KONSEP PENDIDIKAN MORAL DITINJAU DARI PE

KONSEP PENDIDIKAN MORAL
DITINJAU DARI PEKPEKTIF PERKEMBANGAN ANAK
Oleh Fatimah Ibda
~
Abstrak: Artikel ini mencoba mendiskusikan beberapa pendekatan dalam
memahami pendidikan moral anak. Perkembangan moral merupakan salah satu topik
yang banyak dibahas dalm perkembangan sosial. Pembicaraan mengenai penyesuaian
anak terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai dapat ditelusuri melalui tiga konsep
filosofis yaitu pertama, konsep yang dikemukakan oleh Augustine (354-430 M).
Konsep ini memandang anak pada dasarnya penuh dosa. Anak membutuhkan
perlakuan hukuman dari orang dewasa. Kedua: konsep yang dikemukakan oleh
Locke (1632-1704). Anak dipandang netral Secara moral atau tabularasa. Latihan dan
pengalaman akan menentukan apakah anak akan menjadi baik atau buruk. Dan
terakhir. konsep yang dikemukakan oleh Rousseau ( 1712-1778). Menurut Rousseau
anak memiliki pembawaan suci. Perilaku tidak bermoral sebagai basil dari ubahan
orang dewasa .
Kata kunci: Moralitas, Perkembangan Moral, Perilaku Moral
A. Pendahuluan
Anak dalam pandangan Islam diposisikan sebagai aset penting. Anak
tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan (nasab) akan tetapi dalam skala
luas juga berfungsi sebagai pembangun masa depan sebuah bangsa.

Penciptaan kualitas seorang anak pada prinsipnya tidak boleh hanya
memperhatikan aspek kognitif psikomotoriknya, akan tetapi harus juga
memperhatikan aspek afektifnya (moral). Persoalan ini tidak hanya menjadi
councern Islam secara spesifik, akan tetapi juga menjadi bagian pembahasan dari
ilmu psikologi. Dalam perspektif psikologi kontemporer konsep filosofis
perkembangan moral anak yang dikemukan oleh Agustine (354-430 M) sejalan
dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud Pendekatan Sementara
pandangan Locke (1632-1704) muncul dalam pandangan teori belajar kognitif
yang dikemukakan oleh Piaget dan Kohlberg. Adapun pandangan Rousseau

(l712-1778) sejalan dengan pandangan teori belajar sosial yang dikembangkan
oleh Damon.
Ketiga pandangan ini akan dibahas secara mendalam dalam tulisan
berikut.
B. Tcori-Teori Perkembangan Moral Anak
1. Perkembangan Moral; Teori Psikoanalisis
Menurut pandangan teori psikoanalisis perkembangan moral berakar
dalam pemunculan super ego. Freud menyatakan anak memiliki dorongan
bawaan yaitu insting agresif dan seksual yang ada di dalam id. Orangtua
menghalangi dorongan-dorongan ini untuk mensosialisasikan anak agar sesuai

dengan norma-norma masyarakat. Permusuhan ini menyebabkan perlawanan
anak terhadap orangtuanya, tetapi karena anak takut kehilangan cinta orang
tuanya, anak menekan permusuhan dan memunculkan kerjasama yang oleh Freud
disebut intemalisasi.
Proses intemalisasi norma-norma orangtua menjadikan anak memiliki
moral karena menghindari hukuman, kecemasan, dan kesalahan. Dengan
mengambil evaluasi orangtua terhadap perilakunya anak mengintenalisasikan ke
dalam dirinya norma-norma moral dari masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kesadaran adalah basil dari identifikasi. Dengan proses identifikasi anak
menuntut dirinya untuk sesuai (conform) dengan norma-norma tingkah laku yang
memunculkan superego. Perilaku anak cenderung didasarkan pada hedonistic
yang ditentukan oleh reward (hadiah) eksternal dan sanksi. Secara perlahan-lahan
anak mulai menginternalisasi standar-standar moral dan larangan dalam cara
yang sama dengan sifat orangtuanya. Anak merasa cemas dan menghukum
dirinya bila ia melakukan sesuatu yang dia yakini orangtua akan menghukumnya.
lnternalisasi mengacu pada pengambilan norma-norma sosial melalui
usaha dari pemberi sosialisasi awal yaitu orangtua. Orang tua menyajikan
panduan yang diinternalisasi sehingga anak berperilaku mengacu pada nilai-nilai
meskipun ketika otoritas ek.stemal tidak ada di sisi anak. Pengendalian yang
semula dilakukan oleh orangtua digantikan dengan pengendalian diri oleh anak

sendiri.

