Filsafat dan Ekonomi Ikhtiar menemukan

Filsafat dan Ekonomi, Ikhtiar menemukan
Titik Temu

Justinus Prastowo, Alumnus Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
KRISIS finansial yang mendera Amerika Serikat dan berbagai belahan negara, baru saja
mereda. Sebuah gejala yang sering disebut sebagai ekonomi gelembung (buble economy) itu
telah meletus dan menyisakan kegamangan. Dalam suasana gamang dan penuh
ketidakpastian inilah John Cassidy, editor ekonomi majalah The New Yorker, bertandang ke
Universitas Chicago di Amerika Serikat untuk merekam situasi di sana.[2] Sebagaimana
diketahui, Universitas Chicago adalah pilar penting penggagas apa yang disebut aliran
monetarisme yang dikenal luas menggantikan Keynesianisme di akhir 1970-an. Adalah
Eugene Fama, seorang profesor di universitas itu yang kemudian lirih berujar:
Saya tidak paham apa yang disebut gelembung kredit. Kata ini sedemikian populer tapi
karenanya juga tak berarti apa-apa. Orang-orang sudah telanjur menimpakan kesalahan pada
pasar finansial. Saya dapat menceritakan dengan mudah bahwa pasar finansial hanyalah
korban dari resesi, dan bukan penyebabnya.[3]
Pendapat Profesor Fama ini tentu saja terdengar mencengangkan, namun tidak untuk sebuah
keyakinan yang telah mendarah daging mengenai keutamaan pasar (market virtue).
Sebagaimana ditegaskan koleganya Profesor John Cochrane, pemicu krisis adalah pidato
Presiden Obama di televisi yang menyatakan bahwa pasar finansial mendekati kebangkrutan.
Kekeliruan pemerintah ini mengikuti kesalahan sebelumnya ketika dua perusahaan milik

pemerintah AS diumumkan bangkrut, Freddie Mac dan Fannie Mae. Di sisi lain, seorang
tokoh penting Universitas Chicago yang juga ahli ekonomi dan ahli hukum, Richard Posner,
mengumumkan dirinya kini menjadi seorang Keynesian dan mengakui bahwa Depresi Besar
sudah di depan mata. Bahkan Gary Becker, ekonom Universitas Chicago lainnya yang sangat
berpengaruh dan pada tahun 1970 mengatakan bahwa ekonomi menyediakan semesta
pendekatan untuk memahami semua perilaku manusia,[4] kini berujar

Ada banyak hal terjadi. Bahwa banyak orang melakukan kesalahan, saya melakukan
kesalahan, dan Chicago pun melakukannya. Anda membeli surat-surat derivatif dan tidak
sepenuhnya memahami bagaimana risiko agregat dari transaksi derivatif ini bekerja. Risiko
sistemik: saya tidak yakin kita mengerti termasuk di Chicago dan tempat lainnya. Barangkali
beberapa akan menyalahkan deregulasi sektor finansial yang terlampau jauh, dan kita
sebaiknya menetapkan prasyarat-prasyarat yang lebih banyak. Meskipun demikian, kesalahan
tidak hanya dilakukan Chicago, tapi juga oleh Larry Summers – ekonom Harvard yang
menjadi penasehat Presiden Obama.[5]
Tegangan semacam itu muncul akibat dominannya ortodoksi ekonomi neoklasik yang
dicirikan dengan situasi ilmu ekonomi kontemporer yang mengemuka dalam metode analisis
ekonomi maupun dalam model pengajaran ilmu ekonomi di perguruan tinggi. Ada lima
karakter umum yang melandasi situasi tersebut:[6]
1. Pergeseran dari deskripsi spesifik atas situasi partikular ke penjelasan yang memiliki

dakuan universal. Ini berkaitan dengan status ilmu ekonomi sebagai sains.
2. Pergeseran dari pendekatan holistik ke individualisme metodologis. Analisis dalam
ilmu ekonomi kontemporer berangkat dari analisis tentang individu untuk lalu secara
agregatif menganalisis masyarakat.
3. Pergeseran dari teori nilai substantif (labour theory of value) ke teori nilai subjektif
(utility theory of value). Sementara ekonomi Klasik melihat asal-muasal nilai pada
ranah produksi (berdasarkan ongkos produksi), ekonomi Neoklasik mencarinya pada
ranah sirkulasi (berdasarkan evaluasi konsumen).
4. Pergeseran dari analisis normatif ke analisis non-normatif. Ilmu ekonomi kontemporer
memisahkan pertanyaan soal ekonomi dari pertanyaan soal moralitas.
5. Idealisasi ilmu ekonomi sebagai sains matematiko-deduktif. Ilmu ekonomi
kontemporer menggunakan model matematis yang berangkat dari sederet aksioma
yang kebenarannya sudah diandaikan. Semua kesimpulan dalam ilmu ekonomi
merupakan hasil deduksi dari aksioma-aksioma tersebut.
Kelima karakter ini menjadi ciri penentu dari ilmu ekonomi yang disebut ortodoks,
mainstream atau Neoklasik. Kelimanya adalah topik utama yang menjadi perdebatan besar
pada awal abad ke-20. Perdebatan itu adalah Methodenstreit (Debat tentang Metode) yang
mengemuka antara Mazhab Historis (dengan tokoh kuncinya Gustav von Schmoller) dan tiga
pendiri ekonomi Neoklasik (Carl Menger, Léon Walras, William Stanley Jevons). Perbedaan
posisi tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut: sementara Schmoller melihat ekonomi

