PAI dan Karakter Bangsa docx

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah ini dapat selesai. Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah. Makalah ini
dalam proses penyelesaian banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Sumedang,
Penulis,

Agustus 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan generasi muda sebagai penerus pembangunan Indonesia semakin menunjukan
keprihatinan. Dalam kemajuan teknologi dan globalisasi para generasi muda ini cendrung lebih
mendapatkan efek negatif dari pada positif. Fakta memprihatinkan di antaranya semakin
maraknya kenakalan remaja berupa seks bebas, penyalahgunaan narkotika, tawuran, hingga

tindak kriminal lainnya.
Pendidikan mengandung pengertian “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik” (KBBI online; http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi).
Dalam menyikapi keadaan generasi muda yang jauh dari nilai-nilai keteladan tentunya
diperlukan pendidikan yang tepat, khususnya Pendidikan Agama Islam dan Karakter Bangsa.
Pendidikan Agama Islam (PAI) diharapkan dapat memberikan pedoman dalam menjalani hidup
yang senantiasa selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadist.
Diharapkan akan mampu mewujudkan generasi muda dengan akhlak mulia. Sementara melalui
Pendidikan Karakter Bangsa yang dapat diselarasakan dengan PAI selain siswa memiliki aneka
sikap terpuji juga mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan untuk pembangunan Indonesia
yang lebih baik.
Kesemua hal itu sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar tahun 1945 agar
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta meningkatkan
akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga sejalan dalam UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.

B. Rumusan Masalah
Didasari latar belakang di atas maka rumusan masalah umum pada makalah ini
adalah “Bagaimana mendeskripsikan PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al
Hadist?”. Sedangkan rumusan masalah secara rinci sebagai berikut.
1. Bagaimana mendeskripsikan pengertian PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al
Quran dan Al Hadist?
2. Bagaimana mendeskripsikan tujuan PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran
dan Al Hadist?
3. Bagaiamana mendeskripsikan proses PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran
dan Al Hadist?
4. Bagaimana mendeskripsikan evaluasi PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al
Quran dan Al Hadist?
C. Tujuan
Didasari latar belakang di atas maka tujuan umum pada makalah ini adalah
“Mendeskripsikan PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al Hadist?”.
Sedangkan rumusan masalah secara rinci sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan pengertian PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al

Hadist.
2. Mendeskripsikan tujuan PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al
Hadist.
3. Mendeskripsikan proses PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al
Hadist.
4. Mendeskripsikan evaluasi PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al
Hadist.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al Hadist
Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat
beragama. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk
mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat.
Pendidikan memiliki arti sebagai “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;
proses, cara, perbuatan mendidik” (KBBI online; http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi). Dalam
bahasa Arab terdapat beberapa kata yang merujuk kepada pendidikan, sebagai berikut (Rosnani
Hashim dan al-Attas dalam Stapa, dkk: 2012).

1) Tarbiyyah
Kata tarbiyyah berasal dari kata dasar ‘rabba’ (mengasuh, memelihara atau
memimpin). Kata ini juga merujuk kepada proses perkembangan potensi individu,
mengasuh atau mendidik untuk menuju kepada satu keadaan yang dewasa/mandiri.
2) Ta’lim.
Kata ta’lim berasal dari konotasi ‘alima (mengetahui, memberitahu, melihat,
mencerap, menganggap). Ia merujuk kepada proses menyampaikan atau menerima ilmu
pengetahuan yang kebiasaannya didapati melalui latihan, arahan, tunjuk ajar atau lainlain bentuk pengajaran.
3) Ta’dib
Kata ta’dib berasal daripada kalimah aduba (memperhalusi, berdisiplin dan
berbudaya). Ia merujuk kepada proses pembinaan watak dan pengajaran asas-asas
penting untuk hidup bermasyarakat, ini termasuklah memahami dan menerima prinsip
yang paling asas sekali yaitu keadilan.
Di dalam Al-Quran jelas Allah Swt. Memerintahkan umatnya untuk terus belajar. Hal
tersebut dibuktikan di dalam wahyu yang pertama diturunkan kepada Rasulullah Saw dalam
Surah Al-Alaq ayat 1-5 sebagai berikut.

“Bacalah (Wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan
(sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku. Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia melalui pena dan

tulisan, ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat ini memberi isyarat dan perintah yang amat jelas dalam bidang pendidikan. Perkataan iqra’
(bacalah) yang disebutkan oleh malaikat Jibrail as berulang-ulang kali kepada Rasulullah saw
menegaskan supaya umat manusia belajar, mengkaji dan mencari ilmu. Jika diteliti secara lebih
mendalam, ayat ini mendidik dan mengajak orang yang beriman supaya menjadi orang yang
berilmu. Petunjuk awal ini jugalah yang telah mendorong Rasulullah Saw. menjadikan aspek
pembinaan peribadi cemerlang fisik, mental dan spiritual mendahului segala agenda lain yang
bersifat duniawi dan material.
Dari sudut pandangan Islam, mencari ilmu dan mengajarkannya adalah satu kewajiban
yang sangat mulia, oleh karena itu mencari ilmu adalah satu kewajiban bagi setiap muslim. Lebih
tegas lagi, Islam mewajibkan bagi setiap umat Islam untuk menuntut ilmu sebagaimana sabda
Rasulullah saw (Ibn Majah t. th. 1) yang bermaksud “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban ke atas
setiap orang Islam.” Sabda Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa kewajiban menuntut ilmu
bukanlah eksklusif kepada golongan tertentu sahaja bahkan kewajiban tersebut adalah ke pada
seluruh umat Islam. Allah Swt. tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum itu sehingga mereka
berusaha untuk mengubahnya sendiri, dan di antara cara yang terbaik untuk menyelesaikan
masalah tersebut adalah dengan ilmu yang boleh didapati daripada proses pendidikan.
Terdapat juga beberapa hadis yang menunjukkan tentang kepentingan pendidikan kepada
umat Islam. Sebagai contohnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Abu
Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda (Bukhari t.th. 5) yang bermaksud “Tiap-tiap kanak-kanak

itu dilahirkan dalam keadaan suci, maka ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi atau
Nasrani atau Majusi.” Hadis ini menerangkan bahawa orang tua memainkan peranan yang cukup
penting dalam pendidikan awal seperti membentuk asas-asas perkembangan diri seseorang anak.
Pendidikan karakter bangsa dapat ditelaah pengertiannya dari dua sub kata yaitu
pendidikan karakter dan karakter bangsa. Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik
guna membangun karakter pribadi dan/ atau kelompok yang unik baik sebagai warga negara.
Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tercermin

dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil.
Jadi, pendidikan karakter bangsa adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mendayagunakan
peserta didik sebagai warga negara yang memiliki perilaku kolektif kebangsaan.
Pendidikan karakter kebangsaan juga terdapat dalam Al Quran, khususnya rasa cinta
tanah air. Dalil tersebut terdapat Surah Al Baqarah ayat 126, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari
kemudian”. Rasa cinta tanah air juga dapat diteladani dalam kisah hijrah Rasulullah, Saw. Saat
beliau meninggalkan Mekah, beliau berdoa “Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada
kami, sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih” (HR Bukhari,
Malik dan Ahmad).


B. Tujuan PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al Hadist
Tujuan pendidikan agama tidak terbatas pada individu manusia tetapi juga pada usaha
pembangunan sebuah bangsa dan keseluruhannya. Dan, tugas semua pendidikan adalah membina
manusia susila, manusia yang berahlak atau dengan kata lain memanusiakan manusia.
Pendidikan agama di dalam suatu masa perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti
membina anak didik untuk berkelakuan benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan
moralnya. Karena perubahan atau kehancuran struktur-struktur sosial lama dan tumbuhnya
keadaan-keadaan baru, maka lebih dulu diperlukan manusia-manusia yang mempunyai
keberanian hidup yang bersedia mampu hidup diatas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri
tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar.
Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat
beragama. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk
mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat. Namun
harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguh-sungguh
setelah

berlalunya


satu

generasi.

Pendidikan

harus

dibarengi

dengan

terbentuknya

Kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan
Kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan proses pendidikan yang diperlukan.
Para ahli mengemukakan pendapatnya tentang tujuan pendidikan agama Islam sebagai
berikut
1) Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang
sempurna dengan ciri-ciri:

a. Memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan
b. Memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan
tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains;
memiliki dan mengembangkan filsafat
c. Memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah
SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam
gaib.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang paling
Taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS.AlHujurat : 13)
2) Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membina insan
paripurna yang bertaqarrub kepada Allah, bahagia di dunia dan di akhirat. Tidak dapat dilupakan
pula bahwa orang yang megikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang dipelajarinya
dan kelezatan ini pula yang dapat mengantarkannya kepada pembentukan insan paripurna.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS.Ali Imran :