Konsep mengenai intemalisasi sering digunakan untuk menunjuk pada
adopsi anak terhadap norma-norma sosial dan menghasilkan kontrol yang
evaluatif terhadap perilakunya. Proses intemalisasi ini dilakukan oleh sebagian
besar fungsi kognitif dan proses verbal.
2. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Kognitif.
Teori perkembangan kognitif memandang bahwa perkembangan moral
tumbuh searah dengan perkembangan kognitif secara perlahan-lahan dan
berkelanjutan tanpa banyak terjadi perubahan yang tiba-tiba. Pandangan ini
sejalan dengan pendapat Piaget dan Kohlberg yang menyatakan bahwa
perkembangan moral pada anak cenderung berkembang melalui rangkaian urutan
tingkatan tertentu, kemanapun untuk berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan
yang lain tergantung pada hubungan perkembangan kognitit.
Piaget menyatakan bahwa ada keteraturan dan pola yang logis dalam
pcrkembangan penalaran moral pada anak. Perkembangan ini didasarkan pada
urutan perubahan berkaitan dengan pertumbuhan intelektual anak, khususnya
tahap yang dicirikan dengan munculnya berpikir logis. Lebih lanjut Piaget
menyatakan bahwa perkembangan moral sejajar dengan perkembangan kognitif,
karena dengan perkembangan penalaran moral terjadi perubahan kualitatif pada

kemampuan seseorang untuk mengindentifikasi isu moral yang melalui caranya
sendiri berupaya menentukan tingkah laku moral. Piaget memberikan dua tahap
dari teori perkembangan moral. Pertama, moralitas heteronomi; muncul dari
interaksi yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa. Selama masa pra
sekolah dan awal tahun pertama sekolah anak terbenam dalam lingkungan
otoriter di mana mereka menempati posisi inferior dari orang dewasa. Anak
mengembangkan konsep aturan moral yang absolut, tidak berubah, dan kaku.
Pada tahap ini anak memandang aturan moral sebagai sesuatu yang telah
ditetapkan dari luar individu karena adanya figur otoritas.
Pada saat anak memasuki masa remaja muncul suatu tahap baru dalam
perkembangan moral yang disebut dengan moralitas autonomi; muncul dari
interaksi status yang seimbang dalam hubungan diantara teman sebaya. Melalui
hubungan dengan teman sebaya, anak memperoleh pengertian tentang keadilan,
perhatian terhadap hak-hak orang lain, persamaan hak, dan hubungan manusia.

Moralitas autonomi digambarkan sebagai moralitas atas dasar persamaan dan
demokrasi yang oleh Piaget dinamakan dengan moralitas kerjasama.
Ada empat dimensi yang membedakan antara tahap moralitas heteronomi
dan autonomi. Dimensi-dimensi ini didefinisikan berkenaan dengan
ketidakmatangan atau tahap heteronomi yaitu; 1) Moral absolut. Anak berasumsi

di semua waktu dan tempat peraturan yang berlaku sama. Mereka memandang
peraturan sebagai eksistensi dari diri mereka sendiri. 2) Konsep tentang peraturan
tidak dapat di ubah. Anak meyakini bahwa peraturan adalah kaku dan tidak dapat
diubah. 3) Keyakinan bahwa keadilan pasti ada. Anak berasumsi kemalangan
yang terjadi pada dirinya diakibatkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya,
anak mencuri sesuatu tetapi gagal dan jatuh terluka maka dia berpikir hal itu
terjadi akibat dia mencuri dan, terakhir mengevaluasi tanggungjawab yang
dengan menjadi anak manis karena dia percaya bahwa hal yang benar adalah
hidup sesuai dengan harapan orang lain yang dekat dengan dirinya.
Keterlibatan moral pada tahap heteronomi antara usia 7 sampai dengan 11
tahun berhubungan erat dengan kemampuan berrpikir pra operasional dan
konkrit, operasional di mana pada tahap pra operasional kemampuan berpirkir
masih bersifat subyektif sedang pada lahap konkrit operasional mulai
berkembang kemampuan menerima dunia luar menurut adanya (objektif). Lebih
lanjut Piaget mengidentifikasi dua faktor yang mendasari keterbatasan penalaran
tahap heteronomi ini. Pertama, selama periode pra operasional anal lebih terpusat
pada egosentris. Mereka tidak dapat mendesentralisasi pandangannya dan
menerma dunia dari perspektiff orang lain.
Sedangkan setelah usia 11 tahun anak memasuki lahap operasional
formal. Anak memandang moralitas lebih fleksibel, dan berorientasi sosial. Pada

tahap ini anak sudah mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan
konseptualisasi.
Kohlberg memperluas dan merevisi teori Kohlberg mengemukakan, tiga
tingkatan perkembangan moral. Ketiga tingkatan itu mencerminkan tiga orientasi
sosial yang berbeda. Masing·masing tingkatan dibagi menjadi dua tahapan.
Urutan tahapan perkembangan penalaran moral tersebut adalah:
I. Tingkatan Pra-Konvensional

Tahap I Orientasi hukuman dan kepatuhan. Konsekuensi fisik merupakan
landasan penilaian dari baik buruknya suatu tindakan. Anak patuh agar terhindar
dari hukuman.
Tahap 2. Orientasi relativitas instrumental. Anak mencoba memenuhi
harapan sosial dengan selalu berbuat baik. Hal ini dilakukan hanya sebagai sarana
untuk memperoleh reward (hadiah). Elemen timbal balik sudah mulai tampak
tetapi hanya dipahami secara fisik dan pragmatis belum merupakan prinsip
keadilan yang sesungguhnya.
II. Tingkatan Konvensional
Tahap 3. Orientasj masuk ke kelompok ‘anak baik’ dan 'anak manis’.
Menjadi anak baik adalah hal yang paling dianggap penting. Individu belajar
memutuskan bagaimana seharusnya bertindak dan mempertimbangkan rerasaan

orang lain supaya dirinya diterima. Individu berupaya untuk selalu berbuat baik.
Tahap 4. Orientasi hukuman dan ketertiban. Pemenuhan kewajiban, rasa
hormat terhadap otoritas hal penting yang harus dijalani. Hukum dan tata tertib
bermasyarakat adalah sesuatu yang dijunjung tinggi. Maka individu senantiasa
herusaha untuk mematuhi segala aturan agar dirinya diterima
III. Tingkatan Pasca-Konvensional
Tahap 5. Orientasi kontrak sosial legalistik. Timbul kesadaran bahwa
setiap orang tidak harus memiliki nilai-nilai dan pendapat yang sama. Nilai-nilai,
aturan, norma hukum mempunyai arti yang relatif bagi masing-masing orang.
Oleh karenanya hukum dapat diubah melalui cara yang demokratis. Hukum
bukan sesuatu yang absolut dan kaku.
Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Kebenaran dihayati sebagai hasil
dari suara hati yang logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yaitu
prinsip keadilan, pertukaran hak, keseimbangan, dan kesamaan hak asasi manusia
serta penghormatan terhadap martabat manusia. Konformitas dilakukan bukan
berdasar perintah tetapi karena hasrat dan dorongan dari dalam diri sendiri.
Ketiga tahapan tersebut tidak didasarkan pada apa yang menjadi
keputusan moral tetapi lebih pada penalaran yang digunakan untuk sampai pada
keputusan yang dibuat. Tiap-tiap tahapan ini menggambarkan pola ciri yang
bcrbeda dari hubungan antara diri (self) dan aturan-aturan masyarakat serta

harapan. Perkembangan moral tiap individu ini mengikuti pola urutan yang tidak

dapat dilompati sehingga bila terdapat perbedaan disebabkan masing-masing
individu mempunyai kesempatan yang tidak sama dalam mencapai tahap tertentu.
Tingkatan pra konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang
kebanyakan dicapai oleh anak di bawah usia 9 tahun dan sebagian remaja dan
para pelaku tindak kriminl baik remaja maupun orang dewasa. Pada tahap ini
aturan-aturan dan harapan lebih didasarkan pada luar diri individu atau eksternal.
Tingkatan konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang
kebanyakan telah dicapai oleh remaja dan orang dewasa. Pada tahap ini individu
telah menginternalisasikan aturan-aturan dan harapan masyarakat.
Tingkatan pasca konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang
biasanya dicapai oleh orang dewasa awal yaitu setelah usia 20 tahun atau pada
tahap remaja akhir. Pada tahap ini individu sudah membedakan antara diri mereka
dan aturan-aturan serta harapan-harapan orang lain, lebih mendefinisikan nilainilai mereka secara rasional, dikenal dengan prinsip-prinsip pilihan diri.
Zanden mengemukakan bahwa orang dalam semua budaya memakai
konsep moral dasar yang sama dengan memasukkan keadilan, persamaan, cinta,
kehormatan, dan hak. Semua individu dalam semua budaya melalui tahapan dan
urutan penalaran moral yang sama dengan konsep perkembangan moral tersebut
di atas. Demikian juga pendapat Colby dan Kohlberg bahwa aturan yang menata

perkembangan tahapan tersebut sama untuk setiap individu, hal ini bukan
disebabkan karena tahapan-tahapan tersebut dari pembawaan lahir melainkan
karena adanya logika yang melandasi urutan perkembangan tahapan itu.
Perbedaannya hanya dalam bagaimana cepatnya mereka berpindah dari satu
tahapan ke tahapan berikutnya dan seberapa jauh mereka berkembang selama
tahapan itu. Dari sudut pandang ke dua ahli ini tampaknya moral bukanlah
persoalan pikiran atau pendapat tetapi lebih pada moralitas yang universal.
C. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan pada besarnya pengaruh lingkungan sosial
dalam mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial yang ada.
Salah satu pandangan dalam teori ini dikemukakan oleh Damon. Damon
mengidentifikasi perkembangan moral anak dari cara anak memberikan alasan
tentang keadilan. Dengan mengajukan dilema-dilema moral pada anak usia 4 (empat)

sampai 9 (sembilan) tahun. Kepada anak diberikan pertanyaan bagaimana mereka
membagi sesuatu diantara sesamanya. Dari jawaban anak tersebut Damon
memberikan tingkat perkembangan moral sebagai berikut :
Tingkatan I. Anak menyatakan pilihan mereka dan tidak berusaha membagi
secara adil diantara sesamanya. Contoh anak mengatakan harus mendapatkan es krim
yang lebih banyak dari kakaknya karena dia menyukai es krim dan dia memang ingin

lebih banyak.
Tingkatan 2. Anak membenarkan pilihannya lebih didasarkan pada
lingkungan ekstemal. Sifat-sifat yang dapat diamati seperti ukuran, usia, atau
sejumlah karakteristik lain. Contoh anak mengatakan harus memperoleh es krim
lebih banyak karena dia lebih besar atau karena berlari lebih cepat.
Tingkatan 3. Anak mengembangkan pikiran bahwa keadilan adalah
penyamaan secara tegas. Misalnya setiap orang harus memperoleh bagian yang sama.
Tingkatan 4. Anak mulai mengembangkan pikiran tentang kebaikan.
Misalnya orang bekerja keras, pintar atau melakukan tindakan terpuji harus diberi
hadiah karena mereka memang berhak mendapatkannya.
Tingkatan 5.Anak memperoleh pengertian relatifitas moral. Mereka sudah
dapat menerima bahwa orang memang dapat berbeda.
Tingkatan 6. Anak berusaha menyeimbangkan tuntutan-tuntutan konflik
didasarkan dari pandangan persamaan; setiap orang harus menerima dalam jumlah
yang sama suatu hadiah, dan keadilan; hadiah harus dibagikan secara proposional
diantara individu sesuai dengan kebutuhannya. Anak-anak jarang menggunakan satu
tipe penalaran moral secara eksklusif, tetapi mereka cenderung menggunakan tingkat
penalaran moral yang lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih besar ketika mereka
lebih tua.
D. Inkonsistensi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Moral