sebagai kajian historis-normatif yang berangkat dari asumsi holisme metodologis, para
pendiri Neoklasik melihat ekonomi sebagai kajian matematis-netral yang berangkat dari
asumsi individualisme metodologis.
Dalam setting tegangan ideologis dan intelektual sebagaimana tergambar di atas, tulisan
sederhana ini akan memotret dinamika internal kapitalisme dari pemikiran Karl Polanyi
[1886-1964] – sejarawan dan antropolog ekonomi – dan mengiris sebagian kecil sejarah
kapitalisme untuk memahami akar persoalan dan mencari jalan keluar dari jebakan sejarah
yang berulang.
Mencari Akar Tegangan
Demikianlah, perdebatan mencari penyebab terjadinya krisis telah digelar dan akhirnya
berujung pada dua kutub. Pertama, mereka yang meyakini bahwa sistem ekonomi yang
dominan pada saat ini terbukti tidak mampu bekerja dengan baik. Apa yang disebut

keyakinan pasar dan upaya melepaskan dari kontrol diyakini telah kebablasan dan
mendorong perekonomian masuk ke jurang kehancuran.[7] Pihak lain berpendapat bahwa apa
yang terjadi saat ini dikarenakan pemerintah yang masih campur tangan dan terlibat aktif
dalam kinerja pasar. Jika ditilik dari sisi sejarah, apa yang kini menjadi tema perdebatan
sebenarnya tidak pernah beranjak dari persoalan klasik yang muncul menyertai Depresi Besar
di tahun 1920-1930 an yang mempertanyakan efektivitas kinerja sistem pasar dan merosotnya
Mazhab Keyensianisme (welfare-state school) pada akhir 1970-an.

Namun secara umum diakui, membiaknya pasar finansial yang berujung pada kredit beracun
yang menyebabkan keruntuhan tata keuangan global, tak lepas dari gejala semakin
tercerabutnya kinerja sektor finansial dari kinerja sektor riil. Ekonomi yang dulu secara
harfiah dipahami sebagai urusan pemenuhan kebutuhan rumah tangga (oikonomia), kini
menjadi ranah yang lebih dekat dengan persoalan harga, indikator, dan kalkulasi matematis
sebagaimana dituturkan Giovanni Arrighi, ‘para ekonom tidak berurusan dengan ekonomi;
mereka berurusan dengan model-model matematis yang tidak ada kaitannya dengan
ekonomi.’[8] Data juga mendukung penilaian bahwa sektor finansial melaju kencang
meninggalkan kinerja sektor riil.[9] Keutamaan pasar (market virtue) telah telanjur menjadi
jargon dalam ranah ekonomi politik, khususnya pasca runtuhnya negara komunis Uni Soviet
dan negara-negara di belahan Eropa Tengah dan Eropa Timur. Ujung perdebatan diakhiri
dengan dua pilihan: sistem pasar atau perencanaan terpusat, bahkan segera diikuti dengan
labelisasi ‘pro’ dan ‘anti’ pasar, tanpa upaya reflektif memikirkan kemungkinan di luar itu.
Sistem ekonomi pasar swatata (self-regulating market) hadir bersamaan dengan dominasi
diskursus ekonomi politik kontemporer yang dikuasai oleh kapitalisme sebagai sebuah
kekuatan hegemonik.[10] Dengan demikian mengurai nalar kapitalisme dan membongkar
cara berpikir yang melambarinya merupakan proyek yang niscaya.
Membongkar Nalar Pasar: Modus Ketercerabutan
Polanyi tidak mengabaikan bahwa dalam semua tipe masyarakat faktor ekonomi senantiasa
berperan. Sepanjang sejarah peradaban manusia – entah komunitas relijius atau non relijius,

materialis ataupun spiritualis – eksistensi mereka selalu dipengaruhi dan dibatasi kondisikondisi material. Namun secara alamiah tidak pernah ada peradaban yang secara prinsipiil
dikendalikan pasar meski institusi ini sudah ada sejak zaman Batu. Baru pada peradaban abad
ke-19 sajalah ekonomi ditempatkan sebagai sesuatu yang berbeda dibandingkan era
sebelumnya. Sistem pasar melahirkan sistem pasar swatata. Ekonomi pasar adalah sistem
ekonomi yang dikendalikan, diatur, dan diarahkan oleh pasar semata. Tata produksi dan
distribusi dipercayakan pada mekanisme swatata. Yang diasumsikan oleh sistem ini adalah
pasokan barang (dan jasa) dan permintaan akan barang (dan jasa) berada pada tingkat harga
yang setara. Produksi dan distribusi dikendalikan oleh harga.
Polanyi merumuskan beberapa pokok asumsi dari sistem pasar swatata. Pertama, mengenai
eksistensi pasar itu sendiri. Dengan mengatakan bahwa sistem ekonomi dikendalikan dan
diatur oleh pasar saja, berarti terjadi identifikasi antara ekonomi dan pasar. Ekonomi tidak
lain adalah sistem pasar itu sendiri. Implikasinya adalah modus-modus ekonomi di luar pasar
dianggap tidak ada. Kedua, ekonomi kini dipahami melalui pola menjelaskan dirinya sendiri
(self explanatory). Ini berarti eksistensi pasar berikut keseluruhan asumsi dan mekanisme
yang menyertai adalah alamiah kecuali muncul campur tangan yang menjadikannya tidak
dapat bekerja. Ciri menjelaskan diri sendiri (self explanatory) pada gilirannya juga
menunjukkan corak sistem ekonomi pasar yang mengacu pada dirinya sendiri (selfreferential). Ekonomi tidak lagi mengacu pada sesuatu di luar dirinya (non-ekonomi),
melainkan mengacu pada hukum permintaan dan pasokan yang merupakan bagian dari
ekonomi. Untuk memperjelas watak acu-diri ini dapat disajikan ilustrasi. Misalnya terhadap
kasus konversi penggunaan minyak tanah ke pemakaian elpiji. Alasan yang selalu


