Lebih Baik Mensejahterakan daripada Meny

Lebih Baik Mensejahterakan Daripada Menyengsarakan
Oleh Aba Idris Shalatan*
Jelang pasar bebas ASEAN, pemerintah kita justru semakin sporadis dalam melangkah.
Bagaimana tidak, ambisi-ambisi bermunculan seiring dengan kepercayaan bahwa Indonesia
mampu bersaing di pasar bebas ASEAN. Dikutip dari www.merdeka.com edisi kamis 13 Maret
2013 jam 14.09, bahwa Lembaga swadaya Indonesia for Global Justice (IGJ) menuding
pemerintah tidak memiliki strategi dan rencana yang tepat untuk melindungi kepentingan petani,
nelayan, buruh, dan pedagang tradisional, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang mulai efektif 2015.
Tudingan dari IGJ ini, sebagai lembaga yang memang fokus menilik dan mengamati
permasalahan seputar kesejahteraan dan keswadayaan masyarakat Indonesia, telah
memperingatkan kinerja pemerintah yang menurut penulis sporadis, egoistis, dan ambisius dalam
usahanya memperoleh keuntungan. Bahkan bisa dikatakan pemerintahan sudah melakukan secuil
blunder yang mungkin dapat membuat boa simalakama (senjata makan tuan). Ini adalah
bumerang kecil yang dapat menjatuhkan kredebilitas perekonomian Indonesia di mata dunia.
Karena inti dari perekonomian sebenarnya adalah menghasilkan kesejahteraan dan keswadayaan
bersama, tidak hanya memperoleh keuntungan saja, lantas tanpa memikirkan kepentingan
masyarakat, terutama kalangan bawah.
Namanya saja pasar bebas ASEAN, otomatis momok persainganlah yang muncul pertama kali
di benak saat ini, dengan sistem konvensional sebagai lajur perekonomiannya. Maka pantaslah
sebenarnya tudingan yang dilayangkan oleh IGJ, menilik dari apa yang menjadi langkah

pemerintah dalam usahanya memajukan perekonomian negara, dengan jalan yang tidak tepat.
Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik yang dilansir
dalam www.merdeka.com di edisi yang sama, bahwa pemerintah tidak memiliki strategi dan
rencana aksi yang melibatkan petani, buruh, nelayan, dan pedagang tradisional. "Seakan mereka
dibiarkan sendirian menghadapi bahaya AEC," ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis
(13/3).
Inilah yang kemudian mengindikasikan kekhawatiran IGJ selanjutnya, lantaran pertanian dan
perikanan adalah sektor yang penting dan strategis dalam perekonomian Indonesia. Coba
pikirkan, makanan pangan di negeri ini adalah nasi yang berasal dari beras/padi, dan tidak hanya
itu, beras/padi adalah penghasilan terbesar negeri ini di mata dunia, sehingga dapat
menguntungkan jika dimaksimalkan potensinya dengan baik. Dengan gamblangnya, pemerintah
justru membiarkan para petani bekerja ekstra sendiri dalam menghadapi fase perekonomian,
yang fokus pemerintah saat itu adalah pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Belum lagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada ikan-ikan di laut, belum lagi
buruhnya yang bekerja serabutan. Ingat! mereka juga butuh kesejahteraan dan keswadayaan.

Di sisi lain, kekhawatiran ini (yang diungkapkan IGJ) justru menurut penulis, tidak lebih
parah dari apa yang penulis khawatirkan selama ini. Karena bayangkan saja, sebuah negeri yang
masih dalam tahap berkembang, masih dalam tingkat pembangunan yang belum apa-apa jika
dibandingkan negara-negara maju lainnya, masih dalam situasi krisis moneter yang walaupun

sudah tidak terdengar lagi di media, malah dengan sombongnya ikut serta dalam perekonomian
kompetitif dengan tingkat persaingan yang tinggi. Dan hasilnya pun sedikit sekali jika
dibandingkan dengan apa yang ditawarkan, mengingat sejauh mana sepak terjang Indonesia
dalam perekonomian dunia, dan apa yang dihasilkan dari keikutsertaan tersebut.
Intrik ekonomi konvensional memang sudah menjamur dan berakar secara global, yang
sebenarnya merupakan sistem ekonomi kapitalis. Tujuan utamanya adalah ingin menguasai pasar
bebas yang ada di seluruh dunia tanpa terkecuali. Kita semua tidak menyadari bayang-bayang
yang tengah sedikit demi sedikit menggoyahkan nilai-nilai kesejahteraan dan keswadayaan
bersama tersebut. Bentuk bayang-bayang konvensional keluaran kapitalis tersebut, malah
sekarang sudah berubah menjadi arus-arus yang sangat berbahaya untuk menghanyutkan pikiran
banyak orang terutama kalangan atas agar lebih mendekatkan dirinya pada hal materi (duniawi).
Karena imbasnya adalah akan ada persaingan diantara sekian banyak orang sebagai pelaku
ekonomi, banyak perusahaan, banyak industri, dan bahkan banyak pasar sekalipun.
Terlihat dari wajah dan tampangnya, ekonomi konvensional ini seperti seorang yang tampan
dan menarik jika dilewatkan, tetapi dampak yang terjadi jika kita ikut tertarik ke dalamnya
adalah kita akan menjadi buruk jiwa, lupa diri, dan kemurnian kita ternodai, apalagi kalau bukan
karena menghalalkan segala cara agar dapat terus kokoh, dapat memenangkan persaingan, dan
tak terkalahkan. Bukankah lebih baik kita menyadari satu hal, seperti apa yang disadari oleh
Cirque du Soleil bahwa untuk berjaya di masa depan, perusahaan harus berhenti bersaing satu
sama lain. Satu-satunya cara memenangi kompetisi adalah berhenti berusaha memenangi

kompetisi (Kim dan Mauborgne, 2005: 20).
Dengan kata lain jika penulis terjemahkan adalah, lebih baik kita tidak usah bersaing dalam
mengambil keuntungan, dan membuat keuntungan sendiri beserta orang lain di sekelilingnya.
Seperti misalnya saja dalam samudra biru yang ditandai oleh ruang pasar yang belum terjelajahi,
penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan (Kim dan
Mauborgne, 2005: 21).
Kita mungkin bisa memakai cara tersebut sebagai konsep ideal. Sebab dengan adanya ruang
pasar yang belum terjelajahi, maka menutup kemungkinan persaingan/kompetisi. Adapun
penciptaan permintaan dapat melangsungkan kredebilitas positif stabil dan terjaga dengan baik,
sehingga pengusaha lebih kreatif dan inovatif. Dan peluang pertumbuhan yang sangat
menguntungkan mesti dijadikan landasan kesejahteraan bersama yang perlu ditularkan kepada
pengusaha lainnya agar tidak berpikir egoistik dengan tidak saja berusaha memberi keuntungan
sendiri, tetapi juga kepada orang lain yang berusaha bersamanya. Sehingga pengusaha tidak saja
bergelut pada ego semata, dan memikirkan bagaimana mensejahterakan masyarakat juga.

Ada satu hal lagi yang perlu kita terapkan secara gencar sekarang ini, yaitu sistem syariah
bagi hasil (Perbankan Syariah). Alhamdulillah, undang-undang tentang perbankan syariah telah
ditetapkan dalam UU No. 21 Tahun 2008, dimana di dalamnya jelas-jelas memetakan pembagian
hasil, yang sesuai dengan kesejahteraan dan keswadayaan masyarakat. Dalam undang-undang
pun ditetapkan, pertimbangan paling menonjol menyangkut perbankan syariah, yaitu A) Bahwa

sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang
berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai
dengan prinsip syariah; B) Bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan
syariah semakin meningkat; C) Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan
dengan perbankan konvensional. Ketiga poin pertimbangan ini, jelas relevan sejalan dengan
kesejahteraan dan keswadayaan masyarakat yang selalu didambakan sejak lama.
Terakhir kalinya dari tulisan ini, penulis nyatakan satu kenyataan lain yang sebenarnya tidak
kita sadari, bahwa pemerintah juga adalah pengusaha, bawahannya adalah juga pengusaha,
masyarakat adalah pengusaha juga. Jadi, karena semuanya pengusaha, semuanya mesti untung
satu sama lain, tanpa pengecualian. Inilah kesejahteraan dan keswadayaan yang penulis maksud,
dari adanya persatuan, pemerataan, keadilan dan kebijaksanaan.
Jika saja pemerintah tidak terpengaruh dengan intrik konvensional keluaran kapitalis tersebut,
dalam kaitannya dengan memilih MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan lebih memilih
kesejahteraan masyarakat, penulis yakin Indonesia dapat tetap konsisten stabilitas
perekonomiannya, dan dapat pula membangun di bidang-bidang lainnya. Mengapa penulis
merasa yakin? Karena Indonesia ini adalah tanah surganya dunia, semuanya serba ada disini,
hanya tinggal bagaimana kita mengolahnya dengan baik dan benar. Campur tangan asinglah
yang kemudian membuat negeri ini seakan tidak berdaya, padahal di dalamnya terdapat sumber
daya berkualitas dan berkuantitas yang tidak terurus dan tidak diperhatikan dengan baik dan

cermat. Jika saja pemerintah mau berbuat demikian, penulis jamin tidak hanya ekonomi, bahkan
bidang-bidang lainpun akan mengikuti sebagaimana mestinya.
Seharusnya pemerintah mensejahterakan masyarakat bukan malah menyengsarakannya
dengan langkah demikian, memilih MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), langkah yang
sporadis, terkesan sombong, egoistis dan ambisius. Pemerintah tolong berpikir jernih, berpikir
dengan hati, dan jangan terpengaruh begitu saja dengan penawaran keuntungan tanpa
memikirkan keadaan masyarakat di bawahnya. Mestinya pemerintah jeli dengan situasi dan
kondisi yang menimpa negeri kita tercinta ini. Lebih baik kita mensejahterakan masyarakat
sendiri, daripada menyengsarakannya. Kalau bukan mensejahterakan masyarakat sendiri,
pemerintah mau mensejahtarakan siapa lagi. Wa allahu alamu bis shawab...

*Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMY