Green Ekonomi Memperburuk Krisis Iklim
Summary :
Agenda global masih saja di jadikan momentum untuk mencoba keluar dari krisis di
negara‐negara maju.
Krisis ikilm dan lingkungan global yang mengancam keselamatan warga di bumi
terus dimanipulasi melalui skema palsu seperti green economy namun wujud
kolonialisme dalam mempertahankan kepentingan negara‐negara maju selalu saja
melekat di dalamnya.
Green economy merupakan “branding” baru untuk mengkomodifikasi natural asset
dengan pendekatan pasar yang kembali membuat lubang baru dan memperparah
krisis iklim, memperkuat basis social penguasaan lahan dengan wujud “green
grabing” melalui carbon trading dan REDD+ serta sertivikasi hijau yang sudah usang.
Kerja sama bilateral regional dan dunia semisal APEC dan WTO selalu saja menjadi
alat konsolidasi dan pengikat untuk memastikan skema‐skema liberlisasi
perdagangan berjalan untuk memperlancar capital produksi dan kapital finance yang
akan memperburuk kerusakan lingkungan di negara‐negara berkembang.
Arie Rompas
Green Ekonomi
Memperburuk Krisis Iklim, Memperkuat Monopoli Lahan
Oleh : Arie Rompas *
Perubahan iklim, pangkal cerita kemerosotan masalah lingkungan hidup
global.
Pemanasan global merupakan isue yang sering didengungkan oleh berbagai pihak
dalam berbagai event, namun disadari bahwa pemanasan global memang semakin
nyata mengancam planet bumi. Situasi efek pemanasan global yang bisa dirasakan
oleh penduduk bumi adalah suhu permukaan bumi yang semakin meningkat, siklus
cuaca yang tidak menentu dan sering terjadinya badai yang tidak bisa diperkirakan.
Hal tersebut menandakan bahwa perubahan iklim global sedang menunjukan
bahwa kondisi bumi yang sedang bermasalah dan planet bumi yang di kita huni
sudah mulai memasuki ambang kehancuran. Penyebab utama dari pemanasan
global ini adalah meningkatnya efek rumah kaca diamana merupakan fenomena
alam akibat meningkatnya kosentrasi Gas rumah kaca (CO2, Metan, dan CFC) di
atmosfer.
Menilik lebih jauh tentang munculnya gas rumah kaca tentunya tidak bisa di
pisahkan dengan perkembangan ekonomi dan politik yang berkaitan erat dengan
sejarah perkembangan umat manusia dari waktu kewaktu. Kepentingan ekonomi
yang kemudian ditopang oleh pengaruh politik ikut berpengaruh terhadap kondisi
alam dan keseimbangan ekologis. Sejak jaman komunal primitive alam merupakan
sumber ekonomi sebagai sasaran kerja dalam melakukan aktivitas produksi untuk
memenuhi kebutuhan dasar umat manusia. Alam dikelola berdasarkan
perkembangan dan pengetahuan serta alat kerja yang terus berkembang dari hasil
pemikiran manusia. Respon dan kemampuan alam untuk memenuhi kebutuhan
umat manusia termasuk dengan perkembangan populasi penduduk dunia tentunya
terbatas, namun nafsu ekonomi dari manusia yang tidak terbatas telah
mengakibatkan bencana yang dibuat oleh umat manusia itu sendiri yang berujung
krisis yang berkepanjangan.
Masifnya emisi gas ruma kaca (GRK) dimulai dari revolusi industri di inggris pada
abad ke 18 dan awal abad ke 19, diawali dari penemuan mesin uap pada tahun 1712
oleh salah satu tukang besi bernama James Newcome yang kemudian digunakan
secara meluas, termasuk pengunaan batu bara dalam skala industri yang memulai
era baru model pembangunan global dengan ditandai pada perubahan dramatik
disektor pertanian, manufaktur, pertambangan & transportasi, yang menimbulkan
pengaruh luar biasa pada bentang politik‐ekonomi eropa & dunia hingga saat ini.
Efisiensi produksi dengan menggunakan teknologi untuk memenuhi komsumsi dan
barang komoditas masyarakat eropa kemudian menjadi “tuhan” baru yang diikuti
dengan pemangkasan biaya sosial dan ekologis dari neraca produksi untuk
memperoleh akumulasi profit margin yang besar dan mempertinggi kapasitas
jumlah produksi, melipatgandakan infrastruktur dan daya jangkau distribusi yang
luas untuk kepentingan ekonomi, bersamaan dengan itu model pendekatan
kolonialisme melalui pendudukan langsung berubah menjadi model baru (neo
kolonialisme) dengan penguasaan atas sumberdaya alam dengan praktek
pengerukan (extraktif colonialisme) atas bahan galian mineral, bahan mentah dan
menciptakan pengisapan terhadap buruh murah dan perampasan tanah terhadap
kaum tani melalui praktek monopoli tanah. Tidak berhenti di situ, model
kolonialisme juga menyasar pada praktek budidaya dengan menciptakan model
pendidikan untuk mempengaruhi pola komsumsi dan produksi, komoditas dan
target dan distribusi pasar (cultural colonialisme). Untuk mempertahankan dan
melanggengkan kekuasaan, mereka kemudian mengunakan model supratruktur
melalui pendidikan dengan menciptakan tata hukum dan politik yang kesemuanya
untuk kepentingan ekonomi pasar yang mereka ciptakan untuk keuntungan negara‐
negara maju hingga saat ini.
Model ini dipaksakan kepada negeri‐negeri di dunia jajahan dan setengah jajahan
yang kemudian menimbulkan masalah baru. Kehidupan dunia modern hingga saat
ini identik dengan kepraktisan dan efisiensi yang bersifat ketagihan “adiktif”
terhadap bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas alam yang
memunculkan terjadinya ketidak seimbangan lingkungan dan mulai terjadi ketidak
seimbangan antara produksi massal dengan kemampuan daya tampung lingkungan
dan terjadi perombakan pada siklus alam mengakibatkan kemerosatan pada
kualitas air yang berujung pada kualitas hidup warga akibat penyakit metabolisme
yang muncul, kualitas udara yang buruk dan bahan pangan yang bersumber pada
transgeik kimia telah mengancam kehidupan umat manusia di bumi.
Respon terhadap kondisi yang memburuk dan dampak yang dirasakan semakin
mengancam penduduk dunia maka khusus untuk mengawasi sebab dan dampak
yang dihasilkan oleh pemanasan global, perserikatan bangsa‐bangsa (PBB)
membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on
Climate Change (IPCC). Forum ini melakukan riset dan upaya‐upaya untuk mencari
solusi setiap beberapa tahun sekali yang terdiri dari ribuan ahli dan peneliti dari
berbagai penjuru dunia. Protokol kyoto juga menghasilkan salah satu konvensi
tentang Kerangka‐kerja Perubahan Iklim (UN‐FCCC) sejak tahun 1992 namun
hasilnya tidak menegosiasikan reduksi emisi gas rumah kaca sebagai hal utama
tetapi lebih sebagai bagian dari tawar menawar antara negara‐negara utara dan
selatan yang berkompetisi pada kepentingan atas energi dan kepemerintahan yang
dihadapkan dengan masalah‐masalah ekonomi yang bertumbuh, mengembangkan
investasi di masa datang yang akan semakin penting tetapi menjadi lebih sulit. 1
Dalam laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),2 yang
diluncurkan pada 30 september 2013 yang di muat dalam naskah Rangkuman
untuk Para Pembuat Kebijakan (Summary for Policy Makers) Dampak perubahan
iklim di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, diperkirakan akan
meningkatkan ancaman terhadap ketahanan pangan, kesehatan manusia,
ketersediaan air, keragaman hayati, dan kenaikan muka air laut.
Lebih mencengangkan dalam laporan pemodelan iklim dengan yang digunakan
melaui model RCP (reperentatif Concrettioan Pathway) dalam skenariao *>%
mengambarkan radaitiv forcing yang terjadi mencapai 8,5 Watt / m2, diamana
skenario tertinggi yang menggambarkan keadaan dunia dengan pertumbuhan
populasi yang tinggi, namun sedikit sekali aksi signifikan untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca. Skenario ini merupakan refleksi dari realita politik perubahan
iklim yang saat ini terjadi, dimana pertumbuhan emisi gas rumah kaca meningkat
dan diiringi dengan terbatasnya kemauan politis untuk melakukan aksi mitigasi gas
rumah kaca yang drastis dalam waktu dekat. 3
Laporan ini mencakup kajian atas 18 area regional secara global, dimana Asia
Tenggara merupakan salah satunya. Laporan ini juga memberikan gambaran fakta
dan data mengenai iklim, serta perkiraan mengenai pertumbuhan emisi gas rumah
kaca ke depan beserta dampaknya.
Menurut IPCC, kenaikan temperatur global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89oC.
Di kawasan Asia Tenggara, tercatat kenaikan temperatur pada kisaran 0,4 – 1o C.
Diperkirakan kenaikan temperatur di wilayah Asia Tenggara untuk jangka
1
Sonja Boehmer-Christiansen, 1994
IPCCC sebuah panel ahli internasional yang ditunjuk untuk mengkaji aspek‐aspek ilmiah tentang
perubahan iklim dan memberikan masukan kepada UNFCCC.
3
Lihat juga pers rilis yan di sampaikan oleh Indonesia Climate Action Network (ICAN)
2
http://www.wwf.or.id/?29541/Laporan‐IPCC‐ke‐5‐Kelompok‐Kerja‐I‐Perubahan‐‐Iklim‐‐Nyata‐‐Umat‐‐
Manusia‐Menghadapi‐Ancaman‐Serius
menengah di tahun‐tahun mendatang (2046‐2065) akan terjadi pada rentang 1,5‐
2oC. Pada masa‐masa ini, kenaikan temperatur yang paling tinggi akan
terkonsentrasi di daerah‐daerah bagian Barat Laut yaitu di negara‐negara seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja. Hal ini menunjukan bahwa keselamatan rakyat
menjadi prioritas dari upaya untuk melakukan tindakan yang nyata.
Solusi yang tidak berpihak : Proporsi Utara‐ Selatan
Kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim sudah lama memikirkan tentang
solusi dari perubahan iklim, namun sayangnya argumen‐argumen yang
disampaikan tidak berangkat dari kesadaran dan pengakuan gagalnya model
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dimana ketimpangan negara
utara dan negara selatan yang sangat jauh dan tidak memperoleh manfaat yang
besar bagi keselamatan umat manusia dan proporsi keuntungan dari akumulasi
modal bagi negara utara dan selatan.
Solusi‐solusi yang dikeluarkan lebih menguntungkan negara maju dan tidak pernah
mengarah kepada penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer.
Tututan untuk merubah tata komsumsi dan produksi kemudian ditolak oleh negara‐
negara kaya dengan dalih penyelamatan industri dan menghindari melambatnya
pertumbuhan ekonomi mereka.
Solusi yang muncul adalah kompromi dengan membagi dua skema pendekatan.
Pertama, adaptasi yaitu penyesuaian diri terhadap perubahan iklim dan agenda
kedua, mitigasi yaitu mengurangi tingkat dampak perubahan iklim. Agenda pokok
yang selalu dibicarakan adalah upaya‐upaya penyelesaian lewat teknologi dan
pengaturan kembali lahan‐lahan (terutama wilayah hutan) agar terus dapat
menjaga stabilitas atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kehidupan
manusia. Padahal pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah
wilayah pesisir dan populasi di negara selatan yang miskin dan tidak mampu
beradaptasi atas perubahan iklim.
Sementara negara yang tergolong annex 1 yang merupakan pihak yang merupakan
bagian dari sejarah pengerukan sumber daya alam di wilayah kolonialisasi
termasuk di negara‐negara selatan selama ini mendapatkan keuntungan dari
akumulasi pengerukan sumberdaya alam dan penggunaan fosil fuel untuk industri
mereka merupakan pihak yang paling besar mengeluarkan emisi sebesar 83 persen,
sementara pembuangan emisi dari sektor land use change termasuk deforestasi
hanya sekitar 17 persen dari total emisi.4
Ironisnya negara‐negara selatan kemudian dituduh harus bertanggung jawab
terhadap dampak perubahan iklim akibat degradasi hutan tropis karena deforestasi
4
National greenhouse gas inventory data for the period 1990–2010
http://unfccc.int/resource/docs/2012/sbi/eng/31.pdf
dan kebakaran hutan yang ditimbulkan. Padahal target penurunan emisi dan upaya
pemulihan hingga saat ini belum pernah dicapai oleh negara‐negara Annex 1 dalam
target protocol Kyoto yang sudah berakhir pada tahun 2012 lalu. Sementara negara‐
negara non‐Annex yang merupakan sumber bahan‐bahan mentah alami masih
berkutat pada upaya meraup dana‐dana bantuan dan investasi menggunakan
kerangka kerja perubahan iklim5. Padahal upaya penurunan emisi dengan target
tertentu di negara selatan yang dijanjikan sejumlah dana berimplikasi serius bagi
masyarakat setempat diamana sebagian besar negara selatan memiliki karakter
pemerintahan yang sentralistik, otoriter dan korup termasuk Indonesia dimana
dalam berbagai kasus upaya mengejar target pembangunan mulai dari industri
ekstraktif hingga perluasan kawasan konservasi memiliki nuansa pelanggaran
pengorbanan kehidupan warga setempat dan pelanggaran hak azasi manusia.
Skema Green Ekonomi Memperkuat Monopoli Lahan di Indonesia
Ekonomi hijau atau green economy mulai diluncurkan menjadi landasan ekonomi
baru dunia dalam Konferensi Internasional tentang Pembangunan Berkelanjutan
dalam merespon 20‐tahun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi pada bulan juni
tahun 2012 lalu. Dalam konferensi Rio+20 tersebut memasukan konsep ‘green
economy’ (ekonomi hijau) dalam Rencana Aksi ‘The Future We Want’ (Masa depan
yang kita inginkan).
Ekonomi hijau kemudian muncul sebagai gagasan baru untuk mewujudkan era
pembangunan rendah karbon yang menggantikan atau memperkuat jargon
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diluncurkan pada
tahun 1992 melalui KTT Bumi di Rio Jeneiro Brazil. Konsep ekonomi hijau
melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan dimana prinsip utama dari
pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga bisa
dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan
berkelanjutan.
Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam laporannya berjudul Towards Green
Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan social. 6 Ekonomi hijau diharapkan mampu
menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan
kelangkaan sumber daya alam.
5
6
Bantuan untuk iklm di negara‐negara selatan termasuk Indonesia terus di gelontorkan melalui skema utang, hibah dll.
http://www.unep.org/greeneconomy/portals/88/documents/ger/GER_synthesis_en.pdf
Berangkat dari persoalan utama dari model pembangunan global terletak pada
corak produksi yang selalu menciptakan kesenjangan antara kelas di masyarakat
dan penguasaan ekonomi politik dari negara‐negara maju dan negara‐negara
jajahan dan miskin.
Kapitalisme monopoli yang telah memasuki ambang kehancuran akan selalu
mencari varian baru untuk mentransformasi krisis di negera‐negara imprealisme
untuk mencoba keluar dari bayang‐banyang over produksi dan upaya
memperlancar capital finance karena selalu mengabaikan ekonomi ril. Akumulasi
capital yang mereka peroleh dalam tahapan tertentu akan terjadi surplus capital
sehingga mereka harus mengeksportnya ke luar negeri. Alasan utamanya adalah
untuk memproteksi dan menambah pendapatan dari rata‐rata keuntungan dimana
sasaran dari eksport kapital adalah negara‐negara yang terjajah dan setengah
jajahan.
Beberapa skema dalam mengatasi kebangkrutan kapitalisme dan krisis‐krisis yang
dihadapinya selama ini, kaum kapitalis monopoli (kaum imperialis) menyodorkan
berbagai jalan keluar. Skema yang didorong dalam mengatasi krisis finansial global,
dengan mendesak negara‐negara untuk mengeluarkan dana talangan (uang rakyat
yang dikelola negara) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk
mengatasi krisis pangan, mereka mempromosikan jalan keluar dengan menggenjot
produksi dan produktivitas pertanian pangan, dengan mengandalkan perluasan
pertanian skala raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian
(perusahaan‐perusahaan agrobisnis) dengan skema ketahanan pangan yang lebih
mendorong pada ketersedian pangan bukan kedaulatan pangan7. Sementara dalam
mengatasi krisis energi, kaum imperialis mempromosikan penggunaan energi
berbahan bakar nabati, sebagai pengganti energi berbahan bakar fosil (minyak
bumi), yang diperkirakan akan terus menyusut produksinya pada tahun 2020 nanti.