dikemukakan adalah permintaan akan minyak tanah yang tetap tinggi sedangkan pasokan
akan semakin turun, sehingga akibatnya pemerintah tidak sanggup lagi menanggung biaya
subsidi. Tapi ketika kebijakan ini diambil, tidak pernah diperhitungkan atau dikaji sejauh
mana pola hidup dan keyakinan masyarakat yang telanjur bergantung pada pemakaian
minyak tanah (tata kultural, disebut institusi B), bagaimana pemerintah memainkan peran
membuat regulasi dan pengawasan (tata pemerintahan, disebut institusi C), dan sejauh mana
secara sosiologis kebijakan ini akan berdampak pada penurunan daya beli atau bahkan
gejolak sosial (tata masyarakat, disebut institusi D).
Ketiga, implikasi dari identifikasi ekonomi dan pasar adalah kolonisasi terhadap ranah di luar
pasar dan modus-modus ekonomi non-pasar. Sistem ekonomi swatata melakukannya melalui
mekanisme harga. Harga dibentuk oleh kesetimbangan yang terjadi karena pertemuan
permintaan dan pasokan di pasar. Di sini lalu terjadi penghematan konseptual yang
menyimpan daya rusak tinggi. Pertemuan antara permintaan dan pasokan mengandaikan
informasi sempurna yang dimiliki baik oleh penjual maupun pembeli. Yang menjadi
persoalan selanjutnya adalah, apakah asimetri informasi ini justru tidak dikondisikan untuk
menciptakan manipulasi harga? Pasokan dapat membanjiri pasar bukan karena tingginya
permintaan. Permintaan dapat diciptakan dan bukan pertama-tama karena terkait dengan
kebutuhan. Harga tidak lagi secara acu-diri dapat dipahami dalam konteks informasi
sempurna dan merupakan titik equilibrium alamiah yang mempertemukan pasokan dan

permintaan. Pada titik ini terletak kekhawatiran akan ketercerabutan antara kinerja ekonomi
pasar dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Ini dapat dipandang sebagai persoalan
ketercerabutan sosiologis/ontologis (sociological /ontological disembedding).
Agar sistem ekonomi pasar swatata dapat bekerja, seluruh barang dan jasa harus dijual di
pasar. Ini berarti seluruh hasil produksi dimaksudkan untuk dijual di pasar dan seluruh
pendapatan diturunkan dari penjualan. Dengan kata lain terdapat pasar-pasar untuk seluruh
elemen industri, bukan hanya barang dan jasa melainkan juga bagi tenaga kerja, tanah, dan
uang. Singkatnya, semua harus dijadikan komoditas. Faktanya tidak semua yang ada di dunia
ini adalah komoditas. Tapi demi kepentingan tata kerja pasar swatata, apa yang selama ini
tidak pernah dianggap komoditas dan sejatinya memang bukan komoditas, harus dijadikan
komoditas.
Faktor pendorong orang melakukan tindakan ekonomi pun didasarkan pada sesuatu yang
baru. Hanya ada dua faktor pendorong bagi kinerja ekonomi yaitu ketakutan akan kelaparan
dan hasrat memperoleh keuntungan. Mengapa takut akan kelaparan? Karena ketika semua
barang dan jasa sudah menjadi komoditas di pasar, daya belilah yang kemudian menjadi
penentu apakah manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika mekanisme harga menjadi
penentu bagi tenaga kerja, manusia harus masuk ke pasar untuk menjadi tenaga kerja untuk
mendapatkan upah atas kerjanya, maka daya belinya ditentukan oleh adanya upah. Laku
tidaknya tenaga kerja di pasar tentu sangat bergantung pada prospek laba. Maka urusan
eksistensial manusia yaitu perihal hidup-mati kini hanya menjadi urusan dua motif, yaitu

motif takut akan kelaparan dan motif laba. Pada titik ini muncul persoalan antropologis yang
besar. Hal yang bersifat mendasar dalam sistem pasar swatata adalah secara ontologis
manusia digerakkan oleh dua hasrat itu. Ini tentu tidak berarti bahwa hanya ada dua motif itu
dalam hidup konkret. Persoalannya adalah tata laksana ekonomi pasar swatata mensyaratkan
manusia hanya mengikuti dua motif itu. Artinya motif lain yang beraneka ragam dalam dunia
kehidupan ini harus disisihkan dan dianggap tidak relevan. Pada titik ini terjadi
ketercerabutan antropologis (antrophological disembbeding).
Makna Formal dan Substantif Ekonomi

