Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Indon

Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Indonesia dalam Bidang
Lingkungan di ASEAN: Belajar Dari Musibah Kebakaran Hutan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis luas
di Asia Tenggara. Berbagai keanekaragaman flora dan fauna serta sumber daya alam dapat
ditemui. Ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam sebagai komoditas utama
yang diperdagangkan dan pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan dari hasil tersebut membuat
Indonesia perlu terus menggali potensi alam yang tersedia dan melakukan pengembangan
industri yang berbahan baku dasar hasil alam. Salah satu komoditas utama Indonesia yang
didapatkan dari alam adalah kelapa sawit. Berdasarkan data dari Oil World tahun 2015,
Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit, dimana pada tahun 2006 Indonesia
memproduksi lebih dari 20,9 juta ton. Sedangkan pada akhir tahun 2010, 60 persen dari
output diekspor dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO). Data FAO menunjukkan produksi
meningkat lebih dari 400% antara tahun 1994 dan 2004, atau lebih dari 8.660.000 metrik ton
[CITATION Nar14 \l 1057 ].
Peningkatan produksi komoditas minyak kelapa sawit tersebut di tiap tahunnya
sejalan


dengan peningkatan permintaan di seluruh dunia. Hal ini seringkali dipandang

sebagai suatu hal yang positif baik bagi perusahaan-perusahaan sawit dari keuntungan yang
akan mereka raup, maupun dari pemerintah dari segi terserapnya banyak tenaga kerja,
perkembangan industri, serta pendapatan negara dari ekspor dan pajak. Namun
perkembangan tersebut juga membawa dampak yang masif terhadap perusakan lingkungan,
terutama hutan. Isu ini yang masih seringkali dipandang sebelah mata oleh pemerintah
Indonesia. Padahal sejak tahun 1990, kawasan hutan Indonesia seluas negara Jerman—31
juta hektar telah hilang [CITATION Gre15 \l 1057 ]. Angka ini dapat terus bertambah apabila
pengembangan industri kelapa sawit berada di luar kendali.
Pemerintah juga terkesan tidak mau bekerjasama untuk menyelesaikan akar dari
permasalahan ini. Hal ini ditunjukkan dengan sikap penolakan pemerintah untuk
menyediakan data-data secara transparan dan memaparkan peta-peta letak wilayah konsesi
1

kelapa sawit. Kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah, utamanya Kementerian Lingkungan
Hidup, dan yang diperbarui setiap waktu terbukti belum mampu mengurangi perusakan
lingkungan yang terkesan sudah menjadi warisan di Indonesia ini. Selain itu, meskipun
moratorium pembangunan industri di kawasan hutan telah diserukan sejak tahun 2011 dan
kembali diupayakan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun belum menunjukkan

hasil yang efektif.
Di lingkup regional pun Indonesia juga cenderung lamban dalam merespon urgensi
untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Dapat kita lihat ketika ASEAN (Association of
Southeast Asian Nations) sepakat untuk merumuskan The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP), sebagai environmental regime1 di kawasan untuk
menjawab keresahan permasalahan lingkungan—utamanya asap lintas batas—yang dialami
negara-negara anggota ASEAN, Indonesia merupakan negara terakhir yang meratifikasinya
pada akhir 2014. Padahal Indonesia adalah produsen utama dari polusi asap yang melintasi
batas hingga memasuki udara negara-negara tetangganya, yang disebabkan oleh kebakaran
hutan yang hampir setiap tahunnya terjadi.
Dalam makalah ini, kami hendak membahas bagaimana sikap pemerintah Indonesia
terhadap permasalahan asap ini berkaitan dengan regionalisme ASEAN yang diagendakan
harus semakin kuat. Melalui studi pustaka, kami mencoba melihat peluang dan tantangan
Indonesia untuk menjadi pemimpin di ASEAN di bidang lingkungan.
1.2 Landasan Konseptual
1. Global Value Chain
Dalam rangka memahami fenomena degradasi lingkungan di Indonesia, yaitu
kebakaran hutan, maka kita perlu memahami bahwa penyebabnya bukan tidak
sengaja. Pembangunan yang cepat dilakukan di dalam hutan, ditandai oleh berbagai
investasi perusahaan kelapa sawit dan perusahaan kertas yang menggerus banyak

sumber daya alam. Sejarah manajemen kehutanan yang buruk semakin memperparah
keberlangsungan bencana ini. Akan tetapi kita juga perlu melihat bagaimana posisi
Indonesia dalam hal ini. Dalam konsep Global Value Chain (GVC), ekonomi global
tidak hanya dibentuk oleh pasar bebas, tetapi juga oleh suatu rantai produksi yang
1 Environmental Regime adalah suatu perjanjian internasional atau yang dibentuk oleh suatu institusi sosial
yang berisikan kesepakatan dalam prinsip, norma, aturan, prosedur pengambilan keputusan, dan programprogram yang mengatur kegiatan dan membentuk ekspektasi dari para aktor yang berada di lingkup isu
lingkungan [CITATION Bay01 \p 397 \l 1057 ].