190-191)

3) M Athiyah al-Abrasy, mengemukakan bahwa tujuan Pendidikan dan pengajaran adalah
sebagai berikut.

a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.
b)

Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak didik dengan segala

macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan
rasa fadhilah (keutamaan).
c)

Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu

kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS.Luqman :18)

d)
e)

Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam memiliki dua orientasi yang seimbang, yaitu memberi persiapan bagi

anak didik untuk dapat menjalani kehidupannya di dunia dan juga kehidupannya di akhirat.
f)

Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.

g)

Pendidikan Agama Islam tidak bersifat spiritual, ia juga memperhatikan kemanfaatan

duniawi yang dapat diambil oleh siswa dari pendidikannya.
h)

Menumbuhkan roh ilmiah ( scientific spirit ) pada pelajar dan memuaskan keinginan hati

untuk mengetahui ( curiosity ) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai sekedar ilmu.
Dengan demikan, Pendidikan Agama Islam tidak hanya memperhatikan pendidikan agama dan
akhlak, tapi juga memupuk perhatian kepada sains, sastra, seni, dan lain sebagainya, meskipun
tanpa unsur-unsur keagamaan didalamnya.
i)

Menyiapkan pelajar dari segi profesinal, tekhnis, dan dunia kerja supaya ia dapat

menguasai profesi tertentu.
4) Drs. Ahmad D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan, yaitu tujuan sementara dan
tujuan akhir.
a)

Tujuan sementara. Yaitu sasaran sementara yang harus dicapai oleh umat Islam yang

melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara artinya tercapainya berbagai kemampuan
seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, dan ilmu-ilmu lainnya.
b)

Tujuan akhir. Yaitu terwujudnya kepribadian muslim yang mencakup aspek-aspeknya

untuk merealisasikan atau menceminkan ajaran agama Islam.

5) Zakiah Darajat membagi tujuan Pendidikan Agama Islam menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
a)

Tujuan umum. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan

pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.
b)

Tujuan akhir. Tujuan akhir adalah tercapainya wujud kamil, yaitu orang yang telah

mencapai ketakwaan dan menghadap Allah dalam ketakwaannya.
c)

Tujuan sementara. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak diberi

sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
d)

Tujuan operasional. Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan

sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
5) Tujuan Pendidikan Agama Islam yang merupakan sebuah Rumusan dari Kongres Pendidikan
Islam se Dunia di Islamabad tahun 1980 dan hasil keputusan seminar Pendidikan Islam se
Indonesia taggal 07 sampai 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor.
a)

Rumusan yang di tetapkan dalam kongres se Dunia tentang Pendidikan Islam sebagai

berikut : “Education should aim at the balanced growth of total personality of man through the
training of man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should
there for cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate, all these aspect
toward goodness and attainment perfection. The ultimate aim of education lies in the realization
of complete submission to Allah on the level of individual. The community and humanity at
larga.”
b)

Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tanggal 07 sampai

dengan 11 mei 1960 di Cipayung, BogoraDari uraian diatas dapatlah di simpulkan bahwa
pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup
manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial yang menghamba kepada
khaliknya dengan dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama.
Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian
manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan
indera. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspek, baik aspek

spiritual, intelektual, imajinasi, maupun aspek ilmiah, (secara perorangan maupun secara
berkelompok). Dan pendidikan ini mendorong aspek tersebut ke arah keutamaan serta pencapaia
kesempurnaan hidup.
Tujuan ini merupakan cerminan dan realisasi dari sikap penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia
keseluruhannya. Sebagai hamba Allah yang berserah diri kepada Khaliknya, ia adalah hambaNya yang berilmu pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai kehendak pencipta-Nya untuk
merealisikan cita-cita yang terkandung dalam firman Allah SWT, Qs. Al-Anam: 162 Artinya:
“Katakanlah, sesungguhnya salatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku hanya untuk Allah,
Pendidikan sekalian alam.” "Dan aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya
beribadah kepadaKU” (QS.Adz-Dzariyaat : 56).
C. Proses PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al Hadist
Mendidik berarti membangun karakter untuk mempersiapkan sumberdaya manusia yang
unggul lahir dan batin yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai luhur kehidupan.
Pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Rasulullah saw bersabda, “Innal
‘ilmu bitta’allumi wal hilmu bittahallumi – Sesungguhnya ilmu itu dicapai dengan belajar, dan
murah hati dan pemaaf itu dicapai dengan berbuat demikian.”
Dalil dari proses pendidikan yaitu;
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
‫فأبواه يهودانه‬، ‫ مامن مولود إل ايولد على الفطرة‬:‫ قل رسول الله صلى الله عليه وسلم‬:‫عن أبي هريرة رضى االله عنه قل‬
٠ ‫أوينصرانه أويمجسانه‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (H.R.
Al-bukhari).