Polanyi membedakan dua pengertian terkait istilah ‘ekonomi,’ yaitu formal dan substantif.
Arti formal dari ekonomi diturunkan dari watak logis hubungan sarana-tujuan, sebagaimana
tampak dalam istilah ‘ekonomis’ (economic) dan ‘ekonomisasi’ (economizing). Pengertian ini
mengacu pada situasi khas soal pilihan, yaitu memilih pemakaian sarana yang berbeda
dikarenakan keterbatasan sarana yang tersedia. Pengertian formalistik berakar pada logika
atau kalkulasi matematis. Implikasi dari pengertian formal ini adalah serangkaian aturan yang
menunjuk pada pilihan antara berbagai alternatif pemakaian dari sarana-sarana yang terbatas.
Di sisi lain pengertian substantif dari ekonomi diturunkan dari ketergantungan hidup manusia
pada alam dan sesamanya. Ini menunjuk pada hubungan timbal balik dengan alam dan
lingkungan sosial yang menyediakannya dengan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan
material.[11]

Kritik Polanyi terhadap aliran formalis dan upayanya membela makna substantif ekonomi
difokuskan pada dua persoalan penting yaitu pilihan (choice) dan kelangkaan (scarcity).
Kaum formalis berpendapat bahwa pilihan disebabkan ketidakcukupan sarana (insufficiency
of means), sebuah situasi yang disebut kelangkaan sarana (scarcity situation). Polanyi lantas
menyodorkan pandangan bahwa pilihan dapat tetap ada, baik ada atau tidak ada sarana yang
memadai. Pilihan moral misalnya, diindikasikan dengan niat dari pelaku untuk melakukan
apa yang benar. Relasi tujuan-sarana bahkan menjadi urusan nonekonomi. Polanyi
mengungkapkannya dalam perbandingan yang menarik:
Seorang jenderal yang menugaskan pasukannya untuk berperang, pecatur yang sedang
berhitung mengorbankan bidaknya, pengacara yang menyampaikan bukti-bukti untuk
membela kliennya, seorang seniman yang mengerahkan efek pada karyanya, orang beriman
yang menandai buku doa dan amalnya untuk mencapai keselamatan, ataupun….seorang istri
yang hemat sedang merencanakan daftar belanja mingguan. Entah bidak, bukti, efek artistik,
tindakan saleh, atau bayaran mingguan, sarana-sarana yang tak mencukupi dapat terjadi
pada yang lain: juga para pemilih memiliki lebih dari satu tujuan yang diperlukan untuk
mendapatkan sarana guna mencapai tujuan yang paling dikehendaki.
Persimpangan baik-buruk misalnya, adalah subjek dari etika. Ketika Badu dihadapkan pada
pilihan mencuri atau tidak mencuri, ia berada dalam sebuah persimpangan dan harus
menentukan pilihan yang tidak mengandaikan kelangkaan. Badu harus memilih salah satu
sebagai keputusan moral. Contoh lain misalnya persimpangan di sebuah jalan di mana

seorang pejalan kaki menemui dua percabangan jalan yang memandu ke arah yang berbeda.
Dengan mengasumsikan tidak ada faktor lain untuk mengambil keputusan, si pejalan kaki
tetap harus memilih satu dari kedua jalan itu, atau bahkan memilih keduanya. Pada kedua
contoh ini – baik persoalan moral maupun persimpangan jalan – tidak mempostulatkan
ketidakcukupan sarana. Bahkan sangat boleh jadi semakin banyak sarana justru akan
mempersulit penentuan pilihan. Jadi ada fakta lain bahwa melimpahnya sarana – dan bukan
langkanya sarana – yang justru menjadikan tindakan memilih harus dilakukan.[12] Dengan
demikian pilihan tidak niscaya menyatakan ketidakcukupan sarana, dan sebaliknya
ketidakcukupan sarana tidak niscaya menunjukkan adanya pilihan atau kelangkaan.
Sebagai contoh mungkin dapat diberikan gambaran perburuan ikan paus di Lamalera Nusa
Tenggara Timur. Para pemburu ikan paus tidak pernah memiliki target berapa ikan paus harus
ditangkap. Mereka melakukan kerjasama antara nelayan, pemilik perahu, pemilik alat, dan
petugas penanågkap ikan. Meski jumlah ikan paus yang tersedia cukup banyak, berdasarkan
kesekapatan dan intuisi mereka tahu kapan harus berhenti berburu. Ini disebabkan kuatnya
tradisi dan kebiasaan yang dihayati penduduk setempat. Pilihan secara sengaja dibatasi oleh
tradisi dan bukan karena kelangkaan sarana. Contoh sebaliknya adalah praktik pertanian
Subak di Bali. Mengikuti tekstur lahan pertanian yang berbentuk terasiring, air dialirkan dari
bagian atas (hulu) ke bagian bawah (hilir). Jika sumber air yang terbatas ini dimiliki oleh

individu yang sekedar memenuhi kebutuhan sendiri, tentu saja areal persawahan yang lebih