Dengan peralihan pemakaian energi ke energi berbahan bakar nabati, maka
diperlukan perluasan tanah‐tanah perkebunan untuk meningkatkan produksi
energi berbahan nabati yang berimpilkasi terhadap perampasan tanah dan
kerusakan lingkungan karena membuka peluang untuk mendorong ekspansi
perkebunan skala besar dan monokultur, untuk mengikat secara international
kemudian lembaga international seperti IMF, Badan‐Badan PBB, WTO serta badan
finansial dunia seperti Bank Dunia, ADB, dll, menjadi instrumen kelembagaan yang
memaksa indonesia untuk patuh atas kebijakan yang mereka desain.
Konsep green ekonomi sebenarnya lebih pada rebranding pada upaya strategi
ekonomi berkelanjutan yang tidak berjalan selama ini, dimana elemen yang paling
mendasar adalah pembagunan rendah karbon untuk jasa lingkungan hidup, disini
akan memunculkan pihak yang menjadi penjual (sellers) atau penyedia (providers)
jasa dan ada pihak lain yang menjadi pembeli (buyers) atau penerima
7
Baca juga Konsep kedalautan pangan yang di dorong oleh la via campesiana , http://www.spi.or.id/?page_id=282
(beneficiaries) jasa lingkungan hidup. Pembeli dan penjual jasa lingkungan hidup ini
akan bertemu dalam suatu arena transaksi jual beli atau pasar jasa lingkungan
hidup. Agar transaksi ini dapat lebih adil dan mencapai titik optimal, maka
penentuan harga atau nilai ekonomi jasa lingkungan itu wajib ditentukan secara fair
dan terbuka, sesuai dengan metode valuasi ekonomi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.8
Mengkaitkan dengan krisis finasial yang terjadi di amerika serikat pasca tidak
berjalannya kredit perumahan dan infrastruktur yang mengakibtakan over‐
produksi yang terjadi pada tahun 2008 yang di kenal dengan krisis Subprime
mortgage yang kemudian menyebar di negara‐negara eropa yang belum terpulihkan
hingga saat ini. Issue perubahan iklim yang menguat dan dampak pemanasan global
yang semakin nyata menjadi momentum yang tepat untuk membuat satu model
pembangunan yang dilabelkan melalui ekonomi hijau, namun dibaliknya tetap
menggunakan mekanisme pasar sebagai pondasi utamanya. Krisis iklim kemudian
dimanipulasi sedemikian rupa dengan menggunakan pendekatan pasar yang lagi‐
lagi tidak menghancurkan akar fundamental ekonomi politik yang mendorong
terjadinya krisis iklim tersebut justru kembali memperkuat imprealisme dalam
mentransformasikan krisis dan capital finance di negara‐negara selatan.
Ekonomi hijau kemudian mendompleng segala inisiatif hijau dengan
mengkomodifikasi jasa lingkungan menjadi onggokan komoditas yang bisa di
perdagangkan. Salah satu instrumnya adalah model REDD+ yang di kembangkan di
Indonesia dan disokong dalam berbagai pertemuan dan negosiasi iklim global.
Pasca nilai ekonomi hutan telah habis dalam hitungan tegakan kayu kemudian
melihat “carbon hutan” sebagai salah satu kompenen Gas Rumah Kaca (CO2)
menjadi komoditas baru yang bisa diperdagangkan dengan mengukur nilai dengan
“currency” (mata uang) untuk mempermudah terjadinya eksport capital.
Beberapa inisiatif muncul dengan kampanye “green” yang diterima gegap gempita
oleh Indonesia pasca pertemuan COP 13 yang menghasilkan “Bali Raod map” pada
tahun 2007 di Bali. Presiden Amerika Serikat Barack Obama kemudian menjadikan
Indonesia sebagai patner terbaik dalam upaya memerangi perubahan iklim dan
sang tuan Presiden SBY cukup senang dengan mengumumkan komitmen Indonesia
untuk menurunkan emisi 26 % hingga 42 % dengan bantuan pihak luar yang di
sampaikan dalam pidatonya di pertemuan G‐20 di pitsburg jerman.
Hal ini juga kemudian mendorong berbagai insiatif kerja sama antara Indonesia
dengan kerajaan Norwegia melalui Leter of Intent (LOI) pengurangan emisi dari
deforestasi dan perbaikan lahan gambut dimana indonesia mendapat bantuan 1
milyard US, begitu juga inisiatif antara pemerintah Australia dan Indonesia melalui
8
Ekonomi Hijua, Evolusi Konsep pembangunan berkelanjutan: Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Professorial
Fellow di InterCAFE dan MB-IPB.
proyek Indonesia‐Australia Forest Carbon Patnership (IAFCP) sebesar 40 Juta AUD,
di susul dengan kerja sama antara pemerintah Amerika dan Indonesia dalam 5
paket kerja sama salah satunya adalah di bidang perubahan iklim dan energi bersih,
kerja sama indonesia dengan pemerintah jepang , UE, Perancis dan terakhir Jerman
semuanya dalam kerangka perubahan iklim. Disisi lain ternyata berbagai inisiatif
perubahan klim juga di peroleh dari dana utang yang sejak 2007 pemerintah terus
menarik dana penanganan perubahan iklim melalui hutang luar negeri. Data
terakhir KAU, pada 2009 hutang luar negeri Indonesia untuk perubahan iklim
mencapai 2,3 milyar dolar AS (68%), Sementara dana perubahan iklim yang sifatnya
hibah (grant) hanya 1,1 milyar dolar AS (32%).
Disisi lain pihak swasta dan TNC memperkuat skema usang dengan model
sertifikasi yang berlabel “green” yang seolah peduli terhadap lingkungan namun
bungkusnya masih tetap sama yaitu pengusaan wilayah melalui konsesni yang luas,
Bebagai persolaan lingkungan kemudian di simplikasi dengan sertifikasi baik di
motori oleh pemerintah maupun insiatif pasar namun yang tidak pernah merubah
prakteknya di lapangan, inisiatif tersebut seperti RSPO, SUSPO, FLEGT VPAs yang
bertransformasi menjadi SLVT (sertifikasi legalitas kayu).
Salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan pulp
paper Golden Agri‐Resources Limited (GAR) dan anak perusahaannya PT SMART
Tbk (SMART), mengumumkan Kebijakan Konservasi Hutan (KKH) yang akan
mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat yang bergantung
terhadap hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka9, namun faktanya tetap
saja basis penguasaan konsensi di bawah control mereka, begitu juga pemerintah
Indonesia melalui Kementrian Kehutanan mengeluarkan satu skema ijin di kawasan
hutan dengan model IUPHK‐RE yang modelnya sama dengan HPH namun basis
komoditasnya yang berbeda dimana carbon di hitung sebagai komoditas untuk di
perdagangkan namun penguasaan wilayah tetap di bawah control pengusaha yang
mentransformasi bisnis dari yang dulu sebagai perusak hutan menjadi penjaga
hutan. Kondisi ini tentunya akan meminggirkan masyarakat yang hidup dan
mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupannnya.
Situasi ini semakin memperkuat pengusaan tanah oleh imprealisme di Indonesia,
mereka selalu memproduksi ruang untuk bahan komoditas pasar yang mereka
rancang dan persiapkan melalui kebijakan maupun model pembangunan10. Tujuan
9
Skema High Carbon Stock Forest Conservation yang di kembangkan oleh SMART dalam mendukung
skema suistanable palm oil : http://www.smart‐tbk.com/sustainable_hcs.php
10
Arianto Sangaji : Kapitalisme dan Produksi Ruang dimuat dalam media online indoprogress.com
http://indoprogress.com/kapitalisme‐dan‐produksi‐ruang/
utamanya adalah terus memperkuat basis social monopoli tanah untuk mengeruk
keuntungan dari sumberdaya alam yang melimpah di Indonesia sebagai bahan baku
untuk menyokong industri di negara maju, perluasan lahan konservasi merupakan
asset dan land banking untuk menghindari biaya produksi dalam waktu bersamaan
dan modal di kemudian hari.
Menilik lebih jauh praktek keruk abis sudah dilakukan jauh sebelumnya dimana
pasca kemerdekaan sejak jaman soeharto skema penguasan hutan melalui ijin Hak
Pengusaan Hutan (HPH) merupakan pondasi utama untuk memperkuat pengusaan
tanah dengan memberikan konsensi yang begitu luas hingga jutaan hektar bagi para
konglomerat rakus yang menguasai hampir seluruh wilayah hutan di pulau‐pulau
besar di Indonesia seperti Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Papua hingga
puluhan tahun yang hingga saat ini beberapa konsesi tersebut masih mengusai
wilayah karena ijin dan kontraknya belum habis.
Paska hutan di Indonesia mulai habis, masuk komoditas sawit yang didorong oleh
kebutuhan biofuel dunia dan di perparah oleh kebijakan otonomi daerah untuk
desentralisasi kewenangan yang diboncengi kepentingan pasar untuk
mempermudah masuknya investasi ke daerah dalam melakukan negosiasi di tengah
buruknya tata kelola pemerintahan tingkat local yang memperburuk krisis
lingkungan, meningkatkan konflik agraria, deforestasi dan bencana ekologi. Begitu
juga investasi di sector mineral dan batu bara yang menjamur bak cendawan di
musim hujan yang dikeluarkan oleh birokrat local yang terkoneksi dengan pengaruh
politik meraih kekuasaan dan akumulasi modal.
Secara fundamental, corak produksi feodalisme dengan basis sosial pengusaan
tanah terus di pelihara oleh imprealisme di Indonesia karena memiliki keuntungan
yang berlipat ganda bagi mereka dan mampu mempertahankan krisis yang mereka
alami sehingga sejak pasca kemerdekaan terus dipertahankan dan dilanjutkan
dengan berbagai bentuk model dan skema di Indonesia.
Eksistensi penghisapan feodal tidak hanya berlangsung di dalam pertanian tanaman
pangan dan dalam sistem perdagangan ala feodal semata, akan tetapi juga dengan
terang dapat dilihat dalam sejarah monopoli tanah oleh para tuan tanah besar baik
oleh pemerintah boneka secara langsung maupun oleh tuan tanah besar
perseorangan dalam bentuk pengusaan hutan (HPH/ HTI), perkebunan‐perkebunan
besar monopoli, Ijin pertambangan (Kontrak karya dan KP) yang hingga saat ini
tetap dipertahankan, bahkan dilindungi dengan berbagai kebijakan dan aparat
keamanannya.
Dalam kenyataanya, praktek pengerukan sumberaya alam di Indonesia masih
secara massif dilakukan oleh negara‐negara maju baik melalui investasinya maupun
melalui perusahaan Trans Nasional Corporation (TNC) dan perusahan negara dan
local yang berkoneksi dengan negera‐ negara maju tersebut. Investasi milik asing
yang selama ini berjalan tidak pernah tersentuh bahkan terus dilindungi, seperti
eksploitasi Migas oleh perusahaan milik AS diantaranya Exxon mobil, Caltex, Unocal,
Freeport, Newmont dll, masih terus mengeruk migas dan mineral di Indonesia.
Sementara model “green” yang di tawarkan pada intinya tetap menggunakan skema
pengusaan lahan dalam model pengembangan yang dipraktekan selama ini seperti
Taman Nasioanal, Hutan Lindung dan kemudian konsensi model Restorasi
Ekosistem atas nama konservasi terus menggunakan skema penguasaan tanah.
Sejak lama Amerika serikat dengan dana nya melalui USAID terus mengupayakan
perluasan wilayah Taman Nasional di Indonesia dan terakhir mengumumkan
program Debt‐for‐nature swap dalam kerangka Tropical Forest Conservation Act
(TFCA) 2 senilai 28,5 juta Dollar Amerika yang akan dipergunakan untuk membantu
upaya pelestarian hutan dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia khususnya di
Kalimantan. Dalam mengimplementasikan program TFCA II tersebut, kedua negara
didukung oleh dua swap partners, yaitu The Nature Conservancy dan WWF. Pihak
Bank dunia yang dulunya banyak berperan mensupali investasi di sector kehutanan
yang malah mendorong pada kehancuran hutan di Indonesia kemudian
mengumumkan pendanaan baru yang disumbangkan oleh Finlandia, Jerman, dan
Norwegia total sebesar US$180 juta kepada Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan
(FCPF) yang diadministrasikan Bank Dunia11. Tercatat ada 39 proyek REDD di
indensia yang didukaung oleh berbagai lembagaan pendanaan Negara maju seperti
GIZ, JICA, USAID, AUSAID, NORAD, UKAIDyang diimplemntasikan oleh lembag
konservasi internatioan seperti CI, WWF, FFI dan TNC termasuk perushaan‐
perushaan okal dan perusahan pialang carbon12. KFCP yang awalnya di dorong oleh
BHP Biliton kemudian juga mengunakan skema Ofset melaui kerjasama bilateral
dengan pemerintah indonesai melaui IAFCP yang kemudian mengusasi 120.000 ha
di wilyah masayrakat Dayak ngaju di Kalimantan tengah.
Bukan hanya menyasar di sector kehutanan, mereka juga menyasar sector kelautan
dengan membangun agrumentasi akademis dan kesepakatan dalam forum
international 13 yang mereka control untuk memasukan sektor kelautan sebagai
penghasil karbon sehingga bisa dimasukan dalam skema perdagangan carbon.
11
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/14/2/122553/Bank‐Dunia‐Umumkan‐Pendanaan‐Baru‐
untuk‐Atasi‐Perubahan‐Iklim
12
Data proyek REDD Forest Carbon Asia yang diunduh dari situs http://www.forestcarbonasia.org/activities/forest‐carbon‐projects/
Salah satu rekomendasi dalam deklarasi WOC (World Ocean Conference ) memasukan skema carbon untuk bisa di sandingkan
dalam kerangka konvesi PBB untuk perubahan iklim dan bali Road Map
13
REDD+: Mereduksi emisi dari deforestasi atau proyek green grabing
Salah satu penyeb terjadinya perubahan iklim adalah pengundulan dan
pengrusakan hutan yang memunculkan diskusi tentang REDD (Reducing emision
From Deforestasi dan forest degardation). Hal ini kemudian dijadikan inisiatif
global yang bertujuan memberikan kompensasi melalui pasar karbon global untuk
negara‐negara yang berhasil mengurangi tingkat emisi nasional dengan
menghentikan dan membalikkan penggundulan dan degradasi hutan dimana negara
penghasil emisi GRK (gas rumah kaca) penyebab perubahan iklim bisa memberikan
dana sebagai kompensasi pengurangan GRK kepada negara‐negara penyerap
karbon yaitu kawasan yang masih memiliki hutan yang kebanyakan merupakan
negara‐negara berkembang akan berusaha mencoba menjaga lahannya, dan sebagai
kompensasinya negara penghasil emisi yang umumnya negara‐negara industri akan
membayar apa yang telah mereka keluarkan.
Konsep REDD pertama kali muncul pada KTT Perubahan Iklim ke‐11 di Montreal,
Kanada pada 2005 dan menjadi agenda pembahasan bersama di tingkat global.
Pihak yang pertama mengajukan propsal ini adalah Papua New Guinea dan Costa
Rica yang didukung oleh delapan Pihak yang tergabung dalam Coalition for
Rainforest Nations (CfRN) mengajukan proposal tentang insentif untuk pencegahan
deforestasi atau dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in
Developing Countries (REDD). COP ke‐11 mengundang para Pihak dan peninjau
terakreditasi (accredited observers) seperti NGOs, untuk mengajukan pandangan‐
pandangan nya kepada Subsidiary Body on Scientific and Technical Advice (SBSTA)
tentang RED dalam proses selama dua tahun untuk disepakati pada COP ke‐13 di
Bali. Sedangkan agenda REDD pada COP ke‐15 di Kopenhagen yaitu agar dapat
disepakati mengenai modality, aturan dan prosedur implementasi REDD namun
tidak pernah tercapai hingga saat ini.
Di indonesia salah satu perdebatan yang terjadi adalah solusi REDD+ sebagai
langkah untuk melakukan perubahan di sektor kehutanan dan menurunkan emisi
dengan cara menghentikan deforestasi. Subtansi yang paling mendasar adalah
sumber utama terjadinya deforestasi dan degradasi hutan berasal dari model
pembangunan Indonesia yang bertumpuh pada ekstraktif terhadap sumber daya
alam. Deforestasi ini terjadi akibat aktivitas investasi yang membabat hutan skala
luas dan massif dimana hal ini juga terkait erat dengan perijinan yang diberikan
oleh pemerintah berupa HPH (IUPHA‐HTI), Perkebunan sawit dan pertambangan
adalah akar dari deforestasi. Dalam sekala yang lebih luas praktek penghancuran
hutan ini bukan saja mengakibatkan terjadinya pelepasan emisi tetapi juga
menyebabkan kerusakan ekosistem, bencana ekologi, pelanggaran hukum dan
konflik agraria dan sumber daya alam yang berkepanjangan.
Walhasil upaya untuk mereduksi emisi dari sektor kehutanan tidak pernah
diarahkan pada sumber utama terjadinya deforestasi tersebut, namun lebih
membicarakan soal mekanisme pendanaan melalui skema REDD+ yang meliputi
konservasi, managemen yang berkelanjutan dan upaya peningkatan karbon stock.
Yang menjadi pertanyaan mendasar dimana upaya pemerintah untuk mengentikan
upaya deforestasi dari sisi investasi yang merupakan sumber deforestasi tersebut?
pada kenyataanya perijinan untuk perkebunan sawit, pertambangan dan HPH/ HTI
masih terus saja diberikan oleh pemerintah.
Kalimantan tengah, merupakan salah satu mosaic dari kekarutmarutan pengelolaan
hutan dimana kebijakan tata ruang yang tidak pernah di tuntaskan mengakibatkan
tingkat deforestasi yang tinggi14, pengusaan wilayah yang timpang dimana hampir
87 % dikusai oleh investasi sepertia pertambangan, perkebunan sawit, IUPHK‐HA/
HTI, selebihnya hutan lindung dan Taman Nasional,15 Kondisi ini juga menimbulkan
tingkat konflik agraria yang tinggi ditengah kawasan hutan merupakan wilayah
yang luas dan lahan gambut yang tersesebar luas. Ironisnya Kalteng justru di pilih
sebagai pilot provinse REDD oleh presiden di akhir tahun 2010. Selama 2 hampir
tiga tahun perjalanan Kalteng sebagai pilot province tidak ada kemajuan yang
significant yang di hasilkan, justru persoalaan kehutanan masih terus berlanjut
bahkan pemerintah kalteng melaui proyek MP3EI merencanakan pembangunan rel
kreta api yang akan mempercepat pengerukan sumber daya alam di di wilayah
chatment area (tangkapan air) di hulu Kalimantan Tengah.
Proyek KFCP yang di jalankan di Kalteng bahkan di nilai gagal oleh berbagai pihak
karena tidak mencapai target ambisius yang dijanjikan, sehingga Pemerintah
Australia menghentikan proyek tersebut dan sedikit tidaknya mempengaruhi
pemerintah Australia pasca menangnya kubu konservatif yang mendudukan Tonny
Abbot sebagai perdana mentri baru dan dia berjanji untuk mengurangi kebijakan
bantuan luar negeri karena tidak mendapatkan keuntungan dalam negeri
pemerintah australia16. Sementara di tingkat tapak proyek ini terus mengalami
kontroversial dan menciptakan konflik karena pendekatan dan relasi yang dibangun
tidak melibatkan masyarakat setempat, sehingga memunculkan persolaan dengan
masyrakat Dayak Ngaju di sekitar pelaksanaan proyek seluas 120.000 ha.
Berbagai proyek muncul di Kalteng dengan skema konservasi dengan pendekatan
model REDD+ melalui Taman Nasional, skema Restorasi Ekosistem dengan
volenteri market. Lembaga konservasi intertional WWF mengusulkan HOB (heart of
borneo) sebagai bagian dari skema Debt Swap Nature dari proyek USAID dan juga
menjalan skema REDD di Taman Nasional Sebangau17. Sumitomao mengunakna
skema REDD+ Project through Preventing Large Scale Peatland Fire in the Central
Kalimantan, Mitsubsihi New Mechanism FS for REDD+ in Central Kalimantan
Province, Hutan Amanah Lestari milik Jusuf Kalla juga tidak ketinggal untk
mengajukan sekan Restorasi ini di wilyah Eks PLG di Kalteng. Sebelumnya di bidang
14
Kalteng merupakan provinsi paling tinggi angka deforestasinya, provinsi Kalteng 128, 648 ha/tahun periode 2006‐2009
(kemenhut 2011)
15
Data Walhi pengusaan wilayah Kalteng mencapai 87 % wilayah sudah dikuasai oleh ijin konsesni, Taman Nasional dan hutan
lindung.
16
http://m.thejakartapost.com/news/2013/09/08/australias‐new‐govt‐vows‐limit‐foreign‐aid.html
17
Daftar proyek REDD http://www.forestcarbonasia.org/activities/forest‐carbon‐projects/
restorasi ekosistem pada tahun 2009 ada 7 perusahaan yang mengusulkan skema
ijin Restorasi Ekosistem namun hanya dua yang mendapat restu ijin dari
Kementrian Kehutanan dan suda mulaimerancang dengan serius aktivitas mereka
yaitu PT. Rimba Makmur Utama di Kabupaten Katingan seluas 217.755 Ha dan
Rimba Raya Conservation di Kabupaten Seruyan wilayah penyanggah Taman
Nasional Tanjung Putting. Perusahaan ini menimbulkan banyak kontroversi karena
mengklaim sudah mendapat ijin dari pemerintah Indonesia seluas 80.000 ha dan
mengumumkan secara terbuka sela‐sela Konferensi Perubahan Iklim di Doha, Qatar.
Padaha ijin secara hukum belum diperoleh dari Kementrian Kehutanan. Perusahaan
ini merupakan perusahaan yang di sponsori oleh infinite earth yang berbasis di
Hongkong dan di modali oleh Gazprom Market and Trading dan the Clinton
Foundation.
Salah satu upaya pemerintah adalah terbitnya Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang
penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer
dan lahan gambut yang juga merupakan salah satu langkah dalam upaya
menurunkan deforestasi dan degradasi hutan yang merupakan salah satu isi
perjanjian antara indonesia dengan norwegia yang tertuang dalam Letter of Intent
(LOI). Pada kenyataannya Inpres ini hanya merupakan “lips service” bagi pihak
norwegia yang menjanjikan dana US 1 Miliyar dengan mekanisme penurunan emisi
dari sektor kehutanan. Inpres ini banyak disertai kelemahan antara lain dari status
hukumnya sangat lemah karena hanya merupakan instruksi presiden yang tidak
masuk dalam struktur perundang‐undangan di Indonesia sehingga tidak memiliki
konswekensi hukum yang tegas dan mengikat. Disisi lain istilah hutan alam primer
tidak ada dalam istilah hukum di Indonesia termasuk norwegia sehingga Inpres ini
cacat hukum dan juga mengaburkan objek moratorium tersebut. Sedangkan objek
moratorium dalam kebijakan ini justru statusnya sudah merupakan hutan lindung
dan Taman Nasional yang sudah dilindungi melalui kebijakan yang lebih tinggi.
Yang paling mencemaskan adalah klausul pengecualian kebijakan ini dimana
perizinan yang sudah diterbitkan dan mendapat persetujuan prinsip dari menteri
kehutanan dan objek vital nasional tidak termasuk dalam kebijakan inpres
penundaan ijin sehingga bisa dimanfaatkan untuk mempercepat penghancuran
hutan yang ada luar objek tersebut. Kalimantan tengah sebagai pilot privinsi REDD+
yang di tunjuk oleh presiden SBY pada akhir tahun 2010 merupakan gambaran yang
nyata atas ketidak efektifan inpres tersebut diamana perijinan di Kalimantan tengah
pada tahun 2011 sudah mencapai 12, 8 juta hektar yang akan sangat besar
berpotensi melakukan konversi hutan yang akan mengakibatkan pelepasan emisi
yang lebih besar daripada wilayah‐wilayah yang masuk dalam objek moratorium
tersebut, sementara didalam objek moratorium yang merupakan hutan primer dan
kawasan gambut tersebut sudah terdapat 136 izin perkebunan sawit seluas
1.017.899 hektar dan 78 izin pertambangan seluas 249, 599 hektar berada di
kawasan moratorium sedangkan sisanya merupaka kawasan hutan lindung dan
Taman Nasioanal Sebangau dan Taman Nasional Tanjung Putting. Hal ini
mengindikasikan wilayah yang Akan di lindungi melalui kebijakan Inpres ini
ksususnya di Kalimantan tengah cakupannya sangat kecil.
Agenda APEC Dan WTO untuk memperkuat kerja sama bilateral
memanipulasi krisis iklim.
Indonesia pada tahun ini menjadi Tuan rumah dari pelaksanaan forum ekonomi
regional dan international melalui agenda pertemuan APEC dan WTO dimulai bulan
oktober hingga desember tahun 2013 ini. Melihat hal ini Indonesia di pandang
sebagai wilayah yang strategis bagi ekonomi regional dan global, di mulai masuknya
indoneis dalam forum G 20 sebagai forum neger‐negra maju dalam perkembang.
Secara global APEC dan WTO adalah agenda imprealisme dimana telah selesainya
sistem kapitalisme modern dan membagi dunia dinatara neger‐neger imprealisme
18 . APEC merupakan skema ekonomi regional di kawasan Asia Pasific untuk
memastikan negara‐negara dalam kawasan regional untuk mempererat kerja sama
ekonomi walupuan tidak mengikat, sementara WTO lebih luas dimana teradapat
155 negara yang menjadi anggotanya dan terikat dengan skema‐skema WTO
termasuk indonesia yang sudah meratifikasi dan memasukan dalam regulasi dengan
diterbitkannya Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Dalam Pertemun APEC di Bali akan membahas agenda yang akan menjadi
pembahasan di KTM 9 WTO di Bali, disebut dengan nama Bali Package (Paket Bali).
Dimana akan ada 3 isu utama yang akan di bahas yaitu: Agriculture (pertanian),
Least Develop Countries Issues (Masalah‐masalah negeri yang kurang berkembang)
dan Trade Facilitation (Fasilitas perdagangan). Hal ini terus diupayakan dalam
beberapa perkembangannya semenjak deadlocknya Putaran Doha, Trade facilitation
akan menjadi agenda yang menjadi prioritas pembahasan, dalam rangka
menuntaskan putaran Doha. Dimana sejak awal WTO merupakan agenda utama
negara‐negara maju untuk mendorong liberliasai ekonomi untuk meng akumulasi
dari produk‐produk negara‐negara maju tersebut.
Salah satu yang seharusnya menjadi prioritas dalam agenda WTO adalah isu
lingkungan yang merupkan issue global dan dalam text mukadimah WTO, sudah
menyebutkan perlindungan terhadap lingkungan hidup :
“ The Parties to this Agreement,
18
Bab ke VIII dari "Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme" V.I. Lenin (1916) Terjemahan
Ted Sparegue
Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour
should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full
employment and a large and steadily growing volume of real income and effec