2

dalam hal ini ditunjukkan oleh negara berkembang dan negara maju saling terikat
dalam arti negara maju membutuhkan sumber daya alam maupun pekerja dari negara
berkembang. Ekonomi global ditentukan oleh pembeli global (dari seluruh dunia),
standar global, bahkan jaringan kebijakan global [CITATION OEC16 \l 1033 ].
Indonesia sebagai ‘negara berkembang’ mengalami fenomena ini. Melihat industri
kelapa sawit yang begitu besar di Indonesia, dapat dilihat bahwa permintaan global
terhadap minyak kelapa sawit sangat besar. Indonesia dengan lahannya yang besar
harus mensuplai kebutuhan tersebut, dengan mengorbankan kekayaan alamnya,
bahkan di kasus yang lebih buruk, nyawa penduduknya.
2. Konsep Hegemoni oleh Antonio Gramsci

Apabila Karl Marx menyatakan bahwa sebuah kekuasaan ada karena memiliki basis
materi, maka Gramsci mencoba merevisinya. Kekuasaan tidak hanya memiliki basis
materi, tetapi juga memiliki basis imaterial, misalnya ideologi atau ide, nilai, norma,
dan lain-lain. Ide-ide tersebut seringkali memengaruhi kita sedemikian kuat sehingga
kita menerimanya sebagai sebuah common sense—sebuah ‘realita’ yang tidak akan
kita pertanyakan ulang. Common sense inilah yang disebut Gramsci sebagai
hegemoni. Pikiran kita dapat dihegemoni oleh banyak nilai yang ditransfer dari
entitas-entitas dominan dan berpengaruh, seperti pihak perusahaan kelapa sawit.
Dalam tataran ini, mereka memiliki hegemoni atas negara Indonesia bahwa kelapa
sawit menjadi bagian integral dari industri perkebunan maupun kehutanan di
Indonesia, sehingga hampir tidak mungkin bagi Indonesia untuk menolak membuka
industri kelapa sawit secara masif di Indonesia, apalagi keuntungan dari industri ini
cukup menggiurkan apabila dilihat dari kacamata Indonesia sebagai negara
berkembang. Ide bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang harus selalu
berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya juga selalu meliputi setiap
diskursus.
Setiap hegemoni tidak pernah bertahan selamanya. Hegemoni selalu ditandingi oleh
usaha menciptakan sebuah hegemoni baru—bertahtanya ide baru—dan usaha itu tidak
akan pernah usai. Sehingga Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri sebenarnya
tetap bisa menantang hegemoni yang sedang ada sekarang. Berbagai LSM berusaha

‘melawan’ dengan menyuarakan aspirasi dan tuntutan-tuntutannya sebagai bentuk
penantangan hegemoni.

3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Industri Kelapa Sawit Indonesia
Sebagai pemasok 85 persen produksi minyak sawit global sekaligus sebagai produsen
dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia dituntut untuk terus
mengembangkan industri ini. Perkembangan produksi minyak sawit di Indonesia dapat
dikatakan selalu mengalami peningkatan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat hasil
produksi pada tahun 2008 yang mencapai 19,2 juta ton menjadi 32,5 juta ton pada tahun 2015
[CITATION Ind16 \l 1057 ]. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
di antaranya permintaan akan minyak sawit yang juga meningkat. Harganya yang terbilang
murah serta merupakan bahan dasar untuk campuran pembuatan produk makanan, kosmetik,
bahkan bio-fuel, membuat minyak sawit banyak dicari. Masyarakat Indonesia sendiri
termasuk dalam konsumen minyak sawit terbesar di dunia.
Seiring dengan meningkatnya permintaan minyak sawit secara global, perusahaanperusahaan kelapa sawit tetap memilih Indonesia sebagai tempat untuk mengembangkan

industri kelapa sawit mereka. Indonesia menjadi pilihan dikarenkan kondisi tanah dan iklim
yang cocok dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Selain itu, ketersediaan sumber
daya manusia yang cukup dengan tingkat upah yang terjangkau juga menjadi salah satu
pertimbangan mereka [CITATION Gla02 \p 18-19 \l 1057 ]. Pemerintah Indonesia memiliki
kecenderungan untuk mendukung pengembangan industri sawit mengetahui bahwa industri
tersebut merupakan padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan membantu
mengurangi tingkat pengangguran. Dukungan pemerintah tersebut dapat dilihat dari
mudahnya mengurus regulasi untuk mendirikan atau memperluas industri kelapa sawit di
Indonesia.
Tabel I:Pembukaan
Luas Hutanlahan baru guna memenuhi kebutuhan penanaman kelapa sawit menjadi
Konversi
di Indonesia
tak terelakkan.
Lahan per
konversi yang telah disediakan oleh pemerintah sebelumnya tidak
2002
dapat[CITATION
memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk memperluas
Gla02 \p 20 \l 1057 ]

perkebunannya yang semakin meningkat. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan kelapa
sawit untuk mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan tambahan lahan
hutan agar dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dapat dilihat pada tabel
berikut bahwa dalam beberapa kasus, pemerintah mengabulkan untuk membuka lahan
4

konversi melebihi
dari

apa

yang

diajukan
sebelumnya.
Peningkatan
drastis alih fungsi
lahan juga dapat
ditemukan


dalam

laporan
Kementerian
Kehutanan tahun 2013. Seperti yang dapat kita duga, pembukaan lahan ini berimplikasi pada
meluasnya deforestasi di Indonesia.

5

Tabel II: Alih Fungsi
Kawasan
CaraHutan untuk
Perkebunan/Pertanian
pembukaan lahan itu
[CITATION Kem14 \p
sendiri
16 \l 1057 ] justru
memperparah
dampak


dari

deforestasi.
Seringkali
perusahaan
menggunakan
metode pembakaran
lahan yang dinilai
lebih

murah

dibandingkan
dengan

metode

lainnya. Metode ini
juga dianggap lebih
efisien


karena

mampu menghemat
waktu

dengan

menghanguskan
tanaman yang ada dalam satu waktu dibandingkan jika harus ditebangi satu per satu. Bank
tempat perusahaan-perusahaan meminjam uang juga cenderung mendukung langkah ini.
Dukungan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, semakin cepat suatu metode mampu membuka
lahan untuk perkebunan kelapa sawit maka semakin cepat perusahaan tersebut beroperasi dan
memproduksi lebih. Semakin cepat pula perusahaan mampu membayar hutang bank
[CITATION Gla02 \p 12 \l 1057 ].
Sebelum tahun 1995, pemerintah Indonesia melegalkan praktek pembakaran hutan
untuk membuka lahan atas keperluan produksi hasil kebun [CITATION Gla02 \p 22 \l 1057 ].
Praktek tersebut seringkali berujung pada kebakaran hutan yang tidak terkendali, didorong
dengan faktor alam lainnya seperti fenomena El Nino. Kerugian besar-besaran dialami


