Protestantisme dalam sejarah GPIB dan gerakan

Protestantisme dalam sejarah GPIB



Yusak Soleiman, Ph.D (STFT/STT Jakarta)

PEMBINAAN PRESBITER DAN GERAKAN PEMUDA GPIB JEMAAT BUKIT ZAITUN MAKASSAR
JUMAT, 3 JUNI 2016
SESI 2, PK. 13.00 – 16.00

Pokok-pokok pembahasan
• Pembacaan
• Kritik

Protestantisme

• Kontribusi
• Doktrin
• Masa

sejarah

Protestantisme

dan lembaga dalam Protestantisme

depan Gereja Protestan mapan berhadapan dengan gereja-gereja
muda?

Pembacaan sejarah
belajar sejarah bukan untuk kembali dan hidup di masa lampau,
seolah-olah segala yang baik ada di masa lampau, atau bahwa segala
sesuatu sudah diselesaikan di masa lampau.

• Kita

mengerti bagaimana orang di masa
lampau hidup, berpikir, dan berkarya. Bagaimana mereka

• Kita

belajar sejarah untuk


menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kita hingga sekarang ini, dan
bagaimana kita siap untuk hidup, berpikir, dan berkarya lebih
baik dan lebih besar lagi.

Protestantisme mengkritik
I. Protestantisme sebagai kritik atas Kekristenan pada akhir
abad-abad Pertengahan: hirarkis, dogmatis, dan elitis.

Kritik Protestantisme: Hirarkisme Gereja
I.1. Hirarkis
• Struktur

gereja.

• Jabatan

gerejawi.

• Hubungan

• Corak

dengan umat.

ibadah.

Kritik Protestantisme : Dogmatisme Gereja
I.2. Dogmatis
• Kebenaran

ajaran-ajaran harus dapat bertahan menghadapi pertanyaan
keagamaan maupun ilmu pengetahuan.

• Perdebatan

teologis berlangsung sepanjang sejarah, gereja merumuskan
sendiri kebenaran-kebenarannya.

• Kebenaran


dirumuskan gereja untuk
dimengerti oleh umat.

ditaati sekalipun tidak

Kritik Protestantisme: Elitisme Gereja
I.3. Elitis
• Masyarakat

Kristen abad-abad Pertengahan feodal. Mereka hidup, bekerja,
hingga wafat dalam struktur yang ditentukan oleh para tuan
tanah.

• Strata

masyarakat feodal: tuan tanah (bangsawan), klerus (uskup dan
pejabat gereja lainnya), dan buruh-tani.

• Dua


yang pertama menentukan hidup dan mati yang terakhir, karena
dua yang pertama adalah para pemilik tanah.

Kontribusi Protestantisme
pada Kekristenan
II. Protestantisme menawarkan: kongregasionalitas, kolegialitas, studi
kritis atas dogma-ajaran melalui pembacaan Alkitab, serta memberikan
ruang bagi kaum elit baru: dewan kota – melawan kaum klerus dan
para bangsawan – elit lama.

Kongregasionalitas
II.1. Kongregasionalitas – prinsip kepemimpinan gerejawi yang
membebaskan diri sama sekali dari kekuasaan di luar
persekutuan umat dan di atas umat, selain dari kekuasaan Tuhan
sendiri.
• Banyak

gereja menggunakan model ini ketika harus menghadapi tekanan
dari kuasa-kuasa lain.


menggunakan model ini karena tidak membutuhkan
pemusatan kekuasaan gereja seperti gereja-gereja tua dan mapan.

• Gereja

Kolegialitas
II.2. Kolegialitas – prinsip kepemimpian gerejawi yang menempatkan fungsifungsi pelayanan pada jenjang kekuasaan yang setara, proses
keputusan diambil melalui percakapan di antara dewan penatua.
• Prinsip

kolegialitas juga ada di dalam gereja Katolik, yaitu di antara
sesama pejabat gerejawi.

• Prinsip

kolegialitas di dalam tradisi Protestan sesungguhnya membatasi
diri di antara pejabat gerejawi. Ini berarti baik Protestan maupun Katolik,
sama-sama melakukan pembatasan dan seleksi atas siapa yang akan
menjadi rekan (kolega).


Keutamaan Alkitab
II.3. Keutamaan Alkitab di atas ajaran-ajaran (dan kebiasaan-kebiasaan)
gereja.
• Di

bawah pengaruh perkembangan keilmuan terkini: humanisme, maka
semangat dan juga keahlian meneliti dan membaca Alkitab menjadi
semakin penting daripada pembacaan dan penerapan ajaran (doktrin)
gereja.

• Keutamaan

Alkitab menerobos perdebatan yang didominasi oleh doktrin
dan filsafat (yang sedang in adalah soal universalisme dan nominalisme
 pengaruhnya terasa pada teologi tentang Perjamuan Kudus)

Elit perkotaan
II.4. Munculnya elit baru sebagai anti-tesis dari kekuasaan lama (klerus
dan bangsawan – tuan tanah).
bahasa sosiologi, merekalah yang disebut sebagai kelas

menengah – mereka tidak berada di antara dua kelas sosial yang
lain.

• Dalam

• Mereka

bukan kaum klerus dan bangsawan (kelas elit yang berkuasa
atas tanah dan kehidupan kelas pekerja). Mereka tidak haus kuasa.

• Mereka

bukan kelas pekerja. Mereka otonom.

Protestantisme dan budaya perkotaan
II.5. Protestantisme sebagai buah dari pertumbuhan kota
(keterikatan kepada tanah dan sumber alam mulai digantikan
dengan kekuatan uang-perdagangan, jejaring-komunikasi, dan
industri-teknologi) dan intelektualitas massal (pendidikan
universitas untuk semua – terutama sejak universitas mengalahkan

sekolah-sekolah Katedral mulai abad XI/XII).

Ajaran dan Organisasi;
Doktrin dan Lembaga
III. Hal ajaran dan organisasi, sebetulnya tidaklah murni temuan
Protestanisme – seperti yang sering diajarkan dalam gereja dan kelas
katekisasi.

ajaran di
kalangan Protestantisme terlalu banyak kekacauannya.

• Bahkan
• Dalam

dibanding dengan gereja Katolik Roma, hal

hal organisasi, sama seperti gereja sepanjang waktu dan tempat,
mereka menyesuaikan dengan situasi dan kondisi (kontekstual).

Diaken dalam gereja Reformasi

III.1. Jabatan diaken berasal dari

jabatan publik yang mengalami

teologisasi.
• Secara

teologis jabatan ini sering dikait-kaitkan dengan sebuah fungsi
darurat pada jemaat Yerusalem.

• Secara

historis dalam gereja-gereja Protestan jabatan ini memiliki
berbagai arti. Antara lain pejabat kota yang bertanggungjawab atas
orang-orang miskin, janda-janda, dan yatim-piatu.

Pendeta bukan ketua majelis gereja
III.2. Keinginan untuk membuang klerikalisme (doktrin imamat am orang
percaya) hanya bertahan sebentar saja.
• Di


gereja Jenewa, hanya seorang pendeta yang perlu datang mengikuti
rapat majelis gereja.

• Di

gereja Jenewa, Calvin hanyalah salah satu dari company of pastors.

• Para

calon pendeta tidak hanya melalui screening oleh majelis gereja,
melainkan juga oleh dewan kota.

Pendeta bukan ketua majelis gereja
• Pemanggilan

pendeta dilakukan oleh majelis gereja, disetujui setelah
menempuh ujian pengajaran dan kualitas kehidupan oleh majelis klasis.
(sinode hanyalah sebuah rapat dari perwakilan jemaat; klasis adalah
bentuk kerjasama antar-jemaat untuk saling merawat dan mendukung).

• Dalam

situasi tertentu ketika dewan kota dan majelis jemaat lemah,
pendeta dapat memainkan peran dominan.

Penatua dan diaken bukan wakil jemaat
• III.3. Kehadiran

para penatua dan diaken dalam majelis jemaat bukanlah
perwakilan jemaat, melainkan perwakilan kekuasaan kota (terjadi di
Swiss, Belanda, hingga Hindia Belanda) – dalam gereja Lutheran
(rural/pedesaan) yang berbeda dengan Swiss (urban/perkotaan) dinamika
yang terjadi lain lagi, karena para bangsawan adalah para pelindung
gereja.

• Kooptasi. Para

calon penatua dipilih sendiri oleh Majelis Jemaat.

Penatua dan diaken bukan wakil jemaat
• Dukungan

jemaat melalui pencalonan sejumlah nama, adalah untuk
menguji apakah para calon yang dipertimbangkan oleh Majelis Jemaat
dikenal dan dipercaya oleh warga jemaat.

• Tidak

berlaku sistem voting seperti pada sistem partai politik.

• Berlaku

prinsip mereka yang memimpin (di kota/desa) dapat memimpin
di gereja

Struktur gereja cermin dari struktur masyarakat
III.4. Swiss dan Belanda yang Reformed, struktur organisasi gerejanya
mengikuti struktur sosial dan politik masyarakat-nya; karena prinsip yang
berkuasa di gereja haruslah orang yang (telah terbukti) mampu
berkuasa/mengatur masyarakat.
• Swiss

dengan sistem canton (negara kota) menggunakan sistem
pemerintahan gereja yang sama rumitnya dengan sistem canton yang
berlaku, yaitu pembagian kekuasaan yang sangat ketat.

Struktur gereja cermin dari struktur masyarakat
• Ketika

Belanda berbentuk Republik gerejanya sangat menekankan
lokalitas, cenderung ke arah kongregasionalisme.

• Ketika

Belanda menjadi Kerajaan, ada upaya untuk menggabungkan
semua gereja menjadi satu.

• Penyatuan

itu menjadi salah satu pemicu dari perpecahan gereja di
Belanda, dan menimbulkan kerumitan tersendiri di Hindia Belanda
(abad XIX).

. . . gereja negara?
III.5. Dalam tradisi Reformed Swiss dan Belanda, tidak ada gereja
negara.
• Yang ada gereja publik. Gereja masyarakat.
• Gereja publik dikendalikan oleh Majelis Jemaat yang merupakan
representasi pemerintah kota.
• McGrath tidak keliru ketika mengatakan bahwa gerakan Reformasi yang
dominan dan menonjol pada abad XVI adalah Magisterial Reformation.
• Kaum pemimpin, magisterial itu bisa para bangsawan Jerman, bisa dewan
kota Swiss dan Belanda.

Ajaran penting, tapi bukan yang terpenting
III.6. Berbeda dengan yang sering dikatakan oleh kaum Reformed Amerika
(mereka sayap radikal dan ultra konservatif dari tradisi Reformed),
perselisihan soal ajaran dan struktur gereja ternyata bukanlah pokok
teologis yang utama.
di abad XX kita menganggap soal TULIP dan soal sinodal atau
presbiterial sebagai soal penting, maka hal ini merupakan pengaruh
dari perkembangan abad XIX di Belanda dan di Amerika, dengan
kaum Reformed konservatif.

• Bila

Ciri khas Reformed
III.7. Benang merah dari teologi yang menonjol pada tradisi Reformed:
• III.7.a. Kerjasama

kritis dan konstruktif dengan pemerintah untuk kebaikan
dan perbaikan masyarakat

• III.7.b. Perhatian

pada pastoralia dan peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat (sering dikritik sebagai tradisi gereja yang terlalu keras dalam
penerapan disiplin dan kontrol atas kehidupan jemaat)

• III.7.c. Teologi

sosial yang sangat beragam, dan sering menghasilkan
perpecahan gereja.

Reformasi dan pemerintah
III.7.a. Kerjasama kritis dan konstruktif dengan pemerintah untuk kebaikan
dan perbaikan masyarakat.
• Beroposisi

dengan pemerintah bukanlah warisan Reformed, melainkan
kaum Reformasi Radikal.

• Kontrol

ketat pemerintah atas para pendeta dan majelis gereja
dimaksudkan untuk membendung kembalinya dominasi kaum klerus.

• Sekalipun

gerakan Reformasi dimulai sebagai gerakan umat dan kaum
akademisi, namun tak pernah akan berhasil tanpa dukungan pemerintah.

Kerjasama gereja dan pemerintah
III.7.b. Perhatian pada pastoralia dan peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat (sering dikritik sebagai tradisi gereja yang terlalu keras dalam
penerapan disiplin dan kontrol atas kehidupan jemaat).
• Baik

majelis gereja maupun pemerintah (Kristen) memiliki cita-cita yang
sama: membentuk dan memelihara Christian commonwealth.

• Mereka

menerapkan disiplin (Kristiani) baik di gereja maupun dalam hidup
sehari-hari.

• Hal

ini tidak mudah pada abad XVI, dan semakin tidak mudah pada abad
XIX hingga sekarang.

Teologi sosial dan misi
III.7.c. Teologi sosial yang sangat beragam, dan sering menghasilkan
perpecahan gereja.
• Berbeda

dengan yang dipikirkan orang sejak abad XIX tentang tugas utama
(misi) orang Kristen dan gereja adalah pekabaran Injil, gereja-gereja
Reformasi memahami misi sangat beragam.

• Salah

satu yang klasik adalah penyebarluasan Kekristenan dengan cara:
pendidikan di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.

• Pertikaian

tentang misi, pekabaran Injil, aksi sosial adalah persoalan latent.

Beberapa perbandingan
• Contoh

gereja di Swiss dibandingkan dengan gereja di Jerman.

• Contoh

gereja Gereformeerd Belanda dalam masa perlawanan terhadap
Kerajaan Katolik Spanyol (Holy Roman Empire) dibandingkan dengan gereja
Belanda di zaman VOC di Asia.

• Contoh

gereja Hervormd di Belanda dan Protestanse Kerk in Nederlands
Indië pada abad XIX dan awal abad XX.

Protestantisme mapan
• IV. Sudahkah

waktunya gereja-gereja Protestan kita juga dikritik?
Bagaimana melakukan kritik?

• Hal

apa yang patut diperhitungkan untuk pengembangan ajaran dan
organisasi?

• Bukankah

hampir semuanya yang ada pada gereja-gereja Protestan yang
mapan (GPIB, GKI, HKBP, dll) pengambil-alihan dari gereja-gereja Protestan
di masa lalu?

Gereja mapan dan gereja muda
• V. Apakah

gereja-gereja (yang lebih muda): Karismatik dan berbagai
aliran yang baru muncul (yang ajarannya sengaja dibuat tidak terlalu
jelas – karena tidak penting; dan yang organisasinya juga seadanya saja
– karena memang tidak penting juga) merupakan kritik atas kemapanan
gereja-gereja Protestan tua ini?