rendah akan kekurangan air. Nyatanya keterbatasan sarana (air) tidak mengakibatkan para
petani harus melakukan pilihan rasional. Sebagaimana diketahui pada lahan pertanian
tersebut juga menyebar hama. Dan penyebaran hama pada umumnya diawali dari bawah ke
atas. Jika petani di bagian bawah membiarkan penjalaran hama dan hanya membersihkan
hama di lahannya, maka areal persawahan di atasnya akan dirugikan. Dalam praktiknya
mekanisme koordinasi tetap dapat dijalankan melalui kesepakatan adat. Sarana yang terbatas
(air) tidak mengharuskan adanya pilihan-pilihan yang diambil sebagai maksimisasi
kepentingan individual tetapi pilihan yang diambil secara kolektif dana konteks berbagi.
Cukup pasti bahwa kelangkaan bukan merupakan kondisi atau situasi nyata, tetapi
dipostulatkan. Jelas bahwa air dan udara tidak terbatas, juga sumber daya alam tidak terbatas
dan tidak langka. Tetapi sistem pasar swatata menghendaki adanya kelangkaan maka
terhadap sumber daya alam yang tidak langka itu dijadikan komoditas dan kepadanya
dilabelkan harga (price making). Pemberian harga berarti kini pemerolehan sumber daya
alam bergantung pada daya beli (purchasing power), meskipun pada kenyataannya sumber
daya alam ini melimpah. Yang dapat memiliki barang itu hanya mereka yang memiliki daya
beli. Pada level ini terjadi ketercerabutan epistemik (epistemic disembedding) yaitu makna
ekonomi tercerabut dari asal usulnya. Dari pemenuhan kebutuhan manusia dan terkait dengan
mata pencaharian menjadi kalkulasi rasional terkait hubungan sarana-tujuan.
Makna substantif ekonomi ini menjadi kerangka metodologis yang penting. Pengertian
ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan individu dalam relasinya dengan sesama dan
lingkungannya membuka ruang untuk memikirkan alternatif bagi konsep ekonomi pasar.
Artinya ketika ekonomi adalah penyediaan dan pemenuhan kebutuhan material dan
mengandaikan hubungan dengan lingkungan atau alam, tak terelakkan lagi bahwa proses ini
adalah proses kelembagaan (kelembagaan). Polanyi berkontribusi mengintegrasikan
antropologi ekonomi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi secara komprehensif.
Ekonomi formal yang bersekutu dengan paham liberal mengenai titik tolak ontologi yang
bercorak individualistik mendapatkan tantangan karena ketika ekonomi adalah bagian dari
relasi dengan struktur sosial yang lebih luas, ekonomi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Ekonomi hanyalah salah satu cara mengada manusia dan bukan sesuatu yang secara soliter
dan berdiri sendiri dengan klaim universalnya. Justru makna substantif berhasil
mengintegrasikan fakta bahwa sistem ekonomi pra-kapitalis berbeda dengan sistem ekonomi
kapitalis. Dan di bawah pengertian ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia
dalam relasi sosialnya dengan sesama dan alam, semua sistem ekonomi yang merentang
dalam sejarah dapat dipahami.
Ekonomi sebagai proses terlembaga
Makna substantif ekonomi memberikan dasar pemahaman bagi ekonomi sebagai proses
terlembaga (economy as instituted process). Proses terlembaga ini menghubungkan realitas
masyarakat dan reproduksinya di satu sisi, dan organisasi ekonomi dan letaknya dalam
masyarakat di sisi lain.[13] Aspek kelembagaan yang ditekankan dalam ekonomi substantif
menunjukkan aspek budaya manusia – bahwa proses sosial adalah jaringan hubungan antara
manusia sebagai entitas biologis dan struktur unik dari simbol-simbol dan teknik-teknik yang
menghasilkan pemeliharaan eksistensinya.[14] Jejaring hubungan manusia yang
memungkinkan ekonomi dipraktikkan dalam komunitas adalah adanya bentuk-bentuk
integrasi dalam masyarakat yang menopang berbagai corak atau model tindakan ekonomi
dalam masyarakat. Bentuk-bentuk integrasi itu adalah rumah tangga, ketimbalbalikan,
redistribusi, dan pertukaran pasar. Sejarah menunjukkan bahwa keempat bentuk integrasi
sudah selalu ada dan pasar tidak pernah mendominasi ketiga bentuk lainnya. Ekonomi adalah
proses yang dilakukan individu tetapi tidak individualis-egois, melainkan terkait dengan

konteks yang lebih luas (sosial). Dengan demikian model pemahaman ekonomi sebagai
kalkulasi rasional yang mengacu pada mekanisme harga ditolak. Sebaliknya, modus mengada
(mode of being) manusia dalam sistem ekonomi terlembaga adalah manusia yang kooperatif
dan koordinatif dengan kapasitas melakukan kerjasama, bukan manusia yang menjadi
serigala bagi sesamanya.
Komodifikasi, Gerakan Ganda, dan Ketertanaman
Sistem pasar swatata memiliki prinsip memproduksi barang dan jasa untuk dijual di pasar
dan menjadikan harga pasar sebagai satu-satunya patokan. Konsekuensi dari prinsip ini
adalah semua elemen industri dijadikan komoditas, termasuk terhadap tenaga kerja, tanah,
dan uang. Meskipun tidak memenuhi kriteria sebagai komoditas, tetapi ketiganya harus
dianggap seolah-olah komoditas (komoditas semu). Prinsip ini berimplikasi pada kehancuran
masyarakat karena untuk dapat mewujudkan komodifikasi terhadap tenaga kerja, tanah, dan
uang, harus dilakukan pemisahan manusia dari alam dan masyarakatnya. Terjadi pemisahan
antara ranah ekonomi dan ranah politik. Implikasinya ekonomi pasar (market economy)
mengandaikan masyarakat pasar (market society).
Jika komodifikasi adalah dehumanisasi, maka masyarakat sebagai keseluruhan melakukan
tindak perlindungan-diri untuk menghindarkan diri dari kehancuran masyarakat. Di sinilah
terletak konsep penting untuk memahami sistem pasar swatata, yaitu gerakan ganda.
Sejarah sosial abad ke-19 adalah hasil dari gerakan ganda (double movement): perluasan dari
organisasi pasar terkait dengan komoditas asli yang disertai dengan penghambatan terhadap
komoditas semu. Ketika di satu sisi pasar meluas ke seluruh permukaan bumi dan jumlah
barang yang diperdagangkan melonjak hingga tak terkira, di sisi lain jejaring aturan dan
kebijakan terintegrasi dalam lembaga yang berkuasa yang dirancang untuk mengecek
tindakan pasar terkait dengan tenaga kerja, tanah, dan uang. Saat organisasi pasar komoditas
dunia, pasar modal dunia, dan pasar uang dunia di bawah perlindungan standar emas
memberi momentum yang tidak bersamaan kepada mekanisme pasar, pergerakan mengakar
muncul untuk melawan dampak merusak yang melekat pada sistem pasar swatata – ini adalah
wajah utuh dari sejarah abad ke-19.
Upaya perlindungan-diri ini berarti perusakan sistem pasar swatata itu sendiri, karena
menggeroti asumsi-asumsi yang diandaikan dalam membangun sistem ini, yakni
komodifikasi terhadap manusia, alam, dan uang. Perlindungan-diri oleh masyarakat bekerja
dalam dua tataran. Pertama, tataran kelas yaitu kelas sosial, khususnya kelas pekerja yang
berperan penting dalam melawan komodifikasi terhadap tenaga kerja. Kedua, tataran
kelembagaan, yang bersumber pada pemisahan antara wilayah politik dengan wilayah
ekonomi.
Ide Polanyi tentang gerakan ganda menyediakan kerangka konseptual yang penting untuk
memahami masyarakat kapitalis dan watak kontradiktifnya. Pertama, masyarakat kapitalistik
– yang dicirikan oleh pemisahan kelembagaan antara ranah ekonomi dan ranah politik –
mengidap penyakit tidak stabil yang inheren karena pemisahan ini menciptakan tegangan
antar kelas sosial dalam masyarakat. Kedua, gerakan ganda menunjukkan perspektif
‘societal’ (kemasyarakatan), karena menggambarkan dinamika antarkelas yang terjadi dalam
masyarakat.[15] ‘Kelas’ menurut Polanyi tidak dapat dipahami sekedar sebagai kelas yang
didasarkan pada kepentingan ekonomi. Konsepsi kelas seperti itu tidak memadai dan bersifat
reduktif. Polanyi menolak esensialisme kelas dan mendorong gerakan ganda sebagai gerakan
tandingan melawan hegemoni kelas berkuasa (kapitalis) melalui perluasan spektum sosial dan
politik yang mencerminkan kepentingan bersama. Bagi Polanyi kerjasama antarkelas
merupakan keniscayaan, karena menurutnya:

Konsepsi kepentingan kelas yang terlampau sempit berakibat berbeloknya visi sejarah sosial
dan politik, dan tidak ada definisi kepentingan moneter yang murni dapat meninggalkan
ruang bagi kebutuhan-kebutuhan penting akan proteksi sosial; contohnya adalah jatuhnya
kepentingan komunitas kepada beberapa orang sebagai ciri pemerintahan modern. Nyatanya
bukanlah kepentingan ekonomi melainkan kepentingan sosial dari berbagai matra yang
berbeda yang terancam oleh pasar, dan orang dengan tingkat ekonomi yang berbeda secara
tak sadar bersama-sama bergerak menuju marabahaya.[16]
Gerakan ganda ditilik dari perspektif lingkup masyarakat (societal) adalah pertarungan antara
kekuatan yang mencerminkan ekonomi ‘tercerabut’ (disembedded) dan mereka yang
mewakili masyarakat yang mencoba ‘menanam kembali’ (reembedding) ekonomi dalam
masyarakat. Di sini Polanyi dipengaruhi Ferdinand Tönnies mengenai pembedaan antara
gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan), di mana Gemeinschaft identik
dengan Wesenwille (terkait dengan insting, perasaan, dan kebiasaan) sedangkan Gesellschaft
mendasarkan pada keputusan rasional (Kurtwille). Kari Polanyi-Levitt – putri tunggal Karl
Polanyi – menegaskan bahwa perspektif yang luas terhadap konsep gerakan ganda
menunjukkan bahwa konsep ini bukanlah mekanisme swa-koreksi untuk memoderasi sistem
pasar swatata atau fundamentalisme pasar. Gerakan ganda adalah upaya menunjukkan
kontradiksi eksistensial antara kebutuhan sistem pasar swatata akan ekspansi tak-terbatas
dengan kebutuhan umat manusia untuk hidup dalam relasi saling-dukung dan salingmenguntungkan dalam masyarakat.[17] Dalam kaitannya dengan komoditas semu, gerakan
ganda bertujuan menggantikan komodifikasi atas manusia, alam, dan uang (modal) yang
dilakukan sistem pasar swatata dengan komoditas sesungguhnya (genuine commodities).
Artinya pasar swatata (self-regulating market) digantikan oleh pasar yang terkendali
(regulated market).[18]
Bob Jessop lalu melakukan konseptualisasi embeddedness ke dalam beberapa level.[19]
(i)
Ketertanaman sosial (Social embeddedness), sebagaimana dipahami dalam sosiologi
ekonomi. Yang dimaksud dengan ketertanaman sosial di sini adalah relasi ekonomi
antarpribadi yang terpilin dalam jejaring seperti identitas, kepentingan, kemampuan, dan
praktik. Ini misalnya tampak dalam persoalan kepercayaan (trust) dalam praktik
ketimbalbalikan.
(ii)
Ketertanaman kelembagaan (Institutional embeddedness), yaitu ketertanaman
kelembagaan yang terjadi dalam relasi antarorganisasi. Di sini hal yang sentral adalah
negosiasi yang berfungsi sebagai penengah berbagai kepentingan yang saling bertentangan
dan bagaimana upaya mengatasinya melalui kerjasama. Runutan Polanyi mengenai haute
finance sebagai organisasi nonformal yang justru memiliki peran besar untuk urusan
negosiasi dan menyelesaikan berbagai konflik bisnis di abad ke-19 adalah contoh nyata.
(iii)
Ketertanaman lingkup masyarakat (Societal embeddedness), yaitu corak
ketertanaman institusi-institusi yang terbedakan secara fungsional dalam tata hubungan yang
kompleks dalam sebuah masyarakat yang decentered. Dan level ketiga inilah yang sangat
relevan dengan pemikiran Polanyi tentang embeddedness. Polanyi memberikan kerangka
analisis untuk memahami ketercerabutan ekonomi dari sistem sosial yang lebih luas sekaligus
membuka ruang bagi upaya untuk tak membiarkan masyarakat jatuh dalam keadaan anarkhi
akibat sistem ekonomi pasar. Polanyi menyajikan mekanisme untuk mengikatkan kembali
sistem ekonomi dalam masyarakat. Ketergantungan sosial dan material tidak dapat
diserahkan pada mekanisme pasar begitu saja.
Dari pendapat Jessop dapat disimpulkan bahwa dengan membedakan level embeddedness
kita dapat memahami bahwa ekonomi tercerabut dalam pengertian ketiga yakni ekonomi

pasar sebagai institusi terpisah atau meloloskan diri dari institusi lainnya dalam masyarakat.
Skema pemikiran Polanyi menurut Jessop dapat ditunjukkan sebagai berikut.

Proyek Menanam Kembali Ekonomi
Gagasan Polanyi tentang ketertanaman (embeddedness) memberikan kerangka teoretik untuk
memahami letak ekonomi dalam masyarakat. Bahwa prinsip dasar sistem pasar swatata tidak
bersifat alamiah dan merupakan sebuah konstruksi yang melawan fakta sejarah. Sejarah abad
ke-19 yang diwarnai upaya meloloskan ekonomi dari relasinya dengan institusi-institusi
sosial yang lebih luas pada akhirnya runtuh. Motif pengejaran keuntungan dan corak
ekspansif sistem pasar swatata pada saat yang bersamaan mendapatkan reaksi spontan dari
masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah bentuk proteksi terhadap ancaman kerusakan
masyarakat akibat sistem pasar swatata yang melakukan komodifikasi terhadap manusia,

alam, dan uang. Proses ini menunjukkan kodrat dari ketertanaman ekonomi pada struktur
sosial yang lebih luas.
Ketertanaman adalah hakekat ontologi yang memperkuat pengertian bahwa institusi
mendahului individu, atau dalam pengertian Aristotelian, ‘yang keseluruhan’ lebih utama
dibanding ‘yang sebagian,’ dan dalam bahasa Polanyi sendiri itu adalah kesatuan dan
stabilitas (unity and stability). Dan untuk memahami kompleksitas dalam masyarakat
dibutuhkan epistemologi yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan yang ada secara
rasional, yaitu konsep ekonomi sebagai proses terlembaga (economy as instituted process).
Jika konsep embeddedness berhasil menunjukkan bahwa cara berpikir mengacu diri (selfreferential) itu keliru, maka konsep ekonomi sebagai proses terlembaga menyediakan
landasan pemahaman terhadap bagaimana ekonomi harus mengacu pada sesuatu di luar
dirinya (other-referential), dalam hal ini institusi-institusi nonekonomi.
Ekonomi sebagai proses terlembaga menunjukkan pendekatan lingkup masyarakat (societal)
Polanyi terhadap ilmu-ilmu sosial, di mana ia tidak berangkat dari individu melainkan dari
masyarakat. Struktur/lembaga adalah titik masuk ontologis yang dibingkai oleh kodrat
ontologis bahwa ekonomi tertanam (embedded) dalam relasi sosial. Metodologi pemahaman
terhadap ekonomi sebagai proses terlembaga yang ditopang oleh bentuk-bentuk integrasi
tertentu dapat menjelaskan mengapa satu sistem ekonomi tertanam sedangkan sistem
ekonomi lainnya cenderung tercerabut dari struktur sosial yang lebih luas. Dalam konteks ini,
sistem pasar swatata dapat dikatakan disembedding dalam arti mengabaikan eksistensi bentuk
integrasi lain yang mendasarkan keberadaannya pada nilai nonekonomi. Dengan demikian,
upaya mengkonstruksi kaitan embeddedness dengan ‘ekonomi sebagai proses kelembagaan’,
pelembagaan kembali proses ekonomi berarti pula proses menanamkan kembali
(reembeding) ekonomi ke dalam institusi-institusi sosial. Dan kita kembali pada apa yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pertanyaan pokok dari seluruh pencarian adalah letak
ekonomi dalam masyarakat. Jika hakekat ekonomi itu tertanam dalam relasi kelembagaan
dengan lembaga-lembaga non-ekonomi, maka persoalannya adalah pada modus ketertanaman
(mode of embeddedness). Ringkasnya, modus ketertanaman seperti apa yang memungkinkan
kinerja ekonomi kembali terkait dengan makna substantif, yaitu subsistensi atau mata
pencaharian? Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut.[20]
Keterangan:
Hubungan organik ( organic link )
Kontrol sosial ( social control )
Mediasi kesadaran ( conscious mediation )
Penutup: Masa Depan (Ekonomi) Kapitalisme
Paparan ringkas ini berusaha memaparkan pemikiran Karl Polanyi yang sangat kaya dan
kompleks. Ia dapat memandu kita menyusuri pengapnya situasi dan sempitnya ruang berpikir
alternatif. Melalui proyek membongkar nalar kapitalisme, Polanyi menunjukkan pada
generasi sekarang bahwa kapitalisme kontemporer sangat mungkin dikritik. Masa depan
kapitalisme tak lain adalah proyek menanam kembali ekonomi, yaitu mengembalikan kinerja
ekonomi substantif. Disembedded economy, yakni makna formal ekonomi di mana kinerja
ekonomi sama sekali tidak terkait atau lolos dari relasinya dengan struktur sosial lain dalam
masyarakat harus ditolak.
Polanyi menyediakan piranti analisis yang tajam dengan membongkar klaim alamiah sistem
ekonomi pasar swatata sekaligus memberikan senjata untuk memulihkan kehidupan sosial

dan kemanusiaan melalui dekomodifikasi. Implikasinya, kehadiran institusi non-pasar adalah
sebuah keniscayaan. Karena statusnya niscaya, perdebatan kemudian bukan pada apakah
institusi non-pasar harus ada atau tidak, melainkan kapan, apa, dan bagaimana institusi ini
hadir bersamaan dengan sistem pasar. Ini tidak berarti memberikan prioritas terhadap sistem
pasar tetapi dalam keserentakan pula sistem pasar mengandaikan hadirnya sistem lain di
luarnya. Secara konkret Polanyi mengharuskan diperhitungkannya lembaga seperti keluarga,
komunitas, lembaga agama (gereja dalam kasus Polanyi), serikat dagang, serikat pekerja,
asosiasi profesi, hingga negara. Secara integratif, Polanyi menunjukkan bahwa
ketimbalbalikan dan redistribusi adalah dua model integrasi yang ampuh menopang
kehidupan dan penghidupan umat manusia. Karenanya, gerakan Occupy Wall Street, Forum
Sosial Dunia, gerakan kredit mikro di dunia ketiga, kesadaran menuntut keadilan pajak,
regionalisme, dan sebagainya harus dipandang sebagai bentuk aktualisasi manusia yang ingin
menyelamatkan kemanusiaan yang dihancurkan nalar kapitalisme rakus. Dan melalui Polanyi
kita paham bahwa berguru pada masa lalu bukanlah ajakan ke primitivisme, melainkan
kejernihan bahwa dengan membentang sungai waktu hingga ke masa silam, kita akan
menemukan cara hidup dan cara berpikir yang jika kita rentang ke masa kini akan
menunjukkan benang merah yang merupakan arus sejarah yang bersabda tentang arti sebuah
pencarian akan kebenaran. Atau jika meminjam strategi Bapak ekonomi modern – Adam
Smith, bahwa “untuk tujuan apa The Theory of Moral Sentiments ditulis? Atas segala jerih
payah dan hiruk pikuk dunia, apa akhir dari keserakahan dan ambisi, pengejaran kekayaan,
kekuasaan, dan kejayaan? The Wealth of Nations menyediakan jawaban: seluruh pencarian
kumuh atas kesejahteraan dan kejayaan memiliki puncak pembenarannya dalam
kesejahteraan umat manusia.[21]
Smith mencoba menyuntikkan ‘yang seharusnya’ dan ‘yang mungkin’ ke dalam ‘apa yang
ada’. Melalui cara ini tampaknya Smith ditempatkan sebagaimana mestinya dan keseluruhan
kompeksitas yang ada tidak dikaburkan begitu saja demi sebuah klaim yang kadang
dirumuskan untuk diwujudkan kebenarannya ketimbang diandaikan secara inheren menjadi
prinsip yang memandu keseluruhan perjalanan sejarah individu, termasuk pengasalan secara
serampangan bahwa Smith adalah pembela utama kapitalisme dan sistem ekonomi pasar tapi
mengabaikan muatan pesan moralnya yang adiluhung.