Dari konteks hadits tersebut, tersebutlah kalimat ‫ فأبواه‬yang banyak dipahami dan diartikan
dengan kalimat “orang tuanya”, dan dari setiap terjemahan hadits selalu ditemukan kalimat
tersebut. Dimana terjemahan tersebut tidak mungkin terlepas dari makna dasarnya yakni
“Ayah/Bapak” dari kata dasar ‫ أب‬.
Dari konteks dasar hadits tersebut, yang bertanggung jawab penuh dalam proses Islam
atau tidaknya seorang anak manusia adalah ayah/bapak dari anak tersebut. Namun tidak mungkin
semua itu terbeban kepada ayah belaka, tetapi ada orang lain yang juga memiliki tanggung jawab
yang sama yakni ibu. Ibu juga orang yang berpengaruh sangat dekat sekali dalam kehidupan
seorang anak manusia. Kedua insan ini tidak mungkin dilepaskan dari perkembangan jiwa dan
raga seorang anak.
Orang tua adalah orang yang sangat dekat dengan kehidupan anaknya, oleh karena itu,
proses pendidikan manusia dalam Islam tidak dimulai dari anak itu dilahirkan namun semenjak
seorang insan mencari pasangan hidupnya. Hal ini akan menjadi dasar dari keberlangsungan
kehidupan generasi-generasi yang akan datang.
Dalam perkembangan pengetahuan dewasa ini, anak yang berada di dalam kandungan
seorang ibu juga sudah memiliki kemampuan menerima rangsangan dari ibunya sendiri, hal ini
diketahui dari proses pembentukan organ vital manusia yakni otak yang telah berfungsi saat janin
berumur empat bulan didalam kandungan ibunya. Otak seorang anak yang merupakan organ
yang terbentuk lebih awal dari organ-organ yang lainnya adalah juga organ vital manusia yang
jika rusak maka rusaklah seluruh dimensi kemanusiaan manusia itu sendiri.
Rangsangan-rangsangan tertentu dari seorang ibu sangat berpengaruh bagi janinnya
sendiri, sehingga Islam menganjurkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saat
seorang ibu mengandung janinnya. Bacaan-bacaan Al-Qur’an dan perbuatan-perbuatan yang
baik selalu dianjurkan sebagai wirid bagi seorang ibu yang lagi mengandung agar janin yang
dikandungnya menjadi orang shaleh dikemudian hari.
Anjuran-anjuran Islam ini merupakan sebuah proses pendidikan yang tidak disadari oleh
kalangan umat Islam, sehingga mayoritas umat Islam mengenyampingkan hal tersebut dan
menekankan pendidikan anak saat anak telah dilahirkan. Pendidikan yang merupakan kegiatan

kontinuitas yang tidak terputus dari semenjak anak didalam kandungan merupakan sebuah proses
yang utamanya terus berjalan, namun berjalan hanya pada batas-batas tertentu dan ini terlihat
sangat kontras di zaman modern ini.
Pendidikan anak yang aktif hanya berlangsung dikala seorang anak lahir hingga anak
mencapai umur 7-9 tahun, dan ada pula orang tua yang hanya menjalankan pendidikan hingga
anak berumur 5-6 tahun saja. Setelah itu anak dilepaskan mengikuti pendidikan formal tanpa
bimbingan lanjutan yang aktif dari orang tuanya. Inilah yang menjadi sebuah persepsi mayoritas
orang tua bahwa proses pendidikan dikalangan orang tua atau keluarga hanya berlangsung pada
umur tertentu, sedangkan perjalanan pendidikan lanjutan dari seorang anak berada di sekolah.
Jika kita menilik hadits Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wasallam di atas tanggung jawab
orang tua terhadap anak tidak memiliki batas yang ditentukan dengan jelas dan pasti, dan bahkan
konteks hadits tersebut adalah konteks universal dari sebuah tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya.
Selain itu, guru adalah pendidik dan pengajar, namun jika melihat konteks kekinian, guru
adalah orang yang bertugas sebagai transfer of knowledge bagi anak didiknya. Guru dalam
zaman modern ini sangat jauh dari konteks guru di zaman-zaman abad pertengahan, apalagi jika
dibandingkan dengan abad awal hijriah dimana guru sebagai orang tua kedua setelah orang tua
anak didik tersebut. Hal ini tidak dipungkiri karena memang perubahan zaman yang telah
membawa kondisi guru dengan kondisi zamannya, namun ada sebagian dari tugas guru yang
masih menjadi kode etik guru sebagai pendidik yakni “guru sebagai orang yang ditiru dan
digugu”. Pun demikian tugas guru sebagai transfer of knowledge merupakan kegiatan utama
yang berlangsung pada lembaga pendidikan formal dan memang lembaga ini adalah lahan dari
kerja seorang guru.
Dalam tri pusat pendidikan, dikenal tiga lahan pendidikan yang sangat berpengaruh bagi
peserta didik yakni informal, formal dan nonformal, yang sering disebut dengan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Keluarga dan sekolah adalah lembaga yang aktif dalam proses
pendidikan, sedangkan masyarakat jika melihat dari fenomena yang ada adalah hasil dari proses

pendidikan keluarga dan sekolah. Baik buruknya kondisi masyarakat hari ini adalah hasil dari
kedua lembaga tersebut (keluarga dan sekolah).
Jika merujuk kepada tujuan universal pendidikan dimana pendidikan merupakan suatu
proses yang mengarahkan manusia pada keutuhan kualitas manusia yang disebut dengan insan
kamil, dalam Islam merupakan manusia yang sempurna yang terpatri dalam bentuk akhlak dan
kualitas intelektual dari seseorang maka pendidikan tidak hanya dibebankan pada pengembangan
pengetahuan seperti yang berjalan selama ini pada lembaga pendidikan, namun harus diiringi
dengan bimbingan dan arahan akhlak yang baik dari kedua belah pihak yakni guru dan orang tua.
Sinergisitas antara guru dengan orang tua murid menjadi jalan terbaik yang akan
membentuk generasi yang berkualitas sempurna. Hal ini dapat dilakukan dengan komunikasi
aktif antara guru dan wali murid melalui wali kelas dengan mengaktifkan kontrol wali murid di
rumah secara efektif dan berkelanjutan, serta menyadarkan orang tua murid sebagai orang yang
sangat bertanggung jawab terhadap anak didik sendiri, sebagaimana bunyi sabda Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di atas.

D. Evaluasi PAI dan Karakter Bangsa dalam Persfektif Al Quran dan Al Hadist
Evaluasi yaitu suatu proses dan tindakan yang terencana untuk mengumpulkan
informasi tentang kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan
(pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar untuk membuat
keputusan. Dengan demikian evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan
insedental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu yang terencana, sistematik dan
berdasarkan tujuan yang jelas.1[9] Jadi dengan evaluasi diperoleh informasi dan kesimpulan
tentang keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita dapat menentukan alternatif dan
keputusan untuk tindakan berikutnya.

1

Evaluasi dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran. evaluasi dapat
dilakukan baik dalam suasana formal maupun informal, di dalam kelas, di luar kelas,
terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar atau dilakukan pada waktu yang khusus.
Evaluasi dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis, penilaian hasil kerja siswa
melalui kumpulan hasil

kerja

(karya) siswa (fortofolio), dan evaluasi unjuk kerja

(perfomance) siswa.
Pelaksanaan evaluasi agar akurat dan bermanfaat baik bagi peserta didik, pendidik
1.

ataupun pihak yang berkepentingan, maka harus memperhatikan prinsip-prisip sebagai berikut.
Valid
Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis tes yang terpercaya

2.

dan shahih. Artinya ada kesesuaian alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran.
Berorientasi kepada kompetensi
Dengan berpijak pada kompetensi, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan dapat

3.

diketahui secara jelas dan terarah.
Bermakna
Evaluasi diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu evaluasi

4.

hendaknya mudah difahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Terbuka
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan sehingga keputusan
tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada

rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.
5. Ikhlas
Evaluasi dilakukan dengan niat dan yang bersih, dalam rangka efisiensi tercapainya tujuan
pendidikan dan berkepentingan peserta didik.
6. Praktis
Evaluasi dilakukan dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan beberapa indikator,
yaitu: a) hemat waktu, biaya dan tenaga; b) mudah diadministrasikan; c) mudah menskor dan
7.

mengolahnya; dan d) mudah ditafsirkan.
Dicatat dan akurat
Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara sistematis dan komprehensif dicatat
dan disimpan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan.
Ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan Islam,
yaitu: prinsip kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan prinsip mengacu pada

tujuan:
1. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Bila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus dilakukan secara kontiniu. Prinsip ini selaras

dengan istiqamah dalam Islam, yaitu setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman kepada
Allah Swt., yang diwujudkan dengan senantiasa mempelajari Islam, mengamalkannya, serta
tetap membela tegaknya agama Islam, sungguhpun terdapat berbagai tantangan yang senantiasa
dihadapinya.
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada
prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil, sebagaimana
diisyaratkan Alquran dalam Surah Al-Ahqaf (46) Ayat 13-14
Artinya: (13)Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian
mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita.(14) mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
2.

Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman
ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab dan sebagainya, sebagaimana
diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Zalzalah (99) Ayat 7-8.

Artinya : (7) Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya. (8) dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya
3.

Dia akan melihat (balasan)nya pula.
Prinsip objektivitas
Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, berdasarkan fakta
dan data yang ada tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektivitas dari evaluator. Allah Swt.
memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian
menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al-Maidah, 5: 8)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Nabi Saw. pernah bersabda:

‫ت لفاططلملة أ ل نلن ل لوو‬
‫… لهاي للد ل للقلطوع م‬..
‫ت لسلرلق و‬
‫ح نلمدد طبن و ل‬
‫ت مم ل‬
Artinya :“…..Andai kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan untuk
memotong kedua tangannya”.

Prinsip ini hanya dapat ditetapkan bila penyelenggara pendidikan mempunyai sifat siddiq, jujur,
ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.
4. Prinsip mengacu kepada tujuan
Setiap aktivitas manusia sudah pasti mempunyai tujuan tertentu, karena aktivitas yang tidak
mempunyai tujuan berarti merupakan atau pekerjaan sia-sia.
Prosedur dalam mengadakan evaluasi dapat dibagi kepada beberapa langkah. Langkahlangkah tersebut diatasnya:
1.
2.
3.
4.
5.

Perencanaan
Pengumpulan data
Verivikasi data
Analisa data, dan
Penafsiran data.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan yang terjadi sekarang sangatlah dibutuhkan sebuah system
pendidikan yang lengkap. Pendidikan yang tidak hanya terpaku pada pemerolehan
pengetahuan pada siswa tapi juga pembentukan karakter kebangsaan dan nilai religinya.
Tujuan dari Pendidikan Agama Islam dan karakter bangsa adalah menwujudkan generasi
muda yang utuh, cerdas pemikiran, luas pengetahuan, sehat jasmani, seimbang rohani, dan
memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Pada proses pendidikan ini pun tidak hanya terpaku
pada lembaga sekolah, namun juga harus ada sinergi dari keluarga, guru, dan masyarakat.
Pendidikan Agama Islam sebagai bidang studi penting untuk mewujudkan generasi
emas Indonesia, harus disertai evaluasi yang tepat. Kembali ditekankan bahwa pemahaman
Agama Islam tidaklah hanya sampai dengan nilai-nilai baik untuk hapalan pengetahuan.
Namun, harus disertai dengan penilaian perilaku sehari-hari dan penerapan ibadah.
B. Saran
Sistem pendidikan yang mengarah pada tujuan pendidikan seperti tertuang dalam UU
No.20 Tahun 2003 harus lah segera direalisasikan secara merata di Indonesia. Oleh
karenanya, perlu juga dilakukan pemantapan proses belajar bagi pendidik agar terciptalah
sebuah sarana yang mampu mewujudkan siswa yang berakhlak mulia. Pengawasan dan
evaluasi juga harus dilakukan secara berkala sebagai tolok ukur keberhasilan proses
pembelajaran di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Chirzin, Muhammad. 2009. Makalah. Pendidikan Qur’ani Membentuk Moral dan Karakter
Bangsa (1).
Stapa, Zakaria, dkk. 2012. Makalah. Pendidikan Menurut Al-Quran dan Sunnah serta
Peranannya dalam Memperkasakan Tamadun Ummah. Jurnal Hadhari Spesial edition 2012
17/22 (www.ukmmy/jdhadhari). Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia.