Food Safety dan Implementasi Quality Sys

Food Safety dan Implementasi Quality System
Industri Pangan di Era Pasar Bebas
Budi Cahyono

I.

*)

Pendahuluan

Dalam krisis moneter seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang mempunyai
peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk
hasil pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan
produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional.
Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata merupakan
industri yang rapuh karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai
dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor
tersebut.
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat

ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan.
Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu
bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan
dalam sistem mutunya.
II.

Keamanan Pangan

Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan
yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan.
Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan
pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen
terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara
lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan
pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju

telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan
pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun
Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan pangan.
Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.
Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum
adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan;
(2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab
dan
kesadaran
produsen
serta
distributor
tentang
keamanan
pangan
yang
*

)


Budi Cahyono, S.Sos adalah Staf Biro Humas, Persidangan, dan Administrasi Pimpinan, Kantor Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS-red.

Halaman 1

diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan
konsumen terhadap keamanan pangan.
A.

Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% - 10,23% pangan
yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan
bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan
pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan
yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai
persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi
persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan
makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena
jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna
berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada
produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng,
tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02%
menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan
sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan
jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan
tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan
lontong.
Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya
sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat
pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman
mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.
Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan
dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak
ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan
hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya banyak ditemukan pada makanan jajanan,
makanan yang dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan
hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil
pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan

positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator
sanitasi.
Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa
sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan
kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan
yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke
pengobatan) dan menyimpang dari peraturan periklanan.
Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari
Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57%
sarana menjual produk kadaluarsa.
Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi masih
banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar
sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi persyaratan kandungan KlO3.

Halaman 2

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar
di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin
peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1% tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.
Ditemukan pula sayuran dan buah-buahan impor yang mengandung residu pestisida yang

cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada
produk pangan hewani.
B.

Kasus Keracunan Makanan

Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan makanan yang
menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal, sedangkan tahun 1995/1996
dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang menderita dan 13 orang meninggal. Dari
kasus tersebut hanya 2 – 5 kasus yang telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya.
Diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan
sebenarnya yang terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan
makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara maju dan
1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang. Sebaran kasus keracunan di 10 propinsi di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun 1996-1997
PROPINSI

Jumlah Kasus


Jumlah Korban

Sumber/asal
TPM

1.
2.

D. I. Aceh
Sumatera Barat

1
2

Penderita
3
10

Meninggal
0

1

1.
2.
3.

Bengkulu
Jawa Barat
Jawa Tengah

1
1
6

37
163
431

0
0

0

4.

Jawa Timur

12

505

6

5.
6.
7.

Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan


2
1
4

27
18
76

0
0
7

Toko, RT
Pasar, RT

8.

Bali

1


111

0

Lokal

31

1.381

14

Jumlah

Makjan
Rumah Tangga
(RT)
Rumah Tangga
Jasaboga
Jasaboga
Pasar
Jasaboga,
Industri RT,
Makjan pasar

Jumlah yang telah
Diidentifikasi penyebabnya
Zat Kimia
1 (nitrit)
1 (amaranth)
1 (pestisida)
1 (salmonella)
8 (?)
1 (jamur)
1 (nitrit)
2 (?)
Shigella
S. aureus
16
(51,61%)

Sumber: Direktorat Penyehatan lingkungan Pemukiman, Ditjen PPMPLP, Depkes (1998)

C.

Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi
produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan
Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah
makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga
menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan
Halaman 3

(TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar
19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari
rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C.
Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice
(GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan
dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29%
sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.
D.

Pengetahuan dan Kepedulian Konsumen

Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan
tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk
pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak
sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian
konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan
pangan bagi para produsen pangan.
Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah
melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha dan
pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan pangan.
Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun melibatkan pula
instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996 menunjukkan pula instansi lain
dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa telah lebih dari 60%
kelompok makanan jajanan (lokasi dan pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan
pengrajin) dibina, namun baru sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang
telah dibina dalam hal pengelolaan makanan secara aman.

III.

Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh
terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz, 1996), yaitu:
Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan,
yaitu: (1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam
produk pangan; (2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat
pertanian) pada berbagai produk pangan; (3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran
microba patogen pada berbagai produk pangan; (4) Pelabelan dan periklanan produk pangan
yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk
produk impor; (6) Pemalsuan produk pangan; (7) Cara peredaran dan distribusi produk
pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan produk pangan belum
dapat bersaing di pasar Internasional.
Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar belum
dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya pengetahuan,
keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan
distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya
sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP,
GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya
kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan
yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli
produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Halaman 4

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap
pemerintah, industri dan konsumen seperti tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena itu
diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.
IV.

Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan
Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan
analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta
disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya
produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan
domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang
aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan
ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1).
Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang
menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam
pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good
Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices),
GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).
Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri
dan konsumen.








PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH
INDUSTRI
KONSUMEN
Penyelidikan dan

Penarikan produk

Biaya pengobatan dan
penyedikan kasus
rehabilitasi

Penutupan pabrik
Biaya penyelidikan

Kehilangan pendapatan dan

Kerugian
dan analisis
produktivitas

Penelusuran penyebab
Kehilangan

Sakit, penderitaan dan

Kehilangan pasar dan
Produktivitas
mungkin
kematian
pelanggan
Penurunan ekspor

Kehilangan waktu

Kehilangan kepercayaan
Biaya sosial sekuriti

Biaya penuntutan/pelaporan
konsumen (domestik dan
Penganguran
internasional)

Administrasi asuransi

Biaya legalitas

Biaya dan waktu
rehabilitasi (pengambilan
kepercayaan konsumen)

Penuntutan konsumen

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan
merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam
industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive
91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan
sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke
negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang
mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian
keamanan pangan (food safety), meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu
lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan
Halaman 5

pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund) (Tim
Inter Departemen Bappenas, 1996).
Konsep Implementasi Quality System dan Safety







KEKUATAN
Perkembangan
industri pangan
yang semakin pesat
Tersedianya UU
Pangan dan
Peraturan
Tersedianya sistem
manajemen mutu
dan keamanan
(GAP/GFP, GHP,
GMP, GDP, GRP,
ISO 9000, ISO
14000 ,dll)












SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
KELEMAHAN
PELUANG
Produk pangan
 Globalisasi produk

didominasi oleh
agroindustri
industri kecil/rumah

tangga
Kualitas SDM belum
memadai
Kelembagaan
koordinasi belum
terpadu
Penguasaan Iptek
yang masih lemah
Keterbatasan dan
sumber dana
Kepedulian produsen
dan konsumen masih
rendah
Keterbatasan
infrastruktur
(laboratorium,
peraturan, pedoman,
standar)

ANCAMAN
Persaingan internasional
yang semakin ketat
Peraturan dan
kesepakatan internasional
(WTO/TBT, SPS, dll)

KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM
PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
(Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)
IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN
JAMINAN MUTU DAN
KEAMANAN PANGAN

Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem
mutu dan keamanan pangan.

Halaman 6

HACCP, ISO 9000, ISO 140000

Produksi
Bahan Baku/
Penolong

GAP/GEP

Penanganan

GHP

KEKUATAN

Pengolahan

Distribusi

GMP

GDP

Pasar

GRP

Konsumen

GCP

KELEMAHAN

Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional
V.

Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan
Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan
dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri
dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

Halaman 7

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
INDUSTRI
(Industri bahan baku, Pengolahan,
Distributor, Pengecer)

PEMERINTAH












Penyusunan kebijaksanaan
strategi, program dan
peraturan
Pelakasanaan program
Pemasyarakatan UU Pangan
dan peraturan
Pengawasan dan low
enforcement
Pengumpulan informasi
Pengembangan Iptek dan
penelitian
Pengembangan SDM
(pengawas pangan, penyuluh
pangan, industri)
Penyuluhan dan penyebaran
informasi kepada konsumen
Penyelidikan dan penyedikan
kasus penyimpangan mutu dan
keamanan pangan

Penerapan sistem jaminan
mutu dan keamanan pangan
(GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR,
HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll)

Pengawasan mutu dan
keamanan produk

Penerapan teknologi yang
tepat (aman, ramah lingkungan,
dll)

Pengembangan SDM
(manager, supervisor, pekerja
pengolah pangan)


KONSUMEN
MASYARAKAT
Pengembangan SDM (pelatihan,
penyuluhan dan penyebaran
informasi kepada konsumen)
tentang keamanan pangan

Praktek penanganan dan
pengolahan pangan yang baik
(GCP)

Partisipasi dan kepedulian
masyarakat tentang mutu dan
keamanan pangan


TANGGUNG JAWAB BERSAMA
JAMINAN MUTU DAN
KEAMANAN PANGAN

Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam
implementasi sistem dan keamanan pangan
VI.

Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas
sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan.
Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor
Menteri Negara Pangan: 1997):
1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan pengembangan,
pengembangan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan.
2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.
3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi,
bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan
keyakinan yang dianut oleh masyarakat.
4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra
produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun
pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional.
5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control) pada produsen,
konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam
melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.

Halaman 8

6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan
yang secara internasional telah disepakati bersama.
7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang
memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan
eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan
keamanan pangan.
8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan
pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.
9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional.
10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan
melalui pendidikan dan latihan.

VII. Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan
Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub program yang perlu
dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara nasional yang dibedakan atas
program utama dan penunjang (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai
berikut:
Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan
mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana pembinaan dan
pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan,
standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan sistem keamanan dan
pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5) Penyelenggaraan pelayanan pembinaan
dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan
keamanan pangan; (7) Penelitian dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8)
Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan
mutu dan keamanan pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10)
Pengembangan sistem jaringan informasi pembinaan mutu pangan.
Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2)
Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan
peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4) Pengembangan
kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.

VIII. Penutup
Sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan keamanan pangan
terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar bebas ini.
Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari
pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku
bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture
Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good
Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution
Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice)
Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 –
9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan
Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri

Halaman 9

Halaman 10

DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, S, 1996. Food Control Policy, WHO national Consultant Report. Directorate General of
Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, September 1996.
Fardiaz, S. 1996. Food Control Strategy, WHO National Consultant Report. Directorate
General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, December 1996.
Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997. Kebijakan Nasional dan Program Pembinaan
Mutu Pangan. Jakarta
Tim Inter Departemen Bappenas, 1996. Sistem Pembinaan Mutu Pangan (F.G. Winarno dan
Surono, editor). Bappenas, Jakarta
WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and
Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India.

Halaman 11