6

Indonesia yang kehilangan berbagai ragam flora dan fauna menyusul hilangnya luas hutan
secara signifikan, bahkan mengganggu kesehatan penduduk.
Meskipun telah dilarang, namun hingga sekarang masih terdapat kasus pembakaran
hutan yang disengaja yang luput dari pengawasan pemerintah. Kasus kebakaran hutan itu
sendiri justru membawa keuntungan lain bagi perusahaan kelapa sawit. Hal ini dikarenakan
harga crude palm oil (CPO) menjadi naik dan membawa laba lebih banyak kepada
perusahaan. Selain itu, lahan yang telah terbakar secara ilegal pada akhirnya akan dilepaskan
oleh Kementerian yang bersangkutan untuk dimanfaatkan dalam pengembangan perkebunan,
salah satunya kelapa sawit [CITATION Gla02 \p 22 \l 1057 ].
Luas hutan yang terbakar pada tahun 2013 mencapai angka yang cukup meresahkan,
yakni sekitar 4.900 hektar. Propinsi Riau menempati urutan teratas sebagai daerah dengan
luas kebakaran hutan terluas, yakni sekitar 1.077 hektar [CITATION Kem13 \p 116 \l 1057 ].
Hal ini sesuai dengan data bahwa Riau dan Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki
perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa
kebakaran hutan setidaknya masih terjadi karena sebuah kesengajaan untuk membuka lahan
perkebunan sawit.

Tabel III: Sebaran
Perkebunn Kelapa
Sawit di Indonesia
[CITATION van04 \p
28 \l 1057 ]

2.2 Reaksi negara-negara di tingkat regional

7

Sebagai kontributor asap terbesar di antara negara-negara ASEAN, Indonesia tentu
dibicarakan oleh negara-negara tetangganya, terutama Singapura dan Malaysia, kedua negara
yang menerima dampak paling besar dari kebakaran hutan dan asap tersebut. Bahkan pada
tahun 2015, tahun ketika kebakaran hutan terjadi begitu besar karena El Nino, Singapura
marah besar kepada Indonesia, sehingga membuat hubungan bilateral keduanya menjadi
bermasalah[ CITATION The1513 \l 1033 ]. Kota Singapura sendiri tertutup awan asap yang
tebal, hingga seluruh siswa tidak diperbolehkan berangkat ke sekolah dan pekerja tidak
diperbolehkan

bekerja.

Pemerintah

Singapura

sangat

mengkhawatirkan

kesehatan

penduduknya. Pada September 2015, dinyatakan bahwa udara di Singapura tidak sehat.
Kemarahan pemerintah juga membuat bisnis retail mereka yaitu supermarket mini NTUC
Fairprice yang memiliki 300 outlet di Singapura tidak mau menggunakan kertas yang berasal
dari APP, perusahaan kertas yang beroperasi di lahan yang terbakar. Tidak hanya itu,
penerbangan ke Thailand, Malaysia, dan Filipina pun dibatalkan oleh pemerintah
[ CITATION CNB15 \l 1033 ].
Meskipun demikian, cukup ironis ketika kita melihat bahwa sebenarnya beberapa
perusahaan kertas dan minyak sawit yang besar dari Singapura dan Malaysia juga ikut
menanamkan investasinya di Indonesia, tidak hanya perusahaan Indonesia. Akan tetapi
permasalahan ini, meskipun diketahui, tetap tidak digugat [ CITATION Int15 \l 1033 ].
Dengan komentar-komentar Singapura dan Malaysia yang frontal kepada Indonesia,
pemerintah kita pun acapkali bersikap defensif. Wakil presiden Jusuf Kalla mengatakan
bahwa Singapura dan Malaysia tidak pernah berterima kasih kepada Indonesia karena sudah
menerima udara bersih selama sebelas bulan terakhir; seakan memberikan pernyataan bahwa
kedua negara ini telah mendapatkan manfaat dari Indonesia, termasuk laju pertumbuhan yang
tinggi. Suasana seperti inilah yang muncul akibat masalah asap [ CITATION The1513 \l 1033
].
Masalah asap ini memang menjadi agenda di dalam ASEAN, akan tetapi selama
bertahun-tahun, masalah ini tidak pernah menjadi prioritas ASEAN. Pembahasan mengenai
masalah ini selalu berada di belakang meja diskusi, atau dalam coffee break diplomacy. Ciri
khas ASEAN yang tidak ingin mengganggu kedaulatan negara (non-interference) membuat
penyelesaian masalah menjadi tidak didiskusikan. Terlebih lagi, mereka tidak ingin menekan
Indonesia [ CITATION Str15 \l 1033 ]. Memang terdapat perjanjian yang disebut
Transboundary Haze Pollution yang telah diajukan oleh Singapura sejak 2002, tetapi
perjanjian tersebut baru diratifikasi oleh Indonesia pada 2014. Beberapa ahli mengatakan
bahwa gestur Indonesia ini sebenarnya tidak natural. Indonesia menandatangani perjanjian ini
8

karena pada 2014, Singapura mengonfrontasi Indonesia, sehingga ratifikasi ini cenderung
merupakan gestur politik [ CITATION Int15 \l 1033 ].
ASEAN diharapkan dapat bersifat lebih tegas dalam persoalan ini, salah satunya
adalah dengan mempersalahkan sistem plantasi di sektor agrikultur di Indonesia yang suah
‘kuno’ (dari abad ke-19), terutama di perkebunan sawit, tetapi nampaknya hal itu tidak dapat
terjadi sekarang. Meskipun kebakaran hutan dan asap ini sudah menciptakan kerugian yang
sangat besar—bahkan dijuluki ‘carbon time bomb’ oleh ahli lingkungan—dalam tiga minggu
hingga melebihi emisi yang dikeluarkan Jerman selama setahun, namun sikap Indonesia
nampak tidak terlalu senang apabila negara-negara tetangganya menawarkan bantuan atau
asistensi untuk menangani hal ini [ CITATION TIM151 \l 1033 ]. Bahkan direktur dari
kerjasama fungsional ASEAN di Kementerian Luar Negeri, J. S. George Lantu, mengatakan
sendiri bahwa saat ini yang hendak dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
mengusahakan kemampuan dan sumber daya internal Indonesia untuk menangani hal ini.
Mereka mengapresiasi bantuan luar negeri, tetapi untuk saat ini mereka ingin menjaga
kedaulatan negara[ CITATION Int15 \l 1033 ]. Padahal ASEAN sendiri tidak dapat
bergantung pada Indonesia saja untuk dapat menyelesaikan persoalan ini, karena
permasalahan tidak hanya pada dimensi teknis tetapi juga pada moral dari para pelaku lokal.
Masalah asap ini bukan hanya perihal cepatnya investasi dan operasi perusahaan sawit dan
kertas, tetapi juga korupsi dan suap yang secara intens terjadi antara pemerintah lokal dan
perusahaan [ CITATION TIM151 \l 1033 ]. Tahun ini, presiden Jokowi mengundang
moratorium terhadap perusahaan kelapa sawit, karena ia menganggap bahwa Indonesia sudah
cukup penuh oleh perusahaan tersebut. Akan tetapi sebenarnya moratorium ini sudah ada
sejak dahulu, namun tidak pernah benar-benar terjadi karena pihak perusahaan terus menyuap
pemerintah lokal untuk melicinkan usaha mereka. Agreement on Transboundary Haze
Pollution meminta agar diciptakan peraturan dan hukum yang lebih baik, tetapi tidak pernah
ada rencana riil atau bantuan dana untuk anggota yang kurang maju, seperti Indonesia. Itulah
mengapa ATHP tidak pernah benar-benar terlihat hasil kerjanya, apalagi ATHP di tingkat
regional bukanlah perjanjian yang mengikat secara hukum.
ASEAN memang memiliki beberapa usaha untuk menangani masalah lingkungan ini.
Salah satunya yang spesifik adalah AATHP, kemudian ada pula badan yang disebut ASEAN
Cooperation on Environment di bawah ASEAN Socio-Cultural Society [ CITATION
ASE15 \l 1033 ]. Dalam badan ini ada banyak inisiatif untuk bekerja sama dengan berbagai
negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+3 yaitu Jepang, Korea
Selatan, dan Tiongkok. ASEAN ingin agar setiap negara anggota dapat mengaplikasikan
9

sustainable development dengan baik [ CITATION Chi16 \l 1033 ]. Meskipun demikian,
tidak ada keluaran yang berarti dari berbagai pertemuan ini, dalam arti bahwa tidak ada
banyak kerja sama dalam bentuk asistensi secara langsung dari ketiga negara ini untuk
negara-negara anggota ASEAN, terutama yang belum maju secara teknologi. Selain itu,
meskipun usaha atau inisiatif ASEAN untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan
keberlangsungan lingkungan sudah meningkat, tetapi mereka masih dibayangi oleh agenda
integrasi ekonomi mereka, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN [ CITATION Hen15 \l 1033 ].
Hal ini menjadi sebuah dilema tersendiri bagi regional.
2.3 Tantangan terhadap Penerapan Kebijakan Ramah Lingkungan di Indonesia
Degradasi lingkungan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan perusakan hutan
untuk kepentingan industri, merupakan masalah yang pelik. Luas hutan yang kita miliki
semakin terkikis. Respon pemerintah yang lambat akibat dilema yang dialami antara
kewajiban menjaga lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan industri
serta ketidaktegasan hukum yang ada membuat “tangan-tangan nakal” tidak takut untuk
berulah.
Melihat bahwa Indonesia sedang haus akan suatu pembangunan yang dapat
memperbaiki kondisi ekonomi negaranya merupakan suatu kesempatan emas bagi
perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk berkembang di negeri kolam susu ini. Permintaan
yang tinggi akan minyak kelapa sawit membawa untung sekitar US$ 20 juta per tahun bagi
Indonesia [CITATION The16 \l 1057 ]. Harga tanah yang murah, sumber daya manusia
terjangkau, ditambah dengan regulasi yang sempat melegalkan teknik pembakaran untuk
membuka lahan membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak berpikir dua kali untuk
mengembangkan usahanya di Indonesia. Meskipun regulasi mengenai pembukaan lahan
industri telah berkali-kali diperbaiki menjadi lebih ramah-lingkungan, namun tetap saja ada
laporan-laporan mengenai berkurangnya lahan hijau secara signifikan di Indonesia. Menyusul
terancamnya keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya. Tak hanya permasalahan
lingkungan, pengembangan industri kelapa sawit ini juga menuai berbagai konflik sosial,
misalnya perebutan tanah adat [CITATION Placeholder2 \p 20 \l 1057 ].
Ketidaktegasan hukum yang ada serta berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang tidak sinkron atau justru bertolak belakang antara satu dan yang lain,
membuat upaya-upaya pemerintah ini tidak efektif dan tidak mampu membuat suatu
perubahan yang signifikan. Selain melalui regulasi yang dirumuskan, pemerintah juga sudah
melakukan upaya yang lebih bersifat praktis seperti memperbarui teknologi untuk mengatasi
10

kebakaran, yakni membeli pesawat yang mampu untuk melakukan water bombing
[CITATION Placeholder2 \p 13 \l 1057 ]. Namun upaya tersebut hanya merupakan upaya
represif, alih-alih juga menaruh perhatian yang lebih pada upaya preventif, agar ke depannya
bencana kebakaran hutan dapat diminimalisir dan bahkan tidak lagi menjadi bencana
tahunan. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF) mengenai upaya tersebut, pemerintah
tidak menyadari kebutuhan dasar untuk merubah basis dari sistem tebang-tanam yang masih
belum baik. Selain itu, pemerintah juga dikritisi karena kurang memperhatikan aspek sosialpolitik mengenai konflik tanah dan penggunaan lahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pemerintah masih memandang permasalahan ini dari satu sisi saja, padahal isu ini merupakan
isu multidimensional yang sudah mencakup berbagai aspek.
Pada tahun 1998, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk tidak
memberikan izin baru bagi perusahaan-perusahaan yang mengajukan pembukaan lahan untuk
perkebunan sawit. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak lahan konversi
yang telah mendapat izin pemerintah ternyata hanya dibiarkan terbengkalai saja dan tidak
segera dimanfaatkan oleh perusahaan kelapa sawit yang mengajukannya. Namun, alasan di
balik kebijakan tersebut lebih merujuk pada aspek-aspek ekonomis alih-alih berkenaan
dengan isu lingkungan. Pemerintah merasa tidak mampu mendapatkan keuntungan maksimal
karena perusahaan-perusahaan kelapa sawit diketahui hanya mengambil kayu-kayu dari hutan
konversi dan tidak melanjutkan penanaman kelapa sawit. Padahal, seperti yang telah kita
ketahui hasil dari penjualan kelapa sawit memberikan kontribusi besar dalam pendapatan
negara.
Setahun setelahnya, pemerintah mengklaim telah memberlakukan regulasi yang lebih
sulit bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit baru yang ingin membuka usahanya di
Indonesia [CITATION Placeholder2 \p 21 \l 1057 ]. Hal ini bisa saja berdampak baik bagi
lingkungan. Karena dengan mempersulit persyaratan untuk membuka perkebunan sawit baru,
maka pengalihan fungsi hutan untuk perkebunan dapat diminimalisir. Sehingga dapat
mengurangi efek perubahan iklim yang dibawa oleh rusaknya lingkungan. Namun ternyata,
kesulitan yang ditambahkan dalam regulasi tersebut hanyalah berupa kewajiban bagi
perusahaan untuk melibatkan petani-petani lokal. Lagi-lagi, alasan dan kewajiban untuk
melestarikan lingkungan masih luput dari perhatian pemerintah.
Meski demikian, tetap ada kebijakan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan,
seperti pelarangan penggunaan cara pembakaran hutan untuk membuka lahan pada tahun
1995. Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga berkomitmen dalam ikrar ASEAN untuk
mengimplementasikan kebijakan zero-burning di tahun 1998 [CITATION Placeholder2 \p
17 \l 1057 ]. Namun karena sempat menjadi cara yang legal dan alasan keefektifannya, masih
11

saja ada perusahaan yang “bandel” dan seringkali berakibat kebakaran hutan yang tidak
terkontrol. Perusahaan “bandel” yang terkena tindakan tegas dari pemerintah biasanya
merupakan perushaan-perusahaan kecil [CITATION Placeholder2 \p 21 \l 1057 ]. Sedangkan
perusahaan besar cenderung mendapatkan payung hukum dari negara karena pertimbangan
bahwa mereka mampu membawa banyak keuntungan bagi negara.
Selain itu, sejak tahun 2002 bahkan hingga pemerintahan di bawah Presiden Jokowi
saat ini, Indonesia memiliki peraturan moratorium dalam hal pengalihan fungsi hutan menjadi
lahan konversi. Di tahun 2011 pemerintah memberlakukan moratorium penerbitan izin
perkebunan baru di hutan primer atau lahan gambut [CITATION Gre151 \p 5 \l 1057 ].
Sedangkan Jokowi kembali menegaskan aturan ini setidaknya dalam dua kali kesempatan.
Pada Mei 2015, Jokowi memberlakukan moratorium pemberian izin di lahan gambut.
Sedangkan awal 2016 lalu, Jokowi lebih spesifik menyebutkan moratorium lahan untuk
kelapa sawit. Hal ini beliau sampaikan dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan
dan Satwa Liar dalam Rangka Hari Hutan Internasional, di Pulau Karya, Kepulauan Seribu
bulan April lalu [ CITATION Sur16 \l 1057 ].
“Siapkan moratorium kelapa sawit. ... Lahan yang sekarang sudah ada asal bibitnya
itu betul, bibitnya benar, sudah mungkin produksi bisa lebih dari dua kali, ini kalau bisa dikerjakan
itu bisa naik.”

Meskipun kita belum bisa menilai keberhasilan dari kebijakan moratorium yang
diberlakukan oleh Jokowi dikarenakan masih terlalu dini, namun terdapat tokoh
environmentalist sudah menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan tersebut. Menurut Edi
Suhardi, Wakil Presiden dari the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kebijakan ini
kurang memperhatikan cakupan yang lebih luas. Edi menyatakan bahwa lebih baik
menyerukan untuk mengadaptasi kebijakan yang memiliki standar keberlanjutan, yang tidak
mengorbankan pengembangan industri kelapa sawit tetapi juga ramah terhadap lingkungan.
Jika pemerintah menerapkan kebijakan moratorium ini dengan prinsip non-diskriminasi,
maka petani-petani kecil yang akan merasakan kerugian yang paling besar [ CITATION
Suh16 \l 1057 ]. Padahal pengembangan industri kelapa sawit ini selain diharapkan untuk
membawa perbaikan bagi perekonomian negara, juga untuk mengembangkan masyarakat
lokal.
Selain kritik-kritik yang berdatangan, terdapat banyak tantangan lain yang harus bisa
dilalui dengan baik oleh pemerintah agar kebijakannya kali ini dapat membawa perubahan
baik yang signifikan terhadap lingkungan hidup Indonesia. Hal pertama yang perlu
diperhatikan dan diselesaikan adalah bagaimana agar kementerian-kementerian yang ada
dapat bekerja sama dan satu suara sebagai kesatuan pemerintah. Sebab yang masih terjadi di
12

Indonesia adalah masing-masing kementerian memiliki tujuan dan kepentingan mereka
sendiri-sendiri yang seringkali bertolak belakang. Misalnya saat Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mendukung kebijakan moratorium yang dicetuskan Presiden dan
mengeluarkan surat edaran bahwa lahan gambut yang rusak harus diperbaiki kembali.
Sedangkan Kementerian Pertanian menginginkan lahan gambut yang rusak untuk dibuka saja
menjadi lahan pertanian atau perkebunan [ CITATION Gre151 \l 1057 ].
Perbedaan kepentingan antara badan pemerintah satu dengan yang lainnya dalam
menghadapi isu ini tentu menyulitkan penerapan kebijakan yang efektif untuk menyelesaikan
permasalahan lingkungan akibat perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Bahkan
disebutkan bahwa undang-undang yang ada mengenai pengembangan perkebunan dengan
perlindungan hutan bertentangan satu sama lain. Namun hingga saat ini tidak benar-benar ada
respon yang tanggap untuk mensinergikan perbedaan atau pertentangan yang ada dalam
peraturan yang bertolak belakang tersebut. Sementara degradasi lingkungan akan terus terjadi
apabila tidak ada tindakan yang disegerakan dan menuntaskan dari akar permasalahannya.
Tantangan lain yang datang dari pihak pemerintah sendiri adalah bahwa pemerintah
sendiri justru masih kurang peka akan kerusakan lingkungan besar-besaran yang terjadi di
Indonesia akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Pemerintah Indonesia menentang
kebijakan zero-deforestation yang justru sudah ditandatangani oleh lima perusahaan sawit
besar yang ada di Indonesia [ CITATION The16 \l 1057 ]. Pemerintah berargumen bahwa
mereka sudah memiliki standar tersendiri untuk menentukan lahan mana yang bisa
difungsikan untuk perkebunan sawit dan mana yang tidak. Mereka menolak kebijakan zerodeforestation yang memiliki cakupan larangan yang lebih luas. Pihak-pihak yang berusaha
melobi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan tersebut kemudian dicap sebagai pihak yang
melakukan upaya pelanggaran atas kedaulatan Indonesia.
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Direktur Jendral Perencanaan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, mengtakan bahwa pemerintah
mengkhawatirkan jika kebijakan tersebut diterapkan maka akan merugikan perusahaanperusahaan kecil. Dapat kita ketahui bahwa pemerintah kemudian memandang permasalahan
ini masih sebatas parsial saja. Dilema yang besar antara kesejahteraan masyarakat lokal dan
kelestarian lingkungan membuat pemerintah tidak berani mengambil langkah yang tegas.
Pertimbangan yang matang memang diperlukan, namun permasalahannya adalah hal ini telah
berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan belum ada langkah solutif yang signifikan
dari pemerintah. Sebelum mengejar keberhasilan kebijakan moratorium yang dicetuskan oleh
Presiden, tantangan pertama yang harus diselesaikan dan diperbaiki oleh pemerintah ada pada
diri mereka sendiri.
13

Keinginan Indonesia untuk menjadi negara agraris yang kuat juga dapat
dikonsiderasikan sebagai tantangan. Semangat yang ditanamkan dan telah tumbuh dalam
masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat agraris sejak awal kemerdekaan
menumbuhkan persepsi bahwa semakin banyak perkebunan dan pertanian yang
dikembangkan Indonesia, maka semakin baik. Secara lebih spesifik, semangat untuk menjadi
penghasil kelapa sawit terbesar di dunia muncul pada tahun 1980-an. Saat itu Presiden
Soeharto ingin mengalahkan Malaysia dalam hal produksi kelapa sawitnya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, hutan di Indonesia telah kehilangan luasnya karena telah diberikan kepada
pebisnis dan investor untuk dijadikan perkebunan sawit. Saat itu secara resmi pemerintah
membuka lahan seluas 5,5 juta hektar. Namun pada tahun 1996 diketahui oleh BKPM bahwa
sebenarnya pemerintah mengalokasikan 9,13 juta hektar—jumlah yang lebih besar
[CITATION van041 \p 19 \l 1057 ]. Jika persepsi ini tidak dibarengi dengan pengetahuan dari
dampak buruk alih fungsi lahan, maka tentu saja upaya Indonesia untuk mengurangi dampak
buruk dari degradasi lingkungan lagi-lagi akan sia-sia. Oleh karena itu penting bagi
pemerintah untuk mengedukasi seluruh lapisan masyarakat.
Ketergantungan akan produksi kelapa sawit sebagai komoditas utama yang
diandalkan Indonesia membuat penerapan kebijakan moratorium dan kebijakan lainnya
sedikit sulit untuk diterapkan secara menyeluruh dengan tegas. Demi memenuhi kepentingan
ekonominya, tentu saja di satu sisi pemerintah mendukung penyusunan regulasi yang
memudahkan pengembangan dan mempercepat produksi kelapa sawit. Ditambah lagi faktor
banyaknya masyarakat lokal yang juga mencari nafkah pada sektor perkebunan sawit juga.
Tantangan-tantangan tersebut, yang mayoritas datang dari dalam badan pemerintah
sendiri, perlu mendapatkan perhatian sebelum melangkah lebih jauh lagi. Regulasi-regulasi
baru yang bermunculan cenderung tetap tidak memberikan perubahan secara signifikan
apabila tantangan-tantangan yang ada dibiarkan begitu saja. Upaya-upaya yang dilakukan
oleh Indonesia dalam menanggapi permasalahan lingkungan selama ini dinilai kurang
maksimal dikarenakan adanya berbagai tantangan yang belum terselesaikan.
2.4 Indonesia Menjadi Model Lingkungan Hidup di ASEAN
Indonesia berada dalam posisi yang tidak mudah sekarang ini. Tanpa transformasi
kebijakan serta moral yang baik, permasalahan asap maupun degradasi lingkungan lain tidak
akan selesai. Negara-negara lain berlomba-lomba untuk mengurangi emisi dan meningkatkan
distribusi clean technology, sementara Indonesia justru menjadi negara dengan sejarah
bencana alam terbesar dengan asapnya. Sebagai negara dengan lahan yang luar biasa besar,
selalu ada peluang bagi para investor untuk mengembangkan bisnisnya. Pemerintah mungkin
14

baru menyadari saat ini bahwa menjamurnya perusahaan kelapa sawit—meski telah
menyuplai bahan untuk berbagai produk yang permintaan globalnya tinggi—bagaimanapun
telah mengakibatkan bencana bagi penduduknya sendiri. Inilah yang digarisbawahi dalam
konsep Global Value Chain. Selalu ada dilema yang timbul bagi negara berkembang antara
lingkungan dan ekonomi.
Tidak hanya di tingkat nasional, dilema ini juga hadir di tingkat regional, misalnya
deforestasi masif di kawasan Asia Tenggara. Sudah lama Indonesia dan negara-negara
anggota ASEAN menjadi ‘korban’ dari eksploitasi masif, baik oleh penduduk mereka sendiri
maupun oleh perusahaan-perusahaan asing. Ada usaha untuk melawan, tetapi tidak tegas.
Sebelum Jokowi menyerukan moratorium, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan
berusaha melarang perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki kebijakan ataupun
mekanisme zero-burn, sebuah peraturan yang lebih kompromis, akan tetapi hal ini gagal
ketika sampai di level lokal karena berbagai kendala teknis dan, tentu saja, korupsi.
Apabila kita mengikuti pembahasan di atas mengenai reaksi negara-negara tetangga
dan Indonesia sendiri, maka terdapat kesan bahwa Indonesia di era Presiden Joko Widodo
terkesan sangat bersikukuh terhadap kedaulatannya. Banyak pendapat mengatakan bahwa
Indonesia tidak menjadikan ASEAN sebagai cornerstone-nya, tetapi menjadikan ASEAN
sebagai salah satu cornerstone-nya. Dari kesan ini, terlihat bahwa Indonesia di era Presiden
Joko Widodo seolah tidak berusaha untuk meningkatkan kerja sama dengan negara anggota
ASEAN, tetapi lebih mempercayai potensi sendiri. Akan tetapi fakta empirisnya menyatakan
bahwa Indonesia sebenarnya membutuhkan bantuan agar penyelesaian asap ini lebih cepat,
karena sebenarnya asap ini tidak hanya merugikan Indonesia, tetapi juga negara lain,
khususnya Singapura, Malaysia, dan Thailand. Gestur ini sudah mulai terlihat ketika
Indonesia menyatakan hendak meledakkan kapal-kapal asing yang hendak mencuri ikan-ikan
Indonesia. Meskipun tindakan mencuri ikan tentu merupakan sesuatu yang harus dilawan,
tetapi meledakkan kapal ‘tetangga’ bukanlah sebuah nosi yang baik apabila suatu negara
hendak masuk ke dalam sebuah regionalisme secara lebih dalam. Sikap Indonesia yang tidak
menerima bantuan dari negara-negara tetangganya pun dianggap sikap yang arogan, ketika
permasalahan asap menjadi permasalahn bersama. Seharusnya, hal ini justru menjadi peluang
bagi Indonesia untuk membuka diri bagi kerja sama yang lebih dalam dengan ASEAN,
apalagi dalam isu mematikan yang bertahun-tahun telah menjadi agenda sekunder di dalam
ASEAN. Justru dalam kesempatan ini, Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinannya
dalam bidang lingkungan hidup di ASEAN, tetapi tahun lalu ternyata Indonesia tidak
memberikan performa demikian.
15

Dengan kekayaan alam berupa biodiversitas tinggi dan luas lahan hutan yang besar,
ironis bahwa setelah sekian tahun lamanya, Indonesia tidak memiliki manajemen kehutanan
maupun perkebunan yang baik. Padahal salah satu aset Indonesia yang paling menonjol
adalah kekayaan alamnya. Isu non-tradisional seperti lingkungan hidup seharusnya menjadi
isu prioritas karena lebih strategis bagi Indonesia untuk menjadi model di bidang ini, karena
isu terbesarnya justru ada di bidang ini. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah
Indonesia pun diwarnai oleh eksploitasi alam. Investasi tentu saja boleh ditanamkan, tetapi
deforestasi terus menerus terjadi dan pada akhirnya berujung pada kebakaran hutan di lahan
gambut. Ide mengenai target industrialisasi di negara berkembang telah menjadi hegemoni di
Indonesia. Pandangan yang jatuh pada ekstrim pro-pembangunan membuat Indonesia
menjadi lumpuh di sektor lingkungan. Meskipun sudah ada banyak wacana mengenai
pembangunan berkelanjutan, tetapi pelaksanaannya sangat minim di Indonesia, bahkan pada
praktiknya dalam industri kehutanan dan perkebunan, pelaksanaannya tidak terlihat.
Dalam kesempatan ini, Indonesia sebenarnya bisa menjadi sebuah counter-hegemony
besar yang dapat merubah pandangan yang sangat ekstrim di sisi pembangunan dan
memperhatikan aspek lingkungannya, sehingga Indonesia juga dapat menjadi model dan
pionir yang baik bagi inisiatif lingkungan di ASEAN. Musibah asap dan kebakaran hutan
seharusnya menjadi momentum penting di mana Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa
tidak boleh ada lagi kompromi dengan hal-hal yang dalam jangka waktu panjang akan
membahayakan keutuhan isi negeri, baik flora fauna, maupun yang lebih penting, yaitu
penduduk. Hanya dengan bersikap tegas terhadap masalah internal, Indonesia bisa menjadi
pemimpin di kawasan, yaitu di ASEAN.

16

KESIMPULAN
Permasalahan asap merupakan permasalahan yang lama ditinggalkan, namun
bahayanya sangat mengancam. Tanpa transformasi kelembagaan maupun mental bangsa
menjadi lebih baik, perubahan tidak akan tercapai. Pada titik ini kami melihat bahwa
Indonesia masih belum juga menempatkan persoalan lingkungan sebagai sebuah prioritas,
hingga pada akhirnya bencana tersebut mengganggu stabilitas regional, yaitu ASEAN. Lebih
buruk lagi, Indonesia seakan menjauh dari integrasi regional dengan tidak menerima bantuan
dari sesama negara ASEAN dan lebih percaya pada diri sendiri, padahal persoalan ini
sebenarnya menjadi persoalan regional pula. Sikap yang tidak bersahabat ini membuat
hubungan bilateral maupun regional menjadi keruh. Ketidaktegasan ASEAN dan ciri khas
non-interference-nya juga telah membuat persoalan asap tidak selesai.
Melalui pembahasan, kami memiliki ekspektasi agar Indonesia dapat menggunakan
momentum ini untuk menunjukkan kepemimpinannya dan mempererat integrasi regional
menuju Masyarakat ASEAN dengan fokus di bidang lingkungan hidup, bidang yang samasama mengalami problema di setiap negara ASEAN. Indonesia harus mengenali kekuatankekuatan, sistem, atau hegemoni macam apa yang mengekang dirinya untuk menjadi negara
yang lebih peduli pada lingkungan, dengan begitu, visi yang baru akan mudah diciptakan
untuk memulai pembaharuan.

17

Daftar Pustaka
ASEAN Cooperation on Environment. Overview of ASEAN Cooperation on Environment.
2015. http://environment.asean.org/about-us-2/ (accessed Juli 20, 2016).
Baylis, John, and Steve Smith. The Gobalization of World Politics. New York: Oxford
University Press Inc., 2001.
China-ASEAN Environmental Cooperation Center. hina-ASEAN strategy on International
Environmental Cooperation. n.d.
http://chinaaseanenv.org/english/events/271416.shtml (accessed Juli 20, 2016).
CNBS. Why Southeast Asia deals with pollution on the QT. November 10, 2015.
http://www.cnbc.com/2015/11/10/asean-mores-singapore-malaysia-cross-ownershipindonesia-land-ownership-complicate-haze-politics.html (accessed Juli 20, 2016).
Glastra, Rob, Eric Wakker, and Wolfgang Richert. Oil Palm Plantation and Deforestation in
Indonesia. What Role Do Europe and Germany Play? NGO Report, Dreiech: Octopus
Media, 2002.
Greenpeace. Indonesia Terbakar: Dalam Kepungan Api. NGO Report, Amsterdam:
Greenpeace International, 2015.
Greenpeace. Indonesia Terbakar: Dalam Kepungan Api. NGO Report, Amsterdam:
Greenpeace International, 2015.
Henrich Boll Stiftung. Environmental Protection in the Post-2015 ASEAN Economic
Community. Oktober 29, 2015. https://www.boell.de/en/2015/10/28/umweltschutzder-asean-wirtschaftsgemeinschaft-nach-2015 (accessed Juli 20, 2016).
Inter Press Service News Agency . ASEAN Agreement on Haze? As Clear as Smoke. Oktober
10, 2015. http://www.ipsnews.net/2015/10/asean-agreement-on-haze-as-clear-assmoke/ (accessed Juli 20, 2016).
Jong, Hans Nicholas. Govt Oposes Zero-Deforestation Pledge by Palm Oil Firms. Agustus
29, 2015. http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/29/govt-opposes-zerodeforestation-pledge-palm-oil-firms.html (accessed Juli 18, 2016).
Narrada Sigma. Narrada Sigma Indonesia. September 29, 2014. http://www.narradasigma.com/tag/negara-penghasil-kelapa-sawit/ (accessed Juli 15, 2016).
Straits Time. Challenging times for S'pore-Indonesia ties. Oktober 14, 2015.
http://www.straitstimes.com/opinion/challenging-times-for-spore-indonesia-ties
(accessed Juli 20, 2016).

18

Suhardi, Edi. Review Mortorium on Oil Palm Plantations. April 22, 2016.
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/04/22/review-moratorium-on-oilpalm-plantations.html (accessed Juli 19, 2016).
Suryowati, Estu. Presiden Siapkan Moratorium Lahan Kelapa Sawit dan Tambang. April 14,
2016.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/14/204600726/Presiden.Siapkan.Mo
ratorium.Lahan.Kelapa.Sawit.dan.Tambang (accessed Juli 19, 2016).
The Diplomat. The Trouble with Indonesia - Singapore Relations. Oktober 21, 2015.
http://thediplomat.com/2015/10/the-trouble-with-indonesia-singapore-relations/
(accessed Juli 20, 2016).
TIME. Solving Southeast Asia’s Choking Haze Will Require Massive Agricultural Change.
November 2, 2015. http://time.com/4097657/indonesia-forest-fires-haze-pollutionenvironment-asean/ (accessed Juli 20, 2016).
van Gelder, Jan Willem. Greasy Palms: European Buyers of Indonesian Palm Oil. Data
Statistik, Castricum: Profundo, 2004.

19