas-inferioritas mendasari prinsip diskriminasi. Sistem
kolonial menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola
hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang secara hierarkis menempatkan golongan
bangsa yang memerintah di puncak teratas dari struktur masyarakat tanah jajahan. Dalam
struktur masyarakat kolonial diskriminasi mendasari sistem pergaulan dalam berbagai

16 M.C Ricklefs, 2008, halaman 331.
17 Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, 1991,Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Aditya
Media, halaman 17
18 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991, halaman 7.

dimensi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Diskriminasi menjadi
inti hubungan sosial dan menjadi faktor penguat dalam hubungan kolonial antara golongan
yang memerintah dan yang diperintah19
Dalam mengamati msyarakat perkebunan pada umumnya, tidak luput dari kesan
bahwa masyarakat itu bersifat tertutup dan otonom. Baik lokasinya maupun kondisi
kehidupannya tidak banyak mendorong komunikasi dan interaksi dengan bagian lain daerah
atau kota-kota lainnya. Yang ada lazimnya dilakukan lewat perantara-perantara. Masyarakat

perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan
karakteristik yang sama antara lain (1) pluralitik (2) tersegmentasi menurut golongan etnik
(3) rasialistik (4) dualistik (5) dominasi sosial, ekonomi, dan politik kaum kolonial20.
Oleh karena itu, interaksi buruh perkebunan dengan masyarakat di luarnya menjadi
terbatas dan terisolasi. Adanya interaksi baru intens terjadi ketika buruh sudah tidak bekerja
lagi di perkebunan, bisa karena diberhentikan maupun masa kontrak yang telah habis.
Sebagian besar buruh Jawa tidak kembali ke kampung asalnya karena upah kecil, yang tidak
cukup untuk ongkos pulang. Maka pilihannya, buruh-buruh tersebut menetap di Aceh Timur
dan terserap dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dari berbagai kondisi inilah
membawa perubahan ke masyarakat Aceh Timur baik dalam ruang sosial dan ekonomi serta
menjadi awal kondisi Aceh dewasa ini.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, tulisan ini menjawab tiga hal:
1) Bagaimana perkembangan perkebunan karet di Aceh Timur tahun 1907-1942?
2) Bagaimana perubahan ekonomi penduduk Aceh Timur setelah dibukanya perkebunan
karet pada tahun 1907-1942?
3) Bagaimana perubahan sosial di Aceh Timur setelah dibukanya perkebunan karet pada
tahun 1907-1942?
Perkembangan Perkebunan Karet
Pemerintah Hindia Belanda membagi Aceh Timur menjadi lima wilayah

onderafdeeling, yakni Onderafdeeling Idi, Onderafdeeling Langsa, Onderafdeeling Tamiang,

19 Ibid halaman 6
20 Ibid halaman 188-149

Onderafdeeling Serbajadi dan Onderafdeeling Gayo Lues 21. Investasi asing perkebunan
dipusatkan di Onderafdeeling Langsa, Onderafdeeling Tamiang. Untuk menarik investor
Barat, Pemerintah Hindia Belanda melengkapinya dengan fasilitas infrastruktur yakni
pembangunan pelabuhan, jalan, dan jaringan kereta api. Dua pelabuhan yang dibangun yaitu
Pelabuhan Idi dan Pelabuhan Langsa. Sedangkan jaringan kereta api terhubung ke Idi tahun
1898 dan berikutnya pada 1903 terhubung ke Langsa hingga ke Deli, Sumatera Timur.
Pemerintah Hindia-Belanda mulai membuka perkebunan karet di Langsa seluas 5 ribu
ha pada 1907. Perkebunan ini awalnya dikelola oleh Gouvernements Caoutshoucon
derneming, sebuah perusahaan milik Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya tidak lain, untuk
mengembalikan kepercayaan investor asing ke Aceh Timur, yang sebelumnya gagal
mengembangkan tembakau dan minyak bumi. Perkebunan karet swasta barat pertama kali
dirintis oleh warga Belanda bernama A. Hallet di Sungai Liput, Tamiang dengan
perusahaannya Societe Financiere de Caoutchouc pada 1908. Kemudian setahun berikutnya,
De Arendsburg, warga Belanda memperoleh konsensi di Kuala Simpang, Tamiang, dengan
nama perusahaan Tamiang Rubber Estate seluas 4.752 hektare. Ada juga perusahaan Rubber

Maatschaapij yang memperoleh 5 konsesi sekaligus seluas 14.184 ha22.
Sampai tahun 1912, Aceh Timur punya 18 konsesi karet, 1921 ada 21 perusahaan
dengan total 31 perkebunan seluas 66.803 ha, penanaman 14.086 ha dengan total produksi
1.372.187 kg getah karet. Kemudian pada 1929, meningkat lagi ada 30 perkebunan yang
dimiliki maskapai Belanda, Inggris, Belgia, dan Jepang23. Secara keseluruhan sebanyak 105
ribu ha tanah diberikan untuk perkebunan swasta. Di Langsa ada 28 konsesi perkebunan
seluas 56 ribu ha, Tamiang berisi 20 konsensi seluas 47 ribu ha. Hanya satu konsesi berada di
Idi seluas 2 ribu ha. Total investasi f 13,750,000 di Langsa, an f 17,250,000 di Tamiang.
Setahun berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan tanah hingga 111.367 ha 24.
Seorang pengusaha perkebunan karet, Arthur Lampard, melalui perusahaannya Harrison dan
Crossfield, mendorong dibentuknya badan penanaman modal perkebunan karet atau Rubber
Plantation Investment Trust yang mengelola dua perusahaan dan merintis didirikannya

21 J Paulus, Encyclopedia van Nederlandsh-Indie (1917) dalam Mawardi halaman 61-62.
22 J. J Van de Velde, 1987, Surat-Surat dari Sumatra dalam Mawardi halaman 76
23 Ibid halaman 77.
24 Muhammad Gade Ismail, 1989, halaman 5-6.

beberapa perusahaan lain. Pada 1913 kelompok Harision dan Crossfield menguasai sejumlah
besar kebun karet di Pulau Sumatera25.
Meningkatnya investasi perkebunan karet di Aceh Timur dipicu oleh harga karet yang
cukup tinggi sehingga investor pun berlomba-lomba. Harga karet di bursa London pada
tahun-tahun 1909-1912 mencapai rata-rata f. 8 - f. 9 per lembar 26. Kenaikan harga karet ini
disebabkan oleh kemajuan teknologi yang pesat di negara-negara industri Eropa-Amerika,
terutama industri listrik, otomobil, dan sepeda yang membutuhkan semakin banyak karet.
Meningkatnya penggunaan transportasi mobil menyebabkan meningkatnya permintaan
terhadap bahan baku karet dan pada gilirannya berpengaruh pada naiknya harga karet dunia
secara konstan. Jumlah kepemikian mobil di Amerika Serikat meningkat dari 8 ribu tahun
1900 menjadi 458. 000 tahun 1910 dan mencapai 4 juta dalam tujuh tahun ke depan.27
Dibukanya banyak perkebunan menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja menjadi
sangat tinggi. Terlebih lagi penduduk Aceh tidak mau bekerja di perkebunan asing Barat. M
Gade Ismail menyebutkan ada beberapa alasan mengapa penduduk Aceh enggan bekerja di
perkebunan asing Barat. Pertama, karena penduduk Aceh jarang. Kedua, punya pendapatan
dari penanaman lada yang lebih besar daripada menjadi buruh. Ketiga saat harga lada turun,
penduduk Aceh masih bisa mengandalkan dari pertanian padi atau nelayan. Keempat,
pekerjaan buruh dianggap berat, sehingga mereka lebih memilih menjadi petani atau nelayan
yang lebih bebas. Kelima, masih terpengaruh oleh Perang Sabil yang menganggap
perkebunan milik Barat adalah haram.28
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya
memakai buruh dari luar daerah, seperti Cina dan Jawa, seperti yang sebelumnya telah
dipraktekkan di Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Di antara mereka, ada yang langsung
didatangkan dari Pulau Jawa, dan ada pula yang didatangkan dari perkebunan karet dan
tembakau di daerah Sumatera Utara. Mereka merupakan tenaga buruh yang terikat dengan

25 Soegijanto Padmo halaman 109.
26 Willian J. O'Malley dalam Mawardi halaman 83.
27 Mawardi halaman 162.
28 M. Gade Ismail dalam ibid halaman 93.

kontrak kerja untuk jangka waktu selama lebih kurang tiga tahun29 sehingga mereka ini
disebut dengan kuli kontrak.
Pemindahan penduduk atau emigrasi tersebut merupakan manifestasi dari kebijakan
politik etis30. Pulau Jawa menjadi daerah target perekrutan buruh kontrak karena jumlah
penduduknya yang padat dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Kepadatan tersebut
merupakan akibat dari kebijakan pemerintah kolonial yang selama ini menjadikan Jawa
sebagai sentral ekonomi sejak awal abad ke-18. Kondisi yang berbeda terjadi di luar Jawa,
yang berpenduduk jarang dan belum dieksplotasi. Baru pada awal ke-19, ketika kebutuhan
untuk ekspansi meningkat, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengalihkan potensi ke luar
Jawa, khususnya Sumatera dan Kalimantan. Sehingga perpindahan penduduk sebenarnya
hanya cara untuk mendapatkan tenaga kerja dengan upah murah. Menurut Soegijanto Padmo,
masyarakat yang dipindahkan ini pada umumnya secara ekonomi adalah kelompok miskin di
pedesaan.31
Pencarian buruh-buruh di Pulau Jawa dilakukan oleh agen-agen profesional mulai
tahun 1909-1929. Seorang buruh yang akan diberangkatkan ke Sumatera hanya mendapat
bekal f. 5 dan ditambah satu baju dan celana. Buruh Jawa mulai didatangkan ke Aceh Timur
mulai tahun 1910 berjumlah 858 orang dan pada 1927 jumlah buruh telah mendekati 30 ribu
orang. Sampai tahun 1931, jumlah buruh kontrak sebesar 78,84 persen dan 22,16 persen
buruh bebas. Dari jenis kelaminnya, buruh kontrak didominasi oleh buruh laki-laki sebesar
74,91 persen dan 25,9 persen buruh perempuan. Sedangkan buruh bebas, terdiri dari 84,87
persen laki-laki dan 15,13 persennya perempuan.
Dari aspek etnis, jumlah rata-rata buruh kontrak Jawa antara tahun 1912-1938 adalah
98,3% dari jumlah buruh; Cina 1,73%; Keling 0,21%; dan etnis pribumi lainnya 1,33 dari
jumlah buruh. Buruh bebas juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu buruh Jawa
86,85%; Cina 4,82%; Keling 0,63%; dan etnis pribumi lainnya 9,03% dari jumlah buruh.

29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982, Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan
Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, halaman 33.
30 Politik etis merupakan politik balas budi Belanda kepada Nusantara yang dijalankan pada 1900. Tiga
kebijakan dalam politik etis yakni pendidikan, irigasi dan perpindahan penduduk. Pada kenyataannya tiga
kebijakan itu sebenarnya untuk penyediaan tenaga kerja dan peningkatan produksi.
31 Soegijanto Padmo halaman 42

Jumlah terbanyak buruh Jawa menetap di onderafdeeling Tamiang sebanyak 33,2 persen,
onderafdeeling Langsa 32,3 persen dan sisanya 22,2 persen berada di onderafdeeling Idi32.
Para kuli tersebut dikelompokkan dalam regu-regu yang masing-masing diawasi oleh
seorang mandor. Beberapa mandor ada di bawah mandor kepala, sedangkan mereka
kesemuanya diawasi oleh para asisten dan opsir tersebut. Regu-regu merupakan unit kerja
yang terdiri atas unsur-unsur etnis tertentu. Dalam pada itu tidak ada percampuran antara
unsur-unsur etnis. Setiap etnis mengerjakan jenis pekerjaan tertentu seperti golongan Keling
untuk melakukan penggalian bangunan, golongan Melayu untuk transpor, Cina untuk kerja
kebun seperti juga unsur Jawa. Cina dikenal mempunyai ketahanan untuk kerja keras 33.
(halaman 147-148).
Sampai dengan tahun 1919, masih terdapat perbedaan upah buruh kontrak yang
bekerja di Aceh berdasarkan suku dan kebangsaan. Akan tetapi setelah tahun 1919 tidak
didapati lagi perbedaan tersebut, namun telah terjadi keseragaman dengan mengikuti
ketentuan AVROS34 (Algemeene Vereeniging van Rubbersplanter ter Oostkust van Sumatra).
Upah buruh kontrak tertinggi adalah buruh Cina dan buruh Dayak dengan rata-rata 50 sen per
hari; diikuti buruh Padang 40 sen, buruh Keling 38,67 sen dan buruh Nias 37 sen per hari;
sedangkan upah yang paling rendah adalah buruh Jawa dengan rata-rata buruh laki-laki
kontrak pertama 33,4 sen dan perpanjangan kontrak 39 sen per hari, dan buruh perempuan
kontrak pertama rata-rata 28,4 sen dan perpanjangan kontrak 32 sen per hari. Upah
perpanjang kontrak buruh Cina, Padang, Dayak, Keling dan Nias lebih tinggi 5 sen dari buruh
kontrak pertama35.
Kehidupan buruh secara keseluruhan hidup dalam kondisi kesejahteraan yang rendah.
Sebab harga kebutuhan pokok yang tinggi, masih ditambah dengan pengeluaran untuk iuran
pertunjukan, wayang kulit, berjudi dan bersenang-senang pada hari gajian besar yang
diadakan sebulan sekali. Perkembangan tingkat pendapatan buruh juga sangat bergantung
32 M Gade Ismail dalam Mawardi halaman 106-110.
33 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, halaman 146-148.
34 Persekutuan perusahaan perkebunan Sumatra Timur, yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan. Salah satu yang ditangani adalah persoalan perjanjian kerja dan upah. Buruh secara individu
menandatangani perjanjian kerja dengan AVROS, yang diwakili oleh agen-agen mereka di daerah asal para
buruh. Kerap terjadi, buruh tidak mengerti dan memahami isi perjanjian itu karena tingkat pendidikan mereka
yang rendah.
35 Mawardi Umar, Upah Buruh Onderneming Karet di Aceh Timur, 1907-1939, jurnal Humaniora Volume 21 No
1 Februari 2009 halaman 113

dengan kondisi finansial perusahaan. Apabila harga komoditas karet bagus maka upah
mereka akan naik, sebaliknya bila harga karet anjlok seperti pada depresi ekonomi 1930,
maka kondisi kesejahteraan buruh ikut terpuruk.
Perubahan Ekonomi
Masuknya investasi perkebunan karet asing berpengaruh terhadap ruang ekonomi
penduduk Aceh Timur. Mereka yang sebelumnya menanam lada, mulai tertarik untuk
menanam karet lalu munculah dengan apa yang disebut kebun karet rakyat. Soegijanto
Padmo (2004:110) menjelaskan tentang awal munculnya kebun karet rakyat ini:
“Dengan melihat contoh yang ada di depan mata mereka, petani dan bekas buruh
perkebunan di Sumatera segera tertarik untuk mengusahakan kebun karet. Bibit berupa
biji mereka peroleh dari perkebunan setempat maupun dari Malaya, dan banyak orang
Cina mulai membuka usaha dengan mengusahakan pembibitan karet untuk petani karet.
Pada awal pengusahaan karet oleh petani yaitu pada awal abad ke 20, beberapa orang
Indonesia pergi ke Malaya dan bekerja di kebun karet untuk beberapa lama guna
mengetahui cara pengusaahaan tanaman tersebut serta menderes getahnya”.
Ketertarikan penduduk Aceh untuk menanam karet, berkaitan erat dengan harga karet
yang lebih menjanjikan. Menurut Thee Kian Wee (1974) harga karet yang tinggi seperti yang
terjadi pada 1911 dan 1926, mendorong petani untuk memperluas kebun mereka yang semula
masih dalam skala kecil. Perkebunan karet rakyat yang semula diusahakan oleh kuli
perkebunan atau penduduk sekitar perusahaan dalam skala terbatas kemudian berkembang
menjadi perkebunan kecil-kecil milik ribuan petani, mempunyai sumbangan penting dalam
menciptakan devisa bagi negara36.
Kebiasaan yang dilakukan oleh petani adalah mereka menanam bibit karet di atas lahan
setelah tanaman pangan diusahakan di atas tanah tersebut. Tanaman karet itu dibiarkan saja
sampai dengan pohon tersebut siap dideres. Seberapa sering dan berapa luas kebun di deres
tergantung pada harga karet di pasaran. Dengan demikian, dari segi kepentingan petani,
pengusahaan tanaman karet merupakan kegiatan sambilan dari kegiatan mereka yang utama
yakni mengusajakan tanaman pangan berupa padi dan polowijo, tetapi kebun karet telah
memberikan tambahan pendapatan baru yang sangat berarti. Karena pohon karet di
Indonesia, pada umumnya masih relatif muda, Indonesia belum menjadi pengekspor karet

36 Thee Kian Wee (1974) dalam ibid

yang penting sampai dengan perang dunia 137. Pada 1939, Pada 1939, jumlah ekspor karet
rakyat mencapai 1,3 juta kg dengan harga pukul rata-rata f. 29,28 per 100 kg.
Peran karet akhirnya menggantikan lada yang mengalami penurunan ekspor yang
cukup siginifikan selama abad ke-20. Angka paling tinggi dicapai tahun 1819 adalah 5.192
ton, angka terendah 2.643 ton pada tahun 1920. Tahun 1930 hanya 1200, tahun 1934
meningkat menjadi 2.700 dan sampai tahun 1940 mengalami penurunan drastis, hanya
mencapai 161 ton. Penyebab kemunduran ini adalah karena penghentian pemberian kredit
kepada petani lada sejak tahun 1919 karena tunggakan yang tidak mampu dibayar kembali
akibat dari menurunnya harga lada di pasaran38.
Selain perubahan dari lada ke karet, pembukaan perkebunan dengan mendatangkan
banyak buruh, membuat aktivitas ekonomi penduduk Aceh Timur juga meningkat. Mereka
datang menjual hasil pertanian mereka, sebagaimana kesan J. J van de Velde di Perkebunan
Simpang Kiri yaitu: "....penduduk Kampung sepanjang sungai datang untuk menjual pisang
dan barang lain, jalan-jalan dibuat, barang-barang baru seperti sepeda dan mesin jahit
berdatangan...".39
Perdagangan di pasar mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa ini. Tipe
pasar masih mewarisi pasar-pasar yang berkembang pada masa kerajaan, kecuali di daerah
perkotaan yang bentuk dan bangunannya banyak berubah. Kalau dahulu pasar lokal ada di
pemukiman, maka pada masa pemerintah Hindia Belanda, hampir di semua afdeeling dan
onderafdeeling terdapat pasar. Pasar di daerah kebanyakan dimiliki secara pribadi oleh
penguasaha lokal. Setiap pasar memiliki hari pasar mingguan sendiri. Pada hari pasar tertentu
sebagian besar penduduk sekitarnya berdatangan untuk berdagang. Kebanyakan juga melalui
pasar sebagai pusat jual beli barang.
Para pedagang di pasar-pasar pusat kota terdiri dari berbagai suku bangsa, namun
yang paling adalah Cina. Mereka mendominasi berbagai jenis barang dagangan, seperti
barang industri, rempah-rempah, minyak bumi, minyak kelapa, tembikar, porselin, dan
barang-barang bangunan. Mereka mendirikan warung-warung dengan menjual bahan-bahan
makanan yang berasal dari luar dan domestik, seperti terigu, mentega, bir, minuman,
37 Ibid
38 Muhammad Gade Ismail dalam Anwar, 2002, Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Tesis
Program Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, halaman 144
39 Mawardi halaman 126.

mangkok dan tembakau, barang-barang yang dijual di toko-toko Cina kebanyakan
dimasukkan dari Penang. Para pedagang perantara membeli hasil bumi seperti lada, kopra,
kelapa dan pinang. Pedagang Cina juga banyak yang bergerak dalam bidang kerajinan kulit
untuk membuat sepatu yang dibutuhkan oleh prajurit Belanda. Ada juga yang menjadi
penjahit pakaian orang-orang Eropa, kerajinan emas dan perak, penjualan dan reparasi
sepeda40.
Jika dahulu terutama orang Melayu dari pantai Barat Sumatera serta Timur Asing,
seperti Arab, Keling, Hindu dan Benggala yang menjual barang kerajinan, kini orang semakin
banyak melihat perdagangan ini secara perlahan-lahan dikuasai oleh orang-orang Aceh.
Orang Kleng berdagang barang-barang peralatan rumah tangga, porselin dan tembikar, di
samping terlibat dalam perdagangan barang industri, tembakau dan minyak wangi dari India.
Sementara orang-orang Bombay disibukkan dalam perdagangan komoditi mewah dari Jepang
dan Cina. Di samping perdagangan yang terpusat di pasar, di Aceh terdapat para pedagang
keliling yang menjajakan barang dagangannya ke pos-pos Belanda dan ke desa-desa. Orang
Aceh dan Minangkabau menjual barang-barang antik, Melayu dan Arab menjual barang
rumah tangga, sementara orang Batak menjual kain khas dari daerahnya (ulos) serta bendabenda dari perak. Perdagangan yang dikelola oleh orang Eropa hanya tertumpu pada
komoditi mode, barang-barang rumah tangga, perabot, kebutuhan kantor, buku, radio, mobil
dan suku cadangnya41.
Perubahan Sosial
Perubahan

dalam

ekonomi

dengan

sendirinya

mendorong

perubahan

di

masyarakatnya, salah satunya mempengaruhi struktur sosial masyarakat Aceh Timur. Bila
sebelumnya elite Aceh hanya tersusun atas sultan dan kerabatnya, golongan bangsawan dan
ulama, proses modernisasi dan kolonisasi telah mengakibatkan struktur sosial masyarakat
Aceh betambah kompleks. Kelompok yang mula-mula menerima nilai-nilai baru dalam
masyarakat Aceh adalah para penguasa adat (para uleebalang dan keturunannya). Dengan
modal dan status yang mereka miliki, mereka menjadi investor pada sektor pertanian, seperti
persawahan, perkebunan, pertambakan dan kilang padi. Berkat kepemilikan tersebut

40 Anwar halaman 150.
41 Ibid halaman 151.

uleebalang hidup dalam kemewahan. Mereka memiliki mobil bagus, rumah indah, pesawat
radio dan bergaya hidup seperti orang Belanda42.
Menurut M Gade Ismail, sebelum Aceh berada di bawah kontrol Pemerintah Hindia
Belanda, uleebalang memperoleh berbagai pajak dari setiap komoditas yang dihasilkan di
setiap kabupaten yang dikuasainya. Uleebalang memainkan monopoli pendapatan dari
perdagangan. Demikian juga dalam kebijakan lada,

salah satu bentuk kewenangan

uleebalang adalah juga menjadi pemilik dari kebun lada. Saat investasi asing Barat masuk,
uleebalang memperolah bagian dari sewa tanah konsesi untuk perkebunan sebesar f. 1 - f. 6
per hektare dimana harga sewa tanah f 2.50 per tahun. Penghasilan ini belum termasuk untuk
konsesi pengeboran minyak f 0.25 per hektare. Penghasilan kedua berasal dari pajak produksi
minyak dari masing-masing perusahaan per bulan. Sehingga dari 1900 - 1903 uleebalang di
Perlak menerima 75 persen dari pajak minyak sebagai penghasilan privat mereka. antara
tahun 1904 dan 1908 hak pajak berkurang hingga 40 persen, karena 60 persen ditarik oleh
pemerintah di Kutaraja.43
Sampai pada 1908, Pemerintah Hindia Belanda mengintervensinya dengan membuka
kantor perbendaharaan kas (landschapskas) di wilayah Perlak, yang mengatur penyetoran
pajak dari perusahaan-perusahaan. Sistem baru yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda
ini memang sempat menurunkan pendapatan pribadi uleebalang. Sebagai gantinya,
Pemerintah Hindia Belanda memberikan gaji rutin kepada uleebalang. Misalnya Teuku Chik
Muhammad Tayeb, uleebalang of Peureulak memiliki gaji hingga f 1,000 setiap bulan,
uleebalang di Idi Rayeuk bergaji f 968,50 per bulan dan uleebalang Langsa bergaji f 400,
sedangkan uleebalang Peudawa Rayeuk menerima f 125 per bulan.
Bila uleebalang muncul sebagai elite baru di struktur politik, berbeda dengan yang
terjadi di tingkat grassroot. Seperti dijelaskan di awal, bahwa Pemerintah Hindia Belanda dan
perusahaan mendatangkan ribuan buruh dari berbagai etnis, terutama Jawa, untuk bekerja
sebagai kuli di perkebunan-perkebunan rakyat. Maka dampak yang terjadi dari
didatangkannya buruh-buruh dari luar ini adalah terbentuknya masyarakat Aceh yang
semakin plural. Mereka terbuka menerima kehadiran etnis-etnis lain yang akhirnya mampu
hidup bersama.

42 Munawiyah, halaman 194.
43 M Gade Ismail, 1989 halaman 9.

Buruh-buruh kebun yang habis masa kontraknya sebagian besar tidak kembali ke
tanahnya asalnya di Jawa. Sebab gaji yang terlalu kecil mengakibatkan seorang buruh tidak
memiliki uang sisa untuk menabung. Maka pilihannya mereka menetap di perkampunganperkampungan di sekitar perkebunan tempat mereka bekerja. Bahkan, mereka mendapatkan
bantuan dari kepala kampung berupa bantuan rumah dan tanah garapan. Perusahaanperusahaan juga membangun perkampungan pada buruh yang habis masa kontraknya.
Misalkan di Langsa Lama, dan Sungai Lueng dibangun 100 unit rumah pada tahun 1930.
Depresi ekonomi pada 1930, juga menyebabkan banyak kuli yang diberhentikan oleh
perusahaan. Kuli yang tak punya pekerjaan itu akhirnya bergabung dengan mantan buruh.
Buruh-buruh juga di Aceh Timur juga banyak yang datang dari Sumatera Timur karena
mengalami pemberhentian44.
Dampak dari keluarnya buruh dari perkebunan akhirnya muncul banyak
perkampungan-perkampungan baru. Setidaknya dari 10 onderneming di Aceh Timur muncul
15 perkampungan baru hingga tahun 1939. Di Onderneming Paya Rambong muncul
Kampung Paya Rambong dengan jumlah penduduknya sebanyak 45 keluarga. Di Bukit
Panjang, berdiri tiga kampung baru yakni Bukit Panjang (60 kk), Alue Jamok (40 kk),
Matang Ara (200 kk). Oderneming Arur Gading I muncul Kampung Merbo (100 keluarga),
Oderneming Arur Gading II ada Kampung Kelirik (75 keluarga), Oderneming Tumbang
Langsa ada Kampung Bakaran Batu (80 keluarga) dan Alue Dua (50 keluarga).
Mantan-mantan buruh yang hidup di perkampungan penduduk Aceh akhirnya terserap
ke kehidupan masyarakat sekitarnya. Tidak sedikit yang akhirnya melakukan perkawinan
antar-etnis. Masalah asal usul keturunan antara etnis Jawa dan etnis Aceh tidak menjadi
permasalahan lagi untuk melanjutkan perkawinan, tetapi menurut kedua etnis tersebut setelah
melakukan perkawinan campuran mereka harus saling menerima dan menghargai perbedaan
kebudayaan serta berusaha tidak mempermasalahkannya, sehingga menjadi sarana sosial
yang saling melengkapi. Adanya perkawinan campuran antara etnis Jawa dengan etnis Aceh,
tidak mempengaruhi kehidupan rumah tangga, selama ini tidak pernah terjadi perselisihan
dalam suatu keluarga berdasarkan kesukuaan. Sistem patriliniel yang berlaku dalam
masyarakat Aceh dan Jawa menciptakan keluarga yang harmonis antara etnis Jawa dan duku
Aceh45.
44 Gade Ismail dalam Mawardi halaman 129.
45 Baca Agus Budi W dkk, Akulturasi Budaya Aceh pada Masyarakat Jawa di Kota Langsa dalam
https://www.academia.edu diakses 13 April 2016.

Selain interaksi dalam perkawinan, kebanyakan orang Aceh petani pemilik lahan
memanfaatkan tenaga orang-orang Jawa pada sawah dan kebun. Dalam anggapan orang Aceh
(petani pemilik) memanfaatkan orang Jawa lebih mudah daripada memanfaatkan tenaga
kerja orang Aceh, karena orang-orang Jawa dalam bekerja tidak banyak tingkahlaku yang
menampakkan kemalasan mereka, dan sistem kerja mereka tidak perlu adanya pengawasan
yang ketat pihak yang mempekerjakan. Upah dalam mempekerjakan petani penggarap oleh
petani pemilik dihitung dari luas tanah yang digarap dengan ukuran luas yang digunakan
adalah rantee dalam ukuran 1 rantee (20x20= 400 meter) dengan upah yang diharus diberikan
setiap 400 meter kepada penggarap Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah). Hal ini tidak
membedakan upah dalam pemanfaatan tenaga kerja baik orang Jawa maupun orang Aceh,
akan tetapi menurut kebiasaan yang terjadi dalam masyarakatnya, baik orang yang
memanfaatkan tenaga kerja etnis Jawa maupun orang yang memanfaatkan tenaga kerja etnis
Aceh. Sedangkan upah pekerja penderes karet tidak menggunakan upah harian, tetapi
berdasarkan jumlah kilogram karet yang mereka deres dalam seminggu, hasilnya dibagi dua.
Bidang usaha lain yang diusahakan oleh masyarakat adalah usaha batu bata dan
pabrik padi. Pekerja pada pabrik padi dan usaha batu bata terdiri dari etnis Jawa dan etnis
Aceh. Upah yang dibajar pada pekerja pabrik padi per hari adalah Rp. 70.000,- ( tujuh puluh
ribu rupiah ). Sedangkan upah yang dibayar pada pekerja usaha batu bata dilihat dari
kapasitas kerja, yang bekerja mencetak batu bata dihitung perbiji dengan upah Rp. 8,(delapan rupiah), yang bekerja untuk pembakaran hingga jadi batu bata perbiji Rp. 17,- (tujuh
belas rupiah). Produksi, bagi petani padi etnis Aceh bukan untuk usaha pasar akan tetapi
untuk penyimpanan di rumah atau di pabrik-pabrik kilang padi yang ada. Pengelolaan hasil
produksi usaha tani padi dalam masyarakat Jawa menganut sistem ekonomi pasar. Setelah
mereka memanen padi, hasil yang diperoleh dijual semuanya. Hasil penjualan itu digunakan
untuk berbagai kebutuhan46.
Interaksi sosial antar kedua etnis juga terjadi dalam pelaksanaan struktur
kepengurusan misal imam shalat dari etnis yang berbeda dan kepengurusan Meunasah
maupun dalam pengurusan Masjid. Mereka akan pergi melayat terlepas yang meninggal
dari kelompoknya sendiri. Pada malam harinya etnis Jawa dan etnis Aceh datang ke tempat
yang terkena musibah untuk mengirim do’a disebut Samadiah atau menurut orang Jawa
“Tahlil”. Kebersamaan seperti inilah yang membuat hubungan antara kedua etnis semakin
akrab.
Kesimpulan
46 Ibid

Dibukanya perkebunan karet oleh investor Barat memberikan perubahan sosial dan ekonomi
pada masyarakat Aceh Timur. Masyarakat yang semula menanam lada, berangsur-angsur
menggantinya dengan karet yang harganya lebih prospektif di pasar internasional. Kebun
karet rakyat akhirnya berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat dan menjadikan Aceh
Timur sebagai penghasil karet utama di Nusantara. Masuknya banyak buruh-buruh ke
perkebunan karet, juga membuka ruang ekonomi yang lebih luas seperti dibukanya pasarpasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan para buruh dan masyarakat di sekitarnya. Dari
situlah interaksi antar-etnis terjadi.
Perubahan ekonomi akhirnya memicu perubahan sosial di Aceh Timur. Bila sebelum
Pemerintahan Hindia Belanda, elite Aceh Timur berada di tangan sultan dan ulama, maka di
era liberalisasi ekonomi ini uleebalang muncul sebagai elite baru. Uleebalang menjadi posisi
yang menetukan sebagai penyedia tanah untuk perkebunan yang berimbas pada besarnya
penghasilan pribadi uleebalang. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memperkenalkan
kantor perbendaharaan kas wilayah untuk menampung pajak perusahaan dan memangkas
penghasilan uleebalang. Sebagai gantinya, uleebalang mendapatkan gaji tetap yang dihitung
dari luasnya konsesi di setiap wilayah. Masuknya buruh-buruh perkebunan juga
memunculkan kampung-kampung baru di sekitar perkebunan, sehingga terjadi interaksi
antara

penduduk

non-Aceh

dengan

masyarakat

Aceh.

Inilah

awal

terjadinya

multikulturalisme di Aceh Timur hingga dewasa ini.

Daftar Pustaka
Perlzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di
Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta Sinar Harapan.
Soetrisno , Loekman dan Winahyu, Retno. 1991. Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi,
Yogyakarta: Aditya Media.
Ricklefs , M, C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Said, Mohammad. 1985. Aceh Sepanjang Abad. Jilid Kedua. Medan: PT Harian Waspada
Medan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap
Perkembangan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. 1982.
Perlzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di
Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta Sinar Harapan.
Kartodirdjo, Sartono dan Suryo, Djoko. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian
Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Padmo, Soegijanto Padmo. Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. 2004.
Yogyakarta: Aditya Media bekerjasama dengan Fak Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Jurnal atau makalah
Umar, Mawardi. Upah Buruh Onderneming Karet di Aceh Timur. 1907-1939. Jurnal
Humaniora Volume 21 No 1 Februari 2009.
Gade Ismail, Muhammad. 1989. The Economic Position of the Uleebalang in the Late
Colonial State Aceh (East Aceh, 1900-1942) . Makalah untuk konferensi di Netherlands
Institute For Andvanced Study Wassenaar, Netherlands, 12-14 Juni 1989.
Tesis
Anwar. 2002. Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial. Tesis Program Studi
Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Mawardi. 2005. Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh
Perkebunan Karet di aceh Timur. 1907-1939. Tesis Program Studi Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Munawiyah. 2002. Birokrasi kolonial di Aceh 1903-1942. Tesis Prodi Ilmu Sejarah. Jurusan
ilmu-ilmu Humaniora. Yogyakarta: UGM.
Website
W, Agus Budi, dkk. Akulturasi Budaya Aceh pada Masyarakat Jawa di Kota Langsa dalam
https://www.academia.edu diakses 13 April 2016.