Perilaku moral adalah perilaku sehari-hari yang diterima sebagai benar dan
salah. Menurut Coles perilaku moral yang diungkapkan dalam tindakan; bagaimana
orang harus berperilaku dan bersikap orang lain. Tingkatan kematangan penalaran
moral belum mampu memprediksi bagaimana seseorang akan bereaksi dalam
keadaan yang sebenarnya ketika dihadapkan dalam situasi pada perilaku yang
diharapkan atau tidak diharapkan secara moral. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang konsisten antara penalaran moral dengan perilaku moral

misalnya perilaku menyontek. Dalam penelitian lain anak diberi tugas membuat
gelang, lalu mereka diwawancarai secara individual bagaimana cara yang paling adil
membagi gelang tersebut diantara sesamanya, sebagian besar anak mengatakan
semua gelang harus dibagi secara adil karena mereka telah bekerja keras, namun
ketika mereka membagikannya cendcrung didasarkan pada kepentingan pribadi.
Dalam penelitian lebilt lanjut ditemukan juga bahwa anak yang mencapai
tahapan tiga pada perkembangan moral Kohlberg yaitu orientasi, anak baik dimana
anak berupaya untuk selalu berbuat baik sesuai dengan harapan orang lain terutama
orangtuanya, namun ketika adiknya merusak mainan faforitnya dia akan
memukulnya meskipun orang tua mencea perilaku nya.
Pengetahuan tentang penalaran moral saja tidak cukup untuk memahami
mengapa orang menunjukkan perilaku berbeda dalam situasi moral yang berbedabeda. Ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan perilaku moral. Misalnya
motivasi, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, dan hasil yang diperoleh dari
pelanggaran moral. Penelitian yang dilakukan oleh Hartshorne dan Feldman
menemukan bahwa mahasiswa belajar menyontek dalam tiga kali ujian, 59 persen
mahasiswa menyontek dalam satu dari tiga ujian. 64 persen menyontek dalam dua
dari tiga ujian, dan 22 persen menyontek dalam ketiga ujian tersebut.
Berbeda dengan Hurlock yang menyatakan bahwa perilaku moral pada akhir
masa kanak-kanak lebih disebabkan oleh ketidaktahuan akan apa yang diharapkan
padanya atau karena salah mengerti peraturan. Beberapa pelanggaran yang dilakukan
anak adalah usaha untuk menguji tokoh otoriter dan untuk memaksakan ke
mandiriannya. Namun sebagian besar pelanggaran yang dilakukan anak merupakan
akibat dari keikutsertaannya dalam perbuatan kelompok yang salah. Diantara
pelanggaran perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yang umum terjadi di
sekolah antara lain: mencuri, menipu, berbohong, menggunakan kata-kata kasar dan
kotor, merusak milik sekolah, membolos, mengganggu anak lain dengan mengejek,
menggertak, menciptakan gangguan, membaca komik atau mengunyah permen,
berbisik-bisik, melucu, membuat gaduh di kelas, berkelahi dengan teman sekelas,
dan minum obat-obatan terlarang. Sedangkan pelanggaran di rumah yang umum
terjadi pada akhir masa kanak-kanak di rumah, berkelahi, mencuri dan merusak

barang milik saudara, hersikap kasar kepada saudara yang lebih dewasa, malas
melakukan kegiatan rutin, melalaikan tanggungjawab, berbohong, dan tidak jujur.
Di samping itu, ada enam bahaya moral yang umumnya dikaitkan dengan
perkembangan sikap dan perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yaitu:
pertama, perkembangan kode moral berdasarkan konsep teman -teman atau
berdasarkan konsep media massa tentang benar dan salah yang tidak sama dengan
kode moral orang dewasa; kedua, tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai
pengawas dalam terhadap perilaku; ketiga, disiplin yang tidak konsisten membuat
anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya dilakukan; keempat, huhuman fisik
merupakan contoh agresivitas anak; kelima, menganggap dukungan teman -teman
terhadap perilaku yang salah begitu memerlukan sehingga perilaku tersebut menjadi
kebiasaan; dan keenam, tidak sabar terhadap perbuatan orang lain yang salah.

E. Penutup
Ada beberapa emosi moral negatif yang dapat dimasukkan ke dalam budaya
untuk mengatasi krisis moral pada anak seperti rasa malu dan rasa bersalah. Malu
yang didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri ekstrem yang terjadi
ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Rasa
malu juga didefinisikan sebagai reaksi emosi yang tidak menyenangkan, timbul pada
diri seseorang sebagai akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa malu
hanya bergantung pada sanksi eksternal, walaupun mungkin disertai rasa bersalah.
Rasa malu disetujui sebagai cara yang tepat untuk menghukum orang yang
berperilaku antisosial. Ekspresi dari perasaan-perasaan negatif ini khususnya rasa
malu dan rasa bersalah setelah melakukan pelanggaran moral ditunjukkan dari rasa
takut yang terekspresikan karena konsekuensi eksternal.
Di sisi lain rasa bersalah terjadi bila anak gagal memenuhi standar perilaku
yang diterapkannya sendiri. Hal ini terjadi karena setiap pengalaman yang
melibatkan emosi ekstrem akan memberikan efek langsung yang lebih nyata pada
perilaku anak sekaligus efek jangka panjang pada perkembangan kepribadian. Rasa

bersalah juga dikatakan lebih berdaya guna dan lebih membekas sebagai pemotivasi
moral.
Rasa bersalah sebagai evaluasi diri khusus yang negatif terjadi bila individu
mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan wajib untuk
dipenuhi. Anak yang merasa bersalah pada tindakan yang dilakukannya telah
mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jauh di bawah standar yang ditetapkannya
sendiri.
Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikoogis yang paling
penting dalam proses sosialisasi. Apabila anak tidak merasa bersalah, anak tidak akan
merasa terdorong untuk belajar sesuai yang diharapkan kelompok sosialnya atau
untuk menyesuaikan perilakunya dengan masyarakatnya.
Perkembangan moral juga dipengaruhi oleh cara-cara dan nilai-nilai dalam
membesarkan anak. Nilai-nilai ini sangat ditentukan oleb budaya, suatu bangsa atau
suku. Budaya dikatakan dapat mengkomunikasikan standar etika dan pembentukan
serta penguatan kebiasaan perilaku yang buik pada pertumbuhan anak. Anak
dihapkan belajar aturan-aturan, mengalami ketidakenakan emosi ketika melanggar
aturan-aturan moral serta merasakan kepuasan ketika mematuhinya.
Aspek lain yang dapat dikembangkan untuk menanamkan perilaku moral
pada anak adalah melalui penerapan disiplin. Disiplin merupaka suatu cara untuk
mengajarkan anak berperilaku moral yang seseuai dengan harapan sosial. Tujuan dari
semua bentuk disiplin ini adalah untuk membentuk perilaku sehingga perilaku
tersebut sesuai dengan budaya dimana seseorang individu itu hidup.
Perilaku moral yang sesungguhnya tidak hanya harus sesuai dengan stardar
sosial tetapi harus dilakukan dengan tulus didasarkan pada dorongan hati nurani.
Perilaku moral pada anak harus dikembangkan untuk memiliki keinginan melakukan
suatu pcrbuatan yang, baik dan mcnjauhkan perbuatan yang buruk. Seiring dengan
perkembangannya anak juga harus diberikan pemahaman mengapa hal ini dikatakan
“benar dan hal itu dikatakan "salah".